II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengemasan Aktif Pengemasan mempunyai peran yang signifikan dalam rantai pasok makanan dan merupakan bagian yang penting baik pada pengolahan makanan dan keseluruhan rantai pasok makanan. Pengemasan makanan harus memenuhi berbagai fungsi dan persyaratan. Fungsi kemasan yang paling mendasar adalah kemasan dapat mempermudah distribusi. Kemasan melindungi makanan dari kondisi lingkungan,seperti cahaya, oksigen, kelembaban, mikroba, tekanan mekanis dan debu. Fungsi dasar lainnya adalah untuk menyediakan tempat untuk informasi bagi pembeli dan memberikan kenyamanan bagi konsumen, contohnya mudah dibuka dan dapat ditutup kembali. Persyaratan dasar suatu kemasan yaitu mudah dipasarkan, mempunyai harga yang sesuai, kemampuan teknis (contohnya dapat digunakan pada mesin pengemasan otomatis dan dapat dikelim), dapat berhubungan langsung dengan makanan, berefek rendah terhadap lingkungan dan dapat didaur ulang atau digunakan kembali. Sebuah kemasan harus memenuhi semua persyaratan tersebut secara efektif dan ekonomis. Beberapa fungsi dan persyaratan tersebut dapat saling bertentangan sehingga pengemasan modern harus dioptimisasi dan terintegrasi secara efektif dengan rantai pasok makanan (Ahvenainen, 2003). Menurut Ahvenainen (2003), pengemasan modern dapat dibagi menjadi dua yaitu pengemasan aktif (active packaging) dan pengemasan cerdas (intelligent packaging). Actipak Project yang dibentuk pada tahun 1999-2001 di Eropa mencoba merumuskan definisi pengemasan aktif dan pengemasan cerdas seperti di bawah ini. i. Pengemasan aktif (active packaging) Pengemasan aktif bertujuan untuk mengubah kondisi makanan yang dikemas untuk memperpanjang umur simpan atau untuk meningkatkan keamanan, sementara tetap mempertahankan kualitas makanan yang dikemas. Kondisi makanan dalam kemasan dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu proses fisiologis (contohnya respirasi buah dan sayuran segar), proses kimia (contohnya oksidasi lemak), proses fisika (contohnya pembusukan pada roti), aspek mikrobiologi (kerusakan karena mikroba) dan serangan hama (contohnya serangga). Teknik dalam sistem pengemasan aktif dapat dibagi dalam tiga kategori yaitu sistem penyerap, sistem pelepas, dan sistem lainnya. a. Sistem penyerap Sistem penyerap mengeluarkan komponen yang tidak diinginkan seperti oksigen, karbon dioksida, etilen, kelebihan air, polutan dan beberapa komponen lainnya. Sistem penyerap oksigen biasa digunakan pada keju, daging, makanan cepat saji, roti, kopi, teh, kacang dan susu. Sistem penyerap karbon dioksida biasa digunakan pada daging sapi kering, kopi kering dan daging unggas kering. Sistem penyerap etilen biasa digunakan pada buahbuahan seperti apel, pisang, mangga, mentimun, tomat, alpukat dan sayur-sayuran seperti wortel dan kentang. Sistem penyerap uap air biasa digunakan pada daging, ikan, unggas, roti dan potongan buah dan sayur. Sistem penyerap polutan biasa digunakan pada jus buah, ikan, makanan berminyak (contohnya keripik kentang, biskuit dan sereal), dan bir. Polutan yang dapat dihilangkan yaitu bau tidak sedap, amina dan aldehida. Sistem penyerap lain yaitu sistem penyerap sinar ultra violet biasa digunakan pada minuman, sementara sistem penyerap laktosa dan sistem penyerap kolesterol biasa digunakan pada susu dan produk turunannya.
2
b. Sistem pelepas Sistem pelepas melepaskan atau menambahkan bahan tertentu seperti karbon dioksida, antioksidan dan bahan tambahan makanan ke makanan dalam kemasan atau ke bagian headspace kemasan secara aktif. Sistem pelepas karbon dioksida biasa digunakan pada sayursayuran, buah-buahan, daging, ikan dan unggas. Sistem pelepas etanol biasa digunakan pada roti yang harus dipanaskan dan ikan kering. Sistem pelepas antimikroba tambahan biasa digunakan pada daging, unggas, ikan, roti, keju, buah-buahan dan sayur-sayuran. Sistem pelepas SO2 digunakan pada buah-buahan. Sistem pelepas antioksidan biasa digunakan pada makanan kering dan makanan berlemak. Sistem pelepas aroma dapat digunakan pada berbagai jenis produk makanan. Sistem pelepas pestisida biasa digunakan pada makanan kering dalam karung seperti tepung, beras dan biji-bijian lainnya. Sistem penyerap dan sistem pelepas dapat berbentuk sachet, label atau film. Sachet ditempatkan pada head-space kemasan sementara label ditempatkan pada bagian penutup kemasan. Tetapi kontak langsung dengan makanan harus dicegah karena dapat merusak sistem dan menyebabkan migrasi bahan kemasan. c. Sistem lainnya Sistem lainnya dapat dibedakan atas beberapa jenis antara lain pencegah panas, selfheating cans and containers, self cooling cans and containers, kemasan dalam microwave, film yang sensitif terhadap panas, film yang telah diradiasi sinar ultra violet dan film yang telah dilapisi material tertentu. ii. Pengemasan cerdas (smart packaging) Pengemasan cerdas bertujuan untuk mengawasi kondisi makanan terkemas dengan tujuan untuk mendapatkan informasi mengenai kualitas makanan dalam kemasan sewaktu transportasi dan penyimpanan. Pengawasan kondisi makanan dilakukan dengan menggunakan indikator yang dibedakan atas indikator luar dan indikator dalam. Indikator luar adalah indikator yang diletakkan di luar kemasan sementara indikator dalam adalah indikator yang ditempatkan di dalam kemasan, dapat ditempatkan pada head-space kemasan atau ditambahkan pada penutup kemasan. Contoh indikator luar yaitu indikator waktu, indikator suhu dan indikator pertumbuhan mikroba sementara contoh indikator dalam adalah indikator oksigen, indikator karbon dioksida, indikator patogen dan indikator pertumbuhan mikroba (Ahvenainen, 2003). Menurut Suppakul et al., (2003), pengemasan aktif adalah sebuah konsep inovatif yang dapat didefinisikan sebagai suatu jenis pengemasan dimana bahan kemasan, produk dan lingkungan berinteraksi untuk memperpanjang umur simpan atau menjaga keamanan atau penampakan bahan, sementara tetap menjaga kualitas dari produk tersebut. Hal ini khususnya sangat penting untuk produk yang segar dan produk yang harus disimpan dalam waktu yang lama. Day (2008) mendefinisikan pengemasan aktif sebagai suatu sistem kemasan yang sengaja ditambahkan dan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kemasan dalam menjaga atau memelihara aspek kualitas, keamanan, dan sensori dari bahan pangan. Kemasan aktif memiliki kemampuan untuk memerangkap atau menahan masuk oksigen, menyerap karbon dioksida, uap air, etilen, flavor, bau, noda, mengeluarkan karbon dioksida, etanol, antioksidan, serta memelihara kontrol suhu dan bertanggung jawab terhadap perubahan suhu. Kemasan cerdas (smart packaging) menurut Robertson (2006) adalah kemasan yang memiliki indikator baik yang diletakkan secara internal maupun secara eksternal dan mampu memberikan informasi tentang keadaan kemasan dan atau kualitas kemasan di dalamnya. Smolander (2008) merangkum beberapa perkembangan dalam riset indikator kesegaran produk dari beberapa peneliti smart packaging yang dapat dilihat pada Tabel 1.
3
Tabel 1. Beberapa indikator penentu kesegaran produk perikanan yang digunakan pada berbagai smart packaging Metabolit yang Produk indikator Indikator Potensial dan Prinsip Sensor dideteksi kesegaran komersial DTN pada komponen volatil dari produk dalam Gas-gas basa It’s Fresh™ (It’s Fresh! kemasan bereaksi dan merubah warna dari pewarna volatil Inc.) indikator Komponen Reaksi dilihat berdasarkan perubahan warna nitrogen volatil Fresh Taq (USA), menggunakan pewarna sensitif pH atau dengan (TMA, DMA, freshQ (USA) sensor optik amonia) Test strip, biosensor elektrokimia berdasarkan Produk degradasi penentuan enzimatis, kontak langsung dengan Transia GmbH (Jerman) ATP makanan DTN pada komponen volatil sulfur dari kemasan, Freshness Guard Komponen sulfur reaksi berdasarkan perubahan warna mioglobin, atau Indicator (Finlandia) perubahan warna lembaran perak skala nano Pengemasan antimikrobial adalah salah satu jenis dari pengemasan aktif yang dapat menambah umur simpan suatu produk dan memberikan perlindungan terhadap mikroba kepada konsumen. Kemasan antimikrobial dapat menghambat, mengurangi, atau menghentikan pertumbuhan bakteri patogen pada produk terkemas maupun kemasan itu sendiri. Kemasan tersebut dapat berperan sebagai pembawa komponen antimikroba dan/atau sebagai komponen antioksidan yang berfungsi untuk menjaga tetap tingginya konsentrasi bahan pengawet alami pada permukaan bahan makanan (Seydim dan Sarikus, 2006). Kelembaban relatif (RH) memiliki efek yang sangat signifikan terhadap sifat permeabilitas dari kemasan. Bahan higroskopis lebih terpengaruh oleh uap air daripada bahan tidak higroskopis. Peningkatan suhu juga dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas. Hal ini sesuai dengan hukum kinetik dimana ketika suhu meningkat, molekul memperoleh lebih banyak energi dan lebih mudah bergerak menembus suatu matriks. Peningkatan suhu berbanding lurus dengan peningkatan permeabilitas, tetapi berbeda untuk setiap jenis bahan (Cooksey, 2007).
2.2. Kemasan Biodegradable Kemasan biodegradable diartikan sebagai kemasan yang dapat didaur ulang dan dapat dihancurkan secara alami. Istilah ‘biodegradable’ diartikan sebagai kemampuan komponen-komponen molekular dari suatu material untuk dipecah menjadi molekul-molekul yang lebih kecil oleh mikroorganisme hidup, sehingga zat karbon yang terkandung dalam material tersebut akhirnya dapat dikembalikan ke biosfer (Gould et al., 1990). Kemasan biodegradable dapat dibuat dari bahan polimer sintetis, polimer alami, dan campuran antara polimer alami dengan polimer sintetis (Cole, 1990). Latief (2001) menyatakan bahwa ada tiga kelompok biopolimer yang menjadi bahan dasar dalam pembuatan kemasan biodegradable yaitu : i. Campuran biopolimer dengan polimer sintetis. Bahan ini memiliki nilai biodegradabilitas yang rendah dan biofragmentasi yang sangat terbatas. ii. Poliester. Biopolimer ini dihasilkan secara bioteknologi atau fermentasi dengan mikroba genus Alcaligenes dan dapat terdegradasi secara penuh oleh bakteri, jamur, dan alga.
4
iii.
Polimer pertanian. Polimer pertanian di antaranya yaitu cellophane, seluloasetat, kitin, dan pullulan. Kemasan dengan sifat anti mikroba sangat baik untuk digunakan sebagai kemasan bahan makanan. Menurut Hancock (2001), keuntungan yang didapatkan dari penggunaan kemasan anti mikroba sebagai kemasan bahan makanan yaitu : 1. Melindungi konsumen dari penyakit akibat bakteri patogen yang terdapat pada makanan. 2. Meningkatkan umur simpan dan menjaga kualitas makanan dengan cara mengurangi oksidasi lemak dan ketengikan. 3. Tidak seperti wax coating, film berbasis protein dapat dibuat cukup berpori sehingga dapat meningkatkan umur simpan pada buah. 4. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengaplikasikan penggunaan film pada produk, antara lain dengan dibungkus, dicelup pada larutan film, dan menyemprotkan film ke produk. Sifat hidrofilik dan hidrofobik pada jenis film yang berbeda menyebabkan film ini dapat diterapkan pada berbagai jenis produk. 5. Edible films dengan penggunaan gliserol yang sedikit tidak menyebabkan perubahan rasa sehingga lapisan yang menempel pada makanan dapat dimakan atau ikut diolah pada produk yang perlu dimasak. Hal ini berpotensi untuk mengurangi masalah limbah plastik karena film ini juga biodegradable. Proses pembuatan kemasan biodegradable dari polisakarida dan protein umumnya menggunakan plasticizer (pemlastis). Plasticizer merupakan bahan dengan berat molekul kecil sehingga dapat bergabung ke dalam matriks protein dan polisakarida untuk meningkatkan sifat fleksibilitas dan kemampuan membentuk film. Plasticizer meningkatkan volume bebas atau mobilitas molekul primer dengan mengurangi ikatan hidrogen antar rantai polimer. Komposisi, ukuran, dan bentuk dari plasticizer mempengaruhi kemampuannya untuk mengganggu ikatan rantai hidrogen, termasuk juga kemampuannya untuk mengikat air ke dalam sistem protein yang mengandung plasticizer tersebut (Sothornvit dan Krochta, 2000). Salah satu jenis plasticizer adalah gliserol. Gliserol adalah rantai alkohol trihidrik dengan susunan molekul C3H8O3 yang sangat bermanfaat dalam bidang kimia organik. Gliserol dalam kondisi murni tidak berbau, tidak berwarna, dan berbentuk cairan kental dengan rasa manis. Gliserol bersifat larut sempurna dalam air dan alkohol, serta dapat terlarut dalam pelarut tertentu (misalnya eter, etil asetat, dan dioxane), namun tidak bersifat larut dalam hidrokarbon. Berat molekul gliserol adalah 92,10, massa jenisnya 1,23 g/cm3 dan titik didihnya 204°C (Winarno, 1987). Penggunaan gliserol sebagai plasticizer lebih unggul karena tidak ada gliserol yang menguap dalam proses dibandingkan dengan dietilena glikol monometil eter (DEGMENT), etilena glikol (ET), dietilena glikol (DEG), trietilena glikol (TEG) dan tetraetilena glikol. Hal ini terjadi karena titk didih gliserol cukup tinggi jika dibandingkan dengan bahan pemlastis lainnya dan didukung dengan tidak adanya interaksi gliserol dan molekul protein di dalam bahan baku plastik (Noureddini et al., 1998).
2.3. Polipropilena Salah satu jenis kemasan adalah plastik. Plastik merupakan senyawa polimer dari turunanturunan monomer hidrokarbon yang membentuk molekul-molekul dengan rantai panjang dari reaksi polimerisasi adisi atau polimerisasi kondensasi. Sifat-sifat plastik sangat tergantung pada jumlah molekul dan susunan atom molekulnya. Plastik terdiri dari polimer murni dan unsur-unsur lain seperti bahan pengisi (filler), pigmen, stabilisator, dan bahan pelunak (Syarief et al., 1989) Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas memiliki keunggulan dibandingkan dengan bahan kemasan lainnya karena sifatnya yang ringan, transparan, kuat, termoplastik, dan permeabilitasnya
5
terhadap uap air, CO2, dan O2. Permeabilitas terhadap uap air dan udara tersebut menyebabkan peran plastik dalam memodifikasi ruang kemas selama penyimpanan. Permeabilitas uap air dan gas, serta luas permukaan kemasan mempengaruhi produk yang disimpan. Jumlah gas yang baik dan luas permukaan yang kecil menyebabkan masa simpan produk lebih lama (Winarno, 1987). Produk kering (kerupuk) yang bersifat hidrofilik harus dilindungi terhadap masuknya uap air. Umumnya produk-produk ini mempunyai ERH rendah, oleh karena itu produk kering harus dikemas dalam kemasan yang mempunyai permeabilitas uap air yang rendah untuk mencegah produk menjadi tidak renyah dan teksturnya rusak. Plastik PP memiliki permeabilitas gas yang sedang ((23 cc/cm/cm2/cmHg)1011) dibandingkan LDPE ((80 cc/cm/cm2/cmHg)1011). Sifat PP yang lebih kaku dan tidak mudah sobek dibandingkan plastik PE (LDPE dan HDPE) menjadikan plastik PP cocok digunakan sebagai bahan pengemas produk makanan kering khususnya kerupuk yang mudah rusak (Syarief dan Halid, 1993). Menurut Syarief et al., (1989), polipropilena termasuk jenis plastik olefin dan merupakan polimer dari propilen. Polipropilena telah dikembangkan sejak tahun 1950 dengan berbagai nama dagang seperti bexphane, dynafilm, luparen, escon, olefane, dan profax. Beberapa sifat utama polipropilena sebagai berikut : i. Ringan (densitas 0,9 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk film, serta tidak transparan dalam bentuk kemasan kaku. ii. Memiliki kekuatan tarik lebih besar dari polietilena Pada suhu rendah akan rapuh, dalam bentuk murni pada suhu -30°C mudah pecah sehingga perlu ditambahkan polietilena atau bahan lain untuk memperbaiki ketahanan terhadap benturan. iii. Lebih kaku dari polietilena dan tidak mudah sobek sehingga mudah dalam penanganan dan distribusi. iv. Permeabilitas gas dan uap air rendah. v. Tahan terhadap suhu tinggi hingga 150°C sehingga dapat dipakai untuk makanan yang harus disterilisasi. vi. Tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak. Baik untuk kemasan sari buah dan minyak. Tidak terpengaruh oleh pelarut pada suhu kamar kecuali HCl. vii. Pada suhu tinggi akan bereaksi dengan benzen, silken, tolue, terpentin, dan asam nitrat kuat.
2.4. Kitosan Kitin dan kitosan adalah aminoglukopiranan yang dibentuk oleh N-asetiglukosamin dan glukosamin. Kitin dan kitosan merupakan polisakarida yang termasuk dalam sumber daya terbarukan dimana pada saat ini banyak dieksplorasi baik melalui penelitian akademik maupun penelitian industri. Walaupun kitosan merupakan biopolimer yang terdapat secara alami pada beberapa spesies jamur, sebagian besar produksi kitosan didasarkan pada pengolahan kitin yang banyak terdapat pada hewan. Produksi kitosan pada umumnya dilakukan melalui urutan proses deproteinisasi, demineralisasi dan deasetilasi secara kimia. Kondisi dan kualitas kitosan yang diproduksi tergantung pada sumber kitin yang digunakan dan proses deasetilasi. Kitin adalah polisakarida kedua terbanyak di bumi setelah selulosa. Kitin terdapat pada berbagai organisme, terutama pada jamur dan artropoda, bahkan pada manusia. Jumlah kitin bervariasi pada setiap organisme maupun organnya, berkisar antara sangat sedikit sampai 80% dari fraksi organik. Jumlah kitin pada jamur dapat mencapai 45%, pada kutikula serangga sekitar 20-60%, sementara jumlah kitin pada kutikula crustasea yang telah di-dekalsifikasi dapat mencapai 80%. Jumlah kitin yang disintesis oleh organisme sangat besar tetapi tidak terakumulasi pada biosfer karena kitin diuraikan oleh mikroorganisme yang menggunakan kitin sebagai sumber energi. Proses
6
penguraian kitin sangat berpengaruh pada proses metamorfosis dari artropoda, demikian juga pada perkembangan berbagai organisme, termasuk vertebrata. Banyak material yang dapat dibuat dari kitosan, termasuk film, membran semipermeabel, serat, microcapsules, nanocapsules, dan pembuatan komposit dengan komponen inorganik. Kitosan membentuk film apabila kitosan yang dilarutkan pada larutan asam laktat atau asam asetat ≤ 2% (contohnya 1%) dikeringkan. Kekuatan tarik dari film kitosan berkisar antara 38 sampai 66 MPa, kurang lebih dua kali lipat dari kekuatan tarik dari plastik polietilena. Oligomer dari gugus glukosamin pada kitosan dengan derajat polimerisasi (DP) ≥ 30 memiliki sifat antimikroba terhadap beberapa bakteri Gram-negatif, bakteri Gram-positif dan bakteri asam laktat, dimana oligomer dengan DP yang rendah tidak memiliki sifat antimikroba. Oligomer kitosan dengan nilai DP yang rendah merupakan nutrien bagi bakteri, sementara oligomer dengan nilai yang lebih tinggi mempunyai sifat racun sebagai akibat dari sifat adhesi kitosan pada membran sel sehingga proses penyerapan nutrien melalui membran sel mikroba menjadi terhambat (Peter, 2005). Hasil dari sejumlah penelitian sampai saat ini menunjukkan bahwa kitosan dapat bersifat pembunuh bakteri atau penghambat bakteri, atau bahkan dapat membantu pertumbuhan bakteri sesuai dengan jenis bakterinya. Sejumlah hasil menunjukkan bahwa kitosan bersifat mencegah terhadap pertumbuhan sebagian besar bakteri patogen pada manusia dan bakteri perusak bahan pangan. Pengamatan dengan mikroskop elektron menunjukkan bahwa kitosan menyebabkan perubahan permukaan sel secara luas dan melapisi membran luar dengan sejenis struktur yang menyeluruh. Kitosan menempel dengan membran luar yang menyebabkan hilangnya fungsi pelindung dari membran. Sifat ini menyebabkan kitosan dapat digunakan untuk pelindung makanan. Aktivitas kitosan akan meningkat dengan bantuan pengawet makanan tradisional seperti asam benzoat, asam asetat dan sulfat. Kitosan juga dapat menghambat pertumbuhan fungi. Efek anti fungi dari kitosan pada pertumbuhan in vitro dari fungi patogen yang umum terdapat pada buah strawberry adalah pengurangan radius pertumbuhan dari Botrytis cinerea dan Rhizopus stolonifer pada media, dengan efek lebih besar apabila konsentrasinya dinaikkan. Infeksi jamur pada buah yang dilapisi kitosan dan disimpan pada suhu 13°C mulai terlihat pada hari ke 5 sedangkan infeksi jamur pada perlakuan kontrol (tanpa pelapisan) mulai muncul pada hari ke-1. Setelah penyimpanan selama 14 hari, lapisan kitosan dapat mengurangi pembusukan buah strawberry oleh fungi sampai 60%. Selain sifat antimikroba pada kitosan yang menghambat pertumbuhan mikroba secara langsung, kitosan dapat mengakibatkan timbulnya pertahanan pada buah akibat reaksi enzimatis. Kitosan meningkatkan produksi glukanohidrolase, komponen fenolik dan pembentukan senyawa fitoaleksin yang memiliki sifat anti fungi, dan mengurangi produksi enzim pembusukan seperti poligalakturonase dan pektin metil esterase (Muzzarelli dan Muzzarelli, 2007). Laham dan Lee (1995) menyatakan bahwa PE-Chitosan film memiliki tingkat degradasi lebih tinggi dibandingkan film komersial dengan bahan dasar tepung kanji ketika berada di dalam tanah. Suyatma et al. (2004) mencampur kitosan dengan polimer komersial polylactic acid dan memperoleh hasil bahwa ketahanan laju udara pada film kitosan menjadi meningkat. Lin dan Chuo (2004) menyatakan bahwa beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa kitosan dan turunannya mempunyai berbagai aktivitas biologis seperti sifat anti mikrobial, anti tumor, dan dapat membantu peningkatan ketahanan tubuh. Mereka membuktikan bahwa larutan kitosan mengandung antioksidan yang dibuktikan dengan kemampuan larutan kitosan tersebut mengurangi aktivitas radikal bebas seperti hidrogen peroksida, anion superoksida dan ion Cu2+ dengan cara mengikat ion radikal bebas tersebut. Kim dan Thomas (2007) juga menyatakan bahwa penambahan larutan kitosan 0,2%, 0,5%, dan 1,0% ke daging ikan salmon dapat mengurangi oksidasi
7
lemak. Mereka menyarankan kitosan untuk digunakan sebagai sumber antioksidan sehingga dapat memperpanjang umur simpan dari produk yang mengandung lemak karena kitosan juga mempunyai sifat anti mikroba.
2.5. Bawang Putih Bawang putih (Allium sativum Linn) termasuk dalam famili Amaryllicedae. Bawang putih mengandung minyak atsiri, kalsium, saltivine, sulfur, protein, lemak, karbohidrat, fosfor, besi, kalium, selium, scordinin, serta vitamin A, B, dan C (Syamsiah dan Tajudin, 2006). Minyak esensial bawang putih yang diperoleh dari distilasi uap terhadap umbi bawang putih terutama terdiri dari dialil disulfida (60%), dialil trisulfida (20%), alil propil disulfida (16%), sejumlah kecil disulfida dan dialil polisulfida yang dinamakan alisin (Seydim dan Sarikus, 2006). Ekstrak bawang putih memiliki sifat penghambat terhadap mikroba jenis tertentu. Bakteri S. aureus dan Bacillus cereus diketahui lebih sensitif terhadap film yang mengandung mikroba dibandingkan dengan bakteri E. coli dan S. typhimurium. Sifat antibiotik dari 1 mg alisin (senyawa pada bawang putih) diketahui setara dengan 15 IU penisilin (Seydim dan Sarikus, 2006). Sifat antibakteri dan antifungi (terhadap beberapa jenis bakteri Gram negatif dan Gram positif) pada bawang putih disebabkan oleh alisin. Ajoene, senyawa organosulfur yang diperoleh dari bawang putih, diketahui meningkatkan sifat anti malaria dari chloroquine terhadap bakteri P. berghei. Riset lebih lanjut juga menunjukkan sifat penghambat dari ekstrak bawang putih terhadap Helicobacter pylori, sejenis bakteri yang berperan dalam pembentukan kanker perut (Mazza dan Oomah, 1998). Alisin merupakan senyawa sulfur, tidak terdapat pada umbi bawang putih yang utuh tapi dalam bentuk asam amino non protein yaitu aliin (S-alil sistein sulfoksida) dan tidak memiliki sifat anti mikroba. Pada saat umbi dihancurkan enzim aliinase akan mengkatalis aliin menjadi piruvat, amonia dan asam alil sulfenik yaitu dua molekul yang secara spontan bereaksi membentuk alisin. Pada distilasi uap dengan tekanan atmosfir, alisin terdekomposisi menjadi dialil thiosulfida dan sulfidasulfida lainnya. Alisin tidak tahan terhadap pemanasan dan tidak stabil dalam pelarut organik (Dewick, 2003). Hasil penelitian Kumar dan Berwal (1998) melaporkan bahwa bawang putih dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen makanan seperti Staphylococcus aureus, Salmonella thypii, E. coli, dan Listeria monocynogenes. Karena itu bawang putih mempunyai potensi sebagai pengawet makanan olahan. Vaidya et al. (2008) menyatakan bahwa alisin yang terdapat dalam bawang putih berpengaruh terhadap rasa dan bau dari bawang putih. Alisin juga dinyatakan mempunyai sifat antioksidan. Aktivitas ini berupa pengikatan terhadap ion radikal bebas dari peroksida. Sifat anti mikroba ini diperoleh dari asam sulfenik yang terbentuk dari dekomposisi alisin pada bawang putih.
2.6. Parameter Pengujian Kerupuk Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), kerupuk diartikan sebagai makanan yang dibuat dari adonan tepung dicampur dengan lumatan udang atau ikan, setelah dikukus disayat-sayat tipis atau dibentuk dengan alat cetak, dijemur agar mudah digoreng. Kerupuk memiliki tekstur berongga dan renyah, hal ini merupakan salah satu mutu dari kerupuk. Sifat renyah pada produk kerupuk dan crackers berpengaruh terhadap kualitas produk pangan dan berperan dalam metode penyimpanan suatu produk pangan (Wirakartakusumah et al., 1989). Perubahan yang terjadi pada produk setelah digoreng di antaranya adalah penguapan air, kenaikan suhu produk yang mengakibatkan reaksi pencoklatan serta perubahan bentuk dan ukuran
8
produk yang digoreng. Keluarnya air dari bahan akan disertai penyerapan minyak goreng ke dalam produk, serta terjadi perubahan densitas produk selama penggorengan (Supartono et al., 2000). Timbulnya warna pada permukaan bahan disebabkan oleh reaksi browning atau reaksi Maillard. Warna ini merupakan hasil reaksi dari gula dan protein yang terdapat di dalam makanan dan terjadi terutama pada suhu tinggi (Ketaren, 1989). Penggorengan kerupuk bertujuan untuk memanaskan kerupuk kering sehingga molekul air yang masih terikat pada struktur kerupuk menguap dan menghasilkan tekanan uap yang mengembangkan struktur kerupuk. Penggorengan juga bertujuan untuk memperoleh bahan pangan goreng yang mempunyai aroma dan rasa yang menarik (Setiawan, 1998). Minyak goreng pada proses penggorengan berfungsi sebagai medium penghantar panas, penambah rasa gurih, penambah nilai gizi dan kalori pada bahan pangan (Ketaren, 1989). Makanan goreng umumnya memiliki struktur yang sama yaitu terdiri dari bagian hati (core), lapisan luar hati (crust) dan lapisan terluar makanan goreng (outer zone surface). Bagian hati (core) merupakan bagian makanan goreng yang masih mengandung air. Pada makanan tipis seperti keripik bagian ini hampir tidak ada, yang ada hanya bagian crust. Lapisan luar hati (crust) merupakan hasil dehidrasi pada proses penggorengan. Air yang hilang pada bagian luar akibat penguapan air akan diisi oleh minyak. Bagian permukaan paling luar (outer zone surface) merupakan bagian paling luar makanan goreng yang berwarna coklat kekuningan. Warna coklat merupakan hasil reaksi browning. Warna permukaan paling luar tersebut dipengaruhi oleh komposisi makanan, suhu, dan lama penggorengan (Ketaren, 1989). Menurut Ketaren (1989) tipe penyebab ketengikan dalam lemak dibagi atas tiga golongan yaitu ketengikan oleh oksidasi, ketengikan oleh enzim, dan ketengikan oleh proses hidrolisa. Berbagai jenis minyak atau lemak akan mengalami perubahan flavor dan bau sebelum terjadi proses ketengikan. Hal ini dikenal sebagai reversion. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengembangan dari reversion ini adalah suhu, cahaya atau penyinaran, tersedianya oksigen, dan adanya logam-logam yang bersifat sebagai katalisator pada proses oksidasi. Peningkatan kadar air dapat meningkatkan laju reaksi deteriorasi dengan cepat. Makanan kering mengalami kerusakan apabila menyerap uap air yang berlebih. Kerusakan ini cukup kompleks karena dapat melibatkan berbagai jenis reaksi deteriorasi yang lain yang sensitif terhadap perubahan aw. Penyerapan uap air ditandai dengan peningkatan kadar uap air. Peningkatan kadar air dapat menyebabkan hilangnya kerenyahan (Arpah, 2001). Arpah (2001) menyatakan bahwa kerenyahan merupakan suatu perubahan sifat fisik pada bahan pangan akibat dari reaksi deteriorasi selama penyimpanan yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti suhu. Tergantung pada tingkat deteriorasi yang berlangsung, perubahan tersebut dapat menyebabkan produk pangan tidak dapat digunakan untuk tujuan seperti yang seharusnya atau bahkan tidak dapat dikonsumsi sehingga dikategorikan sebagai bahan kadaluwarsa. Katz dan Labuza (1981) melaporkan bahwa kerenyahan makanan kudapan menurun dengan meningkatnya aw produk. Apabila aw mencapai 0,35-0,50 maka kerenyahannya, yang menjadi ciri khas produk makanan ringan, menjadi hilang. Air akan melarutkan dan melunakkan matriks pati dan protein yang ada pada sebagian bahan pangan yang mengakibatkan perubahan kekuatan mekanik termasuk kerenyahan. Laju penyerapan air juga dipengaruhi oleh kemampuan air menembus kemasan plastik. Makin besar pori-pori plastik maka laju penyerapan air akan makin cepat. Laju penyerapan air akan semakin kecil pada saat kerupuk hampir mencapai kondisi keseimbangan terhadap lingkungan.
9