15
TINJAUAN PUSTAKA
Faktor-Faktor Penyebab Nyamuk Tertarik Kepada Inang Setiap spesies nyamuk mempunyai perilaku berbeda dalam mencari inangnya. Hal ini disebabkan oleh daya tarik masing-masing inang tersebut terhadap nya muk tidak sama. Beberapa faktor yang diketahui mempengaruhi nyamuk dalam mencari inang adalah
suhu, kelembaban, karbondioksida,
aroma tubuh dan bermacam -macam faktor visual.
Suhu. Suhu merupakan faktor penting sebagai perangsang dalam penemuan inang dan merupakan daya tarik utama bagi nyamuk untuk bereaksi menggigit (Bates 1970; Peterson dan Brown 1951). Penelitian laboratorium tentang pengaruh suhu terhadap aktivitas menggigit Culex pipiens pada inang oleh
Crumb dalam Bates (1970) membuktikan hal tersebut. Dilaporkan
bahwa respon paling besar terjadi pada suhu 32°C sampai 43°C sedangkan suhu diatas 49°C dan dibawah 30°C, kurang mendapat respon dari nyamuk. Smart dan Brown (1956) melaporkan bahwa kulit yang lebih hangat akan lebih mena rik bagi nyamuk. Pernyataan ini sesuai dengan laporan Brown et al. (1951) bahwa apabila salah satu tangan manusia didinginkan sampai 22°C sedang tangan lain pada suhu 30°C, maka tangan yang lebih dingin kurang menarik untuk digigit nyamuk. Kelembaban udara.
Kelembaban udara dapat mempengaruhi perilaku
nyamuk. Di dalam kandang, kebanyakan Aedes aegypti mendekati aliran udara hangat dengan kelembaban 15% sampai 20%. (Brown et al. 1951). Namun menurut Reuter (1936) dalam Clement (1963), bahwa di lapangan tidak ada bukti yang menunjukkan pentingnya tingkat kelembaban bagi orientasi keadaan inang. Sehingga disimpulkan bahwa kelembaban mungkin merupakan sebagian
dari faktor penting yang berasal dari inang dan
merupakan daya tarik nyamuk pada jarak dekat.
16
Karbondioksida.
Pengaruh karbondioksida terhadap perilaku menggigit
masih banyak diperdebatkan. Para peneliti yang mengamati pengaruh karbondioksida terhadap nyamuk, belum menyepakati bagaimana metode zat kimia tersebut bekerja dalam perilaku makan. Menurut Headle (1974) dalam Service (1976) pada perangkap New Jersey Light Trap, yang digunakan dengan menambahkan karbondioksida selama dua jam dapat meningkatkan jumlah nyamuk yang tertangkap menjadi empat kali lipat. Karbondioksida yang merupakan sisa metabolisme diekskresikan melalui saluran pernapasan, sehingga nyamuk lebih banyak hinggap dibagian kepala
daripada anggota tubuh lainnya (Daykin et al.
1965). Sementara itu Carlson et al. (1992) melaporkan hasil penelitiannya bahwa tidak ada hubungan antara penambahan produksi CO2 dengan daya tarik
Ae.
aegypti terhadap inang.Penelitian tersebut dilakukan dengan
menggunakan alat olfaktometer.
Aroma. Respon nyamuk terhadap aroma yang terpancar dari inang, secara jelas telah ditunjukkan oleh Learman (1955) dengan memakai olfaktometer. Udara dialirkan melewati kelinci kemudian dilepaskan ke dalam kandang nyamuk pada suhu kamar. Nyamuk A. labrachiae atroparvus memberi respon terhadap aliran udara tersebut dengan melayang-layang atau hinggap pada lubang masuk aliran udara. Willis
(1947) juga menyimpulkan bahwa aroma lengan manusia
merupakan rangsangan yang menarik perhatian nyamuk Ae. aegypti dan A. quadrimaculatus. Daya tarik urine manusia terhadap nyamuk Ae. aegypti, dilaporkan
oleh Roessler (1961) dalam Clements (1963. Reuter
(1936)
dalam Clements (1963), memperoleh hasil negatif dalam meneliti keringat sebagai sumber yang menimbulkan daya tarik nyamuk. Aroma darah sapi dilaporkan mempunyai daya tarik terhadap nyamuk Ae. aegypti empat kali lebih besar daripada air dan plasma darah lima kali lebih besar daripada air (Burgess dan Brown 1957) Visual. Respon visual mempengaruhi nyamuk dalam memilih inang. Bentuk dan pemantulan cahaya serta gerakan inang ternyata merupakan faktor
17
penting, sebab mampu menuntun nyamuk yang aktif mencari darah pada siang hari (Sippel dan Brown 1953). Brown dan Bennet (1981) melaporkan bahwa Ae. aegypti lebih banyak menggigit tangan yang memakai kaos warna gelap dibandingkan tangan yang memakai warna terang. Walaupun faktor visual telah dibuktikan mempengaruhi nyamuk tetapi tidak semua nyamuk tergantung kepada faktor tersebut. Diperkirakan faktor visual berperan penting terutama pada nyamuk yang menggigit di siang hari. Nyamuk Anopheles mulai menggigit pada senja hingga malam hari, berbeda dengan nyamuk Aedes yang menggigit di siang hari (Mattingly 1969).
Perilaku Nyamuk Anopheles Eksofilik adalah sifat atau kebiasaan nyamuk yang menyukai istirahat di luar rumah sampai saat telurnya masak dan siap untuk diletakkan di tempat perindukan. Nyamuk dengan sifat seperti ini menghabiskan sebagian besar siklus gonotrofiknya di luar tempat berlindung manusia . Bagi nyamuk yang bersifat eksofilik, metode penyemprotan rumah yang dewasa ini banyak dilakukan tidak efektif. Hal ini terjadi karena nyamuk Anopheles
yang menjadi sasaran tidak berkontak dengan insektisida yang
disemprotkan. Bentuk pengendalian di luar rumah seperti manajemen lingkungan merupakan cara yang tepat untuk menurunkan populas i vektor yang bersifat eksofilik. Berbeda dengan eksofilk, endofilik adalah sifat atau kebiasan nyamuk yang sebagian besar waktu istirahat dihabiskan di dalam rumah. Sedangkan perilaku kesukaan nyamuk dalam memilih sumber darah yang dijadikan makanan dapat dibedakan menjadi zoofilik dan antropofilik. Zoofilik merupakan aktivitas nyamuk Anopheles yang lebih menyukai darah hewan. Antropofilik adalah aktivitas nyamuk Anopheles dengan preferensi ke darah manusia.Terkait dengan sifat antropofilik, nyamuk Anoph eles dapat menggigit manusia di dalam rumah (endofagik) atau di luar rumah (eksofagik). Nyamuk Anopheles vagus bersifat zoofilik dengan lebih menyukai darah sapi di Desa Hargotirto, Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta (Aprianto, 2002). Sedangkan di lokasi yang sama A. maculatus dan A. balabasensis bersifat antropofilik.
18
Berkaitan dengan lokasi menggigit. Aprianto (2002) tidak dapat memastikan sifat eksofagik atau endofagik dari A. maculatus dan A. vagus. Sedangkan di kecamatan Padang Cermin Lampung Selatan A. vagus bersifat eksofagik (Idram et al. 1993). Jastal
(2005) melaporkan dari delapan spesies nyamuk Anopheles
yang didapatkan di Desa Tongoa, Donggala Sulawesi Tengah, semuanya bersifat eksofagik. Tiga spesies bersifat antropofilik yaitu A. barbirostris, A. nigerrimus dan A. barbumbrosis. Tiga spesies lainnya bersifat zoofilik yaitu A. tesselatus, A. vagus dan A. kochi. Dari enam spesies nyamuk Anopheles yang termasuk kelompok Anopheles gambiae kompleks, dua diantaranya bersifat antropofilik yaitu A. gambiae dan A. arabiensis. Satu bersifat zoofilik yaitu A. quadrimaculatus, sedangkan tiga lainnya A. merus, A. melas, dan A. bwambe bersifat zoofagik dan eksofilik (Eldrigde dan Edman 2000).
Pemanfaatan Ternak dalam Pengendalian Nyamuk Anopheles Pemanfaatan ternak merupakan salah satu cara biologis yang bertujuan untuk mencegah dan menghindarkan kejadian kontak antara nyamuk dengan manusia. Dalam konteks upaya
pengendalian nyamuk sebagai vektor
penyakit, dikenal istilah deviasi vektor dengan melakukan tindakan zooprofilaksis. Tindakan tersebut merupakan perubahan orientasi nyamuk dari menggigit manusia kepada menggigit hewan. Zooprofilaksis oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO 1982) didefinisikan sebagai penggunaan hewan domestik ataupun liar yang bukan inang reservoar dari suatu penyakit tertentu untuk mengalihkan gigitan nyamuk vektor dari manusia sebagai inang penyakit tersebut.. Tindakan zooprofilaksis lebih khusus dilakukan terhadap nyamuk dengan cara menempatkan kelompok te rnak di dekat sumber tempat perindukan nyamuk dalam garis arah terbang nyamuk yang baru muncul menuju kepemukiman penduduk yang terjangkau oleh nyamuk-nyamuk tersebut. Tindakan zooprofilaksis yang direncanakan dan dilakukan seperti itu disebut
zooprofilaksis
aktif.
Sebaliknya
zooprofilaksis
pasif,
yaitu
zooprofilaksis yang tidak direncanakan dan dilakukan dengan sengaja,
19
mempunyai daya mendeviasikan nyamuk vektor yang antropofilik menjadi zoofilik dalam batas tertentu. Pengendalian vektor melalui zooprofilaksis juga sangat tergantung pada peran serta masyarakat. Karena diharapkan mereka yang akan memelihara ternak disekeliling rumah mereka sebagai perlindungan terhadap gigitan nyamuk. Untuk tahap awal peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam menguji-coba ternak yang mempunyai daya profilaksis yang paling tinggi. Penelitian Soedir (1985)
di Pantai Glagah, Yogyakarta terhadap
sejumlah hewan dan manusia menunjukkan ternak mempunyai daya tarik yang besar terhadap nyamuk. Sapi mampu menarik 54,3% nyamuk dengan 20 spesies, domba sebanyak 33,4% nyamuk dengan jumlah 19 spesies. Manusia sebagai pembanding hanya mampu menarik 5,3% nyamuk. dengan sembilan spesies. Daya tarik tiga hewan lainnya yaitu monyet, kelinci serta ayam relatif kecil. Masing-masing hanya menyumbang 1,2% (delapan spesies); 2,1% (sepuluh spesies) dan 3,7% (enam spesies) dari seluruh nyamuk yang tertangkap. Hasil uji presipitin yang dilakukan
Boewono (1986) di Desa
Kaligading, Jawa Tengah menunjukkan 56,04% dari populasi A. aconitus menghisap darah sapi, 23,07% darah kerbau, 13,19% darah domba dan 4,40% darah kambing serta 3,30% darah manusia. Walaupun demikian berdasarkan rata-rata jumlah A. aconitus yang menggigit orang maupun yang beristirahat di dalam rumah menunjukkan daya tarik kerbau dan sapi terhadap jenis nyamuk ini tidak jauh berbeda. Faktor yang membedakan daya tarik kedua ternak tersebut terhadap nyamuk A. aconitus adalah jarak penempatan kandang ternak tersebut dari rumah penduduk. Semakin dekat penempatan kerbau atau sapi terhadap rumah penduduk, semakin banyak investasi nyamuk A. aconitus di dalam rumah Menurut Onori et al. dalam Bruce-Chwatt’s (1985) A. gambiae lebih menyukai darah ternak dan kuda. Di sejumlah negara pecahan Uni Soviet, ternak digunakan sebagai salah satu metode pengendalian malaria. Di bagian Utara Eropa dan sejumlah negara di Amerika Utara, metode zooprofilaksis juga dapat menurunkan kasus malaria yang disebabkan oleh vektor Anopheles lokal di masing-masing daerah tersebut. Beberapa vektor
20
penting malaria di India, Indonesia dan Malaysia juga mempunyai kecenderungan sebagai zoofilik. Melihat kenyataan tersebut, pemberdayaan ternak sebagai barrier terhadap penyakit malaria mempunyai potensi dan prospek yang bagus di masa depan. R iset tentang zooprofilaksis dilaporkan Hewitt (1994) pada kamp pengungsi Afganistan di Pakistan dengan menggunakan seekor sapi dan dua ekor kambing sebagai zooprofilaksis. Namun hasil yang diperoleh adalah peningkatan angka gigitan nyamuk oleh A. stephensi masing-masing 38% dan 50% untuk penggunaan sapi dan kerbau sebagai zoobarrier. Peningkatan angka gigitan nyamuk A. stephensi terjadi karena jenis spesies nyamuk tersebut bersifat antropofilik. Selain itu penyebarannya tidak diatur sedemikian rupa untuk menjadi barrier antara manusia dengan vektor. Sebagai syarat keberhasilan program zooprofilaksis disarankan dua hal. Pertama, jenis spesies nyamuk Anopheles harus bersifat zoofilik. Kedua, ternak tersebut harus disebar dalam bentuk barrier antara nyamuk vektor dan manusia. Namun jika dalam situasi tertentu penyebaran tersebut tidak dapat dilakukan, lokasi penempatan ternak harus sejauh mungkin dari manusia. Dari hasil tersebut Hewitt mengusulkan agar pengertian zooprofilaksis diredefinisi
menjadi ”Penyebaran ternak yang bukan inang reservoar dari
suatu penyakit untuk mengalihkan gigitan nyamuk vektor dari manusia yang menjadi inang penyakit tersebut”.
Pemanfaatan Ternak dan Insektisida dalam Pengendalian Anopheles Pengendalian secara biologi dengan memanfaatkan ternak bertujuan mengalihkan preferensi nyamuk vektor dari manusia ke hewan. Penggunaan hewan diharapkan dapat mengurangi transmisi penyakit malaria. Selain itu dengan mengkombinasikan dengan aplikasi insektisida pada hewan tersebut akan dapat menambah efektifitas pengendaliaan. Kombinasi ternak dan insektisida menurut Rowland et all. (2001) dapat menurunkan
insiden
penyakit
malaria
yang
disebabkan Plasmodium
falciparum sebesar 56% dan Plasmodium vivax sebesar 31%, dengan biaya yang lebih rendah sekitar 80% dibandingkan dengan metode penyemprotan dalam ruangan (indoor spraying).
21
Kombinasi aplikasi insektisida pada ternak tidak hanya menguntungkan bidang kesehatan masyarakat saja, tapi juga memberi keuntungan bagi kedokteran hewan dan ekonomi. Produktivitas ternak dapat ditingkatkan sebagai akibat langsung dari reduksi ektoparasit dan serangga pengganggu lainnya seperti lalat dan nyamuk (Minar et al. 1979; Shaikh et al. 1987; Pegram et al. 1991 dalam Hewitt dan Rowland 1999) Sela in itu terjadi penurunan jumlah penyakit yang ditimbulkan oleh ektoparasit seperti babesiosis, anaplasmosis,dan teileriosis . Pengendalian ektoparasit dengan insektisida diketahui sangat baik dalam meningkatkan produktivitas ( Pegram et al. 1989 dan Nor val et al. 1997 dalam Hewitt dan Rowland 1999). Penggunaan deltametrin untuk pengendalian ektoparasit pada ternak telah banyak digunakan (Beugnet dan Chardonner 1995; Okello dan Onen 1994; Kok et al. 1996 dalam Hewitt dan Rowland 1999). Penggunaan deltame trin sebagai insektisida pengendali ektoparasit tidak berbahaya bagi konsumen dan produk hewan (WHO 1990) Kombinasi ternak dan insektisida tersebut dapat mengurangi transmisi malaria sama baiknya dengan penyemprotan dalam rumah. Secara teknis juga dapat diarahkan untuk mengurangi resiko resistensi yang berkelanjutan. Sehingga dengan keuntungan yang diperoleh tersebut, metode ini dapat menjadi salah satu strategi pengendalian malaria disamping penyemprotan dalam rumah (Hewitt dan Rowland 1999) Deltametrin dan Cara Kerjanya Deltametrin telah digunakan secara luas pada sektor pertanian dan kesehatan masyarakat. Penggunaan deltametrin dalam pengendalian penyakit malaria terutama ditujukan untuk membunuh nyamuk Anopheles dewasa. Di Cina, deltametrin digunakan secara ekstensif sebagai bahan aktif untuk kelambu celup berinsektisida (impregnated bednet) untuk mencegah gigitan nyamuk Anopheles (Rozendaal 1997). Deltametrin diformulasikan dalam bentuk
emulsifiable concentrate (EC) , ultra low- volume
concentrate
(ULV), wettable powder (WP), formulasi tersendiri atau dipadukan dengan insektisida lain.
22
Deltametrin merupakan insektisida sintetis yang termasuk ke dalam golongan piretroid. Pertama kali diisolasi dari tumbuhan Chrysanthemum sekitar tahun 1800 dan mula i dikenal secara luas di seluruh dunia pada tahun 1851 (Matsumura 1975) . Sedangkan deltametrin yang merupakan generasi ke empat dari piretroid di sintesa pertama kali pada tahun 1974 dan mulai dipasarkan tahun 1977. Secara umum, insektisida yang termasuk golongan piretroid bersama dengan DDT dan analognya digolongkan kedalam kelompok racun saraf (neurotoksik) terhadap seranggga dan vertebrata ( Miller dan Adams dalam Coats 1988). Target utamanya adalah saluran natrium pada membran saraf yang berinteraksi dengan akson pada sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Cara kerja piretroid adalah mempengaruhi sistem saraf serangga atau mamalia dengan merangsang sel-sel saraf untuk menghasilkan efek pengulangan (repetitive) yang berakhir dengan kelumpuhan dan kematian. Efek ini disebabkan oleh rendahnya penutupan saluran natrium dalam akson saraf, sehingga natrium bergerak cepat dalam sel-sel dan merubah fungsi akson saraf. Deltametrin termasuk jenis insektisida yang relatif aman terhadap mamalia tapi sangat toksik terhadap serangga, dengan nilai LD50 oral akut 1934 mg/kg BB pada tikus, serta mempunyai tekanan uap 1,5 x-810
pada
suhu 25°C. Deltametrin berwujud tepung yang tidak berwarna dengan titik didih 98°C - 101°C. Insektisida ini larut dalam air pada suhu 20°C dengan komposisi 2 mg/liter dan juga larut pada hampir semua pelarut organik sepert aseton, etanol, sikloheksanon dan xilin . Deltametrin merupakan insektisida golongan piretroid pertama yang tersusun dari isomer t unggal dari delapan stereoisomer yang dihasilkan dari proses esterifikasi. Berdasarkan struktur tersebut, diperoleh rumus kimia deltametrin C 22H19Br 2NO 3. Gambar satu menunjukkan struktur kimia deltametrin. Deltametrin berdasarkan ikatan gamma–aminobutyric acid (GABA) receptor – ionophore complex diklasifikasikan sebagai piretroid Tipe II.
23
Berdasarkan ikatan kimia tersebut tersebut, piretroid sintetis dapat dikelompokkan dalam dua tipe. Piretroid tipe I, (T-syndrome), tidak mengandung gugus kelompok alpa-siano. Tipe II adalah piretroid dengan gugus kelompok alpa-siano atau (CS-syndrome) (Gammon et al. 1982, Gammon dan Casida 1983; Lawrence dan Casida 1983; Lawrence et al. 1985). Perbedaan mendasar dari kedua tipe tersebut adalah tipe I (termasuk alletrin, d-penotrin, permetrin dan sismetrin) merupakan penyebab peningkatan sementara permeabilitas natrium membran saraf selama eksitasi (perangsangan) dengan perpanjangan impuls yang moderat. Rentetan perulangan impuls saraf relatif lebih pendek pada organ indera perasa dan serat saraf sensorik. Sebaliknya, piretroid tipe II menyebabkan peningkatan sementara permeabilitas natrium dari membran saraf selama eksitasi mengalami perpanjangan yang permanen. Ulangan impuls organ saraf yang dihasilkan mengalami rangka ian depresi berkepanjangan, bergantung pada frekuensi impuls dari urat saraf. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok alpa-siano berpengaruh terhadap saluran natrium membran saraf dan menyebabkan peningkatan sementara permeabilitas natrium selama berlangsungnya eksitasi. Sebagai kelompok piretroid tipe II, deltametrin mempunyai karakter yang dikenal dengan choreoathesis ( coarse tremor progressing to sinuos writhing ), sedasi, pengeluaran cairan saliva, dispnoea dan kadang disertai dengan badan tremor dan kelumpuhan (McGregor 2000). Karakteristik deltametrin adalah tindakan eksitasi yang kuat
pada sistem saraf. Hal ini
diperoleh dari interaksi spesifik antara deltametrin dengan saluran natrium pada membran saraf. Sebagai bagian perubahan pada permiabilitas dari membran kepada natrium akibat efek pengulangan, maka akan dihasilkan rangkaian impuls saraf.
24
Gambar 1. Struktur kimia deltametrin , (S) – siano-3-pehoksibenzil (1R)-cis-3-(2,2-dibromovinil)-2,2-dimetilsiklopropan karboksilat Resistensi dan Mekanismenya Resistensi merupakan kemampuan kelompok serangga untuk bertahan hidup terhadap suatu dosis insektisida yang dalam keadaan normal dapat membunuh spesies serangga tersebut ( WHO 1992) Kasus resistensi pertama kali dilaporkan pada lalat rumah Musca domestica terhadap DDT di Swedia pada tahun 1947. Perkembangan resistensi semakin cepat setelah ditemukannya bahan sintetik organik sebagai insektisida dan acarisida. Pada era tahun 1940-an hanya tujuh spesies serangga yang dilaporkan resisten terhadap DDT, tetapi pada era 1980-an jumlahnya meningkat mencapai 447 spesies. Dari jumlah tersebut 59% terdiri dari serangga hama,
38% serangga pengganggu kesehatan hewan dan manusia.
Sedangkan 3% sisanya adalah serangga yang berguna seperti predator dan parasitoid (Georghiou 1986). Menurut WHO (1992 ) sampai saat ini lebih dari 100 spesies nyamuk yang telah resisten terhadap satu atau lebih insektisida. Dari jumlah tersebut, 56 spesies di antaranya adalah nyamuk Anopheles dan 39 spesies Culex. Anopheles yang mengalami proses resistensi tersebut antara lain; A. sacharovi di Lebanon, Iran dan Turki. A. sundaicus di Indonesia dan Myanmar yang resisten terhadap DDT. A. quadrimaculatus di Meksiko resisten terhadap dieldrin .
25
A. aconitus di Indonesia juga mulai resisten terhadap organofosfat (Widiarti 2003). Sementara itu nyamuk Anopheles yang resisten terhadap piretroid adalah A. minimus di Thailand (Chareoviriyaphap et al. 2002 ) dan A. gambiae di Burkina Faso (Diabate et al. 2002) Mekanisme resistensi secara biokimia dapat digolongkan dalam dua kategori yaitu (1) Mekanisme target sasaran dan (2) Mekanisme detoksifikasi berbasis enzim ( Brogdon dan McAllister 1998) Mekanisme target sasaran. Mekanisme ini terjadi ketika insektisida tidak terlalu lama mengikat target sasaran.Target sasaran insektisida organofospat dan karbamat adalah asetilkolinestarase pada sinaps saraf. Sedangkan target sasaran organokhlorin (DDT) dan sintetik piretroid lainnya adalah saluran natrium pada lapisan saraf. Resistensi silang DDT-Piretroid dihasilkan oleh perubahan asam amino tunggal (satu atau kedua target sasaran yang diketahui) dalam ikatan akson yang menjadi sasaran saluran natrium. Resistensi silang tersebut menghasilkan perubahan dalam natrium yang langsung menggerakkan saraf dan menyebabkan sensitivitas piretroid rendah. Hal serupa terjadi pada resistensi siklodien (dieldrin) karena perubahan kode gen nukleotida tunggal pada reseptor gamma -aminobutryc acid (GABA). Sedikitnya terdapat lima tempat mutasi asetilkolinesterase yang mengikat target insektisida dan telah diidentifikasi satu per satu Mekanisme detoksifikasi. Mekanisme ini terbentuk ketika terjadi modifikasi aktivitas esterase, oksidas dan gluthatione S-transferase (GST) sehingga mencegah insektisida mencapai target sasaran. Dalam hal ini sejumlah enzim bertanggung jawab terhadap detoksifikasi xenobiotik dari kehidupan organisme dan terekam oleh rumpun multigen besar yang terdiri dari esterase, oksidase dan GST. Enzim tersebut menyebabkan terjadinya modifikasi mekanisme resistensi yang paling umum pada serangga dengan aktivitas enzim detoksifikasi eseterase. Enzim ini juga punya jangkauan yang luas terhadap metabolisme insektisida. Sebagian besar makhluk hidup mempunyai dua atau lebih golongan GST ganda. Sebagai kelompok dari gen yang mengaktifkan genom dengan cara rekombinasi, GST juga mempengaruhi resistensi insektisida DDT.
26
Jumlah gen GST yang resisten -termasuk bentuk ganda pada serangga yang sama-mempunyai karakteristik khusus ketika bersinggungan dengan serangga vektor. Bioekologi Nyamuk Anopheles vagus Tempat perindukan dan padat populasi. A. vagus tersebar merata di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara (Webster dan Swellengrebel, 1953) Habitatnya hampir merata ditemukan pada setiap ketinggian tempat. Mulai dari pantai dan pesisir sampai daerah ketinggian di lereng-lereng pegunungan. Boewono (1999) menemukan spesies A. vagus di Jawa Tengah pada setiap ketinggian diatas permukaan laut pada kandang kerbau dan sapi. Mulai dari ketinggian 0-50 meter, 51-100 meter, 101-200 meter, 301-400 meter dan pada ketinggian 401-500 meter. Di daerah pantai Banyuwangi, larva A. vagus ditemukan pada habitat lagun dan kobakan (Shinta et al. 2003). Stadium pradewasa dapat ditemukan pada kolam yang mendapat penyinaran langsung dari matahari, selokan, parit, dan kobakan serta sawah yang sedang ditanami padi. Larva sering ditemukan pada kolam air keruh yang tidak terlalu kotor, kadang-kadang pada kolam mata air dan air payau. Tumbuhan yang terapung di atas kolam merupakan tempat perlindungan yang baik bagi larva.(Horsfall 1955, Reid 1968 dan Rao 1981) Kebiasaan hinggap dan istirahat.
Nyamuk dewasa istirahat di dalam
maupun di luar rumah serta di kandang ternak dan di tebing sungai (Reid 1968; Rao 1981; Webster dan Swellengrebel 1953). Kemampuan terbang A. vagus sampai sejauh 600 meter (Lallemant et al. 1932 dalam Horsfall 1955) di Jawa Timur. Perpindahan secara pasif dalam jumlah besar melalui alat transportasi kapal dan kereta terjadi di Bengal India (Sen 1941 dalam Horsfall 1955). Nyamuk tersebut beristirahat dalam mobil dan peti kemas di dalam kapal yang berlayar ke Kalkutta.
Aktivitas menggigit dan pemilihan inang.
Nyamuk A. vagus bersifat
zoofilik. Darah ternak khususnya sapi dan kerbau mempunyai daya tarik yang kuat terhadap aktivitas menggigit spesies nyamuk ini dan hanya sedikit yang
27
menggigit manusia (Reid 1968). Bila dibandingkan antara manusia dan sapi dalam uji aktivitas menghisap darah, sekitar 95% A.vagus memilih darah sapi (Wharton 1951 dalam Horsfall 1955). Di Birma A. vagus ditemukan melakukan aktivitas menggigit setelah tengah malam (Rao 1981).
Anopheles vagus sebagai vektor. Di Indonesia, A. vagus telah dikonfirmasi melalui uji Eliza sebagai vektor malaria (US-NAMRU 2 dalam Sulaiman 2004). Di beberapa negara
lain di kawasan Asia, A. vagus juga telah
dikonfirmasi sebagai vektor malaria, seperti di Bangladesh (Rosenberg dan Maheswary 1982), Filipina (Darsie dan Cagampang–Ramos 1971) dan Cina (Chow 1949). Infeksi buatan yang dilakukan oleh Green (1935) dan Hodgkin (1956) dalam (Reid 1968) untuk P. falciparum pada sembilan spesies dari sub genus Celia
menunjukkan kerentanan A. vagus mencapai 55%. Angka ini lebih
tinggi dari A. kochi, A. maculatus dan A. annularis yang masing-masing berkisar 33%, 29% dan enam persen. Sedangkan rata-rata kerentanan dari sembilan jenis nyamuk tersebut adalah 27%