II. TINJAUAN PUSTAKA A. NYAMUK Aedes aegypti (L) Nyamuk adalah serangga berukuran kecil, halus, langsing, kaki-kaki atau tungkainya panjang langsing, dan mempunyai bagian mulut untuk menusuk kulit atau menghisap darah. Nyamuk tergolong serangga yang cukup tua di alam dan telah melewati suatu proses evolusi yang panjang. Oleh karena itu, insekta ini memiliki sifat yang spesifik dan sangat adaptif tinggal bersama manusia. Nyamuk tersebar di seluruh dunia mulai dari kutub sampai ke daerah tropis, dapat dijumpai pada ketinggian 5000 m di atas permukaan laut sampai pada kedalaman 1500 m di bawah permukaan tanah pada daerah pertambangan (Hadi dan Koesharto, 2006). Di seluruh dunia, dilaporkan terdapat sekitar 3100 spesies dari 34 genus. Anopheles, Culex, Aedes, Mansonia, Armigeres, Haemagogus, Sabethes, Culiseta, dan Psorophora adalah genus nyamuk yang menghisap darah manusia dan berperan sebagai vektor. Di Indonesia terdapat 457 spesies nyamuk, di antaranya 80 spesies Anopheles, 125 Aedes, 82 Culex, dan 8 Mansonia. Sedangkan sisanya tidak begitu mengganggu (Hadi dan Koesharto, 2006). Nyamuk memiliki kecenderungan untuk tertarik pada cahaya, pakaian berwarna gelap, manusia, serta hewan. Hal ini disebabkan oleh perangsangan bau dari zat-zat yang dikeluarkan oleh hewan ataupun manusia, terutama CO2 dan beberapa asam amino. Nyamuk juga senang berada pada lokalisasi yang dekat pada suhu hangat serta lembab (Hadi dan Koesharto, 2006). Nyamuk yang berada di sekeliling rumah kita tumbuh dan berkembang dalam genangan air. Telur yang diletakkan di dalam air akan menetas menjadi larva dalam waktu 1 - 3 hari pada suhu 30 oC, tetapi membutuhkan 7 hari pada 16 o
C. Larva mengalami empat kali pergantian kulit (instar), dan segera berubah
menjadi pupa. Stadium pupa hanya berlangsung selama 2 - 3 hari untuk kemudian berkembang menjadi nyamuk dewasa, tetapi dapat menjadi 10 hari pada suhu rendah, dan tidak akan berkembang pada suhu 10 oC. Nyamuk dewasa jantan memakan nektar atau cairan tumbuhan, dan umumnya hanya dapat hidup selama 6 – 7 hari. Sedangkan nyamuk betina dapat hidup hingga 2 minggu dengan
3
memakan darah manusia atau hewan untuk memproduksi telur (Hadi dan Koesharto, 2006).
Gambar 1. Nyamuk Aedes aegypti (L) (wikipedia.org) Klasifikasi dari Aedes aegypti (L) menurut Christopher (1960) adalah: Kingdom
: Animal
Filum
: Invertebrata
Kelas
: Insekta
Ordo
: Diptera
Subordo
: Nematocera
Famili
: Culicidae
Genus
: Aedes
Spesies
: Aedes aegypti (L).
Nyamuk
Aedes
aegypti
merupakan
antropoda
yang
mengalami
metamorfosis sempurna (holometabola) dalam perkembangan hidupnya. Daur hidupnya dimulai dari telur yang menetas menjadi jentik (larva), kemudian menjadi kepompong (pupa), dan selanjutnya berubah menjadi nyamuk dewasa (imago) (Christopher, 1960).
4
Gambar 2. Daur hidup nyamuk Aedes aegypti (L) (nkoguam.com) Nyamuk Aedes aegypti dapat berperan sebagai vektor penyakit terhadap manusia. Di antaranya adalah demam berdarah dan cikungunya yang telah sering kita jumpai di lingkungan sekitar kita. B. NILAM Pogostemon cablin Benth Nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan tanaman daerah tropis. Di Indonesia, tanaman ini dikenal dengan nama dilem atau nilam (Green Cottage and Electric Soap, 2000). Tanaman ini termasuk famili Labiatae, dan merupakan tumbuhan semak dengan tinggi 0.3 sampai 1.3 meter. Nilam dapat tumbuh dimana saja, baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi (0 – 1200 m dpl), tetapi ia akan tumbuh dengan baik pada ketinggian 10 – 400 m dpl (Suyono, 2001). Di alam bebas, tanaman ini tumbuh tidak teratur dan cenderung mengarah ke arah datangnya sinar matahari. Tanaman nilam berakar serabut, berbatang lunak, dan berbuku-buku. Buku batangnya menggembung dan berair, warna batangnya hijau kecoklatan. Daun nilam merupakan daun tunggal yang berbentuk bulat telur atau lonjong, melebar di tengah, meruncing ke ujung, dan tepinya bergerigi. Tulang daunnya bercabang ke segala penjuru, panjang daun antara 6 – 7 cm, dengan lebar 5 – 6 cm, permukaan atas daun berwarna hijau, dan bagian bawahnya hijau keunguan (Syamsuhidayat et al., 1991).
5
Gambar 3. Tanaman nilam Pogostemon cablin Benth (BALITRO, 2008) Menurut Backer dan Van der Brink (1963), secara umum tanaman nilam memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Solanales
Famili
: Labiatae
Genus
: Pogostemon
Spesies
: Pogostemon cablin Benth
Menurut Guenther (1987), tanaman nilam terbagi atas beberapa jenis, yaitu: 1. P. cablin. Nilam jenis ini terdapat di Filipina, Brazil, Malaysia, Paraguay, Madagaskar, dan Indonesia. Daunnya agak membulat seperti jantung, pada bagian bawah terdapat bulu-bulu rambut sehingga warnanya tampak pucat. Nilam jenis ini jarang sekali berbunga dan memiliki kadar munyak yang tinggi (2.5 – 5.0%) dengan komposisi yang baik. 2. P. heyneanus. Berasal dari India dan sering tumbuh liar di pekarangan rumah atau tempat yang jarang dijamah oleh manusia sehingga disebut juga nilam hutan. Di daerah Jawa, nilam ini disebut nilam jawa. Daun nilam jenis ini lebih
6
tipis daripada nilam jenis P. cablin dengan ujung daun agak runcing. Nilam jenis ini memiliki bunga dan berkadar minyak rendah (0.5 – 1.5%) dengan komposisi minyak yang kurang baik. 3. P. hortensis Packer. Nilam jenis ini hanya terdapat di daerah Banten dan bentuknya mirip dengan nilam jawa, namun tidak berbunga. Nilam ini dapat digunakan sebagai pengganti sabun sehingga disebut sebagai nilam sabun. Bentuknya hampir sama dengan P. heyneanus. Daunnya tipis dengan ujung agak runcing dan tidak berbunga. Kadar minyaknya rendah (0.5 – 1.5%) dengan komposisi minyak yang kurang baik. Nilam jenis P. cablin banyak dibudidayakan untuk produksi minyak nilam. Nilam jenis ini sudah dikenal sejak lebih dari seratus tahun lalu meskipun perkembangannya sangat lambat. Di Indonesia, nilam jenis ini dibudidayakan di beberapa daerah, seperti Sumatera Utara (Tapanuli Utara dan Simalungun), Aceh (Tapak Tuan dan Gayo), Sumatera Barat (Pasaman), Jawa Barat (Sukabumi, Kuningan, dan Garut), Jawa Tengah (Rempoah dan Batu Raden), serta Yogyakarta (Sleman) (Webmaster, 2000). C. MINYAK NILAM Nilam merupakan salah satu dari 150 – 200 spesies tanaman penghasil minyak atsiri di dunia (Guenther, 1987). Minyak atsiri atau minyak eteris adalah minyak yang mudah menguap, dan dapat diperoleh dari tanaman dengan cara penyulingan. Penyulingan adalah proses pemisahan komponen yang berupa cairan atau padatan dari dua macam atau lebih campuran berdasarkan perbedaan titik uapnya (Ketaren, 1985). Kandungan minyak atsiri pada tanaman nilam adalah ± 3%. Walaupun tidak banyak digunakan di dalam negeri, minyak nilam merupakan salah satu komoditi minyak atsiri andalan Indonesia. Industri minyak nilam Indonesia termasuk dalam kriteria sudah berkembang (have been developed). Sebagai komoditi ekspor, minyak nilam memiliki prospek yang baik karena dibutuhkan secara kontinu dalam industri parfum, kosmetik, sabun, farmasi, dan lain-lain. Peranan Indonesia dalam memenuhi konsumsi minyak nilam dunia adalah sekitar 70% (Tasma dan Mansur, 1987).
7
Gambar 4. Minyak nilam (Arif I. 2009) Semua bagian tanaman nilam (akar, batang, dan daun) mengandung minyak atsiri, dengan kandungan yang terbanyak terdapat pada daun muda (ketiga daun dari pucuk). Daun nilam (P. cablin) menghasilkan minyak esensial penting, yaitu patchouli oil. Komposisi penyusun minyak nilam terdiri dari komponen utama (major constituen) dan komponen kecil (minor constituen). Komponen utamanya adalah patchouli alcohol (patchoulol) yang merupakan senyawa seskuiterpen trisiklis. Komponen utama inilah yang biasanya digunakan sebagai pengikat (fixative) pada industri parfum. Komponen lainya antara lain adalah patchouli kamper, azulene, eugenol, benzeldehida, sinamaldedhida, kadinena, dan senyawa terpenoid yang tercampur dengan alkohol, aldehida, keton, ester-ester yang memberi aroma khas nilam, dan senyawa seskuiterpen lainnya (Burkill, 1935). Komponen penyusun yang paling menentukan mutu minyak nilam adalah patchouli alcohol yang kadarnya berkisar antara 20% hingga 40% (Guenther, 1987). Sifat fisik patchouli alcohol dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan rumus bangunnya diilustrasikan dalam Gambar 5, dan rumus kimianya tertera pada Gambar 6.
8
Tabel 1. Sifat fisik patchouli alcohol (C15H26O) Sifat fisik
Nilai
Komposisi pada daun (% (b/b)
20 - 40
Bobot jenis (20/4 oC)
1,0284
Berat molekul
222,37
Putaran optik
-97o42’
Indeks bias (20 oC)
1,5245
Titik didih (8 mmHg)
140 oC
(Guenther, 1987; Nagasampigi, 2001) HO
Gambar 5. Rumus bangun patchouli alcohol (wikipedia.org) - CH2 – C = CH – CH2 – CH2 – C = CH – CH2 – CH2 – C = CH – CH2 CH3
CH3
CH3
Gambar 6. Rumus kimia patchouli alcohol (wikipedia.org) Komponen-komponen lainnya yang terkandung dalam minyak nilam disajikan pada Tabel 2.
9
Tabel 2. Komponen-komponen minor yang terkandung dalam minyak nilam Komponen
Komposisi Titik didih
Berat
Rumus
(% (b/b))
(oC)
molekul
molekul
α-Bulnesene
17
242.25
190.32
C14H22
α-Guaiene
14
242.25
190.32
C14H22
Seychelene
9
259.09
218.38
C16H26
α-Patchoulene
5
245.23
204.35
C15H24
β-Patchoulene
2
248.83
204.35
C15H24
Pogostol
2
274.43
208.34
C14H24O
δ-Cadinene
2
246.84
190.32
C14H22
Nor-Patchoulenol
1
168.88
208.34
C14H24O
Caryophylene Oxide
1
243.18
192.30
C13H20O
Nortetra-patchoulenol
0.001
268.88
208.35
C14H24O
(Nagasampigi, 2001) Syarat mutu karakteristik minyak nilam menurut SNI 06-2385-2006 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Syarat mutu minyak nilam menurut SNI 06-2385-2006 No.
Jenis uji
Satuan
Persyaratan
1.
Warna
-
Kuning muda – coklat kemerahan
2.
Bobot jenis (25 oC/25 oC)
-
0.950 – 0.975
3.
Indeks bias 25 oC (nD20)
-
1.507 – 1.515
4.
Kelarutan dalam alkohol 90%
-
Larutan jernih atau opalensi ringan
o
o
(20 C ± 3 C)
dalam perbandingan volume 1 : 10
5.
Bilangan asam
-
Maks. 8.0
6.
Bilangan ester
-
Maks. 20.0
7.
Putaran optik (£D25)
-
(-48) – (-65)
8.
Patchouli alkohol (C15H26O)
%
Min. 30
9.
α-copaene (C15H24)
%
Maks. 0.5
10.
Kandungan besi (Fe)
mg
/kg
Maks. 25
(Dewan Standardisasi Nasional, 2006)
10
Penelitian ini menggunakan minyak nilam hasil dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Widiahtuti (2008). Penyulingan pada penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan metode uap dan air (water and steam distillation). Selain itu, sistem peningkatan tekanan secara bertahap dilakukan guna meningkatkan efisiensi kerja dari alat penyulingan. Tekanan yang diberikan adalah sebesar 0.5 bar, 1 bar, dan 1.5 bar selama 6 jam. Penyulingan ini dilakukan pada skala Industri Kecil Menengah (IKM) dan skala prototipe. Kadar patchouli alcohol yang dihasilkan pada penyulingan skala IKM adalah 35.54%, sedangkan skala prototipe menghasilkan patchouli alcohol sebanyak 34.45%. Penyulingan dilakukan menggunakan daun dan ranting nilam dengan bobot 154.5 kg
(skala IKM) dan 120 kg (skala prototipe). Rendemen yang
dihasilkan adalah sebesar 2.3% (basis kering) untuk penyulingan skala IKM dan 2.5% (basis kering) untuk penyulingan skala prototipe (Widiahtuti, 2008). Mutu minyak nilam hasil penyulingan tersebut tergolong baik karena sebagian besar hasil pengujian mutu yang dilakukan menunjukkan bahwa minyak nilam tersebut memenuhi standar yang ditetapkan berdasarkan SNI 06-2385-2006. Perbandingan antara mutu minyak nilam hasil penyulingan dengan standar SNI dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.
11
Tabel 4. Perbandingan mutu minyak nilam hasil penyulingan No.
Parameter
1.
Warna
2.
5.
Bobot jenis (25 oC/25 oC) Indeks bias 25 oC (nD20) Putaran optik (£D25) Bilangan asam
6.
Bilangan ester
3. 4.
Kelarutan dalam alkohol 90% (20 oC ± 3 oC) 8. Kadar patchouli alcohol (% PA) (Widiahtuti, 2008)
Kuning kecoklatan
Skala Prototipe Kuning kecoklatan
Kuning muda – coklat kemerahan
0.973
0.953
0.950 – 0.975
1.488
1.414
1.507 – 1.515
(-)53.6
(-)63.8
(-48) – (-65)
1.51
8.21
Maks. 8.0
5.75
35.58
Maks. 20.0
1 : 8.5
1 : 3.5
Larutan jernih atau opalensi ringan dalam perbandingan volume 1 : 10
35.54
34.45
Min. 30
Skala IKM
7.
SNI 06-2385-2006
D. MINYAK NILAM SEBAGAI INSEKTISIDA NABATI Secara umum, insektisida nabati diartikan sebagai suatu insektisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Insektisida nabati relatif mudah dibuat dengan pengetahuan dan kemampuan yang terbatas. Jenis insektisida ini mudah terurai di alam (biodegradable) sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan hewan (Kardinan, 2002). Beberapa keuntungan yang didapat dengan menggunakan insektisida nabati antara lain adalah tidak mencemari lingkungan, lebih spesifik, residunya relatif pendek, dan hama tidak mudah berkembang menjadi resisten (Mardiningsih et al., 1994). Nyamuk Aedes aegypti merupakan hama serangga yang sangat mempengaruhi kehidupan manusia karena berperan sebagai vektor pembawa virus DHF (Dengue Haemorrhagic Fever). Sampai saat ini belum terdapat vaksin yang efektif terhadap virus DHF (Soedarmo dan Sumarmo, 1988). Hal yang sama juga dinyatakan oleh Menteri Kesehatan RI pada Seminar Parasitologi Nasional V dan Kongres P4I tanggal 20 Agustus 1988 di Ciawi Bogor bahwa dunia Kedokteran
12
belum berhasil menemukan teknologi untuk memberantas virus penyebab demam berdarah. Karena itu, upaya pemberantasan DHF ditujukan terutama kepada pengendalian vektornya (Anonim, 1988). Pengendalian dengan tujuan memutus rantai siklus hidup vektor, baik pada tingkat larva maupun pada tingkat dewasa dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu secara kimia, biologi, dan ekologi (Putra, 1995). Pengendalian dapat dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan yang bersifat penolak (repelling agents), pemikat (attractants agents), dan senyawa yang dapat mengendalikan perilaku (behaviour controlling compounds) (Soemartono, 1984). Minyak nilam memiliki bahan aktif seskuiterpen yang dapat berperan sebagai repellant dan penghambat perkembangbiakan nyamuk. Prinsip kerja dari zat penolak (repelling agents) adalah menolak kehadiran nyamuk yang akan menghisap atau meletakkan telur namun tidak membunuh nyamuk tersebut (Putra, 1995). Pengendalian populasi serangga dengan bahan aktif dari tanaman merupakan metode baru yang sedang dikembangkan dewasa ini. Grainge dan Ahmed (1987) menyatakan bahwa senyawa pada tanaman yang bertanggung jawab terhadap efek pestisida adalah saponin, tanin, flavanoid, triterpenoid, sulfur, kumarin, dan steroid. Lebih dari seribu jenis tumbuhan yang mengandung bahan aktif insektisida, diantaranya adalah nilam yang cukup potensial. Peranan minyak nilam sebagai bahan baku insektisida didasarkan atas keberadaan senyawa metabolit sekunder di dalam vakuola yang bersifat merangsang kemoreseptor serangga sehingga tidak disukai. Adanya bahan aktif dalam tanaman nilam menyebabkan tanaman ini tahan terhadap P. brachyurus dengan mekanisme ketahanan terjadi sebelum tanaman terinfeksi (Mustika et al., 2002). Ketaren (1985) menyatakan bahwa komponen penyusun minyak nilam ialah seskuiterpen dan patchouli alcohol (terpen teroksigenasi) yang terdiri dari benzeldehida, eugenol benzoat, sinamaldehida, alkohol, dan semikarbozom. Seskuiterpen tersebut diduga mempengaruhi perkembangan serangga. Sekuiterpen di dalam tanaman Ocimun basilium L. berperan sebagai larvasida terhadap nyamuk Culex sp. (Jacobson, 1989). Patchouli alcohol, pogostol, dan pogoston
13
dalam minyak nilam menunjukkan aktifitas antimikroba terhadap bakteri dan fungi periodontopatik (Van Valkenburg dan Bunyapraphatsara, 2001). Laksmanahardja (2002) mengemukakan bahwa penyulingan daun nilam menghasilkan alkaloid, saponin, dan glikosida yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pestisida dan pewangi ruangan. Menurut Grainge dan Ahmed (1987), senyawa tanin dan triterpenoid dapat berperan sebagai pestisida, sedangkan senyawa lainnya seperti saponin dan flavanoid dapat digunakan sebagai antibakteri dan antikanker. Dalam minyak nilam juga terdapat sejumlah senyawa eugenol yang menurut penelitian Wiratno (1994), penggunaan eugenol 1% ternyata efektif membunuh serangga Stegobium paniceum dan berbeda nyata dengan kontrol (tanpa eugenol). Minyak nilam mampu menekan perkembangan Stegobium paniceum, hama gudang di Indonesia yang menyerang biji ketumbar dan jinten (Kalshoven, 1981). Minyak nilam menekan populasi Stegobium paniceum sebesar 24 – 42% selama 9 hari penyimpanan. Nilam juga dimanfaatkan sebagai pengusir hama ngengat. Daun nilam telah digunakan di Indonesia untuk mengusir serangga dengan menempatkannya di antara pakaian dan dapat digunakan untuk mengusir Thysanura lepismatidae (Dummond, 1960). Bagian akar, batang, dan daun tanaman ini mampu membunuh C. chinensis, Dysdercus koeningii, Sitophilus oryzae, Tribolium castaneum, Stegobium paniceum, Crocidolomia binotalis, dan Spodoptera litura yang merupakan hama tanaman, sedangkan daun dan pucuk nilam dapat digunakan untuk membasmi semut (Formicidae) dan kecoa (Blattidae). Minyak nilam juga mampu menolak beberapa serangga seperti kumbang jagung (Sitophilus zeamais), kumbang buah kering (Carcophilus sp.), kutu daun (Aphid sp.), nyamuk, dan Pseudalatia unipuncta (Soedibyo, 1998). Penggunaan limbah nilam sebagai mulsa pada pertanaman lada dapat menekan populasi kumbang Lophobaris piperis (Wiratno et al., 1991). Tepung daun nilam yang dicampurkan dengan minyak nilam, serbuk gergaji, dan dekstrin dalam bentuk pelet dapat mengusir kumbang jagung Sitophilus zeamais (Mardiningsih et al., 1994). Menurut Undayasari (2002), ekstrak P. cablin di dalam heksana dan dietil eter mampu memberikan presentase penghambatan
14
aktivitas peneluran kumbang lebih dari 90%. Efektivitas limbah padat penyulingan nilam telah diuji pada tahun 2002 terhadap serangga pertanian, sebesar 20% ekstrak limbah penyulingan nilam memberikan mortalitas Heliopeltis dan Ostremia masing-masing 40% dan 30%. E. METANOL Metanol yang juga dikenal sebagai methyl alcohol, wood alcohol, wood naphta, atau juga wood spirits adalah suatu zat kimia dengan rumus molekul CH3OH (juga sering disebut MeOH).
Gambar 7. Rumus bangun metanol (wikipedia.org) Metanol diproduksi secara alami melalui proses metabolisme anaerobik dari berbagai jenis bakteri yang mudah ditemukan di lingkungan sekitar kita. Proses metabolisme tersebut menghasilkan fraksi sederhana dari uap metanol dalam atmosfer (atmospheric methanol). Metanol bersifat biodegradable, dengan bantuan sinar matahari, atmospheric methanol akan teroksidasi oleh oksigen menjadi karbon dan air. Proses oksidasi tersebut dapat kita lihat pada gambar berikut. 2CH3OH + 3O2
2CO2 + 4H2O
Gambar 8. Proses oksidasi metanol (wikipedia.org) Dalam kondisi penyinaran oleh matahari pembakaran dari metanol tidak berwarna, namun pembakaran tersebut dapat dihentikan dengan menggunakan air. Metanol merupakan zat yang beracun bila dikonsumsi oleh manusia. Meminum 10 ml metanol akan mengakibatkan kebutaan, dan meminum sedikitnya 100 ml akan mengakibatkan kematian. Metanol adalah jenis alkohol yang paling sederhana, ringan, volatile, tidak berwarna, dan mudah terbakar. Metanol
15
memiliki aroma yang khas, hampir sama dengan etanol namun lebih ringan dan manis. (National Institute for Occupational Safety and Health, 2008). Karena sifatnya yang berbahaya, metanol hanya digunakan sesekali saja dalam industri pembuatan etanol sebagai denaturant additive. Metanol sering juga disebut wood alcohol (alkohol kayu) karena metanol pertama kali diperoleh sebagai produk sampingan dari proses destilasi destruktif kayu. Metanol merupakan pelarut yang biasa digunakan dalam laboratorium, khususnya untuk HPLC dan UV/VIS spectroscopy. Penggunaan terbesar dari metanol adalah untuk memproduksi bahan kimia lainnya seperti biodiesel, MTBE (methyl tert-butyl ether = gasoline additive), aerosol spray propellant, asam asetat, bahan tambahan LPG, antibeku (antifreeze), dan lain lain. F. HEKSANA Heksana
merupakan
hidrokarbon
alkali
dengan
rumus
molekul
CH3(CH2)4CH3 atau C6H14. Heksana diperoleh dari hasil refinasi (pemurnian) minyak mentah (crude oil). Secara tepat, komposisi fraksinya bergantung pada sumber minyaknya (mentah atau telah berubah) dan kendala-kendala selama refinasi.
Gambar 9. Rumus bangun heksana (wikipedia.org) Heksana adalah suatu isomer yang tidak mudah bereaksi dan kerap kali digunakan sebagai pelarut inert pada reaksi organik karena sifatnya yang sangat nonpolar. Pada suhu ruang (± 27 oC), heksana memiliki tekanan uap antara 160 hingga 180 mmHg. Heksana relatif tidak beracun bagi manusia meskipun dapat mengakibatkan efek bius yang rendah (Hathaway et al., 1991). Heksana sering digunakan untuk campuran bahan bakar dan lem untuk sepatu, kulit, dan atap. Selain itu juga dapat dimanfaatkan sebagai pelarut guna mengekstrak minyak untuk memasak dan sebagai zat pembersih pada industri sepatu, furnitur, dan tekstil. Di laboratorium, heksana digunakan untuk
16
mengekstrak minyak, gemuk (grease) dari air dan tanah sebelum dilakukan determinasi dengan analisis grafimetrtik atau kromatografi gas (Nord, 2003). G. POLYSORBATE 80 Polyoxyethylene sorbitan esters atau umumnya disebut polysorbates, adalah hasil pembentukan reaksi sorbitan esters dengan ethylene oxide. Sorbitan fatty-acid esters (sorbitan esters) adalah sorbitol turunan dari mono dan digliserida yang sangat larut dalam air. Sorbitan fatty-acid esters adalah emulsifier lipofilik yang dapat digunakan dalam emulsi yang lemah berikatan dengan air dan meningkatkan aerasi yang diinginkan (O’Brien, 2004). Ada 3 tipe polysorbate yang diperbolehkan sebagai surfactant dalam jumlah terbatas yaitu polysorbate 60, polysorbate 65, dan polysorbate 80 (O’Brien, 2004). Angka 60 yang mengikuti bagian polyoxyethylene mengacu pada total angka dari gugus oxyethylene -(CH2CH2O)- yang terdapat di dalam molekul. Angka tersebut berhubungan dengan asam lemak (fatty acid) yang berasosiasi dengan bagian polyoxyethylene sorbitan pada molekul. Monolaurate ditandai oleh angka 20, monopalmitate ditandai oleh angka 40, monostearate dengan angka 60, dan monooleate dengan angka 80 (www.wikipedia.com, 2008). Polysorbate adalah emulsifier hidrofilik yang memiliki kemampuan kuat sebagai surface-active agents (surfactants) untuk mengurangi tegangan antarmuka dalam air, minyak, dan campuran lainnya untuk meningkatkan kualitas interaksi antar campuran, dan untuk menaikkan stabilitas emulsi (O’Brien, 2004). Polysorbate 80 adalah jenis surfaktan nonionik dan emulsifier turunan dari polyoxylated sorbitan dan asam oleat. Polysorbate 80 bersifat jernih, cairan berwarna kuning dalam air. Gugus hidrofilik dalam senyawa ini adalah komponen polyether yang dikenal sebagai polyoxyethylene yang merupakan polimer dari ethylene oxide. Pada penamaan polysorbate, beberapa rancangan polysorbate lebih suka pada gugus lipofilik, dalam hal ini asam oleat. Polysorbate 80 sering digunakan untuk mengikat udara dalam campuran dan membuat struktur yang lebih kokoh (Chou, 2005). Polysorbate 80 memiliki nilai HLB (Hidrofil Lipofil Balance) sebesar 15, sehingga dapat digunakan dalam jenis emulsi oil in water (O/W). Kisaran nilai
17
HLB untuk emulsi oil in water (O/W) berkisar dari 8-18. Nilai HLB pada dasarnya merupakan indikasi persentase berat dari bagian hidrofilik molekul emulsifier nonionik. Nilainya yang semakin tinggi menunjukkan bahwa sifat emulsifier yang semakin suka pada air (hidrofilik). Kisaran nilai HLB pada emulsifier nonionik berada pada kisaran nilai 1 - 20. Perubahan dari lipofilik ke hidrofilik pada skala HLB ini terjadi pada nilai HLB 10 (Suryani et al., 2000). Tabel 5 berikut ini menjelaskan mengenai sifat-sifat molekul polysorbate 80. Tabel 5. Sifat molekul polysorbate 80 Sifat Molekul
Keterangan
Nama IUPAC
Polyoxyethylene (20) sorbitan monooleate
Nama lain
Tween 80
Rumus molekul
C64H124O26
Massa molar
1310 g/mol
Densitas
1.06-1.09 g/mL
Titik didih
> 100 °C
Kelarutan dalam air
Sangat larut
Kelarutan dalam pelarut lain Viskositas
Larut dalam ethanol, cottonseed oil, corn oil, ethyl acetate, methanol, toluene 300 - 500 centistokes (25 °C)
Tampilan
Cairan kental berwarna kekuning-kuningan seperti resin dan agak transparan
(wikipedia.org) O O O OH
O z
wO
OH
O O
x
OH y
w + x + y + z = 20
Gambar 10. Struktur Kimia Polysorbate 80 (wikipedia.org)
18
H. PENGUJIAN KUALITAS INSEKTISIDA Pengujian kualitas insektisida meliputi beberapa karakteristik, yaitu pH, berat jenis, kestabilan emulsi, dan uji busa (SNI 02-2722-1992). Pengujian efektifitasnya dilakukan dengan metode uji daya tolak (repelansi) berdasarkan Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida Untuk Pendaftaran yang dikeluarkan oleh Pusat Perizinan dan Investasi/Komisi Pestisida Departemen Pertanian Tahun 2007 Bidang Pengendalian Hama Pemukiman/Rumah Tangga. Uji pH dilakukan untuk mengetahui tingkat keasaman dari produk yang dihasilkan. Informasi mengenai nilai pH ini dibutuhkan karena produk tersebut akan diaplikasikan pada kulit manusia. Produk yang diaplikasikan langsung pada permukaan kulit manusia harus memiliki tingkat keasaman yang aman. Produk yang memiliki pH terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mempengaruhi daya absorbsi kulit sehingga menyebabkan permukaan kulit teriritasi. Menurut Wasiaatmadja, (1997), pH untuk produk tersebut sebaiknya disesuaikan dengan pH kulit, yaitu 4.5 – 7.0. Prinsip pengukuran bobot jenis adalah membandingkan bobot contoh terhadap bobot air pada suhu dan volume yang sama. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan piknometer. Suatu sistem emulsi pada dasarnya merupakan suatu sistem yang tidak stabil, karena masing-masing partikel mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan partikel lainnya. Suatu sistem emulsi yang baik tidak membentuk lapisan, tidak terjadi perubahan warna, dan memiliki konsistensi tetap. Stabilitas atau kestabilan emulsi merupakan salah satu karakter yang penting dan mempunyai pengaruh besar terhadap mutu produk emulsi ketika dipasarkan (Suryani et al., 2000). Pembentukan busa juga menjadi salah satu parameter kualitas dari suatu larutan emulsi. Larutan emulsi yang baik tidak menghasilkan banyak busa saat dilakukan pengocokan ataupun pengadukan, untuk itu perlu dilakukan uji busa. Pengamatan busa stabil yang terjadi dilakukan saat larutan tersebut dikocok. Pengujian efikasi yang dilakukan adalah uji daya tolak (repelansi) terhadap nyamuk Aedes aegypti. Pengujian ini dilakukan berdasarkan Metode Standar Pengujian Efikasi Pestisida Untuk Pendaftaran. Pengujian dilakukan dengan
19
menggunakan kurungan yang berukuran panjang 50 cm, lebar 35 cm, dan tinggi 40 cm, dan berisi 25 ekor nyamuk dewasa (umur 2 – 5 hari, betina, belum menghisap darah). Kurungan terbuat dari kasa nylon berbingkai kawat besi.
20