TINJAUAN PUSTAKA Etiologi dan Karakterisasi C. cassiicola Cendawan patogenik Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.) Wei termasuk ke dalam famili Dematiaceae, kelas Deuteromycetes. Nama genus Corynespora pertama kali digunakan oleh Giissow untuk menamakan cendawan yang diperoleh dari daun dan buah mentimun di Inggris tahun 1906 (Wei 1950). Nama C. cassiicola juga sinonim dengan Hclminthosporium cassiicola Berk. & Curt. yang pertama kali digunakan dalam tahun 1869, Cercospora melonis Cooke (1896), Cor)wespora mazei Giissow (1906), Helminthosporium papuyae H. Sydow (1923), Cercospora vignicola Kawamura (193 1) d m Helminthosporium vignae Olive apud, Bain & Lefebvre (1945). Spesies C. cassiicola (Berk. & Cu1-t.) Wei comb. nov. dipakai oleh Wei ( 1950) untuk merevisi nama C'ercospora melonis, C. vignicola atau Helminthosporium vignae, koleksi cendawan penyebab bercak daun karet (Hevea leaf spot) yang diberi nama Helminthosporium heveae, dan 16 koleksi dalam berkas map Helminthosporium cassiicola di Herbarium I.M.I. (!nternational diperoleh
dari
tumbuhan
inang
yang
Mycological Irzstitute) Inggris yang berbeda
di
negara-negara
tropis.
Helminthosporium papuyae dari pepaya termasuk di antara 16 koleksi yang direvisi. Nama Corynespora digunakan untuk mengatasi kerancuan yang ditimbulkan oleh perbedaan antara nama tipikal He1min;hosp~rium(H. velutinum) dan Cercospora (C. apii), sedangkan nama cassiicola digunakan pertama kali pada Helminthosporium cassiicola Berk. & Curt.
9
Menurut Wei (1950) karakterisasi spesies C. cassiicola ialah sebagai berikut: Cendawan ini bersifat parasitik pada batang, daun dan buah (tetapi kebanyakan pada daun), menyebabkan gejala bercak dengan ukuran diameter yang beragam pada kisaran mulai kurang dari 1 mm sampai 1,5 cm dan bahkan mencapai 2 cm, berwarna pucat sampai coklat kekuning-kuningan dengan zonasi atau bagian tepi benvarna coklat keungu-unguan, dan sering bersifat sekunder. Konidiofora kebanyakan bersifat hipofilus, tegak lurus ke permukaan substratum dari miselium yang muncul melalui epidermis atau biasanya dari hifa udara, kebanyakan tunggal atau kadang-kadang membentuk klaster, sederhana, lurus, agak kaku, bersekat, benvarna coklat gelap, dengan atau tanpa bagian dasar yang membentuk pentolan (bulbous base). sedikit atau sama sekali tidak membengkak pada ujung yang berdinding tebal, proliferasi terjadi secara minimal melalui bekas terlepasnya konidia atau kadang-kadang melalui konidiofora atau konidia yang rusak, mencapai panjang hingga 600 pm atau lebih dan berdiameter 3,8-11,3 pm; proliferasi bergabllng hingga panjangnya beragam, yakni 10-100 x 5,2- 11,4 pm, warna bertambah terang pada bagian ujung . Konidia terbentuk secara tunggal pada bagian ujung, atau membentuk rantai dua sampai enam spora pada kondisi tertentu yang kelembabannya tinggi, dan kadangkadang dihubungkan oleh bagian genting yang hialin ke konidiofora atau ke konidia di bawahnya, berbentuk seperti gada (obclavate), kadang-kadang silindris, lurus atau sering melengkung sedikit, meruncing ke arah ujung yang biasanya berdinding tipis, benvarna coklat olivaseus pucat dan warnanya makin gelap dengan bertambahnya
10
umur, bersekat 6-14, tetapi kadang-kadang 1-2 atau hingga 20 atau lebih, dengan satu
pellicle yang berwarna dan eksospora hialin dan tebal, dan suatu hilum yang mencolok terletak melintang 3,6-7,9 pm, berukuran 32-320 x 8,4-22,4 pm, umurnnya 65,s-181 x 13,6-20 pm, berkecambah dengan tabung kecambah polar. Konidia yang dibentuk pada jaringan turnbuhan hang yang sukulen (polong atau buah muda) berukuran lebih panjang daripada yang berasal dari buah, berwarna terang atau bahkan hialin, ukurslnnya sangat beragam, mencapai panjang 520 pm, tetapi diametemya tetap 9- 13
pm, memiliki pseudosepta 4-20, dan sering membentuk rantai dua sampai tiga konidia.
Kisaran Inang
Kisaran tumbuhan inang C. cassiicola sangat luas. Kurang lebih 122 spesies tumbuhan yang tergolong ke dalam 39 famili telah dilaporkan dapat menjadi inangnya (Tabel Lampiran 1). Sebanyak 16 koleksi isolat C. cassiicola yang dipelajari oleh Wei (1950) berasal dari berbagai spesies tumbuhan inang, sebagai berikut: Carica papaya L., Cassia alata L., Corchorus capsularis L., Crotalaria juncea L., Cucumis sativus L., Glycine max (L.) Merr., Hevea brasiliensis Muell. Arg., Hibiscus esculentus L., H
sabdariffa L., Impatiens balsamina L., Lycopersicon esculentum Mill., Norantea guianensis, Phaseolus vulgaris L., Sesamum indicum L., Tithonia speciosa dan V i p a sinensis L. Di Indonesia jenis turnbuhan hang C. cassiicola yang telah dilaporkan masih terbatas. C. cassiicola dilaporkan pertama kali ditemukan pada tanaman karet dalam tahun 1980 (Soepena 1983) dan pada tanamafi kedelai dalam tahun 1986
11
(Hardaningsih et al. 1987). Cendawan patogen ini juga pernah dilaporkan terdapat pada tanaman pepaya, ubi jalar dan tomat di Irian Jaya (Johnston 1961). Dua spesies gulrna, Borreria alata dan Melastoma af$ne,
yang diinokulasi dengan isolat C.
cussiicola dapat terinfeksi dengan intensitas kerusakan cukup tinggi, berturut-tumt 60 dan 36%. Sedangkan lima spesies lainnya, Axonopus compresus, Euputorium odoratum, Paspalum conjugatum, Mikania cordata dan Lantana camara, terinfeksi dengan intensitas kerusakan ringan, yakni kurang dari 20% (Budiman & Suryaningtyas 1992).
Sebaran Geografi
Sebaran geografi C. cassiicola sangat luas, meliputi negara-negara di berbagai belahan dunia, yakni di wilayah Asia, Afiika, Amerika Utara, Arnerika Tengah, Karibia, Pasifk, Arnerika Selatan, Eropa dan Australia. Dafiar sebaran geografi C. cassiicola pada tumbuhan inangnya ditunjukkan pada Tabel Lampiran 2. Sebaran geografi C. cassiicola pada tanaman pepaya mencakup areal paling luas dibandinghan dengan tumbuhan inang lainnya dan telah dilaporkan dapat ditemukan di berbagai negara, seperti Australia (Silva et ul. 19959, Fiji (Graham 1971), Filipina (Wei 1950), Gold Coast (Ellis 1957), Indonesia (Johnston 1961), Kongo Belgia (Ellis 1957), Malaysia (Thompson & Johnston 1953), Nigeria (Onesirosan et al. 1974), Sierra Leone (Wei 1950), Singapura (Singh 1980), Sri Lanka (Silva et al. 1997), Sudan (Ellis 1957), Thailand (Giatgong 1980) dan Venezuela (Albornett & Sanabria de Albarracin 1995).
13
Spesifisitas Inang Inang spesifik dari C. cassiicola yang menyerang tanaman karet dan tumbuhan lain belum banyak diketahui. Pengujian patogenisitas yang pernah dilakukan dengan menggunakan beberapa isolat dari karet dan isolat dari tanaman lainnya menunjukkan data yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut diperkirakan karena cendawan patogenik h i memiliki keragaman dalam patogenisitas. Di Malaysia isolat C. cassiicola dari karet tidak menirnbulkan geja!a pada pepaya, tomat, slada, kedelai, kakao dan kelapa sawit, sedangkan isolat dari pepaya hanya menginfeksi pepaya saja (Chee 1988).
Hasil tersebut berbeda dengan isolat dari karet asal .Taws Barat, CcCio, yang ternyata dapat menginfeksi kedelai hingga mencapai tingkat kerusakan daun sebesar 66% (Suwarto 1989). Isolat yang digunakan oleh Chee (1988) tersebut tampaknya mirip dengan isolat dari karet asal Sumatera Utara, CcSP, yang hanya spesifik menginfeksi tanaman karet saja. Pengujian spesifisitas inang dari 28 isolat C. cassiicola asal 20 tumbuhan inang dari Amerika Serikat, Meksiko dan Nigeria telah dipelajari oleh Onesirosan et al. (1974). Beliau menggunakan tanaman uji yang terdiri atas delapan spesies tanaman, yaitu cowpea (Vigna unguiculata [L.] Walp.), kapas (Gossypium hirsutum L.), kedelai (Glycine max [L.] Merr.), mentimun (Cucumis sativus L.), pepaya (Carica papaya L.), terung (Solanum melongena L.), tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) dan wijen (Sesamum indicum L.).
Hasil percobaan meilunjukkan bahwa isolat-isolat C.
cassiicola memiliki spesifisitas hang yang berbeda-beda yang dapat digolongkan ke dalam delapan kelompok. Enam isolat yang berasal dari kedelai, lima dari Meksiko
14
dan satu isolat dari Amerika Serikat, memiliii virulensi yang tinggi pada kedelai, wijen, terung dan kapas, sedangkan satu isolat lainnya asal kedelai di Amerika Serikat memiliki virulensi yang tinggi pada tomat dan terung namun bervirulensi rendah pada kedelai. Beberapa isolat yang berasal dari tumbuhan hang non ekonorni tampaknya berpotensi sebagai sumber inokulum primer bagi tanaman budidaya yang diuji. Isolat
C. cassiicola dari Calopogonium mucunoides Desv. dan nodeweed (Synedrella nodlj7ora [L.] Gaertn.) dapat menjadi sumber inohlum yang potensial bagi tanaman budidaya tornat dan terung, sedangkan isolat dari Aspilia africana (Pers.) C.D. Adarns dan isolat dari Lepistemon sp. merr~punyaivirulensi yang tinggi pada kapas. Toksin C. cassiicola Dalam mekanisme patogenisitasnya C. cassiicola diketahui menghasilkan toksin yang dapat terbentuk secara in vitro setelah isolat cendawan tersebut dikulturkan pada medium cair sintetik Modified Alterncria Medium (MAM) (Onesirosan et al. 1975, Suwarto 1989) atau dikulturkan pada medium Czapeck yang dimodifikasi (Breton et
al. 1996). Medium cair sintetik MAM adalah medium cair dengan komposisi senyawasenyawa kimia sintetik defmitif untuk pertumbuhan kultur Alternaria raphani, A.
brassicae dan A. brassicicola yang diformulasi oleh Taber, Vanterpool dan Taber (1968). Untuk menumbuhkan isolat C. cassiicola yang berasal dari tanaman tornat dalam rangka memproduksi ioksin, MATd dimodifikasi dengan cara menghilangkan sumber vitamin-vitamin (Onesirosan et al. 1975). Berdasarkan percobaan Onesirosan et al. (1975), kondisi optimum untuk pembentukan toksin dicapai pada temperatur 24-28 O C , pH medium 6-7, kadar glukosa
15
medium 3-15 % (blv) dan periode inkubasi 12 hari.
Percobaan dilakukan tanpa
penggoyangan dengan menggunakan 25 ml MAM dalam tabung Erlenmeyer bervolume 125 ml atau 50 ml MAM dalam tabung Erlenmeyer bervolume 250 ml. Produksi toksin isolat C. cassiicola dilaporkan oleh Onesirosan et al. (1975) berkorelasi positif dengan pertambahan berat kering miselium selama periode inkubasi antara 4-16 hari. Dari 28 isolat C. cassiicola dengan virulensi yang berbeda-beda berdasarkan uji patogenisitasnya (enam isolat sangat virulen, delapa~isolat kurang virulen dan 14 isolat non-patogenik), isolat C. cassiicola yang sangat virulen dilaporkan menghasilkan toksin yang sangat &if, sedangkan isolat non-patogenik tidak menghasilkan toksin yang potensial untuk menimbulkan kerusakan pada jaringan tmaman. Dalam percobaan produksi toksin yang dilakukan Suwarto (1989) dengan menggunakan 50 ml MAM dalam tabung erlenmeyer bervolume 250 ml pada kondisi optimum yang dilaporkan Onesirosan et al. (1975), toksin yang sangat aktif dapat terdeteksi dalam filtrat kultur isolat C. cassiicola yang berasal dari tanaman karet dan kedelai. Fitotoksisitas toksin diuji berdasarkan bioasai secara silang pada daun kedila tanaman tersebut dan ternyata toksin bersifat spesifik inang. Toksin yang dihasilkan isolat dari tanaman karet dapat menimbulkan kerusakan berat pada daun karet rentan tetapi hanya menimbulkan sedikit kerusakan pada daun kedelai. Sebaliknya, toksin yang berasal dari tanaman kedelai hanya menimbulkan kerusakan pada daun kedelai dan sama sekali tidak menimbulkan kerusakan pada daun karet.
Aktivitas toksin
sangat berkurang setelah filtrat dipanaskan pada 121 "C selama 30 menit. Dua isolat
16
C. cassiicola yang diuji, yakni isolat dari karet dan kedelai, mencapai perturnbuhan optimum berat kering rniselium pada 12-14 hari setelah inkubasi pada 26 OC. Dari hasil percobaan Breton et al. (1996), toksin C. cassiicola yang dimurnikan dan dinamakan cassiicoline, diketahui tergolong sebagai glikoprotein yang larut dalam air. Penentuan berat molekul toksin tersebut tampaknya mengalami beberapa kendala. Berdasarkan pemurnian yang dilakukan mereka dengan tahapan filtrasi 0,22 pm, kromatografi DEAE, filtrasi gel (ACA 202 dan TSK G 3000 SW) dan SDS-PAGE, toksin dilaporkan mempunyai berat molekul
+ 6,5
kDa (Breton, Garcia, Sanier,
d'Auzac & Esbach 1996), tetapi pada laporan berikutnya toksin tersebut dinyatakan memiliki berat molekul21 kDa (Breton & d' Auzac 1999), dan terdiri atas tiga peptida yang masing-masing non-toksik, yakni 8,8, 7,l dan 5,9 kDa. Kelebihan perkiraan berat molekul toksin tersebut dinyatakan telah terjadi. Pada penetapan dengan spektrometri masa, toksin dilaporkan mempunyai berat molekul riil2,886 kDa (Breton 1997). Inaktivasi Toksin
Berdasarkan penelitian Breton (1997) toksin yang dihasilkan oleh isolat C. cassiicola diketahui bersifat termo-stabil. Sebanyak 1 pglml casiicoline yang dipanaskan dalam otoklaf pada 120 OC selama 15 dan 30 menit masih mengakibatkan fitotoksisitas 60%. Pada percobaan yang pernah dilakukan oleh Suwarto (1989) filtrat kultur C. cassiicola isolat Cc-SP yang berasal dari tanaman karet mengalami kehilangan aktivitas toksin setelah diberi perlakuan pemanasan pada 121 OC selama 30 menit.
17
Inaktivasi toksin dengan menggunakan bahan kirnia tertentu atau senyawa biokimia yang ada di dalam pohon karet belum pernah dilakukan. Toksin diduga dapat diinaktifkan oleh senyawa-senyawa kirnia terrnasuk protein-protein yang terdapat di dalam lateks. Beberapa klon karet menunjukkan resistensi yang tinggi dan bahkan imun, sedangkan beberapa klon lainnya sangat rentan. Protein-protein tertentu yang terdapat dalam lateks telah diketahui dapat berperan sebagai pathogenesis related proteins (PR-proleinslprotein-protein yang terlibat dalam patogenesis). Lateks H. brasiliensis memiliki konsentrasi protein yang tinggi, yaitu 71 pglg karet kering dan
33% dari protein tersebut terdapat di dalam fiaksi lutoid (Siswanto 1999). Protein yang terdapat di dalam organel lutoid lateks telah banyak dipelajari fungsinya dalam hubungannya dengan patogenesis sebagai pertahanan metabolik tanaman (Subroto 2000; Parisj et al. 1991). Hevein, protein dorninan yang merupakan 70% dari total protein lutoid (Archer et al. 1969), dilaporkan oleh Parisj et al. (1991) sebagai protein pengikat kitin (chitinbinding protein) yang bersifat antifungi terhadap beberapa cendawan, antara lain Botrytis cinerea, Fusarium culmorum, F. oxysporum, Phycomyces blakeslecanus, Pyrenophora tritici-repentis, Pyricularia oryzae, Setoria nodorum dan Trichoderma hamatum. Hevein diketahui memiliki berai molekul rendah 4,7 kDa (Archer et al. 1960) dan sekuens asam aminonya telah dilakukan oleh Waluyono et al. (1975). Selain hevein, protein-protein lain yang terdapat di dalam lutoid telah diisolasi dan dipelajari fungsinya oleh Subroto (2000) yang dapat digolongkan menjadi dua, PRprotein dan non PR-protein. PR-protein terdiri atas tiga kelompok, yakni (i) protein
18
dengan berat molekul 25 kDa yang bersifat menghambat pertumbuhan cendawan, (ii) kelompok protein dengan berat molekul29 kDa, yang terdiri atas hevamin A, hevamin
B dan hevamin X, masing-masing berturut-turut memiliki titik isoelektrik 9,9, 10,5 dan 9,3 yang bersifat menghambat pertumbuhan cendawan, memiliki aktivitas kitinase d m lisozirn, dan terinduksi oleh infeksi patogen, dan (iii) kelompok protein dengan berat molekul 35 kDa yang bersifat menghambat pertumbuhan cendawan, memiliki aktivitas P-1,3-glukanase, dan juga terinduksi oleh infeksi patogen. Non PR-protein terdiri atas dua jenis, yaitu protein dengan berat molekul25 kDa dan protein 43 kDa.
Stndi 1 PRODUKSI IN VITRO TOKSIN ISOLAT Corynespora cassiicola DAN TOKSISITASNYA PADA DAUN KARET 1.1 Pendahuluan Dalam sejarah budidaya tanaman karet selama lebih dari 100 tahun di Indonesia, PGDC memberikan pengalaman masalah penyakit yang paling dramatis. Tanaman karet klonal RRIC 103 diketahui sebagai salah satu klon yang paling rentan di antara klon-klon karet yang pernah ada. Klon yang diintroduksikan dari Sri Lanka pada tahun 1974 ini pernah ditanam dalam skala percobaan di berbagai lokasi bersamasama dengan 23 klon karet pertukaran multilateral antar negara-negara yang bergabung dalarn Association of Natural Rubber Producing Countries (ANRPC), antara lain di Kebun Percobaan Sungei Putih, Perkebunan Paya Pinang, dan Perkebunan Dolok Ulu masing-masing di Propinsi Sumatera Utara, Perkebunan Cikumpay di Jawa Barat, dan Perkebunan Ngobo di Jawa Tengah (Alwi & Sagala 1990). Pada dasarnya karet klon RRIC 103 memiliki potensi produktivitas hasil yang thggi. Data hasil karet kering yang dicapai pada tahun sadap ke delapan adalah 2.298 kg/ha seperti yang pernah dilaporkan di Sri Lanka sehingga klon tersebut diklasifhikan sebagai klon rekomendasi Kelas I (Perries & Fernando 1983). Namun, dengan adanya kejadian epiderni PGDC pada tahun 1980an klon tersebut turnbuh sangat merana di sebagian besar lokasi percobaan tersebut kecuali di Kebun Ngobo. Di Kebun Percobaan Sungei Putih, lingkar batang klon tersebut tidak dapat
20
mencapai kriteria untuk dapat disadap meskipun tanaman telah berumur tanaman 8 tahun (Soepena 1983). Di Indonesia seiring dengan perkembangan penanaman karet secara ekstensif di berbagai lokasi, diketahui banyak juga klon mengalami kerusakan yang sangat parah akibat PGDC. Klon-klon tersebut, antara lain KRS 21, PPN 2058, PPN 2444, PPN 2447, clan RRlM 725. Perkembangan selanjutnya menunjukkan GT 1 yang ditanam pada tingkat skala yang paling luas ternyata di beberapa lokasi dilaporkan terkena PGDC dengan kerusakan yang berat (Suwarto et al. 1996).
Di Malaysia, kondisi
yang sarna terjadi pada klon RRIM 600 yang skala pefianamannya juga paling luas (Tan et al. 1992). Gejala kerusakan yang sangat berat akibat PGDC ialah tanaman meranggas sepanjang waktu sehingga terjadi stagnasi pertumbuhan lingkar batang. Akibat gugu daun yang berlangsung terus-menerus, tanaman tidak pernah mencapai kriteria untuk dapat disadap hasil lateksnya selama masa pertumbuhan tanaman. Saat ini PGDC dapat dikatakan berhasil dikendalikan meskipun patogen penyebabnya mash endemis berada di pertanaman karet. Keberhasilan pengendalian PGDC tersebut dicapai melalui upaya-upaya intensif dan terpadu yang dilakukan secara terus menerus dengan nleningkatkan kewaspadaan yang tinggi. Peningkatan perhatian secara khusus dari tahm ke tahun dilakukan melalui monitoring intensif perkembangan penyakit pada klon-klon karet dan kegiatan penelitian-penelitian di laboratorium dan di lapangan. Konsultasi teknis dengan pihak praktisi perkebunan sering diadakan. Koordinasi dengan lembaga-lembaga penelitian antara negara
21
penghasil karet dibangun melalui lokakarya-lokakarya dan pelatihan-pelatihan untuk berbagi pengalaman mengenai perkembangan penyakit dan hasil-hasil penelitian yang diperoleh. Selain pada tanaman karet, diduga C. cassiicola terdapat pada hang alternatif lain di lingkungan pertanamail karet. Telaah tumbuhan hang alternatif di lingkungan pertanaman karet ini belum banyak dilaporkan, padahal tumbuhan hang dapat menjadi sumber inokulum primer di wilayah pengembangan budidaya karet. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeternlinasi kisaran hang C. cassiicolcr di areal pertanaman karet dan sekitarnya. Faktor yang bzrperan dalam pengguguran daun dalam ha1 ini ialah tingkat sensitivitas tanaman terhadap toksin yang dihasilkan oleh C. cassiicola. Pada klonklon karet yang sangat rentan seperti misalnya RRIC 103, pengguguran daun akan terjadi secara terus-nlenerus selama interaksi antara tanaman dan patogen masih berlangsung. Cendawan patogenik ini tergolong dalam famili Dematiaceae yang beberapa spesiesnya diken~lsebagai penghasil toksin. Toksin yang dihasilkan C.
cassiicola dinamakan cassiicoline dan diketahui bersifat spesifik inang. Hal yang menjadi masalah adalah bahwa C. cassiicola xnemiliki kisaran hang yang sangat luas, sebanyak 122 spesies tumbuhan telah dilaporkan dapat menjadi inang bagi C.
cassiicola (Suwarto et al. 2000). Diduga, kemampuan isolat-isolat C. cassiicola dalam menghasilkan toksin akan berbeda-beda tingkat aktivitasnya. Deinikian pula tingkat aktivitas toksin yang dihasilkan juga akan berbeda.
22
Penelitian ini bertujuan memperoleh isolat-isolat C. cassiicola dari hang karet
dm non karet dan menguji kemampuan isolat-isolat tersebut dalam menghasilkan toksin in vitro. 1.2 Metode Penelitian Sebanyak 18 spesies tumbuhan selain karet yang kemungkinan merupakan hang diamati di lapangan untuk mengetahui adanya sermgan C. cassiicola. Isolat-isolat yang digunakan dalam percobaan produksi toksin ditunjukkan pada Lampiran 3. Bahan tanaman karet, bahan kirnia, alat-alat dan bahan penolong lainnya yang digunakan disebutkan dalam metodologi. Penelitian dilaksanakan di lapangan dan laboratorium mulai Oktober 1999 sanlpai April 2003.
1.201 Monitoring Penyakit Gugur Daun Coryilespora di Lapangan Pengamatan sermgan C. cassiicola di lapangan dilakukan di dua lokasi, yaitu (i) di Pulau Jawa khususnya Provinsi Jawa Barat dengan fokus pengamatan pada vegetasi dan gulma yang terdapat di kota Bogor dan sekitarnya, areal pertanaman tomat di Cipanas dan Lembang, dan areal pertanaman karet di Kebun Percobaan Getas, Jawa Tengah, dan (ii) di Sumatera Utara dengan fokus pengamatan pada vegetasi dan gulma yang terdapat di areal pertanaman karet di Kebun Percobaan Sungei Putih dan areal pembibitan kelapa sawit di Kebun Percobaan Aek Pancur dan Kebun Percobaan Marihat .
23
Dalam percobaan ini sejumlah bahan tanaman karet clan non karet digunakan sebagai bahan pengamatan mengenai adanya patogen C. cassiicola. Pertanaman karet yang diamati terdiri atas klon-klon sebagai berikut: BPM 24, BPM 101, BPM 102, BPM 107, BPM 109, BPPJ 1, BPPJ 2, BPPJ 3, BPPJ 5, GT 1, IAN 873, PB 217, PB 235, PB 260, PB 330, PPN 2058, PPN 2444, PPN 2447, PN 2506, PR 261, PR 300, PR 303, PR 400, PR 401, PR 403, RRIC 103, RRIM 600, RRIM 712, TM 2, TM 5, Th16 dan TM 8. Tanaman contoh yang spesiesnya telah tercatat menjadi hang bagi C. cassiicola dan rnenunjukkan gejala penyakit dikumpulkan dari lokasi pengamatan. Dafiar hang
C. cassiicola ditunjukkan pada Lampiran 1. Pengamatan struktur patogen dilakukan dengan mikroskop binokuler elektrik di laboratorium dengan cara membuat spesimen sementara pada gelas preparat dan melakukan pengamatan secara langsung. Spesimen sementara tersebut dibuat dengan cara meneteskan akuades yang mengandung larutan deterjen (2-3 tetes larutan deterjed100 ml akuades) pada permukaan bawah atau atas setiap helaian daun contoh yang menunjukkan gejala penyakit. Beberapa menit kemudian genangan akuades di permukaan helaian daun tersebut diaduk ringan dengan ujung pipet transfer dan dipindahkan pada gelas preparat untuk diamati pada mikroskop. Untuk menggambarkan status C. cassiicola di pertanaman karet, kejadian penyakit diarnati pada sejumlah areal pembibitan batang bawah (rootstocks) karet. Kejadian penyakit ini akan menggambarkan endemi PGDC di suatu wilayah. Sejumlah contoh tanarnan ditentukan berdasarkan pengambilan sampel secara
24
sistematik dan pengamatan dilakukan pada daun-dam yang kemungkinan bergejala serangan C. cassiicola pada setiap pohon. 1.202 Pengukuran konidia C. cassiicola Identifikasi spesies C. cassiicola dilakukan berdasarkan karakterisasi yang dideskripsikan oleh Wei (1950) dengan mengamati bentuk dan menentukan ukuran konidia. Ukuran konidia ditentukan dengan mengamati preparat berisi suspensi konidia C. cassiicola.
Pengamatan dilakukan di Laboratorium Mikroba Balai Penelitian
Bioteknologi Perkebunan Bogor dengan menggunakan mikroskop binokuler. Suspensi konidia dibuat dari beberapa sumber, yaitu (i) bagian daun tanaman yang menunjukkan gejala penyakit secara alami di lapangan, (ii) kultur pada medium PDA, atau (iii) gejala yang timbul pada jaringan daun yang diinokulasi secara buatan. Suspensi konidia dibuat dengan cara meneteskan akuades yang mengandung larutan deterjen pada permukaan bawah dan atas setiap helaian daun yang menunjukkan gejala penyakit. Setelah beberapa menit, akuades di permukaan helaian tersebut diaduk ringan dengan ujung pipet transfer dan dipindahkan pada kaca preparat dan langsung diamati di bawah mikroskop. Untuk mendapatkan gejala penyakit secara buatan, inokulasi buatan dilakukan dengan cara menempelkan pada pertengahan helaian daun setiap potongan miselium berdiameter 5 rnm isolat-isolat C. cassiicola dari medium PDA. Kelembaban helaian daun yang telah diinokulasi dijaga dengan cara menyungkupnya dengan plastik
25
selama 2 hari sehingga terjadi pembentukan gejala penyakit. Bagian titik inokulasi yang rnasih menyisakan inokulum diamati konidianya dengan cara meneteskan akuades yang mengandung larutan deterjen seperti disebutkan di atas. Konidia diarnati pada perbesaran 200 kali (10 kali perbesaran pada lensa okuler, dan 20 kali pada lensa objektif).
Ukuran lebar ditentukan pada bagian terlebar
konidia yang berbentuk seperti gada terbalik. Konidia yang diamati ditentukar, hanya konidia yang tarnpak utuh dan tidak berkerut, terletak soliter atau tidak berhimpitan satu sama lain, tidak menempel pada konidiofora dan tidak berkecambah. Untuk menghindari pengulangan pengukuran, bidang pandang mikroskop digeser secara sistematik ke satu arah mulai dari salah satu sudut gelas penutup preparat. Ukuran dalam satuan pm diketahui berdasarkan konversi satuan strip mikrometer yang dipasang di bawah salah satu lensa okuler setelah ditera dengan menggunakan kaca objektif yang memiliki satuan ukuran pm standar. Peneraan dilakukan dengan cara menghitung masing-masing banyaknya strip dari bayangan yang dibentuk oleh strip-strip kaca rnikrometer di bawah lensa okuler dan banyaknya strip dari bayangan yang dibentuk oleh strip-strip kaca mikrometer objektif standar yang terletak dalam posisi sejajar.
Batas perhitungan dimulai pada strip yang saling berhimpitan di
sebelah kiri dari kedua kaca mikrometer sampai pada strip yang berhimpitan berikutnya ke arah kanan. Dengan demikian perhitungan konversi dapat dilakukan dengan membandingkan secara proporsional banyaknya strip antara kedua kaca mikrometer.
1-2-3 Preparasi Isolat
Biakan murni cendawan diperoleh dengan melakukan isolasi melalui penanaman jaringan terinfeksi. Potongan-potongan jaringan daun ditanam pada medium padat agar dekstrosa kentang (potato dextrose agarlPDA) di dalam cawan petri setelah sebelurnnya jaringan daun tersebut dibersihkan dengan etanol 70%. Miselium cendawan yang tumbuh disubkultur pada PDA yang baru untuk mendapatkan isolat murni. I s ~ l a tmurni yang diperoleh dikulturkan pada agar miring di dalam tabung reaksi dan disimpan pada suhu kamar. Untuk pemeliharaan isolat-iso lat, subkultur dilakukan secara periodik pada cawan petri untuk mempertahankan kelangsungan perturnbuhannya.
1.2-4 Produbi Toksin Produksi toksin dilakukan secara in vitro dengan menggunakan medium cair sintetik modijkd alternaria medium (MAM) yang dimodifikasi dengan cara menphilangkan sumber vitamin-vitamin seperti yang dilaporkan oleh Onesirosan et al. (1975). Komposisi MAM terdiri atas tiga bagian. Banian 1, sumber karbon: 15 g glukosa dilarutkan dalam air bebas ion menjadi 100 rnl. Bagian 2, nitrogen basal dan garam-garam: 1,5 g amonium suksinat, 1,5 g K2HP04, 1,5 g KH2P04, 300 mg MgS04.7H20, 20 mg FeS04.7H20, dilarutkan dalam air bebas ion menjadi 800 ml. B a ~ i a n3, stok larutan garam: 595 mg CaC12.H20, 440 mg ZnS04.7H20, 275 mg MnS04.H20, 255 mg NaC1, 26,9 mg CuC12.7H20 dan 182 mg (N&)6M07024.4H20, masing-masing dilarutkan dalam air bebas ion secara terpisah menjadi 100 rnl. Setiap
27
1 rnl stok larutan garam (Bagian 3) ditambahkan ke dalam 40 ml larutan nitrogen basal dan garam-garam (Bagian 2) dalam tabung erlenmeyer volume 300 ml dan disterilkan dengan otoklaf pada suhu 121 "C selama 20 menit.
Secara aseptik
campuran tersebut ditambah dengan 10 ml larutan glukosa (Bagian 1) yang telah disterilkan dengan cara yang sama. Setiap tabung erlenmeyer yang telah berisi MAM diinokulasi dengan dua potongan miselium berdiameter 6 rnrn isolat-isolat cendawan berun~ur 10-14 hari yang dikulturkan pada medium. Inkubasi dilakukan pada temperatur 24-28 "C yang optimum bagi pembentukan toksin. Ada dua rangkaian percobaan yang dilakukan untuk mengetahiii adanya aktivitas toksin. Percobaan Pertama: Enam isolat cendawan digunakan sebagai percobaan pendahuluan, yalcni tiga isolat C. cussiicolu asal daun karet (isolat C C ~ ~ M . , ~ ~ S ~ C C I A N ~ ~ ~dan SUO CCRRICIO~SUO~OO), ~OO dua isolat
daun pepaya ( C C P ~ ~ ~ ~dan SUO~OO
C ~ ~ ~ ~dan ~ satu ~ ~isolat ~ ~pembanding 4 0 0 ) asal daun ubikayu (ChUbi~ay~SU0400). Isolatisolat cendawan tersebut ditumbuhkan dalam tabung erlenmeyer 300 ml dengan 50 ml
MAM tanpa ulangan. Sebanyak 2 ml filtrat contoh diambil secara aseptik dua hari sekali dari medium yang telah berisi kultur cendawan mulai umur 4 hati sampai 16 hari setelah diinkubasikan dalam tabung erlenmeyer. Pengambilan filtrat contoh dilakukan dengan menggunakan microsyringe volume 5 ml. Sebelum digunakan untuk bioasai, filtrat contoh tersebut difiltrasi dengan filter Millipore berukuran porositas 0,22 pm (nomor katalog GSWP 013 00) dan disimpan dalam aliquot pada temperatur -20 "C. Untuk mengetahui adanya aktivitas toksin, setiap filtrat contoh diuji fitotoksisitasnya pada daun karet klon yang rentan berdasarkan bioasai in planta.
28
Percobaan Kedua: Empat isolat C. cassiicola asal daun karet (C~1~~873~~0400, C ~ 1 ~ ~ 8 7 3 ~ ~C0 C 7 0G2T, I S U O dan ~ OC~ ~ ~ ~ ~ 6 0 0 ~ dan ~ 0 7satu 0 2 ) isolat ma1 daun pepaya (
C
C
~digunakan ~ ~ dalam ~ ~perco ~ baan ~ ini.~ Isolat-iso ~ ~ lat~ C. )cassiicola tersebut
ditumbuhkan dalam tabung erlenmeyer 300 rnl dengan 50 ml MAM masing-masing dengan tiga ulangan. Peubah yang diamati adalah berat kering miselium pada akhir inkubasi, pH dan warna filtrat, dan tingkat aktivitas toksin. Pengukuran berat kering miselium dan pH filtrat dilakukan setelah filtrat dipanen pada hari akhir masa inkubasi, sedangkan tingkat aktivitas toksin ditentukan pada tanaman karet klon yang rentan berdasarkan uji bioasai in planta. 1-25 Bioasai in Planta untuk Uji Fitotoksisitas Toksin
Aktivitas toksin ditentukan berdasarkan metode bioasai in planta (BiP). Metode ini dimodifikasi dari metode bioasai toksin yang selama ini dilakukan dengan menggunakan daun-daun yang dipetik (Onesirosan et al. 1975;
Breton 1997;
Situmorang 2002). Pada metode BiP daun-daun yang masih berwarna hijau muda digunakan dengan tanpa dipetik. Tanaman karet klon rentan RRIC 103, PPN 2444 dan PPN 2447 ditumbuhkan di polibeg berukuran 25x40 cm. Sebanyak 5 p1 filtrat contoh atau larutan toksin yang telah dimurnikan diteteskan dengan microsyringe berkapasitas 25 pl pada anak tulang daun karet di kiri dan kanan tulang daun utarna.
Sebelum penetesan, pelukaan dibuat dengan ujung jarum
microsyringe tersebut untuk membantu filtrat atau larutan toksin agar masuk ke dalam
jaringan daun. Gejala penyakit berupa nekrosis khas menyerupai gejala akibat infeksi alamiah C. cassiicola yang tirnbul dengan jelas pada 2 hari setelah inokulasi diamati dan diukur berdasarkan kategori kerusakan yang ditentukan dalam enam skala seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Deskripsi kategori kerusakan daun akibat aktivitas toksin Corynespora cassiicola Skala kerusakaa 0
Deskripsi kategori kerusakan daun Tidak ada gejala yang terlihat pada titik inokulasi atau timbul titik nekrosis kecil berdiameter kurang dari 2 mm Ada gejala berupa titik nekrosis berdiameter lebih besar dari 2 rnm Ada gejala berupa bercak kecil terbatas pada bagian titik inokulasi
3
Gejala nekrosis yang cukup besar berkembang terutama pada anak tulang daun Gejala berupa nekrosis besar berkembang pada anak tulang daun dan pada jaringan di sekitar titik inokulasi
5
Gejala nekrosis besar tetapi keiusakan tidak menyeluruh di sepanjang anak tulang daun
6
Gejala nekrosis berkembang ekstensif sehingga mengakibatkan kerusakan harnpir di sepanjang anak tulang daun dan jaringan di sekitarnya
30
Persentase tingkat keparahan penyakit dihitung dengan rumus Towsendt dan Huerberger (Unterstenhover 1976), sebagai berikut:
KP = keparahan penyakit dinyatakan dalam persen ni = banyaknya daun yang diamati dalam setiap kategori kerusian ke-i vi = nilai kategori skala kerusakan pada ke-i N = jumlah gejala yang diamati V = nilai kategori kerusakan yang tertinggi.
102.6 Pengaruh Tingkat Kemasaman
Pengaruh tingkat kemasaman terhadap aktivitas toksin yang dihasilkan oleh isolat C. cassiicola dianalisis dengan cara sebagai berikut: setiap 250 p1 filtrat kultur yang mengandung toksin sangat aktif dari isolat C C I A N ~ ~ dan ~SL filtrat K ) ~kultur ~ ~ yang mengandung toksin kurang aktif dari isolat C ' C ~ , A ~ ; masing-masing R ~ ; ~ ~ ~ ~ ~ditambah ~ dengan seri larutan bufer fosfat 100 rnM pH 4,O; 4,5; 5,O; 5,5; 6,O; dan 5,5 dalam perbandingan volume yang sama. Campuran tersebut divorteks beberapa detik dan diinkubasi pada temperatur ruang selama 36 jam. Fitotoksisitas diuji pada daun karet klon rentan PPN 2447 dengan cara seperti pada bioasai aktivitas toksin sebelurnnya. Peubah yang diamati adalah tingkat aktivitas toksin yang dicermhkan oleh tingkzt keparahan gejala penyakit dengan prosedur pengamatan seperti yang telah diterangkan di muka.
192.7 Pemisahan Toksin dan Penentuan Berat Molekul Pemisahan dan penentuan berat molekul toksin dilakukan dengan metode Breton dipresipitasi 0400 dengan @&)2S04 dengan (1997). Filtrat kultur isolat C ~ 1 ~ ~ 8 7 3 ~ ~ kejenuhan 50% pada 0 O C . Sebanyak 350 ml filtrat kultur uji ditambah sedikit demi seaikit garam (Nl&)2S04dan diaduk dengan pengaduk magnit. Setelah itu campuran dibiarkan pada temperatur 4 OC sekurang-kurangnya 2 jam. Sentrfigasi dilakukan pada kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit.
Presipitat dari beberapa tabung
dikumpulkan dengan cara melarutkannya dengan air bebas ion. Sebanyak 3 ml larutan presipitat dalam air bebas ion tersebut digunakan untuk fiaksinasi dengan menggunakan kolom yang berisi gel sephacryl S-200-HR. Sebagai e!uen digunakan bufer fosfat 100 mM pH 6,5. Untuk penentuan berat nloleku! protein toksin, filtrat kultur isolat C
~
~
~ dipisahkan ~ ~ ~ menjadi ~ ~ dua ~ bagian 0 4 dengan 0 ~ sentrifus Vivaspin
500 bermembran 10 kDa dan masing-masing fiaksi hasil pemisahan diuji aktivitas toksimya.
Fraksi yang mengandung aktivitas toksin didialisis dengan membran
berukuran 3,5 kDa. Untuk melihat elektroforegrarn pita-pita protein, filtrat kultur isolat C
C
sebanyak 40 ml dipekatkan menjadi 4 ml dengan menggunakan rotary evaporator pada temperatur 50 OC. Bahan hasil pemekatan tersebut didialisis dengan membran 3,5 kDa di dalam air bebas ion selama 48 jam. Dialisat dikeringkan kembali dengan menggunakan rotary evaporator pada te~nperatur50 OC dan residu yang diperoleh dilarutkan dalam 40 p1 bufer sampel. Komposisi setiap 8 ml bufer sampel tersebut terdiri atas 1 ml Tris-HC1 pH 6,8, 0,8 ml gliserol, 1,6 ml SDS lo%, 0,4 ml 2-
~
32
merkaptoetanol, 0,2 ml bromofenol blue 0,05% dan 4 ml dHzO. SDS-PAGE dengan poliakrilamid 15% untuk gel running dan poliakrilamid 4,5% untuk gel stacking digunakan dalam pernisahan pita-pita protein. Konsentrasi protein pada setiap fiaksi yang diperoleh dari kolom sephacryl S
200-HR ditetapkan dengan kit BCA (bicinchoninic acid; 4,4 '-dicarboxy-2,2'biquinoline; C10H10N204Na2) dengan prosedur berdasarkan instruksi dari Pierce, Rockford, IL 6 1105, USA untuk microwell plate protocol dengan kisaran kerja linier 1-20 pg protedml. Absorbansi dibaca pada panjang gelombang 540-590 nm dengan menggunakan EIA multi-well reader Sigma@ Diagnostics Model No. 2 10 1.
1.3 Hasil dan Pembshasan
1.3-1 Kisaran Inang dan Kejadian Penyakit Pada wilayah pengamatan, selain tanaman karet, kisaran inang C. cassiicola relatif terbatas. Secara umum infeksi C. cussiicola hanya ditemukan pada tanaman pepaya karet dan kedelai (Tabel 2 dan 3). Di wilayah Kabupaten Bogor, C. cassiicola tidak ditemukan pada tanaman kedelai.
Menurut Hardaningsih et al. (1987)
keberadaan cendawan ini pada kedelai terbatas pada varietas-varietas rentan di kebun percobaan Muneng, Malang yang merupakan pusat pengembangan dan penelitian kedelai. Pada tanaman pepaya C. cassiicola ditemukan di kebun percobaan Sungei Putih, Suniatera Utara dan di Bogor, Jawa Barat. Serangan patogen tersebut terjadi pada bagian ujung dam-daun tua dengan gejala bercak nekrosis. Kerusakan yang timbul
33
umurnnya hanya ringan. Penyakit tidak merugikan secara ekonomi karena tidak mempengaruhi perturnbuhan tanarnan. Perkembangan C. cassiicola pada saat pengamatan tampaknya terbatas hanya menimbulkan kerusakan ringan karena faktor-faktor lingkungan dan pertanaman yang ada di lapangan tidak mendukung terjadinya epidemi. Status demikian mirip dengan Penyakit Hawar Daun Amerika Selatan yang disebabkan oleh Microcyclus ulei (P. Henn.) von Arx. pada karet liar di lembah Amazone, Brasil. Pada karet liar di hutan, patogen yang berbahaya ini tidak selalu menimbulkan kerusakan secara nyata, tetapi pada karet klonal yang dibudidayakan patogen ini dapat menimbulkan epidemik secara agresif
sehingga tanaman mengalami rusak parah (Abdul Madjid 1984,
komunikzsi pribadi). Di kebun percobaan Getas, Jawa Tengah gejala serangan C. cassiicola ditemukan hanya di kebun entres (entrijs/scion/budded stumphatang sumber mata okulasi) pada klon rentan RRIC 103 dan PPN 2444 yang jumlahnya sangat terbatas, masing-masing hanya enam batang (Tabe! 2). Di kebun entres tersebut gejala serangan tidak ditemukan pada klon-klon lainnya, seperti GT 1 dan RRJM 600. De-aikian pula, gejala serangan juga tidak ditemukan di areal pembibitan untuk batang bawah yang lokasinya berdekatan dengan kebun entres tersebut (Tabel 4). Di kebun percobaan Ciomas, Jawa Barat gejala serangan C. cassiicola ditemukan di kebun entres hanya pada klon rentan RRIC 103 dan PPN 2444, tetapi tidak &ternukan pada klon lainnya seperti misalnya BPM 1, RRIC 100, RRIC 101, RRIC 102 dan RRIC 110.
34
Tabel 2 Tumbuhan yang kemungkinan merupakan inang Corynespora cassiicola di Pulau Jawa Penyebab penyakitb Spesies Tumbuhana
Lokasi Pengamatan
-
C. cassiicola
Adiantum cuneatum Kunze (Paku-pakuan) Borreria alata (Aubl.) D.C. (Gulma berdaun lebar) Bougainvillea spectabilis Willd. (Tanaman hias) Carica papaya L. (Pepaya)
Cassia alata L (Tanaman hias) Crotalariajuncea L. (Kacang-kacangan) Eupatorium odoraturn L. (Gulma berdaun lebar) Glycine mar (L.) Merr. (Kedelai)
Cendawan lainnya
Ciomas, Bogor Ciomas, Bogor Ciomas, Bogor Cimahpar, Bogor Cipaku, Bogor Bantar Kambing, Bogor Cimahpar, Bogor Darmaga, Bogor Rancamaya, Bogor Karang Tengah, Bogor Ciomas, Bogor Ciampea, Bogor Ciomas, Bogor Darmaga, Bogor Cimahpar, Bogor Kebun Percobaan Muneng, Malang Babakan Sawah, Bogor Bantar Kambing, Bogor
Cercospora sp.
-
Phakopsora pachyrrhizi Phakopsora pachyrrhizi (bersambung)
35
Tabel 2 (lanjutan) Penyebab penyakitb Spesies Tumbuhana
Lokasi Pengamatan C. cassiicola
Hevea brasiliensis Muell. Arg. (Karet)
Hydrangea macrophylla. (Tanaman hias) Ipomoea batatas (L.) Lam. (Ubi jalar) Lycopersicon esculentum Mill. (Tomat) Manihot esculenta Crantz (Ubikayu) Mangifera indica L. (Mangga) Pterocarpus indicus Willd. (Tanaman peneduh jalan)
Cendawan lainnya
Kebun entres RRIC 103, Getas, Salatiga Kebun entres PPN 2444, Getas, Salatiga Pembibitan batang bawah, Getas, Salatiga Kebun entres RRIC 103, Ciomas, Bogor Kebun entres PPN 2058, UPB, Bogor Kebun entres PPN 2447, UPB, Bogor Perkebunan Ciampea, Bogor Cibinong, Bogor Ciomas, Bogor Ciomas, Bogor Loji, Cipanas Kebun Percobaan Lembang, Balihort Ciomas, Bogor Sindangbarang, Bogor Ciomas, Bogor Cimanggu, Bogor
Phytophthora sp.
Semplak, Bogor
Colletotrichum sp.
"Sebagian besar dipilih dari tumbuhan inang yang tcrcantum pada Lampiran 1 b+ = ditemukan; - = tidak ditemulcan
-
Cercosporidium henningsii Cercosporidium henningsii Cercosporidium henningsii Pestalotia sp.
Tabel 3 Tun~buhanyang kemungkinan rnerupakan inang Corynespora cassiicola di Prvvinsi Sumatera Utara Penyebab penyakitb Spesies Tumbuhana
Lokasi Pengamatan C. cassiicola
Borreria alata (Aubl.) D.C. (Gulrna berdaun lebar) Carica papaya L. (Pepaya) Elaeis guineensis Jacq. (Kelapa sawit) Euphorbiaprunifolia Jacq. (Gulma berdaun lebar) Hevea brasiliensis Muell. Arg. (Karet)
Sungei Putih, Deli Serdang
Cendawan lainnya Curnularia sp.
Sungei Putih, Deli Serdang Marihat, Simalungun Aek Pancur, Deli Serdang Sungei Putih, Deli Serdang
Pestalotia sp. Pestalotia sp. Fusarium sp.
Kebun entres IAN 873, Sungei Putih Kebur. entres GT 1, Sungei Putih Kebun entres RRIM 600, Sungei Putih Tanaman dewasa GT 1, Sungei Putih Tanaman dewasa RRIM 600, Sungei Putih Tanaman dewasa RRIM 600, Kisaran Tanainan dewasa GT 1, Sarang Giting Tanaman dewasa BPM 24, Gunung Para Tanaman dewasa IAN 873, Gunung Para Tanaman dewasa IAN 873, Dolok Ulu Tanaman dewasa IAN 873, Dolok Merangir Tanaman dewasa PN 2506, Batang Serangan Tananlan dewasa SO 8512, Batang Serangan (bersambung)
Tabel 3 (lanjutan) Penyebab penyakitb Spesies Tumbuhana
Lokasi Pengamatan C. cassiicolu
Hevea brasiliensis Muell. Arg. (Karet)
Cendawan lainnya
Tanaman dewasa BPM 24, T. Keliling Tanaman dewasa BPM 101, T. Keliling Tanaman dewasa BPM 102, T. Keliling Tanaman dewasa BPM 107, T. Keliling Tanaman dewasa BPM 109, T. Keliling Tanaman dewasa BPPJ 1, T. Keliling Tanaman dewasa BPPJ 2, T. Keliling Tanaman dewasa BPPJ 3, T. Keliling Tanamarl dewasa BPPJ 5, T. Keliling Tanaman dewasa GT 1, T. Keliling Tanaman dewasa PB 2 17, T. Keliling Tanaman dewasa PB 235, T. Keliling Tanaman dewasa PB 260, T. Keliling Tanaman dewasa PR 26 1, T. Keliling Tanaman dewasa PB 330, T. Keliling Tanaman dewasa PR 300, T. Keliling Tanaman dewasa PR 303, T. Keliling Tanaman dewasa PR 400, T. Keliling Tanaman dewasa PR 40 1, T. Keliling Tanaman dewasa PR 403, T. Keliling (bersambung)
Tabel 3 (lanjutan) Penyebab penyakitb Spesies Tumbuhana
Lokasi Pengamatan C. cassiicola
Cendawan lainnya
-
Hevea brasiliensis Muell. Arg. (Karet)
Hydrangea macrophylla. (Tanaman hias) Manihot esculenta Crantz (Ubikayu) Spigelia anthelmia L. (Gulma berdaun lebar) -
Tanaman dewasa RRIM 7 12, T. Keliling Tanarilan dewasa TM 2, T. Keliling Tanaman dewasa TM 5, T. Keliling Tanaman dewasa TM 6, Tanjung Keliling Tanaman dewasa TM 8, Tanjung Keliling Sungei Putih, Deli Serdang Sungei Putih, Deli Serdang
Cercosporidiu?nhenningsii
Sungei Putih, Deli Serdang
Cercospora sp.
-
"Sebagian besar dipilih dari tumbuhan inang yang tercantun~pada Lampiran 1 b+ = ditemukan; - = tidak ditemukan
39
Di kebun percobaan Sungei Putih C. cassiicola dapat ditemukan pada pertanaman dewasa seperti klon GT 1, RRlM 600 dan BPM 24, pada kebun entres dan pada areal pembibitan untuk batang bawah. Selain pada pepaya, gejala infeksi C.
cassiicola tidak ditemukan pada vegetasi lainnya di areal pertanaman karet. Pada tanaman ubi kayu, bercak daun yang hampir mirip gejala infeksi C.
cassiicola ternyata diakibatkm oleh Cercosporidium henningsii (Allesch) Deighton aicau sinonim dengan Cercospora henningsii Allesch, Cercospora manihotis Ell. et Ev. atau teleomorfhya dikenal sebagai Mycosphuerella manihotis Ghesquire, Henrad non Syd. (Semangun 1931). Serangan cendawan ini ditemukan pada daun-daun tua hampir pada setiap pertanaman ubikayu di lokasi-lokasi yang diamati. Tabel 4 Kejadian Penyakit Gugur Daun Corynespora di pembibitan batang bawah (rootstocks) karet di beberapa lokasi pengamatan -
Umur Pembibitan (bulan)
No. Lokasi Pengamatan
1. 2. 3.
4.
5.
Kebun Percobaan Sungei Putih Sumatera Utara Kebun Percobaan Sungei Putih Sumatera Utara Kebun Percobaan Sembawa Sumatera Selatan Kebun Percobaan Getas Jawa Tengah Meulaboh Nangroe Aceh Darussalam
Kejadian Penyakit Rata-rata (%)
cv(%)
13
10 20 20 10
Kejadian PGDC pada areal pembibitan untuk batang bawah menunjukkan persentase yang kragam.
Perkembangan penyakit tarnpaknya berkaitan dengan
40
tingkat resistensi tanaman, ketersediaan sumber inokulum, kondisi agroekosistem dan teknik budidaya tanaman. Di kebun percobaan Sungei Putih, kejadian penyakit PGDC sangat tinggi hingga 93% pada pembibitan batang bawah umur 13 bulan. Epidernik ini terjadi karena areal pembibitan tersebut terletak berdampingan dengan tanaman dewasa klon rentan RRIM 725 sehingga tersedia sumber inokulum yang melimpah. Sebaliknya, kejadian penyakit tidak ditem&an pada pembibitan batang bawah di kebun percobaan Getas meskipun gejala serangan C. cassiicola ditemukan pada klon sangat rentan RRIC 103 dan PPN 2444 di kebun entres yang terletak saling berdekatan. Namun. sumber inokulum yang tersedia tidak cukup melimpah karena jumlah tegakan dua klon tersebut sedikit masing-masing hanya enam batang (Tabel 2 d m 4).
1.3.2 Keragaman Konidia Konidia C. cassiicola sangat beragam dalam ha1 morfologi, ukuran dan kemelimpahannya. Pada kultur isolat pepaya dari Jawa Barat (
C
C
~beberapa ~ ~
~
~
konidia khusus yang berbentuk Y dalam persentase kecil sering ditemukan diantara konidia yang berbentuk gada baik setelah dikulturkan pada PDA ataupun setelah diinokulasikan pada karet klon resisten PB 260.
Pads medium PDA empat isolat (CCGT~SUO~OO, C ~ 1 ~ ~ 8 7 3 ~ ~C0C4 I0A 0 ,N S ~ ~ Sd U mO ~ O ~ O C ~ ~ ~ 1 ~ 7 2 ~dari ~ ~ 0GT 4 01,0 IAN ) 873, RRIM 725 asal Sumatera Utara ternyata tidak membentuk konidia. Sebaliknya, isolat C. cassiicola asal tanaman pepaya
~
41
(
C
C
~ yang ~ masih ~ ~baru~ dan ~ belum ~ ~ mengalami ~ ~ ~subkultur ) berulang-ulang
terkadang menghasilkan konidia yang melimpah. Isolat C C ~ T ~ dan S ~C~ C ~O ~ O A N yang ~ ~ tidak ~ S membentuk U ~ ~ ~ ~konidia pada medium
PDA dapat rnenghasilkan konidia setelah potongan miseliumnya diinokulasikan pada daun tanaman atau ditumbuhkan pada daun yang disterilkan dengan otoklaf. Psngamatan langsung dari contoh daun klon IAN 873, GT 1 d m RRIM 600 asal Surnatera Utara menunjukkan bahwa konidia C. cassiicola berukuran hampir sama, yakni masing-masing berturut-turut 65x10 pm, 62x1 0 pm dan 67x10 pm, sedangkan isolat dari daun pepaya asal Jawa Barat berukuran lebih panjang, yakni 108x12 pm atau 109x1 1 pm. Konidia isolat C C ~ T ~ Sberukuran U M ~ ~ masing-masing berturut-turut 18 1 x11 pm dan 154x10 pm setelah isolat tersebut diinokulasikan pada daun IAN 873 dan PB
260, padahal pada PDA konidianya tidak terbentuk. Isolat C~!,4~873~~040~ setelah diinokulasikan pada daun PB 260 menghasilkan konidia sedikit dengan ukuran 175x12 pm. Konidia yang dihasilkan juga sedikit dengan ukuran 157x12 pm setelah isolat tersebut ditumbuhkan pada daun IAN 873 yang diotoklaf.
Tabel 5 Ukuran konidia isolat-isolat C. cassiicola yang berasal dari tanaman karet dan pepaya
No. SandiIsolat
Medium
PDA tanaman IAN 873 1'13 260
PDA tanaman PB 260 daun diotoklaf PDA tanaman PB 260
Jumlah konidia diamat i
Panjang Rata-rata
Kisaran (vm)
Lebar
-cv (%>
Rata-rata Kisaran (pm) (pm)
cv
(%I
. . ........................... ... .. . . . ...... ... .......... .tanpa konid~a.. 181 154
47-350 75-250
32 11 10,O-12,5 10 30 10 7,5-12,5 11 . . .. . .. .. ....... ............ ..tanpa konidia.. ........................... 175 100-250 33 12 10,O-15,0 11 157 125-180 13 12 10,O-12,5 9 103 47-288 37 10 7,5-12,5 13 184 75-250 30 10 7,5-12,5 11
. . ...... ... ........ ........ . . .. ..... .. . ... . ..... .......tanpa konidia.. CCGT I S U O ~ IO
in vivo
C ~ I A N 8 7 3 ~ ~ 0 7 0 2PDA
C C I A N ~ ~ ~ tanaman S U O ~ PB O ~260
.. . .. ..... . .. ................ .tanpa konidla.. ....................... .... 136
80-270
34
12
10,O-15,O 12
(bersambung)
43
Tabel 5 (lanjutan)
No. Sandi Isolat
Medium
17. C ~ p e p a y a J ~ 0 5 0 0 in V ~ V O ~ viva 18. C ~ ~ e p a y a J ~ 0 5 0 in 19. C ~ ~ e p a y a J B 0 5 0 0 PDA 20. C C P tanaman ~ ~ IAN~873 ~ 2 1. C C P ~ ~ ~ ~ ~ tanaman J B O ~ PB O O260 22. tanaman PB 260
Jumlah konidia diamat i
50 50 100 ~ 100 ~ 100 50
Panjang
Lebar -
Rata-rata
108 109 144 ~ 97 ~ 112 141
Kisaran
cv
-
Rata-rata Kisaran
50-250 49 50-237 37 42-412 46 ~ 35-300 ~ ~ 54 25-355 69 35-370 37 -
-
12 11 12 10 11 10
10,o-15,o 7,5-15,o 7,j-15,o 7,5-15,O 7,5-15,O 7,5-12,5
cv
13 13 12 14 18 8
-
Catatan: Berdasarkan deskxipsi Wei (1950) ukuran konidia C. cassiicola berkisar 32-220 x 8,4-22,4 pm,dan umurnnya 65,8- 181,6 x 13,6-20 pm atau hingga 520 x 9-13 pm pada organ tumbuhan inang yang sukulen; dan menurut Sinclair & Backman (1989) pada tanarnan kedelai ukuran rata-rata 133 x 8 pm (39-520 x 7-22 pm)
44
Isolat C
C yang diinokulasikan ~ pada ~ PB 260 menghasilkan ~ ~ konidia
~
dengan ukuran yang lebih panjang dibandingkan dengan ukuran konidia yang dihasilkan pada PDA, yakni menjadi 184 x 10 pm, sedangkan isolat C
C
P
~
yang diinokulasikan pada IAN 873 dan PB 260 menghasilkan konidia dengan ukuran yang tidak banyak berubah. Isolat asal daun pepaya, dua dari Jswa Barat (C~~epayaJB0400 dan C~~e~ayaJB0500) dan satu isolat dari Sumatera Utara ( C ' C P ~ ~ menghasilkan , S ~ ~ ~ ~ ~konidia ) dengan ukuran yang berbeda, yakni masing-masing berturut-turut 115x12 pm, 144x12 pm dan 62x10 pm (Tabel 5). U h a n konidia tersebut di atas dapat berubah bergantung pada niedium tumbuh yang tersedia. Pada organ tumbuhan inang yang sukulen konidia dapat lebih panjang hingga mcncapai 520 pm. Secara keseluruhan ukuran konidia yang diamati masih berada dalanl batas ukuran konidia C. cassiicola berdasarkan deskripsi Wei (1950).
1-3.3 Uji Fitotoksishtas Toksin dengan Metode BiP
Uji fitotoksisitas toksin dengan metode bioasai in planta (BiP) yang dikembangkan
pada
saat
percobaan
berlangsung
dilakukan
dengan
cara
menginokulasi tulang daun karet yang masih berwarna hijau muda. Metode ini digunakan untuk menggantikan uji fitotoksisitas toksin dengan metode pencelupan pangkal batang daun (PPD) yang dipetik yang digunakan oleh Onesirosan et al. (1979, Breton (1996, 1997) atau Situmorang (2002).
~
~
~
1 Gejala penyakit yang diiibatkan oleh toksin isolat C C I A pada N ~ ~ ~ ~ ~ daun karet. A. Gejala nekrosis akibat toksin pada klon rentan RRIC 103 a. Filtrat kultur diencerkan dH20 1 :1 b. Filtrat kultur diencerkan dH2O 1 :3 c. Filtrat kultur diencerkan a 0 1 :7 d. Toksin dimurnikan parsial berkadar protein 5 pg/ml diencerkan dH2O 1:1 e. Toksin dimurnikan parsial berkadar protein 5 pg/ml diencerkan dH20 1:3 f Toksin dimumikan parsial berkadar protein 5 pglml diencerkan dH20 1:7 B. Inokulasi toksin pada daun yang sangat muda mengakibatkan pengemtan a Tulang daun utama diinokulasi medium cair MAM b. Anak tulang daun diinokulasi medium cair MAM c. Anak tulang daun diinokulasi filtrat kultur isolat C. cassiicola d. Tulang daun utama diinokulasi filtrat kultur isolat C. cassiicola
-bar
Tabel 6 Kelebihan metode uji fitotoksisitas toksin antara metode bioasai in planta (BiP)" dibandingkan dengan metode pencelupan pangkal daun (PPD) No. Bahan perbandingan 1. Volume larutan toksin
2.
Perlakuan
3.
Gejala t ~ k s i n yang tirnbul
4.
Dasar penentuan aktivitas toksin
5.
Daun contoh
6.
Umur daun
7.
Cara pelaksanaan
Metode BiP
Metode PPD
5 pVtitik inokulasi sehingga pemakaian toksin menjadi sangat hemat Toksin diinokulasikan pada tulang daun sehingga pemakaian daun contoh dapat lebih hemat Gejala khas serupa gejala akibat infeksi C. cassicola di lapangan Skoring gejala sesuai dengan skoring keparahan penyakit di lapangan Tidak dipetik sehingga perturnbuhan daun tidak terganggu Muda berumur +14 hari (benvarna hijau muda)
125 d 3 x 3 6 daun contoh (-1,15 d d a u n contoh)
Lebih praktis dan mudah (tanpa memerlukan pengaturan suhu, kelembaban dan cahaya)
Toksin untuk mencelupkan pangkal dam-daun contoh Gejala kelayuan daun Penimbangan berat daun
Dipetik sehingga pertuman daun terganggu Sangat muda berumur kurang dari 7 hari (benvarna merah tembaga) Kurang praktis (perlu pengaturan suhu, kelembaban dan cahaya)
Catatan: "Metode BiP sangat hemat dalam pemakaian bahan larutan toksin dan contoh daun. Larutan toksin yang diperlukan dapat dikurangi hingga 11230 (5 pV1.150 p1) kali. Pada setiap tangkai daun contoh memungkinkan rancangan percobaan dapat disusun hingga sekurang-kurangnya 18 (2x3~3)perlakuan, sebaliknya pada metode PPD satu helaian daun hanya digunakan untuk satu perlakuan. Pada metode PPD, dalam pengujian fitotoksisitas toksin digunakan daun-daun yang dipetik. Daun contoh dan larutan toksin digunakan dalam jurnlah besar.
47
Sebaliknya, pada metode BiP daun-daun tidak dipetik sehingga mirip dengan kondisi alami dan terbukti penyebaran toksin terbatas pada jaringan daun yang diinokulasi. Pada daun yang sangat muda yang masih berwarna merah tembaga, toksin mengakibatkan pengerutan daun sehingga perturnbuhannya menjadi abnormal. Pada daun yang berwarna hijau muda toksin menimbulkan gejala yang menyerupai gejala yang ditimbulkan oleh infeksi secara alamiah cendawan patogen tersebut, yaitu gejala khas yang menyerupai sirip ikan atau tetesan tinta pada kertas stensil (Gambar 1). Kelebihan metode BiP dalam uji fitotoksisitas toksin dibandingkan dengan nletode PPD, antara lain sangat hemat pemakaian bahan dan memungkinkan menyusun rancangan percobaan dengan menggunakan tanaman contoh sesedikit rnungkin. Larutan toksin yang diperlukan dalam metode BiP dapat dikurangi hingga 11230 kali dari metode PPD. Pada setiap tangkai daun sekurang-kurangnya 3x6 = 18 perlakuan memungkinkan dapat disusun dalam suatu rancangan percobaan, sedangkan pada metode PPD satu helaian anak daun hanya digunakan untuk satu perlakuan. Beberapa keiebihan metode BiP dibandingkan metode PPD dituniukkan pada Tabel 6. Pemakaian volume 5 p1 filtrat per titik inokulasi pada anak tulang daun karet mampu menggambarkan gejala khas penyakit dan dapat digunakan untuk pengukuran indeks keparahan penyakit.
Penetapan volume tersebut dilakukan berdasarkan
pertimbangan teknis bahwa vol-ume yang lebih rendah (2,5 p1) rnenyulitkan pengambilan dengan microsyringe secara akurat clan menghasilkan tetesan filtrat yang terlalu sedikit pada permukaan helaian daun, sedangkan volume yang terlalu tinggi
48
(10 p1) mengakibatkan tetesan yang terlalu besar sehingga tetesan tersebut akan jatuh apabila daun yang diinokulasi tergoncang oleh angin atau sentuhan.
1-3.4 Produksi Toksin Isolat C. cassiicola
Diantara enam isolat cendawan yang digunakan untuk uji produksi toksin pada ~ 0 4karet 0 0 klon moderat percobaan pendahuluan, ternyata hanya isolat C ~ 1 ~ ~ 8 7 3 ~ asal rentan IAN 873 yang menghasilkan toksin yang sangat aktif. Berdasarkan bioasai pada daun karet klon sangat rentan RRIC 103, aktivitas toksin isolat tersebut terdeteksi mulai 4 hari hingga 16 hari setelah inkubasi (Tabel 7 dan Gambar 2). Produksi toksin tertinggi dicapai pada 8, 10 dan 12 hari setelah inkubasi dengan tingkat aktivitas toksin yang digambarkan oleh indeks keparahan penyakit yang tinggi pada daun karet klon RRIC 103 berturut-turut 90%, 88% dan 92% (Tabel 7). Isolat C C R R I ~ asal ~ ~ klon ~ S rentan U ~ ~ RRIM ~ ~ 725 dan C ~ ~ ~ ~ asal 1 klon 0 ~ ~ ~ ~ 4 sangat rentan RRIC 103 menghasilkan toksin yang hanya sedikit rnampu menimbulkan gejala kerusakan pada daun klon rentan RRIC 103. Di lain pihak, dua isolat C. cassiicola dari daun pepaya ( C C P ~ ~ dan ~ ~C S U CO ~P ~ ~~dan~isolat ~ C.~ henningsii dari daun ubikayu ( C h ~ ~ i ) ~sarna ~ ~sekali ~ ~tidak ~ 0menghasilkan 4 ~ ~ toksin. Pada daun karet klon moderat GT 1, aktivitas toksin dari enam isolat yang diuji hampir tidak terdeteksi (Tabel 7).
~
~
~
Tabel 7 Aktivitas toksin filtrat kultur lima isolat C. cassiicola dan satu isolat C. henningsii pada daun dua klon karet diferensial No. Isolat
Waktu Aktivitas Toksin pada Klon Karet ~iferensial~) Inkubasi KlonrentanRRIC 103 Klon moderat rentan GT 1 (hari) Skala Gejala Keparahan Skala Gejala Keparahan Rata-rata cv Penyakit Rata-rata cv Penyakit (%)
(%)
(%I
(%>
(bersambung)
Tabel 7 (lanjutan) No. Isolat
Aktivitas Toksin pada Klon Karet ~iferensial~' Waktu Inkubasi Klon rentan RRIC 103 Klon moderat rentan GT 1 (hari) Skala Gejala Keparahan Skala Gejala Keparahan Rata-rata cv Penyakit Rata-rata cv Penyakit (%)
(%)
(%>
Catatan: ")~kala gejala pada kisaran 0 - 6 (0 = tidak ada gejala, 6 = gejala sangat berat) Filtrat kultur dua isolat C. cassiicola asal karet ( C
C
~ menunjukkan ~ ~aktivitas ~ toksin ~ yang~ rendah. ~
C
C dan ~
~ ~ Hal~ ini diperkirakan
karena dalam batas-batas tertentu kondisi in vitro yang digunakan dalam pembentukan toksin tidak sesuai dengan kondisi in vivo. Pada kondisi in vivo isolatisolat tersebut tarnpaknya mampu membentuk toksin sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada klon-klon rentan seperti RRlC 103. Namun demikian, isolat-isolat non-patogenik telah dilaporkan tidak rnampu menghasilkan toksin yang mampu menimbulkan kerusakan jaringan tanaman, sedangkan isolat-isolat yang sangat virulen menghasilkan toksin yang sangat aktif (Onesirosan et al. 1975).
~ ~
~
Gambar 2 Gejala to& yang ditimbulkm oleh fibrat kultur mur 4,6,8, 10, 12,14 dm 16 hari setelah iukubasi dari lima isolat C. cassiicola dan satu isolat Cercoqwridiaun henningsii pada daun karet klon rentan RRIC 103 (A) dan klon moderat rentan GT 1 (B) Lajur d. Isolat C-~JO~OO Lajur a. Isolat C w s s m Lajur e.NIsolat~C C~ P ~ , ~~ Lajur b. Isolat ~ ~ I A
c-
:
- .
,
a&
~
3 Wama tibat yang dihdkm oIeh isolat-isofat C. cassii~o~a'(;\) patogenidhs isalaa. C casiicola pada dua klon karet diferensial (B) ' ' a.U (rraodjkdQ k d medim) d. Filtrat kuhu isolat C C I A N ~ ~ ~ ~ & ~ h l?kkatb.bi d 4 C&~lg~07(n e. kultur i ~ ~ Ch t C I ~ ~ ~ ~ '
,
c. F
M kdtw isohat C q t ~ 1 ~ a # ~ f.~Filtrat ~ 2 kultur isolat C*yaSvonn p&ogdltas isolat C ~ I A N pada ~ daun ~ ~klon S moderat ~
dm pada klon rentan RRIC 103 (bawah) lat C. cassiicola yang digunakan pada percobaan
ternyata
hlat C C I A N ~ ~yang ~ S digtdcan T J O ~ ~ pada ~ percobaan pendahuluan yang ~nampu
52
membentuk toksin yang sangat aktif. Isolat C ~ ~ ~ 8 7 yang ~ ~ juga ~ ~ berasal 7 0 2 dari karet klon moderat rentan IAN 873 menghasilkan toksin dengan aktivitas yang kurang aktif, sedangkan dua isolat asal klon moderat GT 1 dan RRIM 600 (
C
Cdan ~
C ~ ~ ~ 6 0 0 ~ ~dan 0 7 satu 0 2 ) isolat asal pepaya ( C ~ ~ ~ ~ a ~Saa ~m~sekali ~ 7 0tidak 2 ) memiliki aktivitas toksin (Tabel 8). Isolat C c 1 ~ ~ ~ 7 3 ~ ~ ternyata 0 4 0 0 menghasilkan toksin yang paling aktif diantara isolat-iso!at yang diuji baik pada percobaan pendahuluan maupun pada percobaan lanjut. Ada ha1 yang menarik untuk diperhatikan, yakni bahwa kultur isolat tersebut menghasilkan berat kering miselium dan pH filtrat rata-rata yang terendah dibandingkan dengan isolat-isolat lainnya, yakni 5,02 gll MAM dan pH 5,2 (Tabel 8). Berdasarkan percobaan lebih lznjut, data juga membuktikan bahwa berat kering ~ ~ S U tetap ~ ~konsisten ~ ~ miselium dan pH filtrat yang dihasilkan isolat C C I A N ~ternyata lebih rendah dibandingkan dengan isolat C~1~~873~~0702. Berat kering rniselium yang dihasilkan isolat tersebut berkisar 4,18-6,12 g/l MAM dan pH filtrat berkisar 5,O-5,7 yailg berturut-turut lebih rendah dibandingkan dengan isolat Cc1AN8I)SU0702 yang menghasilkan berat kering miselium berkisar 9,48-11,54 gll MAM dan pH filtrat berkisar 6,3-6,6 (Tabel 9). Konfirmasi berat kering miselium dan pH filtrat yang rendah pada C. cassiicola yang menghasilkan toksin sangat aktif dapat merujuk pada percobaan produksi toksin yang pernah dilakukan Suwarto (1989) dengan menggunakan isolat Cc-SP dan CcCIO dari karet dan Cc-MLG dari kedelai. Ketiga isolat tersebut masing-masing menghasilkan berat kering rniselium berturut-turut adalah 6,40, 9,32 dan 8,02 gll
~
~
53
MAM, dan pH filtrat 5,85, 6,23 dan 6,12. Dalam ha1 h i , isolat Cc-SP juga menghasilkan toksin yang sangat aktif Perturnbuhan kultur isolat C ~ ~ ~ ~ 8 pada 7 3 medium ~ ~ 0 4 PDA ~ ~ juga paling lambat dibandingkan dengan isolat-isolat lainnya, tetapi diameter kultur dapat menjadi normal setelah isolat dikulturkan pada medium Iima bean agar (Garnbar 4B). Isolat C. henningsii asal daun ubikayu sama sekali tidak menghasilkan toksin yang mampu berkembang pada daun karet uji. Pada dasarnya cendawan ini memiliki kekerabatan yang jauh dengan C. cassiicola dan tidak pernah dilaporkan sebagai patogen pada tanaman karet. Hal ini makin memperkuat bukti bahwa toksin yang dihasilkan oleh C. cassiicola bersifat spesifik hang seperti yang telah dilaporkan dalam penelitian-penelitian sebelurnnya (Onesirosan et al. 1975;
Suwarto1989;
Breton 1999). Dalam percobaan ini juga diketahui bahwa tiga isolat C. cassiicola asal daun tidak menghasilkan toksin pepaya (C~~epa~aJ~0400, C~~epayas~0400 C~~epaya~~0702) yang mampu menimbulkan kerusakan pada daun karet. Pada percobaan Suwarto (1989) jug2 telah dilaporkan bahwa toksin yang dihasilkan isolat C. cassiicola dari kedelai hanya menimbulkan kerusakan pada daun kedelai dan sama sekali tidak menimbulkan kerusakan pada daun karet.
54
Tabel 8 Pertumbuhan lima isolat C. cassiicola pada 14 hari setelah inkubasi dan aktivitas toksin filtrat yang dihasilkan pada klon rentan RRIC 103
No. Sandi Isolat
Berat Kering Miselium Rata-rata Warna ~ i l t r a t ~ Aktivitas Toksin ~ i l t r a t ~ Rata-rata cv (%) pH Filtrata Bagan Munsell Ah=405nm Skala Gejala Keparahan (dl) Rata-rata cv(%) Penyakit (%)
1. C C I A N ~ ~ ~ S U O5,02 ~OO
17
5,2
Merah (7,5R 516)
0,968
4,6
12
85
2. C C I A N ~ ~ ~ S U O 9,48 ~O~
18
6,5
Merah (7,5R 516)
0,708
1,6
32
26
3 C C G T ~ S U O ~ O ~10,60
19
6,6
0,23 1
0,o
0
0
4. CCRRIM~OOSUO~O~ 10~72
19
6,6
Kuning kenlerah-merahan (5YR 618) Kuning pucat (5Y 813)
0,243
0,O
O
O
5 C C P ~ ~ ~ ~ ~ S U1 1,72 O~OZ
22
6,7
Kuning pucat (5Y 813)
0,145
0,o
0
0
Catatan: 'Nilai pH awal medium adalah 7,00 b ~ a r n filtrat a ditentukan berdasarkan Bagan Warna klasifikasi Munsell (angka dalam kurung menunjukkan sandi hue, valuelchroma) dan berdasarkan nilai absorbansi pada panjang gelombang 405 nm spektrofotometer Spectronic 21
Tabel 9 Berat kering miselium dan pE-I filtrat kultur dua isolat C. cassiicola asal klon moderat rentan IAN 873 pada 14 hari setelah inkubasi
No. Sandi Isolata
Berat Kering ~ i s e l i u m ~ata-ratab ~ Rata-rata c v (%) pH Filtrat (dl)
Catatan: aKultur ditumbuhkan dalam 50 ml M M t a b u n g erlenmeyer 300 rnl pada pH 7,00 bats berat kering miselium dan pH filtrat masing-masing terdiri atas tiga ulangan Produksi toksin C. cassiicola dilaporkan berkorelasi positif dengan pertambahan berat kering miselium selama periode inkubasi (Onesirosan et al. 1975). Dalam hubungannya dengan ha1 tersebut, pertumbuhan optimum miselium kultur C.
cassiicola pada MAM yang telah dilaporkan sebelumnya (Suwarto 1989) dicapai pada 12- 14 hari setelah inkubasi berdasarkan percobaan yang dilakukan dengan dua isolat, yakni Cc-SP yang berasal dari karet dan Cc-MLG yang berasal dari kedelai.
Gambar 4 Pertumbuhan kultur isolat c~873su0400 yang lebih lambat dibandingkan dengan isolat-isolat C. cassiicola lainnya (Gambar A). Diameter koloni isolat C C ~ Aberubah N ~menjadi ~ ~normal ~ ~setelah ~ ~ ~ ~ isolat ~c~~~~~~~~~~~~ ditumbuhkan pada medium LBA (Gambar B.b.) A: Pertumbuhan rnaksimum dalam cawan petri pada PDA umur 15 hari a Kultur isolat C ~ p e ~ y a ~ ~ 7 0 2 b. Ku1tl.U isolat C ~ ~ ~ l ~ 6 0 0 ~ ~ 0 7 0 2 c. Kultur isolat C C I A N ~ ~ ~ S W ) ~ ~ ~ d. Kultur isolat C C I A N ~ ~ ~ S U O ~ O ~ e. Kultur isolat C C G T ~ S U ~ ~ O ~ B : Pertumbuhan kultur isolat C C P ~ ~ ~ (S4 U ) ;O Cm~873~~0400 ~O~ (be) dall Cc1AN873~~0702 ( ~ , fpads ) PDA (bawah) dall pads LBA (am) umur 10 hari.
Produksi toksin C. cassiicola d i i r k a n berkorelasi positif dengan pertambahan berat kering miselium selama periode inkubasi (Onesirosan et al. 1975). Dalam hubungannya dengan ha1 tersebut, pertumbuhan optimum rniselium kultur C cassiicola pada MAM yang telah dilaporkan sebelumnya (Suwarto 1989) dicapai
2-14 hari setelah inkubasi berdasarkan percobaan yang dilakukan dengan dua
yakni Cc-SP yang b e d dari karet dan Cc-MLG yang berasal dari kedelai
103, PPN 2447 dan RRIC 103, diketahui bahwa kisaran pH 4,O-6,5 bufer fosfat 50
m M dan 100 mM masih berada dalam batas toleransi sel-sel daun karet untuk mempertahankan fungsinya sehingga sel-sel tersebut rnampu beraktivitas dengan normal. Dalam ha1 ini, ambang batas terendah pH filtrat dalam pembentukan toksin oleh isolat C
~ 1 ~ ~ 8 7 dapat ~ ~ ~mencapai ~ 4 0 0
4,O (Tabel 10).
Tabel 10 Pengaruh pH bufer fasfat i 00 rnM terhadap aktivitas toksin filtrai kultur isolat C C I A N ~ ~dan ~ SC'CJ IGA~N~S~~ ~pada SUO daun ~ Oklon ~ rentan RRIC 103 No. Sandi Filtrat
pH Media
Aktivitas Toksin Skala Gejala Nekrosis Keparahan Penyakit (%) Rata-rata cv(%)
1.306 Berat Molekul Toksin Fraksinasi melalui kolom filtrasi gel sephacryl S-20-HR dcngan menggunakan 3 ml larutan presipitat filtrat kultur isolat
C ~ 1 ~ ~ 8 7 3 ~ ~diperoleh 0400
hingga 40 fiaksi.
Sebanyak delapan fiaksi, yakni fiaksi nomor 11- 18, diketahui mengandung toksin
58
yang &if. Aktivitas toksin tertinggi terdapat pada fiaksi 13. Puncak protein yang dihasilkan ada empat yaitu fiaksi nomor 8, 128~13,14 dan 15 (Gambar 5).
1
3
5
7
9 11
13 15 17 19 21
n
2 5 2 7 29 31 33 35 ~7
Nornor Fraksi
rk-Gmmt
Protein -A-~ktivitas
Gambar 5 Pemurnian toksin cassiicoline isolat C S-200-HR (1,2 x 45 cm)
toksin
C
I Ipada kolom ~ sephacryl ~ ~
Berdasarkan hasil pemisahan SDS-PAGE protein hasil preparasi konsentrat filtrat kultur isolat Cc1~~873~~0400dan perhitungan proyeksi data faktor retensi (Rf) pita-pita protein pada kurva linier hubungan antara logaritma berat molekul protein standar dengan faktor retensi menurut persarnaan: Loglo BM
=
-1,68 Rf
+ 4,96
dengan koefisien keeratan hubungan r = -0,984 ditemukan pita-pita protein berukuran 10,21,47 dan 67 kDa (Gambar 6).
~
~
59
Berdasarkan hasil pemisahan SDS-PAGE protein hasil preparasi konsentrat fibat kukur isolat C ~ I A N ~ perhitungan ~ ~ ~ ~ proyeksi ~ & data fjlktor retensi (Rf) pita-pita protein pada kurva linier hubungan antara logaritma berat molekul protein standar dengan faktor retensi menurut permmum Loglo BM = -1,68 Rf
+ 4,96
dengan koefisien keeratan hubungan r = -0,984 ditemukan pita-pita protein berukuran 10,21,47 dan 67 kDa (Gambar 6).
Gambar 6 Elektrofbregmn SDS-PAGE ( 1 5% poliakrilamid) protein dari filtrat kultur isolat C ~ 1 ~ ~ 8 7 3 ~ setelah ~ 0 4 0 0pemekatan dengan rotary e v q r d o r pa& 50 OC dan dialisis dH2O melalui membran betukuran 3,5 kDa Keterangan Gambar: 1. Pita protein standar (Amersham) 2. Filtrat kultur setelah pemekatan dan dialisis ( 1 k d i volume) 3. Filtrat kuttur setelah pemekatan dan dialisis (2 kali volume) Menurut Breton et al. ( 1 999) pita protein berukuran 21 kDa menunjukkan ukuran berat molekul toksin yang dinamai cassiicoline, tetapi pemisahan dengan HPLC dan spektrofotometri masa menunjukkan hasil yang berlainan, yaitu berturut-turut menghasilkan ukuran 7,56 f 0,09 kDa dan 2,886 kDa. Perbedaan ini disebabkan
Gambar 7 Aktivitas toksin filtrat kultur isolat C C ~clan fiaksi ~ yang N ~ diperoleh dari pernisahan dengan separator Vivaspin 500 dengan membran 10 kDa pada daun karet kion rentan RRIC 103
Tabel 1 1 Pengaruh perlakuan separasi dan dialisis terhadap aktivitas toksin filtrat Cpada daun karet ~ klon rentan ~ PPN 2447 ~ kultur isolat C No. Perlakuan 1. 2. 3.
~
~
Keparahan penyakir (%)
Filtrat (kontrol) Fraksi
berukuran 10 kDa berat molekul protein toksin ditemukan berukuran lebih kecil dari 10 kDa (Gambar 7). Disamping itu, diketahui bahwa aktivitas toksin masih ditunjukkan oleh filtrat yang didialisis dengan membran berukuran 3,5 kDa (Tabel 11.). Dengan demikian, berat molekul toksin diperkirakan terletak antara 3,5 dan 10
~
~
~
61
kDa.
Perkiraan berat molekul tersebut sesuai dengan data Breton (1997) yang
diperoleh berdasarkan pemisahan HPLC yaitu 7,56 kDa yang merupakan berat molekul cassiicoline dalam keadaan natif.
1.4 Kesirnpulan
Pada wilayah contoh pengamatan, dari 18 spesies tumbuhan selain tanaman karet ternyata C. cassiicola ditemukan hanya pada tanaman pepaya yang secara umum mengalami kerusakan ringan dengan gejala berupa nekrosis pada daun-daun tua. Pada wilayah yang menjadi pusat pertanaman karet, C. cassiicola dapat ditemukan pada berbagai tanaman klonal yang sedang dikembangkan, sedangkan pada wilayah yang bukan menjadi pusat pertanaman karet hanya ditemukan pada klon-klon rentan yang ditanam bersama-sama dengan klon-klon lainnya di areal kebun entres. Uji patogenisitas pada daun klon RRIC 103 yang sangat rentan membuktikan bahwa toksin yang sangat aktif dihasilkan oleh isolat C. cassiicola asal klon moderat rentan IAN 873 ( C C ~ ~ ~ ~tetapi ~ S ~toksin O ~ O tidak ~ ) dihasilkan oleh isolat CCRRIM~OOSUO~O~ (dari RRIM boo), C C P ~ ~ ~ ~ ~ S C U~O~ ~e ~OaO ~ a (dari ~ ~ 0 4daun 0 0 pepaya) dan isolat Chl~bikayuSUO~OO (Cercosporidium henningsii dari daun ubikayu) sebagai ~~~ IAN 0~02 pembanding. Toksin yang kurang aktif dihasilkan oleh isolat C ~ 1 ~ ~ 8 7(dari 873), isolat C
C
~
~dan ~c ~ ~~~
1 ~~ 7 2 ~5 (dari ~ ~~ 0 klon 4O 0 0 rentan ~ ~RRIC O
725). Aktivitas toksin terdeteksi di dalam filtrat kultur isolat C empat sampai 16 hari setelah inkubasi.
103 dan RRIM C pada
Aktivitas toksin tidak dipengaruhi oleh
~
62
keasaman pada kisaran pH media 4,5-6,5 yang dicapai dengan bufer fosfat 100 mM. Berat molekul toksin yang terukur terletak antara 3,5 dan 10 kDa.
Studi 2 INAKTIVASI IN VITRO TOKSIN ISOLAT Corynespora cassiicola ASAL DAUN KARET 2.1 Pendahuluan
Toksin C. cassiicola yang dinamakan cassiicoline dan digolongkan sebagai glikoprotein (Breton 1997) belum pernah dilaporkan dapat diinaktifkan oleh senyawasenyawa kirnia tertentu. Kemungkinan toksin tersebut dapat diinaktifkan oleh senyav~a-senyawabiokimia yang terdapat dalam tumbuhan hang atau oleh senyawa kimia lain perlu diteliti. Berbagai kemungkinan mekanisme inaktivasi cassiicoline dapat terjadi melali~i beberapa cara, antara lain melalui (i) reaksi enzimatik, (ii) pengikatan protein (protein-binding), (iii) pemblokiran, dan (iv) pengubahan molekul pada gugus-gugus fhngsional tertentu. Inaktivasi toksin melalui reaksi enzimatik kemungkinan dapat terjadi oleh adanya aktivitas kelompok protease atau enzirn-enzim proteolitik yang menghidrolisis rantai protein atau kelompok glikosidase yang memutus rantai samping karbohidrat pada glikoprotein. Inaktivasi toksin melalui pengikatan protein berdasarkan pertimbangan Agrios (1997) dapat terjadi j ika tanaman memiliki reseptor-reseptor spesifik atau sisi peka yang biasanya berupa glikoprotein pada permukaan sel. Jika reseptor-reseptor spesifik atau sisi sensitif dapat mengenali toksin maka tanaman akan menjadi sakit, sebaliknya jika reseptor-reseptor spesifik atau sisi peka tidak dapat mengenali toksin maka tanaman tetap resisten dan gejala penyakit tidak berkembang. Inaktivasi toksin melalui pemblokiran terjadi jika toksin berperan sebagai radikal bebas. Sebagai ilustrasi adalah mikotoksin T-2 (C24H34O9;
64
Sigma T 4887) yang dihasilkan oleh Fusarium sp. Toksin ini sering terdapat di dalam makanan dan pakan ternak yang berasal dari serealia dan diketahui dapat menginduksi kerusakan DNA dan kematian sel pada pemberian jangka lama. Aktivitas biologi toksin tersebut dapat diblokir oleh glutation, tokoferol dan koenzim
Q. Toksin seperti halnya cassiicoline kemungkinan dapat diinaktifkan dengan cara nlengubah gugus-gugus rnolekulnya. Sebagai ilustrasi, pengubahan gugus fungsional secara selektif pada toksin-HC yang dihasikan oleh Helminthosporium (Cochliobolus) carbonum mengakibatkan toksin tersebut menjadi inaktif (Walton & Earie 1983). Dalam penelitian ini, beberapa faktor yang mungkin berpengaruh terhadap aktivitas toksin dipelajari. Jembatan disulfida yang diiaporkan ditemukan pada protein toksin (Breton 1997) diduga dapat direduksi oleh senyawa-senyawa pereduksi sehingga toksin dapat menjadi inaktif.
Beberapa senyawa pereduksi dipelajari
pengaruhnya terhadap aktivitas biologi toksin yang terdapat di dalam filtrat kultur isolat C. cassiicola, antara lain natrium ditionit (sodium clithionite; sodium hydrosulfite; scdium hyposulfite; Na2S204), asam askorbat (L-ascorbic acid; vitamin C; C6H8O6),asam sitrat (citric acid; C6H8O7),2-merkaptoetanol (2-hydroxyethyl-
mercaptan; P-mercaptoethanol; CH3CH20SH), metilen biru (tetra-methylrhionine; Cl6Hl8CW3S),arnido hitam (amido black 10B; C22H14N6Na209S2). Serum B dan C lateks tanaman karet dipelajari pengaruhnya terhadap aktivitas toksin isolat C. cassiicola. Dalam lateks tanaman karet telah diketahui terdapat protein-protein yang terkait dengan patogenesis (PR protein, pathogenesis related proteins) dan senyawa-
65
senyawa pereduksi yang terlibat dalam sistem rantai redoks biologi sehingga di dalamnya kemungkinan akan terdapat senyawa-senyawa yang berperan untuk inaktivasi toksin yang dihasilkan C. cassiicola. Oleh karena itu perlu dianalisis pengaruh serum B clan C lateks terhadap toksin yang diproduksi C. cassiicola. Serum
B adalah supernatan yang diperoleh dari fiaksi bawah (B, bottom fraction) lateks setelah dilakukan ultrasentrifugasi, sedangkan serum C adalah fiaksi cairan (C,
central fraction) yang terletak di bagian tengah, yakni antara ii-aksi di bagian atas yang terdiri atas partikel-partikel karet dan
endapan di bagian bawah yang
menghasilkan serum B. Toksin yang dihasilkan C. cassiicola ternyata menjadi inaktif setelah ditambah dengan serum C dari lateks yang telah diawetkan dengan natrium ditjonit sebagai antioksidan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh suhu, senyawa-scnyawa pereduksi, dan serum B dan C lateks terhadap aktivitas in vitro toksin yang dihasilkan oleh isolat C. cassiicola yang berasal dari daun karet.
2.2 Metode Percobaan Percobaan inaktivasi toksin C. cassiicola terdiri atas tiga rangkaian. yaitu inaktivasi yang diakibatkan oleh pengaruh pemanasan, inaktivasi yang diakibatkan oleh pengaruh senyawa-senyawa pereduksi dan inaktivasi yang diakibatkan oleh pengaruh serum B dan C lateks yang diperoleh dari beberapa klon karet yang mempunyai respons resistensi diferensial terhadap C. cassiicola.
66
Serum B lateks dari beberapa klon karet yang memiliki respons resistensi diferensial terhadap C. cassiicola digunakan untuk penetapan kadar fenol, yaitu AVROS 2037, BPM 1, IAN 873, RRIC 103 d m RRIM 600. Percobaan dilaksanakan di laboratorium dan di rurnah kaca Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Bogor mulai Oktober 2000 sampai April 2003.
2-2-1 Preparasi Serum B dan C Lateks
Untuk memperoleh serum B dan C, lateks segar dari pohon karet di areal pertanaman dikumpulkan dengan cara menampung tetesan kira-kira yang ke lima belas dari talang sadapan. Bahan penampung adalah tabung erlenrneyer volume 100 ml yang diletakkan di atas rxingkuk sadap berisi es Satu pada setiap batzng pohon yang sedang disadap. Lateks dari beberapa pohon dikumpulkan menjadi satu dalam tabung erlenmeyer volume 300 ml dan dimasukkan ke dalam termos berisi es dan segera dibawa ke laboratorium untuk dilakukan ultrasentrifugasi. Ultrasentrifbgasi lateks dilakukan berdasarkan metode Moir (1959) dengan menggunakan ultrasentrihs Himac CP 80a Hitachi pada kecepatan 25.000 rpm selama 45 menit pada 4 "C (rotor P70AT diameter 10 cm) atau setara dengan 40.000 x g. Serum C yang berupa cairan di bagian tengah dikumpulkan dan disentrifugasi ulang dengan kondisi sama seperti sentrifugasi sebelurnnya.
Serum C yang bersih dikumpulkan di dalam aliquot
mikrotube 1,5 ml dan disimpan pada -70 O C untuk keperluan jangka waktu yang lama atau pada -20
O C
untuk keperluan jangka waktu yang pendek. Untuk memperoleh
serum B, fiaksi bawah lateks dihomogenisasi melalui proses beku-cair Weeze-
67
thawing) sebanyak 12 kali menurut metode Subroto (2000) sehingga fkaksi yang semula kental seperti susu menjadi cair, dan ultrasentrifugasi dilakukan pada kondisi seperti tersebut di atas. Serum B yang merupakan supernatan dikumpulkan dan disimpan seperti serum C. 2.2.2 Penetapan Kadar Fen01 Penetapan kadar fenol dilak-&an berdasarkan metode Chandler & Dodds yang dirnodifikasi oleh Shetty et al. (1995). Sebanyak 1,O ml serum B lateks dirnasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambah 1,O ml etanol95% dan 5,O mi deionized waterlair bebas ion (dHzO). Sebanyak 0,5 ml pereaksi folin ciocal~eu'sphenol 50% (v/v) ditambakkan pada campuran. Campuran diencerkan dengan 0.5 ml dH20, dibiarkan 5 rnenit, kernudian ditambahkan 1,O ml Na2C03 5% (blv). Campuran divorteks, dan disirnpan di ruang gelap selama 1 jam, lalu divorteks ulang sekali. Absorbansi dibaca pada h = 725 nm. Larutan standar asam tanat dibuat dalam sembilan taraf konsentrasi dari 0 sarnpai 200 ppm. Setiap taraf konsentrasi dipipet sebanyak 1,O ml ke dalam tabung reaksi, lalu ditarnbah etanol95% dan seterusnya seperti pada preparasi contoh bahan tersebut di atas. Perhitungan fenol total contoh dilakukan berdasarkan hasil ploting nilai absorbansi pada kurva standar yang diperoleh. Dalam penetapan kadar fenol total, aliquot serum B yang disimpan pada suhu -20 OC direndam dalam penangas air yang diletakkan pada kamar bersuhu 5 OC agar bahan tersebut mencair secara perlahan-lahan, kemudian sebanyak 100 pl diencerkan dengan 400 p1 dH20.
Dalam penetapan kadar fenol bersih, preparasi contoh
68
dilakukan sebagai berikut: Sebanyak 100 p1 serum B yang telah diencerkan dengan 400 p1 dHzO ditarnbah dengan 500 p1 etanol95% dan disimpan pada 5 OC selama 2 jam agar berlangsung pengendapan kompleks protein-fen01 sebagai fen01 terikat. Campuran disentrifbgasi pada kecepatan 13.000 rpm selama 10 menit dan supernatan yang diperoleh ditetapkan kadar fenolnya seperti pada prosedur di atas. Preparasi bahan contoh clan asam tanat standar tersebut masing-masing dibuat duplo.
2.2.3 Inaktivasi dengan Pemanasan Ada dua rangkaian percobaan yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan pemanasan terhadap aktivitas toksin, yaitu (1) Percobaan dengan menggunakan dua macam filtrat kultur, yakni filtrat yang mengandung toksin yang sangat aktif dari kultur isolat C ~ ~ ~ ~ dan ~ 7filtrat 3 ~ yang ~ 0 mengandung 4 ~ ~ toksin kurang aktif dari kultur isolat C C I A N ~dan ~ ~(2)~Percobaan U ~ ~ ~ dengan ~ , menggunakan toksin yang dirnurnikan secara parsial melalui tahapan presipitasi filtrat dengan amonium sulfat dan fiaksinasi dalam kolom berisi gel sephacryl S-200-HR. Percobaan pertarna: Perlakuan terdiri atas dua faktor, yaitu pemanasan dengan tingkat gradiensi suhu pada empat taraf (60, 80, 100 dan 120 O C ) dan lama waktu pemanasan yang diatur pada tiga taraf (10, 20 dan 30 menit). Dengan demikian perlakuan untuk setiap filtrat kultur dari dua isolat tersebut terdiri atas 4x3 = 12 kombinasi perlakuan. Dua macam filtrat yang digunakan diperoleh pada percobaan produksi toksin yang telah dilakukan sebelurnnya. Sebanyak 250 p1 filtrat di dalam mikrotube diletakkan pada penangas air bersuhu 60 dan 80 OC, pada air mendidih
69
(100 OC), atau diotoklaf pada 120 OC, masing-masing dengan lama waktu 10, 20 dan 30 menit sesuai dengan perlakuan yang telah ditentukan seperti yang telah disebutkan. Fitotoksisitas diuji pada daun tanaman karet klon rentan PPN 2447 seperti pada metode BiP. Percobaan kedua:
Perlakuan terdiri atas dua faktor, yaitu toksin dan
pengenceran. Toksin terdiri atas dua perlakuan, yaitu (i) toksin dengan konsentrasi protein 5 pglml sebanyzk 250 p1 di dalam mikrotube dipanaskan di daiam otoklaf pada 120 "C 10 menit, dan (ii) toksin tanpa dipanaskan. Faktoi. pengenceran terdiri atas tiga taraf, yaitu (i) pengenceran dengan air bebas ion 1:1, (ii) pengenceran 1:3, dan (iii) pengenceran 1:7. Fitotoksisitas diuji pada daun karet klon rentan RRIC 103 dengan metode BiP. Peubah yang diamati adalah tingkat aktivitas toksh dengan prosedur pengamatan seperti pada percobaan sebelumnya. 2.2.4 Inaktivasi dengan Senyawa Pereduksi Ada tiga rangkaian percobaan dilakukan, (1) Penambahan Na2S204 ke dalam lateks, (2) Asam askorbat, asam sitrat dan Na2S204 masing-masing ditambahkan ke dalam filtrat kultur isolat C C I A N ~ ~dan ~ S (3) U ~Amido ~ ~ ~ block, , 2-merkaptoetanol, meti!en biru, dan Na2S204 masing-masing ditambahkan ke dalam filtrat kultur isolat Cc1~~873~~0400Percobaan pertarna:
Dua macam filtrat digunakan, yakni filtrat yang
mengandung toksin yang sangat aktif dari kultur isolat ~
c
~ dan filtrat A
yang N
mengandung toksin kurang aktif dari kultur isolat C C I A N ~ ~ Perlakuan ~ S ~ ~ ~terdiri O~.
~
~
70
atas dua faktor, yaitu (i) fiaksi lateks yang terdiri atas dua macam, yaitu serum B dan serum C; dan (ii) perbandingan volume antara filtrat dan fiaksi lateks, yang ditentukan pada tiga taraf perbandingan (1:1, 1:3 dan 1:7).
Dengan demikian
perlakuan untuk setiap filtrat dari dua isolat yang digunakan dalam percobaan terdiri atas 2 x 3 = 6 perlakuan. Sebanyak 50 p1 filtrat dalam mikrotube ditambzh dengan serum B atau serum C, masing-masing dengan perbandingan 1:1, 1:3 dan 1:7 sesuai dengan perlakuan yang telah ditentukan seperti tersebut di atas. Serum B dan C diperoleh dengan cara seperti yang diterangkan pada paragraf preparasi serum B dan C lateks. Setiap campuran divorteks selama 2 detik dan dibiarkan pada suhu ruang selama 36 jam sebelilm digunakan cntuk bioasai. Fitotoksisitas diuji pada daun tanaman karet klon sangat rentan RRIC 103 seperti pada bioasai yang telah diterangkan. Penentuan indeks keparahan penyakit dilakukan seperti pada metode percobaan bioasai yang telah dilakukan sebelumnya. Percobaan kedua: Filtrat kultur isolat ~c~~~~~~~~~~~~dalam mikrotube ditambah dengan enan taraf konsentrasi asam askorbat, asarn sitrat dan Na2S204 masingmasing 0,0%, 0,2%, 0,4%, 0,6%, 0,8% dan 1,0% dalam perbandingan volume 1:l. Inkubasi campuran dilakukan pada suhu ruang selama 36 jam. Fitotoksisitas diuji pada daun karet klon sangat rentan RRIC 103. Percobaan ketiga: Filtrat kultur isolat
C ~ 1 ~ ~ 8 7 3 ~ dalam ~ 0 4 0 0mikrotube
ditambah
dengan empat taraf konsentrasi lirna jenis senyawa-senyawa pereduksi, amido black
IOB, 2-merkaptoetanol, metilen biru (Riedel), metilen biru (M&B) dan Na2S204
71
masing-masing 0,00%, 0,05%, 0,10%, 0,20% dan 0,40% dalam perbandingan volume 1:1. Inkubasi campuran dilakukan pada suhu ruang selama 36 jam. Fitotoksisitas diuji pada daun karet klon rentan RRIC 103. Untuk mengetahui pengaruh senyawasenyawa pereduksi pada pH 7,0, percobaan dilakukan dengan cara yang sama, tetapi ~ ~ ~ ~ ~ ~ pereduksi ~ ~ tersebut pH filtrat kultur isolat C C I A Ndan~ senyawa-senyawa masing-masing dinetralkan dengan larutan KOH 1 N. Lima taraf konsentrasi amido blcck IOB,2-merkaptoetanol, metilen biru (Riedel), dan Na2S204yang diuji masingmasing adalah 0,O; 0,2; 1,O; 5,O; dan 25,O rnM. Fitotoksisitas diuji pada daun karet klon sangat rentan PPN 2444. 2.2-5 Inaktivasi dengan Serum B dan C Lateks
Untuk mengetahui kemampuan inaktivasi serum B dan C yang berasal dari fiaksinasi lateks terhadap aktivitas toksin, tiga rangkaian percobaan yang dilakukan. yaitu (1) Penambahan serum C enam klon karet pada filtrat kultur C
C
~(2)
Percobaan pcngaruh fiaksi lateks karet klon moderat rentan IAN 873 yang terdiri atas serum B dan C yang diberi beberapa perlakuan, dan (3) Percobaan pengaruh serum B yang difiaksinasi dengan separator Vivaspin 500. Untuk memperoleh serum C, ultrasentrifbgasi lateks dilakukan menurut metode Moir (1959). Serum B diperoleh menurut prosedur Siswanto (1999) dengan cara menggerus fraksi bawah yang dihomogenisasi dengan nitrogen dan dilanjutkan dengan ultrasentrifbgasi pada kondisi sama seperti pada preparasi serum C. Serum B terdiri atas supernatan yang jernih.
Serum B dan C dikumpulkan dalam aliquot
~
~
72
mikrotube volume 1,5 ml dan disimpan pada suhu -70 "C untuk keperluan jangka panjang lebih dari 1 bulan atau pada suhu -20 "C untuk keperluan jangka pendek. Percobaan pertama: Serum C dari masing-masing klon karet ditambahkan ke dala filtrat kultw isoht C
~
~ dalam ~ perbandingan ~ ~ volume ~ ~ 1 : 1.~ campwan ~ 0
4
~
tersebut diinkubasi pada temperatur ruang selama 36 jam. Fitotoksisitas diuji pada daun tanaman karet klon rentan PPN 2447 dengan metode BiP. Percobaan kedua: Serum B dan C masing-masing diberi beberapa perlakuan, yakni (i) Dipanaskan pada 80 "C selama 10 menit, (ii) Didialisis dengan membran 3,5 kDa, dan (iii) Didialisis dengan membran 12 kDa. Dalam perlakuan pemanasan, sebanyak 1 rnl serum B dan C rnasing-masing dimasukkan ke dalam penangas air suhu 80 "C selarna 10 menit. Setelah mendingin, kedua serum tersebut disentrifugasi ringan pada kecepatan 6.000 rpm pada 4 "C selarna 10 menit untuk memisahkan supernatan dan endapan. Dalam perlakuan dialisis, sebanyak 3 ml serum B d m C dirnasukkan ke dalam kantung dialisis dengan membran berukuran 3,5 kDa atau 12 kDa dalam bufer fosfat
5 mM pH 6,5. Sebagai pelarut, digunakan air bebas ion. Dialisis dilwan
pada 4 "C
selama 24 jam dengan melakukan penggantian bufer sebanyak dua kali. Sebanyak
100 1-11 filtrat mengandung toksin yang berasal dari kultur isolat C
C
ditambah dengan 100 p1 serum B atau C yafig telah diberi beberapa perlakuan seperti tersebut di atas. Serum B atau C yang tidak diberi perlakuan digunakan sebagai pembanding. Setiap campuran divorteks selama kurang lebih 2 detik dan dibiarkan pada suhu ruang selama 36 jam sebelum dilakukan uji fitotoksisitas.
~
73
Fitotoksisitas diuji pada daun tanaman karet klon rentan RRIC 103 dengan metode BiP. Peubah yang diamati adalah tingkat aktivitas toksin yang diukur berdasarkan indeks keparahan penyakit pada 4 hari setelah inokulasi seperti telah diterangkan pada metode percobaan sebelumnya. Percobaan ketiga: Serum B yang berasal dari lateks karet klon moderat rentan
IAN 873 difiltrasi dengan membrar, selulosa asetat 0,2 ym dan filtrat yang diperoleh dimasukkan ke dalam separator spntrihgal Vivaspin 500 dengan membran berukuran 10 kDa. Sentrihgasi dilakukan pada kecepatan 8.000 rpm pada 4 OC selama 15 menit. Cairan yang 1010s melalui membran dikumpullcan sebagai serum B 4 0 kDa. Cairan yang tidak 1010s melalui membran ditambah dengan air bebas ion, lalu disentrifugasi ulang hingga dua kali untuk membebaskan fiaksi yang berukuran kecil dan hasilnya dikumpulkan sebagai serum B >10 kDa. mengandung toksin yang berasal dari kultur isolat C
Setiap 200 pl filtrat
C ditambah dengan ~
200 pl serum B
10 kDa. Sebagai pembanding, digunakan filtrat yang hanya ditambah air bebas ion saja dalam perbandingan volume yang sama.
Masing-masing campuran tersebut dihomogenkan dengan vorteks selama
kurang lebih 2 detik. Setelah inkubasi pada suhu ruang selama 36 jam, masingmasing campuran tersebut disentrihgasi pada kecepatan 5.000 rpm pada 4 OC selama
4 menit. Fitotoksisitas setiap campuran clan hasil preparasi campuran tersebut diuji pada klon karet rentan PPN 2444 dengan metode BiP.
~
2.3 Hasil dan Pembahasan
2.3-1 Pengaruh Pemanasan Toksin yang merupakan glikoprotein ternyata bersifat terrno-stabil. Sifat ini sering terjadi pada kelompok protein yang berukuran kecil. Konformasi protein kecil yang berubah akibat pengaruh tingkat pemanasan tertentu setelah mendingin akan kembaii pada keadaan semula sehingga aktivitas biologi protein dapat dipulihkan. Inaktivasi toksin terjadi secara nyata pada perlakuan pemanasan filtrat kultur yang mengandung toksin sangat &tif dari isolat C C I A N ~Inaktivasi ~ ~ S ~ yang ~ ~ sama ~ ~ . juga terjadi secara nyata pada toksin yang dimurnikm parsial (Tabel 12, Tabel 13 dan Gambar 8). Perlakuan pemanasan hingga pada 100 "C selama 30 menit tidak mengakibatkan penurunan aktivitas toksin, sedangkan pemanasan pada 1 20 "C selama 10 menit telah mengakibatkan aktivitas toksin hilang sama sekali. Pada pemanasan 120 "C selama 10 menit filtrat kultur isolat mengalami
kehilangan
yang memiliki toksin kurang aktif juga
aktivitasnya
sama
sekali.
Pada
percobaan
dengan
menggunakan toksin yang telah dimurnikan secara parsial dengan konsentrasi protein
5 pglrnl, perlakuan pemanasan pada 120 "C selarna 10 menit juga mengakibatkan toksin tersebut kehilangan aktivitasnya. Perlakuan pemanasan bertekanan 1,2 kg/cm2 dalam otoklaf pada 120 OC selama 10 menit mengakibatkan &vitas
toksin filtrat hilang sama sekali. Hal ini hampir
sama dengan percobaan yaxg gernah dilqbkan oleh Suwarto (1989) bahwa aktivitas
toksin sangat berkurang setelah filtrat kultur C. cassiicola isolat Cc-SP diberi perlakuan pemanasan pada 121 OC selama 30 menit, sedangkan menurut Breton (1997) larutan cassiicoline 1 pglml masih memiliki aktivitas 60% setelah dipanaskan pada 120 OC selama 15 atau 30 menit. Tabel 12 Pengaruh pemanasan terhadap aktivitas toksin filtrat kultur isolat C C I A N ~ ~ dan ~SU CO ~1 ~~ O ~O8 7 ~pada ~ ~ daun 0 7 0 klon 2 rentan PPN 2447 No. Toksin
Suhu ("c>
Pemanasan Aktivitas Toksin Lama Perlakuan Skala Gejala Keparahan (menit) Rata-rata cv(%) Penyakit (%)
Tabel 13 Pengamh peterhadap aktivitas toksin yang dim& parsial dari presipitat m t kultu.r kuht C ~ J A pada N ~daun ~ karet ~ ~klon Urentan ~ PPN 2447a) No. Perlakuan pemanasan 1. Tanpapemanasan
Pengenceran dengm dho 1:l 1 :3 1:7
Aktivitas Toksin Skala Gejala Keparahan Rata-rata cv(%) Penyakit (%) 6,o 4,2 2,O
0 39 40
100 70 33
Catatan: a?oksin yang dimurnikan parsial dengan presipitasi amonium sulfat dan filtrasi gel Sephacryl S-200-HR dmgan kadas protein 5 pg/ml
Gambar 8 Gejala toksin yang dimurnikanparsial berkadar protein 5 pg/ml sebelum (a, b dan c) dan setelah (d, e dan f ) pemanasan pada 120 O C 10 menit pada tiga taraf pengenceran dengan dH20berturutturut 1 :1, 1 :3 clan 1 :7 pada daun klon rentan RRIC 103
2.3.2 Pengaruh Senyawa Pereduksi Hasil percobaan menunjukkan bahwa serum C yang berasal dari lateks yang telah diawetkan dengan Na2S204 mengakibatkan aktivitas toksin hilang sama sekali seperti ditunjukkan pada Tabel 14. Penambahan Na2S204 ke dalam lateks tarnpaknya terakurnulasi di dalam serum C daripada di dalam serum B. Pada fkaksinasi lateks dengan teknik ultrasentrifi~gasi,fiaksi cairan yang berupa serum C tampaknya segera melamtkan garam Na2S204 tersebut, sedangkan fiaksi bawah yang berupa padatan tidak segera menyerap garam tersebut. Penambahan asam askorbat atau asam sitrat hingga konsentrasi 1,0% dalam filtrat kultur isolat C. cassiicola sama sekali tidak berpengaruh terhadap aktivitas toksin. Di pihak lain, garam Na2S204 pada konsentrasi G,05% atau 1,O mM telah mulai menunjukkan penurunan aktivitas toksin, sedangkan pada 0,2% atau 25 rnM telah mengakibatkan aktivitas toksin hilang sama sekali (Gambar 9, 10 dan 11). Senyawa-senyawa pereduksi seperti Na?S204, 2-merkaptoetanol, dan amido
black ternyata m m p u menginaktifkan atau mengurangi aktivitas toksin yang dihasilkan oleh C. cassiicola. Diduga, terjadi reaksi redoks antara senyawa-senyawa pereduksi tersebut dengan molekul toksin. Reaksi redoks secara umum adalah reaksi kimia yang disertai dengan perubahan bilangan oksidasi.
Setiap reaksi redoks terdiri atas setengah reaksi reduksi
(penurunan bilangan oksidasi atau penyerapan elektron) dan setengah reaksi oksidasi (kenaikan bilangan oksidasi atau pelepasan elektron).
Reaksi redoks dapat
berlangsung spontan atau tidak spontan. Metode setengah reaksi atau metode ion-
79
bebas. Garam anhidrous dapat diperoleh dengan memanaskan sampai 65 "C. Garam Na2S204 sangat mudah teroksidasi, khususnya pada keadaan lembab dan dalam larutan.
Bahan ini sering digunakan sebagai penyerap oksigen.
Reaksi redoks
Na2S204dan toksin C. cassiicola diperkirakan akan mengubah ion S2O4=menjadi ion S2O3=,sedangkan jembatan disulfida pada toksin akan diputus rnenjadi gugus SO3seperti pada persamaan reaksi sebagai berikut: 2(-S-S-)
+ 6H2O + 2(-SO3-) + 10e- + 1 2 ~ '
Dalam kasus reaksi redoks 2-merkaptoetanol dan toksin C. cassiicola (dalam ha1 ini diperkirakan Eo 2-merkaptoetanol sedikit lebih negatif daripada Eo toksin), gugus sulfhidril pada 2-merkaptoetanol akan berubah menjadi jembatan disulfida sedangkan jembatan disulfida toksin kemungkinan akan diputus menjadi gugus sulfhidril seperti pada persamaan reaksi sebagai berikut :
Pernutusan jembatan disulfida pada protein toksin diperkirakan sebagai faktor yang mengakibatkan toksin kehilangan aktivitasnya karena protein tersebut mengalami perubahan konformasi molekul.
Tabel 14 Pengaruh serum B dan C lateks klon AVRBS 2037 yang telah diawetkan dengan natrium ditionit 0,08% terhadap aktivitas toksin filtrat kultur isolat C ~ 1 ~ ~ 8 7 3 ~dan ~ 0 4C0C0 I A N ~ ~ pada ~ S Udaun O~O klon ~ rentan RRIC 103 Fraksi Lateks Aktivitas Toksin Jenis Fraksi Pengenceran Skala Gejala Keparahan (v/v) Rata-rata cv(%) Penyakit (%)
No. Toksin -
---
1. FfC~1~~873~~0702 Serum B Serum C
2. F ~ C C I A N ~ ~ ~ S rum U O ~B OO Serum C
Asarn a s k o r b a t
A s a m sitrat
1:l 1:3 1:7 1:1 1:3 1:7
0,6 0,2 0,2 0,o 0,o 0,o
18 37 61 0 0 0
10 4 3 0 0 0
1:l 1:3 1:7 1:1 1:3 1:7
42 1,s 0,7 0,o 0,o 0,o
11 15 16 0 0 0
70 30 11 0 0 0
N a t r i u r n ditionit
Gambar 9 Pengaruh asam askorbat, asam sitrat dan natrium ditionit masing-masing pada konsentrasi 0,0%, 0,2%, 0,4%, 0,6%, 0,8% dan l,0% terhadap ~ 1 pada~daun ~karet rentan ~ 7 aktivitas toksin filtrat kultur isolat C klon RRIC 103
~
~
Gambar 10 Pengaruh empat jenis senyawa pereduksi tahadap aktivitas toksin filtrat kultur (pH 0 0 45,3) 0 U s isolat 378~c pada daun karet rentan RIUC 103
C l d m 11 Pmgamh empat senyawa perduhi pada pH 7,O terhadap aktivitas
tobin fWat kuhur isolat C q ~ ~ 8 7 3 s v o 4 0pada 0 daun karet rentan PPN
2444
82
2.3.3 Pengaruh Serum B dan C Lateks Perlakuan penambahan serum C dari lateks beberapa klon karet pada filtrat kultur isolat ~c~~~~~~~~~~~ dengan perbandingan filtrat : serum C = 1 : 1 (vlv) hampir tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas toksin (Gambar 12). Penurunan keparahan penyakit yang diakibatkan oleh serum C RRIC 103, RRIM 600 dan BPM 1 kemungkinan karena adanya kontarninasi serum B pada saat preparasi. Sebaliknya, serum B dari lateks klon moderat rentan IAN 873 nyata da?at menginaktivasi toksin (Tabel ~ ~15~danS 16). U ~ ~ ~ ~ filtrat kultur isolat C C ~ ~ N
A R X BPMl
ax37
GTI
W M IAN873 W C 600 103
k3alIa-d
Gambar 12 Pengaruh serum C dari lateks enam klon karet diferensial terhadap aktivitas toksin filtrat kultur isolat C C ~ A dalam N ~ ~ ~ S ~ ~ ~ ~ ~ toksin : serum C = 1 : 1 (vlv) pada daun karet klon rentan.
Tabel 15 Pengaruh serum B dan C dari lateks karet klon moderat rentan IAN 873 terhadap aktivitas toksin filtrat kultur isolat C C I A N ~ ~ ~ pada S U Odaun ~ O Okaret klon rentan PPN 2447 Aktivitas Toksin Skala Gejala Keparahan Rata-rata cv (%) Penyakit (%)
No. Perlakuan 1. 2. 3. 4.
SerumB Serum B dipanaskan 80 OC 10 menit Serum B didialisis 3,5 kDa Serum B didialisis 12 kDa
@,o 0,o 4,o 3,s
0 0 0 12
0 0 80 75
5. 6. 7. 8.
Serum C Serum C dipanaskan 80 "C 10 menit Serum C didialisis 3,5 kDa Serum C ciidialisis 12 kDa
3,o 4,o 3,9 3,s
0 0 7 12
80 80 78 75
Tabel 16 Pengaruh serum B lateks lima klon karet terhadap aktivitas toksin filtrat S UC~1~~873~~0702 O~OO pada daun karct klon rentan kultur isolat C C I A N ~ ~ ~dan RRIC 103 Serum B Lateks Karet No. Toksin Klonlkontrol Warna F f C ~ 1 ~ ~ 8 7 3 ~ ~R0H4C 0 0103 IAN 873 RRIM 600 AVROS 2037 BPM 1 dH2O
Bening Bening Bening Menghitam Menghitam
F ~ C C I A N ~ ~ RRIC ~SUO 103 ~ O ~ Bening IAN 873 Bening RRIM 600 Bening AVROS 2037 Menghitam BPM 1 Menghitam dHzO
Aktivitas Toksin Skala Gejala Keparahan Rata-rata cv(%) Penyakit(%)
Tabel 17 Kadar fen01 seruin B lateks lima klon karet diferensial
No. Klon karet
1. 2. 3. 4. 5.
AVROS 2037 BPM 1 RRIM 600 IAN 873 RRIC 103
Kadar Fen01 (ppm)
Respons resistensi klon
Serum B
Resisten Resisten Moderat Moderat rentan Sangat rentan
Menghitam Menghitam Bening Bening Bening
Total
Bersiha
5 18 406 610 755 514
252 199 346 734 313
"Serum B diberi perlakuan etanol dan endapan yang terjadi dipisahkan dari supernatan Pengaruh inaktivasi oleh serum B dari lateks asal klon IAN 873 tidak mengalami perubahan setelah pemanasan pada 80 OC selama 10 menit, tetapi pengaruhnya akan hilang setelah didialisis dengan membran berukuran 3.5 dan 12 kDa. Dalam ha1 ini, serum B lateks asal klon IAN 873 kemungkinan mengandung senyawa fenolik yang mampu mereduksi toksin sehingga mengakibatkan to ksin menjadi inaktif. Di lain pihak, serum B asal klon AVROS 2037 dan BPM 1 (klon resisten) tidak menghambat aktivitas toksin (Tabel 16). Hal ini kemungkinan karena pada saat preparasi, serum B asal klon AVROS 2037 dan BPM 1 mengalami perubahan warna menjadi gelap atau menghitam yang diperkirakan terjadi reaksi oksidasi pada senyawa-senyawa fenolik.
Oleh karena itu, pcnelitian lebih lanjut masih perlu
dilakukan. Serum B asal klon-klon lainnya tidak menunjukkan perubahan warna dernikian. Senyawa-senyawa kirnia di dalam serum B yang bersifat antitoksin terhadap toksin isolat C. cassiicola belum dapat ditentukan. Hasil analisis serum B klon IAN
85
873 menunjukkan bahwa kadar fen01 total klon tersebut paling tinggi di antara klonklon yang diuji (Tabel 17). Beberapa kendala dihadapi dalam preparasi ekstraks protein dari serum B dan C lateks seperti terjadi penghitaman serum B. Perubahan warna serum B menjadi menghitam pada klon karet yang resisten AVROS 2037 dan BPM 1 tersebut kemungkinan menghilangkan aktivitas antitoksin yang dikandungnya. Harborne (1984) menyebutkan bahwa dalam mengisolasi protein dari jaringan turnbuhan, ada empat masalah khas yang dihadapi, yaitu caiian sel yang kernasamannya tinggi, adanya fenolase, tanin dan enzim proteolitik. Cairan sel yang asam (pH 2-4) dapat menyebabkan protein-protein terdenaturasi, fenolase dapat mengubah fenol-fen01 me~ljadi kuinon-kuinon dan kuinon-kuinon ini &an bereaksi secara bolak-balik dengan protein-protein rnenghasilkan warna coklat,
tanin mudah membentuk
kompleks dengan protein, sedangkan enzim proteolitik akan menghidrolisis proteinprotein.
Dari empat masalah tersebut, pembentukan kompleks senyawa-senyawa
fenolik dengan protein kemungkinan telah mengakibatkan aktivitas antitoksin menjadi hilang seperti ditunjukkan oleh perubahan warna serum B yang menjadi menghitam. Elektroforegrarn protein serum B dan C dari lateks menunjukkan adanya perbedaan dalam ketebalan pita antara klon resisten AVROS 2037 dan klon moderat rentan IAN 873 (Gambar 13A). Namun demikian, belum dapat diketahui proteinprotein yang mudah membentuk kompleks dengan senyawa fenolik sehingga menimbulkan perbedaan pengaruh terhadap inaktivasi toksin. Peranan yang sama juga
86
tidak tampak pada elektroforegrarn protein serum B klon rentan RRIC 103, klon moderat rentan IAN 873 dan RRIM 600, dan klon resisten AVROS 2037. Hal ini terjadi karena protein-protein pada analisis berdasarkan
SDS-PAGE telah
terdenaturasi (Gambar 13). Berdasarkan data yang menunjukkan terjadinya reaksi redoks antara senyawasenyawa pereduksi dan toksin isolat C. cassiicola, toksin tersebut kemungkinan mengoksidasi senyawa-senyawa yang terdapat dalam jaringan tanaman. Dalam ha1 ini, toksin tersebut diperkirakan mengadakan reaksi redoks dengan senyawa-senyawa yang terdapat dalam daun tanaman karet inang sehingga menimbulkan kerusakan jaringan berupa gejala nekrosis. Toksin tersebut diduga bekerja dengan cara mengganggu sistem rantai reaksi redoks pada tanarnan karet yang rentan seperti rnisalnya RRIC 103, tetapi aktivitasnya dapat dihambat atau dinetralkan oleh senyawa-senyawa pereduksi seperti halnya
Na2S204,2-merkaptoetanol,dan amido black 1OB. Serum B yang telah didialisis dengan membran berukuran 3,5 kDa ternyata mengakibatkan kemampamya dalam menginaktifkan toksin menjadi hilang. Hal ini mengindikasikan bahwa senyawa antitoksin di dalam serum B tersebut mempunyai berat molekul lebih rendah dari 3,5 kDa.
Sebagai dugaan, senyawa antitoksin
tersebut kemungkinan berupa protein kecil yang memiliki berat molekul rendah atau berupa senyawa fenolik. Apabila antitoksin berupa protein kecil, maka visualisasinya memerlukan analisis SDS-PAGE dengan bufer khusus.
Gambar 13 Elektroforegram protein serum B dan C lateks dengan pewarnaan Coomassie Blue A. Lajur 1& 6 Lajur 2 Lajur 3 Lajur 4 Lajur 5 Lajur 7 Lajur 8 Lajur 9 Lajur 10 B. Lajur 1&6 Lajur 2 Lajur 3 Lajur 4 Lajur 5 Lajur 7 Lajur 8 Lajur 9 Lajur 10
: : : : : : : : : : : : : : : : : :
Pita protein standar (BioRad) Serum B lateks klon resisten AVROS 2037 Serum B lateks klon resisten AVROS 2037 didialisis 12 kDa Serum B lateks klon moderat rentan IAN 873 Serum B lateks klon moderat rentan IAN 873 d i W i i s 12 kDa Serum C lateks klon resisten AVROS 2037 Serum C lateks klon resisten AVROS 2037 didialisis 12 kDa Serum C lateks klon moderat rentan IAN 873 Serum C karet klon moderat rentan IAN 873 didialisis 12 kDa Pita protein standar (Amersham) Senun B lateks klon rentan RRIC 103 Serum B lateks klon moderat rentan IAN 873 Serum B lateks klon moderat RRIM 600 Serum B lateks klon resisten AVROS 2037 Serum B lateks klon rentan RRIC 103 80 OC 10 menit Serum B lateks klon moderat rentan IAN 873 80 OC 10 menit Serum B lateks klon moderat RRIM 600 80 OC 10 menit Serum B lateks klon resisten AVROS 2037 80 OC 10 menit
88
Berdasarkan Tabel 17, diketahui bahwa serum B dari lateks klon IAN 873 ternyata berkadar fen01 total paling tinggi dibandingkan dengan serum B dari lateks klon AVROS 2037, BPM 1, RRIC 103 dan RRIM 600. Senyawa-senyawa fenolik telah diketahui dapat berperan sebagai antioksidan alamiah dan banyak terdapat pada turnbuhan tingkat tinggi. Menurut Walker dan Stahrnann (1955) senyawa-senyawa fenolik yang ada di dalam tumbuhan dapat berperan untuk menghambat perkembangan infeksi cendawan patogen yang sedang berlangsung, seperti misalnya senyawa fenolik catechuic acid pada bawang putih yang memungkinkan tanaman menjadi resisten terhadap Colletotrichum circinans. Oleh karena itu, ada indikasi kuat bahwa senyawa-senyawa fenolik di dalam serum B lateks yang berperan untuk inaktivasi toksin C. cassiicola kemungkinan senyawa-senyawa pereduksi yang selama ini diketah~iiterlibat dalam sistem reaksi redoks biologi. Lateks dalam pohon karet adalah sitoplasrna dari sel-sel pembuluh lateks (Mok 1959, Jacob et al. 1993) dan bukan cairan vakuola seperti pada anggapan yang ada sebelumnya. Secara umum lateks terdiri atas kira-kira 37% fasa karet, 48% serum (serum C), 15% fiaksi bawah (sebagai sumber serum B), dan lainnya partikel FreyWyssling (Archer et al. 1969).
Setiap 100 g lateks terdiri atas serum yang
mengandung 0,02 g asam askorbat, 0,01 g glutation, 1,O-1,5 g inositol-inositol, 0,5 g protein-protein, 0,08 g asam-asam amino bebas, 0,04 g basa-basa nitrogen, 0,002 g asam-asam nukleat, 0,02 g mononukleotida-mononukleotida, karbohidrat d m asamasam organik lain; fraksi bawah yang mengandung 0,007 g trigonelline, 0-0,05 g ergothioneine, fosfolipida-fosfolipida, plastokuinon, ubikuino1, dan sterol-sterol;
89
partikel-partikel
Frey-Wyssling
yang
mengandung
karotenoid-karotenoid,
plastokromanol dan lipida-lipida lain; dan fasa karet yang mengandung 0,5 g proteinprotein, 0,6 g fosfolipid-fosfolipid, 0,09 g tokotrienol-tokotrienol bebas dan teresterifikasi, sterol-sterol dan ester-esternya, lemak dan waxes (Jacob et al. 1993). Menurut d'Auzac dan Jacob (1989) bahan-bahan terlarut di dal.am serum lutoid dan serum sitosol memiliki nisbah konsentrasi lutoid/sitosol yang berbeda-beda, sebagai berikut: K' 1,O; M~~~8,O; ca2+6,O; cu2+2,O; Pi 8,7; sukrosa 0,l; sitrat 9,3; rnalat 1,2; asam-asam amino asam 0,4; asam-asam amino netral0,6; dan asam-asam amino basa 8,6. Secara teoritis dapat disimpulkan bahwa senyawa di dalam serum B yang berindikasi kuat menginaktifkan toksin isolat C. cassiicola adalah senyawa-senyawa fenolik, seperti misalnya ubikuinol yang dilaporkan Jacob et al. (1993) terdapat di dalam serum B lateks. Senyawa-senyawa fenolik pada tumbuhan tingkat tinggi mempunyai pengaruh tertentu pada pertumbuhan tanaman dan pada patogen seperti misalnya cendawan dan virus.
Beberapa senyawa fenolik merupakan inhibitor
pertumbuhan tanaman pada konsentrasi tinggi, antara lain asam 4-hidrobenzoat, asam salisilat, asam p-koumarat, asam galat, koumarin dan skopoletin. Senyawa-senyawa tersebut disintesis di dalam jaringan hijau dan diakumulasikan di dalam jaringan berkayu selama dorrnansi.
Penghambatan pertumbuhan oleh senyawa-senyawa
fenolik digunakan oleh tumbuhan tingkat tinggi sebagai perlindungan terhadap invasi cendawan atau virus.
Beberapa contoh senyawa fenolik dapat menghambat
pertumbuhan dan perkecambahan spora pada fbngi.
Lignan hidroksimatairesinol
90
diketahui menghambat pertumbuhan Fomes annosus yang menginfeksi pohon, sedangkan 3,4-dihidroksibenzaldehida dihasilkan oleh kulit luar pisang Cavendish hijau sebagai pertahanan terhadap serangan Gloeosporium musarum penyebab busuk buah peraman. Kournarin dan derivat-derivatnya menghambat pertumbuhan beberapa cendawan, sedangkan tanin melindungi tanaman dari serangan cendawan dan virus (Vickery & Vickery 1981). Konsentrasi ubikuinol dalam lateks diperkirakan berbeda-beda pada berbagai klon karet. l Jbikuinol (hidrokuinon) adalah bentuk tereduksi suatu derivat koenzirn Q, sedangkan ubikuinon adalah bentuk teroksidasi. Ubikuinon-ubikuinon tersebar luas di alam, dan hanya bakteri gram positif dan alga biru-hijau yang tidak mengandung derivat-derivat
5,6-dimethoxy-3-methyl-2-polyprenyl-I, 4-benzoquinone.
Rantai
samping isoprenoid ubikuinon-ubikuhon bervariasi satu sampai 12, tetapi yang paling umum adalah 8, 9 atau 10. Selama ini ubikuinon telah diketahui dengan baik berfungsi sebagai agen transpor elektron pada sistem oksidoreduksi seperti telah dijelaskan dalam berbagai tulisan (Bennett & Frieden 1968; Ribereau-Gayon 1972; Vickery & Vickery 1981). Namun demikian, keterlibatannya sebagai antioksidan atau sebagai sistem pertahanan tumbuhan terhadap penyakit belum dibuktikan. Goodman, Kiraly dan Wood (1986) menduga kemungkinan pengaruh toksik kuinon-kuinon dan hidrokuinon-hidrokuinon terhadap mikroorganisme dapat terjadi karena beberapa proses enzirnatik penting terganggu. McNew dan Burchfield (1951), Owens (1953) juga menduga bahwa aktivitas fungitoksik senyawa-senyawa tersebut pada cendawan dapat terjadi karena pengikatan kuinon pada gugus SH atau NH2 membran sel
91
sehingga sistem transpor elektron terganggu. Dalam ha1 ini, ubikuinol di dalam
serum B kemungkinan m e n g i n a k t k toksin C. cassiicola dengan cara mereduksi jembatan disulfida yang terdapat pada protein toksin. Seperti telah dilaporkan Breton dan dYAuzac1999, toksin C. cassiicola yang digolongkan sebagai glikoprotein yang dinamakan cassiicolim, me&
dua jembatan disufida.
Gambar 14 Warna serum B dari lateks karet klon resisten (AVROS 2037, BPM I), moderat rentan ( RRIM 600, IAN 873) dan klon sangat rentan (RRIC 103) Serum B lateks asal klon karet AVROS 2037 yang justru resisten (Soepeaa 1986; Suwarto 1992; Syafiuddin, Alwi & Sinulingga 1989) atau BPM 1 yang bahkan imun
(Chee 1988) terhadap C. cassiicola ternyata tidak m e n g i n a k t k toksin seperti halnya serum B dari klon moderat rentan IAN 873. Diduga, ha1 ini terjadi karena serum B lateks dari kedua klon tersebut sewaktu preparasi cepat berubah warna menjadi menghitam begitu bersentuhan dengan udara (Gambar 14). Perubahm warna menjadi m e n g b pada serum B keks mengindikasikan
bahwa ada senyawa-senyawa fenolik pereduksi yang cepat teroksidasi menjadi
92
senyawa-senyawa fenolik dalam bentuk teroksidasi. Senyawa fenolik teroksidasi toksin in vitro. kemungkinan tidak mampu ~~enginaktifkan Serum B lateks klon BPM 1 yang telah ditambah dengan Na2S2040,05% baik dalam bufer Tris 50 rnM pH 7,5 atau tanpa bufer bahkan masih berubah menjadi hitam setelah beberapa minggu dalam penyimpanan di dalam aliquot 1 ml pada -20
"C. Perlakuan yang sama tidak mengakibatkan perubahan warna menjadi menghitam atau gelap pada serum B lateks klon AVROS 2037, tetapi tanpa Na2S204serum B lateks klon ini juga cepat berubah warna menjadi rnenghitam atau mencoklat. Menurut Harborne (1973, 1984) warna colilat yang timbul selama preparasi ekstrak turnbuh-tumbuhan terjadi karena kuinon bereaksi secara bolak-balk dengan protein. Senyawa-senyawa fenolik dapat membentuk kompleks dengan protein melalui ikatan hidrogen. Hal ini terjadi bila kandungan sel tumbuhan bercampur dan inembran menjadi rusak sewaktu preparasi sehingga kerja enzim pada ekstrak kasar tumbuhan sering mengalami hambatan. Sebaliknya, fen01 sangat peka terhadap oksidasi enzim dan mungkin hilang pada proses isolasi sebagai akibat keja enzim fenolase. Asam askorbat dan glutation di dalam serum C lateks (Jacob et al. 1993) tampaknya tidak terlibat dalam inaktivasi toksin C. cassiicola. Asam askorbat telah dibuktikan pada percobaan bahwa perlakuan hingga konsentrasi 1,0% di dalam filtrat kultur isolat C. cassiicola tidak berpengaruh terhadap aktivitas toksin (Gambar 10). Pada tumbuhan dan hewan, asam askorbat atau asam gula terlibat dalam metabolisme karbohidrat sebagai senyawa antara. Konsentrasi asam askobat tertinggi pada turnbuhan ditemukan pada kloroplas (Vickery & Vickery 198 1). Senyawa
93
pereduksi lain di dalam serum C seperti misalnya glutation, mononukletidamononukleotida tampaknya juga tidak cukup terlibat dalam inaktivasi toksin C.
cassiicola seperti ditunjukkan pada percobaan pengaruh serum C beberapa klon karet diferensial terhadap aktivitas toksin (Gambar 12).
2.4 Kesimpulan
Toksin yang dihasilkan oleh C. cassiicola bersifat termo-stabil. Pemberian perlakuan pemanasan hingga pada suhu 100 OC selama 30 rnenit tidak mengurangi aktivitas toksin dalam filtrat kultur isolat C. cassiicola dari tanaman karet klon rentan
IAN 873, sedangkan pemanasan pada 120 "C selama 10 menit mengakibatkan filtrat kehilangan aktivitas toksinnya sama sekali.
Pernanasan toksin yang dimurnikan
secara parsial pada 120 OC selama 10 menit juga mengakibatkan kehilangan aktivitas toksinnya secara total. Aktivitas tolisin yang dihasilkan C. cassiicola dihambat oleh senyawa-senyawa pereduksi NazSz04, 2-merkaptoetanol, methylene blue dan amido black, tetapi sama sekali tidak dihambat oleh asam askorbat dan asam sitrat. Hal ini membuktikan bahwa toksin mempunyai kemampuan untuk melakukan reaksi redoks. Senyawa antitoksin yang mampu menginaktivasi toksin C. cassiicola telah ditemukan pcrtama kali dalam penelitian hi. Antitoksin tersebut ditemukan dalam serum B dari lateks klon moderat rentan IAN 873 dan memiliki berat molekul rendah yaitu kurang dari 3,5 kDa. Antitoksin tersebut kemungkinan berupa protein dengan berat molekul rendah kurang dari 3,5 kDa atau berupa senyawa pereduksif
94
antioksidan.
Identifikasi dan karakterisasi antitoksin perlu dilakukan untuk
mengetahui secara pasti senyawa yang berperan dalam inaktivasi toksin C. cassiicola.