TINJAUAN PUSTAKA
Kerbau Penemuan-penemuan arkeologi di India menyatakan bahwa kerbau di domestikasi selama periode kehidupan lembah Indus, kira-kira 4500 tahun yang lalu. Hampir tidak ada bangsa kerbau yang khusus, meskipun ada sebagian yang bertubuh besar dan sebagian lainya kecil. Meskipun demikian, semuanya hanya menghasilkan susu dalam jumlah sedikit dan mempunyai kromosom 2n sebanyak 48. Persilangan dengan tipe sungai 50 kromosom dan tipe rawa dengan 48 kromosom menghasilkan F1 dengan kromosom sebanyak 49 (2n) yang tingkat fertilitasnya dipertanyakan (Murti, 2002). Terdapat dua bangsa kerbau lokal yang ada di Indonesia, yaitu kerbau rawa (Swamp buffalo) berjumlah sekitar 95% dan sisanya dalam jumlah kecil (sekitar 2%) adalah kerbau sungai (Riverine buffalo) terdapat di Sumatera Utara. Secara umum kerbau sungai memiliki warna kulit normal adalah hitam dengan bercak putih pada dahi, wajah dan ekor (Cockrill, 1974). Kerbau menurut Bhatarchya (1993) termasuk dalam kelas mamalia, ordo ungulate, famili bovidae, subfamili bovina, genus bubalus, dan spesies bubalis. Kerbau termasuk ke dalam spesies bubalus bubalis yang diduga berevolusi dari bubalus arnee, yakni kerbau liar dari India. Hampir semua kerbau domestikasi saat ini berasal dari moyang bubalus arnee. Kerbau yang ada di indonesia secara umum dikelompokkan menjadi dua yaitu kerbau rawa dan kerbau sungai. Kerbau sungai penyebaran terbanyak di Indonesia ada di Sumatera Utara yaitu dari jenis Murrah..
Universitas Sumatera Utara
Kerbau rawa menurut Mason (1974) pada kerbau rawa tidak ditemukan warna kulit coklat atau abu-abu coklat seperti yang terjadi pada kerbau sungai. Konformasi tubuhnya berat dan padat, ukuran tubuh dan kaki relatif pendek, perut luas dengan leher panjang. Muka mempunyai dahi yang datar dan pendek dengan moncong luas. Bentuk tanduk biasanya melengkung ke belakang. Bobot badan lebih ringan dibanding kerbau sungai (Fahimuddin, 1975). Cockrill (1974) menguraikan kerbau rawa memiliki konformasi tubuh berat dan padat, kaki pendek dan perut luas, lehar panjang dahi datar, muka pendek dan moncong luas, tinggi pundak kerbau rawa betina 120-127 cm dan jantan berkisar 129-133 cm. Laporan Erdiansyah (2008) didapati bahwah kerbau rawa jantan memiliki lingkar dada 161 cm, panjang badan 119 cm dan pada kerbau rawa betina lingkar dada 176 cm, panjang badan 119 cm Habitat asal kerbau Murrah adalah Negara bagian Haryana dan Union Teritory Delhi di India. Kerbau ini juga dipelihara dalam jumlah besar di Negara bagian Punjab di India dan di Provinsi Punjab di Pakistan dan juga di bagian utara Uttar Pradesh di India dan Sind di Pakistan (Bhatarchya, 1993). Sedangkan kerbau sungai yang ada di Sumatera Utara adalah berasal dari bangsa murrah yang umum dipelihara oleh masyarakat keturunan india untuk dimanfaatkan sebagai ternak penghasil susu. Perkembangan populasinya diperkirakan terus menurun akibat perkawinan inbreeding. Kepala kerbau Murrah relatif lebih kecil dibandingkan dengan ukuran tubuhnya, bentuk baik dan halus pada yang betina, lebih besar dan lebih berat pada yang jantan. Mukanya bersih dengan mata yang bercahaya dan menonjol, telinganya kecil berbentuk baik dan menggantung. Tanduknya pendek, sangat melingkar, tumbuh ke depan dan ke belakang.
Universitas Sumatera Utara
Lehernya pendek dan tipis pada kerbau betina tetapi tebal dan kompak pada yang jantan. Bentuk dan ukuran ambing baik, mempunyai vena susu yang menonjol (Bhatarchya, 1993). Banyak Negara di Asia Tenggara seperti Thailand, Filipina, dan Vietnam telah melakukan persilangan antara kerbau rawa dan kerbau sungai untuk memperoleh kombinasi yang baik dari sifat produksi susu, daging dan tenaga kerja dari keturunan silangan. Persilangan antara kerbau rawa dan kerbau sungai biasanya akan mewariskan warna kulit hitam pada silanganya, sebagai warna dominan dari kerbau sungai. Tampilan moderat (mirip kedua tetuanya) akan diperoleh pada konformasi tubuh dan tanduk (Mason, 1974) Secara umum, kerbau bertambah berat sejak lahir sampai dengan umur 2,5 tahun. Dewasa kelamin kerbau rawa biasa dicapai pada umur 3 tahun (betina) dan sekitar 4 tahun (jantan). Sedangkan kerbau sungai mencapai dewasa kelamin relatif lebih awal dari pada kerbau rawa. Sampai umur 72 bulan, ternak kerbau jenis lumpur jantan relatif masih terus tumbuh ukuranya. Dibandingkan ternak sapi yang tumbuh lebih cepat namun berhenti di awal, maka kerbau tumbuh lambat namun terus bahkan bisa sampai umur 9 - 10 tahun (Murti, 2002). Umur rata-rata pertama kawin pada kerbau rawa adalah 40 bulan dan rata-rata beranak pertama kali pada umur 54 bulan. Seperti halnya tipe kerbau sungai nondeskripsi, juga terdapat beberapa varian pada kerbau rawa. Kerbau rawa yang besar dari Thailand bisa mempunyai berat lebih dari 900 kg sedangkan carabao dari Filipina atau kerbau air yang kecil dari Kalimantan bisa mempunyai berat hanya 370 kg atau bahkan lebih kecil (Cockrill, 1974).
Universitas Sumatera Utara
Bila dibandingkan kerbau sungai, kerbau rawa memiliki konformasi tubuh pendek dan gemuk dengan tanduk panjang. Muka mempunyai dahi yang datar dan pendek dengan moncong luas. Bentuk tanduk biasanya melengkung kebelakang. Dengan bobot dewasa pada jantan sekitar 700 kg dan betina sekitar 500 kg. kapasitas produksi susunya rendah berkisar antara 430-620 kg per laktasi (Webster dan Wilson, 1980). Kerbau Murrah betina biasanya memiliki tubuh lebih kecil dengan dahi luas dan agak menonjol jika dibandingkan yang jantan. Disamping itu muka tidak mempunyai tanda putih dan lubang hidung terpisah, telinganya tipis dan menggantung. Bobot dewasa jantan sekitar 1100 kg dan betina sekitar 550 kg. sebagai ternak perah, kerbau Murrah betina mempunyai perkembangan ambing yang baik dengan puting bagian belakang lebih panjang dari puting bagian depan. Kapasitas produksi susu induk cukup tinggi antara 1000-2000 kg per laktasi, tetapi bervariasi antara lingkungan (Webster dan Wilson, 1980). Menurut Fahimuddin (1975) bobot badan kerbau sungai sekitar 300-700 kg pada jantan dan 250-500 kg pada betina dengan tinggi pundak kerbau Murrah jantan dewasa 142 cm dan betina dewasa 132 cm. Kerbau murrah di india yang diternakkan oleh petani mempunyai umur beranak pertama kali 39,9-54,1 bulan, sedangkan di farm milik militer sekitar 40 bulan (Murti, 2002). Kerbau memiliki beberapa keunggulan tetapi juga tidak terlepas dari adanya kelemahan. Perkembangan populasi kerbau terlihat agak lambat dibandingkan dengan ternak sapi. Secara nasional perbandinganya sekitar 20% kerbau dan 80% sapi dan rasio ini masih berlangsung sampai saat ini (Sitorus, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Sifat Fenotip Kualitatif Sifat kualitatif adalah sifat yang tidak dapat diukur tetapi dapat dibedakan secara tegas misalnya warna bulu, ada tidaknya tanduk dan sebagainya. Sifat ini dikendalikan oleh satu atau beberapa gen dan sedikit atau tidak sama sekali dipengaruhi oleh lingkungan (Hardjosubroto, 1994). Sedangkan menurut Warwick et al (1990) Sifat kualitatif adalah sifat luar yang tampak atau bahkan tak ada hubungannya dengan kemampuan produksi seperti warna, bentuk dan panjang ekor, ada tidaknya tanduk dan sebagainya.
Pengukuran Tubuh Penggunaan ukuran tubuh selain untuk menaksir bobot badan dan karkas, dapat juga untuk memberikan gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri khas suatu bangsa ternak tertentu (Diwyanto, 1982). Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan luar dan produksi adalah bangsa ternak, daya dukung wilayah, teknologi yang diserap, pendidikan dan pengelolaan dari usaha ternak.
Keragaman Fenotip Fenotip adalah penampilan organisme (individu) tersebut atau dapat disimpulkan sebagai jumlah total seluruh karakter atau sifat, misalnya warna, bentuk, tabiat, kerangka dan lain sebagainya (Pane, 1993). Pada dasarnya keragaman fenotip (VP) yang merupakan keragaman yang dapat diamati disebabkan oleh adanya keragaman genetik (VG) dan keragaman lingkungan (VE). Secara matematika keragaman fenotip dapat dituliskan dengan rumus VP = VG + VE.
Universitas Sumatera Utara
Sumber keragaman lainnya adalah keragaman yang timbul akibat interaksi antara faktor genetik dengan faktor lingkungan V= G X E. Keragaman genetik dapat disebabkan gen-gen aditif (VA) dan juga oleh yang tidak aditif (Vn). Aksi gen yang tidak aditif bisa disebabkan oleh aksi gen dominan (VD) dan aksi gen epistasis (VI). VP = VA + VD + VG+E + VE + VI Keragaman lingkungan (VE) dapat disebabkan oleh faktor iklim, cuaca, makanan, penyakit dan sistem manajemen (Noor, 2000).
Kelenturan Fenotip Kelenturan fenotip adalah kemampuan suatu genotip atau individu untuk menghasilkan lebih dari satu alternatif bentuk morfologi, status fisiologi dan tingkah laku sebagai respon terhadap kelenturan fenotip ini mencerminkan kepekaan fenotip terhadap lingkungan. Tiga teori utama kelenturan fenotipik : (1) kelenturan fenotip sebagai suatu sifat yang dikontrol oleh gen-gen pada lokus yang berbeda dengan gen-gen yang mengontrol rataan suatu sifat pada lingkungan tertentu, (2) Kelenturan fenotipik sebagai suatu fenomena seleksi untuk rataan sifat yang berbeda pada lingkungan yang berbeda, (3) kelenturan fenotipik sebagai suatu fungsi homozigositas dan mengasumsikan bahwa jumlah perubahan fenotip pada lingkungan berbeda merupakan suatu fungsi menurun dari jumlah lokus heterozigot (Noor, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Sifat Genetik Kualitatif Silang Dalam Silang dalam pada dasarnya meningkatkan homozigositas dan pada saat yang
bersamaan
menurunkan
derajat
heterozigositas.
Laju
peningkatan
homozigositas akibat silang dalam pada suatu individu tergantung dari seberapa dekat hubungan kekerabatan kedua tetuanya. Persilangan
antara
saudara
tiri
mengakibatkan
laju
peningkatan
homozigositas sebesar 50% dari laju persilangan antar saudara kandung dari satu generasi ke generasi berikutnya. Silang dalam sering dihubungkan dengan penurunan performa dan munculnya kelainan genetik pada ternak. Silang dalam pada ternak disamping berpengaruh buruk juga dapat mendatangkan keuntungan dari silang dalam ini. Ternak hasil silang dalam pada umumnya memiliki kemampuan adaptasi lingkungan yang kurang baik dibandingkan dengan ternak-ternak hasil silang luar. Pengaruh ini biasanya berhubungan dengan penurunan fertilitas, peningkatan mortalitas, penurunan daya tahan terhadap penyakit, penurunan daya hidup dan penurunan laju pertumbuhan. Pengaruh buruk ini disebabkan oleh pengaruh gabungan gen-gen resesif yang homozigot. Pada ternak inbreed pengaruh-pengaruh buruk ini sering dijumpai. Dalam suatu populasi frekuensi gen resesifnya tidak meningkat, tetapi pemunculannya sebagai homozigot lebih sering (Noor, 2000). Pengaruh
genetik
utama
dari
silang
dalam
adalah
menaikkan
homozigositas. Efek fenotip dari silang dalam sering merusak dan hal ini telah diketahui selama berabad-abad yang lalu dan mengakibatkan larangan perkawinan
Universitas Sumatera Utara
antara keluarga dekat dalam masyarakat kuno. Di dalam buku “The variation of plants and animals under domestication” terbitan tahun 1868 yang dikutip oleh Warwick et al (1990) Charles Darwin membuat pernyataan “akibat dari perkawinan dekat yang berlangsung dalam waktu yang lama adalah menurunya ukuran, kekuatan (vigor) badan dan fertilitas,kadang-kadang diikuti dengan bentuk yang cacat”.
Koefisien Silang Dalam Koefisien silang dalam dapat digunakan untuk mengukur peningkatan homozigositas suatu individu akibat silang dalam. Koefisien ini dapat juga digunakan untuk mengukur penurunan derajat heterozigositas suatu individu relatif terhadap tetuanya pada populasi yang sama. Pada koefisien silang dalam suatu individu adalah ½ dari koefisien kekerabatan individu tersebut dengan tetuanya. Ternak-ternak yang bersaudara kandung memiliki koefisien silang dalam 25%. Ternak-ternak yang bersaudara tiri memiliki koefisien silang dalam 12,5% (Noor, 2000).
Genetik dan Lingkungan Performans atau penampilan individu ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik ditentukan oleh susunan gen dan kromosom yang dimiliki oleh ternak. Pengaruh faktor genetik bersifat baka (tidak akan berubah selama hidupnya, selama tidak terjadi mutasi dari gen yang menyusunnya). Sedangkan pengaruh lingkungan bersifat tidak baka (tidak tetap) dan tidak dapat diwariskan kepada keturunannya dan tergantung pada kapan dan dimana individu tersebut berada. Secara matematis pengaruh genetik dan
Universitas Sumatera Utara
lingkungan dapat ditulis sebagai berikut: P = G+E atau P = G+E+GE bila dijumpai adanya interaksi antara genetik dan lingkungan, dimana: P = Performan, G = Genetik, E = Lingkungan dan GE = Interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Selama kehidupan suatu individu, sifat turunannya akan berinteraksi dengan lingkungan dan interaksi ini akan menentukan rupa atau bentuk individu tersebut pada waktu tertentu dan perkembangannya pada waktu mendatang. Genotip akan tetap konstan sepanjang hayat individu tersebut, sedangkan fenotip berubah setiap saat. Dua individu dengan genotip yang sama akan jadi berbeda dalam fenotipnya, jika mereka masing-masing berada dalam daerah yang kondisi makanan, suhu udara yang mempunyai sifat turunan yang sama, dinyatakan sebagai variasi lingkungan atau modifikasi lingkungan (Pane, 1993). Interaksi faktor genetik dengan faktor lingkungan merupakan masalah yang sangat serius di bidang peternakan umumnya dan ekspor-impor khususnya. Interaksi dikatakan ada jika ternak-ternak yang dipelihara pada lingkungan tertentu akan berubah tingkat produksinya saat dipelihara di lingkungan yang berbeda. Program impor ternak telah menimbulkan dua masalah besar: (1) interaksi antara faktor genetik
dengan faktor lingkungan. Masalah ini timbul pada
pengimporan ternak hidup dan embrio, (2) adanya kemungkinan hilangnya ternakternak asli Indonesia akibat persilangan antara ternak asli dengan ternak impor yang kurang terencana. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah bangsa ternak, hal ini berkaitan dengan pengaruh genetik yang dibawa oleh bangsa ternak.
Universitas Sumatera Utara
Disamping bangsa ternak, jenis kelamin juga berpengaruh terhadap pertumbuhan. Seluruh
spesies
hewan
yang
didomestikasikan
menjadi
ternak
menunjukkan adanya variasi sifat-sifat produktivitas yang berhubungan dengan morfologi maupun fisiologi. Variasi tersebut disebabkan oleh faktor lingkungan dan genetik. Sifat-sifat produksi yang memiliki nilai ekonomi penting dalam ternak dikodekan oleh banyak gen (poligenik) sehingga tidak mudah untuk memanipulasinya (Soller dan Beckmann, 1982). Variasi pada genom dapat mempengaruhi fungsi gen dan merubah produk gen sehingga menimbulkan variasi fenotip (Choi et al., 1996).
Keseimbangan Populasi Dalam populasi yang besar dimana tidak terjadi seleksi, migrasi, migrasi dan perkawinan terjadi secara acak, frekuensi gen dan genotipik akan sama dari generasi ke generasi. Untuk sepasang gen dengan frekuensi q dan 1-q, maka frekuensi ketiga genotip pada frekuensi ini dikatakan berada dalam keseimbangan atau biasa disebut dengan keseimbangan Hardy-Weinberg (Warwick et al., 1990). Hukum Hardy-Weinberg ditemukan oleh ahli fisika W.Weinberg dan ahli matematika G.H. Hardy pada tahun 1908. Keduanya berasal dari Inggris (Noor, 2000). Godfrey Harold Hardy dan Wilhelm Weinberg tahun 1908 secara terpisah menemukan dasar-dasar frekuensi alel dan genetik dalam suatu populasi. Prinsip yang berupa pernyataan teoritis tersebut dikenal sebagai hukum (prinsip kesetimbangan) Hardy-Weinberg. Pernyataan itu menegaskan bahwa frekuensi alel dan genotip suatu populasi (gene pool) selalu konstan dari generasi ke generasi dengan kondisi tertentu. Kondisi-kondisi yang menunjang Hukum Hardy-Weinberg sebagai berikut: (a) Ukuran populasi harus besar, (b) Ada isolasi
Universitas Sumatera Utara
dari populasi lain, (c) Tidak terjadi mutasi, (d) Perkawinan acak, (f) Tidak terjadi seleksi alam. Formulasi hukum Hardy-Weinberg dapat dijelaskan berikut ini : p + q = 1, maka p = 1 – q dan q = 1- p Pada suatu lokus, gen hanya mempunyai dua alel dalam satu populasi. Para ahli genetika populasi menggunakan huruf p untuk mewakili frekuensi dari satu alel dan huruf q untuk mewakili frekuensi alel lainnya. Hukum Hardy-Weinberg tidak berlaku untuk proses evolusi karena hukum Hardy-Weinberg tidak selalu menghasilkan angka perbandingan yang tetap dari generasi ke generasi. Kenyataannya, frekuensi gen dalam suatu populasi selalu mengalami perubahan atau menyimpang dari hukum Hardy-Weinberg. Beberapa faktor yang menyebabkan perubahan keseimbangan hukum Hardy-weinberg dalam populasi yaitu adanya: (1) Hanyutan genetik (genetic drift), (2) Arus gen (gene flow), (3) Mutasi, (4) Perkawinan tidak acak dan (5) Seleksi alam. Masing-masing penyebab perubahan kesetimbangan hukum HardyWeinberg atau perubahan frekuensi genetik populasi merupakan kondisi kebalikan yang dibutuhkan untuk mencapai kesetimbangan Hardy-Weinberg (Kemdiknas, 2011).
Frekuensi Gen Menurut Warwick et al (1990) Frekuensi gen adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan proporsi dari semua lokus untuk pasangan gen atau rangkaian alel dalam suatu populasi yang diduduki oleh satu gen tertentu. Perubahan frekuensi gen dapat disebabkan oleh (1) mutasi, yaitu perubahan dalam gen atau bagian kromosom menjadi bentuk baru, (2) Genetic drift, yaitu terjadinya peristiwa yang menyimpang dari frekuensi gen yang ada yang dapat mengubah
Universitas Sumatera Utara
frekuensi gen generasi berikutnya. Sedangkan menurut Noor (2000) genetik drift merupakan perubahan frekuensi gen yang mendadak. Perubahan-perubahan gen yang mendadak biasanya terjadi pada kelompok kecil ternak yang dipindahkan untuk tujuan pemuliaan ternak. Jika kelompok ternak diisolasi dari kelompok ternak asalnya maka frekuensi gen yang terbentuk pada populasi baru dapat berubah. Perubahan frekuensi gen yang mendadak dapat juga disebabkan oleh bencana alam (sebagian besar ternak yang memiliki gen tertentu mati), (3) migrasi, yaitu suatu cara yang paling efektif untuk menyebabkan perubahan genetik dan sangat berguna asalkan tersedia populasi lain dari gen-gen yang dinginkan dan bermanfaat dari perubahan yang terjadi dan (4) Seleksi.
Universitas Sumatera Utara