BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Air Susu Ibu (ASI) 2.1.1. Produksi ASI dan Faktor yang Mempengaruhinya Air Susu Ibu (ASI) adalah cairan putih yang dihasilkan oleh kelenjar payudara wanita melalui proses laktasi yang komposisinya tidaklah sama selama periode menyusui dan pada akhir menyusui. Menurut Suharyono (1990), keberhasilan laktasi dipengaruhi oleh kondisi sebelum dan saat kehamilan. Kondisi sebelum kehamilan ditentukan oleh perkembangan payudara saat lahir dan saat pubertas. Pada saat kehamilan khususnya pada trimester II payudara mengalami pembesaran karena pertumbuhan dan diferensiasi dari lobuloalveolar dan sel epitel payudara. Pada saat pembesaran payudara ini hormon prolaktin dan laktogen placenta aktif bekerja yang berperan dalam produksi ASI (Suharyono, 1990). Sekresi ASI diatur oleh hormon prolaktin dan oksitosin. Prolaktin menghasilkan ASI dalam alveolar. Proses bekerjanya prolaktin dipengaruhi oleh lama dan frekuensi pengisapan (suckling). Hormon oksitosin disekresi oleh kelenjar pituitary sebagai respons adanya suckling yang akan menstimulasi sel-sel mioepitel untuk mengeluarkan (ejecting) ASI yang diikuti dengan mengalirnya ASI dari simpanan alveoli ke lacteal sinuses sehingga dapat dihisap bayi melalui puting susu. Dalam ACC/SCN (1991), dikenal 3 (tiga) bentuk ASI dengan karakteristik dan komposisi berbeda yaitu: kolostrum, ASI transisi, dan ASI matang (mature). Kolostrum adalah cairan yang dihasilkan oleh kelenjar payudara 4 – 7 hari setelah
Universitas Sumatera Utara
melahirkan dengan volume 150 – 300 ml/hari. ASI transisi adalah ASI yang dihasilkan pada 8 – 20 hari setelah melahirkan dimana kadar lemak dan laktosa lebih tinggi dan kadar protein, mineral lebih rendah. ASI matang adalah ASI yang dihasilkan 21 hari setelah melahirkan dengan volume bervariasi yaitu 300 – 850 ml/hari tergantung pada besarnya stimulasi saat laktasi. Volume ASI pada tahun pertama adalah 400 – 700 ml/24 jam, tahun kedua 200 – 400 ml/24 jam, dan sesudahnya 200 ml/24 jam. Oleh sebab direkomendasikan agar setiap menyusui bayi minimal 15 menit agar kebutuhan bayi dapat tercukupi. Produksi ASI dapat meningkat atau menurun tergantung stimulasi pada kelenjar payudara terutama pada minggu pertama laktasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ASI antara lain : 1. Frekuensi Menyusui Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa frekuensi menyusui berhubungan dengan produksi ASI (ACC/SCN, 1991). Berdasarkan hal ini direkomendasikan menyusui paling sedikit 8 kali perhari pada periode awal setelah melahirkan. 2. Berat Lahir Menurut Prentice (1984), bayi berat lahir rendah (BBLR) mempunyai kemampuan mengisap ASI yang lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang berat lahir normal (> 2500 gr). 3. Umur Kehamilan saat Melahirkan Umur kehamilan dan berat lahir mempengaruhi asupan ASI. Hal ini disebabkan bayi yang lahir prematur sangat lemah dan tidak mampu mengisap secara efektif sehingga produksi ASI lebih rendah daripada bayi yang lahir tidak prematur.
Universitas Sumatera Utara
4. Umur dan Paritas Umur dan paritas tidak berhubungan atau kecil hubungannya dengan produksi ASI yang diukur sebagai asupan bayi terhadap ASI (ACC/SCN, 1991). 5. Stres dan Penyakit Akut Ibu yang cemas dan stres dapat mengganggu laktasi sehingga mempengaruhi produksi ASI karena menghambat pengeluaran ASI. 6. Konsumsi Rokok Merokok dapat mengurangi volume ASI karena akan mengganggu hormon prolaktin dan oksitosin untuk produksi ASI. Merokok akan menstimulasi pelepasan adrenalin dimana adrenalin akan menghambat pelepasan oksitosin. 7. Konsumsi Alkohol Menurut Matheson (1989), kontraksi rahim saat menyusui merupakan indikator produksi oksitosin. Pada dosis etanol 0,5-0,8 gr/kg berat badan ibu mengakibatkan kontraksi rahim hanya 62% dari normal, dan dosis 0,9-1,1 gr/kg mengakibatkan kontraksi rahim 32% dari normal. 8. Pil Kontrasepsi Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi estrogen dan progestin berkaitan dengan penurunan volume dan durasi ASI (ACC/SCN, 1991)
2.1.2. Manfaat ASI Menyusui adalah suatu proses alamiah sehingga ASI merupakan makanan alamiah. Menurut Pudjiadi (1990), ASI merupakan makanan terbaik yang dapat diberikan oleh seorang ibu yang sesuai dengan pertumbuhan bayi. Selain itu, ASI
Universitas Sumatera Utara
mempunyai komposisi gizi yang paling lengkap dan ideal untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi yang dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi selama 6 bulan pertama. Pemberian ASI saja yang dikenal dengan ASI eksklusif sampai 6 bulan didasarkan pada tercukupinya kebutuhan bayi dan lebih baiknya pertumbuhan bayi yang mendapat ASI eksklusif serta menurunnya morbiditas bayi. Sayangnya hanya 39% dari semua bayi di dunia yang mendapat ASI eksklusif (WHO, 2002). Berbagai hasil penelitian menemukan perbedaan kecepatan pertumbuhan antara bayi yang disusui dan bayi yang diberi formula. Hasil penelitian Birkbeck (1992) menunjukkan bahwa anak yang mendapat ASI memilki kecepatan pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang mendapat susu formula. Selain itu, hasil penelitian WHO (2002) menunjukkan bahwa pertumbuhan, infeksi, dan perbedaan efisiensi penggunaan zat gizi mempengaruhi kecepatan penggunaan zat gizi oleh bayi, yang ditentukan oleh status gizi bayi. Penelitian di beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa penyebab terbesar defisiensi gizi dan retardasi pertumbuhan pada anak berumur 3 – 15 bulan adalah rendahnya pemberian ASI dan buruknya pemberian MP-ASI (Shrimpton, dkk 2001). Beberapa keunggulan ASI (PERSAGI, 1992), antara lain: a. Mengandung semua zat gizi dalam susunan dan jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi selama 3 – 6 bulan pertama. b. Tidak memberatkan fungsi saluran pencernaan dan ginjal. c. Mengandung berbagai zat antibodi, sehingga mampu mencegah terjadinya infeksi. d. Mengandung laktoferin untuk mengikat zat besi
Universitas Sumatera Utara
e. Tidak menyebabkan alergi f. Ekonomis dan praktis dalam arti tersedia setiap waktu pada suhu yang ideal dan dalam keadaan segar serta bebas dari kuman g. Berfungsi menjarangkan kehamilan h. Membina hubungan yang hangat dan penuh kasih sayang antara ibu dan anak. Para ahli menemukan bahwa manfaat ASI akan meningkat apabila bayi hanya diberi ASI saja selama 6 bulan pertama kehidupannya. Peningkatan ini sesuai dengan lamanya pemberian ASI eksklusif serta lamanya pemberian ASI bersama-sama dengan MP-ASI setelah berusia 6 bulan. Menurut Utami (2000), manfaat pemberian ASI bagi bayi adalah: a. ASI sebagai nutrisi b. ASI meningkatkan daya tahan tubuh c. ASI meningkatkan kecerdasan d. Menyusui meningkatkan jalinan kasih sayang Selain itu, keuntungan menyusui bagi si ibu menurut Utami (2000) adalah: a. Mengurangi perdarahan setelah melahirkan b. Mengurangi terjadinya anemia c. Menjarangkan kelahiran d. Mengecilkan rahim e. Lebih cepat langsing f. Mengurangi kemungkinan menderita kanker g. Lebih ekonomis / murah h. Tidak merepotkan dan hemat waktu
Universitas Sumatera Utara
i.
Portabel dan praktis
j.
Memberi kepuasan bagi ibu Berbagai kenyataan di atas, mendorong WHO/UNICEF membuat deklarasi
yang dikenal dengan Deklarasi Innocenti (Innocenti Declaration) yang dilahirkan di Italia tahun 1990 dan bertujuan untuk melindungi, mempromosikan, dan memberi dukungan pada pemberian ASI (Utami, 2000). Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi pula peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesat. Ironinya, pengetahuan lama yang mendasar seperti pemberian ASI oleh si ibu kepada bayinya justru kadang terlupakan. Di beberapa kota besar, sudah bukan hal yang asing lagi terlihat bayi yang masih berumur di bawah 6 bulan sudah diberikan susu botol dan di pedesaan bayi pada umur yang sama sudah diberikan pisang. Salah satu penyebabnya adalah semakin banyaknya ibu-ibu yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Pada prinsipnya menyusui akan menjamin bayi tetap sehat dan memulai kehidupannya dengan cara yang paling sehat. Menyusui sebanarnya tidak saja memberikan kesempatan pada bayi untuk tumbuh menjadi manusia yang sehat secara fisik, tetapi juga lebih cerdas, mempunyai emosional yang stabil, perkembangan spiritual yang positif, serta perkembangan sosial yang baik (Utami, 2000). Oleh sebab itu, dalam Pedoman Umum Pemberian MP-ASI Lokal (Depkes, 2006), ditegaskan bahwa untuk mencapai tumbuh kembang optimal, di dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1) Memberikan air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu 15 menit setelah bayi lahir 2) Memberikan hanya air susu ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan 3) Memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan 4) Meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih. Selain itu, untuk bayi berusia 0-6 bulan, Depkes (2002) memberikan rekomendasi sebagai berikut: 1) Susui bayi segera 30 menit setelah lahir. Kontak fisik dan hisapan bayi akan merangsang produksi ASI. Pada periode ini ASI saja sudah dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi, karena ASI adalah makanan terbaik untuk bayi. Menyusui sangat baik untuk bayi dan ibu. Dengan menyusui akan terjalin hubungan kasih sayang antara ibu dan anak. 2) Berikan Kolostrum 3) Berikan ASI dari kedua payudara, kiri dan kanan secara bergantian, tiap kali sampai payudara terasa kosong. Payudara yang dihisap sampai kosong merangsang produksi ASI yang cukup. 4) Berikan ASI setiap kali meminta / menangis tanpa jadwal. 5) Berikan ASI > 10 kali setiap hari, termasuk pada malam hari.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) 2.2.1. Konsep MP-ASI Menurut Depkes (2006), MP-ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi, diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain dari ASI. Selain itu, WHO (2003) menegaskan bahwa MP-ASI harus diberikan setelah anak berusia 6 bulan karena pada masa tersebut produksi ASI semakin menurun sehingga supply zat gizi dan ASI tidak lagi memenuhi kebutuhan gizi anak yang semakin meningkat. MP-ASI untuk bayi sebaiknya memenuhi persyaratan tertentu (Pudjiadi, 1990). Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Memenuhi kecukupan gizi 2. Susunan hidangan memenuhi pola menu seimbang, juga memperhatikan selera terhadap makanan. 3. Bentuk dan porsi disesuaikan dengan daya terima, toleransi, dan faali anak. 4. Memperhatikan sanitasi / higienitas. Di lain pihak PERSAGI (1992) menjelaskan beberapa tujuan pemberian MPASI sebagai berikut: 1. Melengkapi zat gizi yang terkandung dalam ASI 2. Mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima bermacam makanan dengan berbagai rasa dan tekstur 3. Mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan menelan 4. Melakukan adaptasi terhadap makanan yang mengandung kadar energi tinggi.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Pola Pemberian MP-ASI Menurut Agus (2001), pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap dan bervariasi, mulai dari bentuk bubur, sari buah, buah segar, makanan lumat, makanan lembek, dan akhirnya makanan padat. Berikut ini merupakan jadwal pemberian makanan pada bayi. Tabel 2.1. : Jadwal Pemberian ASI dan MP-ASI Umur
Macam Makanan
Pemberian Selama 24 Jam 1 – 2 minggu ASI Sesuka bayi 3 minggu – 3 bulan ASI Sesuka bayi 3 bulan ASI Sesuka bayi 4 – 5 bulan ASI Sesuka bayi 6 bulan ASI atau Sesuka bayi Bubur Susu 2 kali 40 – 50 g bubuk Jus Buah 1 – 2 kali 50 – 100 ml 7 – 12 bulan ASI atau Sesuka bayi Bubur Susu 2 kali 40 – 50 g bubuk Nasi tim (chicken rice) 1 kali 40 – 50 g bubuk Jus Buah 1 – 2 kali 50 – 100 ml Sumber: Ilmu Gizi Klinis pada Anak (Pudjiadi, 2005)
Berdasarkan tabel di atas, jelaslah bahwa pemberian makanan selain ASI idealnya dimulai setelah bayi berusia 6 (enam) bulan. Hal ini berarti bahwa. Praktek pemberian ASI saja selama 6 (enam) bulan berturut-turut inilah yang disebut dengan istilah ASI Eksklusif. Pada prinsipnya pemberian makanan kepada bayi bertujuan untuk mencukupi zat-zat gizi yang dibutuhkan bayi. Menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004), jumlah zat gizi terutama energi dan protein yang harus dikonsumsi bayi usia 6-12 bulan adalah 650 Kalori dan 16 gram protein. Kandungan gizi Air Susu Ibu
Universitas Sumatera Utara
(ASI) adalah 400 Kalori dan 10 gram protein, maka kebutuhan yang diperoleh dari MP-ASI adalah 250 Kalori dan 16 gram protein (Depkes, 2006) Menurut Widyakarya Pangan dan Gizi (2004) bahwa jumlah zat gizi yang dibutuhkan bayi berusia 7 – 12 bulan adalah sebesar 650 Kalori energi dan 16 gr protein. Demikian juga zat-zat gizi lainnya yang dibutuhkan seperti vitamin, niasin, dan lain-lain dapat dilihat pada tabel 2.2. berikut. Tabel 2.2. : Jumlah Kebutuhan Zat Gizi Pada Bayi Zat Gizi Nama Energi Protein Vitamin Tiamin Riboflavin Niasin Vitamin B 12 Asam Folat Vitamn C Kalsium Fosfor Besi Seng Iodium
Satuan Kkal G RE Mg Mg Mg Mg µg Mg Mg Mg Mg Mg µg
Kelompok Umur (bulan) 0–6 7 – 12 560 650 10 16 375 400 0,3 0,4 0,3 0,4 2,0 4,0 0,1 0,1 65 80 40 50 200 400 100 225 3 5 25 555 50 70
Sumber: Widyakarya Pangan dan Gizi (2004)
2.2.3. Praktek Pemberian Makan Bayi Praktek pemberian makanan yang berhubungan dengan status gizi pada hakekatnya dimulai sejak manusia masih berada dalam kandungan. Menurut Pudjiadi (2005), selain faktor bawaan/keturunan, makanan yang disalurkan sang ibu melalui plasenta (ari-ari) mempunyai peranan yang sangat penting untuk menunjang potensi keturunan yang menentukan cepatnya pertumbuhan, bentuk janin, diferensiasi dan
Universitas Sumatera Utara
fungsi organ-organ yang dibentuk. Selain itu beliau mengatakan bahwa status gizi ibu pada waktu pembuahan dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Faktor lainnya adalah kenaikan berat badan selama hamil dan makanan ibu yang sedang hamil (eating for two) juga merupakan faktor yang berpengaruh. Hal ini mengandung pengertian bahwa praktek pemberian makanan dalam kandungan dapat dilihat dari pola makan ibu selama hamil. Setelah lahir, selain pemberian Air Susu Ibu (ASI) pemberian makanan yang lain terhadap bayi tentu akan mempengaruhi status gizi bayi tersebut. Pudjiadi (2005) mengatakan bahwa makanan ideal bagi bayi adalah makanan yang harus mengandung cukup bahan bakar (energi) dan semua zat gizi esensial (komponen makanan yang tidak dapat disintetis oleh tubuh sendiri akan tetapi diperlukan bagi kesehatan dan pertumbuhan) harus dalam jumlah yang cukup pula sesuai keperluan sehari-harinya. Pemberian makanan yang kurang dari kebutuhan untuk jangka waktu yang lama akan menghambat pertumbuhan, bahkan akan mengurangi cadangan energi dalam tubuh sehingga terjadi keadaan gizi kurang maupun buruk (marasmus). Kekurangan gizi esensial pada akhirnya menimbulkan gejala defisiensi zat gizi. Pemberian makanan pada bayi sebagian besar dipengaruhi oleh tingkat sosial ekonomi keluarga. Bahkan menurut Pudjiadi (2005), pemberian makanan yang dibesarkan oleh ibu yang keadaan status sosial-ekonominya serba kekurangan sudah terganggu dari permulaan yang disebabkan oleh: 1. Jumlah ASI yang dihasilkan ibunya tidak banyak karena pada umumnya ibu tersebut menderita kekurangan gizi dan tidak mendapat makanan tambahan selama menyusui.
Universitas Sumatera Utara
2. Makanan tambahan biasanya sudah diberikan sangat dini yang justru menyebabkan banyak infeksi pada bayinya 3. Secara tradisi ada beberapa kebiasan praktek pemberian makanan bayi yang justru menimbulkan gangguan pada status gizi bayi, antara lain: a. Makanan yang dikunyah dulu oleh sang ibu sebelum diberikan kepada bayi. b. Makanan yang diberikan dalam bentuk campuran bubur beras, pisang, dan lain sebagainya c. Cara memasak, menyimpan, dan memberikan makanan yang tidak menghiraukan kebersihan yang akan menyebabkan gastroenteritis pada bayi dengan akibat gangguan pertumbuhannya.
2.3. Pertumbuhan Bayi Pertumbuhan adalah perubahan besar, jumlah, ukuran atau dimensi sel, organ maupun individu yang diukur dengan ukuran berat, ukuran panjang, umur tulang dan keseimbangan metabolik (Soetjiningsih, 1995). Pertumbuhan merupakan dasar untuk menilai kecukupan gizi bayi. Indikator pertumbuhan yang banyak digunakan adalah berat badan dan pertambahan berat, meskipun pertambahan panjang juga digunakan untuk menilai pertumbuhan linier dan adiposity yang ditunjukkan dengan tebal lemak bawah kulit (WHO, 2003). Selain itu Eastwood. M (2003) menyatakan pertumbuhan dapat
digunakan untuk
mengetahui perubahan
yang
berhubungan dengan
perkembangan bentuk dan fungsi yang diukur dengan panjang, berat dan komposisi kimia sehingga pertumbuhan membutuhkan zat gizi untuk menghasilkan simpanan energi, pembelahan sel dan penggunaan skeletal.
Universitas Sumatera Utara
Soetjiningsih (1995) menyatakan ada 4 penilaian pertumbuhan fisik pada anak yaitu pengukuran antropometri, pemeriksaan fisik (jaringan otot, lemak, rambut, gigi), pemeriksaan laboratorium (haemoglobin, serum protein, hormon), dan pemeriksaan radiologis. Pengukuran antropometri terdiri dari berat badan dan panjang badan. Bayi yang lahir cukup bulan mempunyai berat badan 2 kali berat lahir pada umur 5 bulan, 3 kali berat lahir pada usia 1 tahun, dan 4 kali berat lahir pada usia 2 tahun. Pada bayi normal rata-rata kehilangan berat badan adalah 5-8% selama minggu pertama setelah lahir dimana persentase kehilangan ini lebih besar pada anak yang diberi ASI yaitu 7,4% dibanding yang tidak yaitu 4,9%. Setelah minggu pertama pola pertambahan berat badan pada bayi bergantung pada ukuran awal bayi, apakah bayi disusui atau mendapat formula, faktor fisiologi dan lingkungan. Dengan mempertimbangkan panjang badan ada 3 hal yang berkaitan dengan berat badan yaitu tulang keras, tulang rawan, jumlah jaringan ikat dan kulit. Pada laki-laki sekitar 50% berat badan pria dewasa adalah air dalam sel, dan 15% adalah air dalam permukaan jaringan. Pada wanita, lemak mengganti air yaitu 52% berat badan terdiri dari lemak. Pada bayi baru lahir 80% berat badan adalah air dengan 35% interseluler dan 45% ekstraseluler. Rata-rata orang dewasa mengkonsumsi dan ekskresi air sekitar 2000 ml setiap hari yaitu 5% dari total cairan tubuh. Pada bayi jumlah air yang dikonsumsi dan diekskresi 600-700 ml (20% dari total cairan tubuh). Kisaran lemak tubuh pada individu normal adalah 12-23% dari berat badan laki-laki dan 16-28% dari berat badan wanita. Tinggi badan rata-rata pada waktu lahir adalah 50 cm (5000 kali panjang ovum) dan pada usia 1 tahun adalah 1,5 kali tinggi badan lahir yaitu
Universitas Sumatera Utara
bertambah 25 cm. Pada tahun kedua, tinggi hanya bertambah 12-13 cm. Setelah itu kecepatan pertumbuhan menurun menjadi 5- 6 cm setiap tahun. Ada beberapa pendapat yang mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak. Soetjiningsih (1995) mengemukakan ada 2 faktor utama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan (faktor prenatal dan postnatal). Faktor prenatal (sebelum lahir) terdiri dari gizi ibu pada waktu hamil, mekanis, toksin/zat kimia, endokrin, radiasi, infeksi, stres, imunitas, dan anoksia embrio. Faktor postnatal (setelah lahir) terdiri dari : 1. Lingkungan biologis yaitu ras, jenis kelamin, umur, gizi, kesehatan, fungsi metabolisme, dan hormon. 2. Lingkungan fisik yaitu cuaca, sanitasi, keadaan rumah, radiasi. 3. Psikososial yaitu stimulasi, motivasi, stres, kualitas interaksi anak dan orangtua. 4. Faktor keluarga dan adat istiadat yaitu pendapatan keluarga, pendidikan, jumlah saudara, norma, agama, urbanisasi. Unicef (1999) membedakan faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak terdiri dari sebab langsung, sebab tak langsung, dan penyebab dasar. Sebab langsung meliputi kecukupan pangan dan keadaan kesehatan, sebab tidak langsung meliputi ketahanan pangan keluarga, pola asuh anak, pemanfaatan pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan, dengan penyebab dasar struktur ekonomi. Sinclair (1991) menyatakan ada 10 faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan yaitu: genetik, saraf, hormon, gizi, kecenderungan sekuler, status sosial ekonomi, cuaca dan iklim, tingkat aktivitas, penyakit dan cacat lahir
Universitas Sumatera Utara
2.4. Status Gizi 2.4.1. Pengertian Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dokonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi (Supariasa, dkk, 2002). Oleh sebab itu keadaan gizi adalah keadaan akibat dari keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan fisiologik akibat dari ketersediaan zat gizi dalam seluler tubuh. Menurut Supariasa, dkk (2002), status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu.
2.4.2. Pengukuran Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Menurut Supariasa, dkk (2002), penilaian status gizi secara langsung dapat dikelompokkan dalam 4 cara, yaitu: 1. Antropometri, artinya ukuran tubuh manusia. Pengukuran ini berhubungan dengan berbagai macam pengkuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dar Menurut Supariasa, dkk (2002) berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Pada umumnya digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi
Universitas Sumatera Utara
yang terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh. 2. Klinis, pengukuran yang didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan gizi yang dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. 3. Biokimia, yaitu pemeriksan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh, antara lain: darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubu seperti hati dan otot. 4. Biofosik, yaitu metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Secara operasionalnya, penilaian status gizi yang paling sering dilakukan adalah penilaian status gizi berdasarkan indikator antropometrik dengan alasan kepraktisan, biaya murah, dan tidak memerlukan keahlian tinggi dalam menerapkannya (Supariasa, dkk, 2002). Salah satu indeks penilaian status gizi yang sering dan praktis dilakukan dalam indikator antropometrik adalah mengukur berat badan menurut umur. Indeks ini menggambarkan status gizi seseorang saat ini. Kelebihan indeks berat badan menurut umur adalah: a. Lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum b. Baik untuk mengukur status gizi akut dan kronis c. Sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil d. Dapat mendeteksi kegemukan
Universitas Sumatera Utara
Selain berat badan menurut umur sebagai salah satu indeks antropometrik dalam mengukur status gizi, tinggi badan (bagi bayi sering disebut panjang badan) menurut umur merupakan antrompometrik yang menggambarkan keadaan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan badan relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Oleh sebab itu indeks ini sering dipergunakan untuk mengetahui status gizi pada masa lalu hingga saat ini. Keuntungan indeks tinggi badan menurut umur adalah: a. Baik untuk menilai status gizi masa lampau b. Ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa.
2.4.3. Klasifikasi Secara konsep, klasifikasi status gizi terutama bagi bayi dan anak balita telah banyak dilakukan. Walaupun demikian klasifikasi tersebut selain berbeda menurut parameter penilaian, dapat saja suatu klasifikasi dimodifikasi maupun dikembangkan dengan klasifikasi sesudahnya. Menurut Supariasa, dkk (2002), dalam melakukan pengukuran antropometri gizi ukuran yang dapat dipergunakan terdiri dari: a) Linier: tinggi badan, lingkar dada, lingkar kepala. Menunjukkan keadaan gizi (gizi kurang) akibat kekurangan energi dan protein yang diderita waktu lampau. b) Masa jaringan: berat badan, lingkar kengan atas, tebal lemak di bawah kulit. Menunjukkan keadaan gizi (gizi kurang) akibat kekurangan energi dan protein yang diderita sekarang atau pada saat pengukuran.
Universitas Sumatera Utara
Kekurangan zat gizi sering diidentifikasi sebagai Kurang Energi Protein (KEP). Menurut Supariasa, dkk (2002), Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu. Untuk menilai status gizi, saat ini dikenal 2 baku antropometrik, yaitu: Baku Harvard dan Baku WHO-NCHS (World Health Organization – National Centre for Health and Statistics). Dalam semiloka Antropometrik di Ciloto tahun 1991 telah disepakati bahwa untuk menyeragamkan penggunaan baku antropometrik di Indonesia digunakan baku rujukan WHO-NCHS. Penilaian status gizi bayi dan anak balita berdasarkan berat badan menurut umur dan panjang badan menurut umur dapat dihitung dengan menggunakan Z-score atau standar deviasi. Penilaian status gizi berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U) menurut Departemen Kesehatan yang dikutip Simanjuntak (2003), dibagi atas 4 kategori sebagai berikut: - Status gizi lebih
: Z-score > +2 SD
- Status gizi baik
: Z-score -2 ≤ s/d ≤ +2
- Status gizi kurang
: Z-score -3 ≤ s/d < -2
- Status gizi buruk
: Z score < -3 SD
Selanjutnya, penilaian status gizi berdasarkan panjang badan menurut umur (PB/U) menurut WHO yang dikutip Supariasa (2002) di bagi dalam 3 kategori sebagai berikut: - Normal
: Z-score ≥ -2 SD
- Pendek
: Z-score < -2 SD
Universitas Sumatera Utara
Demikian juga penilaian status gizi berdasarkan berat badan menurut panjang badan (BB/PB) menurut WHO yang dikutip Supariasa (2002) di bagi dalam 3 kategori sebagai berikut: - Gemuk
: Z-score ≥ +2 SD
- Normal
: Z-score -2 ≤ s/d ≤ +2
- Kurus
: Z-score -3 ≤ s/d < -2
- Kurus Sekali
: Z score < -3 SD
Universitas Sumatera Utara
2.5. Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan uraian di atas, kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: PEMBERIAN ASI
Waktu Pemberian Frekwensi Cara Pemberian STATUS GIZI
PEMBERIAN MAKANAN PEMBERIAN MP-ASI
Jenis Makanan Waktu Pemberian Frekwensi Jumlah Cara Pemberian Pemberi
Universitas Sumatera Utara