TINJAUAN PUSTAKA
Defenisi Lahan Kritis
Defenisi lahan kritis atau tanah kritis , adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun sebagai pelindung alam lingkungan, b. Lahan yang tidak sesuai antara kemampuan tanah dan penggunaannya, akibat kerusakan secara fisik, kimia, dan biologis sehingga membahayakan fungsi hidrologis, sosial–ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi pemukiman. Hal ini dapat menimbulkan erosi dan longsor di daerah hulu serta terjadi sedimentasi dan banjir di daerah hilir ( Zain, 1998).
Defenisi Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS), adalah wilayah sungai yang dipisahkan dari wilayah lain karena keadaan topografi yang berupa punggung bukit, di mana air hujan yang jatuh dalam wilayah tersebut mengalir dan meresap menuju ke suatu sungai dan bermuara dilaut. Disamping itu, sub DAS merupakan bagian dari DAS di mana air hujan yang jatuh dalam wilayah tersebut mengalir meresap menuju ke suatu anak sungai dan bermuara di sungai utama (Zain, 1998).
Universitas Sumatera Utara
Komponen Ekosistem Daerah Aliran Sungai Komponen ekosistem DAS bagian hulu umumnya dapat dipandang sebagai suatu eksistem pedesaan. Ekosistem ini terdiri atas empat komponen utama yaitu desa, sawah/ladang, sungai dan hutan. Komponen yang menyusun DAS berbeda tergantung pada keadaan daerah setempat. Misalnya adanya komponen lain seperti perkebunan, sementara di daerah pantai dijumpai adanya komponen lingkungan hutan bakau (Asdak, 1995).
Faktor Penyebab Karusakan Lahan Pada mulanya lahan-lahan di tanah air umumnya merupakan hutan tropika yang subur dan lebat. Hutan yang subur itu dapat kita jumpai di mana – mana mulai dari daerah pesisir hingga areal pegunungan. Selain sebagai sumber diperolehnya hasil hutan yang beraneka ragam jenisnya, hutan merupakan habitat kehidupan baik tumbuhan maupun binatang yang beranekaragam. Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan bertambahnya pula kebutuhan mereka akan barang pangan, sandang, dan papan (Rahim, 2003).
Faktor utama penyebab kerusakan lahan adalah kesalahan pengelolaan lahan khususnya lahan pertanian di daerah hulu. Kesalahan pengelolaan lahan umumnyan tidak mengindahkan kaidah konservasi lahan. Hal ini disebabkan karena masyarakat belum mengetahui bahaya mengelola daerah berlereng terjal dan kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap konservasi tanah dan air. Disamping
itu
terjadinya
lahan
kritis
karena
makin
meningkatnya
Universitas Sumatera Utara
tekanan/kebutuhan penduduk terhadap lahan, akibat pertambahan penduduk yang cepat. Faktor penyebab lahan kritis :
- Perambahan hutan - Penebangan liar (illegal logging) - Kebakaran hutan - Pemanfaatan sumberdaya hutan yang tidak berazaskan kelestarian - Penataan zonasi kawasan belum berjalan - Pola pengelolaan lahan tidak konservatif - Pengalihan status lahan (berbagai kepentingan) - Dll.
Dengan demikian, akibat yang dari lahan kritis antara lain:
- Daya resap tanah terhadap air menurun sehingga kandungan air tanah berkurang yang mengakibatkan kekeringan pada waktu musim kemarau - Terjadinya arus permukaan tanah pada waktu musim hujan yang mengakibatkan bahaya banjir dan longsor - Menurunnya kesuburan tanah, dan daya dukung lahan serta keanekaragaman hayati (Basamalah, 2005).
Penetapan Lahan Kritis
Penetapan lahan kritis mengacu pada definisi lahan kritis yang ditetapkan sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan secara fisik sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas toleransi. Sasaran lahan kritis adalah lahan-lahan dengan fungsi lahan yang ada kaitannya dengan kegiatan reboisasi
Universitas Sumatera Utara
dan penghijauan, yaitu fungsi kawasan hutan lindung, fungsi kawasan lindung di luar kawasan hutan dan fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian.
Penilaian kekritisan lahan tergantung pada fungsi lahan yaitu sebagai berikut:
a. Fungsi Kawasan Hutan Lindung
Kawasan Hutan Lindung merupakan kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan pada kawasan disekitarnya maupun bawahannya sebagai pengatur tata air,pencegahan banjir dan erosi serta pemelihara kesuburan tanah. Pada fungsi kawasan lindung, kekritisan lahan dinilai berdasarkan keadaan penutupan lahan/penutupan tajuk pohon
(bobot 50%),
kelerengan lahan (bobot 20%), tingkat erosi (bobot 20%) dan manajemen/usaha pengamanan lahan (bobot 10%).
b. Fungsi Kawasan Budidaya Untuk Usaha Pertanian
Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kodisi potensi, sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Pada fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian, kekritisan lahan dinilai berdasarkan produktvitas lahan yaitu rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional (bobot 30%), kelerengan lahan (bobot 20%), Tingkat Erosi yang diukur berdasarkan tingkat hilangnya lapisan tanah, baik untuk tanah dalam maupun untuk tanah dangkal (bobot 15%), batu-batuan (bobot 5%) dan manajemen yaitu usaha penerapan teknologi konservasi tanah pada setiap unit lahan
(bobot 30%).
Universitas Sumatera Utara
c. Fungsi Kawasan Lindung Di luar Kawasan Hutan
Kawasan lindung merupakan kawasan yang ditetapkan dengan fungsi melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumberdaya buatan. Kawasan lindung di luar kawasan hutan merupakan kawasan yang memiliki fungsi sebagai zona pelindung daerah sekitarnya yang lebih khusus. Seperti sempadan sungai berfungsi untuk melindungi kawasan sepanjang kiri kanan sungai untuk mempertahankan fungsi sungai Pada fungsi kawasan lindung di luar kawasan hutan, kekritisan lahan dinilai berdasarkan vegetasi permanen yaitu prosentase penutupan tajuk pohon (bobot 50%), kelerengan Lahan (bobot 10%), tingkat Erosi (bobot 10%) dan manajemen (bobot 30%) ( Dephut, 2002).
Rumus fungsi untuk penentuan kekritisan lahan kritis di kawasan lindung di luar kawasan hutan :
LK
: [ a (50) + b (10) + c (10)+d (30) ]
Dimana ;
a = Faktor penutupan lahan / vegetasi b = Faktor kemiriringan lahan c = Faktor bahaya erosi d = Faktor manajemen 50, 10, 10, 30 = merupakan konstanta dari nilai skoring.
Universitas Sumatera Utara
Rehabilitasi Hutan Dan Lahan
Pada tanggal 31 Januari 2001 dikeluarkan SK Menhut No. 20/KptsII/2001, tanggal 31 Januari 2001 tentang standar dan kriteria rehabilitasi hutan dan lahan yang merupakan acuan dari seluruh pihak untuk melaksanakan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan secara terpadu dan berkelanjutan. Tujuan rehabilitasi hutan dan lahan seperti tesebut pada SK Menhut adalah terpilihnya sumberdaya hutan dan lahan yang rusak sehingga berfungsi optimal yang dapat memberikan manfaat bagi seluruh pihak, menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS dan mendukung kelangsungan pembangunan kehutanan (Dephut, 2001).
Usaha rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dititikberatkan pada usaha yang dapat merangsang partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kemampuan mengolah tanah beserta upaya pelestarian tanah yang digarap atau dimilikinya. Reboisasi atau rehabilitasi hutan lindung bertujuan untuk menghutankan kembali kawasan hutan lindung kritis di wilayah daerah aliran sungai (DAS) yang dilaksanakan bersama masyarakat secara partisipatif. Kepastian ini merupakan prioritas karena sesuai dengan fungsinya. Kegiatan utamanya adalah penanaman kawasan hutan lindung dengan tanaman hutan dan tanaman kehidupan yang bermanfaat yang dilaksanakan secara partisipatif oleh masyarakat setempat. Penanaman ini bertujuan untuk meningkatkan tingkat penutupan lahan yang optimal sekaligus memberikan manfaat bagi masyarakat setempat, sehingga tercipta keharmonisan antara fungsi hutan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Konservasi tanah adalah upaya mempertahankan atau memperbaiki daya guna lahan termasuk kesuburan tanah. Tujuan konservasi tanah yakni meningkatkan
Universitas Sumatera Utara
fungsi lahan secara optimal dalam unit DAS sebagai satuan hidrologis, yang mempunyai fungsi perlindungan untuk tata air serta media produksi, dan pemeliharaan lingkungan hidup. Peranannya sangat penting dalam rangka memelihara kesuburan tanah dan tata air (Zain, 1998).
Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis (SIG), merupakan suatu sistem (berbasis komputer) yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi– informasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek–objek dan fenomena–fenomena dimana lokasi geografis merupakan karekteristik yang penting atau kritis untuk dianalisa. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografis : (a) masukan, (b) keluaran, (c) manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), (d) analisis dan manipulasi data (Aronoff,1989).
Data SIG dibagi menjadi dua macam, yakni data grafis dan data atribut atau tabular. Data grafis adalah data yang menggambarkan bentuk atau kenampakan objek di permukaan bumi. Sedangkan data tabular adalah data deskriptif yang menyatakan nilai data grafis tersebut (Wayan, 2005).
Secara teknis SIG mengorganisasikan dan memanfaatkan data dari peta digital yang tersimpan dalam basis data. Dalam SIG, dunia nyata dijabarkan dalam peta digital yang mengambarkan posisi dari ruang (Space) dan klasifikasi, atribut data dan hubungan antar item data. Kerincian data SIG ditentukan oleh
Universitas Sumatera Utara
besarnya
satuan pemetaan terkecil yang
terhimpun dalam
basis data
(Budiyanto, 2002).
Memperoleh Data Sistem Informasi Geografis
Sumber data digital dapat berupa citra satelit atau data foto udara yang terdigitasi (scanning). Data lain dapat berupa peta besar terdigitasi. Citra satelit yang berasal dari satelit Landsat TM merupakan contoh data citra digital dengan format raster. Foto udara digital dan citra satelit digunakan secara saling melengkapi. Masing – masing sumber data tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan, terutama kerician dan luasan data yang diperoleh. Dengan demikian , pemanfaatan kedua jenis data tersebut secara saling melengkapi sangatlah menguntungan (Budiyanto, 2002).
Mengolah Data Sistem Informasi Geografis
Prinsip mengolah data dalam SIG secara sederhana dapat digambarkan dengan sebuah cara overlay beberapa peta berwarna yang tergambar pada kertas transparansi di atas sebuah overhead projektor (OHP). Dalam mengolah digital SIG, masing–masing satuan pemetaan memiliki bobot tertentu. Pembobotan ini dilakukan dengan skoring.
Pada penelitian ini data didapat dari pihak BPDAS Asahan Barumun dalam bentuk bentuk raster dan projection. Data projection yang dalam bentuk geografis kemudian di ubah kedalam bentuk UTM untuk diproses selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara