4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kekeringan (Drought) Kekeringan merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir setiap negara di dunia ini meskipun kekeringannya berbeda pada tiap wilayah. Kekeringan (drought) sebenarnya sulit untuk diberi batasan yang tegas, sebab kekeringan mempunyai definisi berbeda tergantung pada sudut pandang bidang ilmu tertentu, tergantung letak daerah, dan kebutuhan yang diperlukan. Sebagai contoh, definisi kekeringan di Libya dimana curah hujan kurang dari 180 mm, sedangkan definisi kekeringan di Bali jika tidak turun hujan selama 6 hari berturut-turut (National Drought Mitigation Center, 2006). Menurut International Glossary of Hidrology (WMO 1974) dalam Pramudia (2002), pengertian kekeringan adalah suatu keadaan tanpa hujan berkepanjangan atau masa kering di bawah normal yang cukup lama sehingga mengakibatkan keseimbangan hidrologi terganggu secara serius. Secara tipologi kekeringan didefinisikan sebagai berikut :
Kekeringan Meteorologis Kekeringan meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah
normal dalam satu musim. Kekeringan meteorologis biasanya didefinisikan sebagai kurangnya curah hujan selama periode waktu yang telah ditentukan. Ambang batas yang dipilih, seperti 50% dari curah hujan normal selama jangka waktu enam bulan akan bervariasi menurut lokasi sesuai dengan kebutuhan pengguna atau aplikasi (SAARC, 2010). Data yang diperlukan untuk menilai kekeringan meteorologi adalah informasi curah hujan harian, suhu, kelembaban, kecepatan dan tekananangin serta penguapan.
Kekeringan Hidrologis Kekeringan hidrologis berkaitan dengan kekurangan pasokan air
permukaan dan air tanah. Kekeringan hidrologis biasanya didefinisikan oleh kekurangan pada permukaan dan persediaan air bawah permukaan relatif terhadap kondisi rata-rata pada berbagai titik dalam waktu semusim. Seperti kekeringan pertanian, tidak ada hubungan langsung antara jumlah curah hujan dengan status air permukaan dan persediaan air bawah permukaan di danau, waduk, akuifer, dan sungai karena komponen sistem hidrologi digunakan untuk beberapa tujuan,
5
seperti irigasi, rekreasi, pariwisata, pengendalian banjir, transportasi, produksi listrik tenaga air, air pasokan dalam negeri, perlindungan spesies terancam punah, dan manajemen lingkungan, ekosistem, dan pelestarian. Ada juga waktu kesenjangan yang cukup besar antara penyimpangan dari curah hujan dan titik di mana kekurangan-kekurangan ini menjadi jelas dalam komponen permukaan dan bawah permukaan dari sistem hidrologi (SAARC, 2010).
Kekeringan Pertanian Kekeringan pertanian berhubungan dengan kekurangan kandungan air
tanah di dalam tanah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu yang mempengaruhi penurunan produksi pertanian. Kekeringan pertanian didefinisikan sebagai kurangnya ketersediaan air tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman dan makanan ternak dari curah hujan normal selama beberapa periode waktu tertentu. Hubungan antara curah hujan dan infiltrasi air hujan ke dalam tanah seringkali tidak berlangsung. Tingkat infiltrasi bervariasi tergantung pada kondisi kelembaban, kemiringan, jenis tanah, dan intensitas dari peristiwa presipitasi. Karakteristik tanah juga berbeda. Sebagai contoh, beberapa tanah memiliki kapasitas menyimpan air lebih tinggi, yang membuat mereka kurang rentan terhadap kekeringan (SAARC, 2010).
Kekeringan Sosial Ekonomi Kekeringan sosial ekonomi berkaitan dengan kondisi dimana pasokan
komoditas ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat kekeringan meteologi, hidrologi dan pertanian. Kekeringan sosial ekonomi berbeda nyata dari kekeringan yang lain karena mencerminkan hubungan antara penawaran dan permintaan untuk beberapa komoditas atau ekonomi yang baik (seperti air, pakan ternak, atau pembangkit listrik tenaga air) yang tergantung pada curah hujan. Pasokan bervariasi setiap tahun sebagai fungsi dari ketersediaan air. Permintaan juga naik turun dan sering dikaitkan dengan suatu kecenderungan yang positif akibat peningkatan populasi, pengembangan dan faktor lainnya (SAARC, 2010). Dampak kekeringan bisa ekonomi, lingkungan atau sosial. Kekeringan menghasilkan dampak yang kompleks mencakup banyak sektor ekonomi baik luar daerah yang mengalami kekeringan. Kompleksitas ini ada karena air merupakan
6
bagian integral dari kemampuan masyarakat untuk menghasilkan barang dan menyediakan layanan. Dampak kekeringan sering disebut bersifat langsung dan tidak langsung. Dampak langsung termasuk tanaman berkurang, lahan tidur, dan produktivitas hutan, meningkatkan bahaya kebakaran, ketinggian air berkurang, tingkat kematian satwa liar, dan kerusakan satwa liar dan habitat ikan. Penginderaan jauh dan teknologi GIS memberikan kontribusi signifikan untuk manajemen kekeringan (Jeyaseelan, 2003). 2.2. Kajian Indeks 2.2.1. Pengertian Indeks Indeks menurut pengertian yang tertuang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka (2003) adalah rasio antara dua unsur kebahasaan tertentu yang mungkin menjadi ukuran suatu cirri tertentu atau petunjuk. Sedangkan berdasarkan teori yang dikembangkan Spiegel (1961), indeks adalah sebuah disain pengukuran statistik untuk melihat perubahan sebuah variabel atau hubungan antara kelompok variabel dengan fungsi waktu, lokasi geografi atau karakteristik lain. 2.2.2. Indeks Kekeringan Indeks kekeringan masih dikembangkan oleh berbagai ahli antara lain : Indeks Kekeringan Meteorologi Bert H. Borger, Indeks Suplai Air Permukaan (SWSI), Indeks Keparahan Kekeringan Palmer (PDSI), dan masih banyak lagi. Indeks-indeks
ini
diciptakan
tergantung
dari
gambaran
umum
yang
melatarbelakangi daerah tertentu, pengguna, proses, input dan hasil masingmasing klasifikasi. Namun belum ada indeks yang dapat digunakan untuk menilai kekeringan hidrologis dan pertanian. Untuk itu diperlukan kajian dalam menentukan indeks kekeringan hidrologi dan pertanian.
Indeks Kekeringan Meteorologis Bert H. Borger Tingkat kekeringan meteorologi dibatasi sebagai suatu periode dengan tiga
atau bulan kering berturut-turut atau lebih yaitu bulan dengan curah hujan kurang dari 100 mm per bulannya dan kurang dari 200 mm per tiga bulannya (Borger, 2001). Perhitungan tingkat kekeringan meteorologi untuk setiap wilayah stasiun hujan diperoleh dengan cara menambahkan skor panjang periode kering (drought length) dan skor jumlah curah hujan per tiga bulan (rainfall for the three month
7
period), yakni dengan mengambil jumlah curah hujan per tiga bulan yang terkecil jika panjang periode kering lebih dari tiga bulan secara berurutan. Kelas indeks kekeringan Bert H. Borger disajikan (Tabel 1) sebagai berikut : Tabel 1. Kelas Indeks Kekeringan Bert H. Borger Nilai Kemungkinan Kelas Kering Kekeringan (0+0) 0 Basah (1+0) 1 Normal (1+1) 2 Normal (1+2) 3 Sedikit Kering (3+0) (1+3) 4 Sedikit Kering (3+1) (1+4) 5 (3+2) Kering (5+0) (1+5) 6 (3+3) Kering (5+1) (3+4) 7 Sangat Kering (5+2) (3+5) 8 Sangat Kering (5+3) (5+4) Ekstrim Kering 9 10 (5+5) Ekstrim Kering Sumber : Effendy, 2011
Indeks Suplai Air Permukaan (SWSI) Indeks Suplai air Permukaan telah diterbitkan oleh Shafer dan Dezman
(1982) untuk melengkapkan kelemahan yang terdapat dalam PDSI. PDSI didasarkan pada algoritma kelembaban tanah yang dikalibrasi untuk suatu kawasan yang homogen tetapi tidak sesuai untuk kawasan yang bertopografi luas serta tidak mengambil rata-rata curah hujan. Penilaian SWSI adalah untuk menggabungkan cirri-ciri hidrologi dan meteorologi dalam satu indeks yang menyerupai PDSI bagi setiap sungai utama (Sharef dan Dezman, 1982). Nilai ini adalah piawai dan boleh dibandingkan antara tadahan yang berbeda. Seperti PDSI, nilai SWSI berada di range – 4.2 hingga +4.2. Nilai SWSI adalah unit untuk tadahan tertentu,sehingga sulit untuk membandingkan nilai SWSI antara kawasan tadahan yang berlainan.
8
Indeks Keparahan Kekeringan Palmer (PDSI) Indeks kekeringan palmer dapat menunjukkan indeks terlalu basah atau
terlalu kering dari keadaan normalnya suatu daerah. Metode Indeks Kekeringan Palmer berguna untuk mengetahui kekeringan yang telah terjadi terutama di daerah-daerah semiarid dan yang beriklim sub-humid kering. Kapasitas air tersedia diperlukan dalam pengolahan data Palmer. Selain dari itu koordinat lintang juga diperlukan dalam perhitungannya agar dapat mengetahui panjang hari dilokasi tersebut. Menurut National Drought Mitigation Center (2006), Indeks Palmer lebih baik digunakan pada area yang luas dan topografi yang seragam. Berikut ini disajikan pada Tabel 3 kelas dan sifat cuaca dalam Indeks Kekeringan Palmer (Hounam et al.1975). Metode ini mempertimbangkan faktor iklim, tanah dan tanaman serta didasarkan pada prinsip neraca air. Curah hujan, suhu dan faktor lengas tanah sebagai parameter utama dalam menurunkan nilai Indeks Palmer. Tabel 2. Kelas Indeks Kekeringan Palmer dan Kriterianya Klasifikasi Palmer Indeks Kekeringan Kriteria ≥ 4.00 Ekstrim basah 3.00 - 3.99 Sangat basah 2.00 - 2.99 Agak basah 1.00 - 1.99 Sedikit basah 0.50 - 0.99 Awal selang basah 0.49 - (-0.49) Normal - 0.5 - (-0.99) Awal selang kering -1 - (-1.99) Sedikit kering - 2.00 - (-2.99) Agak kering - 3.00 - (-3.99) Sangat kering ≤ -4.00 Ekstrim kering 2.3. Model Simulasi 2.3.1. Definisi Model Simulasi Model diartikan sebagai penyederhanaan suatu sistem (Hall dan Day, 1977; Handoko, 1994). Sedangkan sistem didefinisikan sebagai fenomena, baik struktural maupun fungsional yang memiliki paling sedikit dua komponen yang berinteraksi (Dahuri, 1995).
9
Ada dua pendekatan dalam pemodelan ekosistem yaitu model analitik (mathematical programming) yakni menggunakan persamaan matematika yang kompleks untuk mendapatkan solusi yang relatif akurat. Model simulasi (simulation modeling) dapat digunakan untuk mensimulasikan suatu proses dalam suatu sistem. 2.3.2. Klasifikasi Model Jorgensen (1988) membuat klasifikasi model-model simulasi yang dipakai dalam menganalisis ekosistem. Dari beberapa model yang paling banyak digunakan adalah model empirik yaitu model yang dibuat berdasarkan pengamatan empirik, menggunakan hubungan sebab-akibat tanpa menjelaskan proses. Sebaliknya model mekanistik menjelaskan mekanisme proses yang terjadi dalam suatu system. Model deskriptif merupakan model yang menggambarkan bentuk-bentuk hubungan secara konseptual (kualitatif), sebaliknya model numerik menggambarkan hubungan tersebut secara kuantitaf. Model dinamik merupakan model yang menggambarkan unsur waktu, sebaiknya model statik tidak menjelaskan peubah-peubah yang ada sebagai fungsi waktu. Sementara model deterministik adalah model yang keluarnya bersifat mutlak, tidak mengandung toleransi kesalahan perhitungan. Sedangkan model stokastik keluarannya mengandung toleransi kesalahan hitungan berupa ragam, simpangan baku, kesalahan baku, koefisien keragaman atau berupa peluang dari 0% hingga 100%. 2.3.3. Kegunaan Model Menurut Jorgensen (1988) kegunaan model sebagai alat bantu dalam ekologi dapat dikelompokkan ke dalam empat kegunaan : 1. Model merupakan instrumen yang berguna untuk memahami sistem yang kompleks. 2. Model dapat dipakai untuk menggambarkan karakteristik sistem secara sederhana. 3. Model dapat dipakai untuk menyusun prioritas-prioritas penelitian. 4. Model dapat dipakai untuk menguji hipotesis ilmiah dengan jalan mensimulasikan reaksi ekosistem dan dibandingkan dengan hasil observasi.
10
Model simulasi lebih berguna dan dapat diandalkan bila memenuhi ketiga. syarat berikut : 1. Model merupakan gambaran sistem yang rill, harus realistis dan inovatif. 2. Model harus sederhana agar mudah dikelola. 3. Model merupakan distorsi dari sistem, karena itu dalam aplikasi harus seksama dan waspada. 2.3.4. Tahap-tahap Pembuatan Model Simulasi Ada 10 tahap dalam pemodelan (Dahuri, 1995; Hall dan Day 1977; Jorgensen 1988) meliputi : 1. Pendefinisian masalah : menentukan masalah yang akan dicari solusinya sekaligus menetapkan tujuan yang akan dicapai. 2. Pembatasan masalah berdasarkan waktu, ruang dan komponen dari model. 3. Penyusunan model konseptual/verbal : menjelaskan variabel keadaan (state variables) dan variabel luar (exogenous variables) yang penting serta kaitan keduanya secara konseptual. 4. Penyusunan model diagram. 5. Penyusunan model persamaan matematika untuk setiap fungsi transfer melalui tiga tahap. Pertama, menentukan nilai awal (initial value) untuk setiap variabel keadaan berdasarkan hasil riset atau informasi lain. Kedua, menentukan variabel luar yang dapat mengubah nilai variabel keadaan. Ketiga, merumuskan setiap hubungan fungsional antar variabel menjadi persamaan matematika serta penentuan nilai koefisien dan konstanta. 6. Penerjemahan persamaan matematika kedalam bahasa komputer. 7. Melakukan simulasi komputer dengan cara menentukan nilai awal kemudian membatasi skenario simulasi lalu dieksperimentasikan sesuai dengan batas waktu yang akan diestimasi. 8. Verifikasi, untuk melihat logika internal model, yaitu keluaran model hasil simulasi sesuai dengan logika ilmiah. 9. Analisis kepekaan (sensitivity analysis), dilakukan dengan merubah nilai setiap peubah/parameter ke atas dan ke bawah, sehingga dapat dilihat respon model terhadap perubahan tersebut. Bila respon model kecil maka
11
dikatakan bahwa model tidak sensitif terhadap peubah dan parameter tersebut, sebaiknya bila respon model besar terhadap perubahan dikatakan bahwa model peka terhadap peubah/parameter tersebut. 10. Validasi model : membandingkan keluaran model dengan hasil observasi untuk melihat kelayakan model. 2.4. Risiko Bencana Risiko bencana (risk disaster) adalah kemungkinan dari satu bencana yang terjadi sehingga menyebabkan tingkat kerugian yang khusus. Risiko perlu dikaji sehingga dapat menetapkan besarnya kerugian yang sudah diestimasi dan itu dapat diantisipasi di suatu wilayah. Banyak ahli telah mengembangkan formulasi dalam menilai risiko bencana. Secara umum risiko bencana merupakan kombinasi dari bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability). Namun selain faktor tersebut, eksposur (exposure) dan kemampuan (capacity) individu maupun kelompok juga menjadi penentu dalam penilaian risiko (Carter, 1992; Davidson, 1997; Bollin, 2003; Wisner et al. 2004). Bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh ulah manusia (man-made disaster). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan bencana antara lain :
Bahaya (Hazard) Bahaya alam adalah suatu peristiwa fisik yang berdampak pada
masyarakat dan lingkungan mereka (Blaikie et al. 1994). Kekeringan merupakan bahaya berdasarkan parameter iklim regional. Dampak kekeringan bisa sama kerugiannya dengan bencana lainnya, namun kejadiannya lambat. Kekeringan sering menyebabkan bahaya sekunder seperti badai kelaparan, kebakaran hutan dan konflik sosial. Pengaruh kekeringan seringkali dirasakan oleh mereka yang memiliki kerentanan yang tinggi. Kekeringan adalah lebih mungkin terjadi di tempat yang semi kering. Pengelolaan kondisi kekeringan mencerminkan kebutuhan pengetahuan yang lebih besar ketika kekeringan mendekati. Kekeringan disebabkan oleh kondisi iklim yang menghasilkan "kekeringan abnormal pada suatu wilayah saat musim hujan biasa tidak turun" (Abbott, 1979.) Ada sistem iklim global yang mempengaruhi kapan dan di mana kekeringan
12
terjadi. El Nino Southern Oscillation (ENSO) adalah yang paling menonjol. ENSO adalah sistem yang berkala.
Kerentanan (Vulnerability) Kerentanan adalah tingkat dimana sebuah masyarakat, struktur, layanan
atau daerah geografis yang berpotensi terganggu oleh dampak bahaya tertentu. Tingkat kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan fisik (infrastruktur), sosial dan ekonomi (Carter, 1992). Kerentanan fisik berhubungan erat dengan lingkungan infrastruktur buatan manusia serta lingkungan pertanian. Kerentanan sosial berkaitan dengan unsur-unsur atau faktor kerentanan secara demografis seperti kepadatan penduduk dan tingkat kewaspadaan. Sedangkan kerentanan ekonomi berkaitan erat dengan cara orang mencari nafkah dan mata pencaharian mereka atau keluarga miskin. Kegiatan sumber daya alam dan manusia tergantung pada curah hujan dan kelembaban tanah, seperti lahan kering pertanian, peternakan, dan beberapa penggunaan air lingkungan adalah yang paling berisiko dari kekeringan. Kegiatan ini dapat mengalami dampak kekeringan yang berlangsung singkat.
Eksposur (Eksposure) Eksposur dapat didefinisikan sebagai total nilai elemen berisiko. Elemen
resiko didefinisikan adalah populasi, perumahan, transportasi, kesehatan dan infrastruktur pendidikan, tenaga air dan pertanian yang terkena bahaya di daerah tertentu. Hal ini dinyatakan sebagai jumlah nyawa manusia dan nilai properti atau aset yang berpotensi dapat dipengaruhi oleh bahaya. Eksposur adalah fungsi dari lokasi geografis dari unsur-unsur beresiko. Penilaian ekposur adalah tahap peralihan dari penilaian risiko, yang menghubungkan penilaian bahaya dengan aset yang dipertimbangkan untuk penilaian risiko (ADPC, 2010).
Kapasitas (capacity) Menurut Bollin et al. (2003) kapasitas adalah kekuatan dan sumber daya
yang tersedia dalam suatu masyarakat atau organisasi yang dapat mengurangi tingkat risiko atau dampak dari bencana. Adaptasi pada dasarnya berkaitan dengan tingkat sistem ketahanan yang didefinisikan sebagai kapasitas sistem untuk menyerap gangguan dan mereorganisasi saat menjalani perubahan sehingga
13
tetap mempertahankan dasar fungsi yang sama, struktur, identitas, dan masukan (Folke et al. 2005). Dalam proses ini, terdiri dari desain dan implementasi manajemen risiko lembaga dan organisasi seperti rencana kesiapan bencana, sistem peringatan bencana dan bantuan darurat yang berpotensi dapat mengurangi dampak yang paling cepat dan mengerikan dampak terkait iklim. Kapasitas merupakan penilaian untuk mengukur tindakan pencegahan, persiapan, respon dalam tanggap darurat serta upaya rehabilitasi dan rekonstruksi dalam menghadapi bencana. Selain kapasitas pemerintah, populasi, sektor swasta, media organisasi masyarakat dan perguruan tinggi juga sangat penting dalam penilaian risiko. Pengurangan risiko bencana
adalah
pendekatan
sistematis untuk
mengidentifikasi, menilai dan mengurangi risiko bencana. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kerentanan sosial ekonomi terhadap bencana serta berurusan dengan bahaya lingkungan dan lainnya yang memicu. Menurut Yan (2010), Pemetaan risiko
adalah
proses
pembentukan
batas
spasial
dan
temporal
risiko
(menggabungkan informasi tentang probabilitas dan konsekuensi). Pemetaan risiko menggabungkan peta bahaya, eksposur, dan fungsi kerentanan. Hasil pemetaan risiko biasanya disajikan dalam bentuk peta yang menunjukkan besar dan sifat risiko. 2.4. Mitigasi Bencana Mitigasi
berarti
mengambil
tindakan-tindakan
untuk
mengurangi
pengaruh-pengaruh dari suatu bahaya dan kerentanan yang mengancam sebelum bahaya itu terjadi. Istilah mitigasi berlaku untuk cakupan yang luas dari aktivitasaktivitas dan tindakan-tindakan perlindungan yang mungkin diawali, dari yang fisik, sampai dengan prosedural. Di negara besar seperti USA dan India salah satu dari daerah tersebut mengalami kekeringan hampir setiap tahun. Namun, dampaknya dapat diminimalkan melalui pengembangan teknik manajemen yang lebih baik. Oleh karena itu, pengembangan strategi manajemen kekeringan yang tepat sangat penting dan saat ini ditangani oleh sektor pemerintah, lembaga swadaya dan lembaga penelitian pengembangan (SAARC, 2009).