TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Gaharu Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) merupakan nama perdagangan dari produk kayu (incense) yang dihasilkan oleh beberapa spesies pohon penghasil gaharu. Dalam perdagangan internasional, produk ini dikenal sebagai agarwood, aloeswood, atau oudh. A.malaccensis adalah salah satu jenis tanaman hutan yang memiliki mutu sangat baik dengan nilai ekonomi tinggi karena kayunya mengandung resin yang harum. Bagian tanaman penghasil gaharu yang digunakan adalah bagian kayu yang membentuk gubal resin, sebagai produk metabolit sekunder (Santoso dkk., 2007). Gaharu adalah sejenis resin tapi bukan resin yang dihasilkan oleh pohon gaharu, melainkan resin yang terbentuk karena adanya infeksi pada pohon tersebut. Infeksi ini mengakibatkan sumbatan pada pengaturan makanan, sehingga menghasilkan suatu zat phytalyosin sebagai reaksi dari infeksi tersebut. Infeksi didapat dari hasil perlukaan yang disebabkan oleh alam (serangan hama dan penyakit seperti serangga, jamur, bakteri) atau karena sengaja dilukai oleh manusia. Zat phytalyosin inilah yang merupakan resin gubal gaharu di dalam pohon karas dari jenis Aquilaria spp. Zat yang berbau wangi jika dibakar ini tidak keluar dari batang gubalnya, tetapi mengendap menjadi satu dalam batang. Hal ini terjadi pada tanaman yang sakit dan tidak pada pohon yang sehat. Proses inilah yang menyebabkan terbentuknya gaharu dalam batang. Gubal gaharu adalah bagian gubal gaharu yang mengandung damar wangi dengan konsentrasi yang lebih rendah (Wulandari, 2000).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Taksonomi tanaman gaharu (A. malaccensis Lamk.) adalah : Kingdom
: Plantae (tumbuhan)
Divisi
: Spermatophyta (tumbuhan biji)
Sub Divisi
: Angiospermae (tumbuhan biji tertutup)
Kelas
: Dikotil (berbiji belah dua)
Sub Kelas
: Dialypetale (bebas daun bermahkota)
Ordo
: Myrtales (daun tunggal duduknya bersilang)
Famili
: Thymeleaceae (akar berserabut jala)
Genus
: Aquilaria
Species
: A. malaccensis Lamk. (Tarigan, 2004).
A. malaccensis memiliki morfologi atau ciri-ciri fisiologi yang sangat unik, dimana tinggi pohon ini mencapai 40 meter dengan diameter 60 cm. Pohon ini memiliki permukaan batang licin, warna keputihan, kadang beralur dan kayunya agak keras. Tanaman ini memiliki bentuk daun lonjong agak memanjang, panjang 6-8 cm, lebar 3-4 cm, bagian ujung meruncing.Daun yang kering berwarna abu-abu kehijaun, agak bergelombang, melengkung, permukaan daun atas-bawah licin dan mengkilap, tulang daun sekunder 12-16 pasang.Tanaman ini memiliki bunga yang terdapat diujung ranting, ketiak daun, kadang-kadang di bawah ketiak daun.Berbentuk lancip, panjang sampai 5 mm. Dan buahnya berbentuk bulat telor, tertutup rapat oleh rambutrambut yang berwarna merah. Biasanya memiliki panjang hingga 4 cm lebar 2,5 cm (Tarigan, 2004).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Syarat Tumbuh dan Penyebaran Gaharu di Indonesia A. malaccensis sesuai ditanam di antara kawasan dataran rendah hingga ke pergunungan pada ketinggian 0 – 750 meter dari permukaan laut dengan curah hujan kurang dari 2000 mm/tahun. Suhu yang sesuai adalah antara 27°C hingga 32°C dengan kadar cahaya matahari sebanyak 70%. Kesesuaian tanah adalah jenis lembut dan liat berpasir dengan pH tanah antara 4.0 hingga 6.0 (Sumarna, 2005). Gaharu merupakan salah satu komoditi Hasil Hutan Non Kayu (HHNK) yang harganya lebih tinggi dibandingkan HHNK lainnya (Wiyono dan Sumaliani, 1998).Gaharu digunakan sebagai bahan dasar dalam industri parfum, dupa, kosmetik, dan obat-obatan.Sehingga gaharu bisa dikatakan sebagai salah satu jenis komoditi HHNK yang memliki nilai multiguna.Genus Aquilaria merupakan tanaman yang menjadi sumber utama penghasil gaharu, selain Gyrynops sp, Gonystylus sp, dan Aetoxylonsympetallum (Sumarna, 2002). Di Indonesia letak tanaman gaharu menyebar dari Sumatera hingga Irian Jaya. Dari hasil survei tahun 2001 yang dilakukan oleh ASGARIN diketahui bahwa sisa pohon gaharu di daerah penghasil utama gaharu adalah Sumatera 26%, Kalimantan 27%, Nusa Tenggara 5%, Sulawesi 4%, Maluku 6% dan Papua 37% (Tarigan, 2004). Ada beberapa jenis pohon gaharu yang berpotensi untuk memproduksi gubal dan sudah banyak dieksplorasi. Jenis pohon gaharu tersebut antara lain Aquilariasp, Aetoxylon sympetallum, Gyrinops, dan Gonsystylus yang tersebar di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua. Pohon gaharu dapat tumbuh di dataran rendah hingga dataran tinggi dan hampir pada semua jenis tanah(Sidiyasa & Suharti, 1987).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Kelas Produksi Gaharu Sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) yang ditetapkan oleh Dewan Standardisasi Nasional (DSN), masing-masing kelompok produk gahru tersebut masih dibagi menjadi beberapa kelas, seperti pada tabel berikut. Tabel 1. Klasifikasi mutu produk gaharu berdasarkan standar Nasional Indonesia (SNI) Klasifikasi dan Kelas Mutu
No
Warna
Kandungan Damar Wangi
Aroma
A
Gubal
A1
Mutu Utama (U), setara dengan mutu Super Mutu Pertama (I), setara dengan mutu AB Mutu Kedua (II), setara dengan Sabah Super (SBI) Kemedangan
Hitam merata
Tinggi
Kuat
Hitam cokelat
Cukup
Kuat
Hitam cokelatan
Sedang
Agak kuat
Cokelat kehitaman Cokelat bergaris hitam Cokelat bergaris putih Cokelat bergaris putih kecokelatan bergaris putih lebar kecokelatan bergaris hitam tipis Putih keabuan
Tinggi Cukup Sedang Sedang Kurang
Agak kuat Agak kuat Agak kuat Agak kuat Kurang kuat
Kurang
Kurang kuat
Kurang
Kurang kuat
C
Mutu I, setara TG-A (Tanggung A) Mutu II, setara SB1 Mutu III, setara TAB (Tanggung AB) Mutu IV, setar TG-C (Tanggung C) Mutu V, setara mutu M1 (kemedangan 2) Mutu VI, setara mutu M2 (kemedangan 2) Mutu VII, setara mutu M3 (kemedangan 3) Abu
C1 C2 C3
Mutu Utama (U) Mutu pertama (I) Mutu kedua (II)
Hitam Cokelat kehitaman Putih kecokelatan atau kekuningan
Tinggi Tinggi Sedang atau kurang
Kuat Kuat Sedang atau kurang
A2 A3 B B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7
Gejala Pembentukan Gaharu Menurut Raffa et al. (1985) gaharu terbentuk karena adanya produksi dan akumulasi senyawa resin di dalam jaringan batang tanaman penghasil gaharu. Produksi resin ini merupakan bagian dari mekanisme pertahanan tanaman terhadap serangan hama dan fungi patogen.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Banyak pendapat yang berkembang mengenai proses pembentukan gaharu. Menurut Ng et al. (1997) gaharu terbentuk karena adanya pelukaan atau pelukaan yang diikuti infeksi cendawan.Mohamed et al. (2010) menemukan pembentukan gaharu yang wangi pada bekas luka yang disertai adanya miselium cendawan. Namun secara umum cendawan banyak dilaporkan berpengaruh dalam proses pembentukan gaharu (Qi et al. 2005). Gaharu dihasilkan tanaman sebagai respon tanaman terhadap adanya
cendawan
yang
masuk
kedalam
jaringan
tanaman
yang
luka
(Bhuiyan et al. 2009). Gubal
dihasilkan
pohon
gaharu
sebagai
respon
terhadap
infeksi
mikroba/cendawan yang masuk ke dalam jaringan luka (Oldfield et al., 1998 dalam Barden et al., 2000), luka dapat disebabkan secara alami maupun secara sengaja dengan pengeboran dan penggergajian. Masuknya mikroba ke dalam jaringan tanaman dianggap sebagai benda asing sehingga sel tanaman akan menghasilkan senyawa fitoaleksin yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap infeksi patogen (Zubair, 2008). Menurut Shimada et al., (1982) dalam Yagura et al., (2003) senyawa fitoaleksin dapat berupa resin aromatik yang pada gaharu didominasi oleh seskuiterpen dan kromon yang berwarna coklat atau hitam serta merupakan senyawa harum penentu kualitas gubal gaharu. Gubal gaharu adalah bagian dari pohon yang terinfeksi cendawan, berwarna coklat kehitaman dan harum baunya bila dibakar. Santoso et al., (2007) menduga bahwa terbentuknya gaharu berkaitan dengan gejala patologis sedangkan menurut Burkill (1935),gubal gaharu terbentuk sebagai reaksi pohon gaharu terhadap serangan patogen. Serangan patogen menyebabkan terbentuknya resin yang terdeposit pada
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
jaringan kayu, akibatnya jaringan kayu mengeras, berwarna kehitaman dan berbau wangi (Zubair, 2008). Menurut Sumarna (2007) mengatakan kedalaman pemboran disesuaikan dengan diameter batang pohon, biasanya sekitar 1/3 dari diameter batang.Diameter infeksi merupakan tahapan cendawan yang berada pada kondisi stabil dan menetap di dalam sel atau jaringan inang dan memperoleh nutrisi dari inangnya.Cendawan membentuk hifa infeksi setelah cendawan masuk ke dalam sel inang.Hifa infeksi merupakan perpanjangan hifa penetrasi.Pada beberapa cendawan setelah terbentuk hifa penetrasi terbentuk vesikel dan selanjutnya membentuk hifa infeksi. Terakhir cendawan akan menghasilkan haustorium agar dapat memanfaatkan nutrisi sel inang (Mendgen & Deising 1993). Secara umum Fusarium spp. membentuk struktur seperti haustorium (Kikot et al. 2009). Setelah proses infeksi, cendawan melakukan kolonisasi dengan berkembang atau memperbanyak diri, atau dua-duanya dalam jaringan tanaman (Prins et al. 2000; Lee & Bostock 2006). Menurut Susilo (2003) bahwa reaksi pohon penghasil gaharu tidak sama baik waktu maupun jenis gubal gaharu yang akan dihasilkannya. Universitas Mataram telah menemukan bahwa pembentukan kayu gaharu atau gubal disebabkan oleh Fusarium lateritium dan Fusarium popularia tetapi badan penelitian dan pengembangan kehutanan menemukan bahwa semua jenis Fusarium dapat menginfeksi tanaman gaharu dan menghasilkan gubal gaharu. Fusarium sp. termasuk ke dalam kelompok cendawan bermitospora.Bentuk spora aseksual (konidia) merupakan ciri utama dari cendawan ini.Fusarium sp. memiliki 2 jenis konidia yaitu mikrokonidia memiliki 0-1 septat sederhana yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
terdiri atas satu atau dua sel atau makrokonidia yang terdiri atas beberapa sel (2-10 sel) yang berbentuk seperti bulan sabit.Konidia dibentuk di atas monopialid.Selain membentuk makro dan mikro konidia, Fusarium sp.(Wang & Jeffer, 2000; Ploetz, 2005) juga membentuk klamidospora ketika kondisi lingkungan dan bahan makan kurang menguntungkan.Selain dapat menginduksi terbentuknya gaharu, Fusarium sp. merupakan cendawan patogen tanaman yang sering menyebabkan berbagai penyakit pada tanaman seperti busuk pangkal batang, tumor akar (root crown), dan penyakit pembuluh xylem (Groenewald, 2005). Inokulasi adalah kontak awal patogen pada suatu tanaman yang mungkin terinfeksi.Inokulum adalah bagian dari patogen yang dapat memulai infeksi.Tidak semua inokulum mampu melakukan infeksi pada tanaman, hanya inokulum patogen berpotensi untuk menginfeksi tumbuhan (Agrios, 1996). Cendawan
yang
secara
umum
telah
diketahui
dapat
menginduksi
pembentukan gubal gaharu adalah dari genus Fusarium (Budi et al., 2010). Cendawan-cendawantersebut diperoleh dari hasil isolasi pada gubal yang sudah terbentuk di alam, namum demikian efektivitasnya tersebut dalam menginduksi pembentukan gubal belum diketahui secara jelas. Oleh karena itu dibutuhkan suatu kajian untuk melihat potensinya melalui proses inokulasi buatan. Gejala umum yang ditimbulkan akibat infeksi cendawan diantaranya terjadi perubahan warna pada daerah yang diinfeksi dan klorosis daun (Putri et al. 2008).Gejala yang terjadi bisa teramati beberapa hari setelah tanaman diinokulasi cendawan.Namun, pada pohon gaharu alam yang terbentuk secara alami dan terinfeksi selama bertahun-tahun perubahan warna kayu terbentuk hampir pada semua
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
bagian kayu tapi terjadinya klorosis daun tidak terlihat lagi, sehingga ketika dilihat secara visual tanaman terlihat sehat (Barden et al. 2000). Cendawan kadang menghasilkan senyawa toksin yang disekresikan saat penetrasi jaringan inang untuk merubah fisiologi tanaman dan mengganggu permeabilitas dinding sel tanaman (Bushnell 1995).Terganggunya permeabilitas sel tanaman akibat ikatan toksin pada membran sel menyebabkan kerusakan struktur membran (Bushnell 1995).Kebanyakan toksin merupakan senyawa sekunder berbobot molekul rendah yang dikeluarkan secara ekstraseluler oleh cendawan (Prins et al. 2000). Beberapa jenis toksin yang dihasilkan Fusarium spp. diantaranya enniatin, fumonisin, sambutoksin, dan trikotesen (Kim et al. 1995; Hermann et al. 1996; Seo et al. 1996; Kang & Buchenenauer 2002; Langevin et al. 2004). Proses pembentukan gubal pada pohon gaharu, hingga saat ini masih terus diteliti.
Gubal
gaharu
diduga
dapat
terbentuk
melalui
infeksi
cendawan
(Nobuchi & Siripatanadilok, 1991). Beberapa cendawan yang berasosiasi dengan gubal gaharu, yaitu: Fusariumoxyporum, F. bulbigenium dan F. lateritium telah berhasil diisolasi oleh Santoso (1996). Pada proses interaksi antara cendawan dengan inangnya, patogenesitas cendawan merupakan hal yang terpenting. Keberhasilan cendawan dalam interaksi dengan inangnya bergantung pada strategi cendawan dalam melakukan penetrasi tanaman inangnya (Mendgen & Deising 1993). Interaksi cendawan patogen akan menyebabkan terjadinya perubahan fisiologis pada tanaman yang berdampak terhadap terjadinya perubahan visual pada sel, jaringan, atau organ tanaman. Diantara ketiga perubahan visual yang terjadi, perubahan pada tingkat sel memberikan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
informasi yang lebih akurat tentang terjadinya perubahan fisiologi saat terjadi interaksi cendawan dengan inangnya (Kunoh, 1995). Senyawa terpenoid merupakan salah satu metabolit sekunder yang diproduksi oleh
tumbuhan
sebagai
respon
terhadap
luka
dan
infeksi
cendawan
(Nobuchi & Siripatanadilok, 1991). Terpenoid terdiri atas beberapa senyawa , mulai dari komponen miyak atsiri, yaitu monoterpenoid dan sesquiterpenoid yang mudah menguap, diterpen yang lebih sukar menguap, dan senyawa yang tidak menguap yaitu tripernoid daan sterol (Harbone, 1987). Tidak semua inokulum mampu melakukan infeksi pada tanaman, hanya inokulum patogen berpotensi untuk menginfeksi tumbuhan.Inokulum memiliki mekanisme bertahan, misalnya dorman pada kondisi inang dan atau lingkungan yang kurang sesuai.Inokulum adalah struktur dari patogen yang dapat menimbulkan infeksi (Rukmana dan Saputra, 1997). Serangan dan infeksi cendawan dapat mengganggu proses fisiologis dan morfologi tanaman (Nieamann & visintini 2005; Lee & Bostock 2006). Berdasarkan perluasan gejala yang terjadi dikenal gejala lokal dan gejala sistimetik (Christiansen et al. 1999).Gejala lokal adalah gejala yang hanya terdapat di daerah inokulasi primer.Sedangkan gejala sistemik adalah gejala yang terjadi jauh dari daerah inokulasi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA