II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perdagangan Internasional Suatu negara terlibat dalam perdagangan internasional, menurut Krugman dan Obstfeld (2000) didasarkan oleh dua alasan, yang mana setiap alasan tersebut memberikan kontribusi dalam mendatangkan manfaat bagi negara yang melakukan perdagangan. Pertama, suatu negara terlibat dalam perdagangan karena setiap negara berbeda satu dengan yang lain. Negara seperti individu dapat memperoleh manfaat dari perbedaan dengan melakukan kesepakatan untuk menghasilkan sesuatu yang dapat dilakukannya dengan baik, dengan kata lain melakukan spesialisasi. Kedua, suatu negara melakukan perdagangan untuk mencapai skala ekonomi dalam produksi. Jika setiap negara hanya menghasilkan beberapa jenis produk tertentu, maka setiap negara dapat menghasilkan produk dalam skala yang lebih besar dan lebih efisien dari pada jika mencoba menghasilkan semua produk yang dibutuhkan. Perdagangan internasional secara teori membahas hubungan ekonomi antar negara di dunia yang merupakan refleksi dari munculnya saling ketergantungan (interdependence) antara satu negara dengan negara lainnya karena adanya perbedaan dalam memiliki dan mengakses faktor-faktor produksi (resources) yang dibutuhkan. Suatu negara mungkin memiliki sumber daya alam yang melimpah tetapi tidak memiliki teknologi dan modal untuk memprosesnya, sebaliknya negara lainnya miskin sumber daya alam tetapi memiliki teknologi yang mampu menjadikan sumber daya alam tersebut lebih dekat pada penggunaan akhir dan memiliki nilai guna yang lebih tinggi (Salvatore dalam Heriawan,
12
2002). Teori-teori perdagangan secara umum banyak memusatkan perhatian pada persoalan pola perdagangan internasional yang dapat berbeda dan bergeser karena perbedaan dalam memiliki dan mengakses faktor-faktor produksi.
2.1.1. Pandangan Merkantilis Pada awal perkembangannya, perdagangan internasional terjadi karena masing-masing negara berkepentingan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduknya dengan mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari hubungan perdagangan tersebut. Pandangan Merkantilis mulai populer pada abad 16. Penganut pandangan ini berpendapat bahwa satu-satunya cara bagi sebuah negara untuk menjadi kaya dan kuat adalah dengan melakukan sebanyak mungkin ekspor dan sesedikit mungkin impor. Surplus ekspor yang dihasilkan selanjutnya digunakan untuk menguasai logam-logam mulia khususnya emas dan perak sebagai simbol kekayaan dan kekuatan yang akan memberikan kemakmuran bagi penduduknya. Dengan demikian pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mendorong ekspor sebesar-besarnya dan mengurangi serta membatasi impor sehingga diharapkan dapat mendorong output dan kesempatan kerja nasional. Pandangan Merkantilis tersebut mendorong berkembangnya kolonialisme pada saat itu. Pada saat ini kekayaan suatu negara diukur dengan cadangan sumber daya manusia, hasil produksi manusia, serta kekayaan alam yang tersedia untuk memproduksi barang dan jasa. Semakin besar cadangan tersebut maka akan semakin besar arus barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia sehingga akan semakin besar pula standar hidup masyarakat negara tersebut. Pemikiran
13
Merkantilis
berkembang
terutama
di
negara-negara
Barat.
Terdapat
kecenderungan munculnya kembali neomerkantilisme yang diakibatkan oleh kenyataan semakin tingginya pengangguran yang sangat mengkhawatirkan pemerintahan suatu negara. Hal ini mendorong pemerintah untuk melakukan retriksi terhadap impor agar dapat mendorong kembali produksi domestik dan kesempatan kerja.
2.1.2. Keunggulan Absolut Keunggulan absolut didasari oleh pemikiran bahwa dua negara akan melakukan perdagangan secara sukarela jika keduanya mendapatkan keuntungan. Jika salah satu negara memperoleh keuntungan sementara negara lainnya mengalami kerugian, maka tidak akan terjadi perdagangan. Pemikiran ini merupakan reaksi terhadap pandangan Merkantilis yang percaya bahwa suatu negara hanya dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan mengorbankan negara lain (zero-sum game). Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations (1776) mengemukakan bahwa suatu negara dapat mengkonsentrasikan untuk menghasilkan suatu barang saja dan menjual sebagiannya untuk memperoleh barang lainnya dan tidak perlu ada kekhawatiran atas perdagangan yang mereka lakukan. Menurut Adam Smith, perdagangan antara dua negara didasarkan kepada keunggulan absolut. Jika suatu negara lebih efisien dari pada negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi (memiliki keunggulan absolut), namun kurang efisien dibanding dengan negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya (memiliki kerugian absolut), maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara
14
masing-masing melakukan spesialisasi dalam komoditi yang memiliki keunggulan absolut dan menukarnya dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut. Dengan proses ini, sumber daya di kedua negara dapat digunakan dalam cara yang paling efisien. Secara umum keunggulan absolut suatu negara terjadi apabila untuk satu unit masukan yang sama, negara tersebut dapat menghasilkan suatu barang dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan negara lain. Maka negara tersebut akan melakukan spesialisasi untuk menghasilkan produk yang memiliki keunggulan absolut tersebut. Atau dengan kata lain untuk menghasilkan satu unit barang tertentu, suatu negara dapat menghasilkannya dengan jumlah jam tenaga kerja yang lebih sedikit dibandingkan dengan negara lain sebagai cerminan produktivitas. Keunggulan absolut dapat diilustrasikan dalam contoh berikut. Misalkan ada dua negara yaitu Home dan Foreign yang menghasilkan dua komoditi yang sama yaitu gandum dan kain. Teori diatas mengasumsikan bahwa hanya ada satu faktor produksi yaitu tenaga kerja yang dinotasikan dengan L sebagai total sumber daya yang digunakan. Teknologi dimasing-masing negara ditunjukkan oleh produktivitas tenaga kerjanya dalam bentuk jumlah jam kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit gandum dan kain yang dinotasikan oleh a LG dan * * a LK untuk Home, sedangkan di Foreign dengan notasi a LG dan a LK .
Setiap perekonomian memiliki sumber daya yang terbatas, maka terdapat batasan
dalam
menghasilkan
suatu
produk.
Terdapat
trade-off
dalam
memproduksi dua komoditi di suatu negara yang menggunakan satu faktor produksi yang sama dimana untuk menghasilkan tambahan satu karung gandum
15
maka perekonomian harus mengorbankan satuan tertentu dari kain yang dihasilkan. Trade-off ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva kemungkinan produksi (production possibility frontier) yang menunjukkan jumlah maksimum gandum yang dapat diproduksi pada jumlah tertentu kain yang dihasilkan. Ketika hanya ada satu faktor produksi maka kurva kemungkinan produksi suatu perekonomian akan berbentuk garis lurus. Jika QG adalah jumlah gandum yang dihasilkan, dan Q K adalah jumlah kain yang dihasilkan, maka tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan gandum adalah a LG QG sedangkan tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan kain adalah a LK Q K . Maka batasan produksi di suatu negara dapat dinyatakan sebagai berikut: a LG QG + a LK Q K ≤ L Pada saat kurva kemungkinan produksi merupakan garis lurus maka biaya korbanan (opportunity cost) dari satu karung gandum dinyatakan dalam kain adalah konstan. Opportunity cost ini dapat didefinisikan sebagai jumlah kain yang dihasikan dalam perekonomian yang harus dikorbankan untuk menghasilkan tambahan gandum. Untuk menghasilkan tambahan satu karung gandum akan dibutuhkan a LG jam tenaga kerja. Setiap jam tenaga kerja ini dapat digunakan pula untuk menghasilkan 1 a LK
meter kain maka opportunity cost dari gandum
dinyatakan oleh kain adalah a LG a LK . Keunggulan absolut dapat diperlihatkan oleh ilustrasi numerik pada Tabel 1, dimana dua negara menghasilkan dua komoditi yang sama yaitu gandum dan kain. Pada Tabel 1 terlihat bahwa keunggulan suatu negara dalam menghasilkan
16
suatu produk didasarkan pada produktifitas tenaga kerjanya yang ditunjukkan oleh banyaknya jam kerja untuk menghasilkan satu unit produk. Tabel 1. Contoh Keunggulan Absolut Negara
Gandum
Kain
Home
a LG = 6 jam/ karung
a LK = 4 jam/ meter
Foreign
* a LG = 1 jam/ karung
* a LK = 5 jam/ meter
Sumber: Salvatore, 1997.
Home memiliki keunggulan absolut dalam menghasilkan kain karena jam kerja yang digunakan untuk menghasilkan satu meter kain lebih rendah dari pada di * Foreign dimana a LK < a LK . Sedangkan Foreign memiliki keunggulan absolut
dalam
menghasilkan
gandum
dimana
* a LG > a LG
menunjukkan
bahwa
produktivitas di Home dalam menghasilkan gandum lebih rendah. Maka berdasarkan pemikiran Adam Smith, sebaiknya Home berkonsentrasi untuk menghasilkan dan mengekspor kain, dan mengimpor gandum dari Foreign untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Sedangkan Foreign berspesialisasi untuk menghasilkan gandum dan mengimpor kain.
2.1.3. Keunggulan Komparatif David Ricardo mengembangkan pemikiran baru mengenai keunggulan komparatif berdasarkan pemahaman mengenai keunggulan absolut. Dasar pemkiran tersebut
adalah bahwa perdagangan internasional tetap akan
memberikan manfaat pada suatu negara walaupun negara bersangkutan tidak memiliki keunggulan absolut apapun, sepanjang masih ada perbedaan rasio harga antara dua barang di negara-negara yang berdagang. Pada tahun 1817 David
17
Ricardo menerbitkan buku yang berjudul Principle of Political Economy and Taxation, yang berisikan penjelasan mengenai hukum keunggulan komparatif. Hukum keunggulan komparatif menyatakan bahwa meskipun suatu negara kurang efisien atau tidak memiliki keunggulan absolut dibandingkan negara lain dalam memproduksi kedua komoditi, namun masih terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara yang tidak memiliki keunggulan absolut harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih kecil dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut yang lebih besar. Komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih kecil berarti memiliki keunggulan komparatif. Hukum keunggulan komparatif dari Ricardo didasarkan pada sejumlah asumsi yang disederhanakan yaitu (1) hanya terdapat dua negara dan dua komoditi, (2) perdagangan bersifat bebas, (3) terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak ada mobilitas antara dua negara, (4) biaya produksi konstan, (5) tidak terdapat biaya transportasi, dan (6) tidak ada perubahan teknologi. Sebagai ilustrasi, misalkan terdapat dua negara yaitu Home dan Foreign yang menghasilkan dua produk yang sama yaitu gandum dan kain. Produktifitas dalam menghasilkan gandum dan kain di masing-masing negara diperlihatkan pada Tabel 2. Tabel 2. Contoh Keunggulan Komparatif Negara
Gandum
Kain
Home
a LG = 6 jam/ karung
a LK = 4 jam/ meter
Foreign
* a LG = 1 jam/ karung
* a LK = 2 jam/ meter
Sumber: Salvatore, 1997.
18
Perbedaan Tabel 2 dengan Tabel 1 adalah produktivitas Foreign dalam menghasilkan kain meningkat dimana sebelumnya untuk menghasilkan satu meter kain menghabiskan 5 jam tenaga kerja tetapi sekarang hanya membutuhkan 2 jam tenaga kerja. Hal ini menyebabkan Home tidak memiliki keunggulan absolut dalam menghasilkan gandum maupun kain. Namun itu tidak berarti bahwa Home tidak dapat melakukan perdagangan karena masih ada keunggulan komparatif. Produktivitas tenaga kerja dalam teori keunggulan komparatif dinyatakan dalam bentuk relatif dimana produktivitas menggambarkan tingkat teknologi tertentu di masing-masing negara. Komoditi yang memiliki keunggulan komparatif ditunjukkan oleh produktivitas relatifnya yang lebih tinggi. Tabel 2 memperlihatkan bahwa produktivitas relatif dalam menghasilkan kain lebih tinggi di Home dari pada menghasilkan gandum karena a LG a *LG > a LK a *LK atau a LK a LG < a *LK a *LG dimana rasio kebutuhan tenaga kerja untuk menghasilkan satu meter kain dibandingkan satu karung gandum lebih rendah di Home dari pada di Foreign. Maka dapat disimpulkan bahwa Home memiliki keunggulan komparatif dalam menghasilkan kain. Oleh karena itu Home berspesialisasi untuk menghasilkan kain yang kelebihan produksinya akan diekspor, sedangkan gandum akan diimpor dari Foreign yang lebih efisien dalam memproduksinya. Kurva kemungkinan produksi mengilustrasikan berbagai kombinasi produk yang dapat dihasilkan di dalam perekonomian. Untuk mengetahui apa yang perekonomian produksi secara aktual dapat diperlihatkan oleh harga dalam bentuk harga relatif dua produk dalam perekonomian yaitu harga suatu produk yang dinyatakan oleh produk lain. Dalam perekonomian yang sederhana seperti pada ilustrasi sebelumnya dimana tenaga kerja adalah satu-satunya faktor
19
produksi, penawaran gandum dan kain akan dinyatakan oleh perpindahan tenaga kerja ke sektor mana yang memberikan upah tertinggi. Jika dimisalkan PG dan PK adalah harga gandum dan harga kain, dan tidak ada profit dalam model satu faktor ini, maka upah per jam di sektor gandum akan sama dengan nilai dari berapa yang pekerja dapat hasilkan dalam satu jam. Oleh karena itu tingkat upah pekerja per jam di sektor gandum dinyatakan oleh PG a LG , sedangkan tingkat upah per jam di sektor kain dinyatakan oleh PK a LK . Upah di sektor gandum akan lebih tinggi jika PG PK > a LG a LK , karena setiap orang akan ingin bekerja pada industri yang menawarkan upah tertingi, maka perekonomian akan berspesialisasi pada produksi gandum. Begitu pula sebaliknya jika upah di sektor kain yang lebih tinggi. Opportunity cost dari gandum yang dinyatakan oleh kain adalah a LG a LK , maka dapat disimpulkan bahwa perekonomian akan berspesialisasi untuk menghasilkan gandum jika harga relatif gandum lebih besar dari opportunity cost-nya, dan sebaliknya perekonomian akan berspesialisasi untuk menghasilkan kain jika harga relatif gandum lebih rendah dari opportunity cost-nya. Dengan
adanya
perdagangan
internasional,
Home
tidak
harus
menghasilkan dua komoditi sendiri. Dua negara mendapatkan manfaat dari perdagangan dengan adanya spesialisasi karena perdagangan dianggap sebagai metode atau cara tidak langsung dari produksi. Akan tetapi teori keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh Ricardo ini memiliki kelemahan. Pertama, teori ini meramalkan tingkat spesialisasi yang ekstrim dimana dalam dunia nyata sangat jarang ditemukan. Kedua, mengabaikan kemungkinan peranan skala ekonomi sebagai penyebab perdagangan, sehingga model ini gagal menjelaskan
20
arus perdagangan yang cukup besar antar negara yang tampaknya sama. Kelemahan ini memunculkan pemikiran baru yang dikenal dengan model Heckscher-Ohlin (HO) yang menggunakan asumsi teknologi identik tetapi dengan faktor produksi yang lebih dari satu (Siregar, 2000).
2.1.4. Heckscher-Ohlin Para ekonom klasik sebelumnya beranggapan bahwa keunggulan komparatif di suatu negara bersumber dari perbedaan tingkat produktivitas tenaga kerja sebagai satu-satunya faktor produksi yang diperhitungkan secara eksplisit. Namun dasar pemikiran tersebut tidak memberikan penjelasan rinci mengenai penyebab
perbedaan
tingkat
produktivitas.
Heckscher-Ohlin
mencoba
mengembangkan pandangan klasik tersebut dengan menelaah penyebab munculnya keunggulan komparatif bagi setiap negara dan dampak yang ditimbulkan oleh perdagangan terhadap pendapatan faktor produksi di kedua negara yang terlibat. Faktor penentu utama keunggulan komparatif bagi masing-masing negara yang merupakan landasan dalam melakukan perdagangan menurut HeckscherOhlin adalah kelimpahan faktor secara relatif atau kepemilikan faktor-faktor produksi yang berbeda antara satu negara dengan negara lain. Atas dasar alasan ini maka model H-O disebut juga sebagai Teori Kepemilikan Faktor (Factor Endowment Theory) atau Teori Proporsi Faktor (Factor Proportion Theory). Teori Heckscher-Ohlin atau teori kelimpahan faktor dalam Salvatore (1997) didefinisikan ke dalam dua buah teorema yang saling berhubungan yaitu teorema H-O dan teorema penyamaan harga faktor. Menurut teorema H-O suatu
21
negara akan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam waktu bersamaan negara tersebut akan mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumber daya yang relatif langka dan mahal di negara itu. Teorema ini menjelaskan bahwa kelimpahan faktor dan harganya secara relatif merupakan penyebab perbedaan harga relatif antara dua negara yang menjadi dasar untuk melakukan perdagangan. Teorema penyamaan harga faktor (price factor equalization theorem) hanya berlaku jika teorema H-O berlaku. Selanjutnya teorema ini lebih popular dengan sebutan teorema Heckscher-Ohlin-Samuelson (H-O-S). Teorema ini mendefinisikan bahwa perdagangan internasional akan mendorong terjadinya penyamaan harga-harga faktor, baik secara relatif maupun secara absolut di antara negara-negara yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian harga-harga faktor produksi baik secara relatif maupun absolut lambat laun akan sama besarnya karena adanya perdagangan internasional. Pengujian empiris pertama terhadap model H-O dilakukan oleh Leontif untuk data-data perekonomian Amerika Serikat tahun 1947 yang hasilnya kemudian lebih dikenal dengan sebutan paradox Leontif. Kesimpulan yang dihasilkan Leontif adalah bahwa ternyata Amerika Serikat cenderung mengekspor produk yang padat tenaga kerja dan mengimpor produk yang padat modal yang bertentangan dengan prediksi model H-O. Namun berdasarkan studi terakhir, kemunculan paradox tersebut bukanlah suatu hal yang aneh mengingat pada saat itu terdapat hal-hal teknis dan berbagai bentuk keterbatasan metodologis serta kelemahan analisis yang tidak dapat dihindari.
22
2.1.5. Analisis Keseimbangan Parsial Tanpa adanya perdagangan internasional, harga-harga relatif dari berbagai komoditi di masing-masing negara mencerminkan keunggulan komparatif yang dimilikinya, yang merupakan dasar bagi berlangsungnya perdagangan yang menguntungkan antara kedua belah pihak. Perbedaan harga komoditi di masingmasing negara disebabkan oleh adanya perbedaan pada faktor-faktor pembentuk harga di dalam negeri seperti tingkat biaya produksi, jumlah produksi dan konsumsi. Harga relatif komoditi dalam kondisi ekuilibrium pada saat perdagangan internasional sudah berlangsung, tercapai dalam kurun waktu tertentu yang merupakan hasil dari proses pertemuan kekuatan-kekuatan penawaran dan permintaan. Analisis keseimbangan parsial mencoba untuk menjabarkan proses penentuan harga komoditi relatif pada kondisi ekuilibrium setelah terjadi perdagangan internasional. Gambar 1 menunjukkan proses terciptanya harga komoditi relatif ekuilibrium dengan adanya perdagangan ditinjau dari analisis keseimbangan parsial. Dengan adanya perdagangan internasional, negara Home akan melakukan produksi dan konsumsi gandum pada titik C berdasarkan harga relatif gandum terhadap kain sebesar P3 , sedangkan Foreign akan melakukan produksi dan konsumsi di titik C * berdasarkan harga relatif gandum sebesar P1 . Setelah perdagangan berlangsung, harga relatif gandum akan berkisar antara P1 dan P3 , apabila kedua negara memiliki kekuatan perekonomian yang sama. Jika harga berlaku di atas P1 maka Foreign akan menghasilkan gandum lebih banyak dari permintaan domestik dimana kelebihan produksi tersebut akan diekspor ke Home. Sedangkan jika harga yang berlaku lebih rendah dari P3 , maka Home akan
23
mengalami peningkatan permintaan domestik yang mendorong dilakukannya impor gandum.
PG PK
Pasar di Negara Foreign
Ekspor
P3
Pasar Dunia
PG PK
S
PG PK ES
*
Pasar di Negara Home
A
P2 A*
P1
B*
B
E*
E
Impor
C
*
D
ED
D* 0
S
C
P3
QG
QG
0
0
QG
Gambar 1. Keseimbangan Parsial Sumber: Salvatore, 1997.
Kurva permintaan dan penawaran di pasar dunia menunjukkan bahwa saat tingkat harga relatif di P2 , kuantitas impor komoditi yang diminta oleh Home yaitu sebesar AB akan persis sama dengan kuantitas ekspor yang ditawarkan oleh Foreign yaitu A* B * . Dengan demikian P2 adalah harga relatif ekuilibrium setelah berlangsungnya
perdagangan
di
antara
kedua
negara
tersebut
dimana
EE * menunjukkan kuantitas perdagangan yang terjadi.
2.2. Hambatan dalam Perdagangan Perkembangan pemikiran tentang perdagangan bebas, didasari oleh harapan bahwa perdagangan bebas akan dapat memaksimalkan output dunia dan memberikan manfaat bagi setiap negara yang terlibat. Tetapi dalam kenyataanya masih banyak negara yang menerapkan berbagai bentuk hambatan terhadap berlangsungnya perdagangan internasional yang disebut dengan kebijakan
24
perdagangan. Hambatan terhadap perdagangan terbagi dalam dua bentuk yaitu (1) tarif, yang terkait dengan pengenaan pajak dan bea masuk pada barang yang diperdagangkan, dan (2) non-tarif, yang berkaitan dengan berbagai instrumen kebijakan yang kompleks untuk menyembunyikan motif proteksi.
2.2.1. Hambatan Tarif Tarif menurut Krugman dan Obstfeld (2000) pada dasarnya adalah pajak atau cukai yang bersifat diskriminatif yang dikenakan jika suatu komoditi melintasi suatu daerah pabean. Tarif merupakan bentuk kebijakan perdagangan yang paling tua dan hambatan perdagangan paling transparan, yang secara tradisional digunakan sebagai sumber penerimaan pemerintah. Ada dua macam tarif yaitu tarif impor dan tarif ekspor atau pajak ekspor. Sedangkan jenis tarif berdasarkan mekanisme penghitungannya yang pertama adalah tarif ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan persentase tertentu dari nilai barang yang diimpor. Kedua adalah tarif spesifik yang dikenakan sebagai beban tetap pada setiap unit barang yang diimpor.
Sedangkan yang terakhir adalah tarif
campuran yang merupakan gabungan dari keduanya.
Tarif Impor Definisi dari tarif impor adalah pajak yang dikenakan kepada komoditi yang diimpor dari negara lain. Tarif impor umumnya digunakan untuk melindungi produsen domestik dalam menghadapi persaingan dengan produk impor yang lebih murah, selain itu juga sebagai salah satu sumber pemasukan bagi negara. Secara grafis, dampak tarif impor diperlihatkan oleh Gambar 2 dengan asumsi,
25
hanya ada dua negara yaitu Home sebagai negara pengimpor dan Foreign sebagai negara pengekspor, tarif yang diberlakukan adalah tarif spesifik, dan importir adalah
negara
besar
dimana
perubahan pada
permintaan
impor
akan
mempengaruhi harga dunia. Tarif impor yang diberlakukan akan menggeser kurva ED vertikal ke bawah menjadi EDt sebesar jumlah tarif yang dikenakan. Hal ini menyebabkan harga dunia turun dari PW menjadi Pt * dimana merupakan harga yang diterima oleh eksportir yang menyebabkan turunnya kelebihan penawaran di Foreign sebesar q3* − q 4* . Pada negara importir, produk impor menjadi relatif lebih mahal dibandingkan dengan produk domestik sehingga jumlah barang yang diimpor Home turun menjadi q 2 − q 3 . Maka dapat disimpulkan bahwa penerapan tarif impor terhadap suatu produk menyebabkan penurunan harga produk di negara eksportir sehingga volume ekspor berkurang. Sedangkan di negara importir terjadi kenaikan harga produk, penurunan konsumsi, peningkatan produksi domestik, penurunan volume impor, dan adanya penerimaan pemerintah dari tarif. Pasar Foreign (eksportir)
P
P S*
P
t e
a
b
c d
S
Pt
ES
PW Pt*
Pasar Home (importir)
Pasar Dunia
g
E
h
f
i
j
k D ED
D* 0
q1*
q 2*
q3*
q4*
EDt Q
0
Q1
Q0
Q
0
q1
Gambar 2. Dampak Pemberlakuan Tarif Impor Sumber: Krugman, 2000 dan Tweeten, 1992.
26
q2
q3
q4
Q
Tabel 3. Dampak Pemberlakuan Tarif Impor terhadap Kesejahteraan
Surplus Konsumen Surplus Produsen Penerimaan Pemerintah Net National Welfare
Eksportir
Importir
a -(a + b + c + d) -(b + c + d)
-(g + h + i + j) g i+k k – (h + j)
Net World Welfare
-(b + d + h + j) = e + f
Sumber: Tweeten, 1992.
Pemberlakuan tarif impor memberikan dampak pada kesejahteraan baik di negara eksportir, importir maupun dunia. Tabel 3 memperlihatkan bahwa di negara eksportir terjadi penurunan kesejahteraan nasional sebesar (b + c +d). Sedangkan dampak tarif impor terhadap kesejahteraan di negara importir ditentukan oleh elastisitas penawaran ekspornya (ES). Semakin elastis kurva penawaran ekspor maka daerah (h + j) akan lebih besar dari daerah k yang berarti bahwa negara importir akan dirugikan dengan adanya tarif. Dampak tarif impor secara umum, akan menurunkan kesejahteraan dunia karena produsen di negara eksportir menerima harga yang lebih rendah sedangkan konsumen di negara importir harus membayar harga yang lebih tinggi.
Tarif Ekspor Definisi dari pajak atau tarif ekspor adalah pajak untuk semua komoditi yang diekspor. Secara grafis, dampak tarif ekspor diperlihatkan oleh Gambar 3 dengan asumsi, hanya ada dua negara yaitu Home sebagai negara pengimpor dan Foreign sebagai negara pengekspor, tarif yang diberlakukan adalah tarif spesifik, dan eksportir adalah negara besar dimana perubahan pada jumlah ekspor dapat mempengaruhi harga dunia.
27
Pasar Foreign (eksportir)
P
P
Pte*
a
e
c d
f
S
Pte
ES
k b
P
ES te
S* PW
Pasar Home (importir)
Pasar Dunia
g
E
h
i
j
te
D ED
D 0
q1*
q 2*
q3*
q4*
*
Q
0
Q1
Q0
Q
0
q1
q2
q3
q4
Q
Gambar 3. Dampak Pemberlakuan Tarif Ekspor Sumber: Krugman, 2000 dan Tweeten, 1992.
Tarif ekspor yang diberlakukan akan menggeser kurva ES vertikal ke atas menjadi ESte sebesar jumlah tarif yang dikenakan yang berakibat pada penurunan penawaran. Pada kasus negara besar hal ini menyebabkan peningkatan harga dunia dari PW menjadi Pte dimana merupakan harga yang diterima oleh importir yang menyebabkan turunnya konsumsi dan naiknya produksi domestik di Home. Pada negara eksportir harga domestik turun sehingga konsumsi domestik di Foreign naik menjadi q 2* . Maka dapat disimpulkan bahwa penerapan tarif ekspor terhadap suatu produk menyebabkan penurunan harga produk domestik, peningkatan biaya ekspor, naiknya konsumsi domestik di negara eksportir, penurunan produksi domestik sehingga volume ekspor berkurang dan adanya penerimaan pemerintah dari tarif. Sedangkan di negara importir terjadi kenaikan harga produk, yang mendorong peningkatan produksi domestik dan penurunan konsumsi sehingga menyebabkan penurunan volume impor.
28
Pada Tabel 4 diperlihatkan dampak dari tarif ekspor terhadap kesejahteraan baik di negara eksportir, importir maupun bagi dunia, berdasarkan ilustrasi pada Gambar 3. Tabel 4. Dampak Pemberlakuan Tarif Ekspor terhadap Kesejahteraan
Surplus Konsumen Surplus Produsen Penerimaan Pemerintah Net National Welfare
Eksportir
Importir
a -(a + b + c + d) c+k k – (b + d)
-(g + h + i + j) g -(h + i + j)
Net World Welfare
-(b + d + h + j) = e + f
Sumber: Tweeten, 1992.
Tarif ekspor memberikan dampak terhadap penurunan kesejahteraan nasional di negara importir sebesar daerah (h + i + j), sedangkan dampak tarif bagi kesejahteraan di negara eksportir sangat tergantung pada elastisitas permintaan dan penawaran. Jika pada tingkat pajak ekspor tertentu daerah (b + d) lebih besar dari pada k, maka kesejahteraan nasional bersih bagi eksportir akan memburuk. Pajak ekspor digunakan oleh suatu negara biasanya adalah untuk melindungi konsumen domestik dari harga komoditas ekspor yang tinggi dan untuk mendapatkan penerimaan bagi negara. Namun ternyata dampak dari tarif ekspor secara umum, akan menurunkan kesejahteraan dunia karena produsen di negara eksportir menerima harga yang lebih rendah sedangkan konsumen di negara importir harus membayar harga yang lebih tinggi.
2.2.2. Hambatan Non-Tarif Tarif adalah bentuk kebijakan perdagangan yang paling sederhana. Pada perkembangan praktek perdagangan di dunia saat ini umumnya intervensi pemerintah dilakukan dengan menggunakan instrumen-instrumen kebijakan
29
lainnya seperti subsidi ekspor, kuota impor, konsep pembatasan ekspor secara sukarela (voluntary export restraints), persyaratan kandungan lokal dan lain sebagainya.
Subsidi Ekspor Pada dasarnya menurut Salvatore (1997), subsidi ekspor adalah pembayaran langsung atau pemberian keringanan pajak dan bantuan subsidi kepada para eksportir atau calon eksportir nasional dan/ atau pemberian pinjaman berbunga rendah kepada para pengimpor asing dalam rangka memacu ekspor suatu negara. Pemberian subsidi ini umumnya ditujukan untuk meningkatkan pendapatan produsen yang akan mendorong peningkatan ekspor sehingga harga dunia turun dan permintaan impor meningkat. Pasar Foreign (eksportir)
P
Pasar Home (importir)
Pasar Dunia
P
P
S*
S
ES
Psu*
ES su a
b
c
d
g
f
e
PW
su i
j
k
l
Psu ED
D* 0
q1* q 2*
q3* q 4* Q
0
Q0
Q1
D Q
0
q1
q2
q3 q 4 Q
Gambar 4. Dampak Pemberian Subsidi Ekspor Sumber: Krugman, 2000 dan Tweeten, 1992.
Ilustrasi pemberian subsidi diperlihatkan oleh Gambar 4, dimana kebijakan tersebut akan menggeser kurva penawaran ekspor ke kanan bawah yang menunjukkan peningkatan dalam volume ekspor. Berdasarkan asumsi bahwa
30
negara pengekspor adalah negara besar maka harga dunia turun dari PW menjadi Psu yang merupakan harga yang diterima oleh negara importir sehingga volume perdagangan meningkat menjadi Q1 . Dampak pemberian subsidi pada produsen di Foreign sebagai negara eksportir sebesar su menyebabkan harga domestik meningkat menjadi Psu* sehingga kelebihan penawaran yang dapat di ekspor meningkat menjadi q1* − q 4* , namun hal ini merugikan konsumen domestik karena harus membayar harga yang lebih mahal untuk komoditi yang di ekspor yang berakibat pada turunnya surplus konsumen di negara eksportir. Sedangkan di Home sebagai negara importir terjadi peningkatan permintaan impor dari q 2 − q 3 menjadi q1 − q 4 karena turunnya harga dunia. Tabel 5. Dampak Pemberian Subsidi Ekspor terhadap Kesejahteraan
Surplus Konsumen Surplus Produsen Penerimaan Pemerintah Net National Welfare
Eksportir
Importir
-(a + b) a+b+c -(b + c + d + e + f + g) -(b + d + e + f + g)
i+j+k -(i + j) k
Net World Welfare
-(b + d + j + l)
Sumber: Tweeten, 1992.
Tabel di atas menunjukkan dampak pemberian subsidi terhadap kesejahteraan yang menunjukkan bahwa ternyata kebijakan ini merugikan konsumen di negara eksportir karena surplus konsumen berkurang sebesar daerah (a + b). Selain itu pemerintah juga mengalami peningkatan pengeluaran yang cukup besar sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemberian subsidi ekspor akan menurunkan tingkat kesejahteraan nasional di negara eksportir yang ditunjukkan oleh daerah (b + d + e + f + g).
31
Kuota Hambatan perdagangan dalam bentuk kuota adalah pembatasan secara langsung terhadap jumlah ekspor atau impor. Kuota impor merupakan pembatasan langsung atas jumlah barang yang boleh diimpor dengan tujuan untuk melindungi sektor industri domestik tertentu. Pembatasan ini biasanya diberlakukan dengan memberikan lisensi kepada beberapa kelompok individu atau perusahaan domestik untuk mengimpor suatu produk yang jumlahnya langsung dibatasi. Dampak kuota impor ternyata dapat menggagalkan mekanisme pasar, memicu distorsi dan korupsi yang akhirnya menimbulkan pemborosan yang merugikan perekonomian negara yang disebabkan oleh munculnya rent seeking karena tergiur pada keuntungan monopoli yang cukup besar jika memiliki lisensi impor. Sedangkan kuota ekspor saat ini yang penting adalah dalam bentuk pembatasan ekspor secara sukarela (VER, Voluntary Export Restraints). Pada bentuk pembatasan ekspor ini, suatu negara selaku pengimpor mendorong atau bahkan memaksa negara lain untuk mengurangi ekspornya secara sukarela. Dampak ekonomi jika pembatasan ekspor ini berhasil, hampir sama dengan pemberlakukan kuota impor, perebedaannya adalah pembatasan ekspor ini dilakukan oleh negara pengekspor sehingga dampak pendapatan berupa terciptanya keuntungan monopoli akan diterima oleh pengekspor. Secara grafis, pemberlakuan kuota impor dapat dijelaskan oleh Gambar 5. Home sebagai negara importir diasumsikan adalah negara besar dalam perdagangan sehingga dapat mempengaruhi harga dunia. Pembatasan impor yang dilakukan negara importir sebesar permintaan
ED
q1 − q 2
menyebabkan patahnya kurva
sehingga menjadi elastis sempurna yang menghasilkan
32
keseimbangan baru di Q1 dengan jumlah perdagangan yang lebih rendah. Keseimbangan baru tersebut menghasilkan tingkat harga Pqu* yang lebih rendah dari PW . Tingkat harga tersebut menyebabkan terjadinya kelebihan permintaan di negara importir yang dapat dihilangkan pada tingkat harga domestik Pqu , pada perpotongan kurva permintaan dengan kurva penawaran domestik yang baru. Pengenaan kuota sama halnya dengan tarif impor yang menguntungkan produsen namun merugikan konsumen karena konsumen harus menerima tingkat harga yang lebih tinggi. Pasar Foreign (eksportir)
P
P
P
S*
S qu
Pqu a b
c
S
ES
PW Pqu*
Pasar Home (importir)
Pasar Dunia
e
d
f
gh
i ED
D* 0
q1*
q 2*
q3*
D
EDqu q 4* Q
0
Q1
Q 0
Q0
q1
q 2 q3 q 4
Q
Gambar 5. Dampak Pemberlakuan Kuota Impor Sumber: Krugman, 2000 dan Tweeten, 1992.
Tabel 6 menunjukkan dampak pemberlakuan kuota impor terhadap kesejahteraan dimana negara eksportir secara nasional akan mengalami penurunan kesejahteraan karena berkurangnya surplus produsen. Sedangkan bagi negara importir, kuota akan bermanfaat jika daerah i lebih besar dari daerah (g + h). Secara umum kuota atau pembatasan impor akan menurunkan kesejahteraan dunia.
33
Tabel 6. Dampak Pemberlakuan Kuota Impor terhadap Kesejahteraan
Surplus Konsumen Surplus Produsen Penerimaan Kuota Net National Welfare
Eksportir
Importir
a -(a + b + c + d) -(b + c + d)
-(e + f + g + h) e f+i i – (g + h)
Net World Welfare
-(b + d + g + h)
Sumber: Tweeten, 1992.
Sedangkan untuk pemberlakuan kuota ekspor dapat diperlihatkan oleh Gambar 6. Pembatasan ekspor ini pada dasarnya adalah untuk menjamin ketersediaan produk ekspor tersebut di dalam negeri, selain itu juga ditujukan untuk pengawasan produksi dan pengendalian harga agar stabil. Kuota ekspor yang dilakukan oleh negara Foreign selaku eksportir menyebabkan kurva ES patah sehingga perdagangan terjadi dalam jumlah yang lebih sedikit dari q1* − q 4* menjadi sebesar Q1 . Hal ini berdampak pada peningkatan harga dunia menjadi Pqu sedangkan harga di negara eksportir turun. Kenaikan harga dunia tersebut menyebabkan penurunan volume perdagangan. Pasar Foreign (eksportir)
P
P S
Pqu
P ES qu
*
S
ES
e
PW a
Pqu*
Pasar Home (importir)
Pasar Dunia
f
b c
g
h i
d ED D
* Dqu
D*
0
q1* q 2* q3*
q 4* Q
0
Q1
Q0
Q
0
q1 q 2 q3 q 4
Gambar 6. Dampak Pemberlakuan Kuota Ekspor Sumber: Tweeten, 1992.
34
Q
Tabel 7. Dampak Pemberlakuan Kuota Ekspor terhadap Kesejahteraan
Surplus Konsumen Surplus Produsen Penerimaan Kuota Net National Welfare
Eksportir
Importir
a+b -(a + b + c + d) c+e -d + e
-(f + g + h + i) f -(g + h + i)
Net World Welfare
-(d + g + i)
Sumber: Tweeten, 1992.
Pemberlakuan kuota ekspor meningkatkan surplus konsumen di negara eksportir sebesar (a + b) karena harga yang diterima konsumen untuk komoditi yang diekspor menjadi lebih rendah. Sebaliknya surplus produsen di negara eksportir menurun cukup besar dan di negara importir total kesejahteraan nasionalnya menurun sebesar (g + h + i). Secara umum kuota atau pembatasan ekspor akan menurunkan kesejahteraan dunia.
2.3. Error Correction Model Analisis regresi klasik dan permodelan yang digunakan oleh para ekonom yang berkembang pada tahun 70 an, umumnya disebut dengan pendekatan specific to general. Pandangan tradisional ini dalam analisisnya didasarkan pada data deret waktu yang secara khusus diasumsikan stasioner. Namun dalam kenyataannya data deret waktu yang digunakan dalam studi ekonomi empiris hampir selalu menggunakan
variabel-variabel
yang
umumnya
tidak
stasioner
seperti
pendapatan, konsumsi, permintaan uang, tingkat harga, arus perdagangan, dan nilai tukar mata uang. Hal ini, menurut Pesaran dan Smith dalam Siregar (2004) menyebabkan model ekonomi klasik yang dihasilkan gagal memprediksi beberapa resesi ekonomi yang terjadi karena tidak mencerminkan data sebenarnya sehingga tidak efektif jika digunakan untuk tujuan peramalan dan evaluasi kebijakan.
35
Pengabaian terhadap sifat non stasioner dari data deret waktu menyebabkan tingginya korelasi antara variabel dependen dan independen walaupun secara aktual keduanya tidak terkait yang disebut dengan spurious correlation. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan memberikan perhatian terhadap sifat statistika dari data deret waktu yang terkait dengan sifat non stasioner. Suatu data deret waktu Xt dikatakan stasioner jika: a. E (Xt) = konstan untuk semua t b. Var (Xt) = konstan untuk semua t c. Cov (Xt, Xt+k) = konstan untuk semua t dan semua k ≠ 0 Pendekatan yang banyak digunakan untuk mengatasi spurious correlation adalah dengan menarik difference atas variabel dependen dan independen. Misalkan (Thomas, 1997): Yt = β 1 + β 2 X t + ε t ............................................................................ (2.1) Jika Y dan X pada persamaan di atas adalah variabel tren maka akan menimbulkan keraguan dalam estimasi karena akan menimbulkan masalah spurious correlation, maka di lag satu periode sebagai berikut: Yt −1 = β 1 + β 2 X t −1 + ε t −1 ...................................................................... (2.2) Pengurangan persamaan (2.1) dengan persamaan (2.2) menghasilkan: ∆Yt = β 2 ∆X t + υ t ............................................................................... (2.3) Persamaan (2.3) di atas sudah bebas dari masalah spurious. Pendekatan dengan difference ternyata menimbulkan beberapa masalah yang tidak bisa diabaikan. Terjadi autokorelasi karena υ t = ε t − ε t −1 . Selain itu juga hilangnya informasi mengenai keseimbangan jangka panjang karena model tersebut hanya dapat menjelaskan hubungan jangka pendek. Oleh karena itu
36
model dengan difference tidak dapat digunakan untuk perencanaan kebijakan dan peramalan dalam perdagangan produk pertanian yang membutuhkan informasi jangka panjang. Error Correction Model (ECM) merupakan model alternatif yang dapat mengatasi kedua masalah tersebut dengan menggunakan pendekatan general to specific. Model ini memiliki berbagai kegunaan, tetapi manfaat yang paling penting adalah menyediakan suatu pendekatan dalam menghadapi masalah non stasioner dari time series dan spurious correlation (Thomas, 1997). Spesifikasi ECM dapat diperoleh dari parameterisasi model autoregressive distributed lag (ARDL). Misalkan model ARDL yang menunjukkan hubungan jangka pendek dengan menyertakan nilai bedakala adalah sebagai berikut: y t = b0 + b1 xt + b2 xt −1 + µy t −1 + ε t , 0 < µ < 1 ................................... (2.4) Setelah persamaan (2.4) diparameterisasi, maka diperoleh persamaan dalam bentuk ECM: ∆y t = b1 ∆xt − λ ( y t −1 − β 0 − β 1 xt −1 ) + ε t ............................................... (2.5) dimana: λ = 1 − µ , β 0 = b0 λ , β 1 = (b1 + b2 ) λ Model ECM secara alami akan mencapai keseimbangan dalam jangka panjang dimana λ menunjukkan kecepatan dalam mencapai keseimbangan. Sedangkan ( y t −1 − β 0 − β 1 xt −1 ) menunjukkan
kombinasi
kointegrasi yang
variabel-variabel
merupakan kombinasi
linier
yang
disebut
non stasioner.
Kombinasi linier ini disebut error yang bersama λ membentuk mekanisme dalam mengoreksi kesalahan untuk mencapai kondisi ekuilibrium dalam jangka panjang. Jika kondisi ekuilibrium ditunjukkan oleh Yt −1 = β 0 + β 1 X t −1 maka apabila:
37
Yt −1 < β 0 + β 1 X t −1 ; error < 0, dikoreksi oleh − λ sehingga naik ke arah ekuilibrium. Yt −1 > β 0 + β 1 X t −1 ; error > 0, dikoreksi oleh − λ sehingga turun ke arah ekuilibrium. Mekanisme koreksi ini terjadi dengan syarat setiap variabel harus terintegrasi dalam order yang sama.
2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Syaraf (1985) bertujuan untuk memperoleh perkiraan fungsi penawaran ekspor karet rakyat Indonesia ke negara-negara konsumen. Untuk mendapatkan perkiraan fungsi tersebut dilakukan analisis keeratan hubungan pengaruh peubah-peubah terhadap variasi volume penawaran ekspor karet rakyat Indonesia dengan eksportir produsen karet rakyat. Analisis ini diharapkan dapat menemukan peubah-peubah mana yang dominan pengaruhnya bagi eksportir dalam memilih daerah pemasaran hasil yang menguntungkan. Dalam analisis, dilakukan pengujian dengan menggunakan regresi linear berganda. Pengujian dilakukan dengan dua tahap yakni, dengan menggunakan data urut waktu untuk menguji peubah-peubah yang berpengaruh secara umum dan menggunakan data seksi silang (cross section) untuk menguji peubah-peubah yang bersifat khusus. Peubah bersifat khusus yang dimaksud adalah peubahpeubah yang mempengaruhi volume penawaran ekspor oleh eksportir yang berhubungan dengan lokasi dan fasilitas pelabuhan ekspornya. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa jumlah produksi bahan olahan karet rakyat, harga karet alam beda kala, harga karet sintetis, dan nilai tukar memiliki pengaruh positif terhadap
38
ekspor Indonesia. Sedangkan tingkat bunga berpengaruh positif terhadap ekspor karet alam Indonesia ke Singapura, tetapi berpengaruh negatif terhadap ekspor ke Amerika Serikat. Hendratno (1989) melakukan penelitian terhadap perdagangan karet alam TSR dan RSS+ Indonesia di dunia dengan membangun sistem pasar dunia yang terdiri dari empat kelompok persamaan yaitu persamaan permintaan, penawaran, harga, dan keseimbangan pasar. Pendekatan linear model AIDS (Almost Ideal Demand System) digunakan untuk menentukan permintaan karet alam Indonesia. Secara rinci, elastisitas share permintaan karet alam dari berbagai wilayah pasar dihitung dengan menggunakan rumus elastisitas dari sistem permintaan model Armington. Sedangkan formulasi penawaran karet alam Indonesia menggunakan model autoregresif. Pengujian model dilakukan dengan metode OLS (Ordinary Least Square) dan GLS (Generalized Least Square). Hasil yang diperoleh menyatakan bahwa harga karet alam di pasar domestik, peubah trend, dan jumlah penawaran atau produksi bedakala dapat menjelaskan 74 persen dari variasi produksi karet alam di pasar domestik dan berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan 10 persen. Penelitian yang dilakukan Limbong (1994) adalah mengenai keragaan karet alam Indonesia ditinjau dari jenis pengusahaan dan wilayah produksi. Penjelasan mengenai keragaan ini dilakukan dengan membangun model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan yang terdiri dari lima kelompok persamaan yaitu persamaan luas areal karet, produktivitas produksi, ekspor karet, dan harga karet alam. Dari analisis yang dilakukan ternyata bahwa dua peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap ekspor karet adalah peubah impor karet
39
alam dunia dan nilai tukar. Selanjutnya pada pendugaan persamaan harga karet alam di pasar domestik, yang mempunyai pengaruh nyata adalah nilai tukar dan harga karet alam bedakala di pasar domestik. Elastisitas harga karet alam di pasar domestik terhadap stok karet alam Indonesia untuk jangka pendek inelastis tetapi untuk jangka panjang elastis. Elwamendri (2000) melakukan penelitian mengenai perdagangan karet alam antara negara produsen utama dan Amerika Serikat. Analisis dilakukan dengan membangun model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan yang terdiri dari tiga kelompok persamaan yaitu persamaan penawaran ekspor karet alam spesifikasi teknis, permintaan impor karet spesifikasi teknis Amerika Serikat dan harga ekspor karet spesifikasi teknis. Hasil analisis menunjukkan bahwa kurva penawaran ekspor ketiga negara produsen utama ke Amerika Serikat mempunyai kemiringan positif dengan elastisitas harga atas penawaran adalah inelastis. Kurva permintaan impor karet spesifikasi teknis Amerika Serikat bersifat inelastis. Sedangkan harga ekspor karet spesifikasi teknis di negara produsen utama baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang tidak responsif terhadap perubahan harga di pasar Amerika Serikat. Dari angka-angka elastisitas dapat diketahui bahwa harga ekspor karet spesifikasi teknis Indonesia lebih responsif terhadap perubahan harga di Amerika Serikat dibandingkan dengan dua negara produsen lainnya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ermi Tety (2002) tentang penawaran dan permintaan karet alam Indonesia di pasar domestik dan internasional, analisis dilakukan dengan membangun model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan. Hasil analisis dapat disimpulkan bahwa peubah-peubah yang
40
berpengaruh terhadap penawaran ekspor karet alam Indonesia ke masing-masing negara tujuan ekspor (AS, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan) adalah harga ekspor karet alam Indonesia, produksi, nilai tukar Rupiah terhadap US$, pajak ekspor, dan jumlah ekspor karet alam bedakala ke masing-masing negara. Faktorfaktor yang berpengaruh terhadap penawaran karet alam negara-negara pesaing Indonesia yaitu Thailand dan Malaysia adalah harga ekspor karet alam, produksi, dan nilai tukar mata uang negara pengekspor. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku impor dari ke empat negara utama yaitu Amerika Serikat, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan adalah harga impor karet alam, harga impor karet sintetis, nilai tukar, pendapatan perkapita masing-masing negara, dan jumlah impor bedakala masing-masing negara. Untuk harga karet alam internasional dipengaruhi oleh rasio total permintaan impor dan total penawaran ekspor serta harga karet internasional bedakala Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terhadap komoditas karet alam memberikan gambaran mengenai faktor-faktor atau peubah-peubah yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan harga karet alam. Pada penelitian-penelitian tersebut terdapat perbedaan dalam model yang digunakan, peubah dalam setiap persamaan, metode pendugaan parameter yang digunakan, dan data yang dianalisis. Hal tersebut menyebabkan penelitian satu dengan penelitian lainnya memiliki perbedaan dalam hasil analisis. Kesimpulan umum yang dapat diambil dari penelitian-penelitian terdahulu mengenai karet alam di atas adalah:
41
1. Model ekonometrika ekspor karet alam yang dibangun sebagian besar merupakan formulasi dari model persamaan parsial dan model persamaan simultan. 2. Data deret waktu dari variabel yang digunakan untuk perhitungan pendugaan dalam penelitian-penelitian tersebut diasumsikan stasioner. 3. Karet alam yang dianalisis kebanyakan dianggap sebagai satu jenis mutu komoditas, sedangkan harga karet alam didasarkan pada harga jenis lateks. Berdasarkan kesimpulan di atas maka penelitian ini mencoba untuk menganalisis perdagangan karet alam dengan menggunakan model ekonometrika dinamis. Bentuk pendekatan ekonometrika dinamis yang dapat mengatasi masalah ketidakstasioneran adalah dengan menggunakan metode kointegrasi dan Error Correction Model (ECM). Kointegrasi digunakan untuk memisahkan spesifikasi dan estimasi dari hubungan ekonomi jangka panjang dan penyesuaian dinamis jangka pendek yang menuju ke keseimbangan jangka panjang. Sedangkan ECM digunakan untuk menyediakan suatu pendekatan dalam menghadapi masalah non stasioner dari time series dan spurious correlation serta mengatasi kelemahan teori ekonomi dalam mengidentifikasi pola waktu dan penyesuaian dinamis (dynamic adjustment) dari proses pencapaian keseimbangan jangka panjang. Sehingga dengan demikian dapat diketahui berapa lama suatu perubahan memberikan dampak terhadap arus perdagangan karet alam Indonesia. Metode ini telah dipakai dalam berbagai penelitian untuk masalah-masalah perdagangan internasional antar negara. Cantavella et al. (2001) melakukan penelitian mengenai perdagangan negara-negara Uni Eropa dengan MERCOSUR dan NAFTA. Penelitian ini
42
bertujuan untuk menganalisis perbedaan yang sangat signifikan dalam perilaku ekspor negara-negara Uni Eropa ke kawasan kerjasama regional di Amerika (MERCOSUR dan NAFTA). Analisis dilakukan dengan mengestimasi fungsi permintaan ekspor untuk periode 1967-1995. Hasil yang diperoleh menunjukkan pola keseimbangan jangka panjang dari fungsi permintaan ekspor negara-negara Uni Eropa ke kawasan MERCOSUR dan NAFTA. Dalam penelitian ini ECM digunakan untuk menduga penyesuaian atau adjustment variabel-variabel menuju keseimbangan jangka panjang. Ekspor negara-negara Uni Eropa menunjukkan beragam perilaku arus perdagangan ke negara-negara MERCOSUR dan NAFTA yang ditunjukkan oleh perbedaan dalam elastisitas harga dan pendapatan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Niemi (2003) adalah mengenai model ekonometrika untuk peramalan arus perdagangan di pasar negara-negara Uni Eropa untuk ekspor produk pertanian ASEAN. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membangun suatu susunan dinamis model ekonometrika berdasarkan teori yang dapat menangkap dampak jangka pendek dan jangka panjang dari perubahan pendapatan dan harga, serta yang dapat digunakan untuk prediksi dan simulasi kebijakan dalam berbagai kondisi alternatif yang diasumsikan. Pendekatan ekonometrika yang digunakan adalah ECM dengan tujuan untuk menekankan pada fungsi perdagangan dinamis. Model ekonometrik dibangun untuk tujuh komoditas pertanian yaitu ubi kayu, coklat, kelapa, kelapa sawit, lada, karet, dan teh. Penelitian ini menunjukkan bahwa konsep kointegrasi dan ECM tepat untuk mempelajari arus perdagangan yang memiliki data deret waktu non stasioner. Hasil keseluruhan estimasi fungsi permintaan impor untuk komoditas pertanian yang tercakup dalam penelitian ini menyatakan bahwa terdapat respon permintaan
43
yang relatif lemah terhadap perubahan pendapatan di Uni Eropa. Hasil tersebut juga menunjukkan sifat dasar respon harga yang inelastis pada permintaan impor di Uni Eropa. Implikasi kebijakan dalam bentuk tarif dan non tarif ternyata tidak terlalu signifikan di dalam merubah kuantitas impor yang diminta. Pada penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2004) mengenai pangsa sektor pertanian jangka panjang dan dinamika ekspor pertanian, digunakan aplikasi ECM dan VECM. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kebijakan yang dilakukan dari sisi supply berpotensi untuk dapat meningkatkan kinerja ekspor dari komoditas pertanian tradisional begitu pula dengan non tradisional. Pangsa pertanian jangka panjang adalah sebelas persen, dimana transisi kearah tersebut harus dipersiapkan dengan baik terutama industri agar dapat meningkatkan serapan surplus tenaga kerja dari pedesaan, menampung produkproduk pertanian dan meningkatkan prasarana pemasaran. Berdasarkan penelitian ini ternyata metode yang digunakan potensial untuk peramalan berbagai komoditas dengan sistem berukuran kecil, evaluasi kebijakan, dan untuk meneliti mekanisme transmisi harga.
44