TINJAUAN PUSTAKA Chronic Non-Communicable Diseases WHO Technical Report Series (2005) mendefinisikan chronic noncommunicable diseases sebagai suatu penyakit yang muncul akibat dari kebiasaan gaya hidup yang tidak sehat dan dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan yang mendukung munculnya penyakit tersebut. Chronic noncommunicable diseases membutuhkan periode yang lama dan berakumulasi untuk bisa terlihat dampak secara nyata dari penyakit tersebut. Tidak seperti communicable diseases yang bisa ditularkan dari satu individu ke individu lainnya, chronic non-communicable diseases tidak dapat ditularkan dari satu individu ke individu lainnya. Pada tahun 2005, chronic non-communicable diseases merupakan penyebab 60% atau 35 juta kematian dari 58 juta total kematian di dunia. Saat ini, jumlah tersebut diproyeksikan akan meningkat sebesar 17% dalam kurun waktu sepuluh tahun mendatang di berbagai negara, baik pada negara berkembang maupun pada negara industri yang sudah maju. Beberapa
penyakit
utama
yang
tergolong
dalam
chronic
non-
communicable diseases adalah penyakit jantung, stroke, kanker, penyakit pernapasan kronis, dan diabetes mellitus. Penyakit jantung memiliki banyak jenis seperti contohnya penyakit jantung koroner atau sering disebut sebagai penyakit jantung iskemik yang diakibatkan oleh penyumbatan pembuluh darah atau yang sering disebut dengan aterosklerosis. Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama kematian secara global yaitu 30% dari total kematian di dunia. Stroke merupakan penyakit yang disebabkan oleh gangguan pada suplai darah di otak. Stroke dan penyakit jantung merupakan bentuk utama dari penyakit kardiovaskuler. Riskesdas 2007 menyatakan bahwa prevalensi untuk penyakit jantung di Indonesia (subjek dewasa >18 tahun) menempati angka nasional 7,7% dengan prevalensi pada perempuan (8,1%) lebih tinggi dibandingkan laki-laki (6,2%), sedangkan penyakit stroke menempati angka prevalensi sebesar 8,3%. Hal tersebut berbeda dengan kondisi di Indonesia yang merupakan prevalensi tertinggi adalah penyakit sendi dan hipertensi dengan angka prevalensi masingmasing 30,3% dan 29,8% (DEPKES 2007). Kanker merupakan penyebab utama kedua setelah penyakit jantung koroner dengan 13% dari total kematian di dunia. Riset kesehatan dasar tahun 2007 yang dilakukan pada 33 propinsi melaporkan bahwa prevalensi nasional kanker sebesar 0,4% (DEPKES 2007). Kanker dideskripsikan sebagai penyakit
yang diakibatkan oleh abnormalitas dari proliferasi sel sehingga sel tumbuh dan menyebar secara tidak terkendali. Selain kanker, beberapa istilah lain yang sering digunakan adalah tumor dan neoplasma. Beberapa contoh dari bermacam-macam tipe kanker adalah kanker servik, kanker kulit, dan kanker oral. Penyakit chronic non-communicable diseases yang menempati posisi ketiga penyebab kematian di dunia adalah penyakit paru-paru kronis dengan persentase sebesar 7% dari kematian di seluruh dunia (WHO Technical Report Series 2005). Penyakit paru-paru kronis yang menjadi fokus perhatian utama yaitu penyakit paru-paru kronis obstruktif dan asma. Prevalensi penyakit asma di Indonesia menempati angka sebesar 4 % (DEPKES 2007). Penyakit paru-paru kronis obstruktif disebabkan oleh keterbatasan sirkulasi udara pernapasan yang tidak reversibel secara penuh, sedangkan asma disebabkan oleh obstruksi reversibel dari sirkulasi udara pernapasan (WHO Technical Report Series 2005). Diabetes mellitus merupakan penyebab kematian sebesar 2% dari total kematian di dunia. Diabetes mellitus dikarakterisasi oleh peningkatan level glukosa darah yang disebabkan oleh kurangnya hormon insulin yang mengontrol level glukosa darah dan ketidakmampuan jaringan tubuh dalam merespon insulin atau yang disebut dengan kondisi resistensi insulin. Terdapat dua tipe penyakit diabetes mellitus yaitu diabetes mellitus tipe 1 (DM tipe 1) dan diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2). DM tipe 2 merupakan jenis penyakit yang sering dijumpai dengan proporsi 90% dari total penyakit diabetes mellitus. DM tipe 2 merupakan manifestasi dari seseorang yang memiliki pola makan buruk secara berlebihan dengan berat badan yang berlebihan dan aktivitas fisik yang kurang. DM tipe 1 merupakan penyakit diabetes mellitus yang disebabkan oleh kurangnya insulin secara absolut sehingga merupakan penyakit genetik atau bawaan (WHO Technical Report Series 2005). Prevalensi untuk penyakit diabetes mellitus di Indonesia yang dilaporkan dalam Riskesdas 2007 menempati angka prevalensi nasional 1,1% dengan prevalensi yang sama pada perempuan dan laki-laki yaitu 1,1% (DEPKES 2007).
Metabolisme dan Regulasi Glukosa Darah Karbohidrat memiliki peranan yang sangat penting sebagai sumber energi utama dalam sistem metabolisme tubuh manusia. Sebagai contoh kebutuhan utama energi beberapa jaringan tertentu seperti sel darah, otak, dan sistem
syaraf sangat tergantung pada glukosa. Karbohidrat yang terdapat dalam alam dihasilkan melalui proses fotosintesis yang ada pada tumbuh-tumbuhan. Asupan karbohidrat yang dapat dicerna dimanifestasikaan dalam bentuk glukosa, galaktosa, dan fruktosa yang ditrasportasikan melalui sistem vena porta hepatika ke hati dimana bentuk galaktosa dan fruktosa siap dikonversi menjadi bentuk glukosa. Oleh karena itu pencernaan makromolekul menjadi unit yang bisa diserap oleh tubuh menempati posisi yang sangat penting serta merupakan sistem kombinasi dari pemecahan secara mekanis dan enzimatis (Murray et al. 2003). Tahapan mekanisme sistem regulasi post-absorptive secara umum dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Mekanisme sistem regulasi post-absorptive (Biesalski & Grimm 2005) Karbohidrat sederhana (disakarida) serta beberapa karbohidrat komplek (polisakarida yang berupa pati dan glikogen) mengalami pemecahan di dalam tubuh menjadi gula sederhana (glukosa, fruktosa, dan galaktosa) oleh enzim yang secara kolektif disebut glikosidase atau karbohidrase. Pencernaan polisakarida (amilosa dan amilopektin) dimulai dari mulut yaitu dengan dikeluarkannya α-amilase oleh kelenjar ludah sehingga menghidrolisis ikatan α1,4 glikosida pada amilosa dan amilopektin menghasilkan dekstrin. Dekstrin
kemudian melewati lambung yang memiliki pH rendah sehingga aktivitas enzimatik α-amilase dihambat oleh asam lambung, tetapi bentuk dekstrin tidak mengalami perubahan dan perjalanan dilanjutkan menuju usus halus. Dalam perjalanannya dekstrin mengalami hidrolisis oleh α-amilase yang dikeluarkan oleh pankreas menjadi maltosa (untuk dekstrin yang berasal dari hidrolisis amilosa) serta maltosa dan limit dekstrin (untuk dekstrin yang berasal dari hidrolisis amilopektin) (Gropper et al. 2009). Pada vili usus halus, maltosa yang berasal dari amilosa dan amilopektin dihidrolisis oleh maltase membentuk glukosa sederhana sedangkan limit dekstrin yang berasal dari hidrolisis amilopektin dihidrolisis menjadi glukosa sederhana oleh α-dekstrinase. Sementara itu, pencernaan disakarida berbeda dengan polisakarida yaitu terjadi di usus halus bagian atas dengan aktivitas dari enzim disakaridase terkonsentrasi di bagian mikrovili dari sel mukosa usus halus. Beberapa enzim yang terdapat di permukaan sel yaitu laktase, sukrase, maltase, dan isomaltase. Laktase berperan dalam mengkatalisa pemecahan laktosa menjadi jumlah ekuimolar galaktosa dan glukosa, sementara itu sukrase menghidrolisis sukrosa untuk mendapatkan glukosa dan fruktosa. Lain halnya dengan maltase yang menghidrolisis maltosa untuk mendapatkan dua unit glukosa, isomaltase berperan menghidrolisis ikatan α-1,6 isomaltosa (ikatan pada disakarida
dari
pemecahan
amilopektin
yang
tidak
sempurna)
untuk
menghasilkan dua molekul glukosa. Glukosa dan galaktosa hasil pemecahan kemudian diabsorpsi mukosa sel melalui transport aktif yang difasilitasi oleh sodium-glucose transporter 1 (SGLT1), sedangkan fruktosa diabsorpsi dengan difasilitasi oleh GLUT5. Mutasi yang terjadi pada gen SGLT1 akan berpengaruh terhadap malbasorpsi glukosa dan galaktosa (Gropper et al. 2009). Glukosa memegang peranan utama dalam metabolisme dan homeostasis seluler tubuh. Oleh karena itu monitoring kosentrasi glukosa dalam darah merupakan hal yang sangat penting untuk mengetahui kenormalan fungsi metabolisme dan homeostasis seluler tubuh. Pengambilan glukosa secara seluler harus melewati membran plasma dari sel. Molekul glukosa yang memiliki kepolaran tinggi tidak dapat begitu saja melintasi membran seluler yang tersusun dari matrik non-polar lipid bilayer dengan difusi sederhana. Oleh karena itu, supaya glukosa dapat digunakan oleh sel maka harus melewati fasilitator transpor glukosa atau glucose carrier. Terdapat dua jenis fasilitator transpor glukosa atau glucose carrier yaitu SGLT yang tergantung pada Na+ (Na+
Dependent) dan GLUT yang tidak tergantung pada Na+ (Na+ Independent) (Zierler 1999). SGLT yang dikenal juga sebagai co-transporters atau symporters merupakan protein membran integral yang memediasi transpor glukosa dengan afinitas yang rendah serta galaktosa melewati membran plasma melalui mekanisme transport aktif (Wright 1994). Proses transpor ini merupakan kotransport molekul glukosa dengan ion natrium. Perpindahan ion natrium melintasi membran plasma ke dalam sel didorong oleh gradien konsentrasi dan potensial membran serta akan berpasangan dengan perpindahan molekul glukosa. Pada kondisi stabil, ion natrium yang ditransportasikan ke dalam sel melintasi membran sel apikal dipompa oleh pompa Na+/K+ ATPase melintasi membran basolateral. Glukosa yang terkonsentrasi di dalam sel kemudian akan berpindah melintasi membran basolateral dengan difasilitasi oleh fasilitator transpor glukosa GLUT (Scheepers et al. 2004). Mekanisme transpor glukosa secara molekuler dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2
Transpor glukosa di epitel usus dikatalisa oleh SGLT1 yang terletak pada membran apikal, kemudian glukosa meninggalkan sel difasilitasi oleh transporter glukosa (GLUT2) yang terletak di membran basolateral (Scheepers et al. 2004).
Pada saat ini terdapat empat belas jenis fasilitator transpor glukosa GLUT yang teridentifikasi dengan terbagi menjadi tiga kelas utama yaitu : a. Fasilitator transpor glukosa kelas 1 (GLUT1, GLUT4, GLUT3, GLUT14, GLUT2); b. Fasilitator transpor glukosa kelas 2 (GLUT5, GLUT7, GLUT9, GLUT11); c. Fasilitator transpor glukosa kelas 3 (GLUT6, GLUT8, GLUT10, GLUT12, HMIT) (Scheepers et al. 2004). GLUT1 bertanggung jawab terhadap suplai dasar
glukosa pada sel yang terekspresikan pada eritrosit, sel endotelial otak, dan plasenta. GLUT2 terekspresikan pada organ hati, sel beta pankreas, ginjal, dan usus halus. GLUT3 merupakan fasilitator transpor glukosa yang memiliki afinitas glukosa tinggi sehingga terekspresi pada organ otak yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi pada glukosa darah. GLUT4 merupakan satu-satunya fasilitator transpor glukosa yang konsentrasinya dipengaruhi oleh hormon, terutama hormon insulin sehingga ketika glukosa ekstraseluler meningkat maka insulin akan menstimulasi translokasi GLUT4 dari membran intraseluler menuju membran plasma (Gambar 3), sehingga dihasilkan peningkatan transpor glukosa hingga mencapai sepuluh sampai dua puluh kali lipat (Scheepers et al. 2004; Simpson & Cushman 1986; Sheperd & Kahn 1999; Bryant et al. 2002). GLUT4 terekspresikan pada organ dan jaringan otot rangka, hati, dan jaringan adiposa. Berikutnya adalah fasilitator transpor glukosa lainnya beserta organ dan jaringan tempat transporter tersebut ditemukan yaitu: GLUT5 (intestinal, testis, ginjal, dan otot); GLUT6 (limpa, periferal leukosit, dan otak); GLUT7 (intestinal, testis, prostat); GLUT8 (testis, otak (neural), blastosis, dan adiposit); GLUT9 (hati dan ginjal); GLUT10 (hati dan pankreas); GLUT11 (pankreas, ginjal, plasenta, jantung, dan otot); GLUT12 (jantung, prostat, dan kanker payudara); HMIT (otak); GLUT14 (testis) (Joost & Thorens 2001; Scheepers et al. 2004). Pemantauan secara konstan terhadap konsentrasi gula darah melalui mekanisme glukosensing spesifik sangat diperlukan untuk menjaga homeostasis glukosa dalam tubuh. Sistem deteksi pengontrolan glukosa yaitu melalui sel beta pankreas yang mengontrol sekresi insulin. Sensor dari sistem pengontrolan glukosa yaitu termasuk didalamnya fasilitator transpor glukosa (GLUT2), enzim glukokinase, dan channel ATP-sensitif K+ (KATP). Ketika konsentrasi ekstraseluler glukosa meningkat, maka glukosa akan masuk ke dalam sel beta pankreas melalui
transporter
glukosa
GLUT2
dan
difosforilasi
oleh
glukokinase.
Metabolisme glikolitik dan oksidatif glukosa meningkatkan rasio ATP terhadap ADP sehingga menyebabkan ATP berikatan dengan kompleks KATP. Hal ini akan menyebabkan inaktivasi channel ATP-sensitif K+ (KATP) yang berujung pada depolarisasi membran, influk kalsium, dan sekresi insulin (Scheepers et al. 2004; Thorens 2003; Postic et al. 2001; Seino et al. 2000). Mempertahankan level glukosa pada darah merupakan salah satu pengaturan sistem homeostatik yang melibatkan organ hati, jaringan di luar organ hati, serta beberapa hormon. Dalam sistem regulasi glukosa darah, yang
menjadi fokus adalah jalur proses metabolik yang memindahkan glukosa dari darah untuk sintesis glikogen dan pengeluaran energi serta jalur proses yang mengembalikan
glukosa
ke
dalam
darah
seperti
glikogenolisis
dan
glukoneogenesis (Gropper et al. 2009). Terdapat beberapa hormon yang terlibat dalam pengaturan glukosa darah, yaitu hormon insulin, glukagon, glukokortikoid, hormon pertumbuhan, epinefrin, dan kemungkinan hormon diabetogenik lainnya. Hormon insulin diproduksi oleh sel beta Pulau Langerhans di pankreas sebagai respon yang distimulasi oleh kondisi hiperglikemia. Sintesis dan sekresi insulin menstimulasi pengambilan Ca2+ ekstraseluler pada sel beta pankreas. Kation ini memicu mekanisme kontraktil pergerakan granula yang mengandung insulin menuju membran sel dimana granula dilepaskan ke ruang ekstraseluler melalui eksositosis (Greenstein & Wood 2006). Insulin mengontrol kondisi glukosa post-prandial melalui tiga mekanisme aksi kerja. Mekanisme pertama, insulin mengirimkan sinyal kepada sel jaringan perifer yang sensitif terhadap insulin, khususnya otot untuk meningkatkan pengambilan glukosa ke dalam jaringan. Mekanisme kedua, insulin akan bekerja di organ untuk melakukan proses glikogenesis (konversi glukosa menjadi simpanan glikogen). Mekanisme ketiga, insulin secara simultan akan menghambat sekresi glukagon dari sel alpha pankreas, sehingga akan memberikan sinyal kepada organ hati untuk memberhentikan proses produksi glukosa melalui jalur glikogenolisis (konversi glikogen menjadi glukosa) dan glukoneogenesis (konversi asam amino dan laktat menjadi glukosa) (Aronoff et al. 2004). Aksi kerja insulin lainnya yaitu dengan menstimulasi sintesis lemak, menstimulasi penyimpanan trigliserida ke dalam adiposit, menstimulasi sintesis protein di organ hati dan otot, serta proliferasi pertumbuhan sel. Mekanisme sekresi insulin sangat terkontrol dan hanya akan dikeluarkan jika konsentrasi glukosa sistem sirkulasi melebihi 3,3 mmol/l. Sekresi insulin post-prandial terjadi melalui dua fase, fase pertama yaitu initial rapid release dari preformed insulin yang diikuti dengan peningkatan sintesis dan pengeluaran insulin sebagai respon dari glukosa darah. Fase kedua yaitu pengeluaran insulin secara long-term sebagai respon jika konsentrasi glukosa dalam sistem sirkulasi masih tetap tinggi (Aronoff et al. 2004). Mekanisme sekresi insulin oleh sel beta pankreas yang diinduksi oleh glukosa serta efeknya pada jaringan peripheral ditunjukkan oleh Gambar 3.
Gambar 3
Mekanisme sekresi insulin oleh sel beta pankreas yang diinduksi oleh glukosa serta efeknya pada jaringan peripheral (Scheepers et al. 2004). Keterangan : GK (glucokinase) GSK3 (glycogen synthase kinase-3) G6P (glucose-6-phosphate) IRS (insulin receptor substrate) PI3-K (phosphoinositide-3-kinase) PKB/Akt (protein kinase-B) Kir6.2 (KATP channel)
Glukagon merupakan hormon yang diproduksi oleh sel alfa pankreas sebagai hasil dari pembelahan preproglukagon. Kandungan glukagon pada pankreas orang dewasa sehat berkisar antara 3-5 µg/g. Sekresi hormon glukagon distimulasi secara cepat ketika konsentrasi glukosa darah turun dan akan dihambat ketika konsentrasi glukosa darah meningkat. Di organ hati, hormon tersebut menstimulasi glikogenolisis melalui pengaktifan fosforilase. Glukagon juga meningkatkan glukoneogenesis dari asam amino. Insulin dan glukagon adalah antagonis melalui interaksi resiprokal (timbal-balik) parakrin antara sel alpha pankreas dan sel beta pankreas, sehingga pengaruh yang berlawanan inilah yang menjaga keseimbangan metabolisme karbohidrat (Greenstein & Wood 2006). Epinefrin yang disebut sebagai hormon fight or flight merupakan hormon yang yang dikeluarkan oleh medula kelenjar adrenal yang terletak tepat di atas
ginjal. Kondisi stress akan menyebabkan pelepasan epinefrin dengan segera sehingga mempersiapkan tubuh untuk aktivitas fisik dan mental yang luar biasa. Pada kondisi tersebut mobilisasi glukosa ditingkatkan melalui stimulasi pelepasan glukagon dan penghambatan pelepasan insulin. Tugas utama epinefrin adalah memobilisasi simpanan energi melalui proses lipolisis dan glikogenesis. Dengan demikian, epinefrin meningkatkan glukosa darah dan menghambat sintesis insulin oleh sel beta pankreas (Greenstein & Wood 2006; Silbernagl & Despopoulos 2009). Glukokortikoid (kortisol dan kortikosteron) merupakan hormon steroid yang diproduksi oleh korteks adrenal (Silbernagl & Despopoulos 2009). Hormon tersebut memiliki fungsi vital dalam sistem metabolisme salah satunya pada sistem regulasi glukosa darah. Pada konsentrasi basal, hormon tersebut bersifat permisif dalam menstimulasi glukoneogenesis dan lipolisis pada kondisi postabsorptive. Peningkatan konsentrasi hormon glukokortikoid di dalam plasma akan menyebabkan manifestasi terhadap peningkatan katabolisme protein, peningkatan glukoneogenesis, penurunan pengambilan glukosa oleh sel otot dan adiposa, serta peningkatan pemecahan triasilgliserol (Vander et al. 2001). Hormon pertumbuhan merupakan salah satu hormon yang disintesis di kelenjar anterior pituitary yang terletak di hipotalamus. Hormon pertumbuhan memiliki fungsi utama dalam menstimulasi pertumbuhan dan anabolisme protein. Selain kedua fungsi tersebut, hormon pertumbuhan juga memiliki fungsi dalam metabolisme karbohidrat dan lipid walaupun pengaruhnya tidak sebesar fungsi utamanya dalam hal menstimulasi pertumbuhan. Hal ini dibuktikan bahwa kondisi defisiensi ataupun kelebihan dari hormon pertumbuhan tidak terlalu berpengaruh secara nyata dalam metabolisme karbohidrat dan lipid. Hormon pertumbuhan mempengaruhi metabolisme lipid dan karbohidrat melalui tiga mekanisme aksi kerja. Mekanisme pertama, hormon pertumbuhan akan menjadikan adiposit lebih responsif terhadap stimuli lipolisis. Mekanisme kedua, hormon pertumbuhan meningkatkan glukoneogenesis yang terjadi di organ hati. Mekanisme ketiga, hormon pertumbuhan akan menurunkan kemampuan insulin, sehingga akan mempengaruhi pengambilan glukosa di sel otot dan jaringan adiposa (Vander et al. 2001). Tubuh manusia memerlukan batas-batas tertentu untuk mempertahankan kadar glukosa darahnya. Dalam keadaan puasa, kadar glukosa darah normal berada pada kisaran nilai 70-110 mg/dl, sedangkan glukosa darah sewaktu
berkisar antara 110-199 mg/dl. Penurunan kadar glukosa darah hingga level 5054 mg/dl akan menyebabkan gugup, pusing, lemas, dan lapar. Kadar glukosa darah yang naik diatas nilai kisaran normal disebut dengan hiperglikemia, sedangkan kondisi kadar glukosa darah yang turun dibawah kisaran normal atau yang memiliki nilai ambang dibawah 2,2 mmol/l (39,6 mg/dl) disebut hipoglikemia (Caballero 2005).
Patofisiologi Diabetes Mellitus Diabetes mellitus merupakan penyakit yang ditandai oleh peningkatan level glukosa pada darah. Hal tersebut disebabkan oleh ketidaknormalan produksi insulin pada pankreas ataupun ketidaksensitifan insulin yang diproduksi terhadap respon glukosa pada darah. Secara umum, diabetes mellitus terbagi menjadi diabetes mellitus tipe 1, diabetes mellitus tipe 2, dan gestational diabetes mellitus.
Diabetes Mellitus Tipe 1 (Insulin Dependent Diabetes Mellitus) Diabetes mellitus tipe 1 merupakan penyakit multi faktorial autoimun yang dikarakterisasi oleh defisiensi insulin dikarenakan rusaknya sel beta pankreas yang dimediasi oleh T-lymphocites (T-cell) yang bereaksi secara spesifik terhadap salah satu atau beberapa protein sel beta (Mathis et al. 2001; Urcelary et al. 2005). Kemungkinan persentase terjadinya penyakit DM tipe 1 yaitu sekitar 10% dari total kejadian penyakit diabetes mellitus (Gillespie 2006). DM tipe 1 merupakan jenis penyakit diabetes mellitus yang berat karena penderita DM tipe 1 harus menerima injeksi insulin tiap waktu dalam sisa hidupnya (Radha et al. 2003). DM tipe 1 terbagi menjadi dua jenis yaitu DM tipe 1a dan DM tipe 1b. Mayoritas kasus yang terjadi pada DM tipe 1 adalah kerusakan sel beta pankreas yang disebabkan oleh autoimun yang termediasi (DM tipe 1a), sedangkan 10% hingga 20% kasus merupakan antibodi negatif yang disebut juga dengan idiopatik (DM tipe 1b) (Morwessel 1998). Pada DM tipe 1, penurunan sekresi insulin secara progressif akan terjadi selama 12 tahun sebelum munculnya tanda penyakit secara klinis (Al-Mutairi et al. 2007). Inflammasi yang terjadi pada islet pankreas (insulitis) melibatkan limfosit CD4+ dan CD8+, limfosit B, serta makrofag (Schatz & Winter 1995; Winter et al. 1993). Berdasarkan penelitian, terdapat dua mekanisme yang diajukan sebagai proses timbulnya penyakit DM tipe 1. Mekanisme pertama yaitu
disebabkan oleh faktor lingkungan yang mendorong proses autoimun. Hal ini biasanya terjadi pada masa anak-anak sebelum menginjak usia 10 tahun. Mekanisme
tersebut
timbul
setelah
melewati
periode
prodromal
yang
dikarakterisasi oleh kerusakan sel beta pankreas secara bertahap (Morwessel 1998). Mekanisme kedua adalah reaksi superantigen yang menyebabkan kerusakan sel beta pankreas secara cepat pada selang waktu beberapa minggu atau bulan sebelum akhirnya timbul penyakit secara klinis (Trucco & Laporte 1995). Insiden timbulnya DM tipe 1 memiliki variasi musiman dengan tingkat tertinggi menyerang anak-anak pada musim gugur dan musim dingin. Hal tersebut diprediksi oleh infeksi virus yang mempercepat terjadinya DM tipe 1 (AlMutairi et al. 2007). Hingga saat ini terdapat empat belas jenis virus, termasuk picornaviruses, rotaviruses, herpesvirusis, mumps, rubella, dan retroviruses yang dilaporkan berhubungan dengan timbulnya penyakit DM tipe 1 pada manusia dan hewan percobaan. Virus tersebut terlibat dalam patogenesis penyakit DM tipe 1 melalui dua jalan yaitu menginduksi autoimunitas spesifik sel beta pankreas dengan atau tanpa menginfeksi sel beta pankreas (contohnya pada Kilham rat virus), sedangkan jalan kedua yaitu melalui infeksi sitolitik dan perusakan sel beta pankreas (contohnya encephalomyocarditis virus mice) (Hee-Sook & Ji-Won 2002). Faktor genetika memegang peranan yang penting sebagai faktor timbulnya DM tipe 1. Berdasarkan beberapa penelitian, pada saat ini terdapat 250 jenis gen yang diperkirakan memiliki hubungan dengan timbulnya penyakit DM tipe 1 (Al-Mutairi et al. 2007). Para peneliti tidak dapat menjustifikasi bahwa gen tertentu memiliki peran utama terhadap timbulnya DM tipe 1, hal ini dikarenakan oleh mekanisme yang belum jelas apakah timbulnya penyakit DM tipe 1 dimediasi oleh gen yang bekerja secara independen, terkoordinasi oleh gen resisten, ataukah mekanisme gabungan dari keduanya (Khardori & Pauza 2003). Oleh karena itu, kombinasi dari gen resisten dan faktor lingkungan dimungkinkan akan menginisisasi proses penyakit yang berhubungan dengan pembentukan respon autoimun terhadap sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Reaksi autoimun tersebut direfleksikan oleh adanya antibodi terhadap antigen utama pada sel beta pankreas (Radha et al. 2003).
Diabetes Mellitus Tipe 2 (Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus) Patofosiologi DM tipe 2 dikarakterisasi oleh resistansi insulin periferal, terganggunya regulasi glukosa darah, serta penurunan fungsi sel beta pankreas yang akan menyebabkan rusaknya sel beta pankreas (Mahler & Adler 1999). Kejadian-kejadian utama tersebut dipercaya sebagai defisit awal sekresi insulin, serta defisiensi relatif insulin dalam hubungannya dengan resistensi insulin periferal pada kebanyakan pasien (Reaven 1998). Insulin merupakan salah satu hormon kunci untuk pengaturan glukosa darah yang pada kondisi fisiologi normal akan menjaga keseimbangan antara kuantitas insulin yang disekresikan dengan kualitas atau kemampuan insulin dalam proses pengambilan glukosa dari sistem portal ke dalam sel dan jaringan. Hal penting dalam mekanisme molekular tersebut adalah bahwa sel beta pankreas dapat beradaptasi jika terjadi perubahan sensitivitas dari insulin yang disekresikan. Dalam hal ini dapat dicontohkan jika sensitivitas insulin menurun, maka secara otomatis sel beta pankreas akan mengkompensasi atau mengimbangi dengan mengekskresikan insulin yang lebih banyak sehingga dapat memenuhi kebutuhan untuk penyerapan glukosa oleh sel dan jaringan (Stumvoll et al. 2005). Pada awalnya hal tersebut akan menimbulkan kondisi hiperglikemia yang menyebabkan konsentrasi glukosa darah pada kondisi puasa dan dua jam setelah asupan glukosa akan sedikit meningkat. Jika kondisi tersebut berlangsung secara kronis, maka sel beta pankreas yang memproduksi insulin akan mengalami kelelahan sehingga akan menimbulkan kerusakan pada sel beta pankreas. Kondisi disfungsi seluler kronis irreversible dari sel beta pankreas yang disebabkan oleh pengaruh konsentrasi glukosa yang tinggi pada setiap waktu diistilahkan dengan glukotoksisitas (Robertson et al. 2003). Kondisi glukotoksisitas yang terjadi akan menyebabkan disfungsi pada sel beta pankreas sehingga mengakibatkan sensitivitas insulin yang diproduksi oleh sel beta pankreas menurun. Mekanisme menurunnya sensitivitas dari insulin yang diproduksi disebabkan oleh kondisi glukotoksisitas sehingga menyebabkan terganggunya jalur sintesis insulin serta penurunan ekspresi gen yang berperan dalam sintesis insulin. Lebih spesifik lagi, terjadinya gangguan ekspresi gen tersebut yaitu terdapat defek posttranscriptional pada maturasi mRNA pancreas duodenum homebox-1 (PDX-1). PDX-1 merupakan faktor transkripsi gen untuk promoter insulin, sehingga terjadinya gangguan pada mekanisme molekuler tersebut
akan
menyebabkan
insensitivitas
dari
insulin
yang
diproduksi
(Robertson et al. 2003). Oleh karena itu, sel beta pankreas merupakan komponen kritis dalam patofisiologi DM tipe 2. Konsep tersebut diatas telah diverifikasi melalui penelitian baik secara cross-sectional maupun longitudinal (Weyer et al. 1999). Gambar 4 menunjukkan patofisiologi hiperglikemia dan peningkatan sirkulasi asam lemak pada DM tipe 2. Terlihat berbagai faktor yang berkontribusi terhadap patogenesis DM tipe 2 yang mempengaruhi sekresi insulin dan aksi insulin. Penurunan sekresi insulin akan menurunkan pensinyalan insulin pada jaringan target yang menyebabkan peningkatan sirkulasi asam lemak dan hiperglikemia diabetes. Peningkatan asam lemak dan glukosa dalam sirkulasi darah kemudian akan menimbulkan umpan balik serta memperburuk sekresi insulin dan resistensi insulin.
Gambar 4
Patofisiologi hiperglikemia dan peningkatan sirkulasi asam lemak pada DM tipe 2 (Stumvoll et al. 2005)
Gestational Diabetes Mellitus Gestational diabetes mellitus (GDM) didefinisikan sebagai tingkatan intoleransi glukosa yang terjadi atau terdeteksi pada saat awal kehamilan. GDM diperkirakan terjadi pada sekitar 7% kehamilan setiap tahunnya (ADA 2003).
Setelah kehamilan (postpartum), toleransi glukosa akan kembali lagi ke kondisi normal pada mayoritas penderita GDM (Cheung & Helmink 2006). Meskipun demikian, penderita GDM memiliki resiko yang tinggi untuk terkena IGT (impaired glucose tolerance) yang bisa berkembang menjadi penyakit DM tipe 2 di kemudian hari (Cheung & Helmink 2006). Berdasarkan meta analisis terkini, wanita yang menderita GDM akan memiliki resiko enam kali lebih besar untuk menderita DM tipe 2 dibandingkan wanita yang memiliki toleransi glukosa normal pada saat kehamilannya (Cheung & Byth 2003). Prevalensi GDM sangat bervariasi tergantung pada kelompok etnis atau populasi tertentu (Cousins et al. 1991). Kehamilan merupakan kondisi yang dikarakterisasi oleh resistensi insulin berkelanjutan yang dimulai pada awal pertengahan kehamilan dan berlanjut hingga trimester ketiga (Perkins et al. 2007). Pada kehamilan yang termasuk usia lanjut, sensitifitas insulin akan turun hingga sekitar 50% (Di Cianni et al. 2003). Terdapat dua kontributor utama yang mempengaruhi resistensi insulin yaitu peningkatan adipositas dari wanita yang sedang hamil serta pengaruh dari hormon yang diproduksi oleh plasenta. Melihat penurunan insulin yang nyata setelah melahirkan (post-delivery), maka kontributor utama terhadap resistensi insulin adalah hormon yang diproduksi oleh plasenta (Perkins 2007). Plasenta memproduksi hormon HCS (human chorionic somatomammotropin, sebelumnya disebut human placental lactogen), kortisol bebas dan terikat, estrogen, serta progesteron. Hormon HCS menstimulasi sekresi insulin pankreas di fetus dan menghambat pengambilan glukosa periferal di tubuh ibu yang sedang mengandung (Lapolla et al. 2005). Seiring dengan berkembangnya kehamilan serta peningkatan ukuran plasenta, maka begitu juga diiringi dengan peningkatan hormon yang diproduksi oleh plasenta sehingga akan menyebabkan keadaan insulin yang lebih resisten (Perkins et al. 2007). Pada wanita hamil yang normal, respon sekresi insulin pada fase pertama (initial rapid release) dan fase kedua (long term release) akan mengkompensasi jika terjadi penurunan pada sensitivitas insulin. Sekresi insulin fase pertama merupakan initial rapid release dari preformed insulin yang diikuti dengan peningkatan sintesis serta pengeluaran insulin sebagai respon dari glukosa darah, sedangkan fase kedua yaitu pengeluaran insulin secara long-term sebagai respon jika konsentrasi glukosa dalam sistem sirkulasi masih tetap tinggi (Aronoff et al. 2004). Kedua fase tersebut berhubungan dengan hipertropi dan
hiperplasia sel beta pankreas. Oleh karena itu, wanita yang memiliki defisit pada kapasitas sekresi insulin tambahan akan menderita GDM (Lapolla et al. 2005). Disfungsi sel beta pankreas pada wanita yang didiagnosa menderita GDM kemungkinan termasuk salah satu dalam tiga kategori yaitu autoimun, monogenic, atau terjadinya resistensi insulin (hal yang sering dijumpai pada saat kehamilan) (Buchanan & Xiang 2005). Kehilangan respon insulin fase pertama akan menyebabkan post-prandial hiperglikemia yang akan mengakibatkan penekanan produksi glukosa hepatik sehingga akan menyebabkan fasting hiperglikemia. Dikarenakan insulin tidak melintasi plasenta, maka fetus akan terkena kondisi hiperglikemia dari ibu. Pada saat kehamilan minggu ke-11 dan ke-12, pankreas dari fetus mampu untuk merespon kondisi hiperglikemia tersebut sehingga fetus akan menjadi hiperinsulinemik yang akan menyebabkan pertumbuhan pada fetus menjadi makrosomia (Scollan-Koliopoulos 2006). Perkins et al. (2007) menggolongkan kategori resiko serta karakteristik klinis GDM menjadi tiga golongan yaitu resiko tinggi, resiko rata-rata, dan resiko rendah. Pada kelompok resiko tinggi ditandai oleh karakteristik klinis yang berupa obesitas, memiliki sanak famili diabetes tingkat satu, glukosuria, sejarah menderita GDM atau IGT sebelumnya, memiliki bayi sebelumnya dengan makrosomia. Pada kelompok resiko rendah ditandai oleh usia kurang dari 25 tahun, termasuk dalam etnis resiko rendah (etnis selain Hispanic, African American, Native American, South Asian, East Asian, Pacific Islander atau suku asli Australian), tidak memiliki sejarah abnormalitas toleransi glukosa, memiliki berat badan normal dan peningkatan yang normal saat kehamilan, tidak memiliki sejarah hasil obstetrikal yang parah. Pada kelompok resiko rata-rata ditandai oleh ciri-ciri selain dari kedua kelompok di atas. Kadar glukosa darah yang dijadikan patokan dalam mendiagnosis tipe DM terlihat pada Tabel 1. Berdasarkan rekomendasi ADA (2011), wanita yang memenuhi dua atau lebih indikator diagnosis kadar glukosa darah pada Tabel 1 berikut dipastikan terdiagnosa menderita GDM. Meskipun demikian, hasil studi juga menunjukkan jika wanita memenuhi salah satu indikator diagnosis untuk GDM diprediksi memiliki resiko tinggi dalam melahirkan bayi yang makrosomia (Perkins et al. 2007).
Tabel 1 Kadar glukosa darah acuan untuk diagnosis tipe DM Konsentrasi glukosa DM tipe 1 atau DM tipe 2 GDM > 200 mg/dl > 126 mg/dl >92 mg/dl >180 mg/dl >153 mg/dl
Waktu pengukuran Random Setelah puasa satu malam 1 jam setelah 75 gr glukosa OGTT 2 jam setelah 75 gr glukosa OGTT Keterangan : DM tipe 1 (Diabetes mellitus tipe 1) DM tipe 2 (Diabetes mellitus tipe 2) GDM (Gestational diabetes mellitus) OGTT (Oral glucose tolerance test)
Sumber: ADA (2011)
Metode Analisis Kadar Glukosa Plasma Darah Sebagian besar glukometer yang digunakan untuk mengukur glukosa plasma darah pada saat ini menggunakan proses elektrokimia atau elektoda enzim. Level glukosa plasma darah diukur berdasarkan potensial daya listrik yang dihasilkan oleh reaksi glucose-reagent. Glukometer tersebut terbagi menjadi dua tipe berdasarkan prinsip elektrokimia yang digunakan yaitu amperometri
dan
kolorimetri.
Teknologi
yang
menggunakan
biosensor
amperometri membutuhkan sampel darah yang sedikit lebih banyak (4-10 µl). Lebih jauh lagi, perubahan pada suhu dan level hematokrit memungkinkan hasil yang kurang akurat jika menggunakan metode ini. Jenis glukometer yang menggunakan metode ini adalah Sidekick Testing System® dan Prestige IQ®. Teknologi yang menggunakan metode kolorimetri yaitu dengan mengkonversi kandungan glukosa sampel ke dalam bentuk potensial daya listrik yang selanjutnya potensial daya listrik ini akan diproses untuk pengukuran kadar glukosa pada sampel. Keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan metode ini yaitu penggunaan jumlah sampel plasma darah yang sedikit (0,3 ml). Metode kolorimetri ini tidak terpengaruh oleh perubahan suhu dan level hematokrit.
Glukometer
yang
menggunakan
metode
kolorimetri
dapat
menggunakan sampel darah baik di lengan, jari, maupun di paha. Beberapa glukometer yang menggunakan prinsip kolorimetri adalah Reli-On Ultima®, One Touch Ultra®, Freestyle®, dan Accu-Chek Advantage RD® (Lee 2009). Contoh dari glukometer dan glucose strip yang digunakan untuk analisis kadar glukosa darah ditunjukkan pada Gambar 5..
Gambar 5
Contoh glukometer dan glucose strip yang digunakan dalam pengukuran kadar glukosa plasma darah (Howell et al. 2008; Kuhn 1998)
Prinsip dasar reaksi kimia pada glukometer dapat dijelaskan secara sederhana dengan analogi enzim dan mediator (Howell et al. 2008; Kuhn 1998). Reaksi yang terjadi dapat disederhanakan dengan tiga tahapan yaitu : 1. Dengan bantuan enzim gluko-dehidrogenase, glukosa akan dioksidasi menjadi asam glukonik, sedangkan enzim gluko-dehidrogenase akan direduksi oleh dua elektron dari glukosa tersebut. 2. Enzim yang tereduksi kemudian akan bereaksi dengan mediator (Mox) yang kemudian akan mentransfer elektron tunggal ke masing-masing kedua ion mediator. Enzim kemudian dikembalikan pada keadaan semula sedangkan dua Mox direduksi menjadi Mred. 3. Pada permukaan elektroda, Mred dioksidasi kembali menjadi Mox sedangkan arus yang timbul dan terukur kemudian digunakan untuk menentukan konsentrasi glukosa pada sampel. Pada reaksi tersebut, enzim gluko-dehidrogenase dipilih karena spesifisitasnya yang tinggi sehingga akan mempercepat oksidasi glukosa menjadi asam glukonat. Gluko-dehidrogenase juga sangat tahan dan tidak terpengaruh oleh adanya komponen asing pengganggu dalam sampel darah. Mediator yang digunakan dalam reaksi tersebut adalah natrium ferisianida. Pasangan redok ferisianida/ferosianida mampu secara cepat mentransfer elektron dengan elektroda. Hasil akhirnya adalah elektron kemudian akan ditransfer antara
glukosa dan elektroda melalui enzim dan mediator. Setelah berselang waktu selama beberapa detik kemudian konsentrasi glukosa akan ditampilkan pada layar monitor glukometer (Howell et al. 2008; Kuhn 1998).
Nutraceuticals Istilah nutraceutical merupakan hibrid atau gabungan antara ilmu gizi dan farmasi. Istilah tersebut pertamakali dikemukakan oleh DeFelice dan Foundation for Innovation in Medicine pada tahun 1989. Hal tersebut kemudian dinyatakan kembali dalam konferensi pers yang dirilis pada tahun 1994 bahwa nutraceutical merupakan segala substansi yang dapat digolongkan sebagai pangan atau bagian dari pangan yang memberikan nilai tambah secara medis dan kesehatan termasuk juga dalam hal pencegahan dan pengobatan. Produk pangan atau bagian dari pangan tersebut dapat berupa isolated nutrients, pangan yang termodifikasi secara genetis, produk herbal, serta dalam bentuk pangan yang sudah mengalami proses pengolahan seperti sereal, sup, dan produk minuman. Nutraceutical juga dapat didefinisikan sebagai zat kimia dalam bentuk komponen alam yang terdapat dalam bahan pangan atau bentuk yang ditambahkan dalam bahan pangan yang dapat dikonsumsi serta dapat memberikan manfaat kepada tubuh manusia dalam mencegah atau mengobati satu atau lebih jenis penyakit serta juga dapat memperbaiki dan meningkatkan fungsi fisiologis tubuh (Wildman & Kelley 2007). Konsep nutraceutical berkembang dengan pesat pada akhir dekade abad ke-20. Seiring dengan perkembangan tersebut, banyak sekali laboratorium penelitian besar yang melakukan investigasi terhadap komponen-komponen substansi aktif
yang terdapat dari alam. Wildman dan Kelley (2007)
mengklasifikasikan nutraceutical berdasarkan struktur kimianya menjadi tujuh golongan yaitu: (1) Turunan isoprenoid (terpenoid) terdiri dari karotenoid, saponin, tokotrienol, tokoferol, dan terpene sederhana; (2) Komponen fenol terdiri dari coumarins, tanin, lignin, antosianin, isoflavon, flavonones, dan flavonols; (3) Protein atau yang berbasiskan asam amino terdiri dari asam amino, allyl-S compounds, capsaicinoids, isothiocyanates, indoles, folat, dan kolin; (4) Karbohidrat dan turunannya terdiri dari asam askorbat, oligosakarida, dan polisakarida non-pati; (5) Asam lemak dan lipid yang terstruktur terdiri dari n-3 PUFA, CLA, MUFA, sphingolipids, dan lesitin; (6) Mineral terdiri dari Ca, Se, K, Cu, dan Zn; (7) Mikrobiologis terdiri dari probiotik dan prebiotik. Selain itu,
nutraceutical dapat digolongkan berdasarkan mekanisme aksinya yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Penggolongan nutraceuticals berdasarkan mekanisme aksinya
Anti kanker
Capsaicin Genestein Daidzein α-Tocotrienol γ-Tocotrienol CLA L. acidophilus Sphingolipids Limonene Diallyl sulfide Ajoene α-Tocopherol Enterolactone Glycyrrhizin Equol Curcumin Ellagic acid Lutein Carnosol L. bulgaricus
Pengaruh positif pada profil lipid darah β-Glucan γ-ocotrienol δ-ocotrienol MUFA Quercetin ω-3 PUFAs Resveratrol Tannins β-Sitosterol Saponins Guar Pectin
Aktivitas antioksidan
Anti inflammasi
CLA Ascorbic acid β-Carotene Polyphenolics Tocopherols Tocotrienols I3C α-Tocopherol Ellagic acid Lycopene Lutein Glutathione Hydroxytyrosol Luteolin Oleuropein Catechins Gingerol CA Tannins
Linolenic acid EPA DHA GLA Capsaicin Quercetin Curcumin
Osteogenetik atau perlindungan terhadap tulang CLA Soy protein Genestein Daidzein Calcium CP FOS Inulin
Keterangan : CA (chlorogenic acid) CLA (conjugated linoleic acid) CP (casein phosphopeptides) DHA (docosa hexenoic acid) EPA (eicosa pentaenoic acid) FOS (fructooligosaccharides) GLA (gamma linolenic acid) I3C (Indole-3-carbonol) MUFA (monounsaturated fatty acid) PUFA (polyunsaturated fatty acid)
Sumber : Wildman & Kelley (2007) Dalam istilah ilmu gizi dan ilmu pangan, sering dijumpai juga istilah pangan fungsional. Pada saat ini belum ada definisi yang disepakati secara umum mengenai nutraceutical dan pangan fungsional, meskipun istilah tersebut sering digunakan dengan merujuk pada berbagai organisasi profesional yang berorientasi pada kesehatan. Berdasarkan International Food Information Council (IFIC), pangan fungsional merupakan pangan atau komponen pangan
yang memberikan manfaat kesehatan diluar fungsi nilai gizi normalnya. Definisi lainnya dikemukakan oleh The International Life Sciences Institute of North America (ILSI) yang mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang melalui kandungan komponen aktifnya secara fisiologis dapat memberikan manfaat kesehatan di luar fungsi nilai gizi normalnya. Definisi yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Health Canada yang mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang memiliki wujud penampakan sama dengan pangan konvensional dan dikonsumsi sebagai bagian dari asupan makanan yang memiliki nilai tambah manfaat secara fisiologis di luar fungsi nilai gizi normalnya sehingga dapat menurunkan resiko penyakit kronis (Wildman & Kelley 2007). Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat ditarik makna bahwa pangan fungsional merupakan bagian dari nutraceuticals. Konsep pangan fungsional pertama kali diperkenalkan di Jepang pada tahun 1984 dengan istilah FOSHU (Food for Special Dietary Uses). Hal ini dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya populasi orang tua di Jepang yang berpotensi terhadap peningkatan chronic non-communicable diseases seperti diabetes, penyakit jantung koroner, hipertensi, osteoporosis, dan kanker. Berlatar belakang hal tersebut, maka Japanese Ministry of Education pada tahun 1984 mencanangkan proyek pengembangan dan penelitian yang memfokuskan pada sifat fungsional pada pangan. Proyek tersebut merupakan proyek penelitian mengenai pangan fungsional yang pertama kali di dunia dengan melibatkan peneliti antar disiplin ilmu seperti ilmu gizi, farmakologi, psikologi, dan kedokteran (Yamada et al. 2008). Pangan secara umum dapat dikatakan memiliki tiga sifat. Fungsi utama pangan
yaitu
sebagai
keberlangsungan
hidup
asupan
zat
manusia.
gizi Fungsi
yang
sangat
kedua
dari
esensial
untuk
pangan
dapat
diidentifikasikan sebagai sensori atau pemuasan sensori seperti rasa yang enak, flavor, dan tekstur yang baik. Fungsi ketiga adalah secara fisiologis seperti regulasi bioritme, sistem saraf, sistem imun, dan pertahanan tubuh. Pangan fungsional dapat digolongkan ke dalam pangan yang termasuk pada fungsi ketiga (Yamada et al. 2008). The Insitute of Food Technologist USA (2005) medefinisikan pangan fungsional adalah pangan atau komponen pangan yang dapat memberikan nilai tambahan lainnya disamping fungsi dasar zat gizi pangan utama untuk populasi tertentu. Contoh dari pangan fungsional adalah dapat berupa pangan konvensional yang difortifikasi, diperkaya, disuplementasi,
atau ditambahkan nilai manfaatnya. Substansi yang terdapat di dalamnya dapat berupa komponen bioaktif untuk memelihara fungsi normal tubuh dan pertumbuhan serta dapat memberikan efek postif pada kesehatan dan fisiologis yang dikehendaki. Goldberg (1993) menyatakan bahwa suatu pangan dapat dikategorikan sebagai pangan fungsional jika memiliki tiga syarat utama yang harus dipenuhi yaitu: (1) Merupakan makanan atau minuman (bukan kapsul, tablet, atau serbuk) yang mengandung senyawa bioaktif tertentu yang berasal dari bahan alami; (2) Harus merupakan bahan yang dikonsumsi dari bagian diet sehari-hari; (3) Memiliki fungsi tertentu setelah dikonsumsi, seperti meningkatkan mekanisme pertahanan biologis, mencegah dan memulihkan penyakit tertentu, mengontrol fisik dan mental, serta memperlambat proses penuaan dini. Hingga akhir tahun 2007, Jepang sudah memberikan label FOSHU pada 755 produk pangan. Klaim kesehatan untuk produk FOSHU di Jepang diklasifikasikan menjadi delapan kelompok yang memberikan efek kesehatan untuk kondisi indeks glikemik, tekanan darah, kadar serum kolesterol, kadar glukosa darah, absorpsi mineral, darah yang bebas lemak, kesehatan gigi, serta kesehatan tulang (Yamada et al. 2008).
Teh Teh merupakan salah satu minuman yang paling populer dikonsumsi dua pertiga populasi di dunia. Selain itu, teh juga merupakan jenis minuman yang memiliki sejarah tua yang panjang di dunia (Sinija et al. 2007). Teh berasal dari tanaman Camellia sinensis yang dapat tumbuh secara optimal di wilayah tropis dan sub-tropis. Tanaman Camellia sinensis merupakan tanaman asli dari Asia Tenggara yang didominasi di daerah timur laut India, utara Myanmar, selatan Cina, dan Tibet (Mondal 2007). Berdasarkan studi budidaya teh di Cina, tanaman teh yang ditanam pada ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut akan menghasilkan kualitas teh yang baik, karena pada ketinggian ini tanaman teh akan tumbuh secara lambat sehingga akan dihasilkan kualitas flavor yang baik. Jenis dari teh dapat ditentukan berdasarkan proses pembuatnnya setelah daun teh dipetik dari pohonnya. Daun teh yang baru dipetik akan cepat mengalami reaksi oksidasi jika tidak dikeringkan secara cepat, sehingga daun teh secara progresif menjadi lebih gelap yang disebabkan oleh pemecahan klorofil dan dikeluarkannya komponen tanin. Proses oksidasi enzimatis atau yang sering
disebut dengan fermentasi tersebut tidak disebabkan oleh mikroorganisme dan juga bukan merupakan proses anaerobik. Wan et al. (2009) mengungkapkan bahwa jenis teh dapat diklasifikasikan berdasarkan proses pembuatan serta karakteristik kualitasnya menjadi enam jenis yaitu: 1) Teh putih (dilayukan dan tidak teroksidasi); 2) Teh kuning (tidak dilayukan dan tidak teroksidasi tetapi dibiarkan hingga berwarna kuning); 3) Teh hijau (tidak dilayukan dan tidak teroksidasi); 4) Teh oolong (dilayukan, dimemarkan dan teroksidasi parsial); 5) Teh hitam (dilayukan, terkadang agak sedikit diremukkan dan teroksidasi secara penuh); 6) Teh pasca fermentasi (teh hijau yang dibiarkan untuk terfermentasi). Dari berbagai jenis teh diatas, secara umum pada prinsipnya dapat digolongkan menjadi tiga jenis utama yang paling populer dan sering dikonsumsi yaitu teh hitam (terfermentasi sempurna), teh oolong (semi terfermentasi), dan teh hijau (tidak terfermentasi) (Cheng & Chen 1994). Dalam proses pembuatan teh hijau, daun teh segar yang sudah dipetik harus segera diproses dengan perlakuan uap dan panas. Metode yang dapat digunakan yaitu metode firing (perlakuan dengan panas) dan steaming (pelayuan dengan uap panas). Hal tersebut bertujuan untuk menghindari proses oksidasi enzimatis dari catechins yang terjadi secara alami. Setelah melalui proses tersebut daun teh akan menjadi lebih lentur dan lembek sehingga mudah tergulung. Daun teh yang sudah tergulung kemudian dilonggarkan oleh roll breaker / ball breaker serta disertai dengan proses pendinginan. Setelah itu daun teh dikeringkan dengan menggunakan charcoal-fired baking baskets / electrical heaters / coal heaters / liquid petroleum gas heaters / natural gas heaters hingga kadar air produk akhirnya kurang dari 6% (Wan et al. 2009). Hasil dari proses tersebut dapat ditemukan di pasaran dengan nama roasted green tea dan steamed green tea. Salah satu contoh dari produk tersebut adalah Sencha yang dikonsumsi secara luas di Jepang (Wang et al. 2000). Proses pembuatan teh hijau di atas sedikit berbeda dengan yang diterapkan oleh PPTK (Pusat Penelitian Teh dan Kina) Gambung. PPTK Gambung menerapkan proses pembuatan teh hijau untuk menghasilkan kandungan catechins yang optimal dengan menggunakan proses steaming yang terdiri dari tiga tahap, yaitu: (1) Pelayuan selama kurang lebih lima menit pada suhu 80-100oC dengan menggunakan Rotary Panner; (2) Penggulungan selama kurang lebih 15-17 menit dengan menggunakan mesin Open Top Roller 26 tipe single action; dan (3) Pengeringan dua tahap dengan suhu masuk 130-135oC
dan suhu keluar 50-55oC selama 25 menit (PPTK 2006). Untuk menghasilkan teh hijau dengan kualitas yang baik, maka yang harus digunakan sebagai bahan bakunya adalah kuncup utama dan dua helai daun teh muda di bawah kuncup. Di Jepang dan China, untuk menghasilkan teh hijau dengan kualitas yang tinggi bahkan hanya digunakan kuncup utama dan satu helai daun teh muda di bawah kuncup sebagai bahan bakunya (Wan et al. 2009). Berbeda dengan proses pembuatan teh hijau, teh hitam diproses secara penuh dengan melibatkan aktivitas enzim untuk membentuk pigmen (theaflavin dan thearubigin) dan karakteristik khas dari teh hitam. Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan teh hitam yaitu kuncup utama dan dua helai daun teh muda di bawah kuncup. Setelah proses pemetikan, daun teh diletakkan pada tray dan diangin-anginkan di bawah sinar matahari atau kipas angin dengan suhu hangat yang terkontrol sehingga daun teh akan menjadi lebih lentur dan lembek. Setelah itu daun teh dapat diproses dengan menggunakan orthodox roller / rotorvane, CTC (crushing, tearing, curling) machine, atau LTP (Lawrie tea processor) machine. Tujuan dari proses rolling adalah untuk memecah sel pada daun sehingga akan mengeluarkan oksidase seperti polifenol oxidase dan peroksidase yang kemudian akan menginisiasi proses oksidasi catechins dengan oksigen di udara. Setelah melalui proses rolling, daun teh ditransfer ke ruangan fermentasi dengan suhu 25-35oC dengan kelembapan udara >95%. Proses fermentasi sangat bervariasi dengan kisaran waktu setengah hingga tiga jam. Hal tersebut tergantung pada jenis varietas teh, usia daun teh, ukuran partikel yang pecah dalam daun teh, serta kondisi fermentasi. Proses oksidasi yang terjadi akan menyebabkan perubahan daun teh yang tadinya hijau menjadi kuning keemasan dan membentuk aroma khas dari teh hitam. Setelah proses fermentasi optimum tercapai, daun teh kemudian dikeringkan untuk memberhentikan proses fermentasi sehingga enzim yang terdapat didalamnya menjadi inaktif. Dalam proses ini digunakan electrical heater atau coal fumace sehingga daun yang tadinya berwarna kuning keemasan akan berubah menjadi coklat gelap atau hitam, aroma khas teh hitam menjadi lebih jelas, dan kandungan airnya diturunkan hingga mencapai kurang dari 6% (Wan et al. 2009). Berbeda dengan teh hijau dan teh hitam, teh oolong memiliki karakteristik yang khas dengan kombinasi freshness dari teh hijau dan aroma dari teh hitam (Wan et al. 2009). Teh oolong berasal dari provinsi Fujian, China yang memiliki arti makna naga hitam. Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan teh oolong
yaitu kuncup utama dan dua atau tiga helai daun teh muda di bawah kuncup dari jenis kultivar Tieguanyin dan Fenghuang Shuixian. Setelah itu daun teh akan dilayukan di bawah sinar matahari selama 30 hingga 60 menit. Setelah dauh teh menjadi lebih lentur dan lembek serta kandungan airnya mencapai 10-20%, kemudian dipindahkan ke dalam ruangan untuk proses rotating. Proses rotating dilakukan pada suhu 20-25oC dengan kelembapan 75-85%. Proses rotating ini bertujuan untuk menjadikan friksi pada sel daun teh sehingga akan terjadi proses fermentasi. Proses ini berlangsung selama 6-8 jam dengan pengulangan sebanyak 5-6 kali. Kemudian daun teh yang sudah melalui proses rotating akan melalui proses fixing yaitu dipanaskan selama 3-7 menit pada suhu 180-220oC sehingga aktivitas enzim akan terdeaktivasi dan proses fermentasi akan berhenti. Setelah itu daun teh akan melalui proses rolling dan drying yang bertujuan untuk membentuk ukuran dari serbuk teh oolong (Xu & Chen 2002).
B
A
C
Gambar 6
Tiga jenis utama teh (A. Teh hijau (http://www.nihaoteahouse.com); B. Teh oolong (http://www.naturafresh.com); C. Teh hitam (http://www.preparefor allthings.com)
Flavonoid Polifenol pada Teh Daun teh mengandung komponen kimia yang terdiri dari polifenol (catechins dan flavonoides), alkaloides (caffeine, theobromine, theophylline, dsb.), volatile oils, polysaccharides, amino acids, lipids, vitamins (contohnya vitamin C), inorganics element (contohnya aluminium, fluorine, dan manganese), dsb. (Sharangi 2009). Flavonoid merupakan metabolit sekunder dari suatu tanaman yang terbagi menjadi enam kelas yaitu: flavones, flavanones, isoflavones, flavonols, dan anthocyanins. Hal ini berdasarkan struktur dan konformasi molekul dasar yang berbentuk cincin oksigen heterosiklik yang ditunjukkan pada Gambar 7 (Rice-Evans & Miller 1997).
Gambar 7
Struktur dasar flavonoid (Rice-Evans & Miller 1997).
Teh hijau mengandung enam komponen catechin utama yaitu catechin, gallocatechin (GC), epicatechin (EC), epigallocatechin (EGC), epicatechin gallate (ECG), dan epigallocatechin gallate (EGCG) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8. Catechins merupakan komponen kimia yang larut dalam air, tidak berwarna, serta memberikan rasa bitterness dan astringency. Selain itu teh hijau juga mengandung teanin, caffeine serta pyrroloquinoline quinone yaitu jenis vitamin yang baru ditemukan (Kasahara & Kato 1993). Epigallocatechin gallate (EGCG) merupakan komponen paling aktif yang ditemukan pada teh hijau. Kandungan polifenol pada teh hijau bervariasi, yaitu antara 30% hingga 40% (Stote & Baer 2008). Beberapa literatur juga menyebutkan bahwa kandungan catechin teh hijau secara khusus flavanol yaitu 20% hingga 30% berat basis kering (Balentine et al. 1997; Sanderson 1972). Hal tersebut berbeda dengan kandungan polifenol utama teh hitam yang terdiri dari theaflavin dan thearubigin. Theaflavin dan thearubigin merupakan hasil dari proses fermentasi yang melibatkan reaksi oksidasi enzimatis dari catechins sehingga terbentuk produk dengan pigmen yang berwarna coklat (Chen et al. 2002). Kandungan theaflavin
yang terdapat pada berat kering teh hitam berkisar antara 0,3% hingga 2%, sedangkan kandungan thearubigin berkisar antara 10% hingga 20% (Chen et al. 2002; Wang et al. 2000).
Gambar 8
Struktur kimia jenis catechin teh serta jenis epimer turunannya (Wang 2000)
Pada umumnya, karakteristik dari teh termasuk rasa, warna, dan aroma secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan modifikasi komponen
catechins.
Sebagai
contoh,
penurunan
kandungan
catechin
berhubungan dengan peningkatan kandungan monoterpene alcohols selama proses pembuatan teh hitam yang dapat memperbaiki kualitas aroma dari teh hitam (Wang et al. 1998). Selain itu, degalloation dari ester catechins menjadi non-ester catechins dapat menghasilkan penurunan rasa pahit (bitterness) dan astringency dari teh hijau (Nakagawa 1975; Wang et al. 1998). Epimerisasi yang merupakan konversi catechin teh menjadi isomernya dapat terjadi selama proses produksi, penyeduhan, maupun penyimpanan dari teh (Suematsu et al. 1992; Wang & Helliwell 2000). Flavonol pada daun teh yang struktur molekulnya ditunjukkan pada Gambar 9 terdiri atas quercetin, kaempferol, dan myricetin. Komponen ini merupakan penyusun 2-3% dari ekstrak larut air pada teh. Flavonol terwujud lebih ke dalam bentuk glikosida dibandingkan bentuk non-glikosida (aglycones).
Bentuk flavonol aglycones tidak ditemukan secara signifikan pada minuman teh dikarenakan sifat tidak larutnya pada air. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa flavonol yang terdapat pada daun teh berat basis basah bervariasi yaitu 0,83-1,59 g/kg myricetin, 1,79-4,05 g/kg quercetin, dan 1,56-3,31 g/kg kaempferol untuk teh hijau, sedangkan pada teh hitam yaitu 0,24-0,52 g/kg myricetin, 1,72-2,31 g/kg quercetin, dan 1,56-3,31 g/kg kaempferol (Wang dan Helliwell 2000).
Gambar 9
Struktur kimia flavonols pada teh (Wang 2000)
Proses Optimal pada Penyeduhan Teh Kebudayaan merupakan salah satu aspek yang sangat mempengaruhi terhadap pola makan serta proses penyiapan dari makanan tersebut. Minuman teh yang dikonsumsi di seluruh dunia saat ini sangat bervariasi jenisnya, tentunya hal ini juga dipengaruhi oleh berbagai budaya serta kebiasaan dari masyarakat yang ada di suatu tempat, negara, ataupun kawasan. Di wilayah Asia seperti di Jepang, Cina, India, Indonesia, Thailand jenis teh yang banyak dikonsumsi adalah teh hijau dan teh oolong, sedangkan untuk negara-negara barat seperti Inggris dan Amerika lebih banyak dikonsumsi dari jenis teh hitam (Sharangi 2009). Berbagai jenis teh tersebut tentunya sangat bervariasi dalam kandungan polifenolnya. Semakin banyak melalui proses fermentasi, maka kandungan polifenol dari teh juga semakin sedikit. Begitu juga dengan cara penyiapan minuman teh yang bervariasi, maka akan sangat mempengaruhi kandungan polifenol yang ada pada teh. Penelitian yang dilakukan oleh Komes et al. (2010) membuktikan bahwa terdapat perbedaan kandungan polifenol yang ditunjukkan oleh angka GAE (Gallic acid
equivalent) dari kondisi proses penyeduhan teh yang berbeda (suhu air yang digunakan,
jumlah
ulangan
penyeduhan
(single
atau
multiple),
waktu
penyeduhan, waktu penyimpanan dari seduhan). Hasil singkat dari penelitian Komes et al. (2010) disajikan dalam Gambar 10, 11, dan 12.
Gambar 10 Total kandungan flavonoid dan non-flavonoid dari berbagai tipe teh hijau yang diseduh pada menit ke-3 pada suhu 80oC (Komes et al. 2010)
Gambar 11 Total kandungan flavonoid dan non-flavonoid dari berbagai tipe teh hijau serbuk (Matcha), potongan daun (Gyokuro), dan kemasan kecil (Twinning of London) yang dipengaruhi oleh suhu penyeduhan pada 60oC, 80oC (penyeduhan ke-1, ke-2, dan ke-3), 100oC pada menit ke-3 (Komes et al. 2010)
Gambar 12 Total kandungan flavonoid dan non-flavonoid dari berbagai tipe teh hijau serbuk (Matcha), potongan daun (Gyokuro), dan kemasan kecil (Twinning of London) yang dipengaruhi oleh waktu penyeduhan pada menit ke-3, 5, 10, 15, dan 30 pada suhu 80oC (Komes et al. 2010) Hal senada juga ditunjukkan oleh penelitian Venditti et al. (2010) yang menunjukkan bahwa suhu air yang digunakan untuk menyeduh teh sangat mempengaruhi kandungan dari polifenol dan flavonoid yang terkandung. Teh yang diseduh dengan menggunakan air panas (suhu 90oC) memiliki kandungan total polifenol yang lebih tinggi dibandingkan dengan teh yang diseduh dengan menggunakan air dengan suhu ruangan.