TINJAUAN PUSTAKA Alang-Alang (fmperata cyfindrica) Alang-alang (/mperat? cyBndnnca)adalah jenis rumput gulma yang rnempunyai kernampuan berkembang biak dengan cepat baik secara generatif (biji) rnaupun secara vegetatif (rhizom).
Pada dasarnya alang-alang terdiri atas tajuk (shoot), akar, anakan dan rhizorn.
Apabila sepotong rhizorn yang berbuku hidup di tanah, rnaka pertama akan membentuk tajuk, perakaran, rhizom, dan anakan. Rhizom tersebut akan selalu tumbuh menjadi tumbuhan baru. Dengan demikian alang-alang akan segera rnenjalar keseluruh arah dengan membentuk jaringan rhizom yang padat dan bisa menghasilkan biomasa sebesar 7 ton hai.
Rhizom ini ba-
nyak ditemukan pada lapisan 0-20 cm. Bobot dari tajuk atau shoot dapat mencapai 11 ton ha-' (Tjitrosemito dan Sas.troutomo, 1986). Selanjutnya ICRAF (1996) menyatakan bahwa alangalang tersebut akan menghasilkan biomasa yang lebih tinggi di daerah yang banyak mendapat cahaya rnatahari daripada daerah yang kurang mendapat cahaya matahari. Alang-alang berdasarkan anatomi daun diklasifikasikan sebagai tumbuhan C,, dengan demikian berarti alang-alang merupakan vegetasi yang efesien dalarn dalam berfotosintesis. Produksi bahan kering alang-alang sebanyak 0.1 1 g g-' hari", maka secara teori alang-alang dapat memproduksi bahan kering sebesar 1000 kg ha-' hari-', walaupun pada prakteknya ha1 ini lebih kecil, karena setelah melewati musim kering 60 % dari tajuknya, kemudian kering dan rnati mitrosemitodan Sastroutomo, 1986). Alang-alang di Indonesia dapat tumbuh mulai dari ketinggian satu meter dari pemukaan laut (dpl) sampai ke arah pegunungan setinggi 2700 rn dpl. Alang-alang ini sangat cepat berkembang dikarenakan syarat tumbuhnya yang mudah yakni pada tanah tidak
suburpun ia dapat tumbuh dengan cepat la didapatkan juga pada tanah berpasir dan bnah gambut, serta pada tanah dalam keadaan kering. Varietas alang-alang ada lima yakni (1) major, (2) europa, (3) latifolia, (4) africana dan (5) condensata. Varietas major sebarannya sangat luas dan sangat penting di Asia. Berdasarkan analisis isozim, ada tiga group klon dari varitas major terdapat di Asia seperti di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan lrian (CRAF, 1996). T e r j a d i n y a Lahan Alang-Alang Lahan alang-alang adalah lahan yang didominasi oleh rumput alang-alang (Impem& cyhndrica)),sehingga membentuk harnparan padang rumput alang-alang. Menurut Sukardi ef a,! (1992) lahan alang-alang vegetasinya tidak selalu murni dan kerapatanya juga berbedabeda. Jenis vegetasi yang banyak dijumpai atau bercampur dengan tumbuhan perdu lainnya seperti (Eupafonum sp, Me/astum8 sp, Lantana sp, Mhosa sp dll), kayu (Sch/ma sp, Glutarenghas, DDenia sp, Wex sp,dll ) paku-pakuan, tumbuhan merambat (creepers) dan jenis rumputan lainnya, tetapi yang dominan adalah alang-alang. Dalam usaha pertanian rumput alang-alang disebut sebagai gulma terpenting, karena dia memberi efek negatif terhadap tanaman budidaya, yaitu rnenghambat pertumbuhan tanaman budidaya. Hal ini disebabkan oleh alang-alang mengandung senyawa kimia yang bersii alelopati, dan dilaporkan senyawa tersebut dapat mematikan tanaman budi daya sehingga secara ekonomi merugikan petani. Syarat hidup alang-alang sangat mudah, dapat hidup pada tanah yang tidak subur dan subur. Dengan demikian lahan yang diusahakan oleh pebni yang tidak memperhatikan kaedah konse~asiakan cepat menurunkan kesuburannya sehingga tidak produktif, kemudian
ditinggalkan dan membuka lahan baru, sedangkan lahan pertama sudah tumbuhi alang-alang maka, petani yang demikian disebutjuga dengan peladang berpindah. Menurut Sudharto efal. (1992) di lndonesia ada tiga sistem peladang berpindah yaitu:
(1) peladang berpindah perambah hutan dan bermukim di hutan, (2) peladang berpindah perambah hutan tetapi bermukim di luar hutan, (3) peladang berpindah di luar kawasan hutan dan bermukim di luar kawasan hutan. Jumlah peladang berpindah di lndonesia diperkirakan lebih dari 20 juta orang pada luas lahan + 30 juta hektar dan diperkirakan setiap tahunnya meningkat 2 %. Menurut Dent (1 987 ddamsudharto 1992), di antara negara kawasan Asia Pasifik, lndonesia menduduki peringkat pertama perladangan berpindah dan kerusakan hutan. Hal ini disebabkan oleh keadaan sosial ekonomi masyarakat yang masih rendah. Akibat dari kegiatan peladang berpindah tersebut menurut Sukmana (1995) yaitu terjadinya kerusakan lahan, pada sistem peladang berpindah lahan yang ditinggalkan atau selama masa bera, maka lahan ditumbuhi oleh alang-alang atau semak. Lahan yang ditinggalkan ini karena kesuburannya telah merosot dan vegetasi berdaun lebar tidak marnpu lagi tumbuh dan hanya alang-alang yang dapattumbuh menutup tanah. Berdasarkan ha1 ini, maka alang-alang merupakan indikator lahan kritis. van NooMlijk {1994) juga menyatakan pembabatan hutan dan membakamya akan menyebabkan kesuburan tanah cepat merosot dan ditinggal peladang sehingga lahan diimbuhi alang-alang. Menurut Ganity etal(1995 dalam van Nootwijk, 1995) lahan afang-alang dapat dibagi berdasarkan tipologinya seperti Tabel 1.
Tabel 1. Tipologi lahan alang-alang dan reklamasinya (Gamty etal:1995 da/amvan Nwnnrijk, 1995). Kelas mega
Skala km >I0
Ukuran tipe Ha rl0.000
Unit administrasi lebih dari satu dislrik lebih dari satu komunitas
makro
9-10
100 - 10.000
rneso
0,l- 1
1 - 100
satu komunitas
mikro
< 0,l
<1
lahan pertanian
ReWamasi bakar, tenure bakar, tenure, alternatif mengutungkan tenure, bakar, alternatif menguntungkan alternatif menguntungkan, tenure, reklamasi
Penyebaran Alang-Alang Penyebaran Alang-Alang berdasarkan Fisiografi.
Pada umumnya atang-alang tersebar luas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan lrian Jaya. Hal ini disebabkan syarat tumbuh alang-alang relatif mudah, atang-alang dapat tumbuh pada berbagai bentuk landskap, ketinggian dari permukaan laut tipe iklim, dan ordo tanah. Dan hasil inventarisasi sebagian lahan atang-alang di Indonesia oleh Sukardi eta/. (1992) menunjukkan penyebaran alang-alang pada berbagai satuan fsiografi dan satuan ordo
tanah seperti Tabel 2 dan Tabel 3. Dan Tabel 2 terlihat bahwa secara garis besar lahan alangalang terletak pada satuan fisiografi daerah pegunungan seluas 2. 539.225 hektar, dataran 1.083.750 hektar dan dataran gambut 31.250 hektar. Sempitnya Iuasan alang-alang di lahan gambut disebabkan oleh lahan gambut selalu basah dan tidak disukai alang-alang.
Tabel 2. Luas lahan alang-aiang berdasarkan satuan fisiograii (Sukardi, efal:1992) Satuan fisiografi Dataran aarnbut Dataran barin Dataran aluvial Dataran Volkan Karst Perbukitan Pegunungan Jumlah Total
Luas (ha) 31.20 465.265 214.375 1.083.750 754.250
541.875 I 574.275 2.539.225 7.204.265
Penyebaran Alang-Alang berdasarkan Ordo Tanah
Seperti pada Tabel 3, hampir semua ordo tanah diturnbuhi alang-alang. Menurut Sukardi, eta/ (1992) hasil inventarisasi sebagian dari lahan atang-alang di Indonesia ditemukannya ordo tanah yang paling luas diturnbuhi alang-alang adalah ordo lnceptisol yakni seluas
5.945.925 hektar dan Ultisol1.289.375 hektar. Karakteristik Inceptisol beragam baik dari segi rnorfologi, Csika, kimia rnaupun susunan mineraloginya, dengan demikian tingkat kesesuaiannya juga berbeda. Penyebarannya terdapat pada berbagai s d a n fisiograii dan iklim, kecudi di dataran gambut dan rawa-rawa yang jenuh dengan air. Karena sifatnya beragam maka penanggulangannya dan pernanfaatannya juga bewariasi dan tidak bisa diseragamkan karena sangat Wgantung pada keadaan l i n g kungan rnasing-rnasing lokasi. Der-kian juga dengan ordo Ultisol terrnasuk tanah yang mem punyai masaiah tingkat kesuburan yang rendah. Walaupun demikian kompleksnya permasalahan kesuburan tanah dari masing-masing ordo rnasih dapat diturnbuhi oleh alang-alang seperti Tabel 3.
Tabel 3. Luas lahan alang-alang dalam satuan ordo tanah (Sukardi, et al: 1992) Satuan tanah Histosols Entisols Vertisols lnceptisols Andisols Alfisols Mollisols Ultisols
Luas (ha) 31.250 528.075 71.150 5.945.925 325.625 100.525 1.289.375 1.289.375
Penyebaran berdasarkan Tipe lklim
Berdasarkan tipe iklim ternyata lahan alang-alang terdapat pada berbagai tipe iklim yakni A, B, C, D, E dan F (Schmidt dan Ferguson, 1951). Penyebarannya terdapat pada dataran rendah dengan regim suhu tanah panas atau isohypertermik (800m dpl), maupun di pegunungan dengan regim suhu tanah dingin atau isotermik (800-1800 m dpl) dan ada kecenderungan tidak terdapat pada regim suhu tanah isomesik. Demikian juga lahan aiang-alang tidak terdapat pada regim kelembaban sangat basah atau parakuik dan mungkin juga pada daerah yang sangat kering atau aridik. Jadi di Indonesia peyebaran alang-alang mempunyai kisaran yang sangat lebar (Sukardi el al: 1992) Menurut Laurnonier (1992 dalam Sukardi et a/ 1992) penyebaran lahan alang-alang untuk Sumatera dapat dikelompokan berdasarkan perbedaan ketinggian tempat dan masingmasing dikelompokan sebagai berikut (I) padang rumput, (2) padang rumput atau pakupakuan di dataran atau di pegunungan, (3) padang rumput atau semak savana di dataran atau di perbukitan, (4) padang rumput atau semak belukar di dataran atau dipecbukin dan (5) padang rumput atau paku-pakuan di daerah garnbut Jadi jelas bahwa berdasarkan asosiasi
tumbuhan yang berbeda, yang mencerminkan keadaan kelembaban dan suhu serta intensitas hujan, akan membawa pula perbedaan dalam teknologi penanggulangan dan pemanfaatan lahan tersebut Jenis tumbuhan asosiasinya dapat memberikan gambaran atau indikator untuk jenis usaha tanaman di masing-masing wilayah. Berdasarkan klasifikasi Oldeman, daerah lransmigrasi Pandan Wangi Kecarnatan Peranap lndragiri Hulu Riau termasuk tipe iklim C1 dengan 6 bulan basah (curah hujan > 200 mm bulan-') dengan 1 bulan kering (curah hujan < 100 mm bulan-I). Di daerah ini terdapat lahan alang-alang 478 hektar, sedangkan total lahan alang-alang di lndragiri Hulu
+ 12.500
hektar (BPP Peranap, 1997). Luasnya lahan alang-alang di daerah ini disebabkan pengelolaan sumber daya lahan yang fdak tepat, sehingga kesuburan tanah cepat merosot Tanah yang dikelola oleh pebni lahan kering ini termasuk Podsolik Merah Kuning (PMK) atau sepadan dengan ordo Ultisol, dengan tingkat kesuburan tanahnya yang rendah. Disamping itu, cara pembukaan lahan alang-alang untuk pertanian yang sering dilakukan dengan membakar alang-alang dan pola tanam yang sering monokultur kacang tanah atau semangka. Pola tanarn yang monokultur terus menerus rnempunyai resiko kegagalan lebih besar, karena satu jenis tanaman dalam dua kali musim tanam beturut-turut hasil tanaman yang ke dua sudah mulai cenderung menurun. Hal ini disebabkan oleh sistem monokulture dapat mernperpanjang siklus hidup hama dan penyakii tanaman. Bila petani mengalami kerugian terus m e m s akibat dari hasil tanaman yang diperolehnya rendah, maka petani menjadi malas mengusahakan lahan dan biasanya lahan diterlantarkan dan ditumbuhi oleh alang-alang kembali.
Karakteristik Tanah pada tahan Alang-Alang Umumnya tahan alang-alang didominasi oleh tanah-tnah Podsoiik Merah Kuning (PMK) seperti Ultisol, lnceptisol dan Oxisol. Menurut Hajowigeno (1993) PMK mempunyai keragaman yang tinggi sehingga tidak semua PMK setara dengan Ultisol menurut klasifikasi tanah USDA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua tanah tersebut rnempunyai horizon Tabel 4. Sifat-sifat Podsolik Merah Kuning Sitiung, Jasinga dan Pleihari Hardjowigeno, (1993) Nornor ~ e d o n E.~.i ~ e d o nHorison bawah Stiuna 1 okrik arailik okrik kambik sitiung 3 okrik Sitiung 4 kandik Jasinga (BJ5) okrik kambik okrik Pleihari (Kl) kandik
KTK m o l kg-'
< 24 < 24 < 16 30 < 16
Mineral liat dominan kaolinit kaolinit kaolinit mornorilonit kaolinit oksida
Klasifikasi (sub grup) Tvpic Pa/eudu/f 6-;c ~ ~ s b - p e ~ f Typic Kandiuduk Typic DysIropepf Typic Kandidulf
pemukaan okrik tetapi horizon bawah pencirinya menunjukkan perbedaan tertentu seperti pada Tabel 4. Dan tabel tersebut terlihat bahwa PMK mempunyai sifat yang kragarn, dan tidak semua PMK mempunyai harizon argilik atau kandik. PMK yang mempunyai akumulasi liat (argilik) atau kandik pada horizon B sepadan dengan Ultisol. Tanah ini mempunyai horizon bawah yang padat sehingga mempunyai sifat fisika tanah yang buruk. PermasalahanUlZsol tersebut adalah kasarnya tekstur tanah lapisan
atas, sedangkan lapisan bawah lebih padat Hal ini disebabkan deh adanya pencucian liat ke lapisan bawah. Menurut Hardjowigeno (1993) tejadinya proses pencucian liat yang intensif pada lapisan eluviasi, menyebabkan basa-basa tercuci ke lapisan iluviasi, sehingga tanah bereaksi masam dan kejenuhan basa rendah. Terjadinya proses pencucian liat dan basa-basa
dalam waktu lama ditunjang oleh suhu tanah tahunan rata-rata lebih dari 8 OC,maka terjadi pelapukan terhadap mineral dan terbentuknya mineral kaolinit Disamping itu, dengan adanya akumutasi liat (horizon argilik) di lapisan bawah menyebabkan berat isi tanah tinggi. Hasil penelian Saidi (1994) rnenunjukkan bahwa berat isi Ultisol Sitiung tinggi yakni; 1.16 g cmJ pada lapisan 0-16 cm; 1,19 g cm3 pada lapisan 16-34 ern dan 1,20 g cm3 pada lapisan 34-62 cm dan 1,2t g ~ mpada - ~lapisan 62-108 cm. Hasii penelitian Aprisal (1994) juga menunjukkan tingginya berat isi Ultisol di Laing Aripan Solok yakni 1,13 g cm3 pada lapisan 0-10 cm, 1.14 g cm3 lapisan 10-20 cm dan 1,15 g cm3 pada lapisan 20-30 cm. Tingginya berat isi Ultisol ini menunjukkan bahwa tanah tersebut padat dan rnempunyai aerasi yang buruk. Hasil penelitian Saidi (1994) juga menunjukkan aerasi Ultisol Sitiung 7,65 % lapisan 0-20 crn dan 5,54 % (20-40 cm) tergolong rendah. Dengan dernikian gerakan air ke
dalarn tanah menjadi lambat, ha1 ini terlihat dari hasil penetapan p e r m e a b i l i tanah yakni 1,80 cm jam'' lapisan 0-20 cm dan 0,98 cm jam-' pada lapisan 20-40 cm. Buruknya aerasi dan lambatnya gerakan air masuk ke dalam tanah akan mempengaruhi pengisian air tanah pada daerah perakaran tanaman, sehingga air yang tersedia bagi tanaman rendah. Walaupun curah hujan tinggi, tapi bila daya pegang air tanah rendah, maka pada musim kemarau tanah akan cepat sekali mengalami kekeringan sehingga air tidak tersedia bagi tanaman. Pada umumnya Ultisol terbentuk di daerah curah hujan 2500 mrn sampai 3500 nun tahun-' dan berada pada ketinggian 50 sampai 350 meter dari permukaan laut (Soepraptohardjo, 1978). Tingginya curah hujan ini menjadi penyebab pencucian hara dan basa-basa. Hasil pengamatan curah hujan di daerah Pandan Wangi Peranap oleh BPP Peranap, maka curah hujan cukup menunjang untuk pertumbuhan tanaman sepanjang tahun. Walaupun dernikian gambaran tersebut belum sepenuhnya rnenentukan ketersediaan air tanah bagi
tanaman, karena harus diinjang oleh kondisi siM fisik tanah yang baik pula, karena masalah yang sering terjadi di Ultisol adalah sehubungan dengan sifat fisik tanah yang buruk dan kurang baik bagi pertumbuhan tanaman. Horizon argilik mempunyai kandungan liat yang lebih tinggi dari horizon tanah di atas atau di bawahnya (Hadjowigeno, 1993). Dengan tingginya kandungan liat maka air terikat kuat pada pori mikro dan tidak tersedia bagi tanaman, adanya argilik juga rnerupakan lapisan kedap air, sehingga laju iniikrasi lambat dan aliran permukaan besar. Disamping itu, kondisi tanah yang padat di daerah perakaran juga dapat menghambat perkembangan akar tanaman sehingga produksi tanaman rendah. Uehara dan Gillman (1981) menyatakan juga tanah-tanah di daerah tropika dengan tingkat pelapukan yang tinggi menghasilkan liat dengan KTK rendah dan sangat sediki sekali mengalami pengembangan dan pengkerutan, baik dalam keadaan basah maupun kering, sehingga kemampuan tanah menahan air rendah pula. Sifat kimia Ultisol pada umurnnya kurang baik, sehingga kesuburan tanahnya rendah dan kandungan Al yang tinggi. Adiningsih dan Mulyadi (1992), menyatakan bahwa sifat UMsol pada lahan alang-alang rnempunyai tingkat kendala sifat kimia tanah yang buruk sehingga kesuburan tanah ini rendah. Hal ini dicirikan dengan sangat miskinnya hara terutama fosfat dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg dan K. Reaksi tanah masam dan sebagian disertai kadar Al tinggi sehingga dapat rneracun tanarnan. Kadar bahan organik rendah, KTK tanah rendah dan peka terhadap mi. Hasil penetapan siM kimia tanah Iahan alang-alang Kuamang Kuning Jambi dapat dilihat pada Tabel 5. Rendahnya bahan organik tanah dan unsur hara disebabkan katena seringnya pem bukaan lahan dengan cara pembakaran oleh petani sehingga bahan organik dan unsur hara lainnya cepat hilang karena mudah dercuci kembali oleh aliran permukaan.
Tabel 5. Siat kimia tanah pada kedalaman 0-20 crn dan 20-40cm dari lahan alangalang Kuamang Kuning Jambi (Adiningsih dan Mulyadi 1992)
-
Siat tanah Tekstur pasir (46)
* (%I liat
0 20 cm
20-40cm
58 34
56 4 40
4.2
4.4
8
(%) pH HZ0
m n i k (%) N (%) CJN P,O, 25 % HCI (mg (100 g)-' ) P2°5 Bray I (wm)
Kation dapat ditukar Ca (cmol kg -') Mg { c m l kg-') K (cmol kg -') Na (crnol kg-') Kapasitas Tukar Kation (cmol kg-') AIJ (cmd kg -') H* (cmol kg -') Kejenuhan Al (%)
Alternatif Teknologi Reklarnasi Lahan Alang-Alang untuk Pertanian Lestari Teknologi reklamasi lahan alang-alang adalah usaha untuk memulihkan kembali kondisi lahan yang tefah rusak dan tidak produkLif rnenjadi produktif kembali bila diusahakan untuk pertanian, terutarna pertanian yang lestari. Beberapa cara reklamasi lahan alang-alang untuk persiapan tanaman telah banyak dilaporkan seperti; sislem pressing, pengdahan cara md
Pengaruh Pembakaran terhadap Sifat Tanah Walaupun telah banyak cara pembukaan lahan alang-alang dikemukakan, narnun masyarakat lebih rnemilih atau lebih suka membuka lahan dengan cara tebas dan bakar atau reklamasi konvensional. Hal ini ditakukan karena mudah dan cepat serta rnenghemat tenaga keja. Namun demikan, cara seperti ini mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan dan tanah. Bila pembakaran tidak terkontrol maka dapat rnerambat ke areal hutan sehingga terjadi kebakaran hutan, dan asap dari pembakaran tersebutjuga dapat mengganggu transportasi. Disamping itu, dampak tingginya suhu akibat pembakaran dapat merusak sifat tanah, karena tingginya suhu pembakaran ini dapat menghancurkan bahan organik tanah. Menurut hasil penelitian Raison (1979 da&m Lal, 1987) pembakaran berbagai tipe vegetasi berbedabeda telah mempengaruhi suhu tanah yang berbeda pula. Semakin besar api pembakaran di permukaantanah, maka semakin dalam pengaruh suhu pembakaran tersebut Tingginya suhu pembakaran ini dapat mempengaruhi bahan organik tanah, tekstur dan distribusi ukuran pori dan struktur tanah. Penelitian San Jose dan Medina (1975 dafam Lal, 1987) menunjukkan bahwa tanah yang dibakar secara teratur daya menahan aimya lebih sedikit pada hisapan 15 bar, dari kapasitas menahan air maksimum dan porositas total, bila dibandingkan dengan tanah yang tidak dibakar seperti ditunjukkan Tabel 6. Lal (1987) juga menyatakan bahwa pembakaran dengan suhu 200 - 600 "C telah dapat merusak stnJktur tanah, yang mengakibatkan sifat tanah menjadi hidrofobik (menolak air) sehingga aliran permukaan cepat terjadi.
Akibat
pembakaran ini juga menurunkan kandungan liat di lapisan permukaan tanah karena tejadinya penggabungan partikel liat ke dalam kaksi pasir dan juga karena terbawa oleh aliran permukaan yang meningkat
-
Tabel 6. Pengaruh pernbakaran terhadap sifat kelernbabantanah di Lianos Venezuella (San Jose dan Medina, f 975 dalam Lal, 1987) Kelembaban tanah konstan Kelembaban pada 15 bar^ (YO) Kap. rnenahan air maksimum - lab. (%) Kap. menahan air minimum - lapangan (%) Kapasitas lapang in-si&(%)
Kontrol 7.1 32,8 5,l 31.2
Setelah dibakar 6,s 29.1 5,O 25,8
Disamping itu, pengaruh pembakaran pada sifat kimia tanah, juga dapat berpengaruh baik, karena abu hasil pembakaran menjadi surnber hara bagi tanarnan. Pengaruh abu sangat baik pada tanah masarn seperti Ultisol, karena dapat menaikan pH tanah, mengurangi alurninium dan meningkatkan kalsium dan magnesium. Narnun pengaruh baik tersebut bersifat sementara setelah itu produktivitastanah menurun kembali (Sanchez, 1987). Selanjut Andrise dan Scetass (1987 da/am Juo dan Manu, 1996) juga menyatakan bahwa penambahan hara dari abu pembakaran dapat rnenaikan pH dan hara tanah, kemudian dia tidak dapat bertahan lama, karena segera kernbali hilang akibat pencucian, aliran permukaan dan erosi pada pase peftumbuhan tanarnan. Pernbakaran juga akan mernatikan mikroorganisme tanah, karena suhu pernbakaran lebih tinggi daripada suhu yang diinginkan mikroorganisme sehingga mikroorganisme tidak dapat hidup dan berkembang. Menurut Raison (1979 da/am Lal. 1987) suhu tanah akan cepat naik setelah api rnernbakar rurnput dipermukaan tanah, dan suhu tanah berangsur-angsw turun beberapa menit kemudian. Di Senegal diukur suhu maksimum di permukaan tanah setelah pernbakaran sekitar 720 ' C dan 850 "C dan berkurang hingga kurang dari 100 "C dalam 8 hingga 12 menit. Suhu tanah akibat pembakaran kbih tinggi, sedangkan suhu yang
cocok untuk kehidupan bakteri tanah yakni berkisar 1545 O C , dan untuk mesofil 2535 "C
(Pelczar dan Chan, 1986). Hasil penelitian Pietikainen dan Fritze (1994) juga menunjukkan akibat tebang dan bakar berkurangnya C biornas rnikroorganisrne (C,)
tanah dari 10.890 pg
g" (kontrol) menjadi 8.582 pg g-' pada tebas tebang serta 5.120 pg g-' pada lahan yang ditebas dan bakar di Filandia. Sedangkan menurut Spurr dan Barnes (1992) akibat pernbakaran terjadinya perubahan yang nyata populasi bakteri, aktinornisestes, dan fungi di lapisan tanah pada kedalarnan 2 sarnpai 5 crn. Hal ini juga disebabkan oleh turunnya kelernbaban dan daya pegang air tanah secara drastis.
Pemakaian Mulsa dan Bahan Organik Sifat dari rurnput alang-alang adalah mernbutuhkan cahaya yang banyak dan peka terhadap naungan. Didasarkan kelernahan alang-alang ini terhadap naungan maka pernberian rnulsa dari biomasa alang-alang itu sendiri dapat digunakan untuk menekan perturnbuhan gulrna ini. Menurut hasil penelitian Sudharto ef a/. (1992) rnenunjukkan bahwa penutupan lahan 90 persen dengan tanarnan Mucuna dapat menekan biornasa alang-alang dari 20 rnenjadi 2,45 ton ha-'. Selanjutnya ICRAF (1 996) menyatakan bahwa pernotongan alang-alang dan menggunakannya sebagai mulsa dapat rnenekan perturnbuhan alang-alang yang baru. Alang-alang yang dirnulsakan mengalami pelapukan juga dapat menambah hara tanah. Makarim dan Ningrum (1991) rnenyatakan bahwa mulsa alang-alang mengandung unsur hara yang penting untuk tanaman pangan seperti N, P, K, Ca dan Mn. Penggunaan alang-alang sebagai rnulsa ternyata dapat rneningkatkan vnsur hara P, K dan Ca di tanah. Hasil analisa
Tabel 7. Komposisi kimia dari analisis alang-alang Soepardi, (1976 &/am Sukrnana, 1986) Komposisi kimia N i m (%) Fosfor (%) KaIium (%) Kalsium (%) Magnesium (%) Silikon (%) Besi (%) Mangan (ppm) Seng @pm) Ternbaga (ppm)
Daun 0.17 033 0,56 0.35 0.28 2.66 0,13 9730
Rhizom 0.35 0.17 0.38 O,t9 0,20 5.19 0.10 105,90
9.00 630
33,40 19,70
Disarnping itu, mulsa dipermukaan tanah juga dapat rnelindungi tanah dan mengurangi penguapan air dari permukaan tanah. Menurut Lal(1975 da/amSyarn, 1993) pernberian mulsa secara umurn mernperbaiki regirn kelernbaban tanah karena rnulsa dapat menekan aliran permukaan dan evaporasi. Hasil penelitian Zurhalena (3994) juga menunjukkan pemberian mulsa jerarni padi pada Ultisol Siung cenderung rneningkatkan kadar air tanah dengan semakin meningkatnya takaran mulsa, walaupun tidak turun hujan. Pemberian mulsa 15 ton ha-' kadar air tanah jauh lebih tinggi dari tanah yang tidak diberi mulsa. Selain itu, keuntungan dari mulsa juga dapat menarnbah bahan organik tanah dan meningkatkan unsur hara tersedia bagi tanarnan (Dariah dan Rachman, 1989). Disamping pemakaian mulsa alang-alang, pemberian pupuk kandang dapat meningkatkan kesuburan tanah dan memperbaiki kondisi fisik tanah, sehingga daya pegang air tanah meningkat Hasil penelitian Hadi ef alI (1989) menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang 20 ton ha-' telah dapat rneningkatkan pori air tanah krsedia 7.35 sarnpai 43.60 persen. Hal ini menurut Burn (1990) disebabkan oleh bahan organik dari pupuk kandang yang dapat saling berinteraksi dengan partikel tanah, mikroorganisme dan membentuk suatu lingkungan mikro-
ekologis yang mantap. Dengan dernikian pori-pori tanah akan terbentuk di antara agregat tanah yang terbentuk. Pemakaian Herbisida
Menurut ICRAF (1996) penggunaan herbisida merupakan s u d cara yang efektif juga dalam mengendalikan alang-alang. Herbisida yang disemprotkan akan masuk melalui daun dan akar tanarnan. Herbisida yang digunakan melalui daun ada dua jenis yaitu tipe kontak dan sistemik. Herbisida tipe kontak ini seperti paraquat dan MSMA, dapat membunuh daun dengan cepat sekaii dengan desikasi dari bagian aerial tanaman. Menurut Koestono 11986) penggunaan herbisida kontak membasmi gulma dengan cepat yaitu dalam waktu 1-2 hari, terutama bila slnar matahari terik. Namun karena herbisida tersebut tidak sistemik maka alang-alang yang terlindung dari semprotan tidak ikut mati. Sebaliknya dengan herbisida sistemik mempunyai bahan aktif dan bila diserap oleh alang-alang akan diieruskan ke seluruh bagian dari alang-alang dan hampir seluruh alang-alang mati. Salah satu contoh herbisida ini adalah Round up, pengaruh dari herbisida sistemik ini kelihatan setelah 7-15 hari, seluruh tanaman akan mati. ICRAF, (1996); Koesterman etal(1987) menyatakan bahwa pemakaian herbisida sistemik sepetti glifosat atau glufosinat cukup efektif dalam menekan pertumbuhan alang-alang dan gulma sekunder lainnya. Herbisida ini akan lebih efektif diberikan pada stadia perturn buhan alang-alang empat rninggu setelah dibabat atau dibakar. Menurut Zaini dan Lamid (1992) bahwa g l i s a t efektif mengendalikan alang-alang sampai 54 hari setefah penyemprotan dilakukan, tetapi kemudian muncul gulma berdaun lebar, teki dan perdu lainnya.
Sistem Usahatani Terpadu di Lahan Alang-Alang Usahatani terpadu adalah rnengintegrasikan sistern pertanian tanaman pangan, tanaman tahunan dan usaha ternak serta rnenerapapkan sistem pertanian konservasi. Tujuan dari usahatani terpadu ini adalah untuk rneningkatkan produksi dan pendapatan petani yang stabil dalam jangka panjang dan mernperkecil resiko kegagalan seperti sistirn rnonokultur, terutarna petani di lahan kering alang-alang. Disarnping itu, juga untuk rneningkatkan kualitas lahan dan rnengurangi kerusakan lahan. Pada umurnnya lahan alang-alang terdapat pada lahan kering.
Faktor pernbatas
utama pada lahan kering untuk pertanian adalah ketersediaan air tanah. Oleh sebab itu, lahan kering rnerupakan lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan rnenggunakan air secara terbatas dan biasanya mengharapkan dari curah hujan (KEPAS, 1989). Lahan ini merniliki kondisi agroekosistem yang beragarn, urnumnya berlereng dengan kondisi kemantapan lahan labil (peka erosi) terutarna bila pengelolaannya tidak rnernperhatikan kaedah konservasi tanah. Pemanfaatan lahan kering untuk pertanian sering menemui banyak kendala yang berhubungan sifat tanahnya yang buruk. Menurut Hakirn ef a/ (1994) bahwa kendala utarna dalam pemanfatan lahan kering adalah rendahnya hndungan bahan organik tanah sehingga daya pegang airnya rendah, dengan dernikian air tanah tidak teredia bagi tanarnan. Selain itu, lahan kering yang didorninasi oleh tanah Podsolik Merah Kuning (PMK) reaksi tanahnya rnasarn, kejenuhan Al yang tinggi, kekurangan unsur hara terutarna N, P, K dan Mg. Dengan dernikian lahan kering temasuk lahan yang miskin dengan produktivitas yang rendah. Pemanfaatan lahan miskin ini oleh petani rniskin akan menambah kerniskinan, apabila faktor penyebabnya tidak dibenahi. S i a s i di daerah pertanian rniskin tersebut terkesan gersang, tidak teratur dan tidak produktif (Sinukaban, 1994).
Untuk meningkatkan produkfivitas lahan kering dan pendapatan petani perlu adanya masukan teknolgi baru. Pernbangunan pertanian di lahan kering yang baik perlu adanya perbaikan terhadap teknologi produksi yang ada melalui: (1) mengubah metode produksi melalui; (a) perubahan pola tanam, (b) penggunaan komodi yang paling menguntungkan, (c) penggunaan teknologi tepat guna, hasil penelitian terakir, sesuai dengan kondisi fisik, sosiat dan ekonomi daerah. (2) dengan mengubah atau menambah cabang usaha yang telah ada seperti usaha pertanaman ditambah dengan usaha ternak (KEPAS, 1988). Menurut Zaini dan Lamid (1992) bahwa pendapatan petani pada usaha pertanian lahan kering tidak dapat ditingkatkan hanya dengan usaha tanaman pangan saja. Untuk itu perlu kornponen usahatani lainnya seperti tanaman tahunan dan ternak. Menurut Ardjasa eta,!(1984) bahwa mengintegrasikan tanaman bhunan (kelapa dan jeruk) dengan tanaman pangan di Daerah Transmigrasi Batumarta Sumatera Selatan telah dapat rneningkatkan pendapatan petani. Memasukkan ternak sebagai salah satu komponen usahatani di lahan alang-alang, akan meningkatkan pendapatan petani. Disamping itu, kotoran ternak dapat sebagai sumber bahan organik untuk mempertahankan kesuburan tanahnya. Hasil penelitian Hakim ef a.! (1994) menunjukkan bahwa penarnbahan ternak dalam sistem usahatani budidaya lorong, telah dapat meningkatkan tambahan pendapatan petani. Untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak dapat diinarn rumput raja atau Setan2sebagai tanaman sbip. Hasil peneliian Ardjasa
ef a1 (1984) di Batumarta Sumatera Selatan juga menunjukkan bahwa penanaman rumput Setan'a sebagai tanaman strip pada 30 buah teras dengan panjang teras 50 meter dapat menghasilkan rumput segar 60-70 kg. Kemudian hasil penelitian Hakirn (1994) juga menunjukkan bahwa penanaman rumput raja sebanyak 20 strip dapat rnenghasilkan 15 ton ha-' setiap pemangkasan dalam waktu dua bulan atau sekitar 250 kg ha-'. Kebutuhan sapi hanya 30-50 kg ekor', sehingga dengan pakan itu dapat merneliharaternak 5 7 ekor sapi.
Dari hasil pemeliharaan lima ekor ternak sapi selama delapan bulan juga dapat menghasilkan pupuk kandang 7,20-12 ton (8 bulan).' atau 30-50 kg hari" atau sekitar 6-10 kg ekorl hari-'. Menurut Setyamidjaja (1986) seekor sapi dewasa dapat menghasilkan pupuk kandang segar 7500 kg tahun-' atau 5000 kg pupuk matang tahun-'. Dengan demikian satu ekor sapi dewasa dapat menghasilkan pupuk matang 13,65 kg hari-'. Pupuk kandang ini dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan tanaman pangan dan tahunan.
Erosi Tanah dalam Sistem Usahatani Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah atau bagian-bagian ianah dari suatu tempat yang diangkut oleh air. Erosi menyebabkan hilangnya lapisan tanah atas yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air. Kerusakan yang dialami pada tanah tempat terjadi erosi berupa kernunduran sifat-sifat fisika dan kimia tanah seperti kehilangan unsur hara, bahan organik dan memburuknya sifat-sifat fisika yang tercerrnin oleh menurunnya kapasitas infiltrasi dan kemarnpuan tanah menahan air, meningkatnya kepadatan, ketahanan penetrasi Serb berkurangnya kernantapan struktur tanah, yang pada akhirnya menyebabkan memburuknya pertumbuhan tanaman dan rnenurunnya produktivitas (Arsyad, 1989).
Penurunan produktivitas tanah ini akan
menurunkan hasil tanaman pertanian yang diusahakan. Hasil penelitian Kurnia (1996) menunjukkan bahwa pengupasan Ultisol Jasinga setebal 15 cm sebagai erosi buatan telah menurunkan hasil bnaman jagung dari 2,43 ton ha-' (Ultisol yang tidak dikupas) menjadi 1,54 ton ha-' atau terjadi penurunan hasiljagung sebesar 36,63 %. Bila erosi tanah yang terjadi pada lahan pertanian lebih besar daripada erosi yang ditoleransikan (ETOL) secara terus menerus, maka produktivitas tanah juga akan turun terus menuju titik not, sehingga tanah tidak mampu lagi berproduksi,akibatnya lahan diterlantar petani. Dengan adanya, menerapkan sistem pertanian konservasi maka erosi tanah dapat
ditekan lebih kecil dari ETOt, sehingga penurunan produktivitas tanah dapat ditekan. Dengan demikian usaha pertanian berketanjutan (lestari) dapat dirancang. Menurut Sinukaban (1994) pertanian lestari itu d i n d a i dengan ciriciri seperli berikut: (1) produksi pertanian cukup tinggi sehingga petani bergairah melanjutkan usahataninya, (2)
pendapatan petani yang cukup tinggi, sehingga petani dapat rnendisain masa depan keluarganya dari pendapatan usahataninya, (3) teknologi yang diterapkan M k teknologi produksi maupun teknologi konservasi adalah teknologi yang dapat diterapkan sesuai dengan kemampuan petani dan diterima oleh petani dengan senang hali sehingga sistern pertanian tersebut dapat diteruskan oleh petani dengan kemauannya secara terus menerus tanpa bantuan dari luar, (4) komoditi yang diusahakan sangat beragarn sesuai dengan kondisi biofisik daerah, dan dapat diterima oleh petani dan laku di pasar, (5) laju erosi kecil, lebih kecil dari erosi yang ditoleransikan, sehingga produktivitas yang cukup tinggi tetap dapat dipertahankan, ditingkatkan secara lestari dan fungsi hidrologis daerah terpelihara dengan baik sehingga tidak terjadi banjir dimusim hujan dan kekeringan dimusim kemarau, (6) sistem pengusahaan atau pemilikan lahan dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang dan menggairahkan petani untuk terus berusahataninya. Lal(1994) juga menyatakan bahwa tujuan dari pertanian lestari itu adalah (1) mence gah terjadinya degradasi tanah, (2) meningkatkan produksi secara berus menerus, (3) meningkalkan produklivitas tanah dan memproduksi komoditi yang laku dan mempuyai harga yang tinggi di pasar dan (4) rnenjaga k u d i lingkungantanah.