TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Berdasarkan Steenis, et. al, (1967) sistematika tanaman karet adalah sebagai berikut; Divisi: Spermatophyta; Subdivisi: Angiospermae; Class: Dicotyledonae; Ordo: Euphorbiales; Family: Euphorbiaceae; Genus: Hevea; Spesies: Hevea brassiliensis Muell Arg. Sistem perakaran kompak/padat, akar tunggangnya dapat menembus tanah hingga kedalaman 1-2 m, sedangkan akar lateralnya dapat menyebar sejauh 10 m. Batangnya bulat silindris, kulit kayunya halus rata berwarna pucat hingga kecokelatan dan sedikit bergabus (Syamsulbahri, 1996). Daun karet terdiri atas tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun utama 3-20 cm. Panjang tangkai anak daun 3-10 cm dan pada ujungnya terdapat kelenjar. Biasanya ada tiga anak daun yang terapat pada sehelai daun karet. Anak daun berbentuk eliptis, memanjang dengan ujung meruncing, serta tepinya rata dan gundul (Sianturi, 2001). Bunga berbentuk “lonceng” berwarna kuning. Ukuran bunga betina lebih besar daripada bunga jantan. Apabila bunga betina terbuka, putik dengan tiga tangkai putik akan tampak. Bunga jantan bila telah matang akan mengeluarkan tepung sari yang berwarna kuning. Bunga karet mempunyai bau dan warna yang menarik dengan tepung sari dan putik yang agak lengket (Setyamidjaja, 1993) Curah hujan yang optimal untuk pertumbuhan karet antara 2.500 mm sampai 4.000 mm/tahun, dengan hari hujan berkisar antara 100 - 150 hh/tahun. Namun demikian, jika sering hujan pada pagi hari, produksi akan berkurang (Anwar, 2001).
Untuk dapat tumbuh dengan optimal pada dataran rendah, tanaman karet membutuhkan ketinggian
200m – 400m dari permukaan
laut (dpl).
Pada
ketinggian > 400m dari permukaan laut dan suhu harian lebih dari 30oC, akan
mengakibatkan
tanaman
karet
tidak
bisa tumbuh dengan baik
(Damanik, et al., 2010). Stump Karet Okulasi merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman yang dilakukan dengan menempelkan mata entres dari satu tanaman ke tanaman sejenis dengan tujuan mendapatkan sifat yang unggul (Anwar, 2001). Batang bawah dan batang atas (entris) merupakan bagian yang terpenting dari keberhasilannya suatu proses okulasi. Batang bawah yang memiliki daya gabung yang baik dengan mata entres (scion) sangat diperlukan sehingga proses penempelan mata tunas dapat berlangsung dengan baik dan menghasilkan stum dengan mutu yang baik yang dapat dikembangkan secara massal di perkebunan baik skala kecil maupun skala besar (Sagay dan Omakhafe, 1997). Entris (scion) adalah mata tunas pada batang atas yang berasal dari klon yang dianjurkan. Klon entris yang dianjurkan pada saat sekarang ini adalah klon yang berasal dari klon PB-260. Entris yang baik adalah entris yang memilii daya gabung (kompatibel) dengan batang bawah. Entris merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan besaran produksi pada saat tanaman karet sedang berproduksi (tanaman dewasa). (Lasminingsih. et al., 2006). Okulasi atau penempelan mata tunas bertujuan untuk menyatukan sifatsifat baik yang dimiliki oleh batang bawah (stock) dengan batang atas (scion/entres) yang ditempelkan padanya. Okulasi karet berdasarkan umur, warna
batang bawah dan batang atas, serta diameter batang bawah dikenal dengan dua jenis okulasi, yaitu okulasi cokeat dan okulasi hijau. Okulasi coklat dilakukan pada batang bawah berumur 9-18 bulan di pembibitan, sehingga sudah berwarna cokelat dengan diameter lebih dari 1,5 cm. Sementara itu, okulasi hijau dilakukan pada batang bawah berusia 1,5-2,5 bulan di pembibitan, sehingga masih berwarna hijau dengan diameter 1,5-2 cm. Batang atasnya berumur 1-3 bulan setelah pemangkasan dan berwarna hijau. Dibanding okulasi cokelat, okulasi hijau memiliki beberapa kelebihan yaitu: 1) Pelaksanaan bisa lebih awal 2) Masa hidup dipembibitan lebih pendek, sehingga penyediaan bahan tanaman lebih cepat 3) Perakaran tidak terganggu saat bibit dipindah ke lapangan 4) Pertautan okulasi lebih baik dan 5) Masa matang sadap bisa dipercepat enam bulan (Damanik, et al., 2010). Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan stump meliputi, faktor kompatibel antara batang atas dengan batang bawah, ukuran lilit batang bawah yang digunakan, umur entris (scion) yang sesuai dengan batang bawah. Untuk mengukur keberhasilan suatu stump yang telah siap dipindah tanamkan ke lapangan adalah yang telah berpayung satu atau yang telah berumur lebih kurang 13 MST. (Lasminingsih. et al., 2006). Inkompatibilitas
batang
atas-batang
bawah
merupakan
respons
ketidaksesuain batang bawah terhadap batang atas karena perbedaan karakter fisiologi antar keduanya. Pada umumnya makin jauh hubungan kekerabatan antara batang bawah dengan batang atas, tingkat penolakan semakin tinggi. Hal ini antara lain ditandai dengan tingkat keberhasilan okulasi rendah, pertumbuhan tanaman lambat dan produksi kurang optimal. Respon ketidaksesuaian yang
ekstrem dapat dilihat dengan adanya bentuk “kaki gajah” pada tanaman klonal yang telah berumur lanjut (Hadi dan Setiono, 2006). Dari hasil okulasi akan diperoleh bahan tanam karet unggul berupa stump mata tidur, stump mini, atau stump tinggi . Stump mata tidur adalah bibit yang diokulasi di lahan pembibitan dan dibiarkan tumbuh selama kurang dari 2 (dua) bulan setelah pemotongan batang atas pada posisi 10 cm di atas mata okulasi, dengan akar tunggang tunggal atau bercabang. Akar tunggang tunggal lebih bagus dibandingkan dengan akar tunggang bercabang, sehingga petani karet biasanya memotong akar tunggang bercabang yang lebih kecil. Dengan demikian tinggal satu akar tunggang besar yang panjangnya sekitar 40 cm dan akar lateral yang panjangnya 5 cm (Pukesmawati dan Muda, 2012). Kriteria bibit stump mata tidur yang baik ialah memiliki akar tunggang lurus, tidak bercabang, panjang minimal 35 cm dan akar lateral yang disisakan panjangnya 5 cm ; tinggi batang di atas okulasi sekitar 5-7 cm, memiliki diameter batang sekitar 2,5 cm ; apabila ditoreh pada bagian okulasi berwarna hijau ; jika bibit memiliki akar tunggang lebih dari satu, pilih satu akar tunggang yang paling baik dan yang lain dibuang (BPPP, 2008). Bibit stump mata tidur masih menjadi pilihan dan banyak digunakan sebagai bahan tanaman. Amypalupy, et al., (2002), menyebutkan bahwa bibit okulasi stump mata tidur banyak digunakan karena persiapannya lebih mudah serta harganya lebih murah, tetapi penggunaan stump mata tidur mempunyai kelemahan yaitu berupa tingginya angka kematian (15-20%), ada kemungkinan tumbuhnya tunas palsu dan pertumbuhan bibit tidak seragam.
Hal yang terpenting dalam teknologi budidaya tanaman karet ialah penanaman stump mata tidur dengan menggunakan varietas atau klon yang sudah dianjurkan. Kualitas dari bahan tanam yang digunakan merupakan hal penting yang mempengaruhi keberhasilan dan nilai ekonomi tanaman tersebut (Albarracin, et al., 2006). Klon-klon
anjuran
adalah
klon-klon
yang direkomendasikan untuk
pertanaman komersial yang telah dilepas seperti: (a) Klon Penghasil Lateks: BPM 24, BPM 107, BPM 109, IRR 104, PB 217 dan PB 260, (b) Klon Penghasil Lateks Kayu: BPM 1, PB 330, PB 340, RRIC 100, AVROS 2037, IRR 5, IRR 32, IRR 39, IRR 42, IRR 112 dan IRR 118 (c) Klon Penghasil Kayu : IRR 70, IRR 71, IRR 72 dan IRR 78 (Balai Penelitian Sembawa, 2010). Kedalaman Budi, et. al, (2008) mengatakan bahwa cara penanaman stump mata tidur karet ke dalam polybag ialah dengan cara memasukkan okulasi mata tidur dalam polybag yang telah berisi tanah tepat dibagian tengah. Jarak antara mata okulasi dengan tanah di polybag yaitu 5 cm. Penambahan dan pemadatan tanah dilakukan hingga kompak dan padat. Penanaman bibit stump okulasi mata tidur dengan cara membuat lubang kecil pada tempat ajir yang ukurannya kira-kira cukup untuk masuknya akar bibit yang akan ditanam. Kemudian tanamlah bibit stump sedemikian rupa sehingga bibit berada tepat pada bekas ajir, dan dalamnya menanam sampai leher akar dan bibit tertanam dengan tegak (Setyamidjaja, 1993). Menurut penelitian Santoso dan Purwoko (2008) mengenai pertumbuhan bibit tanaman jarak pagar pada berbagai kedalaman tanam dan posisi tanam benih
menyatakan bahwa secara umum pengaturan posisi dan kedalaman tanam suatu benih hanya berpengaruh nyata pada proses perkecambahan semai tanaman jarak pagar, namun tidak berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan bibit selanjutnya. Kedalaman tanam berhubungan dengan vigor tanaman, bibit normal dari benih yang memiliki kekuatan tumbuh yang baik pada kedalaman optimal namun sebaliknya jika kedalaman kurang optimal benih tidak akan tumbuh dengan baik karena benih memerlukan ruang yang optimal agar dapat berkecambah serta tumbuh (Saleh, 2004). Menurut Ishimine et. al, (2003) akar rimpang akan lebih cepat tumbuh dengan semakin dalamnya kedalaman tanam. Rimpang C.longa yang ditanam pada kedalaman 8 cm dan 12 cm hasil panennya lebih besar dibandingkan dengan yang ditanam pada kedalaman 4 cm. Rimpang yang diahsilkan akan lebih panjang dan diameter juga semakin besar. Bobot rimpang yang dihasilkan juga akan lebih tinggi dengan semakin dalamnya kedalaman tanah. Karniadi et. al, (1986) juga menambahkan ubi jalar yang ditanam pada kedalaman 3 buku, hasil umbinya juga lebih baik dari yang ditanam dengan menggunakan 1 atau 2 buku dalam tanah. Seneviratne, et. al, (1996) menyatakan bahwa stump karet jika ditanam dengan posisi batas pertautan batang bawah dibawah permukaan tanah maka akan menghindari proses terjadinya pembentukan “kaki gajah” karena bagian perakaran (pangkal batang) tidak muncul diatas permukaan tanah. Pembentukan “kaki gajah” dapat mempengaruhi kondisi perakaran batang bawah pada saat penanaman dan tanaman juga menjadi lebih mudah rebah akibat hempasan angin.
Media Tanam Selain masalah bahan tanam, media juga harus diperhatikan untuk mendapatkan pertumbuhan bibit yang baik. Media tumbuh yang baik adalah media yang mampu menyediakan air dan unsur hara dalam jumlah cukup bagi pertumbuhan bibit. Hal ini dapat ditemukan pada tanah dengan tata udara dan air yang baik, mempunyai agregat mantap, kemampuan menahan air yang baik dan ruang untuk perakaran yang cukup (Gardner dan Mitchell, 1991). Media tumbuh sangat berperan terhadap kelangsungan pertumbuhan tanaman, pada saat cadangan makanan habis maka akar akan berfungsi menyerap unsur hara dan air dari media tumbuh untuk keperluan proses fotosintesis di daun dan menghasilkan energi bagi tanaman muda tersebut (Widodo et al., 2007). Berbagai jenis media tanam dapat kita gunakan sebagai media tumbuh tanaman, tetapi pada prinsipnya kita menggunakan media tanam yang mampu menyediakan nutrisi, air, dan oksigen bagi tanaman. Penggunaan media yang tepat akan memberikan pertumbuhan yang optimal bagi tanaman (Fahmi, 2013). Erwiyono (2005) mengemukakan bahwa media tanam di pembibitan umumnya menggunakan tanah lapisan atas (permukaan/topsoil) dengan pertimbangan lapisan tanah tersebut biasanya subur, gembur, aerase dan drainase cukup baik. Namun kadangkala dilakukan pengkombinasian media tanam untuk mendapatkan kondisi media tumbuh agar memiliki drainase dan aerase yang baik, struktur yang ringan, daya tukar kation yang baik sehingga tidak menghambat awal pertumbuhan tanaman.
Oleh sebab itu dilakukan pencampuran pasir pada media tanam yang bertujuan untuk menaikkan ruang pori, meningkatkan aerasi sehingga ketersediaan oksigen bagi akar tanaman bertambah, perkolasi diperlancar sehingga tercipta media yang cukup baik untuk pertumbuhan tanaman (Husniati, 2010). Pasir digunakan sebagai media alternatif yang menggantikan tanah. Pasir dianggap sesuai jika digunakan sebagai media untuk penyemaian benih, pertumbuhan bibit tanaman dan perakaran stek batang tanaman. Pasir berukuran antara 0,5 sampai 0,2 mm sehingga cukup baik digunakan sebagai media tanam karena media tanam menjadi lebih mudah basah dan cepat kering oleh proses penguapan (Husniati, 2010). Kekurangan dari pasir adalah miskin hara bagi tanaman. Hal ini disebabkan (1) tanah pasir mempunyai kemampuan perkolasi dan drainase air secara bebas sehingga membantu proses pencucian garam-garam mineral (2) bahan induk tanah pasir tidak mengabsorbsi kation-kation (3) tanah pasir mempunyai sedikit bahan organik. Sedangkan kelebihannya memiliki kondisi aerase yang baik sehingga membantu dekomposisi bahan organik secara cepat (Foth, 1984). Tanah bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang kecil, dan mempunyai pori tanah yang besar yang menyebabkan kapasitas menahan air menjadi rendah. Kekurangan tanah bertekstur pasir adalah kandungan bahan organik serta kesuburan kimia dan fisik yang rendah (Sitorus dan Badri, 2008). Semakin tinggi persentase pasir dalam tanah semakin banyak ruang poripori di antara partikel tanah, semakin dapat memperlancar gerakan udara dan air.
Dalam tata udara, hal ini sangat penting karena udara dalam tanah meningkat. Jika udara dalam tanah terbatas akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan akar, menghambat pernafasan akar, menghambat penyerapan air dan unsur hara dari dalam tanah (Hakim et al., 1986).