5
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bambu Berdasarkan definisi dari American Bamboo Society (2004), bambu adalah tumbuhan dari suku rumput-rumputan, dengan tinggi yang bervariasi dari kerdil (30 cm) hingga bambu raksasa yang dapat dimanfaatkan kayunya (40 meter). Liese (1991) menyatakan bahwa bambu merupakan salah satu tumbuhan dengan kecepatan tumbuh yang tinggi. Dalam waktu dua hingga empat bulan, spesies tertentu dapat mencapai tinggi 35 meter. Bambu merupakan tumbuhan asli di daerah tropis dan subtropis, dengan ciri memiliki batang berongga yang keras dan bercabang dan daun-daunnya panjang menyirip. Tamolang et al. dan Chen et al. dalam Liese (1991) menyebutkan bahwa buluh bambu mengandung 50% - 70% holloselulosa, 30 % pentosan dan 20% - 25 % lignin bergantung dari umur dan spesies buluh bambu. Berikut ini adalah taksonomi bambu dalam American Bamboo Society (2004): Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Subkelas
: Commelinidae
Ordo
: Cyperales
Familia
: Gramineae (Poaceae)
Subfamilia : Bambusoidae Suku
: Bambuseae
Subsuku
: Bambusinae
Genus
: Gigantochloa
Spesies
: Gigantochloa nigrociliata (BUSE) KURZ
6
Bambu merupakan produk hutan non-kayu yang penting di bidang pertanian dan mampu memenuhi kebutuhan komersial, sosial, lingkungan dan ekonomi. Bambu juga merupakan sumber daya alam serta produk pertaniankehutanan yang dapat diperbaharui, karena dapat dipanen secara menahun, dan dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi dan seratnya sebagai bahan kertas. (Ramakrishnan dalam Nath et al., 2004).
2.2. Rebung Menurut Blethen (2001), rebung adalah tunas bambu muda. Ada beberapa rebung yang dipanen untuk dimakan dan umumnya rebung tersebut dipanen sebelum usianya melebihi dua minggu karena secara umum apabila usianya melebihi dua minggu rebung tersebut cenderung keras dan memiliki rasa yang agak pahit. Rebung adalah makanan yang renyah dan lembut di lidah, dapat dibandingkan dengan asparagus serta memiliki flavor yang mirip dengan jagung. Menurut Midmore et al., (1998) Bambu-bambu yang dipanen rebungnya dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu: 1. Tipe merumpun dengan rhizoma (akar bawah tanah) yang pendek, di dalam ilmu botani disebut simpodial. 2. Tipe menyebar dengan rhizoma panjang, di dalam ilmu botani disebut monopodial. Berdasarkan masa pertumbuhannya di negeri empat musim, rebung dibagi menjadi dua jenis yaitu: 1. Rebung musim dingin. Rebung ini disukai di Asia karena memiliki tekstur yang lembut.
7
2. Rebung musim semi. Rebung ini memiliki flavor yang lebih berlemak. (Anonymous, 2004) Tipe rumpun lebih sesuai untuk ditanam di wilayah beriklim tropis maupun subtropis. Selain itu, rebung yang diperoleh lebih besar (tiap rebung dapat mencapai berat 5 kg ) setelah pertengahan musim panas. Sedangkan tipe menyebar lebih sesuai untuk ditanam di wilayah beriklim lebih dingin, dan ukuran rebungnya kecil ( berat tidak lebih dari 1,5 kg ) pada musim semi Secara umum di kawasan Asia Tenggara, terdapat lima genera bambu yang tunasnya populer untuk konsumsi yaitu Arundinaria, Bambusa, Dendrocalamus, Gigantochloa dan Phyllostachys (Midmore et al., 1998) sedangkan Indonesia, genera yang tunasnya dikonsumsi antara lain adalah Bambusa, Dendrocalamus, dan Gigantochloa (Widjaja, 1991b). Di dalam Tabel 1 ditunjukkan nama lokal serta nama ilmiah beberapa rebung yang dikonsumsi di Indonesia. Tabel 1. Beberapa Rebung yang Dikonsumsi di Indonesia No Nama Lokal 1. Bambu “Betung” 2. Bambu “Legi” 3. Bambu “Lengka” atau Bambu “Tabah” 4. Bambu “Ater” 5. Bambu “Mayan” 6. Bambu “Andong” 7. Bambu Kuning 8. Bambu “Duri” Sumber: Widjaja, (1991b)
Nama Latin Dendrocalamus asper Gigantochloa verticiliata Gigantochloa nigrociliata Gigantochloa ater Gigantochloa robusta Bambusa vulgaris Bambusa arundinaceae Bambusa glucesens
Bambu dari genus Gigantochloa sp. termasuk jenis bambu yang dibudidayakan secara komersial di Australia untuk dipanen rebungnya sejak tahun 2001. Rebung Gigantochloa ini memiliki ciri utama berwarna putih cerah. (Anonymous, 2005a). Beberapa jenis rebung dapat dikonsumsi dalam keadaan
8
mentah, misalnya rebung dari Dendrocalamus giganteus (Liese, 1991). Rebung tabah (Gigantochloa nigrociliata) dikonsumsi dalam keadaan mentah oleh masyarakat Bali, namun difermentasi oleh masyarakat Sunda (Widjaja, 1991 a). Tabel 2. Komposisi Rebung Mentah per Satuan Penyajian 100 gram Komponen Kandungan Protein (gram) 2,60 Kalori (cal) 27,00 Lemak (gram) 0,30 Karbohidrat (gram) 5,20 Serat (gram) 0,70 Air (gram) 91,00 Fosfor (miligram) 59,00 Kalsium (miligram) 13,00 Besi (miligram) 0,50 Potasium (miligram) 120,00 Abu (gram) 0,90 Kalium (miligram) 533,00 Vitamin A (SI) 20,00 Thiamin (miligram) 0,15 Riboflavin (miligram) 0,07 Niassin (miligram) 0,60 Vitamin B1 (miligram) 0,15 Sumber: Watt and Merrill (1975) dalam Kencana (1991) Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1981) dalam Kencana (1991) Rebung merupakan makanan yang rendah lemak jenuhnya, kolesterol. serta sodiumnya. Rebung merupakan sumber protein, vitamin E, Riboflavin, Niasin, dan Zat Besi. Selain itu rebung merupakan penyedia serat pangan, Thiamin, Vitamin B6, Phosporus, Potassium, Seng, Tembaga dan Mangan (Anonymous, 2005b).
9
2.3. Kalsium Klorida (CaCl2) Perendaman dalam larutan kalsium klorida (CaCl2) bertujuan untuk meningkatkan kekerasan dan mempertahankan tekstur. Menurut Winarno (1997), kalsium dapat mempertinggi kekerasan gel karena adanya ikatan kalsium dengan gugus karboksil melalui jembatan kalsium. Umumnya digunakan garam Ca, seperti kalsium klorida, kalsium sitrat, kalsium laktat, kalsium sulfat dan kalsium monofosfat. Kalsium klorida banyak digunakan sebagai bahan pengeras tekstur. Hal ini disebabkan terbentuknya ikatan antara kalsium dengan pektat membentuk kalsium pektat yang tidak larut dalam air (Winarno, 1997). Mishra (2002) menyebutkan bahwa perendaman produk pertanian setelah dipanen di dalam kalsium klorida (CaCl2) dapat dikombinasikan dengan perlakuan panas. Panas akan menyebabkan terbentuknya gugus COO- pada pektin yang terkandung dalam buah atau sayuran yang selanjutnya akan membentuk jembatan silang dengan Ca++. Hal tersebut menyebabkan dinding sel tidak bisa dihidrolisa oleh enzim yang dapat menyebabkan pelunakan. Selain mencegah pelunakkan perlakuan dengan kalsium klorida
juga
dapat
menghambat
pematangan dan pembusukan.
2.4 Karakteristik Fisiologis Pascapanen Rebung 2.4.1. Respirasi Kader dalam Weichmann (1987) mendefinisikan respirasi sebagai perombakan oksidatif substrat-substrat kompleks yang terdapat dalam sel, misalnya pati, gula dan asam-asam organik. Reaksi metabolik ini penting untuk mempertahankan organisasi sel dan mempertahankan membran sel-sel hidup.
10
Tujuan utama respirasi adalah mempertahankan suplai adenosin trifosfat (ATP). Respirasi anaerob melibatkan regenerasi ATP menjadi ADP (adenosin difosfat) dan Pi (fosfat inorganik). Apabila gula heksosa digunakan sebagai substrat, maka persamaan reaksi respirasi dapat ditulis sebagai berikut: C6H12O6 + 6O2 + 38 ADP + 38 Pi
6CO2 + 44H2O + 38 ATP
Respirasi aerob melibatkan serangkaian reaksi yang dikatalisa oleh suatu enzim spesifik dan memecah kompleks molekul menjadi lebih sederhana. Respirasi anaerob melibatkan konversi gula-gula heksosa menjadi alkohol dan CO2 (Kader dalam Weichmann, 1987). Pada periode pasca panen, respirasi memainkan peranan penting terutama dalam: 1. Kehilangan substrat. Penggunaan berbagai substrat dalam respirasi menyebabkan kehilangan cadangan makanan dalam jaringan dan kehilangan cita rasa (khususnya rasa manis). 2. Kebutuhan akan oksigen Konsentrasi O2 yang mencukupi harus tersedia untuk mempertahankan respirasi aerob. Hal ini perlu diperhatikan dalam melakukan prosedur penanganan pasca-panen, misalnya pelapisan dengan lilin (“waxing”), pelapisan permukaan (“coating”), pelapisan dengan film, dan pengemasan. 3.
Produksi karbon dioksida Pada beberapa sayuran, meningkatkan konsentrasi CO2 dapat digunakan untuk
memperlambat fase kematian.
11
4. Pelepasan energi panas Energi panas yang diproduksi oleh respirasi menjadi pertimbangan dalam memilih metode pengemasan yang tepat, penumpukan kemasan, dan fasilitas penyimpanan. Disebutkan di dalam Wills (1998) bahwa pada suhu tinggi kecepatan respirasi meningkat sehingga hal ini akan menyebabkan memendeknya umur simpan. Laju respirasi dan panas yang dilepaskan akan meningkat dengan naiknya suhu
penyimpanan.
Menurut
Tranggono
dan Sutardi (1990),
respirasi
menyebabkan terjadinya susut berat, pengerutan tekstur yang dapat menunjukkan penurunan kualitas komoditas. Muchtadi (1992) menambahkan bahwa respirasi dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal respirasi antara lain perkembangan organ, komposisi kimia jaringan, ukuran produk, dan jenis jaringan. Sedangkan faktor eksternal adalah temperatur, etilen, oksigen, karbon dioksida dan luka pada produk. Berikut dijelaskan dalam Robertson (1993) mengenai faktor-faktor tersebut: 1. Faktor internal yang mempengaruhi respirasi. Laju respirasi yang beragam terjadi pada perkembangan organ tumbuhan. Misalnya saat ukuran bertambah maka total CO2 yang dikeluarkan akan meningkat. Permukaan tumbuhan merupakan pembatas utama terjadinya difusi, dan tingkatan difusi gas O2, CO2, dan C2H4 akan memiliki pengaruh terhadap tingkatan respirasi. Perbedaan laju respirasi juga terjadi antara tipe buah klimaterik dengan non klimaterik. Buah klimaterik mengalami peningkatan laju respirasi dan produksi etilen, selain itu apabila dipacu pematangannya dengan etilen atau propilen akan mempercepat respirasi dan produksi etilen autokatalisis.
12
Pada buah jenis nonklimaterik, pematangan diperpanjang dan tingkat kematangan tidak terkait dengan peningkatan laju respirasi maupun produki etilen. Secara umum sayur-sayuran tidak menunjukkan perubahan metabolisme yang terjadi pada buah klimaterik. 2. Faktor eksternal yang mempengaruhi respirasi Temperatur merupakan faktor lingkungan yang penting dalam penanganan pasca panen karena memiliki pengaruh terhadap respirasi. Nilai rata-rata Q10 (rasio kenaikan laju respirasi pada interval 10 C) adalah 1,0 0C pada 0 C, 3,0 pada 10 C, 7,5 pada 20 C dan 15,0 pada 30 C dan 22,5 pada 40 C. Selain faktor suhu, konsentrasi oksigen juga mempengaruhi laju respirasi. Pada buah dan sayuran secara umum, apabila konsentrasi oksigen dikurangi hingga kurang dari 10% maka akan mengendalikan laju respirasi dan memperlambat kematian. Jika konsentrasi O2 rendah dan CO2 tinggi maka dapat mengurangi tingkatan dan terjadinya kerusakan fisiologis misalnya oleh etilen. Luka permukaan, memar dan lainnya yang merupakan kerusakan fisik dapat memacu respirasi dan tingkat produksi etilen. 2.4.2. Transpirasi Transpirasi adalah proses kehilangan air dalam bentuk gas dari jaringan hidup. Hilangnya air pada buah, sayuran atau umbi-umbian padat melalui lentisel atau lubang alami lainnya yang terdapat pada jaringan epidermis. Peristiwa ini mengakibatkan produk hortikutura menjadi layu atau berkerut, mengalami susut berat, tekstur lembek, dan produk kurang menarik sehingga kualitasnya menjadi lebih rendah (Makfoeld, 1992).
13
Selama produk tersebut di lahan atau belum dipanen, kandungan air produk selalu seimbang antara air yang dilepaskan dalam bentuk uap air karena penguapan dan air yang masuk. Perputaran air di dalam komoditi pascapanen sebelum dipanen dipasok oleh akar tanaman, yang menyerap air dari dalam tanah dan diedarkan keseluruh bagian tanaman. Kehilangan air dari produk pascapanen merupakan hal serius jika tidak ditanggulangi, karena dapat menyebabkan produk berubah bentuk dan ukuran, seperti mengkerut atau layu. Akibatnya, produk tersebut tidak berdaya guna lagi dan rusak (Soesanto, 1994) Transpirasi merupakan proses fisik yang dapat dikendalikan oleh berbagai perlakuan yang diberikan kepada komoditi, meliputi pelapisan permukaan dan membungkusan dengan film plastik, atau dengan memanipulasi lingkungan, misalnya dengan mempertahankan RH yang tinggi, penyimpanan suhu dingin dan pengendalian aliran udara.
2.5.
Perubahan Selama Penyimpanan
2.5.1. Perubahan Tekstur Selama proses pematangan, terjadi proses pelunakan jaringan akibat katabolisme polisakarida dinding sel (Tranggono, 1992). Secara kimiawi, susunan dinding sel terdiri dari selulosa, hemiselulosa, zat pektin, dan lignin. Secara normal selulosa didapat sebagai kristal-kristal tersebut saling bergandengan satu sama lainnya membentuk garis lurus yang disebut micelle. Zat inilah yang besar peranannya terhadap kerusakan mekanis dari dinding sel (Winarno, 2002) Perubahan komposisi dinding sel menyebabkan perubahan tekanan turgor sel. Perubahan ini mempengaruhi ketegaran tekstur sehingga tekstur menjadi lunak pada saat matang. Pektin yang terdapat pada lamella tengah akan berubah
14
menjadi senyawa yang mudah larut sehingga mempengaruhi tekanan turgor antar sel. Menurut Pantastico (1997), selama penyimpanan, turunnya ketegaran tekstur disebabkan oleh pembongkaran protopektin yang tidak larut menjadi asam pektat dan pektin yang lebih mudah larut. 2.5.2. Perubahan Warna Menurut Marshall et al (2000) pencoklatan enzimatis tidak terjadi pada sel tumbuhan yang utuh karena pada saat itu senyawa-senyawa fenolik di dalam vakuola sel masih terpisah dari enzim polyfenol oksidase (PPO) di dalam sitoplasma. Ketika jaringan mengalami kerusakan, enzim dan senyawa-senyawa fenolik bereaksi sehingga melanin terbentuk. Laju pencoklatan enzimatis ditentukan oleh kandungan PPO aktif dalam jaringan, kandungan senyawa fenolik, pH, temperatur dan ketersediaan oksigen di dalam jaringan. Untuk mengendalikan aktivitas enzim PPO, dikembangkanlah langkah-langkah untuk menghilangkan satu atau lebih komponen penting bagi terjadinya reaksi pencoklatan yaitu dengan mengendalikan oksigen, enzim, tembaga, atau substrat.
2.6. Penanganan Pascapanen 2.6.1. Pengemasan Vakum Umumnya kemasan ditujukan untuk menghindari kerusakan yang disebabkan oleh mikroba, fisik, kimia, biokimia, perpindahan uap air dan gas, sinar ultra violet dan perubahan suhu. Kemasan harus ekonomis, mampu menekan ongkos produksi, mudah dikerjakan secara nasional, tidak mudah bocor dan mudah dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi. Saat ini kemasan plastik menempati bagian yang sangat penting dalam industri pengemasan. Namun plastik mempunyai kelemahan yaitu umumnya tidak
15
tahan terhadap temperatur tinggi. Pengemas plastik yang umum digunakan adalah polietilen (PE). Sifat umum plastik polietilen adalah pada temperatur rendah menjadi keras, ketahanan kimia sangat baik, permeabilitas terhadap udara dan gas cukup tinggi, permeabilitas terhadap uap air rendah, sifat pengerutan tinggi, fleksibilitas tinggi, tidak terasa dan tidak berbau. Laju penyerapan atmosfer sangat tergantung pada struktur film permeabel, ketebalan, luas permukaan, suhu, berat produk, volume kemasan dan perbedaan kandungan atmosfir antara bagian dalam dan luar kemasan (Park et al., 2005). Laju respirasi yang dikemas merupakan parameter
penting
untuk
mendapatkan
lingkungan
yang
sesuai dalam
mempertahankan parameter, dan untuk mendapatkan kesegaran. Masa simpan komoditas hortikultura dikendalikan oleh suhu, kelembaban nisbi, komposisi O 2 dan CO2 lingkungan, karena itu permeabilitas kemasan merupakan faktor penting. 2.6.2. Penyimpanan Suhu Rendah Penyimpanan pada suhu rendah merupakan metode penyimpanan yang paling utama dibandingkan metode lainnya. Namun demikian, pendinginan dengan suhu optimumlah yang mampu menjaga mutu produk, kesegaran produk, memperlambat laju respirasi, dan mencegah kerusakan akibat fisiologi maupun mikrobiologis. Penyimpanan yang baik dan perlakuan yang tepat pada bahan pangan akan dapat mempertahankan
kesegarannya tanpa harus mengalami
penurunan mutu. Masing-masing produk pascapanen mempunyai kisaran suhu simpan yang berbeda. Hal ini penting diketahui agar penanganan produk pasca panen, khususnya penyimpanan, dapat dilakukan dengan tepat, sehingga tujuan penyimpanan dapat tercapai (Soesanto, 2006).
16
Kegunaan suhu rendah pada tempat penyimpanan sebagian besar karena pengaruhnya dalam menurunkan kerja (aktivitas) enzim-enzim respirasi dengan enzim lain pada jaringan tumbuhan tingkat tinggi, bakteri, dan cendawan. Kecepatan proses respirasi dipengaruhi oleh suhu. Dengan mengatur suhu tempat penyimpanan komoditi segar dapat memperlambat proses respirasi lanjutan. Berkurangnya repirasi akan menghambat kerusakan jaringan sel dan secara tidak langsung dapat mencegah masuknya mikroba, sehingga menghambat proses pembusukan selama penyimpanan (Reed, 2004). Suhu ruang penyimpanan produk hortikultura tidak boleh terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah. Suhu yang tinggi dapat mempercepat reaksi biokomia sehingga proses ripening dan senescence akan berlangsung lebih cepat. Sementara suhu terlalu rendah dapat mengakibatkan produk yang tidak tahan dengan suhu rendah akan mengalami kerusakan (chilling injury). Kerusakan akan tampak apabila produk tersebut dikeluarkan dari tempat penyimpanan ke suhu kamar, meskipun hanya dalam waktu singkat. Kerusakan yang terjadi berupa perubahan warna baik bagian luar ataupun bagian dalam produk, yang tampak berwarna coklat ataupun hitam, serta terjadinya perubahan ketegangan buah. Selain itu, dibagian kulit produk tampak bintik-bintik, noda cekung / tenggelam, dan kondisi kering. Produk menjadi lunak dan sangat rentan terhadap serangan mikroba patogen pascapanen (Soesanto, 2006).