BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pernyataan ASHP tentang Asuhan Kefarmasian ASHP (American Society of Health- System Pharmacists) adalah organisasi profesional yang mewakili kepentingan apoteker yang berpraktik dirumah sakit, organisasi perawatan kesehatan, fasilitas perawatan jangka panjang, perawatan di rumah, dan komponen lainnya dari sistem perawatan kesehatan. Organisasi ini berada
di
bawah
naungan
American
Pharmacist
Asociation
(APhA).
ASHP membuat pernyataan tentang asuhan kefarmasian, bertujuan untuk membantu apoteker memahami asuhan kefarmasian sebagai perkembangan baru transformasi apoteker di Amerika (ASHP, 1993). 2.1.1 Asuhan Kefarmasian Istilah
asuhan
kefarmasian
(pharmaceutical
care)
pada
awalnya
dipublikasikan oleh Brodie pada tahun 1973 dalam konteks gagasan tentang pengendalian penggunaan obat, dan pelayanan yang terkait dengan obat. Selanjutnya istilah asuhan kefarmasian digunakan secara luas dan merupakan suatu konsep yang telah ditulis dan didiskusikan dalam berbagai lingkungan profesi farmasi, khususnya sejak paper Hepler dan Strand dipublikasikan pada tahun 1990. Konsep asuhan kefarmasian telah diterima secara formal oleh ASHP dan juga telah diakui oleh organisasi-organisasi farmasi nasional di Amerika Serikat dengan beberapa atau sedikit variasi. Implementasi asuhan kefarmasian menjadi fokus utama konferensi ASHP pada bulan Maret 1993 (ASHP, 1993). ASHP menyadari bahwa asuhan kefarmasian adalah suatu konsep baru yang menggambarkan pertumbuhan profesi apoteker yang melebihi aktifitas praktik
7
apoteker klinik, dan melebihi praktik- praktik apoteker yang lain, termasuk dispensing dan persiapan pengobatan. Seluruh aktivitas profesional apoteker selama ini adalah penting, namun demikian ASHP sangat menganjurkan bagi setiap apoteker untuk terlibat didalam asuhan kefarmasian. Dalam praktik aktivitas ini diintegrasikan dengan dan mencapai puncaknya dalam kegiatan farmasi klinik yang dilakukan oleh apoteker secara individu kepada pasien secara individu (ASHP, 1993). Pada tahun 1992 anggota ASHP mendesak penyusunan suatu pengakuan resmi ASHP terhadap definisi asuhan kefarmasian. Asuhan kefarmasian adalah tanggungjawab pemberian asuhan penggunaan obat secara langsung dengan maksud mencapai hasil pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Asuhan kefarmasian tidak hanya aktifitas terapi obat, melainkan juga keputusan penggunaan obat dan rangkaian proses asuhan untuk pasien secara individual. Rangkaian proses asuhan kefarmasian meliputi seleksi obat, dosis, route dan cara minum obat, medication therapy monitoring, dan penyediaan layanan Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) pada pasien secara individu, terkait masalah obat dan pengobatan. Intisari dari konsep asuhan adalah mengasuh, yaitu memberikan perhatian kepada seseorang atau individu. Pada saat tim profesional kesehatan melaksanakan eksekusi beberapa asuhan (medis, perawatan, dan kefarmasian) apoteker memberikan kontribusi yang unik berupa ilmu dan ketrampilan untuk menjamin tercapainya hasil terapi yang optimal dari penggunaan obat.Inti dari asuhan kepada pasien adalah, terjadinya hubungan individual antara pemberi pelayanan asuhan dengan penerima pelayanan asuhan atau pasien (ASHP, 1993).
8
Menurut asuhan kefarmasian “satuan” komponen asuhan yang tidak dapat diabaikan adalah seorang apoteker terkait dengan
profesionalnya harus
berhadapan langsung dengan pasien. Dalam hubungan ini apoteker menyediakan layanan asuhan langsung kepada pasien,agar pasien mendapat keuntungan/ manfaat. Kesehatan dan kenyamanan pasien adalah puncak dari hasil yang diharapkan.Dalam kaitan itu apotekerharus bekerja sama secara langsung dengan profesional kesehatan lain dan dengan pasien untuk mendesain, menerapkan, dan memonitor rencana terapi agar tujuan terapi tercapai sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien (ASHP, 1993). 2.1.2 Medication Related Problem (MRP) atau Drug Related Problems (DRPs) Tujuan yang akan dicapai oleh asuhan kefarmasian adalah meningkatkan kualitas hidup pasien melalui pencapaian hasil terapi terkait dengan penggunaan/ terapi obat, meliputi: a. Penyembuhan pasien dari penyakit. b. Mengurangi atau menghilangkan gejala penyakit. c. Menghentikan atau menghambat proses penyakit. d. Mencegah penyakit atau gejala penyakit. Hal ini mencakup tiga fungsi utama yaitu: a. Identifikasi MRP atau DRPs baik aktual maupun potensial. b. Mengatasi MRP/ DRPs yang aktual. c. Mencegah munculnya MRP/ DRPs yang potensial. DRPs adalah suatu kejadian terapi pengobatan yang secara potensial dapat mempengaruhi hasil yang optimum bagi pasien tertentu, sekurang- kurangnya adalah (PCNE, 2006) sebagai berikut:
9
a. Indikasi yang tidak terobati: pasien dengan problem kesehatan tetapi tidak menerima obat sesuai dengan indikasi. b. Pemilihan obat yang tidak tepat: pasien dengan indikasi obat tertentu tetapi tidak menerima obat sesuai dengan indikasi. c. Dosis yang kurang: pasien dengan problem kesehatan tertentu diberikan obat yang benar tetapi dosisnya terlalu kecil/ kurang. d. Pengobatan yang salah: pasien dengan problem kesehatan tertentu tetapi tidak menerima terapi obat karena alasan psikologikal, sosial atau ekonomi. e. Over dosis: pasien dengan problem kesehatan tertentu menerima obat yang benar tetapi dosisnya terlalu besar. f. Adverse drug reactions (ADR): pasien memiliki problem kesehatan yang diakibatkan oleh terjadinya ADR atau efek samping. g. Interaksi obat: pasien memiliki masalah kesehatan yang diakibatkan oleh terjadinya interaksi obat dengan obat atau obat dengan makanan atau antara obat dengan tes laboratorium. h. Penggunaan obat tanpa indikasi: pasien menggunakan obat tanpa indikasi medis yang valid. 2.1.3 Apoteker dan Asuhan Kefarmasian Pada dasarnya komitmen apoteker terhadap pencapaian hasil pengobatan bagi individu pasien merupakan elemen penting dalam konsep asuhan kefarmasian. Ekspektasi bahwa apoteker bertanggung jawab terhadap outcome pengobatan (individual) pasien sebagai hasil dari tindakan apoteker merupakan representasi dan kemajuan yang signifikan dari continuing education seorang profesional apoteker. Ketentuan asuhan kefarmasian mencerminkan kematangan
10
profesi farmasi sebagai profesi klinisi dan evolusi natural dari lebih matangnya kegiatan klinikal farmasi oleh seorang apoteker. ASHP meyakini bahwa asuhan kefarmasian adalah suatu hal yang fundamental bagi profesi untuk membantu manusia agar dapat menggunakan obat secara baik dan benar. Ini adalah suatu konsep yang universal yang meliputi segala tipe pasien dan seluruh kategori apoteker etika asuhan kefarmasian dapat diterapkan dan dapat dicapai oleh setiap apoteker dalam seluruh pengaturan praktik (ASHP, 1993). Asuhan kefarmasian bukanlah semacam mandat formal atau lokasi/ tempat bekerja, melainkan lebih kepada hubungan personal, profesional yang bertanggung jawab dengan pasien untuk memastikan bahwa penggunaan obat oleh pasien mencapai hasil yang optimal sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Apoteker harus komit untuk memberikan asuhan yang berkesinambungan kepada pasien secara individual (ASHP, 1993). Apoteker mempunyai beban tanggung jawab untuk meyakinkan bahwa asuhan kepada pasien adalah asuhan yang berkelanjutan/ terus menerus yang tidak terganggu dengan pekerjaan shift, week end atau liburan. Konsekuensi yang penting dari kondisi ini adalah apoteker yang memberikan asuhan kefarmasian perlu bekerja sama dalam tim apoteker yang memberikan layanan back up ketika apoteker penanggung jawab layanan sedang berhalangan. Selain itu apoteker penanggung jawab harus meyakinkan bahwa kesinambungan asuhan tetap berlanjut ketika pasien berpindah dari satu bidang pelayanan medis ke bidang pelayanan medis yang lain, sebagai contoh ketika pasien telah diperbolehkan pulang dari rumah sakit dan berubah menjadi pasien rawat jalan, maka dalam ketentuan asuhan kefarmasian diperlukan adanya kemunikasi profesional
11
(tentang pasien ini) antara apoteker dirumah sakit dengan apoteker dimana pasien tinggal. (ASHP, 1993). ASHP memberikan rekomendasi perlu dikembangkan Standar Operasional Prosedur (SOP) asuhan kefarmasian yang akan meningkatkan komunikasi profesional. Asuhan kefarmasian dapat dipahami sebagai pokok praktik farmasi dan juga sebagai pokok proses penggunaan obat. Selanjutnya sistem penggunaan obat yang dilakukan oleh apoteker harus didesain untuk mendukung tersedianya asuhan kefarmasian oleh apoteker secara individu (ASHP, 1993). ASHP meyakini bahwa dalam pengaturan sistem pelayanan kesehatan, asuhan kefarmasian dapat disediakan dengan sukses bila merupakan bagian dari departemen farmasi pusat dan bila aktivitas manajemen mendukung ketentuan asuhan kefarmasian oleh individu apoteker. Pendekatan ini didukung oleh staf di barisan depan yang menyediakan asuhan langsung kepada pasien secara individu dan didukung oleh manajer, apoteker lain dan sistem secara keseluruhan.Ini adalah merupakan hal baru bagi kebanyakan apoteker dan para manajer. Kewajaran pendekatan ini ialah apoteker menyediakan asuhan kefarmasian dalam sistem pelayanan kesehatan dan tidak dapat menyediakan asuhan kefarmasian sendirian. Apoteker harus bekerja dalam kelompok sejawat yang saling membutuhkan (interdependent) dan disiplin profesi lain, dalam suatu sistem yang didukung oleh staf dan manager. Ini adalah tugas seorang apoteker yang sedang memegang jabatan untuk mendesain sistem kerja dan praktik yang fokus pada upaya dan kegiatan-kegiatan yang mendukung terpenuhinya kebutuhan pasien (ASHP, 1993).
12
Sebagian pasien akan membutuhkan asuhan kefarmasian dengan tingkat yang berbeda satu dengan yang lain, dan ini mungkin bermanfaat untuk mendesain sistem kerja dengan beberapa variasi perbedaan. Dalam ketentuan asuhan kefarmasian, apoteker menggunakan pengetahuan dan ketrampilan penggunaan terapi obat yang unik untuk mengevaluasi masalah penggunaan obat yang potensial. Untuk itu perlu akses langsung ke informasi klinik pasien secara individual. Mereka membuat keputusan tentang penggunaan obat dan kemudian advokasi penggunaan obat yang optimal bagi individual pasien dan bekerja sama dengan profesional lain sebagai pertimbangan untuk kepentingan evaluasi dan pengetahuan profesional yang unik (ASHP, 1993). Asuhan kefarmasian meliputi partisipasi aktif pasien (atau anggota famili yang ditunjuk) terkait dengan pengunaan obat. Pengakuan tanggung jawab apoteker dalam hasil terapi sebagai akibat dari tindakan penggunaan obat tidak berarti bahwa apoteker memiliki kewenangan eksklusif dalam penggunaan obat. Profesional pelayanan kesehatan lain termasuk dokter dan perawat memiliki peran penting yang telah mapan dan telah diakui dalam proses pengobatan. Konsep asuhan kefarmasian tidak mengurangi peran profesi kesehatan lain, dan tidak mempengaruhi atau perebutan kewenangan oleh apoteker. Tindakan apoteker dalam asuhan kefarmasian harus dipandang dan dilaksanakan secara kolaboratif. Pengetahuan, ketrampilan, dan tradisi apoteker, bagaimanapun membuat mereka menjadi pemimpin yang sah (legitimate leader) dalam upaya-upaya oleh tim pelayanan kesehatan untuk meningkatkan penggunaan obat bagi pasien. Asuhan kefarmasian memerlukan hubungan langsung antara apoteker dengan pasien secara personal (ASHP, 1993).
13
2.2 Nyeri Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2004). Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan bersifat sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatnya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Karjadi, 2000). 2.2.1 Klasifikasi Nyeri 2.2.1.1 Klasifikasi Berdasarkan Durasi (Awitan) Berdasarkan waktu kejadian (onset) dan stimulus penyebab, nyeri dapat dikelompokkan sebagainyeri akut dannyeri kronis (Tamsuri, 2004): a. Nyeri akut Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam waktu (durasi) dari 1 detik sampai dengan kurang dari enam bulan. Disebut nyeri akut bila penyebab dan lokalisasi nyeri jelas. Umumnya berhubungan dengan kerusakan jaringan dan nyeri hilang bila kerusakan jaringan membaik. Nyeri akut mumnya terjadi pada cedera, penyakit akut, atau pada pembedahan dengan awitan yang cepat dan tingkat keparahan yang bervariasi (sedang sampai berat). b. Nyeri kronis Nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi dalam waktu lebih dari enam bulan. Nyeri kronis umumnya timbul tidak teratur, intermiten, atau bahkan persisten. Karakteristik nyeri kronis adalah penyembuhannya tidak dapat diprediksi meskipun penyebabnya mudah ditentukan (namun, pada beberapa kasus sulit
14
ditemukan). Nyeri kronis dapat menyebabkan pasien merasa putus asa dan frustasi. Nyeri ini dapat menimbulkan kelelahan mental dan fisik. 2.2.1.2 Klasifikasi Berdasarkan Organ Berdasarkan pada organ tempat timbulnya, nyeri dapat dikelompokkan dalam tiga jenis (Tamsuri, 2004): a. Nyeri organik Nyeri organik adalah nyeri yang diakibatkan adanya kerusakan (aktual atau potensial) organ. Penyebab nyeri umumnya mudah dikenali dengan adanya cedera, penyakit, atau pembedahan terhadap salah satu atau beberapa organ. b. Nyeri neurogenik Nyeri neurogenik adalah nyeri akibat gangguan neuron, misalnya pada neuralgia. Nyeri ini dapat terjadi secara akut maupun kronis. c. Nyeri psikogenik Nyeri psikogenik adalah nyeri akibat berbagai faktor psikologis. Gangguan ini lebih mengarah pada gangguan psikologis dari pada gangguan organ.Penderita yang menderita memang mengalaminya. Nyeri ini umumnya terjadi ketika efek- efek psikogenik seperti cemas dan takut timbul pada pasien. 2.2.1.3 Klasifikasi Berdasarkan Derajat Nyeri Berdasarkan derajat nyeri maka nyeri dikelompokkan menjadi tiga jenis (Tamsuri, 2004), yaitu: a. Nyeri ringan Nyeri ringan adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu melakukan aktivitas sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.
15
b. Nyeri sedang Nyeri sedang adalah nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang apabila penderita tidur. c. Nyeri berat Nyeri berat adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari, penderita tak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu tidur. 2.2.1.4 Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Nyeri Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dapat dibedakan menjadi enam jenis (Tamsuri, 2004), yaitu: a. Nyeri superfisial biasanya timbul akibat stimuIasi terhadap kulit seperti pada laserasi, luka bakar, dan sebagainya. Nyeri jenis ini memiliki durasi yang pendek, terlokalisir, dan memiliki sensasi yang tajam. b. Nyeri somatik dalam (deep somatic pain) Nyeri somatik dalam adalah nyeri yang terjadi pada otot dan tulang serta struktur penyokong lainnya, umumnya nyeri bersifat tumpul dan distimulasi dengan adanya peregangan dan iskemia. c. Nyeri viseral Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh kerusakan organ internal. Nyeri yang timbul bersifat difus dan durasinya cukup lama. Sensasi yang timbul biasanya tumpul. d. Nyeri alih (referred pain) Nyeri alih adalah nyeri yang timbul akibat adanya nyeri viseral yang menjalar ke organ lain, sehingga dirasakan nyeri pada beberapa tempat atau lokasi. e. Nyeri sebar Nyeri sebar adalah sensasi nyeri yang meluas dari daerah asal ke jaringan 16
sekitar. Nyeri jenis ini biasanya dirasakan oleh pasien seperti
berjalan/
bergerak dari daerah asal nyeri ke sekitar atau ke sepanjang bagian tubuh tertentu. Nyeri dapat bersifat intermiten atau konstan. f. Nyeri fantom Nyeri fantom adalah nyeri khusus yang dirasakan oleh pasien yang mengalami amputasi. Nyeri oleh pasien dipersepsi berada pada organ yang telah diamputasi seolah-olah organnya masih ada. Contohnya adalah pada pasien yang menjalani operasi pengangkatan payudara atau pada amputasi ekstremitas. 2.2.2 Respon terhadap Nyeri Respon terhadap nyeri meliputi Respon fisiologis dan Respon perilaku. Untuk nyeri akut, respon fisiologisnya adalah adanya peningkatan tekanan darah (awal) peningkatan denyut nadi, peningkatan pernapasan, dilatasi pupil, dan keringat
dingin.
Respon
perilakunya
adalah
gelisah,
ketidakmampuan
berkonsentrasi, ketakutan, dan distres. Untuk nyeri kronis, respon fisiologisnya adalah tekanan darah normal, denyut nadi normal, respirasi normal, pupil normal, kulit kering. Respon perilakunya berupa imobilisasi atau ketidak aktifan fisik, menarik diri, dan putus asa, karena tidak ditemukan gejala dan tanda yang mencolok dari nyeri kronis. Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup (Tamsuri, 2004): a. Pernyataan verbal (mengaduh, menangis, merintih, menjerit, bicara terengahengah). b. Ekspresi wajah (meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir, membuka lebar mata dan mulut).
17
c. Gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari dan tangan). d. Kontak dengan orang lain/ interaksi sosial (menghindari percakapan, menghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian, fokus pada aktifitas menghilangkan nyeri). 2.2.2.1 Penilaian Intensitas Nyeri Penilaian nyeri merupakan hal yang penting dalam penanganan nyeri pasca bedah karena dapat digunakan untuk (Ivan, 2012): a. Menilai intensitas nyeri pasien pasca bedah. b. Menentukan pilihan terapi bagi pasien pasca bedah. c. Menentukan efektifitas terapi nyeri pasca bedah yang telah diberikan. Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda (Tamsuri, 2004). Ada empat skala yang umum digunakan untuk menentukan derajat intensitas nyeri yaitu: a. Face Pain Rating Scale Skala ini digunakan untuk pasien yang mengalami sulit berkomunikasi. Misalnya anak-anak, orang tua, pasien jiwa, pasien gangguan mental atau pasien yang tidak dapat berbicara dengan bahasa setempat. Menurut Wong dan Baker, pengukuran skala nyeri menggunakan Face Pain Rating Scale yaitu terdiri dari 6 wajah kartun mulai dari wajah yang tersenyum untuk “tidak ada nyeri” hingga wajah yang menangis untuk “nyeri berat”. Pengukuran skala nyeri menggunakan
18
Face Pain Rating Scale untuk dewasa dan anak > 3 tahun. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Tidak sakit
Sedikit sakit
Agak mengganggu
Mengganggu aktivitas
Sangat mengganggu
Tak tertahankan
Gambar 2.1. Face Pain Rating Scale. (dikutip dari: Anonim, 2001; Wong, et all. 2001)
b. Numerical Rating Scale (NRS) Skala terdiri dari pada angka nol sampai ke lima atau nol sampai sepuluh di mana pasien ditanya tentang intensitas nyerinya dalam bentuk angka. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2.
0
1
2
3
4
5
tidak nyeri
ringan
Sedang
cukup
sangat
nyeri hebat
NYERI
SKOR
Ringan
1-3
Sedang
4-6
Berat
7-10
Gambar 2.2. Numerical Rating Scale (dikutip dari : Anonim, 2001; Wong, et all. 2001)
19
c. Visual Analog Scale (VAS) VAS merupakan skala yang paling sering digunakan dalam penelitian. Merupakan skala berbentuk garis lurus sepanjang 100 milimeter dimana pasien membuat tanda silang pada garis yang mengambarkan intensitas nyerinya. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Visual Analog Scale (VAS). (dikutip dari : Anonim, 2001; Wong, et all. 2001) d. Verbal Descriptor Scale (VDS) Dalam skala VDS pasien ditanya tentang derajat nyeri. Yaitu nyeri ringan, sedang, dan berat menggunakan deskripsi kata untuk menggambarkan intensitas nyeri. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.4.
VDS
SKOR
Ringan
1
Sedang
2
Berat
3
Gambar 2.4. Verbal Descriptor Scale (VDS). (dikutip dari : Anonim, 2001; Wong, et all. 2001)
20
2.2.2.2 Faktor-faktor yang Sangat Mempengaruhi Kualitas, Intensitas dan Lamanya Nyeri Pasca Bedah dapat disebutkan sebagai berikut: a. Lokasi operasi Lokasi operasi, jenis operasi dan lamanya operasi serta berapa besar kerusakan ringan akibat operasi tersebut; Pembedahan pada daerah ini memerlukan penangkal nyeri yang kuat (Ifan, 2010). Dari segi pembedahan, lokasi nyeri pasca bedah yang paling sering terjadi dan sifat nyerinya paling hebat (severe) adalah sebagai berikut: i. Operasi daerah thocaro – abdominal. ii. Operasi ginjal. iii. Operasi columna vertebralis (spine). iv. Operasi sendi besar. v. Operasi tulang panjang (large Bone) di extrimitas. vi. Operasi didaerah anorektal. Pembedahan pada daerah ini memerlukan penangkal nyeri yang adekuat. b. Persiapan operasi Persiapan operasi baik fisik, psikologik dan pharmakologik dari penderita oleh anggota tim pembedahan atau dengan kata lain disebut pelaksanaan perioperatif dan premedikasi (Ifan, 2010). Pemeriksaan awal, pasien diklasifikasi berdasarkan kategori American Society of Anesthesiologist (ASA) yaitu klasifikasi yang membagi pasien ke dalam 5 kelompok atau kategori untuk menentukan prognosis pasien pra anestesi. Penilaian ASA berdasarkan Phisycal Status (PS) pasien yang didapat dari anamnesa, pemeriksaan laboratorium, EKG, EEG, Echo, USG, CT Scan, maupun pemeriksaan penunjang lainnya. Adapun klasifikasi kondisi pasien 21
berdasarkan American Society of Anesthesiologist (ASA). (ASA, 2004) tersebut adalah: i. ASA 1: pasien dalam keadaan sehat dan normal yang memerlukan pembedahan. ii. ASA 2: pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang. iii. ASA 3: pasien dengan penyakit sistemik berat. iv. ASA 4: pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam jiwa. v. ASA 5: pasien tidak ada harapan hidup. Kemudian dilanjutkan pelaksanaan perioperatif berikutnya (Ifan, 2010), antara lain: i. Adanya komplikasi yang erat hubungannya dengan pembedahan. ii. Pengelolaaan anestesi baik sebelum, selama, sesudah pembedahan. iii. Kualitas dari perawatan pasca bedah. iv. Suku, ras, warna kulit, karakter dan sosiokultural penderita. v. Jenis kelamin, perempuan lebih cepat merasakan nyeri. vi. Umur, ambang rangsang orang tua lebih tinggi. vii. Kepribadian, pasien neurotik lebih merasakan nyeri bila dibandingkan dengan pasien dengan kepribadian normal. viii. Pengalaman pembedahan sebelumnya, bila pembedahan di tempat yang sama rasa nyeri tidak sehebat nyeri pembedahan sebelumnya. ix. Motivasi pasien, pembedahan paliatif tumor ganas lebih nyeri dari pembedahan tumor jinak walaupun luas yang diangkat sama besar. x. Fisiologik, psikologik dari penderita.
22
2.2.3 Fisiologi Nyeri Nyeri merupakan campuran fisik, emosi dan perilaku, cara yang paling baik untuk memahami pengalaman nyeri, akan membantu untuk menjelaskan komponen fisiologis berikut, yaknipersepsi dan reaksi. Respons fisiologis terhadap nyeri dapat mencakup pernyataan verbal, perilaku vokal, ekspresi wajah, gerakan tubuh, kontak fisik dengan orang lain, atau perubahan respon terhadap lingkungan (Tamsuri, 2004). 2.2.3.1 Reseptor Nyeri Reseptor untuk stimulus nyeri disebut juga nosiseptor adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespons hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Secara anatomis, reseptor nyeri (nosiseptor) ada yang bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari saraf aferen. Reseptor nyeri (nosiseptor) dapat dibagi (Tamsuri, 2004): a. Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokkan di beberapa bagian tubuh yaitu : i. Pada kulit (kutaneus). Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen, yaitu: a) Serabut A delta Serabut A delta merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6- 30 m/ det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam,yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan. b) Serabut C Serabut C merupakan serabut komponen lambat (kecepatan transmisi
23
0,5- 2m/ detik) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam. Nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi. ii. Somatik dalam (deep somatic). Nosiseptor somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, saraf, otot,dan jaringan penyangga Iainnya. Karena struktur reseptornya kompleks, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi. iii. Didaerah viseral. Nosiseptor visceral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal, dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya difus (terus-menerus). Nyeri yang timbul dari reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia, dan inflamasi. b. Berdasarkan jenis rangsang yang dapat diterima oleh nosiseptor, didalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis nosiseptor yaitu: i. Nosiseptor termal. ii. Nosiseptor mekanik. iii. Nosiseptor elektrik. iv. Nosiseptor kimia. Adanya berbagai macam nosiseptor ini memungkinkan terjadinya nyeri karena pengaruh mekanis, kimia, listrik, atau karena perubahan suhu. Bila stimulus timbul akibat adanya kerusakan jaringan, mekanisme tersebut diatas melewati 4 tahapan (Tamsuri, 2004), yaitu: a. Transduksi Tranduksi nyeri adalah proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktifitas listrik di reseptor nyeri.
24
b. Transmisi nyeri Transmisi nyeri melibatkan proses penyaluran impuls nyeri dari tempat tranduksi melewati saraf perifer sampai di terminal medulla spinalis dan jaringan neuron-neuron pemancar yang naik dari medulla spinalis ke otak. c. Modulasi nyeri Modulasi nyeri melibatkan aktifitas saraf melalui jalur-jalur saraf desendens dari otak yang dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. d. Persepsi nyeri Persepsi nyeri yaitu pengalaman subjektif nyeri yang bagaimanapun juga dihasilkan oleh aktifitas transmisi nyeri oleh saraf. 2.2.4 Penyebab Nyeri Penyebab nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan (Tamsuri, 2004), yaitu: a. Penyebab yang berhubungan dengan fisik. Secara fisik misalnya, penyebab nyeri adalah trauma (baik trauma mekanik, termis, kimiawi, maupun elektrik), neoplasma, peradangan, gangguan sirkulasi darah, dan lain-lain. b. Penyebab yang berhubungan dengan psikis. Secara psikis, penyebab nyeri dapat terjadi oleh karena adanya trauma psikologis. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nyeri yang disebabkan oleh faktor fisik berkaitan dengan terganggunya serabut saraf reseptor nyeri. Serabut saraf ini terletak dan tersebar pada lapisan kulit dan pada jaringan–jaringan tertentu yang terletak lebih dalam.
25
2.2.5 Neuroregulator Nyeri Neuroregulator atau substansi yang berperan dalam transmisi stimulus saraf dibagi dalam dua kelompok besar (Tamsuri, 2004),yaitu: a. Neurotransmitter Neurotransmiter mengirimkan impuls-impuls elektrik melewati rongga sinaps antara dua serabut saraf, dan dapat bersifat sebagai penghambat atau dapat pula mengeksitasi. Neurotransmiter Substansi P (Peptida), Serotonin, dan Prostaglandin. b. Neuromodulator Neuromodulator
bekerja
untuk
memodifikasi
aktivitas
neuron
tanpa
mentransfer secara langsung sinyal sinyal menuju sinaps. Beberapa neuroregulator yang berperan dalam penghantaran impuls nyeri antara lain adalah, neuromodulator endorfin (morfin endogen), dan bradikinin. 2.2.6 Transmisi Nyeri Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan. Teori yang menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul (Tamsuri, 2004): a. Teori Spesivisitas (Specivicity Theory) Teori ini digambarkan oleh Descartes pada abad ke 17. Teori ini didasarkan pada kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh yang secara khusus mentransmisi rasa nyeri. Saraf ini diyakini dapat menerima rangsangan nyeri dan mentransmisikannya melalui ujung dorsal dan substansia gelatinosa ke talamus, yang akhirnya akan dihantarkan pada daerah yang lebih tinggi sehingga timbul respons nyeri. Teori ini tidak menjelaskan bagaimana faktor-
26
faktor multi dimensional dapat mempengaruhi nyeri. b. Teori Pola (Pattern Theory) Teori ini menerangkan bahwa ada dua serabut nyeri, yaitu serabut yang mampu menghantarkan
rangsang
dengan
cepat,
dan
serabut
yang
mampu
menghantarkan rangsang dengan lambat. c. Teori Gerbang Kendali Nyeri (Gate Control Theory) Pada tahun 1959, Melzack and Wall menjelaskan teori gerbang kendali nyeri, yang menyatakan terdapat sejenis pintu gerbang yang dapat memfasilitasi atau memperlambat transmisi sinyal nyeri. 2.2.7 Penanganan Nyeri Pasca Bedah Menurut Tamsuri (2004), menjelaskan bahwa ada beberapa tindakan untuk mengatasi nyeri, yaitu: tindakan non farmakologis (tanpa pengobatan) dan tindakan pengobatan (farmakologis). a. Tindakan non farmakologis terdiri dari berbagai tindakan penanganan nyeri berdasarkan stimulasi fisik maupun perilaku kognitif. Penanganan fisik meliputi stimulasi kulit, stimulasi elektrik saraf kulit transkutan (TENS, Transcutaneous Electrinical Nerve Stimulation), dan akupuntur. Intervensi perilaku kognitif meliputi tindakan distraksi, teknik relaksasi, imajinasi terbimbing, hipnosis, dan sentuhan terapeutik. Tindakan pengobatan (farmakologis) dalam pengelolaan nyeri pasca bedah dapat dilakukan sebagai berikut: i. Profilaktik Incidance, derajat dan lamanya nyeri pasca bedah dapat dikurangi dengan persiapan operasi dengan baik, dan perawatan pasca bedah optimal.
27
ii. Terapi Aktif Penanggulangan nyeri pasca bedah dapat dikurangi partial atau (tanpa nyeri) dengan teknik atau cara-cara tertentu dan pemberian obat obat penghilang nyeri. 2.2.8 Pilihan Teknik Penanganan Nyeri Pasca Bedah Pilihan teknik penanganan nyeri pasca bedah (Ivan, 2012), antara lain: a. Balanced Analgesia (Multimodal Analgesia) Balanced Analgesia menggunakan dua atau lebih obat analgesia yang bekerja pada mekanisme yang berbeda untuk mendapatkan efek analgesia yang superior tanpa efek samping yang berarti bila dibandingkan dengan pemberian obat tunggal dengan dosis yang besar. b. Epidural Analgesia Epidural Analgesia menggunakan teknik regional epidural dengan meletakkan kateter epidural dan memberikan obat obat anestetik lokal, opioid dan adjuvant lainnya pada masa pasca bedah baik secara intermittent maupun kontinyu. c. Blok Saraf Perifer Blok saraf perifer telah digunakan untuk penanganan nyeri pasca bedah untuk menurunkan kebutuhan opioid dan efek sampingnya. d. PCA (Patient Cotrolled Analgesic) Patient Cotrolled Analgesic (PCA) adalah salah satu cara penggunaan analgesik. Cara ini dimulai pada tahun 1970-an. Hasilnya sangat memuaskan, ± 88% penderita bebas nyeri dengan alat ini. Konsentrasi obat narkotik di plasma hampir mendekati Minimal Effective Analgesic Concentration
28
(MEAC). Sebelum dipakai alat ini diatur (preset) untuk membatasi jumlah obat maksimal agar tidak membahayakan penderita (Karjadi,2000). 2.2.9 Obat Obat Penghilang Nyeri Pasca Bedah World Federation of Societies of Anaesthesiologists (WFSA) Analgesic Ladder telah dikembangkan untuk mengobati nyeri akut. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Strong opioids by injection, local anaesthesia
opioids by mouth (as pain decreases)
Aspirin & NSAIDs
Gambar 2.5. Modifikasi dari Analgesic Ladder menurut World Federation of Societies of Anaesthesiologists (WFSA). (Anonim, 1997). Berdasarkan Gambar 2.5 diatas, maka tahapan penggunaan anti nyeri dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Pada awalnya, nyeri dapat dianggap sebagai keadaan yang berat sehingga perlu dikendalikan dengan anti nyeri yang kuat. Biasanya nyeri pasca bedah akan berkurang seiring berjalannya waktu dan kebutuhan akan obat yang diberikan melalui suntikan dapat dihentikan. Pemberian obat harus tepat waktu. Selanjutnya diturunkan potensi dan dosisnya. b. Anak
tangga
kedua
pada
WFSA
Analgesic
Ladder
adalah
pemilihan penggunaan rute oral untuk memberikan anti nyeri. Opioid kuat tidak lagi diperlukan dan anti nyeri yang memadai dapat diperoleh dengan
29
menggunakan kombinasi dari obat-obat yang bekerja di perifer dan opioid lemah. c. Langkah terakhir adalah ketika rasa sakit dapat dikontrol hanya dengan menggunakan obat- obatan yang bekerja di perifer. Adapun obat-obat penghilang nyeri yang dipergunakan pada pasca bedah (Ifan, 2010), antara lain: a. Analgesik regional (Epidural Intrathecal Narkotik) b. Regional anestesi dengan obat anestesi lokal. c. Obat-obat sistemik analgesik dan adjuvant. a. Analgesik regional (Epidural Intrathecal Narkotik) Tehnik epidural dan intrathecal narkotik mulai populer pada akhir akhir ini. Namun cara ini memerlukan keahlian khusus dan harus dipantau dengan ketat, serta dipersiapkan tenaga paramedik yang sudah terdidik, karena ada penyulit depresi nafas yang lambat. Penggunaan narkotik epidural lebih menguntungkan dibanding obat anestesi lokal, karena tidak mempengaruhi sistim somatomotor dan simpatik. Intrathecal narkotik mengurangi refleks pasca bedah, sehingga membantu hemodinamik penderita tetap stabil. Daftar obat dan dosis yang digunakan ditunjukkan pada Tabel 2.1 (Charlton, 2012). Tabel 2.1. Daftar Obat dan Dosis yang Digunakan. Nama Obat Epidural Morfin Petidin Metadon Fentanyl Subarachnoid Morfin Petidin Fentanyl
Dosissekali pakai(mg)
Mulai Kerja (menit)
Durasi (jam)
1– 6 20 – 150 1 – 10 0,025- 0,1
30 5 10 5
6 - 24 4-8 6 - 10 2-4
0.1- 0,3 10 – 30 0,005 - 0,025
15 5 5
8 - 24+ 10 - 24+ 3-6
30
b. Regional anestesi dengan lokal anestesi Kerugian penggunaan anestesi lokal terutama gangguan blok pada aferen dan eferen pada segmentasi maupun supra segmental. Keuntungannya daya penghilang nyerinya sangat efektif, dan spasmus otot tidak terjadi. Intercostal block,cara ini efektif untuk nyeri pasca bedah cholecystectomy, thoracotomy, gatrectomy dan mastectomy. Keuntungannya, tidak terjadi hypotensi. c. Obat-obat sistemik analgesik dan adjuvant. Daftar obat penghilang nyeri yang umum dipergunakan pada pasien rawat inap pasca bedah di RSUP H. Adam Malik Medan berdasarkan Daftar Informasi Spesialite Obat Instalasi Farmasi, daftar obat penghilang nyeri Jamkesmas dan Daftar Plafon Harga Obat (DPHO). Daftar Informasi Spesialite Obat Instalasi Farmasi ditunjukkan pada Tabel 2.2 (IFRS HAM, 2012a). Tabel 2.2. Daftar Informasi Spesialite Obat Instalasi Farmasi RSUP H. Adam Malik. Penghilang Nyeri I.Opioid kuat Morfin Petidin Fentanil II.Opioid lemah Kodein Coditam Tablet Tramadol III.Non-opioid Parasetamol, Asam Mefenamat Na-Diklofenak Metampiron Ibuprofen Ketoprofen Meloxicam Piroksikam Ketorolak tromethamine
Bentuk sediaan, kekuatan, kemasan Inj 10 mg/ ml (sulfat), ampul @ 1 ml Inj 50 mg/ ml, ampul @ 2 ml Inj 0,05 mg/ ml (sitrat), ampul @ 2 ml Inj 0,05 mg/ ml(sitrat), ampul @10 ml
Inj 50 mg/ ml, ampul @ 2 ml
Inj 10 mg/ ml, ampul @ 5 ml
Inj 10 mg/ ml, ampul @1 ml
31
Tablet 10 mg
Tablet 30 mg Tablet 530 mg Kapsul 50 mg Tablet 500 mg Kapsul 500 mg Tablet 50 mg Tablet 500 mg Tablet 400 mg Tablet 200 mg Tablet 150 mg Tablet 20 mg
Daftar obat penghilang nyeri Jamkesmas yang dipergunakan di RSUP H. Adam Malik Medan ditunjukkan pada Tabel 2.3 (Menkes RI, 2013). Tabel 2.3. Daftar Obat Penghilang Nyeri Jamkesmas yang Dipergunakan di RSUP H. Adam Malik Medan. Penghilang Nyeri I. Analgesik Narkotika Kodein
II. Analgesik Non Narkotika Ibuprofen
Ketoprofen Ketorolak Meloksikam Natrium diklofenak Parasetamol
Bentuk sediaan, kekuatan, kemasan Tablet 30 mg
Tablet 200 mg Tablet 400 mg Sirup 100 mg/ 5 ml Tablet 100 mg Suppositoria 100 mg Injeksi 10 mg Injeksi 30 mg Tablet 7,5 mg Tablet 15 mg Tablet 25 mg Tablet 50 mg Tablet 100 mg Tablet 500 mg Suppositoria 125 mg Suppositoria 240 mg Sirup 120 mg/ 5 ml Tetes 100 mg/ ml
Daftar obat penghilang nyeri Daftar Plafon Harga Obat (DPHO) yang dipergunakan di RSUP H. Adam Malik Medan ditunjukkan pada Tabel 2.4. (Askes, 2012).
32
Tabel 2.4. Daftar Obat Penghilang Nyeri (DPHO) yang Dipergunakan di RSUP H. Adam Malik Medan. Analgesik Non Narkotik, Antipiretik, Antiinflamasi Nonsteroid Peresepan Sediaan Kekuatan Maksimal Analgesik Non Narkotik, Antipiretik tab 200 mg 1. Ibuprofen tab salut selaput 400 mg susp100 mg/ 5 ml, btl @ 60 ml 1 btl/ kasus sir 200 mg/ 5 ml, btl @ 60 ml 1 btl/ kasus tab 500 mg 15 tab/ kasus 2. Metampiron 3 amp/ hari inj 500 mg/ ml, amp @ 2 ml maks 3 hari 3. Parasetamol tab/ kap. 500mg sir 120 mg/ 5ml, btl @ 60 ml 2 btl/ kasus drop 100 mg/ ml, btl @ 15 ml 1 btl/ kasus kaps 250 mg 4. Asam Mefenamat kaps 500 mg susp 50 mg/ 5ml, btl @ 60 ml 5. Tramadol kaps 50 mg 10 kaps/ 3 hari Untuk nyeri berat inj 50 mg/ ml, amp @ 2 ml 5 amp/ hari (standar visual analog score 6- 10) dan nyeri post operative 6. Ketorolac Tromethamine
tab 10 mg
Untuk nyeri berat (standar visual analog score 6- 10) post operative
inj 10 mg/ ml, amp @ 1ml inj 30 mg/ ml, amp @ 1ml
3- 5 hari 6- 9 amp/hari, maks 2 hari 2- 3 amp/hari, maks 2 hari
Anti Inflamasi Non Steroid tab salut enterik 25 mg 1. Diklofenak Natrium tab 50 mg 2. Ketoprofen tab salut 50 mg tab salut enterik 100 mg inj 50 mg/ ml, amp @ 2ml Suppositoria 100 mg Untuk nyeri berat post operatif, UGD dan luka bakar pada keadaan pasien tidak dapat menggunakan sediaan oral
33
2 amp/ hari maks 3 hari 2 supp/ hari maks 3 hari
Tabel 2.4. Daftar Obat Penghilang Nyeri (DPHO) yang Dipergunakan di RSUP H. Adam Malik Medan.(lanjutan) 3. Meloksikam
tab 7,5 mg tab 15 mg inj 15mg/ 1,5 ml, amp@ 1,5ml Suppositoria 15 mg Untuk nyeri berat post operatif, UGD dan luka bakar pada keadaan pasien tidak dapat menggunakan sediaan oral.
30 tab/ bulan 30 tab/ bulan
2 supp/ hari maks 3 hari
Obat Opioid: Bekerja pada reseptor opiat di SSP yaitu reseptor yang memodulasi transmisi nyeri sehingga menurunkan persepsi nyeri dengan cara menyekat nyeri pada berbagai tingkat, terutama diotak tengah dan medulla spinalis. a. Reseptor opiat ada 3: i. Reseptor μ (mu): Berperan dalam analgesia supraspinal, depresi respirasi, euforia, ketergantungan. ii. Reseptor κ (kappa): Berperan dalam analgesia spinal, miosis, sedasi. iii. Reseptor δ (delta): disforia, halusinasi, stimulasi pusat vasomotor. b. Efek samping utama obat golongan opioid Efek samping utama obat golongan opioid ditunjukkan pada Tabel 2.5.
34
Tabel 2.5. Efek Samping Obat Golongan Opioid. Efek
Manifestasi
Perubahan mood
Disforia, euforia
Kesadaran Stimulasi CTZ Depresi pernafasan Menurunkan motilitas GI Meningkatkan tonus spinkter Pelepasan histamine Toleransi Dependensi
Lemah, mengantuk, apatis, tidak bisa konsentrasi Mual, muntah Kecepatan respirasi turun Konstipasi Biliary spasm, retensi urin Urikaria, pruritus, asma Perlu dosis lebih besar utk mencapai efek yang sama Terjadi gejala putus obat jika dihentikan secara tiba-tiba
Contoh Obat Golongan Opioid Kuat a. Morfin i. Digunakan sebagai standar analgesik opioid lain. ii. Umumnya diberikan secara s.c., i.m, iv. Dosis oral 2 x dosis injeksi. iii. Efek samping: depresi respirasi, mual-muntah, nggliyeng, konstipasi. iv. Metabolisme di hepar, hati- hati pada pasien dengan penyakit liver. b. Petidin i. Waktu paruh 5 jam, efektivitas > kodein, tapi < morfin, durasi analgesia 3- 5 jam, efek puncak tercapai dalam 1 jam (injeksi) atau 2 jam (oral). ii. Diberikan secara oral atau i.m. iii. Efek sampingnya setara dengan morfin. iv. Dosis 75- 100 mg petidin setara dengan 10 mg morfin. c. Fentanil i. Waktu paruh 3 jam, digunakan pada pasca bedah,tapi biasanya untuk anaestesi. ii. Efikasinya 80 x morfin, efeknya berakhir dalam 30- 60 menit 35
(dosis tunggal). Dapat diberikan dalam bentuk plester yang melepaskan obatnya 25 mg/ jam, untuk 72 jam. Contoh Obat Golongan Opioid Lemah a. Kodein i. Waktu paruh 3 jam, efikasi 1/ 10 morfin, ketergantungan lebih rendah. ii. Digunakan untuk nyeri ringan dan sedang. iii. Dosis oral 30 mg setara dengan aspirin 325- 600 mg. b. Tramadol i. Waktu paruh 6 jam, efikasi 10- 20% morfin, sebanding dengan petidin. ii. Sifat adiktif minimal, efek samping lebih ringan daripada morfin. Contoh Obat Golongan Non Opioid Contoh Obat Golongan Non Opioid dapat dilihat pada Tabel 2.6. Tabel 2.6. Obat Golongan Non Opioid. Parasetamol
Metampiron
Salisilat: a. Aspirin b. Mg salisilat c. Diflunisal
Asam propionat: a. Ibuprofen b. Fenoprofen c. Ketoprofen d. Naproksen
Fenamat: a. Meklofenamat b. Asam mefenamat
Asam pirolizin karboksilat: a. Ketorolak
Asam asetat a. Na diklofenak
Inhibitor Cox- 3: a. Celecoxib b. Valdecoxib
36
a. Asetaminofen (parasetamol) i. Memiliki khasiat analgetik dan antipiretik yang baik. ii. Menghambat pembentukan prostaglandin secara sentral, namun tidak di jaringan, sehingga tidak berefek sebagai anti inflamasi. iii. Tidak memiliki efek antiplatelet. iv. Efek samping ringan dan jarang, relatif tidak menyebabkan gangguan lambung. v. Pada dosis besar (6- 12 g) dapat menyebabkan kerusakan hati. Pada dosis terapinya, merupakan pilihan yang aman bagi banyak kondisi kesehatan termasuk untuk anak- anak dan ibu hamil/ menyusui. vi. Interaksi dengan Alkohol, antikoagulan
oral, Khloramfenikol, Aspirin,
Phenobarbital, inducer enzim hati, agen hepatotoksik. b. Asam asetilsalisilat (asetosal, aspirin) i. Memiliki aktivitas analgetik, antipiretik, dan anti inflamasi. ii. Memiliki efek anti platelet sehingga dapat mencegah pembekuan darah. iii. Sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan gangguan pembekuan darah (misalnya: hemofili), sirosis hati, trombositopenia, atau pada pasca bedah. iv. Bersifat asam, dapat menyebabkan iritasi mukosa lambung. Sebaiknya jangan diminum ketika lambung kosong. Tidak direkomendasikan bagi pasien yang memiliki riwayat gangguan lambung. v. Dapat menyebabkan Reye’s syndrome (suatu gangguan serius pada sistem hepatik dan susunan saraf pusat), sebaiknya tidak digunakan pada anak-anak di bawah 12 tahun.
37
vi. 20% pasien asma memiliki sensitivitas/ alergi terhadap aspirin. Sebaiknya tidak digunakanpada pasien dengan riwayat alergi (rinitis, urtikaria, asma anafilaksis, dan lain lain). vii. Aspirin sebaiknya tidak digunakan pada wanita hamil karena dapat memperpanjang waktu kelahiran dan meningkatkan resiko pendarahan pasca kelahiran (post partus). c. Asam Mefenamat i. Memiliki khasiat analgetik, antipiretik dan anti- inflamasi yang cukup,tapi tidak lebih kuat daripada asetosal. ii. Bersifat asam, dapat menyebabkan gangguan lambung. Sebaiknya jangan diminum pada saat perut kosong, atau pada pasien dengan riwayat gangguan saluran cerna/ lambung. iii. Banyak menyebabkan efek samping: diare, trombositopenia, anemia hemolitik, dan ruam kulit. iv. Tidak direkomendasikan untuk penggunaan pada anak- anak dan wanita hamil. Sebaiknya tidak digunakan dalam jangka waktu lebih dari seminggu. d. Metampiron (antalgin, metamizol, novalgin) i. Memiliki efek analgetika, antipiretika, dan anti inflamasi yang kuat. ii. Merupakan obat lama, memiliki efek samping yang cukup berbahaya yaitu leukopenia dan agranulositosis yang dapat berakibat kematian (5%). e. Ketorolak i. Suatu
analgesik
non
narkotik,
merupakan
nonsteroidal
anti
inflammatory drug (NSAIDs). ii. Menghambat sintesis prostaglandin dan dipakai untuk nyeri akut , sedang hingga berat pada pasca bedah.
38
iii. Kontra indikasi pada penderita tukak lambung, bronkospasme berat, penderita asma atau mempunyai riwayat alergi. iv. Efek samping dyspepsia, mual, muntah, nyeri abdomen, pusing kepala, gangguan penglihatan, ruam, gangguan fungsi ginjal. v. Interaksi obat dengan aspirin, hidroklortiazid, walfarin, methotrexat. vi. Diekskresi lewat urin (rata-rata 91,4%) dan sisanya (rata-rata 6,1%) diekskresi lewat feses. 2.2.10 Hambatan dalam Penanganan Nyeri Menurut Blumenfield (dikutip dari Tamsuri), secara garis besar ada 2 hambatan dalam penanganan nyeri (Tamsuri, 2004) yaitu: a. Ketakutan akan timbulnya adiksi Seringkali pasien, keluarga, bahkan tenaga kesehatan pun mempunyai asumsi akan terjadinya adiksi terhadap penggunaan analgetik bagi pasien yang mengalami nyeri, adiksi sering dipersepsikan sama dengan pengertian toleransi dan ketergantungan fisik. Ketergantungan fisik adalah munculnya sindrom putus zat akibat penurunan dosis zat psikoaktif atau penghentian zat psikoaktif secara mendadak. Toleransi adalah kebutuhan untuk terus meningkatkan dosis zat psikoaktif guna mendapatkan efek yang sama, sedangkan adiksi adalah suatu perilaku yang merujuk kepada penggunaan yang berulang dari suatu zat psikoaktif, meskipun telah diketahui adanya efek yang merugikan. Ketakutan tersebut akan lebih nyata pada pasien atau keluarga dengan riwayat penyalahgunaan alkohol atau zat psikoaktif lainnya. Mereka umumnya takut untuk mendapatkan pengobatan nyeri, apalagi bila obat itu merupakan golongan narkotika. Hal ini salah satunya disebabkan oleh minimnya informasi
39
yang mereka dapatkan mengenai hal tersebut. b. Pengetahuan yang tidak memadai dalam manajemen nyeri Pengetahuan yang tidak memadai tentang manajemen nyeri merupakan alasan yang paling umum yang memicu terjadinya manajemen nyeri yang tidak memadai tersebut, untuk itu diperlukan perbaikan kualitas tim yang menangani pembedahan. Dalam penanganan nyeri, pengkajian merupakan hal yang mendasar yang menentukan dalam kualitas penanganan nyeri, pengkajian yang terus menerus harus dilakukan baik pada saat awal mulai teridentifikasi nyeri sampai saat setelah intervensi mengingat nyeri adalah suatu proses yang bersifat dinamik, sehingga perlu dinilai secara berulang-ulang dan berkesinambungan.
40