II. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Nilai Ekonomi Sumberdaya Air Berdasarkan Undang-Undang Sumberdaya Air No. 7 tahun 2004 pasal 1
ayat 2, air adalah semua air yang terdapat pada, di atas ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. Air permukaan adalah semua air yang berada di atas permukaan tanah. Tietenberg (1984) menyatakan bahwa sumberdaya dapat dikelola secara efisien asalkan sistem kepemilikan terhadap sumberdaya tersebut dibangun atas sistem property right yang efisien pula, antara lain: 1) Universality, yang berarti bahwa semua sumberdaya dimiliki secara pribadi (private owned) dan seluruh hak-haknya diperinci dengan lengkap dan jelas. 2) Exclusivity, berarti bahwa semua keuntungan dan biaya yang dibutuhkan sebagai akibat dari kepemilikan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut harus dimiliki hanya oleh pemilik tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dalam transaksi atau penjualan ke pihak lain. 3) Tranferability, berarti seluruh hak kepemilikan dapat dipindahtangankan dari satu pemilik ke pihak lainnya dengan transaksi yang bebas dan jelas. 4) Enforceability, berarti bahwa hak kepemilikan tersebut harus aman dari perampasan atau pengambilalihan secara tidak baik dari pihak lain. Menurut Anwar (1992), karena seringnya menghadapi permasalahan seperti yang disebutkan di atas, maka sumberdaya air sering mengarah kepada sumberdaya yang bersifat akses terbuka (open access) pada beberapa wilayah, keadaan ini akan menimbulkan gejala eksternalitas yang meluas. 9
Suparmoko (1997) menjelaskan bahwa konsep ekonomi air dalam menentukan distribusi air menggunakan prinsip nilai guna batas yang sama bagi setiap penggunaan (equimarginal value in use). Prinsip ini menghendaki agar sumberdaya air dialokasikan secara efisien. Penentuan biaya marjinal sangat bermanfaat dalam penentuan air maupun dalam membedakan harga di antara kelompok pemakai air. Gany (1989) dalam Sudrajat (1997) membagi nilai ekonomi air atas dua sistem, yaitu: 1) Sistem volumetrik Pemakai air pada sistem ini membayar sejumlah air yang dipakainya berdasarkan nilai harga air secara integral ataupun parsial. Diketahui dari hasil pencatatan jumlah air yang dipakai oleh masing-masing petani setiap akhir musim tanam. Sistem ini sangat efisien dalam arti penggunaan air, namun sangat mahal bila ditinjau dari segi sarana maupun dari segi manajemen untuk menjamin pemberian air secara bijaksana dan memenuhi sasaran. 2) Sistem non volumetrik Pembayaran nilai air oleh petani dengan sistem ini biasanya dilakukan dengan bentuk pajak tanah yang besarnya disesuaikan dengan klasifikasi tanah ditinjau dari segi output serta letak strategisnya air bagi petak sawah tersebut. Menurut Turner et al. (2004), air merupakan sumberdaya yang sangat besar dimana nilai ekonomi per unit berat atau volume cenderung relatif rendah, tetapi membutuhkan biaya pengangkutan, penyimpanan, dan pemindahan yang tinggi untuk per unit volumenya.
10
2.1.1
Karakteristik Sumberdaya Air Menurut Sanim (2003), air sebagai sumberdaya alam dapat berupa
persediaan dan sekaligus sebagai aliran. Air tanah merupakan persediaan yang biasanya memerlukan aliran dan pengisian kembali oleh air hujan. Sifat air adalah stokastik, artinya air diatur oleh proses fisik yang berdistribusi kemungkinan (random). Pemasokan air tergantung pada topografi dan kondisi meteorologi karena keduanya mempengaruhi peresapan dan penguapan air. Sifat air yang stokastik
inilah,
maka
pengambilan
keputusan
dalam
mengembangkan
sumberdaya air didasarkan atas distribusi kemungkinan. Terkait dengan karakteristik air itu sendiri seperti mobilitas air, skala ekonomi yang melekat, supply air yang berubah-ubah, kapasitas dari daya asimilasi dari badan air, dapat dilakukannya secara beruntun, penggunaan yang serbaguna, berbobot besar dan memakan tempat, sehingga air sulit untuk ditegaskan hak-hak atas sumberdaya air dan kesulitan dalam pemberlakuan peraturannya. 2.1.2
Efisiensi Alokasi Sumberdaya Air Menurut Fauzi (2006), alokasi air merupakan masalah ekonomi untuk
menentukan bagaimana supply air yang tersedia harus dialokasikan kepada pengguna atau calon pengguna. Penggunaan air sendiri pada dasarnya terbagi dalam dua
kelompok
yaitu
kelompok
konsumtif
yakni
mereka
yang
memanfaatkan air untuk konsumsi (rumah tangga, industri, pertanian, kehutanan) dan kelompok non konsumtif yang memanfaatkan air melalui proses yang disebut diversi baik melalui transformasi, penguapan, penyerapan ke tanah maupun pendegradasian kualitas air secara langsung (pencemaran). Alokasi sumberdaya
11
air harus memenuhi kriteria efisiensi, equity, dan sustainability. Kriteria dan tujuan pengelolaan sumber daya air dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kriteria dan Tujuan Pengelolaan Sumber Daya Air Kriteria Efisiensi
Equity Sustainability
Tujuan - Biaya penyediaan air yang rendah - Penerimaan per unit sumber daya yang tinggi - Mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan - Akses terhadap air bersih untuk semua masyarakat - Menghindari terjadinya deplesi pada air bawah tanah - Menyediakan cadangan air yang cukup untuk memelihara ekosistem - Meminimalkan pencemaran air
Sumber : Fauzi (2006)
Menurut Tietenberg (2001), sumberdaya air harus dialokasikan dengan baik sehingga manfaat bersih marginal (marginal cost benefit) sama bagi semua penggunanya. Manfaat bersih marginal merupakan jarak vertikal antara kurva permintaan terhadap air dengan kurva biaya marginal dari ekstraksi dan distribusi air dari unit terakhir yang dikonsumsi. Jika manfaat bersih marginal tersebut tidak merata atau sama, maka akan sering terjadi kenaikan manfaat bersih dengan adanya transfer air dari pemanfaatan yang memberikan manfaat bersih yang rendah ke penggunaan yang memberikan manfaat bersih yang lebih tinggi. Beberapa permasalahan pokok yang sering dihadapi dalam setiap pengelolaan sumberdaya air bagi pengalokasian sumberdaya air yang terbaik untuk mencapai penggunaan optimal dalam jangka panjang menurut Suparmoko (1995) antara lain: a) Bagaimana pengalokasian air yang tersedia (water supply) diantara berbagai penggunaan atau sektor (among user) b) Bagaimana mendistribusikan air diantara pemakai air c) Bagaimana mengalokasikan air tersebut pada daerah yang berbeda 12
d) Bagaimana mendistribusikan air antar waktu e) Bagaimana pengelolaan sumberdaya air yang seharusnya/siapa seharusnya pengelola sumberdaya air Kenyataannya sistem yang berlaku tidak menjamin pengalokasian sumberdaya
air
bersifat
efisien.
Penyebab-penyebab
inefisiensi
dalam
pengalokasian sumberdaya air menurut Tietenberg (2001), yaitu: a) Pembatasan-pembatasan dalam hal pentransferan air (restriction on transfers). Pencapaian alokasi air yang efisien dengan menetapkan manfaat bersih marjinal harus sama atau merata di semua aktivitas penggunaan air. b) Penetapan harga air (water pricing). Harga yang diberlakukan pada sumberdaya air tidak memberikan jaminan kalau sumberdaya air telah dialokasikan dengan efisien karena sumberdaya air dianggap sebagai komoditas yang penting atau esensial, maka harga yang diberlakukan seringkali terlalu rendah. Penyebabnya antara lain biaya rata-rata historis (historical average cost) yang digunakan untuk menentukan nilai atau tingkatan dan nilai kelangkaan marjinal (marginal scarcity rent) yang jarang diperhitungkan. Sistem harga yang efisien didasarkan pada biaya marginal (marginal cost) bukan biaya rata-rata (average cost). c) Masalah-masalah
kepemilikan
umum
(common
property
problems).
Sumberdaya milik umum cenderung habis terkuras dalam waktu singkat, sedangkan para pengguna tidak mempunyai insentif untuk melakukan konservasi, sehingga nilai kelangkaan marjinal dibiarkan hilang begitu saja.
13
2.2
Konsep Perusahaan Daerah Air Minum Berbeda dengan perusahaan swasta murni yang selalu berorientasi pada
keuntungan (profit oriented), PDAM juga berorientasi terhadap pelayanan. Salah satu tujuan PDAM adalah turut serta dalam melaksanakan pembangunan daerah khususnya dan pembangunan ekonomi nasional pada umumnya dengan cara menyediakan air minum yang bersih, sehat dan memenuhi persyaratan kesehatan bagi masyarakat di suatu daerah (Saberan, 1997). Perusahaan Daerah Air Minum mempunyai tugas pokok pelayanan umum kepada masyarakat dimana dalam menjalankan fungsinya, PDAM disini harus mampu membiayai dirinya sendiri dan harus berusaha mengembangkan tingkat pelayanannya. PDAM juga diharapkan mampu memberikan sumbangan pembangunan kepada pemerintah daerah. Tujuan pendirian PDAM adalah untuk memenuhi pelayanan dan kebutuhan akan air bersih masyarakat, serta sebagai salah satu sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah) untuk mencapainya maka pengelolaan terhadap PDAM harus berdasarkan prinsip-prinsip dan asas ekonomi perusahaan sehat3. 2.3
Penetapan Harga Air Menurut Suparmoko (1995), ada dua cara untuk menentukan harga air
yaitu atas dasar biaya marjinal (MC) dan atas dasar biaya rata-rata (AC), selain itu juga harus mempertimbangkan dua hal yakni faktor laba dan faktor distribusi agar lebih banyak barang atau air yang tersedia bagi masyarakat. Berkaitan dengan penentuan harga air tersebut, metode-metode yang dapat digunakan adalah dengan: . 3
. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 690-237 tahun 1994, tentang pedoman dan pemantauan Kinerja keuangan PDAM
14
1)
Marginal Cost Pricing (MCP) Efisiensi alokasi penggunaan sumberdaya menganjurkan bahwa komoditi
seharusnya diproduksi dan dialokasikan pada suatu titik dimana keuntungan marjinal (marginal benefit) sama dengan biaya marjinalnya (marginal cost), sehingga efisiensi ekonomi terjadi pada saat harga air ditetapkan sama dengan biaya marjinal yang bertujuan memaksimumkan keuntungan bersih sosial (Net Social Benefits). MCP memiliki dua tujuan yaitu : a) Memberikan sinyal mengenai biaya untuk memperoleh tambahan air kepada konsumen, sehingga konsumen dapat memutuskan untuk mengkonsumsi sejumlah tambahan air dengan tambahan kepuasan yang setidaknya sama besar. b) Memberikan sinyal kepada pengelola air mengenai seberapa banyak keinginan konsumen untuk membeli dengan harga yang ditetapkan. Apabila harga ditetapkan dengan dasar Marginal Cost Pricing, maka harga yang berlaku adalah sebesar OP1 = AS dan produksi yang dihasilkan adalah sebesar OA (Gambar 1). Kondisi ini harga P1 = MC, yaitu sama dengan biaya tambahan yang dikeluarkan untuk menghasilkan satu satuan produksi air. Biaya rata-rata (AC) lebih rendah dari P1 karena harga yang bersedia dibayar oleh konsumen lebih besar dari biaya per unit air, maka penerimaan total (TR) lebih tinggi dari biaya total (TC) sehingga perusahaan mendapat keuntungan. Jika perusahaan menentukan harga atas dasar Average Cost Pricing, maka harga yang diberlakukan adalah sebesar OP2 dan jumlah produksi adalah sebesar OA karena harga yang bersedia dibayar oleh konsumen adalah P2 sama dengan biaya per unit air (AC) maka perusahaan tidak mendapat keuntungan (laba = nol). 15
Harga
MC
P1 ………………………S
AC
P2 …………………………… R
O
Volume air MR A
B
D=AR
Sumber: Suparmoko, 1995
Gambar 1. Penentuan Harga Air atas dasar Biaya Marjinal dan Biaya RataRata Berdasarkan uraian tersebut, secara teoritis jika perusahaan berorientasi pada perolehan profit, maka penentuan harga terbaik adalah atas dasar biaya marjinal (MC pricing) karena pada saat itu perusahaan masih mengalami biaya yang semakin menurun (decreasing cost) yaitu pada daerah OB ke kiri dan artinya perusahaan menikmati keuntungan. Apabila perusahaan menentukan harga atas pertimbangan distribusi (lebih banyak barang yang tersedia di pasaran dengan harga yang rendah atau serendah-rendahnya), maka penentuan harga terbaik adalah dengan dasar biaya rata-rata (AC pricing) walaupun perusahaan tidak memperoleh keuntungan. 2)
Full Cost Recovery Pricing (FCRP) MCP hanya fokus pada kondisi biaya marjinal yang ditunjukkan saat
keuntungan marjinal dari mengkonsumsi air sama dengan biaya marjinalnya dan
16
mengabaikan kondisi secara total. Kondisi keduanya baik biaya total dan marjinal perlu diaplikasikan saat menentukan tingkat harga dan kuantitas. Penetapan harga atau tarif yang memperhatikan kondisi total adalah dengan FCRP. Hanemann (1998) membagi metode FCRP kedalam tiga bentuk : a) Ramsey Pricing : digunakan untuk menunjukkan sebuah kumpulan harga yang sama yang memaksimumkan keuntungan sosial bersih. b) Coase’s Two-part Tariff : menggunakan sebuah strategi tarif dua bagian untuk menemukan kondisi total dimana keuntungan total seharusnya melebihi total biaya. Ketika harga air dibentuk berdasarkan tarif dua bagian, konsumen atau pelanggan harus membayar ongkos tetap atau biaya masuk dalam bentuk sewa meteran dan bea administrasi dengan tujuan untuk menutupi biaya penggunaan air yang tidak berubah menurut jumlah penjualan. c) Decreasing and Increasing Block Rates : metode ini merupakan perluasan dari penetapan tarif dua bagian increasing atau decreasing block rates dibedakan hanya pada tingkat urutan harga. Increasing block rate terjadi ketika p1
2.4
Sumberdaya Air Ditinjau dari Sisi Penawaran dan Permintaan
2.4.1
Fungsi Permintaan Kebutuhan air ini akan meningkat mengikuti pertambahan jumlah
penduduk, taraf hidup, dan perkembangan sektor industri. Permintaan mencakup jumlah barang yang dibutuhkan oleh individu kemudian terdapat daya beli terhadap barang tersebut. Nicholson (1995) menyatakan individu memiliki peran sebagai konsumen dalam sistem ekonomi. Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi permintaan dalam teori ekonomi yaitu harga komoditi itu sendiri, rata-rata penghasilan rumah tangga, harga barang-barang lainnya, selera konsumen, distribusi pendapatan dan besarnya populasi atau jumlah penduduk. Pengendalian sumberdaya air dalam menghindari adanya pencemaran dan eksploitasi air yakni dengan memperhatikan kualitas dan kuantitas. Kualitas air merupakan salah satu aspek yang makin banyak mendapat perhatian dalam pengelolaan sumberdaya air. Hal ini disebabkan karena para konsumen air tidak hanya menginginkan jumlah yang cukup, tetapi juga kualitas yang sesuai keperluan mereka (Sanim, 2003). 2.4.2
Fungsi Penawaran Penawaran mencakup jumlah barang yang ditawarkan kepada individu
kemudian terdapat daya beli terhadap barang tersebut. Ekonomi produksi mencakup teori penawaran dan permintaan yang menggambarkan atas hubunganhubungan di pasar, antara para calon pembeli dan penjual dari suatu barang. Model penawaran dan permintaan digunakan untuk menentukan harga dan kuantitas yang terjual di pasar. Model ini memperkirakan bahwa dalam suatu pasar yang kompetitif harga akan berfungsi sebagai penyeimbang antara kuantitas 18
yang diminta oleh konsumen dan kuantitas yang ditawarkan oleh produsen, sehingga terciptalah keseimbangan ekonomi antara harga dan kuantitas. Model ini mengakomodasi kemungkinan adanya faktor-faktor yang dapat mengubah keseimbangan yang kemudian akan ditampilkan dalam bentuk terjadinya pergeseran dari permintaan atau penawaran (Nicholson, 1995). Fauzi (2006) menyatakan air sebagai sumberdaya alam dapat berupa persediaan sekaligus sebagai aliran. Air tanah misalnya merupakan persediaan yang biasanya memerlukan aliran dan pengisian kembali oleh air hujan. Salah satu sifat air ialah stokastik, artinya ia diatur oleh proses fisik yang berdistribusi kemungkinan (random). Pemasokan air bergantung pada topografi dan kondisi meteorologi karena mempengaruhi peresapan dan penguapan air. Kemampuan untuk menyediakan kebutuhan air bersih yang cukup terletak pada manajemen sumberdaya air yang harus optimal dengan terbatasnya segala sumberdaya yang ada. 2.5
Proses Produksi Air Bersih Sumber air yang digunakan di PDAM Bekasi berasal dari Bendung Bekasi
yang merupakan aliran air dari Kali Bekasi dan Sungai Tarum Barat (Kalimalang) yang dialiri oleh waduk Jatiluhur (Water Treatment Plan Kalimalang). Proses produksi air dari sumber tersebut dapat dilihat pada Gambar 2
19
Sumber air Kali Bekasi dan
Intake/sadap (bangunan penampung air)
Pra sedimentasi (pengendapan) Bak koagulasi (penjernihan tawas/PAC)
PJT II (Tarum Barat)
Bak Flokulasi (Pengadukan) Sedimentasi (pengendapan) Reservoir
Fitrasi
Sumber : PDAM Bekasi (2011)
Gambar 2. Proses Bagan Alir Produksi Air Bersih PDAM Bekasi Proses pengolahan air PDAM menggunakan air baku dari sungai Tarum Barat dimulai dari pengambilan air melalui bangunan intake kemudian masuk ke proses prasedimentasi, diendapkan terlebih dahulu dalam tangki pengendapan awal, setelah itu dialirkan ke unit instalasi penjernihan air (Water Treatment Plan), pada instalasi penjernihan dilakukan pembubuhan koagulant (PAC) melalui unit koagulasi kemudian dilakukan pembentukan gumpalan dalam unit flokulasi. Setelah melalui proses flokulasi, air diendapkan kembali dalam tangki pengendapan (sedimentasi) dan dilakukan penyaringan (filtrasi) serta perhitungan air yang diproduksi melalui meter induk. Sesudah proses pengolahan selesai, air dialirkan melalui pipa transmisi air bersih ke bangunan reservoir lalu dibersihkan (disinfeksi) dan dialirkan ke pelanggan (Darwin, 2002). Pengolahan air yang menggunakan sumber air baku dari mata air langsung dialirkan melalui pipa
20
transmisi air bersih ke bangunan reservoir kemudian dibubuhkan gas klor untuk disucihamakan dan air siap untuk didistribusikan (Rosmery, 2000). 2.5.1
Nilai Ekonomi Produksi Nilai ekonomi terdiri dari nilai manfaat dan nilai biaya. Nilai ekonomi
dipengaruhi adanya jumlah produksi dalam permintaan dan penawaran sumberdaya air. Produksi merupakan suatu kegiatan yang dikerjakan untuk menambah nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru sehingga lebih bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan. Ekonomi produksi termasuk ke dalam salah satu cabang ilmu ekonomi yang digunakan untuk mengambil keputusan manajemen. Proses produksi air baku menjadi air bersih merupakan suatu proses menghasilkan sumberdaya air bersih dengan meliputi sistem pengolahan, sistem distribusi, sistem jaringan pipa sesuai dengan sumber air baku dan kapasitas debit yang tersedia. Sumber air baku yang dimanfaatkan dapat berupa sumur bor, mata air dan air permukaan dengan total kapasitas debit yang tersedia oleh suatu sistem pengolahan air. 2.5.2
Biaya Produksi Air Biaya adalah pengorbanan sumberdaya ekonomi yang dinyatakan dalam
bentuk uang yang telah atau akan terjadi untuk tujuan tertentu, biaya produksi adalah biaya yang dipakai untuk mengolah bahan baku menjadi produk jadi, pembiayaan pengolahan sumberdaya air ditetapkan berdasarkan kebutuhan nyata pengelolaan sumberdaya air agar pelaksanaannya dilakukan secara wajar untuk menjamin keberlanjutan fungsinya. Jenis pembiayaan pengelolaan sumberdaya air meliputi biaya sistem informasi, perencanaan, pelaksanaan kontruksi termasuk
21
didalamnya biaya konservasi sumberdaya air, operasi, pemeliharaan, pemantauan, evaluasi dan biaya pemberdayaan masyarakat (Nugroho, 2002). Doll dan Orazam (1984), mendefinisikan biaya produksi sebagai pengeluaran yang terjadi dalam melaksanakan proses produksi. Produk yang dihasilkan dalam produksi air PDAM hanya satu jenis dalam suatu proses produksi, maka untuk menetapkan harga pokok air PDAM dapat dilakukan dengan metode pembagian yaitu membagi seluruh biaya produksi dengan jumlah satuan air yang diproduksi pada periode tertentu sedangkan rumus matematikanya adalah : HPP = TC = TFC + TVC ……………………… (1) Q Q Keterangan : TC = Total Cost TFC = Total Fixed Cost (biaya tetap total) TVC = Total Variable Cost ( biaya variabel total) HPP = Harga Pokok Penjualan Q = Jumlah air yang dijual 2.5.3
Jenis Instalasi Pengolahan Air Menurut peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 tahun 2006 tentang
pedoman teknis dan tata cara pengaturan tarif air minum dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 tahun 2007 tentang organ dan kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum yang akan membenahi kembali perangkat-perangkat yang ada di Perusahaan Daerah Air Minum di seluruh Indonesia dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja pelayanan air minum kepada masyarakat secara terus menerus sesuai standar kesehatan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka perlu adanya ketetapan dari Pemerintah Bekasi dalam memberikan ketegasan.
22
2.6
Fungsi Produksi Doll dan Orazam (1984), menyatakan bahwa fungsi produksi adalah
hubungan masukan dan keluaran yang digambarkan pada saat sumberdaya ditransformasi menjadi produk. Fungsi produksi dapat ditampilkan dalam beberapa bentuk, secara simbolik fungsi produksi dapat dituliskan sebagai berikut: Y= f(X1, X2, X3… ,Xn) dimana Y merupakan hasil produksi (output) dan X1.. Xn merupakan faktor produksi (input) yang berbeda yang digunakan dalam produksi. Simbol f menunjukan hubungan transformasi antara faktor produksi dan hasil produksi. Pendefinisian ekonomi terhadap turunan pertama dari fungsi produksi terkait dengan konsep produk marjinal. Produk fisik marjinal sebuah masukan adalah keluaran tembahan yang dapat diproduksi dengan menggunakan satu unit tambahan dari masukan tersebut (Nicholson, 1995). Produk fisik marjinal dari sebuah masukan bergantung pada berapa jumlah masukan yang digunakan. Lipsey et al. (1995) menyatakan jika semakin banyak jumlah suatu faktor variabel ditetapkan untuk sejumlah tertentu faktor yang tetap, akhirnya akan mencapai suatu situasi dimana setiap tambahan unit faktor variabel tersebut menghasilkan tambahan produk total yang jumlahnya lebih sedikit dibanding dengan hasil unit sebelumnya, sehingga disebut hukum hasil yang semakin berkurang (diminishing return).
23
Jumlah per TP
Masukan x per periode X*
X **
X***
MP, AP
MP AP X*
X**
Masukan x per periode
X***
Sumber: Nicholson (1995)
Gambar 3. Penurunan Produktivitas Rata-rata dan Produktivitas Marginal dari Kurva Produk Total Berdasarkan
Gambar
3,
kemiringan
kurva
TP
(total
produksi)
menunjukkan bagaimana keluaran meningkat sementara faktor produksi ditambah, produk marjinal (MP) menurun sementara faktor-faktor produksi ditambah melewati titik ini, produk marjinal akan bernilai nol ketika total produksi meningkat. Produksi tidak akan melewati X*** karena penggunaan faktor produksi tambahan akan mengurangi produk yang dihasilkan, pada titik X** produk marjinal akan sama dengan produk rata-rata, dimana produk rata-rata berada pada tingkat maksimum,untuk masukan faktor produksi yang kurang dari X** produk marjinal melebihi produk rata-rata akibatnya penambahan satu unit faktor produksi akan meningkatkan produktivitasnya dari faktor produksi tersebut.
24
2.7
Pengelolaan Sumberdaya Air Adanya peningkatan jumlah penduduk dan taraf hidup masyarakat
meningkatkan kebutuhan sumberdaya air, sedangkan jumlah sumberdaya air mengalami keterbatasan sehingga dapat mengakibatkan kelangkaan jika dibiarkan terjadi tanpa ada upaya pencegahan. Adanya pengelolaan sumberdaya air dibutuhkan untuk menjamin adanya ketersediaan sumberdaya air di masa yang akan datang. Sugiarto (1995) menyatakan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) terkait dengan pengelolaan sumberdaya air karena dalam pengelolaan DAS adanya stabilisasi produksi air yaitu debit air pada musim kemarau dan musim penghujan yang seimbang. Pengelolaan sumberdaya air harus dilakukan secara baik dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Menurut Soenarno dalam Kodoatie (2005), pengelolaan sumberdaya air mencakup empat hal sebagai berikut : 1) Air sebagai bagian dari sumberdaya alam merupakan bagian dari ekosistem. Pengelolaan sumberdaya air memerlukan pendekatan yang integratif, komprehensif dan holistik yakni hubungan timbal balik antara teknik, sosial, dan ekonomi serta harus berwawasan lingkungan agar terjaga kelestariannya. 2) Air menyangkut semua aspek kehidupan maka air merupakan faktor yang mempengaruhi jalannya pembangunan dari berbagai sektor maka dari itu pengelolaan sumberdaya air didasarkan pada pendekatan peran serta dari semua stakeholders. Seluruh keputusan public harus memperhatikan kepentingan masyarakat dengan cara konsultasi public, sehingga kebijakan apapun yang diterapkan akan dapat diterima oleh masyarakat.
25
3) Secara alamiah air akan bergerak dari satu tempat ke tempat lain tanpa mengenal batas politik, sosial, ekonomi, bangsa, maupun batas wilayah administrasi bahkan batas negara. Air membutuhkan pengelolaan dalam satu kesatuan sistem berdasarkan pendekatan “one river, one plan and one management system”. 4) Sistem aliran air menyangkut pengaruh antara hulu ke hilir yaitu apapun yang terjadi di bagian hulu akan berpengaruh terhadap bagian hilir dan tidak sebaliknya. Pengaruh tersebut antara lain terjadinya banjir, tanah longsor dan pencemaran. Pengelolaan sumberdaya air menyangkut sistem yang mengikat dan saling menguntungkan. Menurut McKinney et al (1999) dalam Esanawati (2009), tujuan pencapaian kualitas dan kuantitas air berada dalam kerangka analisis berdasarkan hubungan antara kebijakan sosial ekonomi dan kebijakan lingkungan. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air Pasal 2, Sumberdaya Air dikelola berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas. Kecenderungan konsumsi air naik secara eksponensial, sedangkan ketersediaan air bersih cenderung melambat akibat kerusakan alam, sehingga dengan melihat prospek masa depan untuk menanggulangi permasalahan lingkungan
yang
akan
dihadapi
tidak
menyebabkan
entrophy
yakni
ketidakteraturan yang merupakan sumber utama dari kelangkaan yang akan mengurangi ketersediaan sumberdaya semakin berkurang (source of ultimate scarcity) dan untuk pencapaian ketersediaan air yang berkelanjutan di masa 26
mendatang. Kesejahteraan (well-being) seluruh umat manusia baik kaya maupun miskin tergantung pada jasa ekosistem (ecosystem services) (The United Nations Environment Programme. 2004 dan diskusi kuliah Syaukat Desember 2010). 2.8.
Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan Studi yang terkait mengenai pengelolaan sumberdaya air PDAM telah
banyak dilakukan antara lain Sudrajat (1997) dengan melakukan analisis ekonomi pengelolaan air PDAM di Kotamadya Pontianak dengan mengambil 170 responden pada empat kecamatan yang berbeda. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui kondisi biaya-biaya produksi yang mempengaruhi PDAM sebagai suatu unit usaha. Alat analisis yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui analisis biaya variabel total (TVC), biaya variabel rata-rata (AVC) dan biaya marjinal (MC). Selain itu penelitian juga bertujuan untuk menganalisis kebijakan tarif air PDAM melalui analisis permintaan atau konsumsi air PDAM dengan menggunakan model linear double log dan analisis keinginan konsumen membayar dengan cara menghitung keinginan membayar dan kemampuan untuk membeli. Analisis untuk pilihan sumber air dilakukan pengujian dengan models of qualitative choice. Hasil penelitian Sudrajat menunjukkan bahwa berdasarkan karakteristik biaya, dengan semakin meningkatnya produksi perusahaan, biaya variabel ratarata dan biaya marjinal semakin menurun sehingga terjadi eksternalitas teknis pada pengelolaan air PDAM Kotamadya Pontianak. Pelanggan PDAM nya adalah golongan masyarakat dengan pendapatan lebih tinggi, sehingga semakin tinggi volume bak mandi yang dimiliki maka akan semakin tinggi konsumsi PDAM per kapita. Hal tersebut dikarenakan pemilik bak cenderung menggunakan baknya 27
untuk menampung air PDAM dibanding menampung air hujan. Hasil penelitian yang over estimated ini menunjukkan bahwa sumberdaya air PDAM sudah memiliki nilai tinggi di tangan konsumen. Penelitian lainnya oleh Kusuma (2006) melakukan penelitian mengenai pengelolaan air dan kebijakan tarif air di Kota Madiun. Tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian
tersebut
adalah
untuk
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kebijakan tarif dan mengestimasi variabel-variabel yang mempengaruhi fungsi biaya pengelolaan air bersih dengan menggunakan regresi linier berganda dan analisis penetapan tarif dengan marginal cost pricing dan variasi tarif serta melihat penyesuaian tarif air dengan melihat perhitungan laba rugi dari PDAM. Hasil penelitian Kusuma menunjukkan bahwa hasil analisis model biaya pengelolaan air PDAM Madiun dari tahun 1995-2005 menunjukkan bahwa baik biaya variabel, biaya investasi maupun jumlah produksi air berpengaruh nyata dengan arah yang positif terhadap total biaya pengelolaan air PDAM dan penetapan tarif air baik secara ekonomi maupun finansial telah dapat memberikan susunan tarif yang sesuai dengan kondisi masyarakat telah mencapai kondisi full cost recovery. Esanawati (2009) melakukan penelitian mengenai fungsi produksi, penetapan tarif dan alokasi air minum yang efisien di PDAM Tirta Patriot, Kota Bekasi. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengidentifikasi pengelolaan air dan memproyeksikan pengembangan kapasitas produksi PDAM Tirta Patriot sepuluh tahun yang akan datang dengan menggunakan metode pemulusan dengan teknik eksponensial ganda yang dilakukan dengan analisis kapasitas produksi, analisis deskriptif juga melihat analisis pola pengelolaan sumberdaya air. 28
Hasil penelitian Esanawati menunjukkan bahwa tingkat kekeruhan air baku berpengaruh nyata dan negatif, penggunaan tarif yang berlaku belum memenuhi besaran tarif dasar dengan mekanisme biaya pemulihan penuh sebesar Rp. 2.239/m3 kemudian proyeksi produksi air dengan model ARIMA 2,1,0, tren produksi air yang meningkat dari tahun ke tahun dengan menggunakan teknik pemulusan data eksponensial ganda menunjukkan hasil yang berfluktuatif yang cenderung meningkat setiap tahunnya.
29