4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Uraian sponge filum Poriera
2.1.1. Habitat Sebagian besar spesies Porifera hidup di laut dan hanya 159 spesies hidup di air tawar, semuanya termasuk famili Spongillidae. Umumnya terdapat di perairan jernih, dangkal dan menempel di substrat (Suwignyo, 2002). 2.1.2. Morfologi dan Anatomi Ukuran tubuh porifera sangat bervariasi, dari sebesar kacang polong sampai setinggi 9 cm dan lebar 1 m. Bentuk tubuh sponge juga bermacam-macam, beberapa simetri radial, tetapi kebanyakan berbentuk tidak beraturan dengan pola bervariasi .
Gambar 1. Filum Porifera kelas Calcarea Genus Leucosolenia adalah salah satu jenis sponge yang bentuknya sangat sederhana, seperti kumpulan jambanagan kecil yang berhubungan satu sama lain
Universitas Sumatera Utara
5
pada bagian pangkalnya, hidup dilaut menempel pada batu karang dibawah batas air surut terendah.
Gambar 2. Struktur sponge yang sederhana, A. Koloni kecil kulit Leucosolenia, B. Potongan tubuh, C. Schypa. Di dalam setiap individu
yang berbentuk seperti jambangan tersebut
terdapat rongga yang disebut spongocoel atau atrium. Pada permukaan tubuh terdapat lubang-lubang atau pori-pori (asal nama porifra), yang merupakan lubang air masuk ke spongocoel, untuk akhirnya keluar melalui osculum. Pada dasarnya tubuh porifera terdiri atas tiga lapisan, yaitu : a) Pinacocyte atau Pinacoderm, seperti epidermis berfungsi untuk melindungi tubuh bagian dalam. b) Mesohyl atau Mesoglea, terdiri dari zat semacam agar, mengandung bahan tulang dan sel amebocyte. Mesohyl ini mempunyai banyak fungsi antara lain untuk pengangkut dan cadangan makanan, membuang partikel sisa metabolisme, membuat spikul, serat sponge dan membuat sel reproduktif. c) Choanocyte, yang melapisi rongga atrium atau spongocoel. Bentuk choanocyte agak lonjong, ujung yang satu melekat pada mesohyl dan ujung
Universitas Sumatera Utara
6
yang lain berada di spongocoel serta dilengkapi sebuah flagelum yang dikelilingi kelepak dari fibril.
Gambar 3. Tipe morfologi sponge, A. Asconoid, B. Syconoid, C. Leuconoid, D. Sponge tipe Asconoid. Berdasarkan sistem aliran air (bukan secara taksonomi), bentuk tubuh porifera dibagi menjadi tiga tipe, yaitu : 1. Asconoid Diantara ketiga bentuk tersebut diatas, asconoid merupakan bentuk yang paling primitif, meneyerupai vas bunga atau jambangan kecil. Pori-pori atau lubang merupakan saluran pada sel porocyte yang berbentuk tabung, memanjang dari permukan tubuh sampai spongocoel. Air masuk membawa oksigen dan makanan dan keluar membuang sampah. Tipe ini tidak ada yang besar karena getaran flagela tidak mampu mendorong air dari spongocoel keluar melalui osculum.
Universitas Sumatera Utara
7
2. Syconoid Sponge memperlihatkan lipatan-lipatan dinding tubuh dalam tahap pertama termasuk tipe syconoid, misalnya Scypha. Dinding tubuh melipat secara horisontal, sehingga potongan melintangnya seperti jari-jari, hingga masih tetap simetri radial. 3. Leuconoid Tingkat pelipatan dinding spongocoel paling tinggi terdapat pada leuconoid. Flagellatedcanal melipat-lipat membentuk rongga kecil berflagella, disebut flagellated chamber. Spongocoel menghilang dan digantikan oleh saluransaluran kecil menuju osculum (Suwignyo, 2002). 2.1 Fisiologi Proses fisiologi yang terjadi pada porifera sangat tergantung pada aliran air. Air masuk membawa oksigen dan makanan serta mengangkut sisa metabolisme keluar melalui osculum. Makanannya terdiri dari pertikel yang sangat kecil; 80% berukuran kurang dari 5 mikron dan 20% terdiri atas bakteri, dinoflagelata, dan nanoplankton. Partikel makanan ditangkap oleh fibril kelepak pada choanocyte. Partikel yang berukuran antara 5 sampai 50 mikron dimakan dan dibawa oleh amebocyte. Pertukaran gas terjadi secara difusi antara air dan sel sepanjang aliran air. Sistem saraf pada porifera belum ditemukan, segala reaksi yang terjadi bersifat lokal dan bebas (Suwignyo, 2002). 2.1.4. Reproduksi dan Regenerasi Porifera mempunyai kemampuan melakukan regenerasi yang tinggi. Bagian tubuh sponge yang terpotong atu rusak, akan menglami regenerasi menjadi
Universitas Sumatera Utara
8
utuh kembali. Kemampuan melakukan regenerasi ada batasnya, misalnya potongan sponge leuconoid harus lebih besar dari 0,4 mm dan mempunyai beberapa sel choanocyte supaya mampu melakukan regenerasi menjadi sponge baru yang kecil. Porifera berkembang biak secara aseksual maupun seksual. Reproduksi aseksual terjadi dengan cara pembentukan tunas (budding) atau pembentukan sekelompok sel esensial, terutama amebocyte, kemudian dilepaskan. Beeberapa jenis sponge laut mambentuk gemmule, yaitu tunas internal. Gemmule terbentuk dari sekumpulan archeocyte berisi cadangan makanan dikelilingi amebocyte yang membentuk lapisan luar yang keras. Di daerah tropis, gemmule terbentuk sepanjang tahun terutam menjelang musim kemarau. Di daerah bermusim empat, pembentukan gemmule terutama pada musim gugur untuk mempertahankan diri menghadapi musim dingin, ketika tubuh sponge induk hancur. Bila musim semi tiba, sel archeocyte mengalir keluar dari gemmule, membungkus sebagian cangkang dan melakukan diferensiasi manjadi berbagai tipe yang diperlukan untuk tumbuh menjadi sponge kecil. Reproduksi seksual terjadi baik pada sponge yang hermaprodit maupun diocious. Kebanyakan porifera adalah hermaprodit, namun sel telur dan sperma diproduksi pada waktu yang berbeda. Sperma dan sel telur dihasilakan oleh amebocyte, sumber lain mengatakan bahwa sperma juga dapat terbentuk dari choanocyte. Sperma keluar dari tubuh induk melalui osculum bersama dengan aliran air. Dalam spongocoel, sperma akan masuk ke choanocyte atau amebocyte. Sel amebocyte berfungsi sebagai pembawa sperma menuju sel telur dalam
Universitas Sumatera Utara
9
mesohyl. Kemudian amebocyte beserta sperma melebur dengan sel telur, terjadilah pembuahan (Suwignyo, 2002). 2.1.5
Klasifikasi
Filum porifera terdiridari empat kelas, yaitu: 1.
Kelas Calcarea atau Calcispongiae
Spikul kapur, monaxon, triaxon atau tetraxon; permukaan tubuh berbulu; warna suram; tinggi kurang dari 15 cm. Kelas Calcareae terdiri dari 2 ordo, yaitu: 1) Ordo Homocoela, tipe asconoid, dinding tubuh tipis; contohnya Leusosolenia dan Clathrina. 2) Ordo Heterocoela, tipe syconoid atau leuconoid, dinding tubuh tebal; contohnya Scypha 2. Hexactinellida atau Hyalospongiae Sponge kaca, spikul silikat, hexactinal, tipe syconoid; bentuk tubuh silindris, datar atau bertangkai; tinggi 90 cm; di laut pada kedalaman 90 cm samapai 5.000 m. 1)
Ordo Hexasterophora, spikul kecil hexactinal.
2)
Ordo Amphidiscophora, spikul kecil dengan kait-kait pada kedua ujungnya.
3. Kelas Demospongiae Spikul silikat, serat sponge atau keduanya atau tidak ada; bila ada spikulnya monaxon atau tetraxon; tipe leuconoid. a. Subkelas Tetractinellida, spikul tetraxon atau tidak ada, bentuk tubuh bulat atau datar tanpa percabangan; diperairan dangkal.
Universitas Sumatera Utara
10
1) Ordo Myxospongia atau Dendroceratisa, tidak mempunyai spikul; bentuk tubuh sederhana, tanpa kerangka. 2) Ordo Carnosac atau Microsclerophora, spikl tetraxon, ukuran hampir sama. 3) Ordo Choristida, spikul tetraxon, dua macam ukuran besar dan kecil ada semua. b. Subkelas Monaxonida, spikul monaxon; ada yang berserat; bentuk tubuh bervariasi; ditepi pantai sampai kedalaman 45 m; melimpah dan umum. 1) Ordo Hadromerida atau Astromonaxonellida, spikul besar terpisah. 2) Ordo Halichondrida, spikul besar dan mempunyai serat sponge 3) Ordo Poeciloclerida, spikul berukuran besar diikat oleh sponge seperti jala. 4) Ordo haplosclerida, spikul besar . c. Subkelas Keratosa, terdiri dari Dictyoceratida. Rangka dari serat sponge yang mengandung zat tanduk, tidak ada spikul; bentuk tubuh bulat, adakalanya besar sekali, warna gelap terutama hitam. 4. Kelas Sclerospongiae Sponge karang (Corraline sponge). Berbeda dari sponge kelas lainnya, spons karang menghasilkan rangka CaCO 3 yang terjalin dalam serat-serat sponge. Spikul silikat, monaxon; jaringan yang hidup berupa lapisan tipis menyelubungi rangka kapur, dapat mencapai diameter 1 m; banyak ditemukan di daerah terumbu karang (Suwignyo, 2002).
Universitas Sumatera Utara
11
2.2.
Uraian kimia Terpena merupakan senyawa yang terbentuk dari satuan isoprena atau
isopentana yang terbentuk oleh penyambungan 2 atau lebih satuan C5 yang berkombinasi dengan susunan kaidah kepala-ekor. Terpenoida merupakan terpena yang mengandung unsur-unsur lain disamping C dan H. Komposisi senyawa terpenoida dapat berupa monoterpenoida (C10), seskuiterpen (C15), diterpenoida (C20), triterpenoida (C30), tetraterpenoida (C40), dan politerpenoida (Cn) 2.2.1. Senyawa Terpenoida Terpenoida merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C-30 asiklis, yaitu skualena. Triterpena dapat dibagi menjadi empat golongan yaitu: 1. Triterpena sebenarnya Berdasarkan jumlah cincin yag terdapat dalam struktur molekulnya, dapat digolongkan atas (Harborne, 1987) : a. Triterpena asiklik yaitu triterpena yang tidak mempunyai cincin tertutup pada struktur molekulnya, misalnya skualena (Robinson, 1995). Struktur kimia skualena dapat dilihat pada gambar 4 berikut ini.
Gambar 4. Struktur kimia skualena
Universitas Sumatera Utara
12
b. Triterpena trisiklik yaitu triterpena yang mempunyai tiga cincin tertutup pada struktur molekulnya, misalnya ambrein (Robinson, 1995). Struktur kimia ambrein dapat dilihat pada gambar 5 berikut ini.
OH
Gambar 5. Struktur kimia ambrein c. Triterpena tetrasiklik yaitu triterpena yang mempunyai empat cincin tertutup pada struktur molekulnya, misalnya lanosterol (Robinson, 1995). Struktur kimia lanosterol dapat dilihat pada gambar 6 berikut ini.
Gambar 6. Struktur kimia lanosterol d. Triterpena pentasiklik yaitu triterpena yang mempunyai lima cincin tertutup pada struktur molekulnya, misalnya β-amirin (Robinson, 1995). Struktur kimia β-amirin dapat dilihat pada gambar 7 berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
13
H3C
CH3
CH3
CH3
CH3
CH3
HO
CH3 H3C
Gambar 7. Struktur kimia β-amirin 2. steroida 3. saponin 4. glikosida jantung. 2.2.2. Senyawa Steroida Steroida adalah triterpena yang kerangka dasarnya cincin siklopentana perhidrofenantren (Harborne, 1987). Inti steroida dasar sama dengan inti lanosterol dan triterpenoida tetrasiklik lain, perbedaannya hanya pada sistem cincin, pada posisi 10 dan 13. Nama sterol dipakai khusus untuk steroida alkohol, tetapi karena praktis semua steroida tumbuhan berupa alkohol dengan gugus hidroksil pada C-3, seringkali semuanya disebut sterol (Robinson, 1995). Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem siklopentana perhidrofenantren. Dahulu sterol terutama dianggap sebagai senyawa satwa (sebagai hormon kelamin, asam empedu, dan lain-lain) (Harborne, 1987). Kerangka dasar dan sistem penomoran steroida (Robinson, 1995) dapat dilihat pada gambar 8 berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
14
12
17
13
11
16
1 10
2 3
14
9
15
8 7
5 4
6
Gambar 8. Kerangka dasar steroida dan sistem penomorannya Dari pandangan kimiawan organik, semua molekul steroida adalah turunan jenuh dari fenantren (hidrokarbon aromatik trisiklik). Gambar 10 berikut ini menunjukkan keempat lambang (A, B, C, D) inti steroida (Wilbraham, 1992). 12 13
11
10
2 3
A
9
B 5
4
14 8
16
D
C
1
17
15
7 6
Gambar 9. Penulisan lambang keempat (A, B, C, D) inti steroida. Berdasarkan sumber atau asalnya maka sterpoida dibagi atas empat golongan (Manitto, 1981), yaitu : a. Zoosterol yaitu steroida yang berasal dari hewan terutama vertebrata. b. Fitosterol yaitu steroida yang berasal dari tumbuhan. c. Mikosterol yaitu steroida yang berasal dari jamur (fungi). d. Zoosterol yaitu steroida yang berasal dari organisme laut. 2.2.3. Senyawa Alkaloida Alkaloida biasanya diperoleh dengan cara mengekstraksi bahan tumbuhan memakai air yang diasamkan yang melarutkan alkaloid sebagai garam, atau bahan
Universitas Sumatera Utara
15
tumbuhan dibasakan dengan natrium karbonat dan sebagainya dan basa bebas diekstraksi dengan pelarut organik sepeerti kloroform, eter dan sebagainya. Pereaksi Mayer (kalium tetraiodomerkurat) paling banyak digunakan untuk mendeteksi alkaloid, pereaksi lain seperti Wagner (iodium dalam kalium iodide), pereaksi Dragendorff dan iodoplatinat. Untuk kebanyakan alkaloid, pelarut yang digunakan bersifat asam atau basa untuk memastikan bahwa molekul semuanya tidak terprotonisasi atau semuanya terprotonisasi. Pereaksi deteksi yang paling umum digunakan untuk penyemprot kromatogram adalah pereaksi Dragendorff (Robinson, 1995). 2.4.
Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut tertentu. Proses ekstraksi akan menghasilkan ekstrak. Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan (Depkes, 2000). Penguapan ekstrak dilakukan dengan penguap vakum putar pada suhu tidak lebih dari 40oC dalam suasana tekanan dikurangi (Harborne,1987). Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Depkes, 2000) yaitu : A.
Cara dingin 1. Maserasi Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan
beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar.
Universitas Sumatera Utara
16
2. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. B.
Cara panas 1. Refluks Refluks adalah ekstraksi pelarut pada tempertur titik didihnya, selama waktu
tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 2. Digesti Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 4050oC. 3. Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan menggunakan alat soxhlet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 4. Infundasi Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90oC selama 15 menit. 5. Dekok Dekok adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90oC semala 30 menit.
Universitas Sumatera Utara
17
2.5 Kromatografi Cara-cara kromatografi dapat dikelompokkan berdasarkan fase gerak dan fase diam yang digunakan (Sastrohamidjojo, 1985) yaitu : 1. Fase gerak zat cair-fasa diam padat (kromatografi serapan) - Kromatografi lapis tipis 2. Fasa gerak gas-fasa diam padat - Kromatografi gas padat 3. Fasa gerak cair-fasa diam cair - Kromatografi kertas 4. Fasa gerak gas-fasa diam cair - Kromatografi gas cair 2.5.1. Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis merupakan kromatografi serapan dimana fasa diam berupa zat padat yang disebut adsorben (penyerap) dan fasa gerak berupa zat cair yang disebut larutan pengembang (Gritter. dkk, 1991). Campuran yang akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak. Setelah plat atau lapisan ditaruh di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fasa gerak),
pemisahan
terjadi
selama
perambatan
kapiler
(pengembangan).
Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (dideteksi) (Stahl, 1985). Deteksi Terdapat berbagai kemungkinan untuk deteksi senyawa tanwarna pada kromatogram. Deteksi paling sederhana adalah jika senyawa menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
18
penyerapan di daerah UV gelombang pendek (radiasi utama pada kira-kira 254 nm) atau jika senyawa itu dapat dideteksi ke fluoresensi radiasi UV gelombang panjang (365 nm). Jika dengan kedua cara itu senyawa tidak dapat dideteksi, harus dicoba dengan reaksi kimia ; pertama tanpa dipanaskan, kemudian bila perlu dipanaskan. Deteksi biologi pada beberapa kasus dapat dilakukan (Stahl, 1985). Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan noda dalam kromatografi lapis tipis yang juga mempengaruhi harga Rf, yaitu : 1. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan. 2. Sifat dari penyerap dan derajat aktifasinya. Perbedaan penyerap akan memberikan
perbedaan
yang
besar
terhadap
harga
Rf,
meskipun
menggunakan fasa gerak yang sama. 3. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap. 4. Pelarut (derajat kemurnian) fase gerak 5. Derajat kejenuhan dari uap dalam bejana pengembangan yang dilakukan. 6. Teknik percobaan. 7. Jumlah cuplikan yang digunakan. 8. Suhu. 9. Kesetimbangan.
Universitas Sumatera Utara