TINGGALAN ARKEOLOGI BAWAH AIR DI KEPULAUAN RIAU Oleh: Teguh Hidayat
I.
Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang memiliki sumber daya alam yang sangat beragam. Letaknya yang membentang di tengah katulistiwa serta di perlintasan jalur pelayaran yang selalu ramai memberikan keuntungan tersendiri yuang tidak dimiliki oleh negara lain. Sehingga tidak heran sejak zaman raja-raja nusantara hingga masa kolonial, Indonesia selalu menjadi tujuan utama baik untuk keperluan berdagang maupun untuk mengambil kekayaan alam bagi kepentingan negara kolonial. Sama dengan wujud fisiknya, dunia maritim adalah sebuah dunia yang luas, sukar ditebak sebab ia bisa tenang memberikan kedamaian dan rezeki bagi anak manusia, namun dengan tiba-tiba bisa berubah menjadi ganas dan menakutkan bahkan mematikan. Masyarakat bersahaja hingga masyarakat modern memiliki pandangan tersendiri mengenai laut. Masyarakat bersahaja misalnya memandang laut sebagai sebuah dunia yang penuh misteri. Nelayan yang menggantungkan hidup mereka pada laut, memandang laut sebagai awal dan akhir kehidupan mereka. Pelaku bisnis melihat laut sebagai sebuah dunia yang kaya dengan sumberdaya yang bisa digarap untuk mendatangkan keuntungan. Ilmuwan kini melihat laut sebagai sebuah potensi yang bisa membantu manusia dalam memecahkan berbagai persoalan hidupnya, dan para nasionalisme memandang laut sebagai pemersatu bangsa. Sebagaimana diketahui bahwa wilayah kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya Batusangkar meliputi tiga provinsi, yakni Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau, yang sebagian wilayah tersebut terdiri dari wilayah perairan atau laut. Wilayah laut Kepulauan Riau misalnya, adalah wilayah yang sangat kaya akan tinggalan sumberdaya arkeologi bawah air, tersebar di antara pulau-pulau yang menaunginya, seperti P. Lingga, P. Batam, P. Natuna, P. Anambas, dan P. Bintan. Pada saat ini, informasi tentang tinggalantinggalan yang terkait dengan potensi sumberdaya arkeologi bawah air di wilayah perairan Kepulauan Riau masih belum tertata dan terkumpul secara lengkap dan akurat. Padahal hal tersebut sangat penting bagi upaya pelestarian dan pemanfaatannya dikarenakan data hasil riset sumberdaya arkeologi bawah air tersebut mutlak diperlukan oleh pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya sebagai dasar untuk pengambilan kebijakan di bidang pembangunan. Sehingga tak heran seperti tidak pernah berhenti kasus pencurian atau pengambilan sumberdaya arkeologi secara ilegal di wilayah tersebut setiap hari terus berlangsung, dan seakan kita kesulitan untuk memberantasnya. Pada akhir-akhir ini kejadian pengambilan secara ilegal sumberdaya arkeologi bawah air kerap terjadi di wilayah perairan Bintan, seperti di Pulau Numbing, Pulau Mapur, Karang Heluputan (Cuyang), dan Tanjung Renggung dan wilayah perairan Kabupaten Lingga, seperti di Batu Belubang. Beberapa kejadian penangkapan yang dilakukan oleh pihak AL serta Kantor Bea Cukai Tanjungpinang hampir setiap bulan dikonfirmasikan kepada BPCB Batusangkar, dan sampai saat ini beberapa kasus tersebut sedang dilakukan pendalaman terhadap para saksi. Artinya
masalah pelindungan terhadap cagar budaya bawah air tersebut menjadi perhatian utama, agar apa yang terkandung di wilayah perairan Bintan tersebut dapat terselamatkan dan dimanfaatkan. Sebagai sebuah sumberdaya non hayati, tentulah tinggalan-tinggalan arkeologis bawah air tersebut memilki potensi yang dapat digali dan dimanfaatkan untuk kepentingan publik, antara lain adalah untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan lain-lain. Selain itu, sumberdaya arkeologi bawah air juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi, misalnya dijadikan sebagai objek wisata bahari serta temuannya dapat ”dijual” dengan nilai yang tinggi.
II. Latar Belakang Sejarah Sumberdaya arkeologi laut sendiri dalam makna dan konsep merupakan salah satu potensi dari kawasan wilayah laut yang bernilai historis dan sangat penting bagi ilmu pengetahuan. Sumberdaya arkeologi laut dapat berupa tinggalan-tinggalan dari aktivitas pelayaran seperti kapal karam (shipwreck) karena muatannya, sisa-sisa pelabuhan kuno, mercusuar, atau mungkin juga pemukiman kuno yang saat ini lingkungan fisiknya telah berada di kawasan laut, baik pesisir maupun bawah laut. Sebagai sebuah sumberdaya non hayati, tentulah tinggalan-tinggalan arkeologis laut tersebut memilki potensi yang dapat digali dan dimanfaatkan untuk kepentingan publik,
antara lain adalah untuk pengembangan ilmu pengetahuan, misalnya untuk mengetahui proses-proses perkembangan dan perubahan fisik bumi yang mempengaruhi kehidupan manusia di masa lampau, dan lain-lain. Selain itu, sumberdaya arkeologi laut juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi, misalnya dijadikan sebagai objek wisat bahari. Apabila sumberdaya arkeologi laut dikaitkan dengan kenyataannya mengenai wilayah Indonesia yang dua pertiga bagiannya merupakan lautan serta mengingat alat transportasi pertamakali yang dipergunakan manusia sejak berabad-abad yang lalu untuk dapat bermigrasi ke berbagai wilayah dunia adalah dengan melakukan pelayaran, maka potensi arkeologi laut di wilayah perairan Indonesia tentu cukup besar. Sebagaimana diketahui, wilayah laut Indonesia yang luas juga menjadi alat penghubung perniagaan hingga ke pelosok-pelososk daerah di dunia. Berkaitan dengan hal tersebut, bukan tidak mungkin dalam melakukan pelayaran-pelayaran tersebut terjadi kecelakaan yang mengakibatkan kapal atau perahu beserta muatan yang mereka bawa tenggelam dan terkubur di dasar samudera hingga saat ini. Selain kecelakaan-kecelakan dalam pelayaran, perubahan fisik bumi yang kerap terjadi sebagai akibat bencana besar seperti gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus dapat mengakibatkan terputus atau hilangnya sebuah peradaban dari muka bumi dan mungkin saat ini ada yang terkubur di dasar lautan. Peninggalan budaya bawah air di Indonesia mulai menjadi pusat perhatian setelah keberhasilan pencarian dan pengangkatan muatan kapal tenggelam di perairan Riau, Sumatera tahun 1986 oleh seorang warga negara asing. Keberhasilannya meraup keuntungan jutaan dolar dalam lelang temuan muatan kapal, mendorong banyak pihak untuk mengikuti jejaknya mencari, menemukan, dan mengangkat tinggalan budaya bawah air di perairan Indonesia. Namun disayangkan pengangkatan itu tidak diikuti dengan penelitian arkeologi bawah air yang seharusnya. Dalam waktu sekitar 25 tahun belakangan ini di berbagai belahan dunia telah ditemukan sekitar 33 lokasi kapal tenggelam yang diidentifikasi sebagai kapal VOC (Jerzy Gawronski, 1992:14). Data-data tersebut terbatas pada peninggalan-peninggalan dari setelah abad ke-16, yaitu setelah orang-orang-orang Eropa mulai terlibat langsung dalam perdagangan laut internasional (Rijksmuseum, 1992:30). Penemuan terhadap kapal-kapal Belanda tersebut tidak dapat dilepaskan dari upaya pencarian data melalui penelusuran catatan sejarah yang dibuat orang-orang pada masa itu. Catatan itu tidak jarang
memudahkan penemuannya di kemudian hari. Sementara itu keberadaan lokasi kapal-kapal tenggelam sebelum datangnya orang-orang Eropa dalam aktivitas pelayaran di perairan Indonesia, meskipun barangkali juga meninggalkan catatan sejarah, agak sulit menemukan rekaman tertulisnya. Wilayah di pesisir timur Pulau Sumatera dan pulau-pulau yang berada di Selat Malaka dan bagian selatan Laut Cina Selatan merupakan kawasan strategis. Keberadaannya sangat ideal dimanfaatkan sebagai benteng dari arus laut yang mempermudah penjelajahan kawasan ini karena penggunaan perahu/kapal layar yang jalur jelajahnya menyusur pantai. Sistem angin yang dikenal dengan musim barat dan musim timur memberikan kemungkinan pengembangan jalur pelayaran barat-timur pulang balik secara teratur dan berpola tetap, sehingga aktivitas perdagangan berlangsung secara kontinyu. Melalui sumber asing dan sumber lokal diketahui bahwa sekurang-kurangnya pada abad ke-7 kerajaan Sriwijaya telah berkiprah sebagai sebuah institusi kerajaan yang berbasiskan kemaritiman. Ketika itu Selat Malaka dan juga sebagian Laut Cina Selatan merupakan wilayah yang menjadi tumpuan penghidupan dalam bentuk eksploitasi hasil laut, jalur pelayaran dan perdagangan, serta sekaligus sarana unjuk kekuatan dan kekuasaan. Melalui data arkeologis diyakini bahwa masa itu sudah ada interaksi antara masyarakat di sekitar jalur yang di lalui dengan masyarakat India dan Cina. Interaksi antara masyarakat tersebut tidak saja menyangkut perdagangan tetapi juga budaya. Pada masa selanjutnya, Kerajaan Malaka merupakan salah satu kerajaan besar di wilayah timur Sumatera yang menitik beratkan aktivitas perekonomian pada bidang perdagangan di kawasan Selat Malaka dan sebagian Laut Cina Selatan, melanjutkan aktivitas saat masa kejayaan Sriwijaya. Sumber sejarah juga menyampaikan bahwa pada masa selanjutnya, jalur perdagangan yang sudah ada diperluas penggunaannya, bahkan sampai ke daerah-daerah yang relatif baru, sebagai bandar perdagangan dan sekaligus pusat kekuasaan. Demikian padatnya aktivitas pelayaran dan perdagangan di pantai timur Sumatera serta pulau-pulau di bagian selatan Laut Cina Selatan didukung dengan berkembangnya pusat-pusat kerajaan seperti Kandis, Rokan, Keritang, Bintan, dan lainnya. Kelak memasuki abad ke-16 Portugis mulai melakukan ekspansi ke Malaka dan kerajaan lainnya seperti kerajaan Melayu-Riau dan Rokan. Hal itu tidak berlangsung lama karena kedatangan Belanda di sekitar awal abad ke-17, perlahan-lahan mulai mengusir keberadaan Portugis di wilayah ini. Kontak pihak Belanda dengan kerajaan Melayu-Riau dilakukan untuk mempermudah aktivitas perdagangan. Politik pecah-belah yang dilakukan Belanda mengakibatkan munculnya kerajaan-kerajaan kecil sebagai penguasa di Selat Malaka. Salah satunya adalah Kesultanan Lingga yang terletak di Pulau Lingga pada awal abad ke–19. Selanjutnya pada tahun 1874 Belanda dan Inggris memecah kesatuan masyarakat Melayu dengan Traktat London 1824. Semenanjung Melayu dan Singapura berada di bawah
kekuasaan Inggris, sedangkan Riau Kepulauan dan daerah yang berada di selatan Singapura ke tangan Belanda. Kedudukan sultan tidak berarti lagi karena hanya mengurusi soal yang berkaitan dengan kebangsawanan dan menjadi alat kepentingan Belanda sampai tahun 1913 (Sejarah Daerah Riau,1977/1978:124). Demikianlah Pulau Bintan, bagian wilayah di kawasan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, adalah sebuah tempat yang penuh sejarah, budaya, dan adat istiadat Melayu. Sejarah daerah ini mengungkapkan bahwa sejarah Melayu berakar dari tempat ini dan mengalami banyak kontak budaya dengan bangsa-bangsa lain. Keterkaitan sejarahnya tidak hanya dengan sejarah Kerajaan Malaka, Kerajaan Riau-Lingga, dan Kerajaan Melayu-Riau yang berlokasi di hulu Sungai Carang saja, akan tetapi juga memiliki hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Kalimantan, Jawa, dan Sulawesi, maupun pusat rempah-rempah dunia di Kepulauan Maluku. Pada sisi lain, keberadaan Pulau Bintan juga harus dikaitkan dengan upaya pihak kolonial yang mengeksploitasi hasil tambangnya. Bagian Pulau Bintan yang memiliki peran penting dalam kesejarahan adalah juga bekas pelabuhan dan pusat pemerintahan di tepian pantai beberapa pulau yang terdapat di Pulau Bintan dan sekitarnya, juga tepian sungai yang mengalir di Pulau Bintan. Sedikit aktivitas arkeologis yang telah dilakukan di sana memperlihatkan bahwa di lokasi-lokasi yang cukup strategis ini memiliki peninggalan berupa potensi cagar budaya yang berwujud struktur bangunan. Contohnya adalah peninggalan purbakala di Pulau Penyengat, peninggalan purbakala di sepanjang Sungai Carang dan lainnya. Demikian pula dengan peninggalan purbakala yang terdapat di bawah permukaan air. Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa wilayah perairan Kepulauan Riau, memiliki potensi sumberdaya arkeologi bawah air yang relatif padat, seperti di Tanjung Nibung, Pulau Mapur, Karang Heluputan (Cuyang), Tanjung Renggung, Pulau Buaya, Batu, Belubang, dan Kepulauan Natuna. Potensi sumberdaya arkeologi bawah air tersebut sudah lama dilakukan ekplorasi pengangkatan sejak tahun 2005, baik yang telah ditangani oleh Pannas BMKT maupun pengangkatan yang ilegal yang sampai detik ini kerap terjadi.
Hasil eksplorasi di Karang Heluputan Th. 1986
III. Permasalahan
Keramik hasil penagkapan oleh Lantamal Tanjungpinang
Smple guci dari Tanjung Renggung
Kepulauan Riau sejak dulu telah menjadi ajang kegiatan manusia, menyangkut aktivitas perdagangan, politik, dan kebudayaan. Wilayahnya yang berhadapan dengan Selat Malaka memungkinkan menjadi tempat pendaratan bagi pedagang dari berbagai belahan dunia. Begitupun dengan Laut Cina Selatan yang menjadikan wilayah Kepulauan Riau sebagai pintu keluar masuknya. Sebagian kecil peninggalan arkeologis di wilayqh Kepulauan Riau telah dideskripsi dan dipetakan – dan di beberapa pulau serta wilayah perairan sekitarnya masih berupa informasi yang belum dibuktikan – yang memperlihatkan bukti mengenai keterkaitannya dengan kejayaan Kerajaan Melayu Riau pada masa lalu, yang pada masanya telah menjalin hubungan dengan daerah lain. Melihat perjalanan sejarahnya, dapat diduga bahwa daerah ini memiliki cukup banyak tinggalan budaya. Beberapa peneliti dan penelitian telah mengemukakan hal tersebut. Namun hingga saat ini aktivitas penelitian arkeologi yang dilakukan belum banyak sehingga informasi tentang peninggalan budaya dan sejarahnya sangat sedikit. Daerah ini belum mendapatkan porsi penelitian arkeologis yang memadai, sementara mengacu pada perjalanan sejarah yang telah dilaluinya dapat diduga akan besarnya potensi objek arkeologis dan historis daerah ini, dan ragam jenisnya cukup besar bila dibandingkan dengan daerah lain di Sumatera. Terlebih dengan peninggalan bawah airnya yang demikian besar sehingga oleh sekelompok dijadikan komoditas modern yang demikian dikenal di kalangan/tempat tertentu. Hal ini yang menyebabkan aktivitas arkeologis belum banyak dilakukan namun aktivitas ekonomi yang hanya menguntungkan sekelompok kecil orang melalui pencurian objek arkeologi bawah air berlangsung marak. Objek-objek dimaksud, berasal dari rentang waktu yang cukup panjang, dari masa prasejarah hingga masa kolonial Belanda, dan Jepang, perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar. Sebagai bukti sejarah, objek-objek dimaksud perlu dilestarikan, dimanfaatkan, dan dikembangkan untuk berbagai kepentingan. Pengembangan potensi arkeologis dan historis itu memungkinkan pencapaian tujuan kepentingan lain yang lebih luas, bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berkenaan dengan hal tersebut, jelas perlu dilakukan penelitian-penelitian yang kelak dapat memerikan peninggalan-peninggalan masa lalu di Provinsi Kepulauan Riau secara tepat bagi berbagai kepentingan. Balai Pelestarian Cagar Budaya Batusangkar, sebagai instansi teknis yang menangani pelestarian cagar budaya, hingga saat ini masih terbatas melakukan kegiatan survei tinggalan bawah air. Kegiatan itu sesungguhnya dimulai dari langkah paling awal, yaitu mendapatkan informasi mengenai potensi budaya bawah air di daerah perairan tertentu. Informasi tersebut diperoleh dari berbagai sumber, melalui laporan penemuan, arsip, dokumen lama, maupun di museum atau dari masyarakat setempat. Informasi dari masyarakat nelayan selama ini paling sering terjadi. Beberapa
kegiatan survei yang telah dilakukan oleh BPCB Batusangkar di wilayah perairan Kepulauan Riau, antara lain survei bawah air di Tanjung Renggung yang baru-baru ini dilakukan dalam rangka mendukung kegiatan dari Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, survei bawah air di Batu Belubang Kabupaten Lingga, survei bawah air pesawat tenggelam di Senayang, Kab. Lingga, survei bawah air di Kepulauan Natuna. Dari beberapa kegiatan tersebut, serta beberapa permasalahan yang muncul, khususnya situs-situs bawah air di perairan Bintan memiliki potensi yang sangat besar untuk diarahkan ke dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi bawah air yang berkelanjutan. Untuk menuju terwujudnya pengelolaan yang menyeluruh diperlukan sumberdaya manusia yang handal dari berbagai disiplin ilmu dan lintas sektoral, sarana dan prasarana yang memadai, serta pembiayaan yang tidak sedikit. Dalam rangka mendukung cita-cita ke depan, diharapkan program ini menjadi program unggulan Balai Pelestarain Cagar Budaya Batusangkar dengan dukungan pembiayaan dari Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. Ketertarikan akan Kabupaten Bintan sebagai wilayah yang menjadi cakupan kegiatan berkenaan dengan banyaknya kasus pengangkatan “harta karun” dari lokus-lokus bangkai perahu. Informasi tentang banyaknya titik-titik bangkai perahu dengan kargo berupa keramik maupun objek lainnya cukup santer di lingkungan masyarakat. Mass-media juga banyak menginformasikan besarnya jumlahan barang-barang kuna dari dasar perairan yang diperjualbbelikan di dalam dan di luar negeri. Selain itu kegiatan ini dilakukan sebagai bagian dari upaya memperlakukan objek-objek arkeologis dari bawah air sebagai cagar budaya bagi pemenuhan keinginan mengenal lebih lanjut tentang berbagai aspek kehidupan yang pernah berlangsung sejak lama di sana. Terkait dengan itu maka perlu diupayakan pengetahuan tentang bentuk, kondisi, dan periodesasi peninggalan/tapak peninggalan arkeologi-historis di sana, serta upaya pengelolaan yang berkelanjutan. IV.
Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan kajian pemanfaatan sumberdaya arkeologi bawah air di Kabupaten Bintan merupakan kegiatan pendukungan dari kegiatan survei pendataan yang dilakukan oleh Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. Kegiatan ini melibatkan berbagai instansi dan organisasi tertentu, seperti dari Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Pusat Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi Medan, Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (Possi) Cabang Semarang, Pemerintah Provinsi Kep. Riau, dan Pemerintah Kabupaten Bintan. Sementara untuk kegiatan kajian pemanfaatan dilaksanakan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Batusangkar sendiri bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Bintan. Pemilihan lokasi kegiatan ditentukan berdasarkan informasi dari warga setempat yang pernah melakukan pengambilan dari lokasi yang ditentukan, yaitu pada titik koordinat ....... Pada kegiatan penyelaman di hari pertama dilakukan orientasi lokasi yang sudah ditentukan dengan menurunkan para penyelam yang terbagi menjadi 3 shorty. Penyelaman pertama menemukan sebuah piring kecil dengan kondisi sudah pecah, tetapi tidak menemukan adanya indikasi temuan arkeologis apapun yang memperkuat dugaan sebagai situs. Kondisi
di dasar permukaan hanya berupa hamparan lumpur dan sedikit karang yang baru tumbuh. Orientasi lokasi diakhiri karena tidak menemukan indikasi sebuah situs bawah air. Dari hasil diskusi evaluasi yang dilakukan setiap selesai kegiatan, esoknya ditentukan lokasi penyelaman bergeser sekitar radius 300 meter dari lokasi yang pertama. Pada saat tim menuju lokasi, nampak dari jarak sekitar 1 mil, ternyata lokasi yang sudah ditentukan untuk penyelaman berikutnya sudah didatangi oleh sebuah perahu yang diduga akan mengambil keramik dari dasar laut. Dugaan tersebut ternyata benar, ketika kapal yang ditumpangi oleh tim hampir mendekati lokasi, perahu para penjarah itu segera kabur meninggalkan lokasi penyelaman. Tak lama kemudian perahu yang terdiri dari 7 orang itu mendekati kembali kapal yang ditumpangi oleh tim sambil mengamati aktifitas di kapal tim, tapi tidak lama mereka pergi menjauh hingga tak nampak lagi. Diduga mereka belum sempat melakukan penyelaman. Dengan kejadian tersebut mengindikasikan bahwa masalah penjarahan atau pengambilan benda cagar budaya di bawah air yang berada di wilayah Kabupaten Bintan hampir setiap hari terjadi. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dilaporkan kepada BPCB Batusangkar terkait dengan tangkapan yang dilakukan oleh pihak AL, dan juga sebagaimana yang telah diberitakan lewat mass media. Setiap kali tim akan melakukan penyelaman, selalui didahului dengan pengamatan lingkungan air, seperti arus atas dan arus bawah. Di lokasi yang menjadi titik penyelaman, terutama untuk arus bawah, rentang waktu selam yang ideal sungguh sangat singkat, hanya sekitar 1 jam dan kejadiannya selalu mundur 1 jam setiap harinya. Dalam hal ini tim harus pandai membaca situasi lingkungan setiap kali merencanakan penyelaman pada hari-hari berikutnya. Kegiatan kali ini dilakukan pada 6 (enam) titik di perairan Tanjung Renggung/perairan Telang. Setidaknya ada 2 (dua) titik penyelaman yang memiliki kandungan objek arkeologi. Titik pertama yang disepakati untuk disebut Situs Tanjung Renggung I adalah areal seluas 15 meter x 35 meter dengan gundukan (bagian dasar perairan yang meninggi) di bagian tengahnya seluas 6 meter x 20 meter. Titik penyelaman pada koordinat N 00º 41' 788" - E 104º 31' 850" ini memiliki kedalaman sekitar 23 meter. Pada gundukan setinggi 1 – 1, 5 meter itu terkonsentrasi keramik dan kayu. Gundukan dimaksud merupakan bagian yang dipenuhi keramik dan sedikit kayu. Keramik sebagian masih dalam susunan melingkar dan bertumpuk, lainnya sudah dalam kondisi berpencar dan pecah. Sebagian besar keramik dan pecahan keramik telah/masih diselimuti terumbu karang. Selain mangkuk dan piring, keramik lain berupa mercury jar (?) dan guci (tempayan). Adapun kayu-kayu di bagian gundukan itu merupakan sisa kerangka/badan perahu. Setidaknya ada dua bentuk potongan kayu, yang pertama berupa papan perahu dengan lubang untuk memasukkan pasak yang masing-masing berjarak antara 15 – 16 cm dengan diameter lubang 1,2 cm hingga 1,4 cm dengan kedalaman 3 cm. Papan perahu itu memiliki tambuku di salah satu sisinya dengan dua lubang untuk menempatkan ikatan tali ijuk. Ukuran papan perahu yang dijadikan sample dalam kegiatan ini sekitar 76 cm dan lebar 11 cm dengan tebal tanpa tambuku 2,5 cm – 3 cm. Tambuku pada papan itu panjangnya 32 cm, lebar 4-5 cm, dan tebal 3 cm. Adapun jarak lubang berisi tali ijuk di tambuku berdiameter 1 cm.
Bentuk lain kayu yang diperoleh berupa potongan batang kayu yang masih bulat. Menarik untuk diamati bahwa pada potongan batang kayu/kayu agak membulat itu menempel sisa tali ijuk yang masih membentuk ikatan. Diameter kayu dimaksud sekitar 10 cm. Lingkungan di titik itu berupa pasir dan lumpur halus yang cukup liat. Pasir di permukaan dasar perairan tampaknya dipenuhi dengan pecahan karang. Kemungkinan hal itu disebabkan adanya perusakan karang dengan menggunakan bom beberapa waktu yang lalu. Selanjutnya, penyelaman pada titik kedua (disebut situs Tanjung Renggung V) di koordinat N 00º 42' 409" - E 104º 29' 110" memungkinkan pengenalan kita akan keberadaan sebuah bangkai kapal besi. Di kedalaman sekitar 19 meter terdapat sisa kerangka kapal besi yang tampak telah terpotong. Sementara ini masih dapat dilihat bagian buritan kapal selebar 7 meter dan tinggi sekitar 4 meter. Memanjang sekitar 9 meter ke arah timurlaut adalah bagian lambung buritan setinggi 3,50 meter. Di bagian ini masih tampak lubang jendela di ketinggian sekitar 2,5 meter dari dasar perairan. Selanjutnya ke arah haluan masih dijumpai bagian lambung yang telah patah yang menyebabkan ada celah selebar sekitar 3 meter yang menyebabkan bagian kedua kapal itu terpisah. Bagian yang masih tampak tersisa dari bagian ini sekitar 17 meter. Lingkungan sekitar titik kedua merupakan landaian pasir tipis sekitar tumbuhan dan ikan yang cukup ramai. Adapun bagian kapal itu telah ditumbuhi karang halus (akar bahar diantaranya) dan tanaman lain yang menyebabkan bangkai kapal itu menjadi terumbu. Ikan cukup banyak dan tidak heran bila karang kapal itu menjadi rumpon yang selalu dikunjungi nelayan untuk memancing. Selain itu, dalam kegiatan kali ini dilakukan pendataan atas tinggalan budaya di Pulau Mantang. Di dekat kantor Kecamatan Mantang, di wilayah Kampung Mantang Lama, Desa Mantang Lama dijumpai sekumpulan makam/bong Cina. Ada tujuh buah makam yang dikatakan masyarakat sebagai makam orang Cina yang dahulu menghuni pulau tersebut. Makam-makam tampak belum terlalu tua, dan dikaitkan dengan kedatangan Cina saat ikut bekerja di pertambangan bauksit sebelum Perang Dunia Kedua. Ini menjadi bukti perjalanan sejarah daerah tersebut. Keberadaan situs-situs bawah air di lokasi yang baru diselami sungguh menarik. Berada pada jalur pelayaran yang sudah berlangsung sejak dahulu, katastrofi atas moda transportasi air itu menyebabkan adanya situs bangkai perahu/kapal tenggelam. Konfirmasi melalui foto pada Sdr. R Widiati atas keramik yang dijumpai di lokasi Tanjung Renggung I menunjukkan bahwa keramik-keramik yang terdapat di sana adalah objek buatan Cina dari masa dinasti Song (abad 10--13), dan kemungkinan besar adalah produk masa dinasti Song abad 12--13. Kemudian konfirmasi atas papan dan kayu yang dijadikan sample dalam kegiatan ini memperlihatkan keberadaan perahu yang dibangun dengan teknik pasak dan ikat. Untuk menyambung papan satu dengan papan lainnya digunakan pasak yang jelas berbahan kayu sapang/sepang (Caesalpinia sappan).
Adapun penggunaan teknik ikat adalah untuk menyatukan papan lambung dan gadinggading, sebagaimana tampak pada penggunaan tali berbahan ijuk (Arenga pinnata) di lubang tambuku serta pada sisa gading-gading. Kemungkinan besar papan lambung perahu itu menggunakan kayu cengal, cangal, atau sangal (Hopea sangal) yang termasuk suku Dipterocarpaceae atau meranti-merantian. Tinggi jenis pohon ini dapat mencapai 40 m, dan tumbuh di Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan. Kontribusi ilmiah dan konfirmasi para ahli biologi/kehutanan diperlukan untuk kepastiannya. Begitupun dengan upaya pentarikhan perahu melalui analisis radiocarbon dating. Sementara dapat diduga bahwa perahu yang terdapat sisanya di lokasi ini, yang kemungkinan merupakan moda transportasi keramik itu adalah perahu-perahu bertradisi nusantara. Melalui sisa kayu, dapat diduga bahwa moda transportasi yang digunakan bukan jung/wangkang Cina. Selanjutnya berkenaan dengan keberadaan kapal besi di situs Tanjung Renggung V, kepastian tentang keberadaannya masih memerlukan tindak lanjut. Sementara ini hanya informasi tentang kapal barang yang tenggelam pada masa penjajahan Jepang di Indonesia yang diterima dari masyarakat, dan melihat pada kondisi fisiknya mungkin dapat diterima. Sementara keberadaan makam Cina di Pulau Mantang mungkin dapat menjadi salah satu bukti bahwa kehadiran mereka dahulu terkait dengan penambangan bauksit di sana.
V. Rekomendasi Aktivitas arkeologis terdahulu yang telah dilakukan terhadap situs-situs di wilayah Kabupaten Bintan merekomendasikan perlunya dilakukan kajian-kajian menyangkut keberadaan objek arkeologis-historis itu, antara lain untuk mengetahui aspek kronologisnya dan informasi teknis menyangkut tingkat kerusakan yang ada di sana sekaligus upaya pelestariannya. Pertimbangannya adalah nilai historis objek tersebut diperkirakan cukup tinggi dengan kondisi fisik yang cukup mengkhawatirkan sehingga perlu segera mendapatkan penanganan yang tepat dan memadai bagi kepentingan lain yang lebih luas. Masyarakat umum juga terkesan sangat mendambakan perlakuan positip atas keberadaan objek arkeologis-historis yang langka itu. Seperti yang diberlakukan terhadap warisan budaya lain, peninggalan potensi sumberdaya arkeologi bawah air di Kepulauan Riau, khususnya yang berada di Bintan ini perlu dilestarikan dan dikembangkan. Hal itu dikarenakan: a. Sumberdaya arekologi bawah air di perairan Bintan berpotensi sebagai situs dan cagar budaya itu dapat dipandang sebagai sumber daya dalam resource-based development mengingat Kabupaten Bintan selain pusat budaya Melayu juga Daerah Tujuan Wisata. b. Sumberdaya arekologi bawah air di perairan Bintan jelas memiliki arti penting untuk masa lalu, masa kini, dan masa depan. Bila masa lalu berkaitan dengan tradisi, adapun masa kini untuk memperkaya kehidupan, maka arti penting bagi masa depan adalah menjadi inspirasi mendatang.
c. Sumberdaya arekologi bawah air di perairan Bintan menghadapi ancaman yang meliputi ancaman-ancaman tidak saja terhadap karakter visualnya, melainkan juga akan karakter fungsional, karakter lingkungan, serta makna dan nilai, yang disebabkan berbagai faktor seperti usia, komersialisasi, dan tentunya globalisasi. d. Sumberdaya arekologi bawah air di perairan Bintan dapat dikembangkan sebagai wahana penelitian dan pusat informasi arkeologi bawah air yang berada di wilayah Indonesia bagian barat, serta untuk menunjang potensi tersebut perlu adanya museum maritim sebagai pusat informasi kebaharian di Indonesia.
Tentunya, dengan keberadaannya yang cukup kaya akan kekuatan arkeologishistorisnya, serta letaknya yang cukup strategis, maka sumberdaya arkeologi bawah air ini sekarang akan memiliki beberapa permasalahan yang harus dihadapi dan dipecahkan. Dari permasalahan tersebut maka dirasa perlu untuk menyusun suatu blue print sumberdaya arkeologi bawah air sebagai Situs Cagar Budaya, sekaligus memberikan arahan pengoptimalan fungsi situs baik dari segi pelestarian sejarah maupun pemanfaatannya, misalnya sebagai objek penelitian, pendidikan dan pariwisata. Dan semua harus diawali dengan penelitian-penelitian menyangkut aspek-aspek pentingnya, seperti kronologi, bentuk tinggalan, dan sebagainya. Demikian pula dengan upaya melibatkan masyarakat sekitar yang dapat dikatakan sebagai “pemilik” objek-objek Cagar Budaya. Upaya pelestarian lingkungan situs dan warisan budaya telah disepakati sebagai salah satu unsur penting di dalam pengembangan wilayah terkait dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Permasalahan yang sering muncul terjadi bila pelestarian masih menjadi kendala dalam pembangunan pada umumnya sehingga memunculkan konflik tata ruang/pemanfaatan ruang dan ketidakterpaduan koordinasi pembangunan. Bentuk pengelolaan kawasan yang memadukan pembangunan fisik dan konservasi harus menjadi kesepakatan semua pihak, yakni pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat. Di samping sebagai upaya kemitraan, pada sisi lain akan menciptakan efisiensi di dalam pembiayaan pembangunan tanpa meninggalkan niat untuk memanfaatkan situs dan objek
cagar budaya yang dikandungnya bagi peningkatann kesejahteraan masyarakat sekaligus pelestarian objek cagar budaya. Menjadikan situs bawah air sebagai lahan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan pelestarian kekayaan budaya, dan peningkatan pendapatan masyarakat, antara lain melalui pengembangan wisata minat khusus – wisata bahari dan wisata bawah air – adalah hal yang diharapkan dapat diberlakukan. VI. Program Dalam rangka menyikapi permasalahan potensi sumberdaya arkeologi bawah air di Pulau Bintan serta menentukan arah pengelolaan dan pemanfaatannya, maka dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan dan program sebagai berikut: NO 1. 2. 3. 4. 5.
7. 8. 9. 10. 11.
12. 13. 14.
15. 16.
17. 18.
NAMA KEGIATAN Tahun 2015 Survei dan pemetaan potensi sumberdaya arkeologi bawah air di Kab. Bintan (Karang Heluputan, dan perairan selatan Pulau Bintan) Pengadaan sarana hasil pengangkatan Situs Bawah Air (gudang dan fasilitas lain) Sosialisasi ke masyarakat pada pulau-pulau terdekat Penanganan Kasus-Kasus pelanggaran Fasilitasi Pengelolaan cagar budaya bawah air Terhadap Pemerintah Provinsi Kep. Riau dan Kabupaten Bintan (Panitia bersama) Jumlah Tahun 2016 Survei dan pemetaan di perairan Mantang (tenggara Pulau Bintan) Pengangkatan hasil temuan pada Situs Tanjung Renggung Sosialisasi ke masyarakat pada pulau-pulau terdekat Penanganan Kasus-Kasus pelanggaran Fasilitasi Pengelolaan cagar budaya bawah air Terhadap Pemerintah Provinsi Kep. Riau dan Kabupaten Bintan (Panitia bersama) Jumlah Tahun 2017 Kajian Pelestarian dan Pemanfaatan Sutus-Situs Bawah Air di perairan Bintan 2 lokasi Konservasi Hasil Pengangkatan pada Situs Tanjung Renggung Penanganan Kasus-Kasus pelanggaran Jumlah Tahun 2018 Survei dan pemetaan potensi sumberdaya arkeologi bawah air di Pulau Mapur Pengembangan sarana dan prasarana Situs Bawah Air sebagai destinasi wisata minat khusus Jumlah Tahun 2019 Pencetakan Buku Potensi Sumberdaya Arkeologi Bawah Air di Kabupaten Bintan Pengembangan sarana dan prasarana Situs Bawah Air sebagai pusat pelatihan Arkeologi Bawah Air di wilayah Indonesia bagain barat
Jumlah 19
Tahun 2020 Dukungan Pengembangan Museum Maritim Kabupaten Bintan JUMLAH TOTAL