Eksplorasi Situs Arkeologi Bawah Air: Situs Pulau Buton/Kapal Qing di Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau Shinatria Adhityatama Priyatno Hadi Sulistyarto (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional)
A.
Latar Belakang
Pulau Natuna secara administrasi masuk dalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau, berada di Perairan Laut Cina Selatan atau Laut Natuna, merupakan salah satu pulau terluar yang dimiliki Indonesia di bagian Utara. Kepulauan Natuna lebih terkenal dengan sumber daya alamnya yang melimpah, salah satunya seperti potensi sumber daya minyak dan gas, yang dapat dimanfaatkan. Namun, selain sumber daya alam yang melimpah Kepulauan Natuna juga menyimpan peninggalan budaya yang sangat tinggi nilai sejarahnya, baik yang terpendam di dalam tanah, maupun yang berada di dalam laut Kepulauan Natuna. Kepulauan Natuna sudah mempunyai peran penting dalam perjalanan sejarah Indonesia, yaitu sebagai penghubung antara
Benua Asia dengan Nusantara.
Banyak
ahli
mendefinisikan Kepulauan Natuna sebagai jalur migrasi bangsa Austronesia masuk ke Nusantara. Hasil penelitian sebelumnya banyak menemukan beliung dan tembikar yang khas dengan penutur bahasa Austronesia. Selain itu Kepulauan Natuna juga berfungsi sebagai tempat transit dan jalur perdagangan yang disebut dengan jalur sutera. Aktivitas perdagangan melalui jalur laut dan singgah di Kepulauan Natuna mulai dari awal abad ke 12, dimana banyak pedagang-pedagang dari Cina (Tiongkok) membawa komoditasnya untuk diperdagangkan di Nusantara pada masa itu (Tim Penelitian Arkenas, 2013). Jalur pelayaran yang ramai dan kondisi cuaca di Laut Cina Selatan yang sering berubahubah m embuat banyak kapal-kapal pembawa komoditas karam di perairan Laut Cina
Selatan. Aktivitas perompakan dan peperangan di laut juga dapat mengakibatkan karamnya kapal-kapal pada masa lalu. Hal in terbukti dengan banyak ditemukannya temuan arkeologi bawah air, berupa kapal yang berisi dengan komoditasnya yang masih relatif utuh. Keberadaan kapal karam ini menunjukkan aktivitas perdagangan yang ditempuh melalui laut pada masa perniagaan secara global yang dimulai dari abad 12. Dapat dilihat dari jenis temuannya yang didominasi oleh temuan artefak berupa keramik Tiongkok yang berasal dari Dinasti Song, Dinasti Yuan, Dinasti Ming, hingga Dinasti Qing. Ada juga keramik yang berasal dari kawasan lain seperti Thailand, Jepang, dan Eropa (Wibisono, 2014). Keramik merupakan komoditas yang dianggap mewah pada masa itu, komoditas ini dijadikan sebagai penanda status sosial pada tatanan kehidupan masyarakat jaman dahulu. Bahkan, masih dipandang sebagai benda yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi hingga saat ini. Nilai ekonomi yang tinggi dari keramik memicu perburuan para pencari harta karun untuk menjarah situs-situs kapal tenggelam yang berisi temuan keramik-keramik dengan nilai jual yang tinggi. Pada beberapa kasus pelelangan keramik di luar negeri yang didapatkan dari perairan Indonesia, nilai jualnya dapat mencapai jutaan Dolar Amerika Serikat. Nilai sejarah dan nilai jual yang tinggi tersebut sangat membanggakan untuk arkeologi bawah air Indonesia, namun juga menjadi ancaman bagi hilangnya data-data artefaktual yang penting karena memicu aktivitas penjarahan situs-situs arkeologi di bawah air. Selain keramik yang ada di Kepulauan Natuna, yang memiliki nilai sejarah dan ekonomi yang tinggi, tidak kalah penting juga untuk meniliti jenis kapal yang membawa komoditas tersebut. Kapal merupakan media transportasi utama pada masa lalu untuk menjelajah samudera dan laut, karena di masa lalu hanya dengan mengarungi laut dan samudera manusia dapat berkelana dan menjamah ke tempat yang jauh. Peninggalan kapal-kapal tenggelam di perairan Kepulauan Natuna sangat menarik untuk diteliti asal muasalnya, jenis dari kapal itu, bentuk atau dimensi dari kapal tenggelam tersebut, dan untuk mempelajari teknologi perkapalan yang digunakan pada masa itu. Kapal-kapal tenggelam merupakan
data arkeologis yang penting bagi penelitian arkeologi bawah air dan maritim, karena akan membantu dalam hal rekonstruksi masa lalu pada masa awal perniagaan global yang menjalar hingga ke Kepulauan Natuna. Pada saat ini peninggalan kapal-kapal tenggelam tersebut mulai terancam dengan adanya aktivitas penjarahan, bahkan ada beberapa kepal yang sudah di bedah dan diangkat temuannya untuk diperjualbelikan. Aktivitas penjarahan dapat berdampak buruk bagi dunia arkeologi Indonesia, karena akan kehilangan banyak data penting yang sudah dijelaskan diatas. Penjarahan ini pun bentuk dan hasil dari kelemahan kita dalam menjaga cagar budaya yang berada di bawah air sehingga dapat dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Melihat nilai penting dari potensi arkeologi bawah air ini arkeolog perlu meninjau dan melakukan aktivitas penelitian di perairan Kepualaun Natuna. Penelitian yang di darat dan di daerah pesisir telah dilakukan oleh tim penelitian arkeologi dengan baik dan berkelanjutan, namun penelitian yang dilakukan di bawah air masih jarang dilakukan sebelumnya. Penelitian di bawah air sangat perlu dilakukan untuk mengetahui konteks temuan yang masih pada tempatnya atau yang disebut dengan in situ, sehingga akan mendapatkan data arkeologis yang akan berguna untuk merekonstruksi. Penelitian arkeologi bawah air bukanlah hal yang mudah, karena peneliti harus bekerja di bawah air yang bukan merupakan habitat manusia. Bekerja pada kedalaman laut harus dapat memikirkan efisiensi waktu karena waktu bekerja di bawah sangatlah terbatas, semua harus diperhitungkan dengan sangat matang sebelum masuk ke kedalaman laut. Faktor cuaca dan keadaan lingkungan bawah air Kepulauan Natuna harus dipelajari dengan sangat teliti dan komprehensif, dari kontur, kekuatan arus, sedimentasi, visibility atau jarak pandang, hingga kedalaman yang akan dituju untuk memperhitungakan waktu bekerja di bawah air. Oleh karena itu, Arkeolog tidak dapat bekerja sendiri, peneliti arkeologi sebaiknya didampingi oleh para penyelam professional untuk membantu mengawasi aktivitas
penelitian di bawah air, dan selain kegiatan yang bersifat teknis juga membantu dalam keadaan darurat di air. B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan alur penalaran induktif. Tipe penelitian yang dipilih adalah eksploratif dan deskriptif komparatif. Eksplorasi dilakukan terhadap data arkeologi primer dan data lingkungan, yaitu bangkai kapal tenggelam dan lingkungannya. Survei dilakukan dengan teknik selam dengan menggunakan alat SCUBA (Self Contained Underwater Breathing Apparatus). Setelah data primer dikumpulkan, dilakukan deskripsi terhadap data dan dilakukan analisis komparatif dengan sumber-sumber sejarah terkait. Metode arkeologi bawah air yang dilakukan dalam penelitian di perairan Pulau Natuna adalah teknik radial dan baseline. Tim penyelam arkeologi melakukan pembuatan garis baseline atau garis acuan dan titik acuan untuk mengetahui luas situs dan memudahkan dalam pengukuran dan pembuatan denah situs. Teknik radial adalah teknik pengukuran objek di bawah air dari satu titik yang dijadikan acuan, yang direkam dalam satuan meter dan derajat. Sedangkan teknik baseline adalah teknik pengukuran pada objek bawah air berdasarkan garis acuan dengan menggunakan meteran, garis tersebut dibentangkan diantara kedua titik acuan yang telah ditentukan, teknik ini cukup detail, tapi memang cukup memakan waktu jika tenaga SDM penyelam kurang memadai (Bowens, 2009).
Penyelam Arkeologi Sedang Melakukan Pengukuran (Sumber: Puslit Arkenas)
Perekaman data dilakukan dengan menggunakan kamera bawah air dan video bawah air, dilengkapi dengan skala meter untuk mendapatkan gambaran detail kondisi situs dan objek temuannya. Setelah melakukan perekaman dengan media kamera, tim penyelam melakukan penggambaran sketsa situs. Teknik arkeologi bawah air yang tim gunakan merupakan teknik untuk merekam posisi setepat mungkin pada distribusi artefak di lokasi kapal karam/situs. Metode yang dijelaskan diatas adalah cara yang relatif sederhana untuk penyelam dalam melakukan pemetaan pada benda-benda di dasar laut. Setelah melakukan perekaman data pada situs, tahap berikutnya adalah identifikasi pada temuan. Identifikasi dilakukan untuk mengetahui jenis temuan pada kapal karam yang ditemukan, teknologi kapal karam tersebut dan jenis kayu yang dikgunakan. Tim juga melakukan metode sampling dari temuan artefak di kapal karam, cara ini dilakukan agar dapat diidentifikasi dengan lebih jelas dan dapat dilakukan penanganan lebih lanjut agar
mendapatkan data dan informasi lebih banyak dan lengkap. Benda yang diambil sebagai sampel tidak lebih dari 5 buah dari setiap jenis benda yang ditemukan. C. Pembahasan a. Situs Pulau Buton (Kapal Qing)
Peta Situs di Pulau Natuna, Situs Pulau Buton/Kapal Qing Berada di Nomer 2 (Sumber: Puslit Arkenas)
Situs ini disebut Situs Pulau Buton karena letaknya tepat di depan Pulau Buton. Menurut informasi Pak Deng kapal/perahu yang mengangkut komoditas berupa keramik ini menempel di dinding karang Pulau Buton. Situs ini juga disebut Situs Kapal Qing karena
temuan dari situs tersebut banyak yang bergaya atau bercirikan dari Dinasti Qing. Penemuan situs ini berdasarkan informasi yang diberikan oleh informan yang bernama Pak Ahmad dan pemerhati budaya lokal Pak Deng. Menurut informasi mereka, situs ini ditemukan secara tidak sengaja oleh para nelayan atau masyarakat lokal saat memancing ikan, dan ada juga yang mengambil barang muatan kapal tenggelam ini, yang jika diperhatikan cukup melimpah.
Tinggalan Data Arkeologi Yang Terdapat di Situs Pulau Buton/Kapal Qing (Sumber: Puslit Arkenas)
Situs ini sebelumnya pernah diteliti oleh tim Puslitbang Sumber Daya Laut dan Pesisir, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan dari tim Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. Penelitian sebelumnya lebih terkonsentrasi oleh benda temuan yang ada di dasar situs ini, sedangkan kali ini tim mencoba melakukan pengambilan sampel untuk mengetahui lebih detil kondisi lingkungan bawah air dari Situs Pulau Buton ini. Hal ini sangat berguna untuk mendapatkan data dalam usaha pelestarian secara in-situ (In-situ preservation), dan melengkapi data dari penelitian-penelitian sebelumnya.
Jarak menuju Situs Pulau Buton cukup jauh dari Dermaga Desa Teluk Buton, tim membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam untuk sampai ke lokasi jika dalam keadaan cuaca baik. Kebetulan tim didukung oleh cuaca yang baik untuk menuju Pulau Buton dengan Perahu pompong. Tim tiba di Pulau Buton pada hari pertama sekitar pukul 11.00 dan langsung melakukan persiapan untuk menyelam. Tim penyelam turun ke kedalaman dengan mengikuti marker bouy yang dipasang oleh sebelumnya, yang berada tepat di permukaan situs ini. Penyelaman kali ini tim mengagendakan melakukan orientasi awal pada situs ini, pendokumentasian pada objek yang berada di dasar situs dengan menggunakan kamera bawah air dan skala meter, dan pengambilan sampel temuan, dan sedimentasi dari situs ini. Tim juga melakukan pengamatan pada biota laut yang berada di Situs Pulau Buton. Penyelaman dilakukan sebanyak 2 kali di situs ini, durasi penyelaman kurang lebih selama 45 menit.
Peneliti Melakukan Pendokumentasian terhadap Benda Arkeologis (Sumber: P3SDLP)
Situs Pulau Buton berada di kedalaman 11-15 meter di bawah permukaan air dan memiliki jarak pandang 5-8 meter, jarak pandang disini kurang baik karena sedimentasi dasar situs ini didominasi oleh pasir dan lumpur yang mudah terangkat dan mengendap. Namun,
meskipun kondisi jarak pandang kurang bagus, situs ini tetap visible untuk melakukan aktivitas penelitian. Kondisi kontur bawah air di situs ini berkontur cukup landai. Arus pada situs ini juga tergolong ringan, karena terlindung oleh karang/pulau. Kondisi lingkungan bawah air selama aktivitas penyelaman cukup nyaman dan aman dalam melakukan pengamatan dan penelitian. Setelah melakukan perekaman data dan pengambilan sampel sedimen, tim memulai melakukan identifikasi pada temuan yang tersebar di Situs Pulau Buton. Temuan di Situs Pulau Buton ini banyak terselimuti oleh terumbu karang dan lumpur halus yang “menggunung” di dekat karang, selain itu ada sisa-sisa kayu kapal/perahu. Tim memerlukan membersihkan lumpur halus tersebut terlebih dulu dengan menggunakan kuas atau dengan sapuan tangan untuk melihat benda lebih jelas. Pemetaan perlu juga dilakukan untuk mengetahui luas situs dan sebaran temuan pada Situs Pulau Buton (Kapal Qing) ini. Langkah pertama yang tim lakukan pemetaan situs di bawah air adalah membentangkan tali/metera (baseline) dengan arah orientasi 160◦ dari titik 0, pemasangan baseline ini dilakukan untuk memudahkan melakukan penggambaran dan pembuatan denah situs di bawah air. Garis baseline dibentangkan sepanjang 16 meter, melintang di Situs Pulau Buton (Kapal Qing). Setelah baseline terpasang tim mulai melakukan pengukuran, dengan cara mengukur jarak dari letak temuan/benda ke garis baseline yang telah dibuat. Tim kali ini berkonsentrasi pada temuan sebaran sisa-sisa kayu kapal yang jumlahnya cukup banyak, setelah selesai dengan sebaran kayu kapal tim baru melakukan pemetaan pada temuan komoditasnya yang lebih berkonsentrasi di suatu tempat (menggunung).
Pemetaan Sebaran Temuan Dengan Metode Baseline Yang Diterapkan Dalam Pemetaan di Situs Pulau Buton (Kapal Qing) (Sumber: Southampton University)
Denah Situs Pulau Buton/ Kapal Qing di Perairan Pulau Natuna, Yang dihasilkan Dari Metode Pengukuran Baseline (Sumber: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional/ Ahmad Surya Ramadhan
Sisa-sisa kayu kapal/perahu yang tersebar di Situs Pulau Buton. Melihat kondisi dari kayu sisa-sisa kapal/perahu di situs ini masih cukup baik, tidak banyak kerusakan, hanya terlepas atau terbongkar saja, walaupun ada juga yang telah lapuk. Tetapi secara keseluruhan papan kayu dari sisa-sisa kapal/perahu ini masih utuh dan terkonservasi dengan cukup baik, hal ini mungkin dikarenakan kayu-kayu tersebut terkubur di lingkungan bawah air yang mengandung sedimentasi lumpur halus ini yang ikut menjaga kondisi dari papan kayu dari sisa-sisa kapal/perahu di situs ini. Tinggalan arkeologi yang ada di Situs Pulau Buton didominasi oleh barang-barang yang kami duga digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Komoditas yang di bawa oleh
kapal/perahu ini tidak bersifat mewah dan berharga tinggi namun untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Temuan ini cukup menarik untuk diteliti karena kapal/perahu kuno yang tenggelam di perairan Natuna tidak selalu berisi komoditas yang mewah (Tim Penelitian, 2015).
Temuan Tutup Poci di Situs Pulau Buton/ Kapal Qing yang Terselimuti Lumpur Halus (Sumber: Puslit Arkenas)
Temuan tutup dari poci yang ditemukan di Situs Pulau Buton memiliki beberapa ukuran, temuan ini memiliki diameter rata-rata 11 cm dan 9,5 cm. Temuan ini cukup banyak tersebar di dasar laut Situs Pulau Buton. Temuan ini berwarna abu-abu, dan pada saat ditemukan tutup poci ini tidak terlalu ditumbuhi terumbu karang, hanya sedikit yang menempel di bagian permukaan benda. Temuan ini juga tidak tekubur di dalam lumpur halus, namun tergeletak di dasar laut Pulau Buton.
Temuan teko atau poci di Situs Pulau Buton ini juga cukup banyak tersebar di dasar laut, keadaan temuan ini sebagian besar sudah pecah dan berserakan di dasar laut. Melihat dari hasil identifikasi teko dan poci ini memiliki konteks yang erat dengan tutup poci yang dijelaskan diatas, walaupun pada saat ditemukan sdah terpisah dengan tutup nya. Teko atau poci ini memiliki tinggi tidak lebih dari 15 cm, memiliki gagang di samping, dan memiliki bibir teko atau poci cukup panjang sekitar kurang lebih 3-4 cm.
Temuan Poci di Situs Pulau Buton/Kapal Qing yang Telah Pecah (Sumber: Puslit Arkenas)
Menurut Prof (Ris). Dra. Naniek Harkantiningsih Wibisono, beliau memastikan bahwa benda ini merupakan sebuah tutup dari poci yang digunakan untuk merebus rempah-rempah. Setelah melakukan identifikasi dan berkonsultasi dengan ahli keramik kuno, tim dapat mengenali benda ini berasal dari Dinasti Qing dari abad ke-18 hingga abad ke-19 Masehi. Benda ini pun dapat dikenali memiliki kesamaan dengan temuan dari Situs kapal Tek-sing yang tenggelam di Perairan Selat Gaspar, selat yang berada diantara Pulau Bangka dan Belitung. Pada situs tersebut dijumpai benda yang serupa dengan yang ditemukan tim di Situs Pulau Buton. Hal ini menunjukkan bahwa mengidentifikasi sebuah benda temuan arkeologis juga dapat dilakukan dengan membandingkan temuan yang ada di situs lainnya.
Berbagai benda perkakas juga ditemukan di Situs Pulau Buton (Kapal Qing) yang jumlahnya cukup banyak. Temuan ini cukup menonjol jika dibandingkan dengan temuan lainnya karena ukuran dari temuan perkakas ini yang cukup besar. Temuan perkakas yang ditemukan salah satunya adalah anglo dan jumlahnya cukup banyak ditemukan di situs ini, temuan anglo ini ditemukan dalam ukuran dan bentuk yang berbeda-beda. Temuan ini menunjukan bahwa tinggalan arkeologi di Situs Pulau Buton cukup beragam. Temuan Anglo ini tidak terkubur di dasar laut situs ini dan dalam kondisi cukup baik, walaupun ada beberapa yang sudah pecah. Pada saat ditemukan temuan ini sudah berada di permukaan dasar laut Situs Pulau Buton, terselimuti lumpur halus dan sedikit ditumbuhi terumbu karang. Dari pengamatan sekilas dari temuan anglo ini, sementara tim menduga temuan berbahan stoneware, namun kami juga menduga untuk yang berukuran kecil berbahan porselin. Temuan yang diduga sebagai anglo ini memiliki ukuran tinggi cukup beragam, ada yang sekitar 20-30 cm hingga yang ukuran besar kurang lebih tingginya 40-50 cm. Temuan anglo ini berhasil disampel dan diangkat ke permukaan untuk dilakukan identifikasi lebih lanjut. Ada beberapa jenis anglo yang ditemukan di situs ini, selain ukuran yang berbeda ternyata jenis dari anglo ini pun berbeda-beda. Jenis anglo pada situs ini ada yang berbentuk sedikit lonjong dan tinggi, sedangkan ada juga yang lebih bulat dan pendek di bagian badan dari benda ini. Ukuran anglo yang besar dan berat cukup mempersulit dalam pengambilan sampel temuan, sehingga tidak semua jenis anglo dapat diangkat ke permukaan.
Temuan Anglo di Situs Pulau Buton/Kapal Qing yang berukuran kecil (Sumber: Puslit Arkenas)
Temuan Anglo di Situs Pulau Buton/Kapal Qing yang berukuran lebih besar (Sumber: Puslit Arkenas)
Berdasarkan pengamatan dan identifikasi sementara anglo ini diduga berfungsi sebagai perapian atau untuk memasak dan merebus. Melihat dari jumlah temuan anglo yang cukup banyak ditemukan di Situs Pulau Buton ini, dapat dikatakan bahwa permintaan akan komoditas anglo ini cukup tinggi pada masa itu. Permintaan yang tinggi dikarenakan anglo merupakan teknologi yang cukup efektif pada masa itu untuk memasak atau merebus guna memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat di masa silam (Tim Penelitian, 2015).
Temuan Anglo Yang Bagian Badannya Lebih Bulat Diatas Sisa-sisa Kayu Kapal/Perahu (Sumber: Puslit Arkenas)
Tinggalan arkeologi selain keramik dan anglo yang ada di Situs Pulau Buton (Kapal Qing) adalah kayu dari kapal/perahu yang tersebar di dasar laut situs ini. Sisa-sisa kayu dari kapal/perahu ini sangat membantu dalam proses identifikasi jenis kapal/perahu yang digunakan untuk membawa komoditas yang ditemukan di situs ini. Jumlah sisa kayu kapal/perahu di situs ini cukup banyak, dari yang panjang nya sekitar 1,5 – 1 meter, dan ada juga yang panjang lebih dari 2 meter.
Foto Mozaik Pada Sisa-sisa Kayu Kapal/Perahu di Situs Pulau Buton/Kapal Qing (Sumber:Puslit Arkenas)
Temuan sisa-sisa kayu kapal/perahu yang tersebar di dasar laut Situs Pulau Buton ini masih relatif utuh dan baik. Sisa-sisa kayu kapal/perahu di situs ini masih dalam kondisi baik kemungkinan karena kayu-kayu tersebut terkonservasi secara alami oleh lumpur halus yang mendominasi dasar laut situs ini. Namun, meskipun sisa-sisa kayu kapal/perahu ini masih dalam keadaan baik, masih cukup sulit untuk mengidentifikasi bagian-bagian dari sisa kapal/perahu ini. Dari hasil pengamatan pada sisa kayu dari kapal/perahu ini tidak ditemukan tali ijuk dan tambuko yang biasa digunakan pada kapal-kapal Nusantara. Kapal Nusantara sebagian besar menggunakan tali ijuk dan pasak kayu untuk mengikat dan menyambungkan papanpapan
pada
lunas
kapal,
untuk
membentuk
Lambung
kapal/perahu.
Kemudian
disambungkan pada pasak kayu tanpa menggunakan kerangka, baut, atau paku besi, dan ujung kapal atau yang disebut haluan biasanya berbentuk lancip (Manguin, 1980). Kapal Nusantara jelas berbeda dengan kapal Tiongkok yang lambungnya dikencangkan dengan bilah-bilah kayu dan menggunakan paku besi. Selain itu kapal Tiongkok memiliki
kemudi tunggal yang dipasang pada palang rusuk buritan (Manguin, 1980). Jika melihat dari indikasi tersebut dari sisa-sia kayu yang ditemukan di Situs Pulau Buton ini, maka kami menduga bahwa sisa-sisa kapal/perahu yang karam di situs ini adalah kapal/perahu Tiongkok atau Jung Tiongkok. Namun, untuk menentukan asal kapal membutuhkan analisis dan penelusuran lebih mendalam lagi.
Fragmen Kayu Yang Ditemukan di Dalam Situs Dalam Kondisi Cukup Baik (Sumber: Puslit Arkenas)
Tim berhasil mengambil sampel kayu dari sisa kapal/perahu ini, dari kayu yang diambil terlihat lubang pasak bulat yang cukup besar. Dari lubang pasak ini sudah tidak dapat ditemukan pasak dari sisa kapal/perahu ini yang dapat membantu untuk memastikan bahan dari pasak tersebut. Hal ini cukup mempersulit untuk mengetahui dari mana kapal/perahu ini berasal. Dari sampel kayu yang diambil diperlukan analisis kayu dengan uji laboratorium untuk mengetahui asal dan jenis kayu yang mungkin dapat dibantu oleh ahli-ahli dari bidang kehutanan yang sangat kenal dengan jenis kayu. Dari hasil uji laboratorium tersebut sangat dimungkinkan untuk mengenal lebih dekat dengan jenis kayu yang digunakan kapal/perahu ini, dengan mengetahui jenis kayu dapat diketahui tempat-tempat tumbuhnya jenis kayu
tersebut yang dapat dicocokan dengan konteks situs ini. Proses pertanggalan juga cukup penting untuk menambah kebendaharaan data bagi situs ini agar lebih lengkap.
Sisa-sisa Kayu Kapal Yang Masih Menempel di Dinding Karang Pulau Buton (Sumber: Puslit Arkenas)
Kapal/perahu ini kemungkinan tenggelam karena menabrak karang yang mengelilingi Pulau Buton pada saat cuaca buruk di perairan ini yang sangat mungkin untuk menenggelamkan kapal/perahu. Hal ini dapat diketahui karena masih tersisa papan-papan kayu yang menempel di dinding karang. Kondisi sisa-sisa kayu kapal/perahu yang ditemukan di situs ini yang bertebaran di dasar laut, mengindikasikan adanya aktivitas pembokaran yang dilakukan oleh manusia. Informan kami pun membenarkan hal tersebut, bahwa dahulu banyak orang yang mengambil barang dari situs ini. Adanya pengambilan barang di situs ini makin diperkuat dengan dijumpainya tali-tali baru yang diduga bekas aktivitas pengangkatan (Tim Penelitian, 2015).
Melihat ukuran kayu yang tersisa dari kapal/perahu ini yang tidak terlalu besar, maka kami menduga bahwa ukuran dari kapal/perahu ini tidak terlalu besar. Rata-rata panjang kayu yang ditemukan memiliki panjang 1-3 meter. Kemungkinan kapal ini beroperasi dari pulau ke pulau (Inter-island) tidak untuk menyebrangi samudra yang luas atau menempuh perjalanan yang jauh. Mungkin juga kapal/perahu ini digunakan atau berfungsi sebagai kapal penyuplai ke pulau-pulau yang berjarak dekat, dan mendistribusikan komoditas perkakas ini kepada para konsumen di berbagai pulau.
Ilustrasi Jalur Perdagangan Pulau Natuna (Sumber: www.google.com)
Jika melihat orientasi dari sisa-sisa kayu kapal/perahu ini yang berorientasi pada arah Barat Daya, kemungkinan kapal/perahu ini menuju ke arah Selat Karimata. Mungkin juga kapal/perahu ini menuju pulau-pulau kecil yang berada di Selat Karimata, atau dapat juga menuju ke Malaka dan Pulau Sumatera. Sebelum sampai ke tujuan kapal/perahu ini tenggelam di depan Pulau Buton, yang memang memiliki karang yang cukup rapat dan dangkal. Kami menduga kapal/perahu ini karam karena cuaca yang buruk di perairan Laut Natuna sehingga kapal/perahu ini menabrak karang dan karam di depan Pulau Buton.
Dari peta diatas dapat dilihat lokasi Pulau Natuna yang sangat strategis dalam jalur perdagangan kuno, atau mungkin hingga sekarang. Dari peta ilustrasi tersebut juga terlihat peranan Pulau Natuna yang sangat penting dalam aktivitas ekspor-impor, baik barang yang datang ke Nusantara dari luar pada masa lalu dan barang yang keluar dari Nusantara menuju ke daerah lain. Pulau Natuna pun diduga memiliki komoditas lokal yang sampai sekarang masih dicari yaitu kayu gaharu, yang mungkin pada masa lalu kayu ini pun sudah dicari oleh para pedagang internasional sebagai bahan dasar pembuatan kapal (Wibisono, 2014). Pulau Natuna juga memiliki sumber air yang bersih dan tawar, pohon kelapa yang jumlahnya mungkin jutaan, yang dapat menjadi bekal bagi para pelaut dan pedagang internasional dalam melanjutkan perjalanannya menuju tujuannya. D. Penutup Eksplorasi dan penelitian di pulau-pulau terluar Indonesia perlu dilakukan lebih intensif, karena pulau-pulau tersebut memiliki peran sebagai pintu gerbang dunia internasional masuk ke Nusantara. Potensi arkeologi yang dimiliki oleh pulau-pulau terluar juga cukup menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Salah satunya adalah Pulau Natuna yang sudah terbukti memiliki tinggalan arkeologi yang beragam dan bernilai sejarah tinggi. Penelitian di Pulau Natuna saat ini sudah sangat baik, kerjasama antar instansi pemerintah pun sudah dilakukan secara sinergis guna merekonstruksi budaya dan sejarah Pulau Natuna. Situs arkeologi yang ada di Pulau Natuna tidak hanya yang berada di darat tetapi juga ada yang di bawah air. Salah satu situs arkeologi bawah air di Pulau Natuna adalah Situs Pulau Buton (Kapal Qing). Situs ini sangat menarik untuk dilestarikan melihat data yang ditemukan di situs ini cukup penting, sesuai dengan yang sudah dijabarkan diatas. Situs ini cukup memberikan gambaran tenatang keadaan perniagaan internasional yang terjadi di abad ke18 dan abad ke-19, oleh karena itu perlu diperhatikan dan dilestarikan. Pelestarian situs ini dapat dengan metode In situ Preservation atau pelestarian langsung di situsnya tanpa harus diangkat ke permukaan. Namun, metode pelestarian ini tidak mudah karena butuh pengajian
lingkungan bawah air yang lengkap dan komitmen dari semua stakeholder dalam hal pemanfaatan dan perlindungan situs ini. Dengan melakukan in-situ preservation di Situs Pulau Buton (Kapal Qing), situs ini dapat terlindungi dan mampu dimanfaatkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan pendidikan. Situs Pulau Buton (Kapal Qing) ini cukup layak untuk dijadikan tempat pelatihan penerapan metode bagi arkeologi bawah air, dan situs ini dapat diselami untuk seluruh jejang penyelam karena terletak di laut yang cukup dangkal (<30 meter). Situs ini juga dapat dijadikan objek wisata penyelaman di Pulau Natuna, namun dengan pengawasan yang ketat dan penyelam dilarang untuk membawa dan memindahkan temuan tinggalan arkeologi yang ada, jika perlu penyelam rekreasi yang ingin menyelam perlu megurus surat ijin dan berkoordinasi dengan instansi yang terkait. E. Daftar Pustaka Bowens, Amanda (Ed.), 2009. (2nd edn). Underwater Archeology The NAS Guide to Principles and Practice. The Nuitical Archeology Society, United Kingdom. Blackwell Publishing. Manguin, Piere-Yves, 1980. The Southeast Asia Ship: An Historical Approach, Journal of Southeast Asian Studies. Singapore University Press. September. Singapore Tim Penelitian. 2013. Laporan Penelitian Arkeologi : Jalur Perdagangan Jarak Jauh Pada Masa Islam-Kolonial di Kepulauan Natuna, Propinsi Riau Kepulauan, Tahap II. Jakarta : Pusat Arkeologi Nasional (tidak terbit, laporan intern) Tim Penelitian. 2015. Laporan Penelitian Arkeologi : Penelitian eksplorasi Potensi Arkeologi Bawah Air di Kepulauan Natuna, Propinsi Riau Kepulauan. Jakarta : Pusat Arkeologi Nasional (tidak terbit, laporan intern) Wibisono, C, Sonny. 2014. Arkeologi Natuna: Koridor Maritim di Perairan Laut Cina Selatan dalam Kalpataru Majalah Arkeologi Volume 23 No. 2 November 2014: Hal 137-149. Jakarta.
E. Daftar Internet www.google.com/natuna.routes: Diakses pada Bulan Juni 2015