Pengawasan dalam rangka Perlindungan dan Pelestarian: Studi Kasus Situs Bawah Air Perairan Karang Heluputan Kepulauan Riau Oleh : Rakhmad Bakti Santosa, SS
A. Pendahuluan Negara kepulauan Indonesia sudah sejak
lama menjadi destinasi kapal-kapal
mancanegara seperti Tiongkok, Jepang, Belanda, Portugis dan lainnya, baik untuk keperluan dagang maupun hanya untuk sekedar transit. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri mengingat posisi kepuluan Indonesia yang sangat strategis dan menjadi jalur perdagangan dunia. Sofian (2010) bahkan menyebut bahwa sejak masa prasejarah dan milenium pertama masehi, kepulauan Indonesia terutama wilayah pantai timur Sumatra merupakan jalur perdagangan laut yang menghubungkan Asia Barat dan Asia Timur. Posisi yang strategis ini menjadikan kepulauan Indonesia bagian barat menjadi tempat persilangan budaya dan jalur perdagangan melalui laut sehingga sering disebut sebagai jalur sutra maritim. Kapal-kapal dagang dari Asia Barat, Asia Selatan dan Asia Timur harus melewati Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaysia jika ingin ke China maupun ke India serta Arab, sehingga wilayah laut menjadi ramai dengan aktivitas perdagangan dan pelayaran laut. Di sepanjang garis pantai timur dan barat Sumatera serta Semenanjung Malaysia banyak berdiri pelabuhan-pelabuhan tempat bersandarnya kapal dan melakukan aktivitas perdagangan.
Teknologi navigasi kapal-kapal yang berlayar di perairan Indonesia pada masa lalu belumlah secanggih teknologi pada masa sekarang. Pada saat ini, para pelaut sangat dimudahkan oleh beberapa fitur kendali kapal dan peta yang sudah dalam format digital. Teknologi tersebut sangat memungkinkan para pelaut terhindar dari beragam risiko pelayaran. Keterbatasan teknologi kapal pada masa lampau sangat berperan pada karamnya kapal-kapal di sebagian besar wilayah perairan Indonesia. Sebut saja kapal Forbes yang diduga karam karena menabrak gosong di perairan Belitung Timur. Faktor lain yang cukup berperan pada proses karamnya kapal adalah penguasaan geografi kelautan, cuaca, peperangan, dan kelalaian manusia (Utomo, 2008).
Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan, sekarang Kementerian Kelautan dan Perikanan, telah melakukan pendataan keberadaan kapal karam kuno yaitu sebanyak +
463 titik yang tersebar di beberapa wilayah perairan Indonesia. Menurut penelitian laporan VOC terdapat 274 lokasi kapal tenggelam di Indonesia. Sejarahwan Cina menyatakan terdapat 3.000 kapal tenggelam yang berada di perairan Indonesia. (Helmi. 2010). Hal tersebut menjadikan Negara Indonesia sebagai Negara yang memiliki potensi sumber daya budaya dan kelautan berupa situs bawah air yang sangat penting bagi ilmu pengetahuan, sejarah, dan budaya Indonesia dan juga mungkin ekonomi.
Potensi yang sedemikian besar tersebut justru menjadi tantangan bagi pemerintah karena sejak tahun 1983 hingga sekarang perairan Indonesia tidak henti-hentinya menjadi ladang perburuan harta karun yang cukup menggiurkan. Luasnya perairan Indonesia menjadi salah satu factor yang menyebabkan para pemburu harta karun sedikit mudah bergerak untuk menghindari aparat keamanan pada saat melakukan aksinya. Minimnya anggaran dan jumlah kapal patroli di laut juga turut berpengaruh pada minimnya pengawasan. Salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki potensi cagar budaya bawah air adalah perairan Provinsi Kepulauan Riau. Pada tulisan ini, penulis mencoba mengangkat isu terkait upaya pelestarian melalui perlindungan terhadap lokasi kapal karam di sekitar perairan Karang Heluputan, Kepulauan Riau berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan oleh Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan. Perlindungan merupakan salah satu aspek penting dalam upaya pelestarian karena tanpa adanya perlindungan maka semua itu akan kurang berarti. Para ahli arkeologi yang bergelut di bidang pelestarian selalu mewacanakan pentingnya pelestarian namun tidak diimbangi upaya perlindungan yang maksimal. Dalam tulisan ini penulis sengaja menyebut istilah cagar budaya bawah air dengan sebutan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT) dengan pertimbangan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsi, kami menggunakan istilah BMKT. B. BMKT di Perairan Kepulauan Riau 1. Jejak Michael Hatcher Eksistensi perairan kepulauan riau dalam panggung harta karun bermula dari sebuah lelang BMKT yang diadakan di Balai Lelang Christie Amsterdam pada tahun 1986. Adalah Michael Hatcher, pria asal Inggris yang tumbuh besar di Australia, yang memasok barangbarang bersejarah hasil pengangkatan di sebuah kapal karam dari dasar laut perairan
Karang Heluputan Kepulauan Riau untuk dilelang di Balai Lelang Christie Amsterdam. Kapal karam tersebut bernama De Geldermalsen, sebuah kapal dagang VOC buatan tahun 1746 yang karam pada tahun 1750. Hatcher melakukan kegiatan pengangkatan pada tahun 1985 – 1986 dan berhasil mengangkat 126 batangan emas lantakan serta 160 ribu keramik Dinasti Ming (1368 - 1644) dan Qing (1644 – 1911). Lelang tersebut mampu menghasilkan uang mencapai 15 juta dolar AS dan tidak ada sepeserpun yang masuk ke pemerintah Indonesia (Tempo, 2010; www.id.wikipedia.org)
Ternyata bukan kali itu saja Hatcher melakukan pengangkatan BMKT secara illegal dari perairan Kepulauan Riau. Pada tahun 1981, berbekal sponsor dari Soo Hin Ong seorang pengusaha asal Singapura, Hatcher melakukan aksinya pada titik lokasi yang tidak jauh dari lokasi karamnya kapal Geldermalsen. Di titik tersebut, Hatcher berhasil mengangkat muatan kapal berupa keramik sejumlah 23 ribu buah. Hasil tersebut kemudian dilelang di Balai Christie pada awal 1984 dan menghasilkan uang senilai 2,3 juta dolar AS. Kiprah Michael Hatcher tersebut rupanya menjadi awal mula maraknya bisnis pengangkatan BMKT secara legal maupun illegal di Indonesia. Sebut saja Anwar Fuadi, Tommy Suharto, Budi Prakoso dan pengusaha besar lainnya yang tertarik untuk terjun dalam dunia perburuan BMKT yang dilatarbelakangi oleh tingginya nilai jual BMKT pada balai lelang internasional. Pengangkatan BMKT termasuk dalam bisnis yang berisiko cukup tinggi karena diperlukan biaya yang sangat mahal namun tidak ada kejelasan dalam penjualannya. 2. Nelayan pun tergoda Aksi pencarian BMKT rupanya bukan hanya menjadi domain para pengusaha yang bermodal besar. Kelompok nelayan pun ternyata juga mempunyai andil yang cukup besar mulai dari proses penemuan hingga pengangkatan BMKT. Setidaknya terdapat dua kategori pelaku pada kasus pencarian, jual beli titik lokasi, pengangkatan, hingga jual beli BMKT yaitu : a. Nelayan murni Pelaku mendapatkan titik lokasi BMKT secara tidak sengaja misalnya jaring tersangkut BMKT. Kejadian ini merupakan hal paling sering terjadi. Selanjutnya BMKT diserahkan ke penadah atau penampung BMKT. Penadah kemudian menjual kepada pedagang BMKT yang sifatnya parsial hingga sampai ke tangan kolektor kecil atau menengah, dan berakhir di tangan kolektor besar / asing.
b. Nelayan berprofesi ganda Pelaku pada kategori ini tidak jauh berbeda dengan model pelaku nelayan murni. Yang membedakan adalah bahwa di samping tugas pokoknya mencari ikan di laut, nelayan juga secara sengaja melakukan pencarian titik lokasi BMKT antara lain dengan bantuan GPS dan fish finder. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, informasi mengenai BMKT seperti misalnya penemuan titik lokasi dan jual beli BMKT cukup masif mengalir di lingkungan nelayan. Bahkan beberapa nelayan dapat mengidentifikasi/menganalisa mengenai asal usul sebuah BMKT hingga perkiraan harga jualnya. Pada umumnya para nelayan sudah memiliki jaringan dengan para pengusaha yang berkecimpung di dunia BMKT. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya laporan penemuan titik lokasi yang masuk ke Sekretariat Panitia Nasional BMKT (Pannas BMKT). Dalam surat laporan tersebut tercantum nama nelayan yang menemukan titik lokasi dan kemudian menyerahkan atau menguasakan kepada pihak perusahaan untuk dilakukan survey dan pengangkatan. Penyerahan titik lokasi BMKT dari nelayan ke perusahaan tentu saja tidak gratis. Transaksinya mencapai jutaan rupiah tergantung kondisi muatan kapal. Apabila kondisinya bagus, muatannya banyak, dan mungkin jenisnya jarang ditemukan, nilainya akan lebih tinggi lagi. Nelayan yang menemukan titik lokasi pun tidak serta merta begitu saja memberikan titik koordinat kepada calon pembeli. Biasanya si penemu akan meminta uang DP (down payment) terlebih dahulu sebelum mengantarkan si pembeli ke titik lokasi yang dimaksud. Jual beli akan selesai setelah dilakukan penyelaman untuk mengecek kondisi BMKT di bawah laut dan dibarengi dengan pembayaran lanjutan. Kasus pengangkatan BMKT secara illegal yang terbaru di tahun 2014 adalah yang terjadi di perairan Karang Heluputan Kepulauan Riau. Kasus tersebut melibatkan nelayan dan bukan nelayan. Kemungkinan kapal tersebut disewa oleh pihak yang bermaksud mengangkat BMKT dari dasar laut. C. Pengawasan oleh Ditjen PSDKP KKP 1. Dasar hukum Kisah pengangkatan BMKT secara illegal oleh Michael Hatcher di perairan Kepulauan Riau cukup membuat pemerintah Indonesia gusar. Nilai ekonomis yang tinggi menjadikan BMKT sebagai bisnis baru. Untuk mencegah terulangnya kembali kegiatan pengangkatan BMKT secara illegal, maka pada tahun 1989 dibentuklah
sebuah Panitia Nasional (Pannas BMKT) yang khusus menangani masalah BMKT mulai dari survey, pengangkatan, hingga pemanfaatan melalui Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1989 dengan ketuanya yaitu Menkopolhukam. Tahun 2000 terjadi perubahan dalam tubuh Pannas BMKT dari yang semula diketuai oleh Menkopolhukam dialihkan ke Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Keputusan Presiden No. 107 Tahun 2000. Berdasarkan Keppres No. 19 Tahun 2007 dan diperbarui dengan Keppres No. 12 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Keppres No. 19 Tahun 2007 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam, Pannas BMKT terdiri dari 15 (lima belas) anggota yang berasal dari Kementerian dan Lembaga pemerintah salah satunya adalah Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan yang memiliki tugas dalam bidang pengawasan. Tugas dan fungsi Ditjen PSDKP diperkuat dengan SK Dirjen PSDKP Nomor KEP.56/DJ-PSDKP/2011 tentang Pengawasan Pengelolaan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT). Menurut Keppres No. 19 Tahun 2007, BMKT adalah benda berharga yang memiliki nilai sejarah, budaya, ilmu pengetahuan, dan ekonomi yang tenggelam di wilayah perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia, dan landas kontinen Indonesia paling singkat berumur 50 (lima puluh) tahun. Istilah BMKT jelas sekali tidak terdapat di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya maupun peraturan pendahulunya yaitu Undang-undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Undang-undang cagar budaya mendefinisikan cagar budaya sebagai warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan Perbedaan definisi antara BMKT dengan cagar budaya memang tidak berbeda jauh dan mungkin dapat dikatakan tumpang tindih. Satu hal yang membedakan antara kedua istilah tersebut hanya terletak pada aspek ekonomi pada BMKT, sedangkan
cagar budaya tidak berorientasi pada unsure nilai ekonomi. Terlepas dari hal tersebut, Ditjen PSKDP KKP dalam melaksanakan tugasnya memposisikan diri sebagai anggota Pannas BMKT sehingga objek pengawasannya tentu saja BMKT. Pengelolaan BMKT juga diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Pasal 19 ayat (1) huruf g menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulaupulau kecil untuk kegiatan pengangkatan benda muatan kapal tenggelam wajib memiliki izin pengelolaan. Akan tetapi di dalam peraturan ini tidak diberikan penjelasan mengenai definisi benda muatan kapal tenggelam. Penulis beranggapan bahwa yang dimaksud dalam pasal tersebut mengacu pada istilah BMKT sebagaimana yang terdapat pada Keppres No. 19 Tahun 2007 tentang Pannas BMKT. Selain undangundang tentang PWP3K, peraturan terbaru yaitu Undang-undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan juga memasukkan BMKT sebagai salah satu bagian Jasa Maritim yang berfungsi mendukung kebijakan ekonomi kelautan. 2. Pengawasan dalam rangka perlindungan Ditjen PSDKP melaksanakan tugas pengawasan BMKT berdasarkan rambu-rambu yang tercantum dalam SK Dirjen PSDKP. Keputusan tersebut mengatur beberapa objek yang dijadikan sasaran pengawasan antara lain : a. Kegiatan survey BMKT; b. Kegiatan pengangkatan BMKT; c. Kegiatan pengangkutan BMKT; d. Dan kegiatan pemanfaatan BMKT lainnya yang tidak berijin (illegal) Dalam melaksanakan tugas pengawasan, Ditjen PSDKP menggunakan tiga pendekatan yaitu : a. Pre-Emptive Pre-emptive merupakan upaya pengawasan yang lebih mengarah pada penataan secara sukarela dari berbagai aturan pemanfaatan BMKT. Upaya ini ditujukan kepada semua stakeholders yaitu masyarakat pesisir, aparat pemerintah, dan pelaku usaha. Pre-emptive dilakukan melalui kegiatan : -
Sosialisasi kepada aparat penegak hukum, pengawas, stakeholder dan masyarakat;
-
Bimbingan teknis kepada pengawas perikanan;
-
Peningkatan apresiasi kepada pengawas dan masyarakat;
-
Kerjasama dengan berbagai pihak terkait;
-
Bimbingan
dan
konsultasi
dengan
Kelompok
Masyarakat
Pengawas
(Pokmaswas). b. Preventive Pengawasan secara preventif dilakukan sebagai upaya untuk mencegah para pelaku melakukan pelanggaran pemanfaatan BMKT dengan cara sebagai berikut : -
Identifikasi – veirifikasi data/informasi;
-
Operasi lapangan secara rutin, berkala, dan insidentil;
-
Kerjasama operasi pengawasan dengan aparat penegak hukum, Pemda, dan instansi terkait;
-
Kerjasama
dan
peningkatan
pengawasan
dengan
dan
oleh
masyarakat/pokmaswas. c. Represive Pengawasan secara represive dilakukan apabila diketahui terjadinya pelanggaran yang dikategorikan sebagai tindak pidana. Hal ini dilaksanakan bekerjasama dengan Instansi terkait yaitu dengan melakukan
:
-
Penyelidikan / Pulbaket (pengumpulan bahan keterangan);
-
Penyidikan;
-
Penegakan hukum.
Pengawas
Ditjen
PSDKP
diberikan
kewenangan
untuk
melakukan
operasi
pengawasan di laut dengan menggunakan Kapal Pengawas Perikanan atau kapal lainnya dengan sasaran perairan yang diperkirakan memiliki potensi BMKT. Tujuannya adalah dalam rangka menciptakan tertib pelaksanaan pengelolaan BMKT dan memberikan perlindungan kepada titik-titik yang mengandung BMKT. Hal ini tentu sejalan dengan aspek perlindungan cagar budaya sebagaimana terkandung dalam Undang-undang tentang Cagar Budaya.
Atmojo (2011) menjelaskan bahwa
perlindungan adalah unsur terpenting dalam sistem pelestarian cagar budaya, unsur ini mempengaruhi unsur-unsur lain yaitu pengembangan dan pemanfaatan yang pada akhirnya diharapkan menghasilkan umpan balik pada upaya perlindungan. Jadi, pengawasan yang dilakukan oleh Ditjen PSDKP secara tidak langsung memberikan kontribusi kepada pemerintah berupa upaya perlindungan dalam rangka pelestarian cagar budaya maupun yang diduga sebagai cagar budaya bawah air. Undang-undang
tentang cagar budaya menjelaskan bahwa pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara salah satunya adalah perlindungan. Perlindungan dapat dilakukan dengan cara penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran cagar budaya. Sejak tahun 2013, wilayah perairan Kepulauan Riau dijadikan daerah prioritas sasaran pengawasan baik melalui pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) maupun gelar operasi di laut dengan melibatkan instansi terkait. Di tahun 2013 telah dilakukan beberapa kali operasi pengawasan menggunakan kapal pengawas perikanan milik Ditjen PSDKP dengan melibatkan Polri sebagai tindak lanjut laporan dari masyarakat sekitar mengenai adanya kegiatan pengangkatan BMKT secara illegal. Beberapa wilayah perairan Kepulauan Riau yang diduga terjadi kegiatan pencurian BMKT antara lain di sekitar Karang Heluputan, Pulau Numbing, Pulau Mantang, Pulau Mapur, Pulau Buaya, dan Pulau Abang. Dari 4 (empat) kali operasi pengawasan di laut yang dilakukan pada tahun 2013, pengawas tidak menemukan adanya kegiatan pengangkatan
BMKT
maupun
kapal-kapal
yang
diduga
akan
melakukan
pengangkatan BMKT.
Gambar 1. Posisi titik lokasi penangkapan
Ditjen PSDKP kembali meningkatkan intensitas pengawasan BMKT di perairan Kepulauan Riau pada tahun 2014. Berawal dari penangkapan pelaku pencurian BMKT
oleh kapal patroli TNI Angkatan Laut di sekitar perairan Karang Heluputan pada bulan Januari, menjadi titik tolak bahwa harus dilakukan pengawasan yang lebih intens dalam rangka pengamanan titik lokasi. Dalam sebuah operasi pengawasan yang dilakukan oleh Kapal Pengawas Hiu 010 pada tanggal 13 Maret 2014, dilakukan tangkap tangan terhadap KM. Penyu yang sedang melakukan pengangkatan BMKT secara illegal pada titik koordinat 00º34.022’ N - 105º08.725’ E. Kapal tersebut beranggotakan 12 (dua belas) orang yang semuanya merupakan warga Negara Indonesia. Barang bukti yang ditemukan berupa keramik utuh sebanyak 3.680 buah dan fragmen sebanyak 327 buah. Kapal tersebut dilengkapi dengan berbagai peralatan selam diantaranya kompresor, baju selam, tabung selam, dan kamera digital.
Gambar 2. Penangkapan KM. Penyu oleh Kapal Pengawas Ditjen PSDKP (dok. Ditjen PSDKP) Penangkapan yang dilakukan oleh kapal patroli Ditjen PSDKP maupun TNI Angkatan Laut ternyata tidak cukup memberikan efek jera. Setelah penangkapan oleh kapal patroli TNI AL pada bulan Januari, Mei, dan Juli, Ditjen PSDKP kembali melakukan tangkap tangan pada bulan September pada titik lokasi yang sama dengan penangkapan sebelumnya baik yang dilakukan oleh TNI AL maupun Ditjen PSDKP. Kali ini penangkapan dilakukan oleh Kapal Pengawas Perikanan Hiu 009 pada tanggal 12 September 2014 terhadap KM. Imman Rabia. Kapal motor yang beranggotakan 12 (dua belas) orang berkebangsaan Indonesia tersebut tidak dilengkapi dokumen perijinan baik dokumen kapal maupun dokumen kegiatan pengangkatan BMKT dari pejabat yang berwenang sehingga diputuskan untuk dilakukan adhoc ke dermaga Satker PSDKP Batam untuk diproses lebih lanjut.
Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Ditjen PSDKP terhadap kedua kasus tersebut di atas adalah dengan melakukan penyidikan. Para tersangka dijerat dengan Pasal 75A Jo Pasal 19
ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pasal
tersebut
menyatakan
bahwa
“Setiap
orang
yang
memanfaatkan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang tidak memiliki izin pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”. D. Tantangan Perlindungan BMKT / Situs Bawah Air Pengawasan yang dilakukan oleh Ditjen PSDKP merupakan salah satu upaya dalam rangka memberikan perlindungan terhadap titik-titik yang di bawahnya terdapat kapal karam beserta muatannya yang memiliki nilai sejarah dan budaya (cagar budaya), dan bahkan ekonomi (BMKT). Perlindungan merupakan salah satu bagian kecil pada sebuah upaya yang pada akhirnya mengarah pada tujuan pelestarian. Tanpa adanya perlindungan, mungkin upaya pelestarian hanya akan sia-sia.
Gambar 3 dan 4. Pelaku pengangkatan BMKT secara illegal beserta barang bukti (dok. Ditjen PSDKP) Situs kapal karam di perairan Karang Heluputan, sebut saja situs Karang Heluputan II untuk membedakan dengan lokasi De Geldermalsen yang juga berada di perairan Karang Heluputan, merupakan salah satu contoh tantangan bagi pemerintah, khususnya yang menangani kebudayaan, dalam melakukan pelestarian situs. Pelestarian situs antara yang di darat dan yang berada di lautan/bawah air tentu akan sangat berbeda dalam tantangan
dan penanganannya. Situs yang berada di bawah air pun kondisinya akan sangat berbeda antara situs yang berada di dekat pantai atau pesisir dengan yang berada jauh dari pesisir. Situs Karang Heluputan II adalah salah satu contoh situs yang berada jauh dari garis pantai. Situs ini terletak kurang lebih 24 mil laut dari garis pantai pulau terdekat dengan kedalaman sekitar 30 meter. Situs USAT Liberty yang berada di Tulamben Bali barangkali dapat dijadikan sebagai contoh pengelolaan situs bawah air yang terletak di pinggir pantai. Situs ini dikelola dengan dijadikan sebagai salah satu tempat wisata penyelaman favorit di pulau Bali. Masyarakat setempat diberdayakan oleh pemerintah daerah dalam pengelolaan dan menjadi sumber penyumbang perekonomian masyarakat setempat, sehingga ada perasaan memiliki yang pada ujungnya timbul kesadaran di masyarakat untuk melestarikannya. Masyarakat setempat menerapkan peraturan yang dikenal dengan nama awig-awig untuk melindungi kelestarian situs dari kerusakan (Noerwidi, 2007). Pengamanan atau pengawasan situs bawah air yang berada di pantai / pesisir mungkin sedikit lebih mudah karena untuk menjangkaunya tidak terlalu membutuhkan biaya yang besar dibandingkan dengan situs yang berada jauh dari pesisir. Jika situs dikelola dengan baik, maka pengamanannya dapat melibatkan masyarakat setempat yang mendapatkan manfaat dari keberadaan situs bawah air seperti yang terjadi di situs USAT Liberty Tulamben. Permasalahannya adalah bahwa hampir sebagian besar pengangkatan BMKT secara illegal terjadi pada titik lokasi yang keberadaanya sangat jauh dari pesisir, misalnya situs Karang Heluputan II, Situs Cirebon, situs Blanakan, dan lainnya. Tentu saja aparat penegak hukum yang memiliki kapal patroli tidak dapat setiap saat berada di lokasi situs dalam rangka pengamanan. Dalam melakukan sekali operasi di laut pun juga membutuhkan anggaran yang cukup besar. Situs Karang Heluputan II dapat dikatakan dalam kondisi terancam. Informasi yang diperoleh menyebutkan bahwa sudah banyak muatan kapal di situs Karang Heluputan II yang telah diangkat secara illegal dan mungkin telah keluar Indonesia. Berapa banyak data arkeologi yang hilang, yang seharusnya dapat digunakan untuk merekonstruksi sebuah situs secara utuh. Seperti yang telah dijelaskan di atas, penangkapan berkali-kali pada titik lokasi yang sama yang dilakukan TNI AL dan Ditjen PSDKP KKP seolah tidak mampu memberikan efek jera bagi para pelaku. Ketertarikan masyarakat terhadap situs
Karang Heluputan II ini kemungkinan karena situs ini berisi barang-barang yang bagus dan mempunyai nilai jual yang tinggi. Melihat kondisi demikian, maka diperlukan penanganan yang cepat khususnya dari instansi pemerintah yang menangani masalah kebudayaan. Hal-hal yang mungkin dapat dilakukan dalam rangka penyelamatan situs Karang Heluputan II dan mungkin situs lainnya antara lain: a. Pendokumentasian / Perekaman Data Barangkali pendokumentasian merupakan langkah yang paling awal yang harus segera dilakukan. Pendokumentasian adalah upaya perekaman data dengan cara pendeskripsian, pengukuran, penggambaran, dan pemotretan terhadap kondisi aktual situs di dasar laut untuk mendapatkan data sebanyak mungkin dalam bentuk verbal, pictorial, serta visual dan audio visual (anonym, 2013). Kapal karam kuno merupakan sumber daya arkeologi dan sumber daya pesisir yang tidak dapat pulih dan rawan terhadap kerusakan baik yang disebabkan oleh faktor alam maupun manusia (Ridwan dkk, 2013). Oleh karena itu diperlukan pendokumentasian secara menyeluruh baik terhadap artefak maupun lingkungannya yang bertujuan untuk menyelamatkan data, sehingga apabila pada suatu saat terjadi perubahan maka masih dapat dilacak data awalnya. b. Ekskavasi penyelamatan Ekskavasi penyelamatan merupakan salah satu jenis ekskavasi yang dilakukan dalam rangka menyelamatkan data-data penting pada suatu situs. Biasanya ekskavasi penyelamatan dilakukan sebagai respon adanya ancaman terhadap kelestarian situs yang datang dari misalnya rencana pembangunan, bencana alam, ataupun ulah manusia. Ekskavasi penyelamatan sudah banyak dilakukan pada situs-situs yang berada di darat dan mungkin belum pernah sama sekali dilakukan pada situs bawah air di Indonesia. Oleh karena itu, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah karena kegiatan ini membutuhkan dana yang sangat besar dan juga sumber daya manusia yang berkompeten. c. Sosialisasi Walaupun cara ini merupakan langkah yang sangat klasik, namun hal ini cukup penting dilaksanakan agar masyarakat paham dan mengerti bahwa kegiatan pengangkatan BMKT secara illegal adalah salah satu pelanggaran hukum. Kelompok nelayan maupun masyarakat pesisir dapat dijadikan sasaran dari kegiatan sosialisasi mengingat para pelaku sebagian besar adalah nelayan.
d. Memperkuat Penegakan Hukum Baik undang-undang tentang cagar budaya maupun undang-undang tentang pengelolaan wilayah pesisir sudah secara tegas mengatur pemanfaatan BMKT dan cagar budaya. Kuncinya terletak pada keberanian dan ketegasan penegak hukum pada saat menangani kasus. Direktorat Peninggalan Bawah Air mencatat sejak tahun 2005 hingga saat ini telah terjadi 11 (sebelas) kasus pelanggaran yang ditangani oleh instansi yang berwenang. Dari 11 (sebelas) kasus pelanggaran yang dilakukan proses hukum, ternyata hanya 2 (dua) kasus yang sampai di meja pengadilan dan sudah berkekuatan hukum tetap (Widiati, 2011). Sisanya tidak jelas. e. Kerjasama Pengawasan dengan Instansi Terkait Kegiatan pengawasan merupakan hal yang vital dan merupakan konsekuensi dari keberadaan situs kapal karam yang jumlahnya mencapai ratusan bahkan ribuan. Pengawasan sangat penting dilakukan untuk memastikan bahwa situs berada dalam kondisi yang aman. Terdapat beberapa instansi pemerintah yang mempunyai kewenangan melaksanakan operasi di laut antara lain TNI AL, Polri, dan juga Ditjen PSDKP KKP. Oleh karena itu perlu ditingkatkan koordinasi antar instansi terkait untuk semakin memantapkan kegiatan pengawasan terutama di titik-titik lokasi kapal karam maupun pada wilayah perairan yang potensial dan rawan pelanggaran. Ego sektoral sudah semestinya ditinggalkan karena hanya akan berdampak pada terbengkalainya situs bawah air. Satu hal yang paling penting adalah adanya kepastian bahwa situs bawah air yang terletak jauh dari pesisir mendapat perlakuan pengawasan dan perlindungan yang sama dengan situs bawah air yang berada di pinggir pantai atau pesisir, atau paling tidak mendapatkan perlakuan yang hampir sama. Apabila dibiarkan, bukan tidak mungkin lambat laun situs-situs bawah air tersebut akan rusak bahkan musnah. E. Penutup Pemerintah sudah seharusnya mulai membuka mata bahwa situs bawah air bukan hanya ada di pinggir pantai atau pesisir. Akan tetapi jauh di sebelah sana terhampar ratusan bahkan ribuan situs bawah air yang terancam dan menjadi ladang jarahan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Pemerintah harus konsisten pada upaya pelestarian dengan memberikan perlindungan penuh. Masyarakat mungkin dapat memaklumi pemerintah kekurangan dana dan sumber daya manusia yang mumpuni. Namun jika ada keseriusan bukan tidak mungkin hal tersebut dapat tercapai. Tentu masyarakat Indonesia tidak ingin jika pada suatu saat nanti artefak-artefak bersejarah dari dasar laut perairan
Indonesia berjajar rapi menghiasi rak-rak menunggu pembeli di Balai Lelang Internasional seperti yang pernah terjadi tahun 1986 silam. Pustaka Anonim. 2013. Pendokumentasian cagar budaya : deskripsi, pengukuran, dan penggambaran. Disampaikan dalam Bimtek Pendaftaran Cagar Budaya di Makassar 22 Juli 2013. Atmojo, Junus Satrio. 2011. “Perlindungan Warisan Budaya Daerah Menurut Undang-Undang Cagar Budaya”, dalam http://www.iaaipusat.wordpress.com/2012/03/17/perlindunganwarisan-budaya-daerah-menurut-undang-undang-cagar-budaya/ Helmi, Surya. 2010. Warisan Budaya di Dasar Laut, Data Arkeologi yang “dilupakan”. Presentasi pada Seminar Semarak Arkeologi 2010. Direktorat Peninggalan Bawah Air. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Noerwidi, Sofwan. 2007. “Pemberdayaan Masyarakat Pesisir pada Pelestarian Situs Bangkai Kapal USS Liberty, Tulamben, Bali”, dalam Berkala Arkeologi Tahun XXVII Edisi No. 1/Mei 2007. Yogyakarta :Balai Arkeologi Yogyakarta. Ridwan, Nia Naelul Hasanah, Dkk. 2013. “USAT Liberty Tulamben : Ancaman Lingkungan, Manusia, dan Rekomendasi Upaya Pelestariannya”, dalam Varuna Jurnal Arkeologi Bawah Air Vol. 7 / 2013. Jakarta : Direktorat Peninggalan Bawah Air.. Sofian, Harry Octavianus. 2010. “Permasalahan Arkeologi Bawah Air Di Indonesia”, dalam Jurnal Kapata Arkeologi, Jurnal Arkeologi Wilayah Maluku dan Maluku Utara Vol. 6/2010. Ambon : Balai Arkeologi Ambon. Tempo. 2010. Mengejar Sampai Stuttgart. Jakarta. Utomo, Bambang Budi (Editor). 2008. Kapal Karam Abad Ke-10 Di Laut Jawa Utara Cirebon. Jakarta : Pannas BMKT. Widiati. 2011. “Pengelolaan Tinggalan Budaya Bawah Air di Indonesia”, dalam http://www.iaaipusat.wordpress.com/2012/02/11/pengelolaan-tinggalan-budaya-bawah-airdi-indonesia/ Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undan-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tenang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya Keppres No. 12 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Keppres No. 19 Tahun 2007 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam
Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2007 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam Keputusan Dirjen PSDKP Nomor KEP.56/DJ-PSDKP/2011 tentang Pengawasan Pengelolaan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT)