TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Penyebab Penyakit
Penyakit akar putih disebabkan oleh jamur yang lazimnya disebut jamur akar putih (JAP). Nama ilmiah jamur ini adalah Rigidoporus lignosus (Klotzsch) Imazeki atau Rigidoporus microporus (Swartz: Fr.)Van ove., Poliporus lignosus Klotzsch, meskipun sampai sekarang jamur ini sering dikenal dengan nama Fomes lignosus (Klotzsch) Bres (Semangun, 2000). Menurut Alexopoulus and Mins (1979) penyakit Jamur Akar Putih (JAP) dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Divisio
: Mycetaceae
Sub Divisio
: Amestigomycots
Kelas
: Basidiomycetes
Ordo
: Homobasidiomycetes
Famili
: Polyperales
Genus
: Rigidoporus
Spesies
: Rigidoporus microporus (Swartz: Fr.) Van overeem JAP membentuk tubuh buah berbentuk kipas tebal, agak berkayu,
mempunyai zona-zona pertumbuhan, sering mempunyai struktur serat yang radier, mempunyai tepi yang tipis. Warna permukaan tubuh buah dapat berubah tergantung dari umur dan kandungan airnya. Pada permukaan tubuh buah benangbenang jamur berwarna kuning jingga, tebalnya 2,8-4,5 μm, mempunyai banyak sekat (septum) yang tebal. (Gambar 1). Pada waktu masih muda berwarna jingga jernih sampai merah kecokelatan dengan zona gelap yang agak menonjol.
Universitas Sumatera Utara
Permukaan bawah berwarna jingga, tepihnya berwarna kuning jernih atau putih kekuningan. Jika menjadi tua atau kering tubuh buah menjadi suram, permukaan atasnya cokelat kekuningan pucat dan permukaan bawahnya cokelat kemerahan (Semangun, 2000).
Gambar 1. Badan buah jamur Rigidoporus microporus
Menurut Steinmann (1925) dalam Semangun (2000) lapisan atas tubuh buah yang berwarna muda terdiri atas benang-benang jamur yang terjalin rapat. Dibawahnya terdapat lapisan pori kemerahan atau kecokelatan dengan garis tengah 45-80 μm , panjang berbeda-beda umumnya 0,7-1,0 μm. Diameter sporofor pada umumnya 10 cm tetapi pada keadaan yang sesuai untuk pertumbuhan dapat mencapai 30 cm dengan tebal 1,5 cm, bagian tepi sporofor lebih tipis, selanjutnya sporofor ini menghasilkan basidiospora. Basidiospora bulat, tidak berwarna, dengan garis tengah 2,8-5,0 μm, banyak dibentuk pada tubuh buah yang masih muda. Basidium pendek (buntak), ± 16 x 4,5-5,0 μm, tidak berwarna, mempunyai 4 sterigma tangkai (basidiospora) (Sinulingga, 1989).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Rigidoporus lignosus. A. Pori; B. basidium (a) dengan basidiospora (bs) dan sistidium (s). (menurut A. Steinmann, 1925 dalam Semangun, 2000)
Rigidoporus microporus jamur yang bersifat parasit fakultatif, artinya dapat hidup sebagai saprofit yang kemudian menjadi parasit. Jamur R. microporus tidak dapat bertahan hidup apabila tidak ada sumber makanan. Bila belum ada inang jamur ini bertahan di sisa-sisa tunggul (Liyanage, 1976).
Gejala Serangan Gejalah serangan JAP pada tanaman karet ditandai dengan adanya perubahan pada warna daun. Daun berwarna hijau kusam, permukaan daun lebih tebal dari yang normal. Setelah itu daun- daun menguning dan rontok. Pada pohon dewasa gugurnya daun, yang disertai dengan matinya ranting menyebabkan pohon mempunyai mahkota yang jarang. Ada kalanya tanaman membentuk bunga/ buah lebih awal (Semangun, 2000 dan Rahayu, dkk., 2006). Pada permukaan akar yang sakit terdapat benang-benang miselium jamur (Rizomorf) berwarna putih menjalar di sepanjang akar. Di sini benang-benang meluas atau bercabang seperti jala. Pada ujungnya benang meluas seperti bulu, benang-benang melekat erat pada permukaan akar (Gambar 3). Kadang-kadang berwarna kekuningan, dalam tanah merah tanahnya dapat kemerahan atau kecokelatan, kulit yang sakit akan busuk dan warnanya cokelat. Kayu dari akar
Universitas Sumatera Utara
yang baru saja mati tetap keras, berwarna cokelat, kadang-kadang agak kekelabuan. Pada pembusukan yang lebih jauh, kayu berwarna putih atau krem, tetapi padat dan kering, meskipun di tanah basah kayu yang terserang dapat busuk dan hancur (Basuki dan Wisma, 1995 dan Semangun, 2000).
Gambar 3. Rizomorf pada permukaan akar karet yang terserang Rigidoporus microporus
Pada tanaman muda gejalanya mirip dengan tanaman yang mengalami kekeringan. Daun-daun berwarna hijau kusam dan lebih tebal dari yang normal. Daun tersebut akhirnya menjadi cokelat dan mengering. Pohon akhirnya tumbang dengan daun yang masih menggantung. Ada kalanya pohon tiba-tiba tumbang tanpa menimbulkan gejala kematian tajuk, karena akar tanaman telah busuk dan mati. Apabilah leher akar tanaman yang terserang dibuka, akan tampak rizomorf jamur berwarna putih, baik diakar tunggang ataupun di akar lateral. Akar- akar tersebut akan busuk dan tanaman akan mati (Sinulingga, 1989). Serangan lebih lanjut JAP akan membentuk badan buah, berbentuk setengah lingkaran yang tumbuh pada pangkal batang. Badan buah berwarna pink dengan tepi kuning mudah atau keputihan. Badan buah berisi spora-spora jamur yang akan berkembang dan keluar dari tubuh buah. Spora tersebut akan berpencar dan menyerang tanaman karet yang masih sehat (Fairuzah, dkk., 2008).
Universitas Sumatera Utara
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyakit JAP Jamur akar putih (JAP) dapat menyerang tanaman karet pada bermacammacam umur. Penyakit akar putih terutama timbul pada kebun-kebun muda. Pada umumnya gejala mulai tampak pada tahun-tahun ke-2. Sesudah tahun ke-5 atau ke-6 infeksi-infeksi baru mulai berkurang, meskipun dalam kebun-kebun tua penyakit dapat berkembang terus (Semangun, 2000). JAP dapat mematikan tanaman karet yang berumur 3 tahun dalam waktu 6 bulan dan tanaman karet umur 6 tahun dalam waktu 12 bulan (Basuki, 1981 dalam Yusuf, dkk 1992). Penyebaran JAP yang paling efektif yaitu melalui kontak akar. Apabila akar-akar tanaman sehat saling bersinggungan dengan akar tanaman karet yang sakit, maka rizomorf JAP akan menjalar pada tanaman yang sehat kemudian menuju leher akar dan selanjutnya menginfeksi akar lateral lainnya. Tanaman yang terinfeksi ini akan menjadi sumber infeksi pada tanaman jirannya, sehingga perkembangan penyakit semakin lama semakin meluas (Sujatno, dkk., 2007). Setelah patogen menginfeksi tanaman, perkembangan selanjutnya bergantung pada pH, kandungan bahan-bahan organik, kelembapan dan aerase tanah. R. micropous dapat tumbuh baik pada kelembapan diatas 90%, kandungan bahan organik tinggi serta aerase yang baik. Apabila kondisi ini sesuai, patogen dapat menjalar sejauh 30 cm dalam waktu 2 minggu (Sinulingga dan Eddy, 1989). Pada umumnya intensitas JAP memuncak pada umur tanaman 3-4 tahun pada saat ini terjadi pertautan akar antar gawangan, faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit, tanah yang gembur/ berpori, dan yang beraksi netral (pH 6-7), dengan suhu lebih dari 200 C sangat baik bagi perkembangan penyakit. Penyakit berkembang cepat pada awal musim hujan. Tunggul yang terbuka
Universitas Sumatera Utara
merupakan medium penularan JAP dan akar-akar yang terinfeksi merupakan sumber penularan lebih lanjut (Soepena, 1984). Infeksi patogen lebih mudah terjadi melalui luka dan lentisel, walaupun penetrasi secara langsung mungkin terjadi. Pada tanaman karet yang sering di temukan bagian leher akar pecah dan ini merupakan tempat yang baik bagi infeksi jamur. Patogen kemudian ke bagian yang lebih dalam dari akar. Tanaman akan mengadakan pertahanan seperti pembentukan kambium dan gabus, akan tetapi hal ini sering tidak dapat menahan perkembangan lanjut patogen. Serangan lebih tingggi akan ditemukan pada tanaman okulasi dibandingkan dengan tanaman biji. Hal ini disebabkan pada bagian okulasi ada bagian-bagian yang luka, sehingga memudahkan patogen untuk mengadakan infeksi (Sinulinggga, 1989). Menurut Basuki (1986) dalam Semangun (2000) pembongkaran karetkaret tua secara mekanis dengan alat-alat berat memberikan hasil yang lebih baik, karena hannya meninggalkan sedikit sumber infeksi di dalam tanah. Sebaliknya diketahui pada peremajaan yang hanya dilakukan dengan peracunan pohon-pohon karet tua akan menyebabkan terjadinya banyak infeksi pada tanaman muda kelak. Di Sumatera Utara kebun-kebun yang terletak di tanah podsolik merah kuning kurang menderita kerugian dari jamur akar putih, daripada yang terdapat di tanah aluvial. Ini disebabkan karena tanah tersebut lebih masam, sehingga Rigidoporus tidak dapat berkembang dengan baik. Selain itu di tanah yang lebih masam terdapat jamur Trichoderma koningii Oud., yang menjadi antagonis bagi Rigidoporus dapat berkembang dengan baik (Semangun, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Pengendalian Penyakit JAP Pengendalian JAP ditujukan untuk memusnakan sumber infeksi dan mencegah terbentuknya penyakit pada tanaman karet muda serta meluasya dari satu tanaman ke tanaman yang lain (Yusuf, dkk., 1992). Menurut Semangun (2000) pengendalian dapat dibagi menjadi dua kelompok kegiatan, yaitu: membersikan sumber infeksi, sebelum dan sesudah penanaman karet dan dan mencegah meluasnya penyakit dalam kebun. 1. Membersikan sumber infeksi Sumber infeksi berasal dari pohon-pohon hutan yang sakit, atau tunggultunggul pohon hutan yang terinfeksi, sedang pada peremajaan berasasl dari pohon karet tua yang sakit atau tunggul-tunggul tua pohon yang sakit. Tunggul-tunggul yang terdapat di kebun harus dibongkar. Jika pembongkaran tunggul tidak dapat dilakukan, untuk mempercepat pembusukan akar dilakukan peracunan tunggul (stump poisoning) dan peracunan pohon. Agar tunggul yang baru tidak dapat diinfeksi oleh spora R. microporus, sehabis penebangan bidang potongan harus segera ditutup dengan obat penutup luka (Semangun, 2000). Penanaman bibit dilapangan diusahan bukan bibit yang sudah terserang JAP. Bibit bebas JAP ini didapatkan pada saat penyeleksian bibit yang akan ditanam dari pembibitan, karena bibit yang sakit dapat menjadi sumber infeksi di kebun. Infeksi pada bibit dapat dikurangi dengan cara pemberian belerang cirrus sebanyak 250 kg per ha pembibitan atau ditaburkan diantara barisan tanaman pada waktu bibit berumur 2 bulan. Pada saat penanaman karet, tiap lubang diberi belerang sebanyak 100 g yang dicampurkan dengan tanah pengisi lubang, atau ditaburkan di tanah di sekitar pangkal batang (Semangun, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Untuk penyulaman, tanaman yang tidak bisa diselamatkan lagi, harus segera dibongkar dan sisa-sisa akar harus disingkirkan dan bekas lubang harus diberi 250 g serbuk belerang atau ZA. Tanah bekas lubang tanam harus disingkirkan dan dibuat lubang tanam yang baru (40 x 40 x 30) cm. Bibit yang ditanam harus bibit stump tinggi, disekitar bibit stump ditaburkan serbuk belerang atau ZA untuk melindungi bibit dari serangan JAP (Pinem dan Yusuf, 2004). Pengendalian secara biologis merupakan tindakan dengan penggunaan agensia hayati, pengendalian ini paling mudah, murah dan ramah lingkungan (Hamdan, 2007). Banyak jenis Bio-fungisida yang diteliti para ahli untuk menekan pertumbuhan JAP, misalnya Trichoderma sp. Pada pembibitan dengan dosis 50 g/pohon, dilapangan pada pohon yang sudah terserang diberikan 100 g/pohon (TBM). Sedang pada pohon yang sudah menghasilkan dibuat parit keliling dengan radius 0,5 m dari pangkal pohon yang akan diisi Trico-sp dan ditutup kembali dengan tanah (Ilahang, dkk., 2007). Pengendalian jamur akar putih
dapat juga dilakukan dengan bakteri
Pseudomonas aeruginosa dimana bakteri ini dapat menekan pertumbuhan miselium
R. microporus (Hasanuddin, 1999).
2. Mencegah meluasnya penyakit dalam kebun Pembuatan selokan isolasi (parit isolasi) disekitar tanaman yang terserang yang bertujuan untuk mematahkan hubungan antara bagian jala-jala akar yang sakit dengan yang sehat. Jeluk (dalamnya) parit isolasi berpariasi antara 60 cm dan 90 cm dengan lebar lebih kurang 30 cm. Pencegahan dapat juga dilakukan dengan monitoring JAP di lapangan. Monitoring ini dapat dilakukan seperti
Universitas Sumatera Utara
pembukaan leher akar. Pembukaan leher akar ini bertujuan agar pangkal dari akar tunggang dan akar-akar samping tidak tertutup tanah, karena jamur R. microporus tidak dapat berkembang dengan baik pada akar-akar yang berada di luar tanah (Semangun, 2000). Pegendalian jamur akar putih sebaiknya dilakukan dengan kombinasi antara cara kimia dan cara biologis, walaupun cara kimia menunjukkan hasil yang lebih efektif daripada biologis. Pada aplikasi per pohon, pengobatan secara kimia misalnya dengan pengaplikasian fungisida Bayleton dengan dosis 5 cc/L air. Dengan membuat parit isolasi agar campuran Bayleton tersebut dapat terserap ke dalam perakaran tanaman. Aplikasi berdasarkan umur tanaman dengan dosis 250 ml/pohon (umur <1 tahun), 500 ml/pohon (umur 2-3 tahun) dan 1000 ml/pohon (>3 tahun) (Ilahang, dkk., 2007).
Chitosan Chitosan pertama kali ditemukan oleh ilmuwan Perancis, Ojier pada tahun 1823. Ojier meneliti chitosan hasil ekstrak kerak binatang berkulit keras, seperti udang, kepiting, dan serangga (Luthfi, 2006). Karakteristik fisiko-kimia chitosan berwarna putih dan berbentuk kristal (gambar 4), dapat larut dalam larutan asam organik, tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya. Pelarut chitosan yang baik adalah asam asetat. Chitosan sedikit mudah larut dalam air dan mempunyai muatan positif yang kuat, yang dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain, serta mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak beracun (Prasetiyo dan Yusuf, 2005 dan Bima, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4. Chitosan Proses pembuatan chitosan pertama-tama kulit udang dicuci dengan air mengalir selanjutnya dicuci dengan air panas kemudian di jemur sampai kering. Selanjutnya kulit udang diblender lalu dicuci dengan larutan asam klorida untuk menghilangkan kerak kapur (demineralisasi) selanjutnya di cuci dengan larutan NaOH untuk menghilangkan protein (deproteinisasi) Prasetiyo dan Yusuf (2005). Chitosan digunakan untuk kesehatan untuk penyakit diabetes dan hipertensi. Ternyata di dalam zat kerak udang terdapat unsur butylosar yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Butylosar yang telah didapatkan itu hanya larut dalam asam encer dan cairan tubuh manusia. Dengan demikian, butylosar dapat diserap oleh tubuh, zat ini juga mempunyai muatan positif yang kuat, dan dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Selain itu, zat ini tidak mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak beracun (Linawati, 2008). Untuk mengurangi bahan kimia yang berbahaya yang ada pada fungisida kimia seperti sulfat tembaga, yang berbahaya pada kesehatan maka digunakan pengendalian secara alami dengan menggunakan fungisida alami. Salah satunya yang ingin dicoba adalah chitosan, salah satu bahan alami yang telah direkomendasikan sebagai elicitor resistensi pada produk pasca panen (Wilson et al., 1994). Yang dihasilkan dari proses deasetilasi chitin cangkang
Universitas Sumatera Utara
kepiting atau eksokleton udang (Wilson and Ell Ghaouth, 1993). Chitosan melindungi buah dan sayuran melalui dua mekanisme, fisik dan kimiawi. Secara fisik, chitosan membentuk lapisan film yang membungkus permukaan produk dan mengatur pertukaran gas dan kelembaban. Secara kimiawi, chitosan bersifat fungisidal dan merangsang respon resistensi pasca panen pada jaringan tanaman. Aktifitas antifugal dan merangsang ketahanan dari chitosan menjanjikan kemungkinan yang baik untuk pengendalian penyakit tanaman ( Pamekas, 2007). Chitosan (sebuah polymer dari beta- 1,4- glucosamin residues) adalah sebuah deacetyl jadian dari kitin yang memberikan sifat antifugal yang berperan untuk memancing/mendapatkan ketahanan tanaman yang potensial untuk melawan jamur patogen (Roblin, 2008). Allan dan Hadwiger melaporkan bahwa cithosan (1000 µg/ml) efektif dan mengurangi pertumbuhan dari beberapa jamur yang telah diuji. Efek penghambatan dari chitosn juga telah didemostrasikan dengan jamur tular tanah (soil borne) (El Ghaouth, at al., 1992). Efek pemberian chitosan terhadap tingkat kerusakan buah strawberry yang diinokulasi dengan suspensi spora Botrytis cinerea atau Rhizopus stolonifer kemudian diberi dengan larutan chitosan (10 atau 15 mg/ml), setelah 14 hari disimpan kerusakan yang disebabkan oleh B. cinerea atau R. stolonifer sangat nyata pengurangannya dengan pemberian chitosan. Chitosan sangat efektif menghambat pertumbuhan spora dan perpanjangan germtube dari B. cinerea atau R. stolonifer pada media. Mekanisme dari chitosan mengurangi pembusukan/ kerusakan pada buah strawberry, serta memberikan perlindungan dari serangan jamur patogen, kemampuannya juga dapat meningkatkan enzim seperti chitinase, chitosanase, dan beta- 1,3-glucanase (El ghaouth, at al., 1992).
Universitas Sumatera Utara