PENGENDALIAN PENYAKIT JAMUR AKAR PUTIH (JAP) JAMBU METE SECARA TERPADU Mesak Tombe, Dono Wahyuno dan Zulhisnain Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat ABSTRAK
PENDAHULUAN
Jambu mete (Anacardium occidentale) adalah komoditas ekspor dan mempunyai prospek pasar dalam negeri cukup besar. Tanaman ini berpotensi untuk dikembangkan di kawasan Indonesia Timur atau lahan marginal. Salah satu kendala dalam pengembangan jambu mete di Indonesia adalah serangan penyakit yang disebabkan oleh patogen tanaman. Salah satu penyakit utama pada jambu mete adalah penyakit busuk akar yang disebabkan oleh beberapa jenis jamur patogenik. Sejak tahun 1992 tanaman jambu mete usia produktif yang dikembangkan di kawasan Bali, NTT, dan NTB banyak terserang penyakit busuk akar, dan jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun sehingga diperlukan teknologi pengendalian yang efisien dan efektif untuk menekan penyebaran penyakit tersebut. Pada tahun 2001, melalui proyek PHT Perkebunan Rakyat, telah dilakukan serangkaian penelitian untuk memperoleh paket teknologi pengendalian penyakit busuk akar. Komponen yang diuji adalah pestisida nabati, agen hayati dan bahan organik dari limbah tanaman disertai pemupukan NPK yang dilaksanakan selama 3 tahun anggaran. Hasil pembibitan menunjukkan bahwa kombinasi penggunaan komponen teknologi tersebut dapat menghambat serangan jamur busuk akar dan memperbaiki produksi tanaman yang terserang. Efektivitas terbaik dihasilkan oleh kombinasi penggunaan fungisida nabati Mitol 20EC, kompos Bio-TRIBA (limbah organik diolah dengan menggunakan Bacillus pantotkenticus dan Trichoderma lactae) disertai pemberian pupuk NPK pada tahun ke 2 dan 3.
Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis yang dapat meningkatkan pendapatan petani terutama di lahan-lahan marginal yang banyak terdapat di Kawasan Indonesia Timur seperti NTB, NTT, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku dan Bali. Pengembangan tanaman jambu mete di daerah tersebut telah dilaksanakan secara luas melalui proyek pemerintah bekerjasama dengan beberapa badan keungan dunia. Sejalan dengan perluasan areal pengembangan, telah dilaporkan adanya tanaman yang terserang berbagai jenis Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang merugikan petani, yang apabila tidak segera dikendalikan dikhawatirkan akan menjadi masalah serius di kemudian hari. Penyakit-penyakit yang disebabkan oleh beberapa jamur patogen yang telah dilaporkan menyerang jambu mete antara lain : Fusarium oxysporum, F. solani (Tombe et al., 1997), Phytium sp., Phytophtora sp., dan Cylindrocladiaum sp. (Sastrahidayat
13
dan Sumarno, 1990; Sitepu, 1994) yang menyebabkan gejala busuk akar, layu maupun damping off (Murkerji dan Bhasin, 1986), Botryodiplodia theobromae penyebab gumosis (Supriadi et al., 1995), dan penyakit jamur akar yang disebabkan oleh Rigidoporus lignosis (Arya dan Temaja, 1996). Dari OPT tersebut di atas yang paling berpotensi dalam menimbulkan kerusakan adalah serangga hama Helopeltis spp dan jamur busuk akar. Sampai saat ini penyakit jamur akar dapat dikategorikan sebagai penyakit utama tanaman jambu mete dalam beberapa tahun terakhir ini, dan bersifat endemik pada beberapa lokasi pertanaman jambu mete di kawasan Indonesia Timur. Badra (1996) melaporkan penyakit jamur diketahui pertama kali di daerah Kubu propinsi Bali pada tahun 1989 dan berkembang dengan cepat. Jumlah tanaman yang terserang di propinsi Bali sampai tahun 1994 telah mencapai 24.000. Sampai saat ini penyakit jamur akar telah dilaporkan pula di NTB dan NTT. Data sementara menjelaskan penyakit jamur akar di NTB sudah ditemukan pada 4 kabupaten yaitu Lombok Barat, Lombok Timur, Dompu dan Sumbawa dengan serangan terberat ada di kabupaten Lombok Barat (Dinas Perkebunan NTB, 2001). Penyakit ini diduga disebabkan oleh beberapa jamur patogen antara lain; R. micropus (R. lignosus) (Arya dan Temaja, l996), F. solani dan F. oxysporum (Tombe et al., l997).
14
Berdasarkan kondisi ekologis dan geografis di daerah penanaman jambu mete di NTB, salah satu teknologi pengendalian yang dianggap sesuai untuk dikembangkan adalah memanfaatkan agensia hayati yang dilengkapi dengan teknologi pengendalian lainnya yang ramah lingkungan dan mampu memanfaatkan potensi yang ada di lokasi. Bacillus spp. dan Trichoderma spp. disamping sebagai agen hayati juga telah dilaporkan sebagai mikroba dekomposer yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan bahan organik yang bermutu. Bakteri umumnya mampu menghasilkan berbagai jenis ensim yang memecah berbagai jenis bahan organik. Di Thailand, bakteri dari kelompok Bacillus dikembangkan untuk mengdekomposisi sampah makanan dan pertanian (Chanchampee et al. 1999). Penambahan bakteri Bacillus subtilis dalam proses pengomposan bahan organik mentah menjadi kompos dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit akar pada pada kubis (Albrech et al., 1998). Trautman dan Olynciw (1996) T. viride menghasilkan enzim selulosa yang dapat memisahkan selulose dari ligoselulosa kemudian merombaknya menjadi senyawa yang lebih sederhana yang larut dalam air yang dapat dimanfaatkan tanaman. Bahan organik selama beberapa tahun terakhir ini sangat menarik perhatian dalam pertanian modern, khususnya pada organik farming. Bahan organik disamping sebagai sumber nutrisi bagi tanaman juga dapat
merangsang aktivitas agen hayati pengendali patogen tanaman. Disamping itu, selama proses dekomposisi bahan organik maka agen hayati akan menghasilkan toksin yang dapat membunuh/menghambat perkembangan patogen (Romine dan Baker, l973; Linderman dan Gilber, l975). Villapudua dan Munnecke (1987) menemukan bahwa dalam kompos yang berasal dari sayursayuran yang dalam proses dekomposisi banyak senyawa bersifat toksik terhadap patogen tanaman yang dihasilkan. Ekstrak bahan organik (kompos) yang diperoleh dari hasil fermentasi telah banyak digunakan untuk pengendalian patogen tanaman pertaniaan yang menyerang daun dan buah. (Diver, l998; Wilzein, l990). Tombe et al. (2001) menyebutkan bahwa ektrak kompos limbah pasar yang diproses dengan menggunakan Bacillus dan Trichoderma dapat menghambat pertumbuhan beberapa jamur patogenik pada tanaman. Penelitian penanggulangan penyakit busuk akar jambu mete dalam tahun anggaran 2001 – 2003 telah menggunakan beberapa mikroorganisme sebagai biodekomposer limbah pertanian antara lain ; Bacillus, Trichoderma dan Cytopaga (Tombe et al., 2002; Wiratno et al., 2001). Mikroorganisme tersebut diantaranya ada yang bersifat agen pengendalai hayati (APH) penyakit tanaman yaitu Bacillus pantotkenticus dan Trichoderma lactae. Hasil penelitian penggunaan kedua jenis APH tersebut dalam pengendalian penyakit busuk
akar menunjukkan efektifitas yang cukup tinggi (Tombe et al., 2002). Ekstrak mimba dan cengkeh telah banyak dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan jamur patogenik tanaman. Ekstrak atau eugenol asal daun, bunga dan gagang cengkeh telah dibuktikan toksik terhadap F. oxysporum, F. solani, R. lignosus, P. capsici, S. roflsii dan R. solani (Manohara et al., 1994; Tombe et al. l992), Thielaviopsis paradoksa (Gowda, l997). Kombinasi penggunaan produk cengkeh dan kompos limbah tanaman telah terbukti dalam mengendalikan penyakit BBP pada panili 75 – 85%. Wahyuno et al., (l996) menyebutan bahwa penggunaan produk cengkeh dapat menekan serangan P. capsici 60,5 – 70,9% dengan produksi lebih kurang 2,5 kali dari tanpa perlakuan. Ekstrak mimba telah dilaporkan toksik terhadap beberapa jamur patogenik antara lain; F. oxysporum, A. solani, R. solani, S. rolfsii dan P. oryzae (Gowda, l997; Simarmata et al., l994; Sudarmadji, l994). Penggunaan ektrak biji mimba dan eugenol asal cengkeh (MITOL 20 EC) dalam pengendalian penyakit busuk akar mennujukkan bahwa MITOL 20 EC lebih efektif dibanding ekstrak nimba. Kombinasi penggunaan eugenol (MITOL 20EC) dengan konsentrasi 5 ml/l dan kompos yang diolah dengan menggunakan B. pantotkenticus dan T. lactae dapat meningkat produksi tanaman yang terserang 2,5 lipat. (Tombe et al., 2002).
15
GEJALA PENYAKIT Tanaman yang terkena penyakit busuk akar di lapang mudah dikenali dari penampilannya, antara lain : (1) Pertumbuhannya yang terhambat, dan pada stadia awal daun nampak lebih kusam dan kaku dibanding tanaman yang masih sehat. Selanjutnya daun menguning, khususnya pada daun yang ada di bagian bawah, kemudian gugur dan serangan yang berat menyebabkan tanaman meranting. (2) Pada bagian batang yang berbatasan dengan tanah, akan nampak miselia berwarna putih. Untuk memudahkan mendeteksi adanya jamur ini, bagian pangkal batang tanaman yang sakit ditutup selama ± 1 bulan dengan serasah agar lebih lembab. Serangan berat menyebabkan akar lateral dan tunggang membusuk, sehingga tanaman mati. Di lapang, untuk mengetahui tingkat keparahan serangan penyakit ini, dilakukan pengamatan intensitas serangan busuk akar dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan dengan menggunakan sistem skoring sebagai berikut : 0= Tanaman sehat dan tidak ditemukan adanya miselum putih pada akar tanaman. 1= Tanaman kelihatan agak kusam dan pertumbuhan tanaman agak terhambat kalau dilakukan pemeriksaan pada akar maka akan terlihat miselium/rizomof baru menempel pada permukaan kulit akar.
16
2= Daun tanaman terutama bagian bawah mulai agak layu dan miselium sudah melakukan penetrasi ke jaringan akar, tetapi akar belum mengalami pembusukan. 3= Jaringan akar sudah mulai membusuk, tanaman sudah mulai layu dan daun-daun bagian bawah menguning. 4= Jaringan akar sudah membusuk sampai pada pangkal batang, massa miselium terlihat di sekitar bagian yang terinfeksi dan daun mulai berguguran. 5 = Tanaman mati. Selanjutnya data skoring yang diperoleh diolah dengan menggunakan rumus sebagai berikut : (n x v) P = ∑ ----------------- x 100% ZxN P = Intensitas serangan n = Jumlah tanaman pada tiap skoring v = Nilai skoring serangan penyakit tiap individu tanaman Z = Nilai skoring tertinggi N = Jumlah tanaman yang diamati
SPESIFIKASI KOMPONEN TEKNOLOGI 1. Kompos Bio-TRIBA : Limbah organik yang digunakan adalah residu tanam sela (kacang-kacangan, jagung dll), mete (daun dan buah semu) dan 3 kotoran hewan yang ada di lokasi. Limbah tersebut diolah menjadi kompos dengan menggunakan produk bioaktivator yang mengandung mikroba penghancur bahan organik yaitu B. pantotkenticus dan T. lactae. Kedua
mikroba tersebut telah dibuktikan berperan sebagai agen pengendali hayati (APH) terhadap jamur patogen tanah, termasuk patogen yang berasiosiasi dengan penyakit akar pada jambu mete. 2. Bio-TRIBA : Formula dalam bentuk cair mengandung dua jenis mikroorganisme yaitu B. pantotkenticus dan T. lactae yang dapat digunakan sebagai bio-dekomposer limbah organik dan biofungisida untuk pengendalian patogen tanaman serta dapat dicampur dengan pupuk organik dalam aplikasinya. a. Bacillus pantotkenticus. Mikroba ini ditemukan dan diisolasi dari rizosfera pertanaman jagung belum pernah dilaporkan di Indonesia. B. pantotkenticus dapat merangsang perakaran. Biodekomposer limbah organik mentah dan menghasilkan antibiotik selama proses dekomposisi bahan organik serta berfungsi sebagi agen hayati yang akan melindungi sistem perakaran serta mampu bertahan hidup dalam rizosfera tanaman. Uji in vitro menunjukkan bahwa isolat ini dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis patogen tular tanah antara lain R. lignosus, R. solani, F. oxysporum, F. solani, Pythium dan S. rolfsii. Bahkan, salah satu spesies Bacillus telah dilaporkan di Brasil dapat meningkatkan produksi gandum sampai 105% dengan merangsang sistem perakaran tanaman.
b.
Trichoderma lactae. Mikroorganisme ini diperoleh dari rizosfera pertanaman jambu mete. T. Lactae dapat mende-komposisi limbah organik mentah menjadi kompos. T. lactae dapat menghambat pertumbuhan beberapa jamur patogenik pada tanaman al. R. lignosus, R. solani, F. oxysporum, F. solani, Pythium dan S. rolfsii. 3. Fungisida nabati produk cengkeh: Limbah cengkeh seprti daun dan gagang mengandung senyawa eugenol yang toksik terhadap beberapa patogen tanah antara lain: F. oxysporum, F. solani, R. lignosus, R. solani, P. capsici dan S. rolfsii. Sebagai contoh, yaitu Mitol 20 EC mengandung eugenol 20% dan sitral 1% dari ekstrak daun dan gagang atau bunga cengkeh dan sereh. 4. Pupuk an-organik : Pupuk yang digunakan adalah pupuk majemuk dan sebaiknya yang dalam bentuk tablet. TEKNIK APLIKASI Pestisida nabati produk cengkeh (PNPC) PNPC diberikan untuk menekan populasi awal patogen. Oleh karena itu, pemberian dilakukan pada awal perlakuan dan hanya 1 kali, yaitu akhir musim hujan atau awal musim kemarau. Bahan yang diberikan dapat berupa limbah cengkeh, yaitu serasah daun atau gagang cengkeh, atau Mitol 20 EC dengan konsentrasi 5 ml/l, sebanyak 5 - 10 l/tanaman.
17
Kompos Bio-TRIBA Kompos Bio-TRIBA merupakan bahan organik yang telah dihancurkan oleh mikroorganisme, dan mengandung dua mikroorganisme penting, yaitu B. pantotkentticus dan T. lactae. Sehingga, kompos yang dihasilkan selain dapat menekan perkembangan patogen juga dapat menyuburkan tanah. Bahan organik yang digunakan dapat berupa daun, buah semu dan kulit gelondong mete. Jumlah yang diberikan sebanyak 10 - 15 kg/ tanaman, yang dilakukan pada awal musim hujan. Larutan Bio-TRIBA Larutan Bio-TRIBA akan lebih baik apabila dicampur terlebih dahulu dengan pupuk organik. Bio-TRIBA dibuat dengan konsentrasi 10 ml/l air, kemudian disiramkan pada pupuk organik, selanjutnya pupuk organik tersebut diberikan ke tanaman. Pupuk an-organik Pupuk an-organik diberikan pada tahun ke dua (2002), dengan asumsi pada saat tersebut tanaman sudah mengeluarkan akar-akar baru. Pupuk majemuk dalam bentuk tablet lebih disarankan, dan diaplikasikan pada akhir musim hujan atau sebelum stadia pembungaan. HASIL PERCOBAAN Percobaan lapang Kegiatan penelitian penanggulangan penyakit jamur akar mulai dilaksanakan pada tahun 2001 di desa Kayangan, Lombok Barat. Tanaman
18
percobaan yang digunakan adalah pohon yang sudah berproduksi yang berumur antara 7 - 10 tahun, akan tetapi akibat serangan penyakit jamur akar pertumbuhan tanaman merana dan terhambat sehingga produksinya rendah. Menurut informasi lapangan (data petani pemilik lahan percobaan) diketahui bahwa sebelum perlakuan ada sekitar 80% pohon yang sudah tidak berproduksi, sehingga panen tahun 2000 untuk 1 ha hanya diperoleh 50 kg gelondong/thn atau rata-rata produksi hanya 0,33 kg gelondong/ pohon/thn. Pengamatan skoring terhadap tingkat kerusakan individu tanaman dilakukan pertama kali pada bulan april tahun 2001, yaitu sebelum dilakukan aplikasi pertama pestisida nabati produk cengkeh. Hasil skoring yang dilakukan menunjukkan bahwa tanaman jambu mete pada areal percobaan rata-rata menunjukkan nilai skoring 1, 2 dan 3. Sedangkan, intensitas serangan penyakit jamur akar di lokasi percobaan sebelum diberi perlakuan (Juni 2001) berkisar antara 44 - 50%. Hal ini menjelaskan adanya serangan penyakit jamur akar yang cukup tinggi pada lahan yang digunakan (Gambar 1). Data pada Gambar 1 menjelaskan bahwa pengaruh dari perlakuan belum nampak secara nyata pada tahun I setelah perlakuan. Pengaruh perlakuan mulai nampak pada bulan Juni 2003 (2 tahun setelah perlakuan), yang ditunjukkan dengan penurunan intensitas serangan pada semua perlakuan, berkisar antara 49 – 93%. Hasil terbaik terdapat pada
perlakuan yang mengaplikasikan Mitol 20 EC disertai pemberian kompos yang diolah dengan menggunakan B. pantotkenticus dan T. lactae dengan efektivitas mencapai 92,58%. Intensitas Serangan (%)
60
A
40
B C D
20
E
0 2001
2002
2003
Tahun
Gambar 1. Perkembangan intensitas serangan jamur akar pada tahun 2001 sampai 2003 dengan setelah diberi perlakuan. (A) Mitol 20 EC diaplikasikan tahun 2001 dan kompos A tahun 2001 dan 2002; (B) Mitol 20 EC diaplikasikan tahun 2001 dan kompos B tahun 2001 dan 2001; (C) Ekstrak biji mimba diaplikasikan tahun 2001 dan kompos A tahun 2001 dan 2001; (D) Ekstrak biji mimba diaplikasikan tahun 2001 dan kompos B tahun 2001 dan 2001; (E) Trichoderma pada 2001 dan 2002. Data di lapangan menunjukkan bahwa beberapa tanaman ditemukan mati pada perlakuan C, D dan E, terutama pada tanaman yang mempunyai nilai skoring 2 dan 3, sedang pada perlakuan A dan B tanaman yang mati belum ditemukan, walaupun ada diantaranya saat sebelum
perlakuan mempunyai nilai skoring 2 dan 3. Data produksi glondong yang ditampilkan pada Tabel 1 menjelaskan bahwa produksi pada awal percobaan hanya sekitar 0,33 kg/pohon. Tahun 2002 produksi sudah mulai meningkat antara 0,19 - 1,09 kg/pohon pada tanaman perlakuan. Pengamatan tahun 2003 menunjukkan peningkatan cukup tinggi pada semua perlakuaan dan peningkatan tertinggi dihasilkan pada perlakuaan B kemudian diikuti oleh perlakuan A dan C, serta sangat berbeda dengan pembanding dan kontrol. Hasil ini menunjukkan bahwa perlakuan fungisida nabati dan kompos memperbaiki kondisi tanaman yang terserang jamur akar sehingga dapat berproduksi, dan memberi harapan produksinya akan meningkat pada tahun berikutnya apabila diikuti dengan pemberiaan pupuk an-organik sesuai dosis anjuran. Peningkatan produksi tertinggi pada tahun 2002 dihasilkan oleh perlakuan B yaitu sebanyak 1,09 kg/pohon, kemudiaan disusul oleh perlakuan A dan C yaitu masingmasing 0,69 kg/pohon dan 0,31 kg/pohon. Sedang data produksi tahun 2003 juga memperlihatkan peningkatan produksi secara tajam pada perlakuan B dengan rata-rata produksi per pohon mencapai 2,24kg/pohon. Vabilitas Mikroorganisme In vitro dan In Vivo Pengamatan populasi mikro-organisme dilakukan pada contoh kompos A, B dan tanah (sebagai pembanding), dengan metoda pengenceran bertingkat menggunakan beberapa media selektif.
19
Tabel 1. Produksi gelondong (kg/pohon) antar perlakuan dengan agens hayati dan pestisida nabati di Kayangan, Lombok Barat Perlakuan A. Mitol 20 EC + Kompos A B. Mitol 20 EC + Kompos B C. Ekstrak Nimba + Kompos A D. Ekstrak Nimba + Kompos B E. Pembanding (Teknologi lokal) F. Kontrol (Tanpa perlakuan)
2001 0,33 a 0,33 a 0,33 a 0,33 a 0,33 a 0,33 a
Tahun 2002 1,02 b 1,42 a 0,64 bc 0,92 b 0,52 c 0,31 c
2003 1,87 b 2,24 a 1,43 c 1,57 bc 1,23 d 0,16 e
Keterangan : Rata-rata produksi sebelum perlakuan pada arel percobaan 0,33kg/pohon/thn. Kontrol (data diperoleh dari tanaman yang tidak diberi perlakuan disekitar lokasi percobaan). Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada tiap kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%.
Hasil pengamatan tahun 2002 dan 2003 menunjukkan populasi dan aktivitas mikroorganisme pada kompos A dan B lebih tinggi dibanding pada tanah yang tidak mengandung kompos (Tabel 2). Data tersebut juga menjelaskan bahwa populasi jamur dan Trichoderma lebih tinggi pada kompos A dibanding kompos B, sedangkan populasi bakteri terutama Bacillus lebih tinggi pada Kompos B. Hasil percobaan ini menjelaskan bahwa proses pengomposan limbah pertanian dan kotoran sapi dengan mikroorganisme sebagai aktivator, juga mengandung beberapa mikoorganisme yang berpotensi sebagai agens hayati. Populasi Trichoderma spp. yang terdapat pada kompos A hampir 10 kali lipat jika dibandingkan dengan populasi Trichoderma spp. yang ada di dalam tanah, dan 3 kali lipat pada kompos B. Populasi Bacillus spp. pada kompos B lebih tinggi 90 kali dibanding populasi yang ada di dalam
20
tanah, dan hanya 4 kali pada kompos A. Kedua jenis kompos yang dihasilkan masing-masing mempunyai keunggulan dalam hal kandungan mikroorganisme yang berpotensi sebagai agens hayati yaitu Bacillus, Trichoderma dan P. flourescens. Populasi mikroorganisme yang terdapat dalam kompos A didominasi oleh Trichoderma dan Kompos B didominasi oleh Bacillus, yang menunjukkan bahwa kedua jenis kompos tersebut cukup berpotensi untuk memperbaiki kondisi tanaman. Jamur Trichoderma spp. telah banyak dipublikasikan sebagai agens hayati, dekomposer bahan organik dan dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Lewis et al. (1971) melaporkan bahwa penambahan bahan organik yang mengandung Trichoderma spp. dapat menekan intensitas serangan penyakit tular tanah.
Tabel 2. Nilai rata-rata populasi mikroorganisme dalam kompos A dan B sebelum diaplikasikan Perlakuan
Kompos A Kompos B Tanah
Total Jamur (10 4 cfu/g)
Populasi mikroorganisme (cfu*) Trichoderma Bacillus (10 4 cfu/g) (10 7 cfu/g)
P. flourescens (10 7 cfu/g)
2002
2003
2002
2003
2002
2003
2002
2003
358,66 a 195,66 b 57,27 c
296,34 a 223,45 a 60,43 b
315,00 a 88,66 b 36,19 c
345,23 a 176,77 b 23,45 c
6,12 b 107,37 a 1,48 b
10,23 b 176,34 a 1,36 c
34,37 b 57,60 a 5,73 c
45,67 a 51,77 a 1,24 b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada tiap kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%. cfu = Jumlah koloni mikroorganisme yang tumbuh pada media dalam cawan petri.
Mikroorganisme tersebut menghasilkan enzim ekstraseluler selulase yang sangat tinggi yang berguna untuk memisahkan selulosa dari lignoselulosa, kemudiaan dirombak menjadi senyawa sederhana yang larut dalam air (Chanchampee et al., 1999). Chang et al. (1986) melaporkan bahwa T. harzianum dapat merangsang pertumbuhan beberapa tanaman hortikultura. Bacillus spp. merupakan salah satu kelompok mikroorganisme yang dapat berfungsi baik sebagai agens hayati untuk mengendalikan penyakit tanaman maupun stimulator pertumbuhan tanaman. Albercht et al. (1998) mendapatkan bahwa penambahan Bacillus spp. pada kompos yang diperoleh dari limbah pertanian dapat mengendalikan penyakit akar gada pada kubis. Penggunaan Bacillus spp. telah dibuktikan oleh Mariano et al. (1997) dapat meningkatkan produksi gandum sebesar 105%. Pengamatan viabilitas agens hayati dalam formula Bio-TRIBA menunjukkan bahwa T. lactae dan B. pantotkenticus masih terdeteksi pada 12 bulan setelah inokulasi.
Pada pengamatan 2,4 dan 6 bulan setelah inokulasi (setelah diformulasi), menunjukkan bahwa pada tingkat pengenceran 10–4 untuk T. lactae dan 10–7 untuk B. pantotkenticus, kedua jenis agens hayati tersebut sangat tinggi populasinya, masing-masing diatas 104 cfu/ml dan 107 cfu/ml, sehingga sulit dihitung. Pada pengamatan 12 bulan setelah inokulasi populasi B. pantotkenticus masih mencapai 34,12 x 107 cfu/ml dan T. lactae sebanyak 129,50 x 104 cfu/ml formula (Tabel 3). Data ini menjelaskan bahwa kedua jenis agens hayati tersebut masih dapat bertahan hidup dalam formula setelah 12 bulan (1 tahun). Hasil analisis populasi mikroorganisme dalam perakaran jambu mete setelah aplikasi kompos pada tahun 2002 menunjukkan terjadinya variasi yang sangat berbeda antar perlakuan. Populasi Trichoderma spp. tertinggi ditemukaan pada perlakuan E dan berbeda nyata dengan kontrol serta perlakuaan lainnya kecuali perlakuan A.
21
Tabel 3. Data pengamatan viabilitas agens hayati Bacillus dan Trichoderma dalam formula (Bio-TRIBA) Mikroorganisme B. pantotkenticus (107 cfu/ml formula)
Populasi mikroorganisme (cfu*) BSI 2 3 6 12 ++++ +++ +++ 34,12
T. lactae (104 cfu/ml formula)
++++
Keterangan :
+++
+++
129,50
BSI = Bulan Setelah Inokulasi; (++++) Banyak Sekali; (+++) Banyak; (++) Sedang; (+) Sedikit; cfu = Jumlah koloni mikroorganisme yang tumbuh pada media dalam cawan petri.
Tabel 4. Populasi mikroorganisme, Trichoderma dan Bacillus, dalam rizosfera pertanaman jambu mete pada tiap perlakuan. Perlakuan
A B C D E F
Total Jamur (10 4 cfu/g)
Populasi mikroorganisme (cfu) Trichoderma Bacillus (10 4 cfu/g) (10 7 cfu/g)
2002
2003
2002
2003
2002
2003
97,75b 64.91c 81.50b 86.25b 131.25a 24.00d
122,67b 167,33a 83,00c 128,33b 118,34b 60,43d
32,75a 28,50ab 22,75b 24,75b 49,00a 2,00c
49,52c 658,35a 47,24c 87.42b 81,25b 3,45d
54.50b 125.16a 51.16b 65.66b 63.33b 9.66c
12,33b 38,67a 13,24b 15,67b 12,00b 1,36c
P. flourescens (10 7 cfu/g)
2002 5,25ab 8,75a 3,00bc 2,00c 4,67b 2,46c
2003 18,32a 27,67a 2,67c 14,33b 3,67c 1,24c
Keterangan : kode perlakuaan sama dengan Tabel 1 dan F adalah kontrol (tanpa perlakuan). Angkaangka yang diikuti oleh huruf yang sama pada tiap kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%. cfu = Jumlah koloni mikroorganisme yang tumbuh pada media dalam cawan petri.
Populasi tertinggi Bacillus spp. ditemukan pada perlakuan B dan berbeda nyata dengan perlakuaan lainnya. Data ini menjelaskan belum adanya korelasi positif antara populasi Trichoderma spp dengan intensitas serangan penyakit dan produksi (Tabel 4). Akan tetapi pada pengamatan tahun 2003 populasi Trichoderma, dan Bacillus tertinggi ditemukan pada tahun 2003. Hal ini diduga karena yang terdeteksi adalah total Trichoderma spp. yang belum tentu keseluruhan adalah T. lactae.
22
Pengamatan populasi Bacillus pada tahun 2002 dan 2003 memperlihatkan adanya korelasi positif antara produksi dan persentase tanaman bertunas, dimana populasi tertinggi ditemukan pada perlakuan B. Pada pengamatan tahun 2003 nampak bahwa Bacillus dan Trichoderma sudah mulai berperanan secara tidak langsung dalam memperbaiki kondisi tanaman, sehingga diharapkan perlakuan tersebut mengindikasikan persentase bertunas dan produksi yang lebih baik dan juga penurunan intensitas serangan penyakit yang tinggi (Tabel 5).
Tabel 5. Hubungan antara populasi agen hayati (Trichoderma dan Bacillus), penurunan intensitas serangan (IS) dan produksi dari tiap perlakuan pada tahun 2003. Perlakuan
A B C D E F.
Agen Hayati Trichoderma Bacillus 4 (10 cfu/ml) (107 cfu/ml) 49,52c 12,33b 658,35a 38,67a 47,24c 13,24b 87.42b 15,67b 81,25b 12,00b 3,45d 1,36c
IS (%)
Produksi Kg/pohon
12,72c 3,73a 16,24bc 12,74c 22,72b 89,76a
1,87a 2,24a 1,43b 1,57ab 1,23b 0,16c
Keterangan : kode perlakuaan sama dengan tabel 1 dan F adalah control (tanpa perlakuan). Angkaangka yang diikuti oleh huruf yang sama pada tiap kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%. cfu = Jumlah koloni mikroorganisme yang tumbuh pada media dalam cawan petri.
KESIMPULAN Penyakit busuk akar jambu mete sampai saat ini telah ditetapkan sebagai salah satu OPT utama pada tanaman jambu mete di Indonesia. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian tanaman jambu mete. Kehadiran jamur patogen penyebab busuk akar pada pertanaman jambu mete perlu diatasi supaya tidak menimbulkan kerugian bagi petani. Teknologi pengendalian yang dihasilkan seperti pemakaian bahan organik, pestisida nabati, dan agensia pengendali hayati diperkirakan akan membawa beberapa dampak sebagai berikut : 1. Meningkatkan pengetahuan petani untuk memanfaatkan potensi yang ada dilokasi pertanaman seperti limbah organik untuk pengendalain penyakit dan teknologi ini dapat disosialisasikan kepada petani melalui SLPHT.
2. Menghindari ketergantungan petani akan penggunaan pestisida kimiawi dalam pengendalian penyakit jambu mete. Informasi ini dapat dijelaskan kepada petani melalui SLPHT. 3. Membantu memperbaiki pertumbuhan dan meningkatkan produksi tanaman yang terserang jamur patogen penyebab busuk akar, sehingga dapat mencegah kerugian bagi petani. 4. Teknik pengendalian penyakit yang diperoleh melalui penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan bagi petani dan pemerhati jambu mete untuk mencegah kehilangan hasil antara 60 – 80%. 5. Dapat meningkatkan kualitas produk jambu mete karena bebas dari residu pestisida kimiawi, sehingga akan meningkatkan daya saing di pasar internasional.
23
DAFTAR PUSTAKA Albrech, V.A., H. Bochow, K. Delman, H. Gabel, K. – D. Hentschel, W. Muller and J. Reinhold, 1998. Antagonisten praparate und naturkalkzusatze zur-zur unterdrickung des erregers der kohlheernie (Plasmodiophora brassicae) in belasteten komposten. Gusunde Pflanzen. Inhalt und Zusammenfassungen 50 : 133-141. Arya, N. dan GRM. Temaja, 1996. Penelitian Pengendalian Biologi Penyakit Jamur Akar pada Tanaman Jambu Mete. Prosiding Pengendalian Penyakit Utama Tanaman Industri Secara Terpadu. Bogor, 13-14 Maret. hal. 224-235. Badra, W., 1996. Pengendalian Penyakit Jamur Akar Putih Pada Jambu Mete di Bali. Prosiding Pengendalian Penyakit Utama Tanaman Industri Secara Terpadu. Bogor, 13-14 Maret. hal. 210-216. Chanchampee, P., S. Kootalep, S. Kamchanawong and P. Kemmadarong, 1999, Thermophilic composting and food waste and farm residue by rotary drum. http://netserv1.chiangmai.ac.th/abst ract1999/abstract/eng/abstract/eng9 80416.html Chang, Y., Chang, Y.C., Baker, R., and Chet, I., 1986. Increased growth of plants in the presence of biological soil treatments. In Biological Control of Soil Borne Pathogen. Hornby. D (ed) C.A.B. International England.
24
Diver, S., 1998. Compost teas for plan disease control. Pest Management Technical Note. ATTRA. 7p. Gowda, V., 1997. Anti fungal activity of plant extracts and products on Thielaviopsis paradoxa. The Stem Bleeding Pathogen of Coconut. Doctoral Thesis. 346 p. Kloepper, J.W., 1997. Current status and future trands in biocontrol research and development in USA. Int. Symposium on Clean Agriculture, Japan-OECD Joint Symposium Sapporo. Japan, Oct, 8. Unpublished. Linderman R and R.G.Gilbert, 1975. Influence of volatile of plant origin on soil-borne plant pathogens. Biology and control of soil-borne plant pathogens. The American Phytopathological Society. P : 90100. Lewis, J.A. and G.C. Papavizas, 1971. Effect of sulphur containing volatile compounds and vapours from cabbage decomposition on Aphanomyees euteiches. Phytopathology 61 : 208-214. Manohara, D., D. Wahyuno dan Sukamto, 1994. Pengaruh tepung dan minyak cengkeh terhadap Phytophthora, Rigidoporus dan Sclerotium. Proseding Seminar Hasil Penelitian Dalam rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. Bogor 1-2 Desember 1993. hal:1928. Mariano, R.L.R., S.J. Michereff, E.B. Silveira, S.M. Assis and A. Reis,
1997. Plant growth promoting rhizobacter in Brasil. Proceeding of the Fourth International Workshop on Plant Growth Promoting Rhizobacteria. Japan-OECD Workshop. p. 22-29. Mukerji dan Bhasin, 1986. Plant disease of India. A Source Book. Tata Mc Graw. Hill Publishing Co. Ltd. New Delhi. 46pp. Romine, M. and R. Baker, 1973. Soil fungistatis evidence for inhibitory factor. Phytopathology 63 : 756759. Sastrahidayat, I.R. dan D.S. Sumarno, 1990. Jambu Mete (Anacardium occidentale). Kalam Mulia. FP. Unibraw Malang. hal. 181-189. Simarmata, RU., I.N. Andayani, E. Sulistiaty, Haryanto dan Soelaksono, 1994. Pedoman pengenalan pestisida nabati. Ditjenbun Ditlintan. Perkebunan. 57 hal. Singh, R.S., 1971. Introduction to principles of plant pathology. Oxford & IBH Publishing CO, New Delhi, Bombay, Calcutta. p. 210-211. Sitepu, D., 1994. Pengendalian penyakit mati pucuk dan bunga jambu mete. Makalah pada Pertemuan Paket Teknologi Pertanian. Nopember. Mataram. 14 hal.
Sudarmaji, D., 1994. Prospek dan kendala dalam pemanfaatan mimba sebagai insektisida nabati. Prosiding Hasil Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. Balittro-Bogor, 1-2 Desember. hal. 222-229. Supriadi, D. Sitepu, E.M. Adhi dan D. Febriyanti, 1995. Perkembangan Penelitian Patogen Botryodiplodia theobromae pada Jambu Mete. Kongres PFI Mataram. Tombe, M., K. Kobayashi, Ma’mun, Triantoro dan Sukamto, 1992. Eugenol dan daun tanaman cengkeh untuk pengendalian penyakit tanaman industri. Review Hasil Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 8 hal. Tombe, M. K. Kobayashi dan A. Ogoshi, 1995. Toxicity of clove eugenol against several pathogenic fungi. Indonesian Journal of Crop Science, Vol.10, No.1, pp11-18. Tombe, M., E. Taufiq, Supriadi dan D. Sitepu, 1997. Penyakit Busuk Akar Fusarium pada Bibit Jambu Mete. Prosiding Forum Konsultasi IlmiahTanaman Rempah dan Obat. Bogor, 13 - 14 Maret 1997. hal. 183-190. Tombe, M., R. Zaubin, K. Mulya, E.R.Pribadi. Chandra, O.Trislawati dan A. Ruhnayat, 2001. Uji Coba Pemanfaatan dan Peningkatan
25
Mutu Kompos Produksi Pilot Plant Klender, Berikut Pemasarannya. Laporan Kerjasama BALITTRO dan PT. Perusahan Gas Negara. 71 hal.
Pangkal Batang Lada dengan Tepung cengkeh. Proc. Seminar Integrated Control on Main Diseases of Industrial Crops. 155159.
Tombe, M., G. Purnayasa, D. Wahyuno, Sugeng dan Zulhisnain, 2002. Uji pengendalian penyakit busuk akar jambu mete dengan kompos, pestisida nabati dan agen hayati. Laporan Hasil Penelitian Proyek PHT. Badan Litbang Pertaniaan.
Weltzein, H.C., 1990. The use of composted materials for leaf disease suppression in field crop 115 - 120. In: Crop protection in Organik and Low –Input Agriculture. BCPC Monographs No. 45 British Crop Protection Council Farham Surrey, England.
Trautman, N. and E. Olynciw, 1996. Compost microorganism. Cornell Composting. Science and Engineering. Cornell University. 16 pp.
Wenhua, R dan Y. Hetong, 1997. Research and Aplication of biocontrol of plant disease and PGPR in China. Proceedings of the Fourth International Workshop on Plant Growth Promoting Rhizobacteria. Japan-OECD Joint Work Shop : pp 2-10.
Villapudua, J. R. dan D. E. Munnnecke, 1987. Effect of solar heating and soil amendments of cruciferous residues of Fusarium oxysporum f. sp. conlutions and other organisms. Phytopathology 78 : 289-295. Wahyuno, D., D. Manohara, U. Suparman, dan A. Sudrajat, 1996. Pengendalian Penyakit Busuk
26
Wiratno, M. Tombe, Supriadi, Siswanto, D. Kilin W. Rahmat dan E. Toufik, 2001. Uji Aplikasi Teknologi PHT Pada Tanaman Perkebunan. Laporan Hasil Penelitian Proyek PHT. Badan Litbang Pertanian.