III.
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Toyota Business Practice (TBP) Saat sekarang ini, anggota Toyota berasal dari seluruh dunia dengan perbedaan budaya, sehingga untuk menyatukan semua anggota dibuat Toyota Way. Toyota way ini menyampaikan nilai-nilai dan tindakan dimana seluruh tim Toyota harus menerapkannya dalam pekerjaan. Untuk memahami Toyota Way tidak hanya cukup dengan mepelajarai buku Toyota way 2001, sehingga dikembangkan Toyota Business Practice (TBP) untuk menerapkan Toyota Way pada pekerjaan karyawan sehari-hari. Toyota Way ini didukung oleh dua pilar utama, yaitu continous improvement dan respect for people. Untuk continous improvement terdiri atas tiga elemen penting, yaitu: challenge, kaizen (continous improvement), yaitu meningkatkan operasi bisnisnya secara kontinu dan selalu dilandas inovasi dan evaluasi, dan yang ketiga genchi genbutsu (go and see). Sedangkan untuk respect for people, terdiri atas dua elemen, yaitu respect dan teamwork. Toyota dalam kegiatannya tidak hanya difokuskan pada melayani konsumen saja, tetapi juga pada pekerjanya karena dengan menghargai dan meningkatkan teamwork berarti dapat meningkatkan Toyota Way untuk continous improvement. Toyota dalam mendefinisikan problem-nya itu dengan adanya perbedaan atau celah (gap) antara ideal situation (kondisi ideal) dan current situation (situasi sekarang ini). Problem bagi Toyota dapat dibedakan atas dua tipe, yaitu problem type setting dan problem type event. Toyota percaya bahwa dengan menemukan suatu problem (masalah) dan berhasil menemukan countermeasure, maka dapat mengantarkan kepada Kaizen. Langkah dan proses dari problem solving, yaitu: 1.
Klarifikasi masalah (problem)
Permasalahan digambarkan dengan suatu celah (gap) antara ideal situation dan current situation. Pertama, tentukan ultimate goal (tujuan) dari pekerjaan kita. Setelah itu, pahami current situation dari pekerjaan tersebut kemudian klarifikasikan ideal situation dan bagiamana seharusnya current situation itu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2. ULTIMATE GOAL
kontribusi IDEAL SITUATION Apakah telah memberikan kontribusi terhadap ultimate goal?
GAP=PROBLEM
CURRENT SITUATION Ideal situation setara dengan standard (ideal situation-standard) dimana dapat kita tentukan dengan jelas.
Gambar 2. Visualisasi dari masalah (problem)
11
2.
Breakdown problem
Langkah selanjutnya dari TBP yaitu, breakdown problem (pemecahan masalah), pada langkah ini masalah dijabarkan dengan mencari apa saja yang menyebabkan ideal situation (kondisi ideal) tersebut tidak tercapai. Proses yang dilakukannya meliputi, pemecahan masalah, identifikasi masalah yang menjadi prioritas, spesifikasikan point of occurance (titik kejadian yang menjadi pusat kejadian masalah tersebut) dengan cara mengecek proses kerja yang dilakukan melalui Genchi Genbutsu ( go and see). Kategori yang sering digunakan untuk memudahkan dalam breakdown problem adalah: a. What / apa? b. When / kapan? c. Where / dimana ? d. Who / siapa ?
Gambar 3. Breakdwon problem dan klarifikasi point of occurance Untuk memudahkan dalam pemecahan masalah harus menentukan masalah (problem) berdasarkan prioritas, oleh karena itu kita harus menguji proses (alur operasi) untuk menemukan point of occurance melalui “GENCHI GENBUTSU” (go and see). Masalah yang terdapat pada point of occurance ini disebut problem to tackle (permasalahan yang harus diatasi). Skema untuk breakdown problem dan klarifikasi point of occurance dapat dilihat pada Gambar 3 diatas.
3.
Setting Target
Langkah selanjutnya menentukan target apa yang ingin dicapai dari permasalahan. Proses yang dilakukan dapat dengan menggunakan pola SMART (Specific, Measurable, Achievable, Reasonable, Time base). Skema dari setting target dapat dilihat pada Gambar 4 dibawah.
12
Gambar 4. Skema dalam penentuan target
4.
Root Cause Analysis
Untuk memudahkan dalam menganalisis permasalahan yang terjadi, maka analisis point of occurance dari berbagai sudut pandang, yaitu dari 4 aspek (man, machine, method, dan material). Pertama, gunakan kata “mengapa” dan pikirkan semua possibel cause yang mungkin terhadap problem to tackle. Skema untuk root cause analysis dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Skema root cause analysis
5.
Membuat Rencana Countermeasures
Pada langkah ini kembangkan countermeasures yang mungkin, tentukan nilai countermeasures yang memiliki andil penting. Untuk mempermudah dalam membuat rencana countermeasures dapat menggunakan analisa 5W 1H, yaitu: a. What : solusi penanggulangan b. Why : sasaran atau target c. Where : tempat d. When : kapan waktunya e. Who : siapa penanggung jawab f. How : Detail aktivitas
13
6.
Pelaksanaan Cuntermeasures (See Countermeasures Through)
Langkah selanjutnya adalah see countermeasures, yaitu langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mewujudkan countermeasures yang ada, yang sesuai dengan rencana yang telah dibuat pada langkah 5. Skema dari pelaksanaan countermeasure dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Skema pelaksanaan Countermeasures
7.
Evaluasi Hasil dan Proses
Lamgkah selanjutnya yang dilakukan adalah mengevaluasi hasil yang diperoleh. Proses yang terjadi pada langkah ini adalah: a. Evaluasi proses dan hasil terhadap target dan sharing dengan pihak terkait, dengan menggunakan tolak ukur yang sama (tool, satuan, periode waktu) b. Evaluasi dari tiga sudut pandang, yaitu customer, Toyota, dan diri sendiri c. Evaluasi pula efek samping yang tidak diharapkan baik dalam bentuk Quality, cost, delivery, safety, dan lain-lain. d. Buat ringkasan tentang keuntungan yang diperoleh dari adanya improvement e. Bila hasil dari penanggulangan kurang memuaskan, periksa kembali rencana kerjanya.
8.
Standarisasi Proses yang Berhasil
Tetapkan proses yang berhasil sebagai sebuah preseden (teladan) baru dan buatlah menjadi standar sehingga orang lain dapat merasakan keberhasilan yang sama. Bagikan standarisasi proses dengan orang dan divisi lain (YOKOTEN) sehingga dapat men-support pembuatan dari organiasasi lainnya. Langkah-langkah yang ada, yaitu: a. Tetapkan keberhasilan sebagai standar yang baru (standarisasi) b. Sharing keberhasilan (YOKOTEN) c. Mulai melakukan KAIZEN selanjutnya KAIZEN ini merupakan proses meningkatkan level atau nilai output yang dihasilkan ketika bekerja keras untuk mencapai “ideal situation” .
3.2 Ergonomi Istilah ergonomika berasal dari kata ergonomics atau ergonomik, yang terdiri dari dua kata yaitu ergon (kerja) dan nomos (hukum), sehingga dapat didefiniskan studi tentang aspekaspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi,
14
engineering, manajemen dan desain (perancangan). Ergonomi berkaitan juga dengan optimasi, efisiensi., kesehatan, keselamatan dan kenyamanan manusia di tempat kerja, di rumah, dan tempat rekreasi. Ergonomi ini disebut juga sebagai “Human Factors”. Pada perkembangannya ergonomika terdiri atas marko ergonomik, yaitu berkaitan pada interaksi semuanya dan mikro ergonomik, yaitu menilai atau mengamati satu demi satu, seperti manusianya, alatnya, tugasnya, dan lain-lain. Penerapan ergonomi pada umumnya seperti aktivitas rancang bangun (desain) ataupun rancang ulang (re-desain). Hal ini dapat meliputi perangkat keras seperti perkakas kerja (tools), bangku kerja, platform, kursi, pegangan alat kerja (workholders), sistem pengendali (controls), jalan atau lorong, dan lain-lain. Ergonomi dapat berperan pula sebagai desain pekerjaan, misalnya penentuan jumlah jam istirahat, pemilihan jadwal pergantian waktu kerja (shift kerja), meningkatkan variasi pekerjaan, dan lain-lain. Ergonomi juga memberikan peranan penting dalam meningkatkan faktor Keselamatan dan Kesehatan Kerja, misalnya desain suatu sistem kerja untuk mengurangi rasa nyeri dan ngilu pada sistem kerangka dan otot manusia, desain stasiun kerja untuk peraga visual. Hal ini dilakukan untuk mendaptkan optimasi, efisiensi kerja, dan hilangnya resiko kesehatan akibat metoda kerja yang kurang tepat. Tujuan ergonomi ini adalah untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja pada suatu institusi atau organisasi dan membuat rasa aman, nyaman pada suatu desain yang ada. Hal ini dapat tercapai apabila terjadi kesesuaian antara pekerja dengan pekerjaannya. Banyak yang menyimpulkan bahwa tenaga kerja harus dimotivasi dan kebutuhannya terpenuhi dengan demikian akan menurunkan jumlah karyawan yang tidak masuk kerja (absenteeism). Pendekatan ergonomi mencoba untuk mencapai kebaikan bagi pekerja dan pimpinan institusi. Hal ini dapat tercapai dengan cara memperhatikan empat tujuan utama ergonomi, antara lain memaksimalkan efisiensi karyawan, memperbaiki kesehatan dan keselamatan kerja, menganjurkan agar bekerja aman (comfort), nyaman (convenience) dan bersemangat, dan memaksimalkan bentuk (performance) kerja yang meyakinkan (Gempur, 2004). Ergonomi dan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya mengarah kepada tujuan yang sama yakni peningkatan kualitas kehidupan kerja (quality of working life). Aspek kualitas kehidupan kerja merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi rasa kepercayaan dan rasa kepemilikan pekerja kepada perusahaan, yang berujung kepada produktivitas dan kualitas kerja. Ditinjau dari segi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), maka dengan diterapkannya ergonomi diharapkan resiko terjadinya kecelakaan kerja dapat berkurang dan insiden berbagai penyakit akibat kerja menurun. Selain itu, diharapkan juga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari suatu pekerjaan seperti peningkatan kemudahan penggunaan sistem, penurunan kesalahan, dan peningkatan produktivitas. Bila berdasarkan dari segi reabilitas dan kualitas produksi, maka penerapan ergonomi diharapkan dapat mempertahankan kualitas produk. Berdasarkan segi psikologi, ergonomi diharapkan dapat meningkatkan kepuasan kerja dan pengembangan pribadi. Ergonomi secara konkrit juga dapat meningkatkan kenyamanan, peningkatan keamanan, penurunan kelelahan dan stres kerja, serta kesempatan untuk pengembangan diri (Sulistomo, 2002).
3.3 Beban Kerja (Workload) Dalam melakukan pekerjaaan fisik manusia memerlukan energi, sehingga di dalam tubuh kita ada sistem yang dapat mengubah energi kimia yang ada pada makanan menjadi energi
15
mekanik dan panas. Apabila beban kerja yang diterima meningkat, maka berakibat kebutuhan energi juga meningkat sehingga konsumsi oksigen juga meningkat. Konsumsi oksigen yang meningkat ini berarti denyut jantung untuk menyalurkan oksigen keseluruh tubuh juga meningkat dan keringat yang dihasilkan juga meningkat ( Irfan Lubis, 1998). Beban kerja adalah kemampuan tubuh pekerja dalam menerima pekerjaan. Menurut Permendagri no.12/2008, beban kerja adalah besaran pekerjaan yang harus dipikul oleh suatu jabatan atau unit organisasi dan merupakan hasil kali antara volume kerja dan norma waktu. Sedangkan menurut Komarruddin, Analisis Beban Kerja (ABK) adalah proses untuk menetapkan jumlah jam kerja yang dibutuhkan untuk merampungkan suatu pekerjaan dalam waktu tertentu. Dari sudut pandang ergonomik setiap beban kerja yang diterima seseorang harus sesuai dan seimbang baik terhadap kemampuan fisik, kemampuan kognitif maupun keterbatasan manusia yang menerima beban tersebut. Beban kerja disini dapat berupa beban fisik dan beban mental. Beban kerja fisik dapat berupa beratnya pekerjaan seperti mengangkat, mendorong. Sedangkan beban kerja mental dapat berupa sejauh mana tingkat keahlian dan prestasi kerja yang dimiliki individu dengan individu lainnya (Manuaba, 2000). Pengukuran beban kerja fisik dapat dilakukan berdasarkan pada empat parameter fisiologis, (Irfan Lubis, 1998), yaitu: 1. Konsumsi oksigen Perubahan karbohidrat, lemak, dan protein menjadi energi adalah proses oksidasi, sehingga konsumsi oksigen dapat dihitung jumlah energi ekuivalennya. Konsumsi energi bersih pada tiap kegiatan dapat diketahui dengan mengurangi konsumsi energi total dengan energi untuk metabolisme basal. Perhitungan beban kerja fisik dengan mempergunakan konsumsi energi dapat memberikan hasil yang akurat. Kelemahan metode ini adalah besarnya alat ukur yang mengganggu pergerakan dalam bekerja 2. Laju paru-paru dan frekuensi pernapasan Laju paru-paru dan frekuensi pernapasan akan seimbang dengan konsumsi oksigen, sehingga dengan mengetahui laju paru-paru dan frekuensi pernapasan dapat dihitung besarnya konsumsi oksigen dan pada akhirnya dapat dihitung pula besarnya beban kerja. 3. Denyut jantung Darah adalah pembawa bahan bakar untuk otot, maka peningkatan pengeluaran energi akan meningkatkan denyut jantung. Peningkatan denyut jantung dapat diasosiasikan sebagai rendahnya konsumsi oksigen yang juga menunjukkan kelelahan otot, terutama untuk pekerjaan statis. 4. Suhu tubuh Efisiensi maksimum dari penggunaan tenaga manusia untuk pengerjaan tenaga mekanis adalah 20% dan selebihnya dikeluarkan dalam bentuk panas. Suhu tubuh dapat dijadikan indikator pengukuran beban kerja fisik oleh tubuh, karena pada tiap peningkatan beban kerja maka suhu tubuh meningkat pula. Berdasarkan pengujian dengan mempergunakan empat parameter fisiologis diatas, maka tingkat beban kerja fisik dapat digolongkan dalam beberapa tingkat, seperti pada Tabel 2 dibawah ini:
16
Tabel 2. Tingkat beban kerja fisik berdasarkan Parameter Fisiologis (Sanders dan McCornick, 1987) Tingkat kerja Istirahart sangat ringan ringan sedang berat sangat berat luar biasa berat
Konsumsi energi dalam 8 jam (kkal) <720 768-1200 1200-2400 2400-3600 3600-4800 4800-6000 >6000
Konsumsi energi (kkal/menit) <1.5 1.6-2.5 2.5-5.0 5.0-7.5 7.5-10.0 10.0-12.5 >12.5
konsumsi okesigen (liter/menit) <0.3 0.32-0.5 0.5-1.0 1.0-1.5 1.5-2.0 2.0-2.5 >2.5
denyut (jantung/menit) 60-70 65-75 75-100 100-125 125-150 150-180 >180
Salah satu pendekatan yang digunakan untuk mengkaji beban kerja adalah melalui pengukuran denyut jantung. Dalam Pramana (2009), dikatakan bahwa untuk mempresentasikan beban kerja melalui denyut jantung terdapat dua terminologi beban kerja yang dijadikan acuan, yaitu beban kerja kuantitatif dan beban kerja kualitatif. Beban kerja kuantitatif merupakan besar total energi yang dikeluarkan seseorang untuk melakukan suatu aktifitas, sedangkan beban kerja kualitatif merupakan suatu indeks yang mengindikasikan berat atau ringan suatu pekerjaan yang dirasakan oleh subjek. Terminologi beban kerja kuantitatif menggambarkan besaran terukur beban yang ditanggung subjek dalam melakukan suatu aktifitas, dimana dalam hal ini konsumsi energi kerja (energy cost). Dalam melakukan aktifitas sehari-hari manusia membutuhkan energi, dimana jumlah energi yang dihasilkan melalui proses metabolisme tubuh secara keseluruhan saat melakukan aktifitas disebut Total Energy Cost (TEC). Nilai TEC ini merupakan penjumlahan Basal Metabolis Energy (BME) dan Work Energy Cost (WEC). Menurut Syuaib, dalam Pramana (2009), BME merupakan konsumsi energi yang dipengaruhi oleh berat badan, tinggi badan, jenis kelamin, dan usia. Sedangkan WEC merupakan jumlah energi tambahan yang harus dikeluarkan oleh tubuh ketika melakukan suatu aktivitas kerja. Dalam terminologi energi kerja, terdapat Total Energy Cost per weight (TEC’), yaitu nilai dari TEC dinormalisasi untuk mengetahui nilai beban kerja objektif yang diterima oleh seorang subjek saat berkatifitas atau melakukan kerja. Nilai TEC’ perlu dihitung untuk memperoleh nilai Total Eergy Cost (TEC) pada masing-masing subjek dengan menghilangkan faktor berat badan. Perbandingan relatif yang dijadikan tolak ukur dalam pengkategorian beban kerja berdasarkan kualittif adalah Increase Ratio of Heart Rate (IRHR). IRHR ini merupakan perbandingan relatif denyut jantung seseorang saat melakukan suatu aktiiftas terhadap denyut jantung saat istirahat (Lovita, 2009). Kategori kualitatif beban kerja berdasarkan IRHR dapat dilihat pada Tabel 3.
17
Tabel 3. Kategori kualitatif beban keerja berdasarkan IRHR
Kategori Ringan Sedang Berat Sangat Berat Luar biasa berat
Nilai IRHR 1.00 < IRHR < 1.25 1.25 < IRHR < 1.50 1.50 < IRHR < 1.75 1.75 < IRHR < 2.00 2.00 < IRHR
(sumber : Syuaib dalam Praman, 2009)
3.4 Faktor yang Mempengaruhi Beban kerja Rodahl dan Manuaba dalam Lilis Dian, 2008 menyatakan bahwa beban kerja dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut: 1. Faktor eksternal, yaitu beban yang berasal dari luar tubuh pekerja seperti: a. Tugas-tugas yang dilakukan (bersifat fisik), seperti tata ruang kerja, alat dan sarana kerja, kondisi kerja, sikap kerja. Sedangkan yang berhubungan dengan mental seperti tingkat kesulitan pekerjaan, tanggung jawab pekerjaan. b. Organisasi kerja, seperti lamanya waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir (shift), kerja malam, sistem gaji. 2. Faktor internal Merupakan faktor yang berasal dari dalam tubuh itu sendiri akibat dari reaksi beban kerja eksternal. Faktor internal meliputi faktor somatic (jenis kelamin, ukuran tubuh, status gizi, kondisi kesehatan) dan faktor psikis (motivasi, persepsi, kepercayaan, keinginan, dan kepuasan).
3.5 Dampak Beban Kerja Beban kerja yang terlalu berlebihan akan menimbulkan kelelahan baik fisik atau mental dan reaksi-reaksi emosional seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, dan mudah marah. Sedangkan beban kerja terlalu sedikit dimana pekerjaan yang terjadi karena pengulangan gerak akan menimbulkan kebosanan, rasa monoton. Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari karena tugas atau pekerjaan yang terlalu sedikit mengakibatkan kurangnya perhatian pada pekerjaan sehingga secara potensial membahayakan pekerja. Beban kerja yang berlebihan atau rendah dapat menimbulakn stress kerja (Manuaba, dalam Lilis 2008).
3.6 Metode Step Test Step test ini merupakan salah satu metode yang digunakan untuk kalibrasi denyut jantung. Metode ini memiliki keunggulan diantaranya dapat dengan mudah mengatur selang beban kerja hanya dengan mengubah tinggi bangku dan intensitas langkah. Selain itu, metode ini dapat diaplikasikan dengan menggunakan sepeda ergonometer. Metode step test ini dapat digunakan dalam pengkalibrasian kurva denyut jantung saat bekerja dan denyut jantung sebelum bekerja. Dalam metode ini, faktor usia, jenis kelamin, berat badan, dan tinggi merupakan faktor penting untuk menentukan karakteristik individu yang diukur (Chairul Sholeh, 2011).
18