TINJAUAN PUSTAKA 1. Usus halus Usus halus merupakan bagian dari saluran pencernaan manusia yang terletak di antara lambung dan usus besar.
Dinding usus halus kaya akan
pembuluh darah yang mengangkut zat-zat nutrisi menuju hati melalui vena porta. Dinding usus halus melepaskan lendir yang melumasi isi usus dan air yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna. Dinding usus halus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang membantu proses pencernaan (Guyton et al. 2002). Usus halus manusia terdiri atas beberapa lapisan, yaitu lapisan mukosa, lapisan otot melingkar, lapisan otot memanjang, dan lapisan serosa (David et al. 2006). Usus halus pada manusia dan hewan (mamalia dan unggas) memiliki lipatan mukosa yang disebut vili (Gambar 1). Vili usus halus manusia memiliki tinggi 0.5-1.5 mm, terbentuk di permukaan mukosa. Vili tersusun atas kumpulan sel epitel silindris sebaris yang berjejer dan jaringan ikat longgar lamina propria. Sel epitel manusia memiliki mikrovili di permukaannya dengan panjang 1 µm dan diameter 0.1 µm.
Mikrovili berfungsi untuk menyerap nutrisi (Jonqueira &
Carneiro 2005).
Kerusakan mikrovili dan atropi vili usus halus dapat
mengganggu penyerapan nutrisi (malabsorbtion syndrome). Di bagian bawah vili, baik pada manusia maupun hewan (mamalia dan unggas) terdapat kripta dan kelenjar Liberkun yang terdiri atas stem sel, sel goblet, sel Panet, dan enteroendokrin sel (Jonqueira & Carneiro 2005; Samuelson 2007). Usus halus berukuran sangat panjang, pada manusia bisa mencapai 5 m yang terdiri atas tiga bagian, yaitu duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak setelah lambung (Jonquiera & Carneiro 2005). Duodenum merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz. Duodenum merupakan organ retroperitoneal yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. Setelah duodenum, terdapat jejunum dan ileum yang digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium. Sedikit sulit untuk membedakan jejunum dan ileum secara makroskopis.
5
Secara histologis, duodenum pada manusia maupun hewan memiliki jumlah vili yang banyak, tinggi, dan berbentuk seperti lembaran daun. Duodenum juga memiliki kripta dan kelenjar Liberkun dengan jumlah dan keadaan yang paling baik. Selain itu, terdapat kelenjar submukosa (Brunner). Jejunum hampir mirip dengan duodenum tetapi vilinya lebih kecil dan lebih sedikit. Di jejunum tidak terlalu nampak adanya kelenjar submukosa (Brunner) namun jejunum memiliki banyak sel goblet pada permukaan vilinya. Ileum adalah bagian akhir dari usus halus, bentuk vilinya seperti ibu jari dengan jumlah kelenjar Liberkun yang sedikit. Ileum memiliki lebih sedikit sel goblet namun dilengkapi dengan jaringan limfatik yang besar yaitu daun Peyer (Jonqueira & Carneiro 2005; Samuelson 2007).
Gambar 1 Histologi usus halus (Samuelson 2007).
Tinggi vili usus halus menurun dari duodenum sampai ke distal ileum. Epitel silindris vili usus selalu mengalami pergerakan dari bagian kripta menuju apeks vili. Sel epitel di apeks vili akan mengalami apoptosis kemudian terlepas. Pada hewan coba tikus telah diketahui bahwa lifespans sel epitel vilinya berkisar 39.4-49.4 jam (Qi et al. 2008). Sel epitel vili mengandung filamen aktin dan
6
miosin yang berfungsi untuk pergerakan mikrovili, serta mengandung jaringan terminal sebagai reseptor perlekatan mikroba (Inamoto et al. 2008). Sejak lahir, usus halus pada manusia dan hewan terus ditantang oleh antigen terutama dari kontaminasi makanan. Karena permukaan usus halus yang sangat luas (akibat involusi kompleks kripta dan vili), saluran usus halus rentan sebagai tempat kolonisasi dan masuknya agen patogen. Beberapa patogen menyerang permukaan epitel dan yang lain menyerang hingga menembus epitel. Pertahanan fisik pada usus halus manusia dan hewan di antaranya adalah lapisan epitel, mikroflora normal, dan lendir yang disekresikan oleh sel goblet.
Lendir di
permukaan mukosa akan mencegah patogen menyerang epitel (David et al. 2006).
2. Mikroflora usus halus Terkait fungsinya, usus halus manusia dan hewan memiliki komponen mikroflora normal yang menunjang proses pencernaan makanan. Keseimbangan mikroflora normal usus halus sangat penting untuk menjaga kesehatan saluran pencernaan. Usus halus manusia mengandung sekitar 100 spesies bakteri sebagai mikroflora. Mikroflora ini dapat tumbuh pada kondisi aerob maupun anaerob dan berkoloni pada bagian-bagian tetentu dari organ pencernaan manusia (Turroni 2009). Pada hewan tikus, telah dilaporkan jumlah populasi mikroflora normal pada usus halusnya sebesar 1014 cfu (colony forming unit), terdiri atas 0-105 cfu di jejunum dan 103-109 cfu di ileum (Qi et al. 2008). Kolonisasi mikroflora usus halus pada manusia maupun hewan dimulai segera setelah lahir.
Ada beberapa kontribusi dari mikroflora normal usus
terhadap pertahanan tubuh, misalnya mencegah kolonisasi patogen dengan bersaing mendapatkan tempat dan nutrisi penting. Selain itu, mikroflora tersebut juga dapat memproduksi zat yang menghambat maupun membunuh bakteri patogen (David et al. 2006). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mikroflora usus yang seimbang dapat menstimulasi sistem imun, memproduksi enzim pencernaan, dan membantu mengontrol pembentukan radikal bebas (Dutcosky et al. 2006). Kegagalan kolonisasi atau disregulasi mikroflora normal usus diduga sebagai penyebab utama banyaknya penyakit pada saluran pencernaan manusia
7
maupun hewan.
Komposisi mikroflora normal usus pada manusia dapat
dipengaruhi oleh usia, makanan, kontaminasi bakteri, dan kondisi tubuh (stres) (David et al. 2006). Menurut Lourens-Hattingh dan Viljoen (2001), mikroflora pada usus individu dewasa relatif stabil, namun akan kembali berubah seiring bertambahnya usia.
Oleh sebab itu, keseimbangan mikroflora ini perlu tetap
dijaga.
3. Probiotik dan BAL Istilah probiotik pertama kali dikemukakan oleh Lilley dan Stiwell yang mendefinisikan probiotik sebagai senyawa yang dihasilkan mikroba untuk menstimulasi pertumbuhan mikroba lainya.
Kemudian definisi probiotik
berkembang menjadi organisme atau senyawa yang memiliki kontribusi terhadap keseimbangan mikroflora saluran pencernaan.
Definisi lainya dari probiotik
adalah sediaan sel mikroba hidup atau komponen dari sel mikroba yang memiliki pengaruh menguntungkan terhadap kesehatan dan kehidupan inangnya (Salminen et al. 1999). Definisi probiotik terbaru dikeluarkan oleh FAO/WHO (2006), yaitu mikroorganisme hidup yang jika diberikan dalam jumlah memadai akan memberikan manfaat kesehatan bagi inangnya, atau ketika dikonsumsi dalam jumlah yang cukup sebagai bagian dari pangan, akan memberikan manfaat kesehatan bagi inangnya. Probiotik dapat berupa bakteri gram positif, negatif, khamir, dan fungi. Probiotik biasanya dimasukkan ke dalam pangan fermentasi yang berbasis susu. Probiotik dapat dijadikan alternatif untuk mengobati infeksi saluran pencernaan dan untuk mencegah diare.
Manfaat kesehatan dari probiotik, yaitu
kemampuannya memelihara keseimbangan mikroflora normal usus, menghambat bakteri patogen, dan meningkatkan sistem imun (Rolfe 2000). Probiotik yang umum dipakai pada produk pangan komersial adalah golongan bakteri asam laktat (BAL) (FAO/WHO 2006). BAL adalah bakteri gram positif yang bersifat mikroaerofilik, tidak berspora, dan mampu memfermentasi karbohidrat menjadi asam laktat. Bentuk BAL beragam, ada yang berbentuk batang dan ada yang berbentuk koki. Jenis BAL yang sering digunakan
8
pada produk pangan komersial, yaitu Lactobacillus dan Bifidobacterium (Saulnier et al. 2009; Miyazaki et al. 2010). Probiotik dikembangkan sebagai pangan yang mendukung kesehatan manusia.
Fungsinya untuk pencegahan dan pengobatan penyakit di saluran
pencernaan seperti diare, gastroenteritis, laktosa intoleran, dan kanker kolon (Yan & Polk 2008). BAL dari genus Lactobacillus dan Bifidobacteria telah terbukti memiliki efek sebagai probiotik pada manusia. Beberapa Lactobacillus dapat menghambat bakteri patogen, seperti E. coli, Salmonella Enteritidis, dan Vibrio cholera (Liong 2007). Yan dan Polk (2008) mengemukakan manfaat probiotik bagi saluran pencernaan, yaitu; (1) meningkatkan pencernaan dan penyerapan nutrisi, (2) memelihara keseimbangan mikroflora usus, (3) mengatur crosstalk antara epitel usus dengan sistem imun, dan (4) mengatur fungsi imun. Berdasarkan penelitian Harimurti dan Rahayu (2009), probiotik dapat meningkatkan tinggi dan lebar vili pada usus halus ayam broiler sebagai hewan percobaanya. Hal ini disebabkan oleh peningkatan asam lemak rantai pendek dari hasil fermentasi oleh probiotik. Asam lemak rantai pendek beperan dalam stimulasi perbanyakan sel epitel usus karena asam lemak ini merupakan komponen fosfolipid membran sel.
4. Potensi BAL sebagai probiotik pada saluran pencernaan Aktivitas probiotik BAL sangat penting dalam mengatur keseimbangan ekosistem saluran pencernaan. Menurut Naidu dan Clemens (2000), aktivitas probiotik BAL terbagi atas tiga spektrum yaitu nutrisi, fisiologi, dan efek antimikroba. Dalam spektrum nutrisi, BAL menyediakan enzim untuk membantu metabolisme komponen laktosa dalam makanan, sintesis beberapa vitamin (vitamin K, folat, piridoksin, pantotenat, biotin, dan ribovlavin) serta menghilangkan racun metabolit dari makanan di dalam usus. Pada spektrum fisiologi, BAL mampu menjaga keseimbangan komposisi mikroflora normal usus dan menstimulasi sistem kekebalan di usus. Dalam spektrum antimikroba, BAL mampu memperbaiki ketahanan tubuh terhadap bakteri patogen. Syarat BAL sebagai probiotik yang dikemukakan oleh Seveline (2005), yaitu: (1) tahan terhadap pH asam lambung (1.5-4), (2) stabil terhadap garam
9
empedu, (3) memproduksi senyawa antimikroba, (4) mampu menempel pada sel usus manusia serta tumbuh dan berkembang baik dalam saluran pencernaan, dan (5) dapat berkoagregasi membentuk lingkungan mikroflora normal yang seimbang dalam saluran pencernaan.
Kemampuan BAL untuk hidup di dalam saluran
pencernaan dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen sehingga bisa dimanfaatkan untuk menjaga kesehatan saluran pencernaan. Inilah alasanya BAL berpotensi sebagai probiotik. Jumlah minimal sel bakteri yang memenuhi syarat sebagai probiotik sampai sekarang masih dalam kontroversi. Di Jepang, Fermented Milks And Lactic Acid Bacteria Association mensyaratkan jumlah minimal untuk probiotik adalah 1x107 cfu Bifidobacteria /g atau /ml produk. Penelitian Galdeano dan Perdigon (2006) menunjukkan sebanyak 1x108 cfu Lactobacillus cassei bisa meningkatkan pertahanan alami mukosa usus.
Penelitian lain menyatakan jumlah probiotik
Lactobacillus acidophillus dan Bifidobacterium bifidum yang dapat digunakan untuk terapi gastritis dan duodenitis adalah 1x109 cfu (Zubillaga et al. 2001). Namun jumlah sel yang ditetapkan di atas masih dalam rentang yang dikemukakan oleh Lee dan Salminen (2009) yaitu sebanyak 107-1010 cfu.
5. Enteropatogenic E. coli (EPEC) Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk batang lurus, berukuran 1.1-1.5 µm x 2.0-6.0 µm, tidak berspora dan bersifat fakultatif anaerobik.
Bakteri ini memiliki pili, fimbia, dan flagella peritrikus. Suhu
optimum untuk E. coli adalah 37 ºC. Bakteri E. coli adalah flora normal saluran pencernaan, namun ada beberapa strain E. coli yang bersifat patogen (Evans & Evans 2001). Berdasarkan gen virulensi, E. coli dibedakan atas lima tipe, yaitu enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), enterohemorrhagic E. coli (EHEC), enteropatogenic E. coli (EPEC), dan enteroaggregative E. coli (EAggEC).
Bakteri EPEC didefinisikan sebagai bakteri yang memiliki
karakteristik berikut: (1) kemampuan menimbulkan diare, (2) kemampuan membentuk lesio pedestal sebagai akibat dari aktivitas attaching and effacing pada epitel vili usus, dan (3) tidak mampu memproduksi Shiga-like toxin
10
(verocytotoxin). Semua tipe E. coli (kecuali ETEC) bersifat invasif (David et al. 2006).
Bakteri EPEC yang bersifat invasif menyebabkan diare sekaligus
inflamasi pada mukosa usus (Lodes et al. 2004). Pada usus halus, EPEC berikatan secara kuat pada permukaan epitel vili sehingga merusak mikrovili, dikenal dengan istilah “attaching and effacing” (A/E) (Grüenheid et al. 2001).
Patogenesa infeksi EPEC diawali dengan
perlekatan bundle-forming pilus (BFP) pada permukaan sel epitel diikuti sekresi faktor virulen Tir (translicated intimin receptor). Tir berfungsi sebagai reseptor membran plasma untuk perlekatan EPEC, sehingga EPEC tidak perlu mencari reseptor spesifik pada sel inang (Lowe 2009). EPEC kemudian mengikat Tir melalui protein membran luar (intimin) dan mulai mengeluarkan senyawa proteolitik yang merusak mikrovili. Setelah menempel dan merusak mikrovili, EPEC mensekresikan senyawa protein untuk merangsang sitoskeleton aktin yang berada di dalam sel epitel berkumpul dan tersusun di permukaan sel membentuk struktur pedestal sebagai tempat bersarangnya EPEC (Gambar 2).
Infeksi EPEC juga menyebabkan
perubahan konsentrasi kalsium intraseluler (Lu & Walker 2001).
Gambar 2 Bentuk infeksi EPEC pada epitel usus (Lu & Walker 2001). Secara in vitro, EPEC bisa melakukan perlekatan dan kolonisasi dalam waktu 5-7 jam. Janda dan Abbott (2006) mengemukakan secara in vivo dosis infeksi EPEC berkisar antara 105-1010 cfu/ml, dengan waktu inkubasi berkisar antara 9-19 jam, dan durasi terjadinya diare rata-rata selama 5 hari. Keberadaan EPEC pada saluran pencernaan kemudian direspon oleh inang dengan proses inflamasi dan infiltrasi neutrofil ke lamina propria (Schuller et al. 2009).
11
6. Radikal bebas dan antioksidan Radikal bebas merupakan suatu atom atau beberapa atom yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya sehingga bersifat sangat labil dan mudah membentuk senyawa baru. Radikal bebas yang terdapat dalam tubuh bisa berasal dari dalam (endogen) maupun dari luar tubuh (eksogen).
Radikal bebas endogen merupakan radikal bebas yang terbentuk
sebagai respon normal dari peristiwa biokimia di dalam tubuh secara kontinu. Peristiwa biokimia tersebut meliputi reaksi reduksi-oksidasi normal di dalam mitokondria maupun peroksisom, detoksikasi senyawa xenobiotik, metabolisme obat-obatan, dan fagositosis (Halliwell & Gutteridge 1999). Radikal bebas berasal dari senyawa hidrogen, oksigen, dan logam transisi. Contoh senyawa radikal bebas yaitu reactive oxigen species (ROS) seperti superoksida (O2-), radikal hidroxil (OH), dan hidrogen peroksida (H2O2). Superoksida merupakan radikal bebas yang sangat reaktif dan paling berbahaya bagi sel. Superoksida bersifat reduktan dan oksidan serta dapat bereaksi dengan berbagai substrat biologis. Secara fisiologis, radikal bebas berperan dalam proses transpor elektron, metabolisme tubuh dalam keadaan aerobik, fagositosis, serta sintesis DNA dan protein. Namun jika jumlah radikal bebas terlalu banyak akan mengakibatkan kerusakan pada sel-sel tubuh terutama perubahan makromolekul seperti DNA, lipid, dan protein (Jones 2008; Evans et al. 2004). Radikal bebas di dalam tubuh akan menarik elektron dari makromolekul biologis disekitarnya (protein, asam nukleat, DNA, dll) untuk memenuhi keganjilan elektronnya. Makromolekul yang teroksidasi akan terdegradasi dan apabila makromolekul tersebut bagian dari sel maka sel akan rusak. Senyawa radikal bebas akan membentuk pasangan dengan mengambil elektron dari atom molekul lain sehingga menghasilkan senyawa radikal baru yang berbahaya bagi tubuh. endogen.
Radikal bebas di dalam tubuh biasanya dinetralisir oleh antioksidan Antioksidan endogen utama pada sel-sel tubuh adalah enzim
superoksida dismutase (SOD). Enzim ini bekerja spesifik untuk mengeliminasi radikal bebas anion superoksida (Carroll et al. 2007). Antioksidan yaitu senyawa atau bahan bioaktif yang dapat berfungsi untuk mencegah, menurunkan reaksi oksidasi, memutus, menghambat, menghentikan,
12
dan menstabilisasi radikal bebas (Margail 2005). Antioksidan dibedakan atas antioksidan endogen dan antioksidan eksogen. Antioksidan endogen umumnya berbentuk enzim, contohnya superoksida dismutase (SOD), katalase, glutation peroksidase, dan glutation reduktase. Antioksidan eksogen contohnya askorbat, tokoferol, dan karoten (Nayak 2001). Jumlah radikal bebas berpengaruh terhadap kerja antioksidan endogen. Jumlah radikal bebas yang sedikit akan meringankan kerja antioksidan endogen, sehingga antioksidan tersebut bisa dipertahankan di dalam sel.
Namun jika
radikal bebas terlalu banyak, antioksidan endogen tidak akan mampu menetralisirnya.
Kekurangan antioksidan menyebabkan stres oksidatif yang
berujung pada kerusakan sel dan menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit degeneratif (penuaan dini, kanker, dll) (Evans et al. 2004).
7. Imunohistokimia dan Cu,Zn-SOD Imunohistokimia adalah suatu teknik untuk mendeteksi keberadaan berbagai macam komponen yang terdapat di dalam sel atau jaringan dengan menggunakan prinsip reaksi ikatan antigen (Ag) dan antibodi (Ab). Teknik imunohistokimia dapat digunakan untuk mempelajari distribusi enzim spesifik serta mendeteksi keberadaan berbagai komponen aktif yang terdapat di dalam sel atau jaringan seperti protein dan karbohidrat (Furuya et al. 2004). Terdapat dua metode pewarnaan imunohistokimia, yaitu metode langsung (direct) dan metode tidak langsung (indirect) (Gambar 3).
Metode langsung
hanya menggunakan satu antibodi, yaitu antibodi primer yang telah dilabel. Metode tidak langsung menggunakan dua antibodi, yaitu antibodi primer tanpa dilabel dan antibodi sekunder yang telah dilabel (Polak & VanNoorden 2003). Metode tidak langsung pun ada beberapa jenis, di antaranya avidin-biotin methode, peroxidase methode, dan tyramin amplification methode.
Namun
metode yang sering digunakan di laboratorium adalah peroxidase methode, karena 100-1000 kali lebih sensitif dibandingkan metode lainnya (Ramos & Vara 2005).
13
Gambar 3 Struktur ikatan antigen-antibodi pada pewarnaan imunohistokimia; metode langsung (kiri) dan metode tidak langsung (kanan) (Ramos & Vara 2005).
Prinsip pewarnaan imunohistokimia metode peroksidase, yaitu antigen yang ada pada jaringan diikatkan dengan antibodi primer yang spesifik. Lalu antibodi primer yang terikat antigen kemudian diikatkan pula dengan antibodi sekunder (antiantibodi primer) yang telah dilabel enzim peroksidase. Penambahan substrat yang berisi kromogen dan H2O2 akan memunculkan endapan berwarna coklat dan H2O. Endapan coklat merupakan hasil penguraian substrat (kromogen dan H2O2) oleh enzim peroksidase (Gambar 4). Warna coklat yang muncul menandakan reaksi positif (+), yang artinya di dalam jaringan terdapat antigen. Apabila di jaringan tersebut tidak terdapat antigen, maka tidak akan muncul warna coklat (Ramos & Vara 2005).
Antibodi sekunder Antibodi primer Peroksidase Antigen
Kromogen+H2O2
Endapan coklat+H2O
Jaringan Gambar 4 Prinsip pewarnaan imunohistokimia metode perokdidase.
14
Teknik imunohistokimia yang digunakan pada penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi kandungan enzim antioksidan superoksida dismutase (SOD) yang terdapat di dalam jaringan usus halus. Enzim SOD merupakan enzim antioksidan endogen yang mempunyai peranan penting secara langsung melindungi sel dari gangguan radikal bebas, dan secara tidak langsung memelihara keseimbangan oksigen yang bersifat toksik (Wresdiyati et al. 2002). Pengukuran kandungan enzim antioksidan SOD merupakan cara untuk mengetahui kondisi pertahanan sel terhadap radikal bebas. Aktivitas SOD bervariasi pada beberapa organ. Aktivitas SOD tertinggi terdapat pada hati, diikuti kelenjar adrenal, ginjal, darah, limpa, pankreas, otak, paru-paru, usus, ovarium, dan timus (Halliwell & Gutteridge 1999). Enzim SOD pada mamalia terdiri atas tiga bentuk, yaitu copper,zinc superoxide dismutase atau Cu,Zn-SOD yang berada terutama di sitoplasma, manganese superoxide dismutase atau Mn-SOD yang berada di mitokondria, dan extracelular superoxide dismutase atau ECSOD. Secara umum fungsi Cu,ZnSOD sama dengan Mn-SOD dan ECSOD, namun ketiganya berbeda dalam struktur protein, lokasi kromosom, metal kofaktor, distribusi gen, dan kompartemen selular (Miao et al. 2009). Enzim SOD mengkatalis dismutase oksigen menjadi hidrogen peroksida dan mengubahnya menjadi air dan oksigen yang stabil (Gurer & Ercal 2000). Enzim SOD berperan dalam proses degradasi senyawa ROS. ROS ialah senyawa yang mempunyai gugus oksigen reaktif dan mamiliki bentuk serta aktivitas sebagai radikal bebas.
Senyawa ini cenderung menyumbangkan atom oksigen atau
elektron pada senyawa lainya (Halliwell & Gutteridge 1999).
8. Penelitian pendahuluan Arief et al. (2008) telah melakukan isolasi bakteri asam laktat (BAL) golongan Lactobacillus, Lactococcus, dan Streptococcus dari daging sapi peranakan Ongol yang dijual di pasar-pasar tradisional di daerah Bogor. BAL tersebut telah diuji kemampuanya untuk bertahan pada kondisi saluran pencernaan manusia, serta aktivitas antimikrobanya terhadap bakteri patogen. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat 10 jenis BAL isolat indigenus yang
15
mempunyai kemampuan bertahan pada pH asam lambung (pH 2) dan pH usus (pH 7.2), serta pada kondisi garam empedu 0.5%. Bakteri asam laktat tersebut juga mempunyai aktivitas penghambatan yang baik terhadap tiga jenis bakteri patogen enterik, yaitu Salmonella Thypimurium, enterotoxigenic E. coli (ETEC), dan Staphylococcus aureus. Bakteri asam laktat (BAL) ini juga mempunyai kemampuan bakterisidal terhadap mikroba patogen karena bakteri tersebut mampu menghasilkan senyawa bioaktif asam laktat, asam asetat, serta senyawa bakteriosin. Kesepuluh isolat ini layak dikatakan sebagai probiotik.
Sifat fungsional lainya telah diteliti oleh
Astawan et al. (2009), yaitu mengenai kemampuan bakterisidal dari 10 isolat BAL terhadap bakteri enteropatogenic E. coli (EPEC) secara in vitro.
Hasilnya
menunjukkan bahwa terdapat dua spesies BAL yang mempunyai kemampuan terbaik dalam melawan EPEC, yaitu Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus fermentum. Kedua BAL inilah yang dipakai pada penelitian ini.
9. Hewan percobaan Hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model dalam mempelajari dan mengembangkan berbagai bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik. Hewan percobaan banyak digunakan pada penelitian di bidang fisiologi, farmakologi, biokimia, patologi, dan komparatif zoologi (Malole & Pramono 1989). Di bidang kedokteran, hewan percobaan banyak digunakan untuk keperluan diagnosis. Penelitian-penelitian medis untuk kepentingan manusia sering dilakukan menggunakan hewan percobaan.
Hewan percobaan terbagi atas 5 kelompok,
yaitu: (1) hewan laboratorium berukuran kecil, seperti mencit, tikus, dan kelinci; (2) karnivora, seperti kucing dan anjing; (3) primata, seperti Macaca dan babon; (4) hewan domestik besar, seperti domba, sapi, serta babi; dan (5) kelompok hewan lainnya, seperti unggas (Wolfensohn & Lloyd 1998). Menurut Malole dan Pramono (1989), pemilihan hewan percobaan untuk kepentingan fisiologisnya.
diagnosis
harus
mempertimbangkan
spesies
dan
kondisi
Diagnosis penyakit yang disebabkan oleh anthraks dan rabies
sebaiknya menggunakan hewan coba mencit, sedangkan diagnosis penyakit akibat
16
enterobaktericeae dapat menggunakan hewan coba mencit maupun tikus. Hewan percobaan kelinci baik digunakan pada penelitian mengenai hiperkolestrerolemia karena peka terhadap kolesterol dan bisa menyimpan lemak tubuh dalam jumlah yang besar. Berbeda dengan anjing, kucing, dan tikus yang resisten terhadap pakan yang mengandung kolesterol (Sirois 2005). Hewan percobaan yang paling cocok untuk penelitian mengenai manusia ialah primata (Wolfensohn & Lloyd 1998).
Hal itu dikarenakan kedekatan
kekerabatan serta kemiripan anatomis, fisiologis, dan patologis.
Namun
penggunaan hewan coba primata menemui banyak kendala, seperti sulitnya pengadaan hewan, perawatan yang rumit dan mahal, handling yang sulit, serta adanya bahaya penyakit menular (Sirois 2005).
Hewan percobaan lain yang
memiliki karakter fisiologis mirip dengan manusia maupun mamalia lain adalah tikus. Ada dua spesies tikus, yaitu tikus hitam (Rattus rattus) dan tikus putih (Rattus norvegicus). Spesies yang sering dipakai sebagai hewan model pada penelitian mengenai mamalia adalah Rattus norvegicus (Malole & Pramono 1989). Rattus norvegicus memiliki ciri rambut berwarna putih dan mata berwarna merah.
Sebagai hewan percobaan, Rattus norvegicus memiliki beberapa
keunggulan, yaitu pemeliharaan dan penanganan mudah, kemampuan reproduksi tinggi dan masa kebuntingan singkat, serta cocok untuk berbagai penelitian (Malole & Pramono 1989). Rata-rata umur Rattus norvegicus adalah 4 sampai 5 tahun dengan berat badan umum tikus jantan dewasa berkisar antara 267 sampai 500 gram dan betina 225 sampai 325 gram. Tikus memasuki usia dewasa pada umur 40-60 hari, masa bunting selama 23 hari dan disapih pada umur 21 hari (Smith & Mangkoewidjojo 1989). Penelitian yang dapat dilakukan menggunakan Rattus norvegicus di antaranya penelitian mengenai hipertensi, diabetes melitus, obesitas, dan lain-lain (Sirois 2005). Rattus norvegicus mempunyai 3 galur, yaitu Sprague Dawley, Wistar, dan Long Evans. Galur Sprague Dawley memiliki tubuh yang ramping, kepala kecil, telinga tebal dan pendek dengan rambut halus, serta ukuran ekor lebih panjang daripada badannya. Galur Wistar memiliki kepala yang besar dan ekor yang pendek, sedangkan galur Long Evans memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil
17
serta bulu pada kepala dan bagian tubuh depan berwarna hitam (Malole & Pramono 1989). Pada penelitian ini, hewan percobaan yang digunakan adalah Rattus norvegicus galur Sprague Dawley. Rattus norvegicus adalah hewan percobaan paling populer dalam penelitian yang berkaitan dengan pencernaan (Hofstetter et al. 2005). Hewan ini dipakai dengan pertimbangan: (1) pola makan omnivora seperti manusia (Malole & Pramono 1989); (2) memiliki saluran pencernaan dengan tipe monogastrik seperti manusia (Hofstetter et al. 2005); (3) kebutuhan nutrisi hampir menyamai manusia (Wolfensohn & Lloyd 1998); serta (4) mudah di cekok dan tidak mengalami muntah karena tikus ini tidak memiliki kantung empedu (Smith & Mangkoewidjojo 1989). Saluran pencernaan tikus dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Saluran pencernaan pada tikus (Hofstetter et al. 2005).
Penelitian ini difokuskan pada pengamatan bagian usus halus dari saluran pencernaan tikus. Usus halus tikus terdiri atas duodenum, jejunum, dan ileum. Pada bagian mukosa terdapat vili, kripta, dan kelenjar Liberkun. Di permukaan vili usus halus terdapat sel epitel silindris sebaris. Selain itu, terdapat juga sel goblet penghasil mukus dan sel Panet penghasil lisozim. Kripta bergerak setiap 10-14 jam untuk mengganti sel-sel epitel yang lepas. Waktu yang dibutuhkan oleh sel epitel untuk berpindah dari kripta hingga mencapai ujung vili sekitar 48
18
jam. Jumlah kelenjar Liberkun pada usus halus tikus relatif konstan, baik pada duodenum, jejunum maupun ileum, sedangkan jumlah vili menurun dari duodenum sampai ke ileum. Pada bagian submukosa duodenum terdapat kelenjar Brunner yang berfungsi menghasilkan mukus dan bikarbonat, namun kelenjar ini hanya terdapat pada bagian proksimal dari duodenum tikus (Clarke 1970). Proses penyerapan makanan pada tikus dan manusia terjadi di bagian jejunum dan ileum dari usus halus. Penyerapan dilakukan oleh mikrovili sel epitel. Penyerapan glukosa, asam amino, dan asam lemak terutama terjadi di bagian jejunum (DeSesso & Jacobson 2001). Melihat pertimbangan di atas, Rattus norvegicus dapat dipakai sebagai hewan percobaan dalam pengujian probiotik secara in vivo pada saluran pencernaan untuk kepentingan manusia. Penggunaan hewan percobaan untuk pengujian secara in vivo biasanya menunjukkan hasil deviasi yang besar dibandingkan dengan percobaan in vitro karena adanya variasi biologis. Supaya variasi tersebut minimal, hewan percobaan yang dipakai sebaiknya berasal dari spesies yang sama, umur dan jenis kelamin sama, serta dipelihara pada kondisi yang sama pula (Malole & Pramono 1989).