TINJAUAN LITERATUR
Siklus Hidrologi Siklus hidrologi merupakan proses pengeluaran air dan perubahannya menjadi mengembun dan kembali menjadi air yang berlangsung terus nenerus tiada hentinya. Daur hidrologi dimulai sejak adanya panas matahari yang menimbulkan air akan menguap dari semua tanah, sungai, danau, telaga, waduk laut, kolam, sawah dan permukaan air lainnya. Penguapan seperti ini disebut evaporasi (evaporation) sedangkan penguapan juga terjadi pada tanaman dan mahluk hidup lainnya yang disebut transpirasi (transpiration) (Soedibyo, 2003). Sebagian air hujan yang jatuh kepermukaan bumi akan menjadi aliran permukaan (surface run off). Aliran permukaaan sebagian akan meresap kedalam tanah menjadi aliran bawah permukaan melalui proses infiltrasi (infiltration) dan perkolasi (percolation) selebihnya terkumpul didalam jaringan alur sungai (river flow). Apabila kondisi tanah memungkinkan sebagian air infiltrasi akan mengalir kedalam sungai, atau genangan lainnya seperti waduk, danau, sebagai interflow. Sebagian air didalam tanah dapat muncul lagi didalam alur sungai atau langsung menuju kelaut (Soewarno, 2000).
19 Universitas Sumatera Utara
Proses mengenai siklus hidrologi dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 1. Siklus Hidrologi Karena siklus hidrologi merupakan suatu sistem tertutup, maka air yang masuk selalu sama dengan yang keluar. Hal ini dikenal dengan istilah neraca air (Soemarto,1987).
Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah aliran sungai (DAS) merupakan daerah yang dibatasi oleh batasan topografi berdasarkan aliran permukaan tanah dimana semua air akan mengalir kedalam sungai tertentu. Suatu DAS dianggap sebagai wilayah atau titik tertentu yang dipisahkan dari DAS-DAS lainnya oleh suatu pembagi seperti perbukitan, pegunungan, yang dapat ditelusuri pada peta topografi (Linsley dan Franzini, 1991) DAS disebut juga sebagai watershed atau catchment area. DAS ada yang kecil dan ada juga yang sangat luas. DAS yang sangat luas bisa terdiri dari beberapa sub DAS dan sub DAS dapat terdiri dari beberapa sub-sub DAS, tergantung banyaknya anak sungai dari cabang sungai yang ada, yang merupakan bagian dari suatu sistem sungai utama (Asdak, 1995).
Universitas Sumatera Utara
DAS merupakan ekosistem yang terdiri dari berbagai macam komponen dan terjadi keseimbangan dinamik antara komponen yang merupakan masukan (input) dan komponen yang merupakan keluaran (output), dimana keadaan atau pengaruh yang berlaku pada salah satu bagian di dalamnya akan mempengaruhi wilayah secara keseluruhan (Hartono, dkk, 2005). Menurut Sosrodarsono dan Takeda (2003), berdasarkan perbedaan debit banjir yang terjadi, bentuk DAS dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu : 1. Bulu burung Suatu daerah pengaliran yang mempunyai jalur daerah di kiri kanan sungai utama dimana anak-anak sungai mengalir ke sungai utama. Daerah pengaliran demikian mempunyai debit banjir yang kecil, oleh karena waktu tiba banjir dari anak-anak sungai itu berbeda-beda. Sebaliknya banjirnya berlangsung agak lama. 2. Radial Daerah pengaliran yang berbentuk kipas atau lingkaran dan dimana anakanak sungainya mengkonsentrasi ke suatu titik secara radial. Daerah pengaliran semacam ini mempunyai banjir yang besar di dekat titik pertemuan anak-anak sungai. 3. Pararel Daerah pengaliran seperti ini mempunyai corak dimana dua jalur daerah pengaliran yang bersatu di bagian hilir. Banjir itu terjadi di sebelah hilir titik pertemuan sungai.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Berbagai macam bentuk DAS. Sungai mempunyai fungsi untuk mengumpulkan curah hujan dalam suatu daerah tertentu dan mengalirkannya ke laut. Daerah pengaliran sebuah sungai adalah daerah yang mengalirkan airnya ke sungai tersebut. Luas daerah pengaliran diperkirakan dengan pengukuran daerah itu pada peta topografi. Luas daerah pengaliran berpengaruh terhadap besarnya debit yang terjadi. Semakin besar daerah pengaliran maka debit pengaliran akan semakin besar. Adapun masalah pokok dalam pengelolaan DAS yaitu :
fluktuasi debit pada musim kemarau
kerusakan lahan di daerah tangkapan air
erosi dan sedimentasi
limbah yang bertambah pada sungai
Pengelolaan air pada musim kemarau ditunjukkan agar alokasi air dapat optimal guna memenuhi kebutuhan masyarakat dan lingkungan baik kuantitas maupun kualitas (Anonimus, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Analisis Frekuensi Menurut Sri Harto (1993), analisis frekuensi adalah suatu analisa data hidrologi dengan menggunakan data statistika yang bertujuan untuk memprediksi suatu besaran hujan atau debit dengan masa ulang tertentu. Frekuensi hujan adalah besaran kemungkinana suatu besaran hujan disamai atau dilampaui. Sebaliknya kala ulang (return period) diartikan sebagai waktu dimana hujan atau debit dengan suatu besaran tertentu akan disamai atau dilampaui sekali dalam jangka waktu tersebut. Dalam hal ini tidak berarti selama jangka waktu ulang tersebut (misalnya T tahun) hanya sekali kejadian yang akan menyamai atau melampaui, tetapi merupakan perkiraan bahwa hujan ataupun debit tersebut akan disamai atau dilampaui K kali dalam jangka panjang L tahun, dimana K/L kira-kira sama dengan 1/T . Ada dua macam seri data yang dipergunakan dalam analisis frekuensi yaitu: 1. Data maksimum tahunan: tiap tahun diambil hanya satu besaran maksimum yang dianggap berpengaruh pada analisis selanjutnya. Series data ini sering disebut seri data maksimum (maximum annual series). 2. Seri parsial: dengan menetapkan besaran tertentu sebagai batas bawah, selanjutnya semua besaran data yang lebih besar dari batas bawah tersebut diambil kemudian dianalisis dengan cara yang lazim (Suripin, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Dalam analisis frekuensi, hasil yang diperoleh tergantung pada kualitas dan panjang data. Makin pendek data yang tersedia, makin besar penyimpangan yang terjadi. Menurut Soemarto (1987), dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi dan empat jenis distribusi yang umum digunakan dalam bidang hidrologi adalah : 1. Distribusi Normal 2. Distribusi Log Normal 3. Distribusi Log-Pearson Type III dan 4. Distribusi Gumbel Dalam statistik dikenal beberapa parameter yang berkaitan dengan analisis data yang meliputi : Tabel 1. Parameter Statistik Analisis Frekuensi No.
Parameter
1.
Rata-rata
2.
Simpangan baku
3.
Koefisien variasi
Sampel 1 n ∑ Xi n i =1
X=
(
)
2 1 n s= Xi − X ∑ n − 1 i −1
Cv =
1/ 2
s x
4.
Koefisien skewness
n
n ∑ (X i − X ) Cs =
5.
Koefisien Kurtosis
3
i =1
(n − 1)(n − 2)s 3 n
n 2 ∑ (X i − X )4 Ck =
i =1
(n −1)(n − 2)(n − 3)s 4
Sumber: Singh, 1992.
Universitas Sumatera Utara
Distribusi Normal Distribusi normal atau kurva normal disebut pula distribusi Gauss. Distribusi ini mempunyai probability density function sebagai berikut: P' ( X ) =
(x − µ) 2 exp − ………………….........….. (1) 2σ 2 σ 2π 1
dimana: P(X)
= fungsi densitas peluang normal (ordinat kurva normal).
X
= Variabel acak kontinu
µ
= Rata-rata nilai X
σ
= Simpangan baku dari X Analisis kurva normal cukup menggunakan parameter statistik µ dan σ .
Bentuk kurvanya simetris terhadap X = µ , dan grafiknya selalu di atas sumbu datar X serta mendekati sumbu datar X dan di mulai dari X = µ + 3 σ dan X = µ - 3 σ , nilai mean = median = modus.
Luas 68,27% Luas 96, 45 % Luas 99,73 %
3σ
2σ
σ
x
σ
2σ
3σ
Gambar 3. Kurva distribusi frekuensi normal
Universitas Sumatera Utara
Dari gambar kurva diatas dapat diterangkan bahwa: 1)
Kira-kira 68,27 % terletak di daerah satu deviasi standart sekitar nilai rata-ratanya yaitu antara ( µ - σ ) dan ( µ + σ ).
2)
Kira-kira 95,45 % terletak di daerah dua deviasi standart sekitar nilai rata-ratanya yaitu antara ( µ - 2 σ ) dan ( µ + 2 σ ).
3)
Kira-kira 99,73 % terletak di daerah tiga deviasi standart sekitar nilai rata-ratanya yaitu antara ( µ - 3 σ ) dan ( µ + 3 σ ).
Rumus yang umum digunakan untuk distribusi normal adalah: XT = X + KT.s ………………………………………….. (2) di mana: XT = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-tahunan X = Nilai rata-rata hitung sampel
s
= Deviasi standard nilai sampel
KT = Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau yang digunakan periode ulang dan tipe model matematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis peluang. (Suripin, 2004). Menurut Jayadi (2000), sifat khas lain yaitu nilai asimetris (koefisien
()
skewness) hampir sama dengan nol dan dengan Ck = 3, dan peluang nilai x :
(
)
P x − σ = 15,87%
()
P x = 50%
(
)
P x + σ = 84,14%
Universitas Sumatera Utara
Distribusi Gumbel Menurut Chow (1964), rumus umum yang digunakan dalam metode Gumbel adalah sebagai berikut: X = X + s.K ............................................................................. (3) Dengan : X = nilai rata-rata atau mean; s = standard deviasi Faktor frekuensi K untuk nilai-nilai ekstrim Gumbel ditulis dengan rumus berikut ini: K=
YTr − Yn Sn
........................................................................ (4)
dimana : Yn
= reduced mean yang tergantung jumlah sampel/data n
Sn
= reduced standard deviation yang juga tergantung pada jumlah sampel/ data n
Tr
= Fungsi waktu balik (tahun)
YTr
= reduced variate yang dapat dihitung dengan persamaan berikut:
YTr
T − 1 = -In − In r ………………………………….... (5) Tr
Ciri khas statistik distribusi Gumbel adalah nilai asimetris (koefisien skewness) sama dengan 1,396 dan dengan kurtosis (Ck) = 5,4002. (Wilson, 1972).
Universitas Sumatera Utara
Distribusi Log Normal Jika variabel acak
Y = Log x terdistribusi secara normal, maka x
dikatakan mengikuti distribusi Log Normal. Ini dapat dinyatakan dengan model matematik dengan persamaan : YT
= Y + KTS ………………………………………………. (6)
dimana: YT = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T- tahunan Y
= Nilai rata-rata hitung sampel
S
= Standard deviasi nilai sampel
KT = Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau yang digunakan periode ulang dan tipe model matematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis peluang. (Singh, 1992) Menurut Jayadi (2000), ciri khas statistik distribusi Log Normal adalah nilai asimetris (koefisien skewness) sama dengan tiga kali nilai koefisien variasi (Cv) atau bertanda positif.
Distribusi Log Pearson Type III Parameter penting dalam Log Pearson Type III yaitu harga rata-rata, simpangan baku dan koefisien kemencengan. Jika koefisien kemencengan sama dengan nol maka distribusi kembali ke distribusi Log Normal (Suripin, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Langkah-langkah penggunaan distribusi Log Pearson Type III adalah sebagai berikut. 1. Ubah data ke dalam bentuk logaritmis, X = log X. 2. Hitung harga rata-rata: Log X =
1 n ∑ log X i ............................................................... (7) n i =1
3. Hitung harga simpangan baku:
(
)
2 1 n s= log X i − log X ∑ n − 1 i −1
1/ 2
................................................ (8)
4. Hitung koefisien kemencengan:
(
n
n ∑ log X i − log X
Cs =
i =1
(n − 1)(n − 2)s 3
)
3
........................................................ (9)
5. Hitung logaritma hujan dengan periode ulang T: Log XT = log X + K.s ............................................................... (10) (Linsley, dkk, 1975). Menurut Jayadi (2000), ciri khas statistik distribusi Log Pearson Type III adalah: 1. Jika tidak menunjukkan sifat-sifat seperti ketiga distribusi diatas 2. Garis teoritis probabilitasnya berupa garis lengkung. Ada dua cara untuk mengetahui ketepatan distribusi probabilitas data hidrologi yaitu data yang ada diplot pada kertas probabilitas yang sudah desain khusus atau menggunakan skala plot yang melinierkan fungsi distribusi.
Universitas Sumatera Utara
Suatu garis lurus yang mempresentasikan sebaran data-data yang diplot kemudian ditarik sedemikian
rupa berupa garis
linier. Ada 7 jenis metoda
pengeplotan data yaitu: metode California, Hazen, Beard, Weibull, Chegodayev, Bloom, dan Tukey. Semua metode bertujuan untuk menghitung probabilitas data tetapi metode yang paling efisien dan paling sering digunakan adalah metode Weibull yang dilakukan secara empiris dengan persamaan yang umum : Tr =
n +1 ……………………………………………. (11) m
dimana : m = Nomor urut (peringkat) data setelah diurutkan dari besar ke kecil. n = Banyaknya data atau jumlah kejadian. (Soedibyo, 2003). Menurut Sri Harto (2000); masing-masing distribusi mempunyai sifat yang khas, sehingga data curah hujan harus diuji kecocokannya dengan sifat statistik masing-masing distribusi tersebut. Pemilihan distribusi yang tidak benar dapat menimbulkan kesalahan perkiraan yang cukup besar, baik over estimate maupun under estimate.
Uji kecocokan Diperlukan penguji parameter untuk menguji kecocokan (the goodness of fittest test) distribusi frekuensi sampel data terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan dapat menggambarkan atau mewakili distribusi frekuensi tersebut. Pengujian parameter yang sering dipakai adalah Chi-Square dan Smirnov Kolmogorov (Suripin, 2004).
Universitas Sumatera Utara
1. Uji Chi-Square Pada dasarnya uji ini merupakan pengecekan terhadap penyimpangan rerata data yang dianalisis berdasarkan distribusi terpilih. Penyimpangan tersebut diukur dari perbedaan antara nilai probabilitas setiap variant X menurut hitungan distribusi frekuensi teoritik (diharapkan) dan menurut hitungan dengan pendekatan empiris. Teknik pengujiannya yaitu menguji apakah ada perbedaan yang nyata antara data yang diamati dengan data berdasarkan hipotesis nol (H0) (Danapriatna dan Setiawan, 2005). Uji Chi-Square dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan distribusi yang telah dipilih dapat mewakili distribusi statistik sampel data yang dianalisis. Parameter Xh2 merupakan variabel acak. Parameter X2 yang digunakan dapat dihitung dengan rumus:
Xh 2 = Dimana : Xh2
n
(Oi − Ei )2
i =1
Ei
∑
.................................................... (12)
= parameter Chi-Square terhitung
G
= jumlah sub kelompok
Oi
= jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok i
Ei
= jumlah nilai teoritis pada sub kelompok i
(Suripin, 2004). Cara memberikan interpretasi terhadap Chi-Square adalah dengan menentukan df atau db (derajat kebebasan). Uji ini digunakan untuk data yang variabelnya tidak dipengaruhi oleh varibel lain dan diasumsikan bahwa sampel dipilih secara acak (Hartono, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2. Uji Smirnov-Kolmogorov Dalam statistika, uji smirnov-kolmogorov dipakai untuk membedakan dua buah sebaran data yaitu membedakan sebaran berdasarkan data hasil pengamatan sebenarnya dan populasi atau sampel yang diandaikan atau diharapkan. Nilainilai parameter populasi yang dipakai untuk menghitung frekuensi yang diharapkan atau frekuensi teoritik ditaksir berdasarkan nilai-nilai statistik sampel. Uji statistik ini dapat dirumuskan: Dn = max { F0(x)-SN(x)} ……………………………. (13) Dimana F0(x) menyatakan sebaran frekuensi kumulatif yaitu sebaran frekuensi teoritik berdasarkan H0. Untuk setiap harga x, F0(x) merupakan proporsi harapan yang nilainya sama atau lebih kecil dari x. SN(x) adalah sebaran frekuensi kumulatif dari suatu sampel sebesar N pengamatan. Uji ini menitikberatkan pada perbedaan antara nilai selisih yang terbesar (Wikipedia, 2006). Chakravart, dkk, (1967), menyatakan bahwa uji smirnov-kolmogorov dipergunakan untuk mengambil keputusan jika sampel tidak diperoleh dari distribusi spesifik. Tujuannya untuk menguji perbedaan distribusi kumulatif dari variabel kontinyu, sehingga merupakan test of goodness of fit. Uji smirnovkolmogorov (KS-tes) mencoba untuk memutuskan jika dua data berbeda secara signifikan. Menurut
Danapriatna dan Setiawan (2005), Uji smirnov-kolmogorov
digunakan untuk pengujian sampai dimana sebaran data tersebut berdasarkan hipotesis. Uji ini ditegaskan berdasarkan H0: data mengikuti distribusi yang ditetapkan, Ha: data tidak mengikuti distribusi yang ditetapkan.
Universitas Sumatera Utara
Intensitas Curah Hujan Perhitungan debit banjir dengan metode rasional memerlukan data intensitas curah hujan. Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada kurun waktu dimana air tersebut terkonsentrasi (Loebis, 1992). Intensitas curah hujan dinotasikan dengan huruf I dengan satuan mm/jam. Durasi adalah lamanya suatu kejadiaan hujan. Intensitas hujan yang tinggi pada umumnya berlangsung dengan durasi pendek dan meliputi daerah yang tidak sangat luas. Hujan yang meliputi daerah yang luas, jarang sekali dengan intensitas yang tinggi, tetapi dapat berlangsung dengan durasi cukup panjang. Kombinasi dari intensitas hujan yang tinggi dengan durasi yang panjang jarang terjadi, tetapi apabila terjadi berarti sejumlah besar volume air bagaikan ditumpahkan dari langit (Sudjarwadi, 1987). Kurva frekuensi intensitas-lamanya adalah kurva yang menunjukan persamaan dimana t sebagai absis dan I sebagai ordinat. Kurva ini digunakan untuk perhitungan limpasan (run off) dengan rumus rasional dan untuk perhitungan debit puncak dengan menggunakan intensitas curah hujan yang sebanding dengan waktu pengaliran curah hujan dari titik paling atas ke titik yang ditinjau di bagian hilir daerah pengaliran itu (Sosrodarsono dan Takeda, 2003). Analisis hubungan dua parameter hujan yang penting berupa intensitas dan durasi dapat dihubungkan secara statistik dengan suatu frekuensi kejadiannya. Penyajian secara grafik hubungan ini adalah berupa kurva Intensity-DurationFrequency (IDF) (Loebis, 1992).
Universitas Sumatera Utara
Sri Harto (1993), menyebutkan bahwa analisis IDF memerlukan analisis frekuensi dengan menggunakan seri data yang diperoleh dari rekaman hujan. Jika tidak tersedia waktu untuk mengamati besarnya intensitas curah hujan atau disebabkan oleh karena alatnya tidak ada, dapat ditempuh cara-cara empiris dengan mempergunakan rumus-rumus eksperimental seperti rumus Talbot, Mononobe, Sherman dan Ishgura. Menurut Loebis (1992), intensitas hujan (mm/jam) dapat diturunkan dari data curah hujan harian (mm) empiris menggunakan metode mononobe, intensitas curah hujan (I) dalam rumus rasional dapat dihitung berdasarkan rumus : R 24 I = 24 24 t
dimana: R
2/3
……………………………… (14)
= Curah hujan rancangan setempat (mm)
t
= Lamanya curah hujan (jam)
I
= Intensitas curah hujan (mm/jam)
Besar intensitas curah hujan tidak sama di segala tempat, hal ini dipengaruhi oleh topografi, durasi dan frekuensi di tempat atau lokasi yang bersangkut an. Ketiga hal ini dijadikan pertimbangan dalam membuat lengkung IDF (IDF curve = Intensity-Duration Frequency Curve). Lengkung IDF ini digunakan dalam metode rasional untuk menentukan intensitas curah hujan ratarata dari waktu konsentrasi yang dipilih (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Waktu Konsentrasi Menurut Suripin (2004), waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan oleh air hujan yang jatuh untuk mengalir dari titik terjauh sampai ke tempat keluaran DAS (titik kontrol) setelah tanah menjadi jenuh. Dalam hal ini diasumsikan bahwa jika durasi hujan sama dengan waktu konsentrasi, maka setiap bagian DAS secara serentak telah menyumbangkan aliran terhadap titik kontrol. Salah satu metode untuk memperkirakan waktu konsentrasi adalah rumus yang dikembangkan oleh Kirpich (1940) yang dapat ditulis sebagai berikut : tc= 3,97 xL0, 77 xS −0,385 ………………………………... (15) dimana: tc = Waktu konsentrasi dalam jam, L = Panjang sungai dalam Km, S = Kemiringan sungai dalam m/m.
Koefisien Limpasan Menurut (Eripin, 2005), koefisien limpasan adalah persentase jumlah air yang dapat melimpas melalui permukaan tanah dari keseluruhan air hujan yang jatuh pada suatu daerah. Semakin kedap suatu permukaan tanah, maka semakin tinggi nilai koefisien pengalirannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai koefisien limpasan adalah: kondisi tanah, laju infiltrasi, kemiringan lahan, tanaman penutup tanah dan intensitas hujan. Besarnya aliran permukaan dapat menjadi kecil, terlebih bila curah hujan tidak melebihi kapasitas infiltrasi. Selama hujan yang terjadi adalah kecil atau sedang, aliran permukaan hanya terjadi di daerah yang impermabel dan jenuh di dalam suatu DAS atau langsung jatuh di atas permukaan air. Apabila curah hujan
Universitas Sumatera Utara
yang jatuh jumlahnya lebih besar dari jumlah air yang dibutuhkan untuk evaporasi, intersepsi, infiltrasi, simpanan depresi dan cadangan depresi, maka barulah bisa terjadi aliran permukaan. Apabila hujan yang terjadi kecil, maka hampir semua curah hujan yang jatuh terintersepsi oleh vegetasi yang lebat (Kodoatie dan Sugiyanto, 2002). Koefisien aliran permukaan (C) merupakan pengaruh tata guna lahan dalam aliran permukaan, yakni bilangan yang menampilkan perbandingan antara besarnya aliran permukaan dan besarnya curah hujan. Angka koefisien aliran permukaan itu merupakan salah satu indikator untuk menentukan kondisi fisik suatu DAS. Nilai C berkisar antara 0 – 1. Nilai C = 0 menunjukkan bahwa semua air hujan terintersepsi dan terinfiltrasi ke dalam tanah, sebaliknya untuk nilai C = 1 menunjukkan bahwa air hujan mengalir sebagai aliran permukaan. Pada DAS yang baik harga C mendekati nol dan semakin rusak suatu DAS maka harga C semakin mendekati satu (Kodoatie dan Syarief, 2005). Nilai koefisien limpasan berdasarkan fungsi lahan menurut metode rasional disajikan pada Tabel 2. Pada tabel tersebut koefisien limpasan yang diberikan adalah menurut tata guna lahan dalam suatu daerah tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2. Koefisien limpasan berdasarkan fungsi lahan menurut Metode Rasional Tata guna lahan Pusat bisnis dan perbelanjaan Industri Perumahan kepadatan sedang – tinggi
Sawah Kolam Kebun campuran
Karakteristik Penuh 20 rumah /Ha 30 rumah /Ha 40 rumah /Ha 60 rumah /Ha Daerah datar -
Koefisien Limpasan 0,9 0,8 0,48 0,55 0,65 0,75 0,15 0,20 0,10
Sumber :Haryono, 1999.
Hassing (1995) berpendapat bahwa cara penentuan faktor C yang mengintegrasikan
nilai
yang
merepresentasikan
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi hubungan antara hujan dan aliran, yaitu topografi, permeabilitas tanah, penutup lahan, dan tata guna lahan. Nilai koefisien C merupakan kombinasi dari beberapa faktor yang dapat dihitung berdasarkan Tabel 3 dibawah ini. Tabel 3. Koefisien Aliran untuk Metode Rasional Koefisien aliran C=Ct+Cs+Cv Topografi
Ct
Tanah
Cs
Vegetasi
Cv
Datar
0,03
Pasir dan gravel
0,04
Hutan
0,03
Bergelombang
0,08
Lempung berpasir
0,08
Pertanian
0,11
Perbukitan
0,16
Lempung dan lanau
0,16
Padang rumput
0,21
Pegunungan
0,26
Lapisan batu
0,26
Perkebunan
0,40
Sumber: Hassing, 1995.
Universitas Sumatera Utara
Jika DAS terdiri dari berbagai macam penggunaan lahan dengan koefisien aliran permukaan yang berbeda, maka C yang dipakai adalah koefisien DAS yang dapat dihitung dengan persamaan berikut : n
∑C A CDAS =
i =1 n
i
i
∑A i =1
..................................................................... (16)
i
dimana : Ai = luas lahan dengan jenis penutup tanah i Ci = koefisien aliran permukaan jenis penutup tanah i n = jumlah jenis penutup lahan. (Suripin, 2004).
Metode Rasional Metode rasional adalah metode yang digunakan untuk memperkirakan debit puncak (peak discharge). Metode ini telah lama digunakan oleh para peneliti hingga saat ini. Ide yang melatarbelakangi metode rasional adalah jika curah hujan dengan intensitas I
terjadi secara terus-menerus, maka laju limpasan
langsung akan bertambah sampai mencapai waktu konsentrasi Tc. Waktu konsentrasi Tc tercapai ketika seluruh bagian DAS telah memberikan konstribusi aliran di outlet. Laju masukan pada sistem adalah hasil curah hujan dengan intensitas I pada DAS dengan luas A. Nilai perbandingan antara laju masukan dengan laju debit puncak (Qp) yang terjadi pada saat Tc dinyatakan sebagai run off coefficient (C) dengan nilai 0≤C≤1 (Chow, 1988). Pendugaan debit puncak dengan menggunakan metode rasional merupakan penyederhanaan besaranbesaran terhadap suatu proses penentuan aliran permukaan yang rumit akan tetapi metode tersebut dianggap akurat untuk menduga aliran permukaan dalam rancang
Universitas Sumatera Utara
bangun yang relatif murah, sederhana dan memberikan hasil yang dapat diterima (reasonable) (Gunawan, 1991). Rumus ini banyak digunakan untuk sungai-sungai biasa dengan daerah pengaliran yang luas dan juga untuk perencanaan drainase daerah pengaliran yang relatif sempit dan merupakan rumus tertua yang dan paling populer diantara rumus empiris lainnya. Bentuk umum rumus rasional ini adalah sebagai berikut : Q = 0,2778.C.I.A .................................................................... (17) dimana: Q
= Debit banjir maksimum (m3/dtk)
C
= Koefisien pengaliran/limpasan
I
= Intensitas curah hujan rata-rata (mm/jam)
A
= Daerah pengaliran (km2)
Rumus ini memiliki arti yakni, jika terjadi curah hujan selama 1 jam dengan intensitas 1 mm/jam dalam daerah seluas 1 km2, maka debit banjir sebesar 0,2778 m3/dtk dan melimpas selama 1 jam (Sosrodarsono dan Takeda, 2003). Menurut Wanielista (1990), beberapa asumsi dasar untuk menggunakan metode rasional adalah : 1.
Curah hujan terjadi dengan intensitas yang tetap dalam jangka waktu tertentu, setidaknya sama dengan waktu konsentrasi.
2.
Limpasan langsung mencapai maksimum ketika durasi hujan dengan intensitas tetap, sama dengan waktu konsentrasi.
3.
Koefisien run off dianggap tetap selama durasi hujan
4.
Luas DAS tidak berubah selama durasi hujan.
Universitas Sumatera Utara