BAB II
TINJAUAN TEORI A. Pengertian Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001). Sirosis hati adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan menahun pada hati; diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan regenerasi sel hati sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati. (Arif Mansjoer, FKUI, 1999) Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sirosis hati adalah penyakit hati kronis yang ditandai oleh adanya peradangan difus pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan regenerasi sel hati disertai nodul dan merupakan stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati.
B. Anatomi dan Fisiologi
Hati terletak di belakang tulang-tulang iga (kosta) dalam rongga abdomen daerah kanan atas. Hati memiliki berat sekitar 1500 gram dan dibagi menjadi empat lobus. Setiap lobus hati terbungkus oleh lapisan tipis jaringan ikat yang membentang ke dalam lobus itu sendiri dan membagi massa hati menjadi unit-unit yang lebih kecil, yang disebut lobulus. Sirkulasi darah ke dalam dan keluar hati sangat penting dalam penyelenggaraan fungsi hati. Darah yang mengalir ke dalam hati berasal dari dua sumber. Kurang lebih 75% suplai darah datang dari vena porta yang
mengalirkan
darah
yang
kaya akan
nutrien dari
traktus
gastrointestinal. Bagian lain suplai darah tersebut masuk ke dalam hati lewat arteri hepatika dan banyak mengandung oksigen. Cabang-cabang terminalis kedua pembuluh darah ini bersatu untuk membentuk capillary
beds bersama yang merupakan sinusoid hepatik. Dengan demikian, sel-sel hati (hepatosit) akan terendam oleh campuran darah vena dan arterial. Sinusoid mengosongkan isinya ke dalam venule yang berada pada bagian tengah masing-masing lobulus hepatik dan dinamakan vena sentralis. Vena sentralis bersatu membentuk vena hepatika yang merupakan drainase vena dari hati dan akan mengalirkan isinya ke dalam vena kava inferior di dekat diafragma. Jadi terdapat dua sumber yang mengalirkan darah masuk ke dalam hati dan hanya terdapat satu lintasan keluarnya. Disamping hepatosit, sel-sel fagositik yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial juga terdapat dalam hati. Organ lain yang mengandung sel-sel retikuloendotelial adalah limpa, sumsum tulang, nodus limfatikus (kelenjar limfe) dan paru-paru. Dalam hati, sel-sel ini dinamakan sel kupfer. Fungsi utama sel kupfer adalah memakan benda partikel (seperti bakteri) yang masuk ke dalam hati lewat darah portal. Fungsi metabolik hati: 1. Metabolisme glukosa Sesudah makan glukosa diambil dari darah vena portal oleh hati dan diubah menjadi glikogen yang disimpan dalam hepatosit. Selanjutnya glikogen diubah kembali menjadi glukosa dan jika diperlukan dilepaskan ke dalam aliran darah untuk mempertahankan kadar glukosa yang normal. Glukosa tambahan dapat disintesis oleh hati lewat proses yang dinamakan glukoneogenesis. Untuk proses ini
hati menggunakan asam-asam amino hasil pemecahan protein atau laktat yang diproduksi oleh otot yang bekerja. 2. Konversi amonia Penggunaan asam-asam amino untuk glukoneogenesis akan membentuk amonia sebagai hasil sampingan. Hati mengubah amonia yang dihasilkan oleh proses metabolik ini menjadi ureum. Amonia yang diproduksi oleh bakteri dalam intestinum juga akan dikeluarkan dari dalam darah portal untuk sintesis ureum. Dengan cara ini hati mengubah amonia yang merupakan toksin berbahaya menjadi ureum yaitu senyawa yang dapat diekskresikan ke dalam urin. 3. Metabolisme protein Organ ini mensintesis hampir seluruh plasma protein termasuk albumin, faktor-faktor pembekuan darah protein transport yang spesifik dan sebagian besar lipoprotein plasma. Vitamin K diperlukan hati untuk mensintesis protombin dan sebagian faktor pembekuan lainnya. Asam-asam amino berfungsi sebagai unsur pembangun bagi sintesis protein. 4. Metabolisme lemak Asam-asam lemak dapat dipecah untuk memproduksi energi dan benda keton. Benda keton merupakan senyawa- senyawa kecil yang dapat masuk ke dalam aliran darah dan menjadi sumber energi bagi otot serta jaringan tubuh lainnya. Pemecahan asam lemak menjadi bahan keton terutama terjadi ketika ketersediaan glukosa untuk
metabolisme sangat terbatas seperti pada kelaparan atau diabetes yang tidak terkontrol. 5. Penyimpanan vitamin dan zat besi 6. Metabolisme obat Metabolisme umumnya menghilangkan aktivitas obat tersebut meskipun pada sebagian kasus, aktivasi obat dapat terjadi. Salah satu lintasan
penting
(pengikatan)
obat
untuk
metabolisme
tersebut
dengan
obat
meliputi
sejumlah
konjugasi
senyawa,
untuk
membentuk substansi yang lebih larut. Hasil konjugasi tersebut dapat diekskresikan ke dalam feses atau urine seperti ekskresi bilirubin. 7. Pembentukan empedu Empedu dibentuk oleh hepatosit dan dikumpulkan dalam kanalikulus serta saluran empedu. Fungsi empedu adalah ekskretorik seperti ekskresi bilirubin dan sebagai pembantu proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak oleh garam-garam empedu. 8. Ekskresi bilirubin Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan hemoglobin oleh sel-sel pada sistem retikuloendotelial yang mencakup sel-sel kupfer dari hati. Hepatosit mengeluarkan bilirubin dari dalam darah dan melalui reaksi kimia mengubahnya lewat konjugasi menjadi asam glukuronat yang membuat bilirubin lebih dapat larut di dalam larutan yang encer. Bilirubin terkonjugasi disekresikan oleh hepatosit
ke dalam kanalikulus empedu didekatnya dan akhirnya dibawa dalam empedu ke duodenum. Konsentrasi bilirubin dalam darah dapat meningkat jika terdapat penyakit hati, bila aliran empedu terhalang atau bila terjadi penghancuran sel-sel darah merah yang berlebihan. Pada obstruksi saluran empedu, bilirubin tidak memasuki intestinum dan sebagai akibatnya, urobilinogen tidak terdapat dalam urin. ( Suzanne C Smeltzer, 2001 ) C. Etiologi Menurut FKUI, 1999, penyebab sirosis hepatis antara lain : 1. Malnutrisi 2. Alkoholisme 3. Virus hepatitis 4. Kegagalan jantung yang menyebabkan bendungan vena hepatica 5. Hemokromatosis (kelebihan zat besi) 6. Penyakit Wilson (penumpukan tembaga yang berlebihan bawaan) 7. Zat toksik Ada 3 tipe sirosis atau pembentukan parut dalam hati : 1. Sirosis portal laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis. 2. Sirosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di sekitar saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis). D. Patofisiologi Meskipun ada beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi sirosis, konsumsi minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang utama. Sirosis terjadi dengan frekuensi paling tinggi pada peminum minuman keras. Meskipun defisiensi gizi dengan penurunan asupan protein turut menimbulkan kerusakan hati pada sirosis, namun asupan alkohol yang berlebihan merupakan faktor penyebab utama pada perlemakan hati dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun demikian, sirosis juga pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasan minum dan pada individu yang dietnya normal tapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi. Faktor lainnya dapat memainkan peranan, termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon tetraklorida, naftalen, terklorinasi, arsen atau fosfor) atau infeksi skistosomiastis yang menular. Jumlah laki-laki penderita sirosis adalah dua kali lebih banyak dari pada wanita dan mayoritas pasien sirosis berusia 40 – 60 tahun. Sirosis laennec merupakan penyakit yang ditandai oleh nekrosis yang melibatkan sel-sel hati dan kadang-kadang berulang selama perjalanan penyakit sel-sel hati yang dihancurkan itu secara berangsurangsur digantikan oleh jaringan parut yang melampaui jumlah jaringan
hati yang masih berfungsi. Pulau-pulau jaringan normal yang masih tersisa dan jaringan hati hasil regenerasi dapat menonjol dari bagian-bagian yang berkonstriksi sehingga hati yang sirotik memperlihatkan gambaran mirip paku sol sepatu berkepala besar (hobnail appearance) yang khas. Sirosis hepatis biasanya memiliki awitan yang insidus dan perjalanan penyakit yang sangat panjang sehingga kadang-kadang melewati rentang waktu 30 tahun/lebih. ( Suzanne C Smeltzer, 2001 ) E. Manifestasi Klinis Penyakit ini mencakup gejala ikterus dan febris yang intermiten. 1. Pembesaran hati Pada awal perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan selselnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol (noduler). 2. Obstruksi Portal dan Asites Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua
darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Karena hati yang
sirotik tidak
memungkinkan pelintasan darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis. Dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita dispepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsurangsur mengalami penurunan. Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring
telangiektasis,
atau
dilatasi
arteri
superfisial
menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh. 3. Varises Gastrointestinal Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh portal ke dalam pernbuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi
abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah diseluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi pembuluh darah ini akan membentuk varises atau hemoroid tergantung pada lokasinya. Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Kurang lebih 25% pasien akan mengalami hematemesis ringan, sisanya akan mengalami hemoragi masif dari ruptur varises pada lambung dan esofagus. 4. Edema Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium. 5. Defisiensi Vitamin dan Anemia Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yang tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya
sebagai fenomena hemoragik yang berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi hati turut menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari. 6. Kemunduran Mental Manifestasi klinik lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku umum pasien, kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara. ( Suzanne C Smeltzer, 2001 ) F. Penatalaksanaan 1. Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang baik cukup dilakukan kontrol yang teratur, istirahat yang cukup, susunan diet tinggi kalori tinggi protein, lemak secukupnya. 2. Pasien sirosis dengan penyebab yang diketahui seperti : a. Alkohol
dan
obat-obatan
dianjurkan
menghentikan
penggunaannya. Alkohol akan mengurangi pemasukan protein ke dalam tubuh. Dengan diet tinggi kalori (300 kalori), kandungan protein makanan sekitar 70-90 gr sehari untuk menghambat
perkembangan kolagenik dapat dicoba dengan pemberian D Penicilamine dan Cochicine. b. Hemokromatosis Dihentikan pemakaian preparat yang mengandung besi/ terapi kelasi (desferioxamine). Dilakukan vena seksi 2x seminggu sebanyak 500cc selama setahun. c. Pada hepatitis kronik autoimun diberikan kortikosteroid.
3. Therapi terhadap komplikasi yang timbul a. Asites Diberikan diet rendah garam 0,5 gr/hari + total cairan 1,5 Lt/hari. Spironolakton (diuretik bekerja pada tubulus distal) dimulai dengan dosis awal 4x25 mg/hari, dinaikkan sampai total dosis 800 mg sehari, efek optimal terjadi setelah pemberian 3 hari. Idealnya pengurangan berat badan dengan pemberian diuretik ini adalah 1 kg/hari. Bila perlu dikombinasikan dengan furosemid (bekerja pada tubulus proksimal). b. Perdarahan varises esofagus (hematemesis, hematemesis dengan melena atau melena saja) 1) Lakukan aspirasi cairan lambung yang berisi darah untuk mengetahui apakah perdarahan sudah berhenti atau masih berlangsung.
2) Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik di bawah 100 mmHg, nadi di atas 100 x/menit atau Hb di bawah 99% dilakukan pemberian IVFD dengan pemberian dextrosa/ salin dan tranfusi darah secukupnya. 3) Diberikan vasopresin 2 amp 0,1 gr dalam 500 cc D5% atau normal salin pemberian selama 4 jam dapat diulang 3 kali. c. Ensefalopati 1) Dilakukan koreksi faktor pencetus seperti pemberian KCL pada hipokalemia. 2) Mengurangi pemasukan protein makanan dengan memberi diet sesuai. 3) Aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami perdarahan pada varises. 4) Pemberian antibiotik campisilin/ sefalosporin pada keadaan infeksi sistemik. 5) Transplantasi hati d. Peritonitis bakterial spontan Diberikan antibiotik pilihan seperti cefotaksim, amoxicilin, aminoglikosida. e. Sindrom hepatorenal/ nefropati hepatik Keseimbangan cairan dan garam diatur dengan ketat.
G. Komplikasi
1. Hipertensi portal 2. Coma/ ensefalopaty hepatikum 3. Hepatoma H. Pengkajian fokus 1. Demografi a. Usia : diatas 30 tahun b. Laki-laki beresiko lebih besar dari pada perempuan c. Pekerjaan :riwayat terpapar toxin 2. Riwayat Kesehatan a. Riwayat hepatitis kronis b. Penyakit gangguan metabolisme:DM c. Obstruksi kronis ductus coleducus d. Gagal jantung kongestif berat dan kronis e. Penyakit autoimun f. Riwayat malnutrisi kronis terutama KEP 3. Pola Fungsional a. Aktifitas / istirahat Gejala : Kelemahan, kelelahan. Tanda : Letargi, penurunan masa otot / tonus.
b. Sirkulasi Gejala :Riwayat perikarditis, penyakit jantung rematik, kanker (malfungsi hati menimbulkan gagal hati), disritmia, distensi vena abdomen. c. Eliminasi Gejala : Flatus. Tanda : Distensi abdomen (hepato/splenomegali, ascites), penurunan bising usus, feses warna tanah liat, melena, urine gelap dan pekat. d. Makanan / cairan Gejala : Anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/ tidak dapat mencerna, mual, muntah. Tanda : Penurunan berat badan/ peningkatan cairan, kulit kering, turgor buruk, edema umum pada jaringan, ikterik, nafas berbau, perdarahan gusi. e. Neurosensori Gejala : Orang terdekat dapat melaporkan perubahan kepribadian, penurunan mental. Tanda : Perubahan mental bicara lambat / tak jelas. f. Nyeri / kenyamanan Gejala : Nyeri tekan abdomen/ nyeri kuadran kanan atas, pruritus. Tanda : Perilaku berhati-hati/ distraksi, fokus pada diri sendiri.
g. Pernafasan Gejala
: Dispnea.
Tanda : Takipnea, pernafasan dangkal, hipoksia, bunyi nafas tambahan, ekspansi paru terbatas (asites). h. Keamanan Gejala
: Pruritus.
Tanda : Demam (lebih umum pada sirosis alkoholik), ikterik, ekimosis, petekie. i. Seksualitas Gejala : Gangguan menstruasi, impoten. Tanda : Atrofi testis, ginekomastia. ( Marilyn E Doenges, 1999, hal 544-545 ) 4. Pemeriksaan Fisik a. Tampak lemah b. Peningkatan suhu, peningkatan tekanan darah (bila ada kelebihan cairan) c. Sclera ikterik, konjungtiva anemis d. Distensi vena jugularis di leher e. Dada : 1) Ginekomastia (pembesaran payudara pada pria) 2) Penurunan ekspansi paru 3) Penggunaan otot-otot asesoris pernapasan
4) Disritmia, gallop 5) Suara abnormal paru (rales) f. Abdomen 1) Perut membuncit, peningkatan lingkar abdomen 2) Penurunan bunyi usus 3) Ascites/ tegang pada perut kanan atas, hati teraba keras 4) Nyeri tekan ulu hati g. Urogenital 1) Atropi testis 2) Hemoroid : pelebaran vena sekitar rektum h. Integumen Ikterus, palmar eritema, spider naevi, alopesia, ekimosis i. Ekstremitas Edema, penurunan kekuatan otot 5. Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan laboratorium 1) Darah lengkap Hb/ Ht dan SDM mungkin menurun karena perdarahan. Kerusakan SDM dan anemia terlihat dengan hipersplenisme dan defisiensi besi. Leukopenia mungkin ada sebagai akibat hipersplenisme. 2) Kenaikan kadar SGOT, SGPT 3) Albumin serum menurun
4) Pemeriksaan kadar elektrolit: hipokalemia 5) Pemanjangan masa protombin 6) Glukosa serum : hipoglikemi 7) Fibrinogen menurun 8) BUN meningkat b. Pemeriksaan dignostik 1) Radiologi Dapat dilihat adanya varises esofagus untuk konfirmasi hipertensi portal. 2) Esofagoskopi Dapat menunjukkan adanya varises esofagus. 3) USG 4) Angiografi Untuk mengukur tekanan vena porta. 5) Skan/ biopsi hati Mendeteksi infiltrat lemak, fibrosis, kerusakan jaringan hati. 6) Partografi transhepatik perkutaneus Memperlihatkan sirkulasi sistem vena portal
I. PATHWAY KEPERAWATAN Alkoholism
Gizi
Perlemakan
Kegagalan Hasilkan
Peningkatan kerja
Kelainan Metabolik DM Glukoneogenesis
Cholelitiasi Bendungan Empedu >> Desak Lobus
Kerja Hepar
Asam Lemak Bebas Kerja Hepar
Kerusakan sel Hepar Hepar Nekrosis Disfungsi Hepar Sirosis Hepar M t b li
Gangguan / b b i/ i t
gg. metabolisme Lemak & Karbohitrat Metabolis Sintesa me nutrisi Energi < tubuh Penuruna n Energi
Nutrisi tubuh tidak Keletihan, hi kelemaha
Intolerans i aktivitas
Liver Fibrosis
gg. metabolisme Protein Sintesis albumin TO
gg. absorbsi Absorbsi Vit K Globulin Fibrinoge n
Cairan peritoneu Ascites
Penekana Penekana n n Lambung terasa Ekspansi Paru penuh Mual, Muntah Intake tidak adekuat Pola Nafas Nutrisi < dari kebutuhan tidak efektif tubuh
Risiko Pendarahan
gg. metabolisme empedu Metabolisme bilirubin Penumpukan garam empedu Pruritus Gangguan integritas Kelebihan Volume Cairan
Liver Failure
Aliran darah vena porta terganggu
Fungsi sel kupfer
Tek. Vena porta
Pertahanan tubuh
Tek. Hidrostatik Perpindahan cairan ke Edema
Aliran ke pembuluh darah gastrointestin l di f Varises esofagus Risiko pendarahan
Risiko infeksi
Kemampuan metabolisme amoniak j di Amoniak dalam darah Kemunduran Mental, delirium, Bi
Risiko perubahan
J. Diagnosa Keperawatan 1. Pola nafas tak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, asites. 2. Resiko perdarahan berhubungan dengan gangguan metabolisme protein 3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan ascites, edema. 4.
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake inadekuat.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan pertahanan tubuh. 6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik. 7. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu pada kulit. 8. Resiko perubahan proses pikir berhubungan dengan peningkatan amonia dalam darah. K. Fokus Intervensi dan Rasional 1. Pola nafas tak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, asites. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, pola nafas klien menjadi efektif. Kriteria hasil : a. Melaporkan pengurangan gejala sesak napas.. b. Memperlihatkan frekuensi respirasi yang normal (12-18/menit) tanpa terdengarnya suara pernapasan tambahan. c. Memperlihatkan pengembangan toraks yang penuh tanpa gejala pernapasan dangkal. d. Tidak mengalami gejala sianosis. Intervensi :
1) Awasi frekuensi, kedalaman dan upaya pernapasan. Rasional : pernapasan dangkal cepat/ dispnea mungkin ada hubungan dengan akumulasi cairan dalam abdomen. 2) Pertahankan kepala tempat tidur tinggi, posisi miring. Rasional: memudahkan pernapasan dengan menurunkan tekanan pada diafragma . 3) Ubah posisi dengan sering, dorong latihan nafas dalam, dan batuk. Rasional: membantu ekspansi paru dan memobilisasi sekret. 4) Berikan tambahan oksigen sesuai indikasi. Rasional: untuk mencegah hipoksia. 2. Resiko perdarahan berhubungan dengan gangguan metabolisme protein Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, tidak terjadi perdarahan. Kriteria hasil : a. Mempertahankan homeostasis dengan tanpa perdarahan b. Menunjukan perilaku penurunan resiko perdarahan. Intervensi : 1) Kaji adanya tanda-tanda dan gejala perdarahan gastrointestinal. Rasional : traktus GI paling biasa untuk sumber perdarahan sehubungan dengan mukosa yang mudah rusak dan gangguan dalam homeostasis karena sirosis. 2) Observasi adanya ptekie, ekimosis, perdarahan dari satu atau lebih sumber.
Rasional: adanya gangguan faktor pembekuan. 3) Awasi nadi, TD, dan CVP bila ada. Rasional: peningkatan nadi dengan penurunan TD dan CVP dapat menunjukkan kehilangan volume darah sirkulasi, memerlukan evaluasi lanjut. 4) Awasi Hb /Ht dan faktor pembekuan. Rasional: indikator anemia, perdarahan aktif. 5) Catat perubahan mental/ tingkat kesadaran Rasional: perubahan dapat menunjukkan penurunan perfusi jaringan serebral sekunder terhadap hipovolemia, hipoksemia. 3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan ascites, edema. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, terjadi balance cairan. Kriteria hasil : a. Menunjukkan volume cairan stabil dengan keseimbangan pemasukan dan pengeluaran. b. Berat badan stabil c. Tanda vital dalam rentang normal dan tak ada edema. Intervensi : 1) Ukur masukan dan haluaran, catat keseimbangan positif Rasional : menunjukkan status volume sirkulasi. 2) Awasi TD dan CVP.
Rasional: peningkatan TD biasanya berhubungan dengan kelebihan volume cairan. 3) Auskultasi paru, catat penurunan/ tak adanya bunyi napas dan terjadinya bunyi tambahan. Rasional:
peningkatan
kongesti
pulmonal
dapat
mengakibatkan
konsolidasi, gangguan pertukaran gas, dan komplikasi. 4) Dorong untuk tirah baring bila ada asites Rasional: dapat meningkatkan posisi rekumben untuk diuresis. 5) Awasi albumin serum dan elektrolit Rasional: penurunan albumin serum mempengaruhi tekanan osmotik koloid plasma, mengakibatkan edema. 4.
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake inadekuat. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kebutuhan nutrisi tubuh terpenuhi. Kriteria hasil : a. menunjukan peningkatan berat badan secara progresif b. tak mengalami tanda malnutrisi lebih lanjut. Intervensi : 1) Ukur masukan diet harian dengan jumlah kalori Rasional : memberikan informasi tentang kebutuhan pemasukan 2) Timbang berat badan sesuai indikasi Rasional: mungkin sulit untuk menggunakan berat badan sebagai indikator langsung status nutrisi karena ada gambaran edema/ asites.
3) Berikan makan sedikit tapi sering. Rasional: buruknya toleransi terhadap makanan banyak mungkin berhubungan dengan peningkatan tekanan intraabdomen/ asites. 4) Berikan perawatan mulut sering dan sebelum makan. Rasional: pasien cenderung mengalami luka atau perdarahan gusi dan rasa tak enak pada mulut dimana menambah anoreksia. 5) Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh glukosa serum, albumin, total protein dan amonia Rasional: glukosa menurun karena gangguan glukogenesis, penurunan simpanan glikogen, atau masukan tak adekuat. 5. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan pertahanan tubuh. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam tidak terjadi infeksi. Kriteria hasil : a. tanda-tanda vital dalam batas normal b. menunjukkan teknik melakukan perubahan pola hidup untuk menghindari infeksi ulang. Intervensi : 1) Kaji tanda vital dengan sering Rasional : tanda adanya syok septik 2) Lakukan teknik isolasi untuk infeksi, terutama cuci tangan efektif Rasional: mencegah transmisi penyakit virus ke orang lain. 3) Awasi / batasi pengunjung sesuai indikasi.
Rasional: pasien terpajan terhadap proses infeksi potensial resiko komplikasi sekunder. 4) Berikan obat sesuai indikasi : antibiotik Rasional: pengobatan untuk mencegah / membatasi infeksi sekunder 6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam klien toleran terhadap aktivitas Kriteria hasil : a. Melaporkan peningkatan kekuatan dan kesehatan pasien. b. Merencanakan aktivitas untuk memberikan kesempatan istirahat yang cukup. c. Meningkatkan aktivitas dan latihan bersamaan dengan bertambahnya kekuatan. Intervensi : 1) Tawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP). Rasional: Memberikan kalori bagi tenaga dan protein bagi proses penyembuhan 2) Berikan suplemen vitamin (A, B kompleks, C dan K) Rasional: Memberikan nutrien tambahan 3) Motivasi pasien untuk melakukan latihan
yang diselingi istirahat
Rasional: Menghemat tenaga pasien sambil mendorong pasien untuk melakukan latihan dalam batas toleransi pasien
4) Motivasi dan bantu pasien untuk melakukan latihan dengan periode waktu yang ditingkatkan secara bertahap Rasional: Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya diri 7. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu pada kulit. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam integritas kulit terjaga Kriteria hasil : a. Memperlihatkan turgor kulit yang normal pada ekstremitas dan batang tubuh. b. Tidak memperlihatkan luka pada kulit. c. Memperlihatkan jaringan yang normal tanpa gejala eritema, perubahan warna atau peningkatan suhu di daerah tonjolan tulang. Intervensi : 1) Batasi natrium seperti yang diresepkan. Rasional: Meminimalkan pembentukan edema. 2) Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit. Rasional: Jaringan dan kulit yang edematus mengganggu suplai nutrien dan sangat rentan terhadap tekanan serta trauma 3) Balik dan ubah posisi pasien dengan sering. Rasional: Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan mobilisasi edema
4) Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematus. Rasional: Meningkatkan mobilisasi edema 5) Letakkan bantalan busa yang kecil dibawah tumit, dan tonjolan tulang lain. Rasional: Melindungi tonjolan tulang dan meminimalkan trauma jika dilakukan dengan benar. 8. Resiko perubahan proses pikir berhubungan dengan peningkatan amonia dalam darah. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam tidak terjadi perubahan proses pikir. Kriteria hasil :
a. Mempertahankan tingkat mental / orientasi kenyataan. b. Menunjukkan perilaku/ pola hidup untuk mencegah/ meminimalkan perubahan mental. Intervensi : 1) Observasi perubahan perilaku dan mental. Rasional: karena merupakan fluktuasi alami dari koma hepatik. 2) Konsul pada orang terdekat tentang perilaku umum dan mental pasien. Rasional: memberikan dasar untuk perbandingan dengan status saat ini. 3) Pertahankan tirah baring, bantu aktivitas perawatan diri Rasional: mencegah kelelahan, meningkatkan penyembuhan, menurunkan kebutuhan metabolik hati.
4) Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh : amonia, elektrolit, pH, BUN, glukosa dan darah lengkap Rasional: peningkatan kadar amonia, hipokalemia, alkalosis metabolik, hipoglikemia, anemia, dan infeksi dapat mencetuskan terjadinya koma hepatik