TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA (Telaah terhadap Fatwa MUI dalam Perayaan Natal Bersama)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S.1) dalam Fakultas Syari’ah dan Hukum
Disusun oleh : NUR HAFIDHOTUN NI’MAH NIM : 131410000111
FAKULTAS SYARI’AH DANHUKUM UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ JEPARA 2015
i
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN1 I. Konsonan tunggal HURUF NAMA ARAB Alif ا ba’ ب Ta’ ت ث Ss’ Jim ج Ha’ ح Kha’ خ Dal د z\al ذ Ra’ ر ز Zai Sin س Syin ش Sad ص Dad ض Ta’ ط Za’ ظ ‘ain ع غ Gain Fa’ ف Qaf ق Kaf ك Lam ل Mim م Nun ن ه Ha’ Wawu و
HURUF LATIN Bb Tt Ŝŝ Jj Ḥḥ Khkh Dd Żż Rr Zz Ss Sysy Ṣṣ Ḍḍ Ṭṭ Ẓẓ ‘ Gg Ff Qq Kk Ll Mm Nn Hh Ww
ء
Hamzah
Tidak dilmbangkan atau ‘
ي
Ya’
Yy
KETERANGAN Tidak dilambangkan S dengan titik di atas H dengan satu titik di bawah Z dengan satu titik di atas S dengan satu titik di bawah D dengan satu titik di bawah T dengan satu titik di bawah Z dengan satu titik di bawah Koma terbalik Apostrof, tetapi lambang ini tidak dipergunakan untuk hamzah di awal kata -
II. Konsonan Rangkap 1
Pedoman transliterasi Arab-Latin berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri P&K RI nomor 158/1987 dan nomor : 0543 b/U/1987, tanggal 22 Januari 1988 (IAIN Walisongo, 2012-2013 : 259-261)
ii
Konsonan rangkap, termasuk tanda syaddah, ditulis rangkap,( = ربكrabbaka, = الحدal-hadda) III. Vokal 1. Vokal pendek (fathah = a, kasroh = i, dan dammah = u) Contoh = يضربyadribu 2. Vokal panjang (maddah), ditulis dengan tanda caron ( - ) Contoh : ( قالقيل يقولqάla, yaqùlu, qila) 3. Vokal rangkap a. Fathah + ya’ mati ditulis ai ( )ايcontoh : = كيفkaifa b. Fathah + wawu mati ditulis au ( )اوcontoh : = حولhaula c. IV. Ta’marbutah ( )ةdi akhir kata 1. Dibaca mati (sukun) ditulis h, contoh : = طلحهtalhah, =التوبهal-taubah, kecuali kata arab yang sudah terserap menjadi bahasa Indonesia, seperti : zakat, tobat, salat dsb. 2. Diikuti kata sandang al ()الة, dibaca terpisah atau dimatikan, ditulis h. Contoh : = روضةاالطفالraudah al-atfal. Jika dibaca menjadi satu dan dihidupkan ditulis ṭ contoh : روضةاالطفال, ditulis raudatulatfal. V. Kata sandang alif + lam ()ال 1. Kata sandang ( )الdiikutu huruf syamsiyah ditulis sesuai dengan bunyinya, namun dipisahkan dengan tanda (-). Contoh : = الرحيمar-Rahimu, = السيدas-sayyid, = الشمسas-syamsu 2. Kata sandang ( )الdiikuti huruf qamariyah ditulis al- dan dipisahkan tanda (-) dengan huruf berikutnya. Contoh : = الملكal-Maliku, الكافرونal- Kafirun, = القلمal-qalamu VI. Kata Dalam Rangkaian Frasa atau Kalimat 1. Jika rangkaian kata tidak mengubah bacaan, ditulis terpisah/kata per-kata atau 2. Jika rangkaian kata mengubah bacaan menjadi satu, ditulis menurut bunyi/pengucapannya, atau dipisah dalam rangkaian tersebut. Contoh : خيرالراحمينditulis khair al-rahimin, atau Khairurrahimin
iii
PERNYATAAN
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, saya menyatakan bahwa apa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Jepara, 16 September 2015 Penulis
Nur Hafidhotun Ni’mah NIM : 1211046
vi
MOTTO
ْ اَيْ اِنﱠ َم#ت ت ِ ااالَ ْع َما ُل بِالنﱢيَا ِ ب ِم ْن نِيَا ِ َِالبُ ﱠدلِلطﱠال Artinya : “setiap orang yang menuntut ilmu harus punya niat, karena sahnya amal dengan niat”1
1
H. Taufiqul Hakim, Hidayatul Muta’allim Metode Praktis Membentuk Manusia Yang Berakhlak Mulia, (Jepara : PP Darul Falah Bangsri, 2012), cet. 1, hlm. 2.
vii
PERSEMBAHAN Penulis menyadari bahwa dalam menyusun penelitian ini tidak akan bearti tanpa adanya dukungan, bantuan, dan kerja sama antara pihak-pihak yang berperan dalam penyusunan skripsi ini. Skripsi ini penulis persembahkan untuk orang-orang yang dengan ikhlas telah berkorban dan membantu penulis dalam mengarungi perjalanan panjang dalam menggapai cita-cita: Ayahanda Abdurrohim dan Ibunda Siti Nafi’ah yang senantiasa membimbingku, memberiku segalanya selama menempuh pendidikan, mengasuhku dengan penuh ketulusan, serta pengorbanan beliau yang tak ternilai dengan apapun dan tak henti-hentinya beliau memberiku motifasi dan berdo’a untuk kesuksesanku. Buat kakanda Sujiyanto, S.Sos.I yang selalu memberikan senyum kebahgiaan dalam setiap hembusan nafasku, dan selalu memberikan motifasi dan mensuport agar aku tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Buat adinda Hurriyatul Ummah dan adinda Mustaghfirotun Ni’mah yang selalu memberikan keceriaan dalam indahnya kebersamaan keluarga. Buat mbakku yang paling cantik Evi Munita Sandarwati, S.Sos.I yang selalu setia menemaniku dalam menyelesaikan skripsi ini. Almamater Universitas Islam Nahdlatul Ulama’ (UNISNU) Jepara khususnya Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum yang telah mendidik mengarahkan dan membimbingku, terima kasih dan semoga tetap sukses selalu kedepannya. Kepada keluarga besar Fak. Syari’ah dan teman-teman seperjuangan Fakultas Syari’ah UNISNU Jepara angkatan 2011, serta teman-teman organisasi semoga kita menjadi keluarga, amin. Kepada sahabat-sahabatku khususnya sahabati Riadhiati Kafidhoh, Ela Rofiana, Yuni Nur Sai’dah, Nur Hidayah dan semua sahabat-sahabatku yang tak mampu aku sebutkan satu persatu, kalian yang selalu viii
memberikusemangat dan mensuport dikala suka maupun duka. Indahnya kebersamaan kita yang menyatu disetiap langkah kakiku menjadi sebuah isnpirasiku untuk menggapai sejuta mimpi. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini
ix
KATA PENGANTAR Dengan nama Allah SWT Sang Pencipta Alam semesta. Segala Puji Syukur tetap terhaturkan kepada-Nya, yang telah memberikan kekuatan, kesehatan serta telah melimpahkan Hidayah serta Inayah-Nya sehingga penulis mampu melangkah sehingga dapat menyelesaikan program sarjana strata satu (SI) Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UNISNU Jepara dengan tepat waktu tanpa ada salah satu halangan apapun. Shalawatullah
Wasalamuhusemoga
senantiasa
tercurahkan
kepada
revolusioner Islam penggagas kedamainan dan kebenaran serta kebajikan yaitu baginda Nabi Muhammad saw yang telah memberikan satu inspirasi dalam keterasikan diri serta mampu mengaktualisasikan Rahmatan Lil ‘Alaminsebagai pesan dan cita-cita suci Islam. Pada kesempatan ini, tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhtarom, HM, selaku Rektor UNISNU Jepara. 2. Bapak Drs. KH. Ahmad Bahrowi, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UNISNU Jepara dan selaku sebagai Dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan fikiran untuk memberikan bimbingan, pengarahan,dan memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini. 3. BapakHudi S.H.I., M.Si, selaku Ka. Prodi Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UNISNU Jepara. 4. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah UNISNU Jepara yang telah mendidik dan mengarahkan kepada penulis dalam menekuni Ilmu-ilmu ke-Islam-an. 5. Segenap staf akademika Fakultas Syari’ah serta staf perpustakaan UNISNU Jepara yang turut pula membantu penulis sehingga menjadikan lancarnya penulisan skripsi ini. 6. Sahabat-sahabat senasib seperjuangan yang memberikan semangat serta dukungannya dalam penyusunan skripsi ini. Dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih semuanya.
x
Penulis tidak dapat membalas budi baik mereka, kecuali panjatan do’a semoga Allah SWT membalas budi baik mereka dengan pahala yang berlipat ganda di sisis-Nya, amin ya rabbal alamiin. Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna seperti yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan waktu dalam penelitian dan kemampuan penulis yang kurang maksimal. Untuk itulah, penulis mengharap kritik dan saran yang konstruktif guna perbaikan dan penyempurnaan dalam penyusunan skripsi ini. Penulis berharap semoga tulisan yang sederhana ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca yang budiman
Jepara, 16 September 2015 Penulis
Nur Hafidhotun Ni’mah NIM: 1211046
xi
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA (Telaah Terhadap Fatwa MUI Dalam Perayaan Natal Bersama)”penelitian ini termasuk kategori penelitian kepustakaan (Library Reseach) dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif. Tujuandari penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap toleransi antar umat beragama di Indonesia serta hukum perayaan Natal bersama menurut Fatwa MUI. Adapun hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sikap toleransi yang berarti saling menghormati, menghargai dan membiarkan pemeluk agama untuk melaksanakan ibadah menurut keyakinannya, tanpa adanya sikap saling mengganggu atau memaksakan ajaran agamanya tersebut dalam perspektif hukum Islam sangat dianjurkan. Diharamkannya perayaan Natal bersama bagi Umat Islam dalam fatwa MUI bukan berarti harus menghilangkan sikap tolensi antar umat beragama di Indonesia. Namun, fatwa inidikeluarkanuntukmemberikanbatasan-batasanUmat Muslim dalambersikaptoleransidengantetapmemperhatikankaidahkaidahdalamakidahIslamiyahdimanasikaptoleransidalamberagamahanyase batasmenghargaidanmenghormati agama lain danbukandenganikutsertaterlibatdalamperibadatan Agama lain ataumembenarkansepenuhnya (meng-imani) kebenaranajaran Agama lain.
Kata Kunci
: Hukum Islam, Toleransi, Fatwa MUI, Perayaan Natal
xii
DAFTAR ISI Halaman Judul ............................................................................................ i Transliterasi .................................................................................................. ii Halaman Pengesahan .................................................................................. iv Halaman Nota Pembimbing ....................................................................... v Halaman Pernyataan ................................................................................... vi Halaman Motto ........................................................................................... vii Halaman Persembahan................................................................................ viii Halaman Kata Pengantar ........................................................................... x Halaman Abstrak ........................................................................................ xii Halaman Daftar Isi ..................................................................................... xiii BAB I
: Pendahuluan. A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1 B. Penegasan Istilah .................................................................... 7 C. Rumusan Masalah ................................................................. 8 D. Tujuan Penelitian.................................................................... 8 E. Manfaat Penelitian .................................................................. .8 F. Telaah Pustaka ....................................................................... 9 G. Metodologi Penelitian ……………………………………… 11 H. Sistematika Penulisan Skripsi ……………………………… 12 xiii
BAB II
: TINJAUAN UMUM TENTANG TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA A. Pengertian Toleransi ............................................................... 15 B. Prinsip-prinsip Toleransi Antar Umat Beragama ................... 19 C. Tujuan Toleransi Antar Umat Beragama ............................... 25 D. Manfaat Toleransi Antar Umat Beragama ............................. 27
BAB III : GAMBARAN UMUM PENETAPAN KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA A. Fatwa Majelis Ulama Indonesia ............................................ 29 B. Lintasan Sejarah Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia ............................................................................................... 32 C. Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia .......... 41 D. Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam Perayaan Natal Bersama ....................................................................... 46
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pandangan Hukum Islam terhadap Toleransi Antar Umat Beragama di Indonesia ........................................................... 54 B. Analisis Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam Perayaan Natal Bersama ......................................................... 75
BAB V
: PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................91 xiv
B. Saran-saran.............................................................................92 C. Penutup ..................................................................................93 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN LAMPIRAN-LAMPIRAN
xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia pertama diciptakan oleh Allah SWT adalah Nabi Adam As, sebagai Abu Basyar dengan Siti Hawa sebagai Ummu al-Basyar. Kemudian keturunan Nabi Adam itu sebagai ummat yang satu (Ummatun wahidah).1Substansi ayat ini mengajarkan agar manusia hidup dan berada dalam kebersamaan. Dalam kebersamaan ini manusia berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang direalisasikan dengan berbagai macam aktifitas serta bermacam-macam hubungan antara sesamanya. Kebersamaan merupakan sarana atau ruang gerak bagi manusia dalam memenuhi tuntutan kebutuhan hidupnya. Tanpa kebersamaan manusia tidak mampu hidup sendiri. Ketergantungan inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk sosial, oleh Aristoteles disebutnya sebagai zoon politicon.2 Persaudaraan yang diperintahkan dalam al-Qur’an tidak hanya tertuju kepada sesama muslim, namun juga kepada sesama warga masyarakat yang non muslim. Istilah yang digunakan dalam al-Qur’an untuk menyebut persaudaraan dengan yang berlainan akidah berbeda
1
Departemen Agama RI,Al-Qur’an danTerjemahnya, (Bandung : CV PenerbitDiponegoro, 2003),hlm. 25. 2 Haji Said Agil Husin Al Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta : Ciputat Press, 2003), hlm. 1.
1
2
dengan istilah yang digunakan untuk menunjuk persaudaraan yang seakidah. Untuk memudahkan pemahaman, penulis menggunakan sebuah istilah yang telah populer digunakan masyarakat untuk menunjuk persaudaraan dengan yang berbeda akidah yaitu toleransi. Dalam kamus besar Indonesia kata ini diartikan dengan bersikap atau bersifat memegang (menghargai,
membiarkan,
membolehkan)
pendirian
(pendapat,
pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Salah satu alasan yang dijelaskan al-Qur’an adalah bahwa manusia itu satu sama lain bersaudara karena mereka berasal dari sumber yang satu, Q.S.al-Hujurat/49:13 menegaskan hal ini;
ۚ ٰ ٓيَأ َ ﱡيھَاٱلنﱠاسُ إِنﱠا َخلَ ۡق ٰنَ ُكم ﱢمن َذ َك ٖر َوأُنثَ ٰى َو َج َع ۡل ٰنَ ُكمۡ ُشعُوبٗ ا َو َقبَآئِ َل لِتَ َعا َرفُ ٓو ْا إِ ﱠن أَ ۡك َر َم ُكمۡ ِعن َد ١٣ يرٞ ِٱ ﱠ ِ أَ ۡتقَ ٰٮ ُكمۡۚ إِ ﱠن ٱ ﱠ َ َعلِي ٌم َخب “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang permpuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha mengenal.”3 Masyarakat Indonesia dikenal sebagai sebagai masyarkat majemuk (pluralistic society). Hal ini dapat dilihat pada kenyataan sosial dan semboyan dalam lambang negara Republik Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika” (berbeda-beda namun satu jua). Kemajemukan masyarakat Indonesia ditandai oleh berbagai perbedaan, baik horizontal maupun vertikal.
3
Ali Nurdin, Quranic Society Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur’an, (Penerbit Erlangga, 2006), hlm. 279.
3
Perbedaan horizontal meliputi kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan suku bangsa, bahasa, adat istiadat, dan agama. Sedangkan perbedaan yang bersifat vertikal yakni menyangkut perbedaan-perbedaan lapisan atas dan bawah dalam masyarakat kita saat ini sangat tajam, baik di bidang sosial, ekonomi, politik maupun budaya. Dalam hal kemajemukan agama, negara mengakui enam agama, yakni Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu, dimana masing-masing agama tersebut mempunyai posisi yang sama di dalam konstitusi negara.4 Sebagai negara berkembang, Indonesia perlu memantapkan identitas yang mengakar secara kultural dalam masyarakat. Dengan kerukunan antar umat beragama Indonesia dapat memantapkan identitas bangsanya tanpa mencontoh identitas bangsa lain. Tidak musathil pada masa yang akan datang bangsa Indonesia memberikan sumbangan dan berperan dalam menciptakan dan mengisi terwujudnya kerukunan dan kebersamaan antar umat beragama, tidak mustahil pula bagsa-bangsa lain akan belajar kepada bangsa Indonesia dalam membina dan memelihara kesatuan dan persatuan bangsa, terutama bangsa yang terdiri dari berbagai golongan umat beragama. Dalam Undang-Undang Dasar 45 pasal 29 ayat 1 berbunyi : Negara berdasar atas Keutuhan Yang Maha Esa. Diktum ini mengandung
4
Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI sejak 1975, (Jakarta : Penerbit Erlangga, 2011), hlm. 867.
4
pengertian, kecuali agama yang menduduki posisi tersendiri dalam negara, juga umat beragama mendapat perhatian dalam pemerintah.5 Salah satu agenda besar kehidupan berbangsa dan bernegara adalah menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan membangun kesejahteraan hidup bersama seluruh warga negara dan umat beragama. Hambatan yang cukup berat untuk mewujudkan kearah keutuhan dan kesejahteraan adalah masalah kerukunan nasional, termasuk didalamnya hubungan antar agama dan kerukunan hidup umat beragama. Persoalan ini semakin krusial karena terdapat serangkaian kondisi sosial yang menyuburkan konflik, sehingga terganggu kebersamaan dalam membangun negeri ini. Demikian pula kebanggaan terhadap kerukunan dirasakan selama bertahun-tahun yang mengalami kemrosotan, bahkan menimbulkan kacemasan terjadinya disintegrasi bangsa. Kecemasan inilah yang kemudian juga melatarbelakangi dibentuknya sebuah wadah atau lembaga di Indonesia yang “dianggap” mampu menjembatani persoalan kerukunan antar umat beragama seperti halnya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Manusia
senantiasa
menghadapi
bebagai
kendala
didalam
mejalankan aktifitasnya di muka bumi. Untuk itu setiap orang akan menggunakan akal fikirannya secara maksimal untuk mengatasi berbagai kesulitan hidupnya. Sangat mungkin akal tidak begitu saja dengan mudah mampu mengatasi persoalan tersebut. Dalam kondisi seperti ini manusia
5
Haji Said Agil Husin Al-Munawar, op.cit., hlm. 6.
5
membutuhkan Tuhan. Tuhan dipercayai menjadi satu-satunya tempat bergantung secara spiritual bagi manusia, paling tidak ketika akal mengalami kesulitan dalam memahami berbagai fenomena yang berada di alam
sekitarnya.
Sebagai
sosok
supranatural,
Tuhan
dipercayai
mempunyai kekuatan yang mengatasi segala yang ada di alam semesta. Tuhan dipercaya sebagai pencipta sekaligus sebagai penguasa utama atas alam semesta dimana manusia menjadi bagian darinya. Kepercayaan terhadap tuhan menjadi awal dari proses sebuah agama dalam diri manusia.6 Aspek agama yang paling mendasar adalah sistem kepercayaan terhadap tuhan, dzat ghaib yang supranatural. Tuhan dipercaya sebagai sosok yang melampaui alam semesta. Dialah yang menciptakan, dan demikian dia mempunyai kekuasaan mutlak atas alam semesta sebagai makhluknya, tuhan dipercaya ada secara obyektif yang mewujud, ada sebelum pikiran manusia sadar akan adanya, dan akan tetap hingga orang meninggal. Dengan adanya kepercayaan terhadap tuhan ini seseorang dapat mencapai sebuah kondisi hidup yang tenang, meski dalam kondisi susah sekaligus, karena masih ada harapan yang lebih baik apabila tuhan yang dipercaya menghendaki.7 Dalam konteks ini, yang peneliti akan sajikan adalah mengenai hubungan antar umat beragama yang berada dalam negara kita yaitu Indonesia, dengan menjadikan agama-agama yang ada itu sebagai 6
Khadziq, Islam dan Budaya Lokal Memahami Realitas Agama dalam Masyarakat, (Yogyakarta : Teras, 2009), hlm. 23. 7 Ibid., hlm. 24.
6
madzhab dari agama totalitas, melainkan sebagai cara atau sarana untuk mempertemukan, mengatur hubungan luar antara orang yang tidak seagama atau antara golongan umat beragama dalam setiap proses kehidupan sosial masyarakat.8 Permasalahan diatas menjadi peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : ”Tinjauan Hukum Islam terhadap Toleransi Antar Umat Beragama di Indonesia (Telaah terhadap Fatwa MUI dalam Perayaan Natal Bersama).”
B. Penegasan Istilah Untuk menghindari ketidakjelasan makna dalam penelitian ini maka dilakukan penegasan istilah sebagai berikut: Tinjauan
: Pendapatan meninjau, pandangan, pendapat sesudah menyelidiki, mempelajari.9
Hukum
: Peraturan-peraturan
Islam
dan
ketentuan-ketentuan
yang
berkenaan dengan kehidupan berdasarkan Al-Qur’an ; hukum syara’.10
Toleransi
:
Batas ukur untuk menambah atau mengurangi sesuatu yamg masih diperbolehkan.11
Antar
: Bentuk terikat dalam lingkungan atau hubungan yang satu dengan yang lain.12
8
Haji Said Agil Husin Al-Munawar, op.cit., hlm. 5. Purwo Waskito, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Grafika Mulia, tt), hlm. 537. 10 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 169. 11 Ibid., hlm. 504. 9
7
Umat
: Para penganut/pemeluk atau pengikut suatu agama (Islam, Katholik, Kristen, Hindu dan Budha).13
Fatwa
: Pendapat atau keputusan dari alim ulama’ atau ahli hukum Islam (muslim).14
MUI
: Singkatan dari Majelis Ulama’ Indonesia
Perayaan
: Yang berasaldari kata “raya” yang artinyasangatbesar. JadiperayaanartinyaMemperingatiharibesar
yang
adadalamsuatuwilayah.15 Natal
: Hari raya yang memperingati kelahiran Isa Almasih (tanggal 25 Desember tiap tahun).16
C. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti membuat rumusan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah pandangan hukum Islam terhadap toleransi antar umat beragama di Indonesia? 2. Bagaimana hukum perayaan Natal bersama menurut Fatwa MUI?
D. Tujuan penelitian
12
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 2007), hlm. 41. Ibid., hlm. 526. 14 Ibid., hlm. 127. 15 Tim Prima Pena, kamusIImiahPopuler, (Surabaya: Gita Media Press,2006), hlm. 400. 16 Ibid., hlm. 610. 13
8
Agar peneliti lebih mudah dalam melaksanakan penelitian, maka perlu mengetahui tujuannya. Adapun yang menjadi tujuan peneliti adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui masalah pandangan hukum Islam terhadap toleransi antar umat beragama di Indonesia. 2. Untuk mengetahui hukum perayaan Natal bersama menurut Fatwa MUI.
E. Manfaat penelitian Dari uraian penelitian diatas diharapkan memberi manfaat sebagaimana berikut: a. Manfaat teoritis 1. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan di bidang hukum Islam. 2. Penelitian ini dapat menambah pengalaman dan pemahaman terhadap masalah yang diteliti. b. Manfaat praktis 1. Untuk memberikan kebijakan dan keputusan mengenai toleransi antar umat beragama. 2. Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dan sebagai bahan kajian dan perbandingan bagi para mahasiswa syari’ah khususnya yang tertarik mengkaji tentang tinjauan hukum terhadap toleransi antar uamt beragama.
9
3. Dapat memberikan sumbangan khazanah keilmuan di kalangan masyarakat.
F. Telaah pustaka Penelitian ini berdasarkan beberapa hasil penelitian sebelumnya melalui buku-buku, jurnalyang membahas tentang hubungan antar umat beragama, beberapa kajian yang berkaitan dengan pembahasan tersebut adalah: Drs. H. Ahmad Barowi, M.Ag., jurnal tentang Globalisasi dalam Lingkup
Kerukunan
Umat
Beragama.
Penelitian
ini
mengkaji
tentangbeberapa permasalahan yang berkaitan dengan hubungan antar umat beragama yang berdasarkan kondisi yang ada pada zaman sekarang ini.17 Ahmad Fauzul Ghufron, jurnal tentang Pluralisme di Negara Indonesia. Dalam penelitian ini mengkaji tentang permasalahan yang berkaitan dengan pluralisme yang ada dalam kepemerintahan Negara kita yaitu Negara Indonesia. Dalam kajian ini dapat peneliti simpulkan bahwa dimana pada titik poinnya yang menjadi bahan pemikiran adalah seorang tokoh pluralisme atau dikenal dengan bapak pluralis. Yaitu Presiden Republik Indonesia yang ke empat, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang dalam karya-
17
Ahmad Barowi, SHIMA Media Pergulatan Intelektual Mahasiswa Globalisasi Dalam Lingkup Kerukunan Umat Beragama, (Lpm Bursa INISNU Jepara, 2011), ed. IX, hlm. 7.
10
karyanya banyak sekali tertuang pemikiran toleransi beragama dengan sentral nasionalisme.18 Abdul Wahab Saleem, S.Sos.I., MSI, jurnal tentang Dakwah Keindonesiaan Berarti Meneguhkan Kembali Empat Pilar Kebangsaan Menuju Terwujudnya Masyarakat Madani. penelitian ini membahas permasalahan yang ada dalam sekitar kita tentag runtuhnya persatuan dan kesatuan dalam masyarakat Indonesia .19 Dari hasil penelusuran yang peneliti lakukan terhadap penelitian, peneliti juga mendapatkan skripsi lain yang dijadikan sebagai kajian terdahulu yaitu Skripsi dari Wahab Abdi tahun 2010 yang berjudul Studi Analisis Tentang Nikah Antar Agama Menurut DR. M. Quraish Shihab. Yang dapat peneliti simpulkan adalah Nikah antar agama menurut DR. Quraish Shihab membolehkan pernikahan tersebut dengan alasan suatu bentuk toleransi Islam kepada agama Ahli kitab dalam bentuk pernikahan, karena pria muslim mengakui kenabian ‘Isa yang dituhankan oleh Ahli kitab.
G. Metode Penelitian a. Jenis dan Pendekatan Penelitian Jenis penelitian ini termasuk kategori penelitian kepustakaan (library reseach)yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan 18
Ahmad Fauzul Ghufron, SHIMA Media Pergulatan Intelektual Mahasiswa Pluralisme di Negara Indonesia, (Lpm Bursa INISNU Jepara, 2014), ed. XIII, hlm.15. 19 Abdul Wahab Saleem, FOKUS Berimbang dan Berwawasan Dakwah Keindonesiaan Berarti Meneguhkan Kembali Empat pilar Kebangsaan Menuju Terwujudnya Masyarakat Madani (Lpm fokus INISNU Jepara, 2012), ed. IX, hlm. 42.
11
kajian terhadap pustaka dan dengan cara mengumpulkan data secukupnya yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dan kemudian diteliti secara akurat dan sistematis untuk mendapatkan suatu jawaban atas permasalahan yang dibahas. Sedangkanpendekatan
yang
digunakandalampenelitianiniadalahpenelitiankualitatif, karena itu datadata yang disajikandalambentuk kata-kata, bukandalambentukangkaangka.20
b. Metodepengumpulan data Metodepengumpulan
data
adalahprosedur
yang
sistematikdanstandaruntukmemperoleh data yang diperlukan.21 Dalam hal ini penulis akan melakukan identifikasi wacana dari buku-buku, makalah atau artikel, majalah, jurnal, web (internet) atau informasi yang lainnya yang berhubungan dengan judul penulisan untuk mencari hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah dan sebagainya yang berkaitan dengan kajian tentang Tinjauan hukum Islam terhadap Toleransi antar Umat beragama telaah terhadap Fatwa MUI dalam perayaan Natal bersama. Maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut : 1.
Mengumpulkan data-data yang ada baik melalui buku-buku, dokumen, majalah, internet (web).
20
Lexy J. Meleong, MetodePenelitianKualitatif, (Bandung: PT. RemajaRosdakarya, 2004), hlm. 3. 21 Moh.Nazir, MetodePenelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 211.
12
2.
Menganalisa data-data tersebut sehingga peneliti bisa menyimpulkan tentang masalah yang dikaji.22
c. Analisis data Dalam penelitian ini setelah pengumpulan data, maka data tersebut dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan, bentuk teknik dalam teknik analisis data sebagai berikut : a. Analisis deskriptif Metode
analisis
deskriptif
yakni
usaha
untuk
mengumpulkan data yang berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti.23 b. Content analysis atau analisis isi Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (content analysis). Dimana data deskriptif sering hanya dianalisis menurut isinya, dan karena itu analisis macam ini juga disebut anlisis isi (content analisys).24 Pendapat ini dikemukakan oleh Hadari Nawawi yang dikutip oleh Soejono dan Abdurrahman bahwa analisis isi dalam penelitian dilakukan untuk mengungkapkan isi sebuah buku yang 22
M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 11. 23 Lexy J. Meleong, op.cit., hlm. 11. 24 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta : CV Rajawali, 1983), hlm. 94.
13
menggambarkan situasi penulis dan masyarakatnya pada waktu buku itu ditulis.25
H. Sistematika Penulisan Secara garis besar sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 3 (tiga) bagian, yaitu: 1. Bagian Muka Pada bagian ini berisi: halaman sampul, halaman judul, halaman pernyataan, halaman persetujuan pembimbing, halaman pengesahan, halaman persembahan, halaman motto, halaman daftar isi dan halaman daftar lampiran. 2. Bagian Isi Bagian isi terdiri dari bebrapa bab yang masing-masing terdiri dari beberapa sub bab dengan susunan sebagai berikut: Bab I
: Pendahuluan yang berisi: latar belakang masalah, penegasan
istilah,
rumusan
penelitian,
manfaat
penelitian,
masalah, telaah
tujuan pustaka,
metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab II
: Landasan teori: pengertian toleransi, prinsip-prinsip toleransiantarumatberagama, tujuantoleransiantarumatberagama, manfaat toleransi
25
Soejono dan Abdurrahaman, Metodologi Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1999), hlm. 14.
14
antar umat beragama. Bab III
: Objek kajian: prosedur pembuatan keputusan fatwa MUI a. Fatwa MUI. b. Lintasan Sejarah Penetapan Fatwa MUI. c. Pedoman Penetapan Fatwa MUI. d. Keputusan Fatwa MUI terhadap perayaan Natal Bersama.
Bab IV
: Hasil Penelitian dan Pembahsan a. Pandangan Hukum Islam terhadap Toleransi antar Umat beragama di Indonesia. b. Keputusan Fatwa MUI terhadap perayaan Natal Bersama.
Bab V
: Penutup. Memuat tentang: kesimpulan, saran-saran dan penutup.
3. Bagian akhir Pada bagian akhir ini terdiri dari: daftar pustaka, lampiranlampiran dan daftar riwayat hidup.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA di INDONESIA
A. Pengertian Toleransi Secara bahasa atau etimologi toleransi berasal dari bahasa Arabtasamuh yang artinya ampun, maaf dan lapang dada.1Atau dalam bahasaInggris berasal dari kata tolerance / toleration yaitu suatu sikap membiarkan, mengakui dan menghormati terhadap perbedaan orang lain, baik pada masalah pendapat (opinion), agama/kepercayaan maupun dalam segi ekonomi, sosialdan politik. Sikap tasamuh ini juga dipraktikkan oleh para sahabat dan tabi’in dalam pergaulan mereka dengan orang-orang nonmuslim. Abdullah bin Amr pernah berpesan kepada anaknya untuk memberi daging kurban (udhiyah), dan pesan itu diulang beberapa kali, sehingga si anak merasa heran dan menanyakan rahasia berbuat baik kepada tetangga yang beragama Yahudi ini. Lalu Ibnu Amr berkata, “sesungghnya Nabi saw. pernah bersabda:
(ﺖ اِﻧﱠﻪُ َﺳﻴُـ ْﻮِرﺛَﻪُ)رواﻩ اﲪﺪواﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ واﺑﻮداودواﻟﱰﻣﺬى ْ َِﻣ َﺎز َال ِﺟ ِْﱪﻳْ َﻞ ﻳـُ ْﻮ ِﺻْﻴ ِﲏ ﺑ ُ ﺎﳉَﺎ ِر َﺣ ﱠﱴ ﻇَﻨَـْﻨ “Malaikat Jibril selalu berpesan kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga sehingga aku mengira bahwa tetangga itu akan saling mewarisi.”2
1
Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab Indonesia al-Munawir, (Yogyakarta: Balai Pustaka Progresif, tt.), hlm.1098. 2 Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), Jilid 2, hlm. 976.
15
16
Secara terminologi, menurut Umar Hasyim, toleransi yaitu pemberiankebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing, selama dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat
asas
terciptanya
ketertiban
dan
perdamaian
dalam
masyarakat.3 Namun menurut W. J. S. Poerwadarminto dalam "Kamus Umum Bahasa Indonesia" toleransi adalah sikap/sifat menenggang berupa menghargai serta memperbolehkan suatu pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan maupun yang lainnya yang berbeda dengan pendirian sendiri.4 Dari beberapa definisi di atas penulis menyimpulkan bahwa toleransiadalah suatu sikap atau tingkah laku dari seseorang untuk membiarkan kebebasan kepada orang lain dan memberikan kebenaran atas perbedaan tersebut sebagai pengakuan hak-hak asasi manusia. Di dalam memaknai toleransi terdapat dua penafsiran tentang konsepini. Pertama, penafsiran yang bersifat negatif yang menyatakan bahwatoleransi itu cukup mensyaratkan adanya sikap membiarkan dan tidak menyakiti orang atau kelompok lain baik yang berbeda maupun yang sama. Sedangkan yang kedua adalah yang bersifat positif yaitu 3
Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar menuju Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), hlm. 22. 4 W. J. S. Poerwadarminto,Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm. 184.
17
menyatakan bahwa harus adanya bantuan dan dukungan terhadap keberadaan orang lain atau kelompok lain.5 Adapun kaitannya dengan agama, toleransi beragama adalah toleransiyang mencakup masalah-masalah keyakinan pada diri manusia yang berhubungan dengan akidah atau yang berhubungan dengan keTuhanan yang diyakininya. Seseorang harus diberikan kebebasan untuk menyakini dan memeluk agama (mempunyai akidah) masing-masing yang dipilih serta memberikan penghormatan atas pelaksanaan ajaran-ajaran yang dianut atau yang diyakininya. Toleransi
mengandung
maksud
supaya
membolehkan
terbentuknyasistem yang menjamin terjaminnya pribadi, harta benda dan unsur-unsurminoritas yang terdapat pada masyarakat dengan menghormati agama, moralitas dan lembaga-lembaga mereka serta menghargai pendapat orang lainserta perbedaan-perbedaan yang ada di lingkungannya tanpa harus berselisih dengan sesamanya karena hanya berbeda keyakinan atau agama. Toleransi
beragama
mempunyai
arti
sikap
lapang
dada
seseoranguntuk menghormati dan membiarkan pemeluk agama untuk melaksanakan ibadah mereka menurut ajaran dan ketentuan agama masing-masing yang diyakini tanpa ada yang mengganggu atau memaksakan baik dari orang lain maupun dari keluarganya sekalipun.6
5
Masykuri Abdullah, Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), hlm. 13. 6 H. M Ali dkk., Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum Sosial dan Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hlm. 83.
18
Toleransi telahmempunyai
tidak suatu
dapat
diartikan
keyakinan
bahwa
kemudian
seseorang
yang
pindah/merubah
keyakinannya (konversi) untuk mengikuti dan membaur dengan keyakinan atau peribadatan agama-agama lain, serta tidak pula dimaksudkan untuk mengakui kebenaran semua agama/kepercayaan, namun tetap suatu keyakinan yang diyakinikebenarannya, serta memandang benar pada keyakinan orang lain, sehinggapada dirinya terdapat kebenaran yang diyakini sendiri menurut suara hati yang tidak didapatkan pada paksaan orang lain atau didapatkan dari pemberian orang lain. Dalam agama telah menggariskan dua pola dasar hubungan yangharus dilaksanakan oleh pemeluknya, yaitu : hubungan secara vertikal dan hubungan secara horizontal. Yang pertama adalah hubungan antara pribadi dengan Khaliknya yang direalisasikan dalam bentuk ibadat sebagaimana yang telah digariskan oleh setiap agama. Hubungan dilaksanakan secara individual, tetapi lebih diutamakan secara kolektif atau berjamaah (shalat dalam Islam).Pada hubungan ini berlaku toleransi agama yang hanya terbatas dalam lingkungan atau intern suatu agama saja. Hubungan yang kedua adalah hubungan antara manusia dengan sesamanya. Pada hubungan ini tidak terbatas panda lingkungan suatu agama saja, tetapi juga berlaku kepada semua orang yang tidak seagama, dalam bentuk kerjasama dalam masalah-masalah kemasyarakatan atau
19
kemaslahatan umum. Dalam hal seperti inilah berlaku toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama.7 Toleransi
dalam
pergaulan
hidup
antar
umat
beragama
berpangkaldari penghayatan ajaran masing-masing. Menurut said Agil Al Munawar ada dua macam toleransi yaitu toleransi statis dan toleransi dinamis. Toleransi statis adalah toleransi dingin tidak melahirkan kerjasama hanya bersifat teoritis. Toleransi dinamis adalah toleransi aktif melahirkan kerja sama untuk tujuan bersama, sehingga kerukunan antar umat beragama bukan dalam bentuk teoritis, tetapi sebagai refleksi dari kebersamaan umat beragama sebagai satu bangsa.8
B. Prinsip-Prinsip Toleransi Antar Umat Beragama Dalam melaksanakan toleransi beragama kita harus mempunyai sikapatau prinsip untuk mencapai kebahagiaan dan ketenteraman. Adapun prinsip tersebut adalah : a. Kebebasan Beragama Hak asasi manusia yang paling esensial dalam hidup adalah hakkemerdekaan/kebebasan baik kebebasan untuk berfikir maupun kebebasan untuk berkehendak dan kebebasan di dalam memilih kepercayaan/agama. Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah : 256
7
Haji Said Agil Al Munawar, Fiqih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), hlm. 14. 8 Ibid., hlm. 16.
20
٢٥٦ ............ۡٱل َغ ۚ ﱢي
ۡ َٓ َٱلرﱡش ُد ِمن َين قَد تﱠبَيﱠن ِ ۖ ال إِ ۡك َراهَ فِي ٱل ﱢد
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam) ; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.”9 Kebebasan merupakan hak yang fundamental bagi manusia sehingga hal iniyang dapat membedakan manusia dengan makhluk yang lainnya. Kebebasan
beragama
sering
kali
disalahartikan
dalam
berbuatsehingga manusia ada yang mempunyai agama lebih dari satu. Yang dimaksudkan kebebasan beragama di sini bebas memilih suatu kepercayaan atau agama yang menurut mereka paling benar dan membawa keselamatantanpa ada yang memaksa atau menghalanginya, kemerdekaan telah menjadisalah satu pilar demokrasi dari tiga pilar revolusi di dunia. Ketiga pilar tersebut adalah persamaan, persaudaraan dan kebebasan.10 Kebebasan beragama atau rohani diartikan sebagai suatu ungkapanyang menunjukkan hak setiap individu dalam memilih keyakinan suatu agama.11 Di Indonesia dalam peraturan Undang-Undang Dasar disebutkan padapasal 29 ayat 2 yang menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu “. Hal ini jelas
9
Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta : Penerbit Erlangga, 2011), hlm. 868. 10 Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), hlm. 22. 11 Abd. Al Mu’tal As Saidi, Kebebasan Berfikir dalam Islam, (Yogyakarta; Adi Wacana, 1999), hlm. 4.
21
bahwa negara sendiri menjamin penduduknya dalam memilih dan memeluk agama/keyakinannya masing-masing serta menjamin dan melindungi penduduknya di dalam menjalankan peribadatan menurut agama dan keyakinannya masing-masing. b. Penghormatan dan Eksistensi Agama lain Islam mengakui eksistensi agama lain tanpa mengakui kebenaran ajaran agama tersebut, sebagaimana pada masa Nabi juga diakui eksistensi agama selain Islam, antara lain Yahudi, Nasrani, Mjusi.12 Etika
yang
harus
dilaksanakan
dari
sikap
toleransi
setelahmemberikan kebebasan beragama adalah menghormati eksistensi agama lain dengan pengertian menghormati keragaman dan perbedaan ajaran-ajaran yang terdapat pada setiap agama dan kepercayaan yang ada baik yang diakui negara maupun belum diakui oleh negara. Menghadapi realitas ini setiap pemeluk agama dituntut agar senantiasamampu menghayati sekaligus memposisikan diri dalam konteks pluralitas dengan didasari semangat saling menghormati dan menghargai eksistensi agama lain.13 Dalam bentuk tidak mencela atau memaksakan maupun bertindak sewenang-wenangnya dengan pemeluk agama lain. c. Agree in Disagreement “Agree in Disagreement“ (setuju di dalam perbedaan) adalah prinsipyang selalu didengugkan oleh Prof. DR. H. Mukti Ali. Perbedaan
12
Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, op.cit., hlm. 867. Ruslani, Masyarakat Dialog Antar Agama, Studi atas Pemikiran Muhammad Arkoun, (Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya, 2000), hlm. 169. 13
22
tidak harus ada permusuhan, karena perbedaan selalu ada di dunia ini, dan perbedaan tidak harus menimbulkan pertentangan.14 Dari
sekian
banyak
pedoman
atau
prinsip
yang
telah
disepakatibersama, Said Agil Al Munawar mengemukakan beberapa pedoman atau prinsip, yang perlu diperhatikan secara khusus dan perlu disebarluaskan seperti tersebut di bawah ini. a). Kesaksian yang jujur dan saling menghormati (frank witness and mutual respect) Semua pihak dianjurkan membawa kesaksian yang terus terangtentang kepercayaanya di hadapan Tuhan dan sesamanya, agar keyakinannya masing-masing tidak ditekan ataupun dihapus oleh pihak lain. Dengan demikian rasa curiga dan takut dapat dihindarkan serta semua pihak dapat menjauhkan perbandingan kekuatan tradisi masing-masing yang dapat menimbulkan sakit hati dengan mencari kelemahan pada tradisi keagamaan lain. b). Prinsip kebebasan beragama (religius freedom). Meliputi prinsip kebebasan perorangan dan kebebasan sosial (individual freedom and social freedom) Kebebasan individual sudah cukup jelas setiap orang mempunyai kebebasan untuk menganut agama yang disukainya, bahkan kebebasan untuk pindah agama. Tetapi kebebasan individual tanpa adanya kebebasan sosial tidak ada artinya sama sekali. Jika seseorang benar-benar mendapat
14
Umar Hasyim, op.cit., hlm. 24.
23
kebebasan agama, ia harus dapat mengartikan itu sebagai kebebasan sosial, tegasnya supaya agama dapat hidup tanpa tekanan sosial. Bebas dari tekanan sosial berarti bahwa situasi dan kondisi sosial memberikan kemungkinan yang sama kepada semua agama untuk hidup dan berkembang tanpa tekanan. c). Prinsip penerimaan (Acceptance) Yaitu mau menerima orang lain seperti adanya. Dengan kata lain,tidak
menurut
proyeksi
yang
dibuat
sendiri.
Jika
kita
memproyeksikanpenganut agama lain menurut kemauan kita, maka pergaulan antar golongan agama tidak akan dimungkinkan. Jadi misalnya seorang Kristen harus relamenerima seorang penganut agama Islam menurut apa adanya, menerima Hindu seperti apa adanya. d). Berfikir positif dan percaya (positive thinking and trustworthy) Orang
berpikir
secara
“positif
“dalam
perjumpaan
dan
pergaulandengan penganut agama lain, jika dia sanggup melihat pertama yang positif, dan yang bukan negatif. Orang yang berpikir negatif akan kesulitan dalam bergaul dengan orang lain. Dan prinsip “percaya” menjadi dasar pergaulan antar umat beragama. Selama agama masih menaruh prasangka terhadap agama lain, usaha-usaha ke arah pergaulan yang bermakna belum mungkin. Sebab kode etik pergaulan adalah bahwa agama yang satu percaya kepada agama yang lain, dengan begitu dialog antar agama antar terwujud.15
15
Haji Said Agil Al Munawar, op.cit., hlm. 49-51.
24
Mewujudkan kerukunan dan toleransi dalam pergaulan hidup antarumat beragama merupakan bagian usaha menciptakan kemaslahatan umumserta kelancaran hubungan antara manusia yang berlainan agama, sehinggasetiap golongan umat beragama dapat melaksanakan bagian dari tuntutan agama masing-masing. Kerukunan yang berpegang kepada prinsip masing-masing agamamenjadikan setiap golongan umat beragama sebagai golongan terbuka, sehingga memungkinkan dan memudahkan untuk saling berhubungan. Bila anggota dari suatu golongan umat beragama telah berhubungan baik dengan anggota dari golongan agama-agama lain, akan terbuka kemungkinan untukmengembangkan hubungan berbagai bentuk kerja sama dalam bermasyarakat dan bernegara. Dalam konteks beragama dan bernegara, setelah proklamasi 1945 Islam memandang posisi umat beragama sebagai sesama bagian warga bangsa yang terikat oleh komitmen kebangsaan sehingga harus hidup berdampingan secara damai dengan prinsip mu’ahadah atau muwatsaqah, bukan posisi muqatalah atau muharabah.16 Walaupun manusia terdiri dari banyak golongan agama, namun sistemsosial
yang
berdasarkan
kepada
kepercayaan
bahwa
pada
hakekatnya manusia adalah kesatuan yang tunggal. Perbedaan golongan sebagai pendorong untuk saling mengenal, saling memahami dan saling berhubungan. Ini akan mengantarkan setiap golongan itu kepada kesatuan
16
Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, op.cit., hlm. 867.
25
dan kesamaan pandangan dalam membangun dunia yang diamanatkan Tuhan kepadanya. Dalam istilah lain, banyak agama, satu Tuhan.17
C. Tujuan Toleransi Antar Umat Beragama Ditinjau dari kepentingan agama-agama itu sendiri dalam membina masyarakat
dan bangsa, maka kerukunan antar uamt beragama
mempunyai tujuan antara lain. 1. Memelihara Eksistensi Agama Sebagai makhluk sosial manusia dalam segala segi kehidupan tidak mampu melepaskan diri dari keterkaitannya pada orang lain. Dari keterkaitan inilah yang menjadikan orang untuk berusaha mengelimir sikap
radikal
dengan
mempertimbangkan
pihak
lain,
serta
mengutamakan keadilan. Dari sikap tersebut menjadikan antara golongan umat beragama saling menyegani, sehingga terbina saling menghargai dan saling menghormati. Apabila setiap golongan agama mampu memelihara wibawa masing-masing.Hal ini harus disadari, walaupun agama itu milik Allah Tuhan yang maha Esa, tetapi telah diamanatkannya kepada manusia , maka kewajiba memelihara agama itu berada di tangan penganut agama itu sendiri.18 2. Memelihara persatuan dan rasa kebangsaan
17 18
Ibid., hlm. 23. Haji Said agil Husin Al-unawar, op cit., hlm. 25.
26
Dengan belajar kepada sejarah umat beragama di Indonesia mendapat masukan dalam berpikir secara historis dan menjadikan sejarah itu sebagian bahan dalam memelihara dan membina persatuan. Negara dan pemerintahan tidak mengahalangi setiap golongan agama untuk menyiarkan dan menyebarkan agamanya. Namun demikian kebebasan disini tidak dapat ditafsirkan dengan kebebasan tanpa batas dan harus didasarkan kepada prinsip pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dengan berorientasi kepada pemeliharaan persatuan dan rasa kebangsaan. Dengan memelihara rasa kebangsaan, maka tidak akan melemahkan ikatan solidaritas golongan, dalam hal ini termasuk golongan agama. Rasa kebangsaan menghilangkan rasa asing dan sikap permusuhan antara golongan. Dengan sikap ini memudahkan bagi umat beragama untuk mewujudkan dan memelihara kerukunan. 3. Mewujudkan masyarakat religius Masyarakat
religius
yang
dimaksudkan
disini
adalah
masyarakat yang menghayati, mengamalkan agamanya itu sebagai pegangan dan tuntunan hidup, berbuat, bertingkah laku dan bertindak berdasarkan dan sesuai dengan garis-garis yang telah terkhittah dalam agamanya. Keindahan masyarakat religius, tercermin dalam kerjasama yang harmonis antar golongan dalam masyarakat itu sendiri. Kerjasama merupakan konsekuensi logis dari hasil musyawarah dan
27
mufakat. Masyarakat yang diidamkan mustahil dapat terwujud tanpa didukung dengan kerjasama. Tiap anggota merasa terpanggil serta mempunyai rasa tanggung jawab atas keutuhan dan kemajuan masyarakat.19 D. Manfaat Toleransi Antar Umat Beragama 1. Menghindari perpecahan Dengan bersikap toleransi merupakan solusi agar tidak terjadi perpecahan dalam mengamalkan agama, sikap bertoleransi harus menjadi suatu kesadaran pribadi yang selalu dibiasakan dalm wujud interaksi sosial. Sehingga dapat menumbuhkan sikap hormat menghormati antar pemeluk agama sehingga tercipta suasana yang tenang. 2. Memperkokoh tali silaturrahmi Salah satu wujud dari toleransi hidup antar uamt beragama adalah menjalin dan memperkokoh tli silaturrahmi antar umat beragama dan menjaga hubungan yang baik. Dan selain kita mempunyai hubungan baik dengan Allah SWT tetapi juga hubungan yang antar sesama manusia. Untuk merajut hubungan damai antar umat beragama hanya bisa dimungkinkan jika masing-masing pihak saling menghargai pihak lain. Mengembangkan sikap toleransi beragama bahwa setiap penganut agama boleh menjalankan ajaran dan ritual agamanya dengan bebas tanpa tekanan. Sehingga menjadikan
19
Ibid., hlm. 24.
28
lingkungan masyarakat yang rukun meskipun berbeda keyakinan dan menumbuhkan
rasa
saling
kepercayaan yang dianut.
menghargai
antara
agama
sesuai
BAB III GAMBARAN UMUM PENETAPAN KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
A. Gambaran Umum tentang Fatwa MUI Sebagai sebuah oragnisasi tingkat nasioanal, tentunya Majelis Ulama Indonesia memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP), terutama dalam merespon berbagai permasalahan, baik berupa pertanyaan melalui surat, ataupun melaui media lain. Standar Operasional Prosedur ini dalam bahasa yang dikemukakan oleh MUI sebagai pedoaman rumah tangga. Dalam hal Fatwa, MUI memiliki Mekanisme Kerja Komisi Fatwa MUI yang telah ditetapkan pada tahun 1997 dengan nomor U-634/MUI/X/1997. Pedoman ini merupakan penyempurnaan dari pedoman penetapan Fatwa yang diputuskan pada tahun 1986. Karena menganggap bahwa pedoman penetapan Fatwa yang ada dianggap kurang memadai, maka Komisi Fatwa MUI melakukan penyempurnaan terhadap metode Fatwa yang lama dan mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa Majelis Ulama tanggal 12 april 2001.1 Metode penetapan Fatwa yang dilakukan oleh Komisi Fatwa menggunakan tiga pendekatan, yakni pendekatan Nash Qath’i, Qauli, dan Manhaj. Pendekatan Nash Qath’i dilakukan bila suatu masalah telah jelas
1
Awwalludin, “Kedudukan Fatwa-Fatwa MUI dalam Perspektif Hukum Islam”. Paper Mata Kuliah Perkembangan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, (Bandung : Paper Mata Kuliah Perkembangan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, 2011), hlm.1.
29
30
diungkap oleh al-Qur’an atau Hadits, yakni dengan berpegang pada teks tersebut. Pendekatan Qauli dilakukan bila jawaban masalah sudah diungkap oleh pendapat yang terdapat dalm kitab-kitab yang mu’tabar.2 Pengertian Fatwa secara bahasa, Fatwa berasal dari bahasa Arab الفتوى. Tidak ditemukan adanya terjemahan dalam bahasa Indonesia dari kata ini sehingga tetap digunakan sesuai dengan kata asalnya. Kata ini memilki akar kata yang sama dengan kata ( الفتىpemuda, anak muda, yang muda dan kuat), seakan-akan ingin menyatakan bahwa ini berarti menguatkan sesuatu dengan menghilangkan hal yang sulit dipahami dan menjadikannya jelas. Dalam berbagai bentuk derivasinya, kata yang sering digunakan adalah يفتى- ( افتىberfatwa), ( استفتى –يستفتىmeminta fatwa), dan ( المفتىpemberi fatwa, mufti). Didalam al-Qur’an, kata ini digunakan beberapa kali, antara lain: kata
يستفتونك- يفتيٮكمdan masing-masing
digunakan dua kali; kata التستفت تستفتليانmasing- masing digunakan satu kali; dalam bentuk perintah افتناsatu kali افتونىdua kali; dan فستفتٮھمdua kali. Beberapa pernyataan diatas dipahami memiliki makna meminta penjelasan terhadap sesuatu yang belum atau tidak dijelaskan. Dalam terminologi ushul fiqh, kata Fatwa diberi definisi oleh sebagian kalangan ulama ushul fiqh sebagai “penjelasan hukum suatu masalah yang merupakan jawaban atas suatu pertanyaan”. Definisi ini merupakan pemahaman dari apa yang didefinisikan oleh Ibnu Hamdan Al Hambali saat mengemukakan makna kata Mufti. Beliau menyatakan 2
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia bagian proyek sarana dan prasarana produk halal,(Jakarta : Departemen Agama RI, 2003), hlm. 4.
31
bahwa Mufti adalah orang yang memberitahukan hukum Allah SWT karena pengetahuannya tentang dalil-dalil hukum tersebut. Majelis Majma’ al-Fiqh al-Islami al-Dauli dalam Mu’tamar ke 17 di Aman, Yordania 24-28 Juni 2006 menjelaskan bahwa Fatwa adalah penjelasan tentang hukum syara’ saat ditanyakan, atau terkadang penjelasan tentang hukum yang tidak ditanyakan tetapi untuk menjelaskan suatu masalah agar tidak terjadi salah persepsi dan perlakuan terhadap hal itu. Dalam Islam, Fatwa memiliki posisi penting dalam menyelesaikan permasalahan. Al-Quran menunjukkan bahwa saat ada permintaan Fatwa, Allah SWT memberikan Fatwa itu melalui wahyu yang turun. Rasulullah SAW
juga
banyak
menyelesaikan
berbagai
permasalahan
yang
dipertanyakan. Pertanyaan para sahabat berkaitan dengan kehidupan mereka dalam keluarga, dalam bermasyarakat, jihad, peradilan dan berbagai masalah lainnya, baik menyangkut kepentingan umum maupun dalam hal-hal yang bersifat pribadi yang dipertanyakan kepada beliau dapat diselesaikan oleh Beliau melalui Fatwa-fatwa yang demikian banyak. Situasi masyarakat modern dengan berbagai permasalahan yang demikian kompleks tidak memungkinkan seseorang untuk menguasai segala hal dan permasalahan yang terjadi. Oleh karenanya, fatwa dapat dilakukan oleh sebuah lembaga yang terdiri atas berbagai unsur yang saling melengkapi satu sama lain. Lembaga semacam inilah yang
32
tampaknya sesuai dengan posisi Majelis Ulama Indonesia yang dimungkinkan mengeluarkan Fatwa. Berkaitan dengan kedudukan Fatwa dalam kehidupan umat Islam Fatwa ini juga menegaskan bahwa Fatwa memang tidak mengikat secara hukum. Akan tetapi, ia bersifat mengikat secara agama, sehingga tidak ada peluang bagi orang muslim untuk menentangnya bila Fatwa itu didasarkan kepada dalil-dalil yang jelas dan benar.
B. Lintasan Sejarah Penetapan Fatwa MUI Ulama adalah pewaris para nabi. Hadits ini disebutkan oleh alSuyū¯i sebagai hadis da’if, namun banyak dipegangi oleh masyarakat di Indonesia. Buktinya, di Indonesia, ulama memiliki posisi yang demikian dihormati dan disegani. Bukan hanya itu, ulama juga memiliki peran yang signifikan di bidang sosial, bahkan politik. Pada masa-masa awal berdirinya MUI, kegiatan-kegiatan yang dilakukan ditujukan agar bisa diterima dalam masyarakat dan memelihara hubungan baik dengan pemerintah, juga organisasi Islam lainnya. Kunjungan ke beberapa kantor-kantor pusat organisasi Islam dilakukan, terkadang juga beberapa pimpinan pusat organisasi tertentu diundang ke kantor MUI. Berbagai pertemuan diadakan seminar tentang berbagai hal yang dihadiri oleh para ulama, dan kegiatan lainnya yang melibatkan banyak ulama dalam tingkat nasional. Hal ini dilakukan demi terjalinnya silaturahmi dan hubungan baik antara pusat dan daerah.
33
Kadang-kadang, MUI juga bertindak sebagai wakil organisasiorganisasi Islam. Dalam hal terakhir ini, hubungan MUI dengan organisasi Islam yang lain sangat pelik. Sebab, organisasi Islam sering kali mempunyai sikap tidak menentu, terutama bila keberadaan MUI mengancam eksistensi mereka dalam masyarakat. Salah satu contohnya adalah dalam perdebatan masalah rancangan undang-undang pendidikan nasional yangdiajukan pada tahun 1988. menurut MUI, rancangan itu adalah sebuah kemunduran, sebab tidak sedikitpun membicarakan pelajaran agama di sekolah, sementara pelajaran itu sudah mulai eksis dan diakui keberadaannya di sekolah setelah melalui perjuangan panjang dan melelahkan sejak zaman kemerdekaan sampai akhirnya masuk ke dalam intrakurikuler.Ini adalah contoh hubungan baik MUI dengan organisasi Islam lainnya. Tetapi ini tidak menggambarkan semua pola hubungannya dengan organisasi Islam. Memang benar bahwa pendirian MUI didukung oleh organisasi Islam lainnya, tetapi mereka tidak menghendaki MUI tumbuh secara cepat, mereka lebih suka dengan kondisi seperti semula sebelum MUI ada. Inilah kondisi obyektif hubungan MUI dengan organisasi-organisasi Islam lainnya. Selain itu MUI juga mempunyai pola hubungan dengan pemerintahan.Pemerintah senantiasa memberikan penghargaan yang tinggi untuk MUI dan selalu memberi dukungan keuangan, sementara di pihak MUI tekanan yang cukup berat dirasakan, karena harus selalu memberikan pembenaran terhadap politik pemerintah dari sisi agama.
34
Dalam hal hubungan dengan pemerintah, MUI begitu dekat dengan Menteri Agama, bahkan sering diundang untuk mengikuti kunjungan resmi ke daerah-daerah. Hal ini tentunya disambut baik oleh pimpinan MUI dan merupakan kesempatan untuk ketemu dengan rekan-rekan ulama di daerah-daerah. Di samping itu, Hubungan dengan departemen lainpun dibangun oleh MUI seperti departemen Dalam Negeri, Penerangan, Kesehatan, dan BKKBN. Bahkan ada sebagian pengurus MUI yang diangkat menjadi anggota BSF (Badan Sensor Film), Dewan Siaran Nasional, dan Tim Pencegah Penyalahgunaan Narkotika.3 Begitu mesra hubungan antara MUI dan Pemerintah Masa orde baru. Kemesraan yang terjadi, tentunya, menimbulkan efek yang dirasa kurang baik bagi MUI sendiri. Sebab, kemesraan itu kemudian menjadikan sisi lain dari tugas dan fungsi MUI menjadi tumpul, terutama dalam kaitan memberi pertimbangan kebijakan politik dari sisi agama. Buktinya, penggunaan alat kontrasepsi IUD (Intra Urine Devices) yang pernah difatwakan sekelompok ulama pada tahun 1971 sebagai suatu yang haram dilakukan karena proses pemasangannya melanggar aurat wanita. Larangan tersebut dicabut dalam sebuah konferensi ulama di Jakarta pada tahun 1983. Hal ini tidak lepas dari desakan pemerintah melalui Departemen Agama dan BKKBN agar para ulama membenarkan kebijakan pemerintah, karena fatwa yang pertama akan menimbulkan kegagalan program pemerintah dalam hal keluarga berencana. 3
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, op.cit., hlm.
142.
35
Desakan lebih berat yang dirasakan oleh MUI adalah dalam hal kehadiran seorang muslim dalam upacara perayaan Natal agama Kristen. Pada tahun 1981, MUI telah memfatwakan keharaman kehadiran seorang muslim dalam upacara tersebut. Pada awalnya tidak ada pro kontra tentang fatwa itu, karena fatwa diterbitkan hanya pada majalah bulanan MUI yang kalangan pembacanya terbatas. Tetapi, ketika surat kabar dan majalah yang beredar pada kalangan yang lebih luas, baru muncul pro kontra dan menimbulkan banyak masalah dan perbedaan pendapat. Selang beberapa bulan kemudian, Pemerintah merasa perlu mengambil sikap karena akibat dari silang pendapat tentang fatwa itu, sehingga pemerintah mengeluarkan pengumuman yang menjelaskan bahwa meski tidak dianjurkan, tetapi kehadiran dalam upacara itu tidak dilarang oleh agama Islam, asal tidak dalam bagian ritual ibadah dalam upacara Natal tersebut. Tampaknya, pemerintah bermaksud memelihara kerukunan beragama di antara para penganutnya di negeri ini. Akan tetapi, sikap bertentangan ini menimbulkan kondisi hubungan yang memanas, ditambah lagi dengan permintaan pemerintah agar MUI mau mencabut fatwa tentang hal itu. Begitu kerasnya tekanan itu, sehingga pada akhirnya ketua umum MUI menulis surat pengunduran diri yang dibacanya sendiri di dalam rapat tertutup MUI. Menjelang berakhirnya masa orde baru, pergeseran pada tubuh MUI mulai terjadi di sana-sini. Kalau sebelumnya motto yang selalu didengungkan adalah kerja sama alim ulama-umaro, tampaknya tergeser
36
dengan slogan : wadah musyawarah para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim. Meskipun masih menggunakan Pancasila sebagai asas organisasi ini, tujuan yang disebut dalam Pedoman Dasar hasil MUNAS V tahun 1995 adalah mengamalkan ajaran Islam untuk ikut serta mewujudkan masyarakat yang berakhlakul karimah, aman, damai, adil dan makmur rohaniah dan jasmaniah yang diridhoi Allah SWT dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Dari pembahasan di atas, sangat tampak bahwa MUI sejak awal pembentukannya di masa orde baru sampai menjelang berakhirnya memiliki keterikatan yang erat dengan Pemerintah, meskipun terkadang terjadi ketegangan-ketegangan, terutama bila terjadi konflik kepentingan antara Pemerintah dan MUI, seperti dalam kasus tentang fatwa pengharaman merayakan natal bersama bagi umat Islam. Dengan berpedoman pada hadis Rasulullah saw yang menyatakan bahwa pemimpin sebuah umat sesungguhnya adalah pelayan mereka dan orang yang menyiapkan minum suatu umat adalah orang yang terakhir minum, Majelis Ulama Indonesia mencoba memberikan nuansa baru menghadapi era barunya. Memang, bagian awal hadis ini (خادمھم
)سيد القومbukanlah hadis
shahih, bahkan dinyatakan sebagai hadis yang sangat da’if. Namun, bagian keduanya (شربا
)ساقي القوم آخرھم
banyak yang menyebutkan sebagai
hadis sahih. Meskipun demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa bila hadis itu dalam hal perbuatan baik, maka tidak ada salahnya untuk
37
digunakan sebagai motivator. Oleh karena itu, hadis ini digunakan sebagai dasar untuk merubah paradigma lama yang menganggap MUI sebagai menara gading dan sebagai corong pemerintah menjadi khādimul ummah (pelayan masyarakat). Memahami hadis di atas, tampaknya saat ini sangat diperlukan sikap patriot dan kepeloporan yang menunjukkan integritas pengabdian ulama, zuama, dan cendekiawan muslim dalam upaya meraih cita-cita secara terus menerus dan berkesinambungan. Hal ini adalah sebuah keniscayaan, sebab sejak awal perjuangan mendirikan negeri ini, peran ulama tidak pernah surut. Bahkan jauh sebelum masa penjajahan. Telah tercatat dalam sejarah bahwa kebanyakan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, seperti Demak, Cirebon, dan Banten yang berdiri pada abad keenam belas diprakarsai oleh para ulama melalui semacam persaudaraan sufi. Semangat paradigma baru yang dihembuskan dalam Munas VII MUI yang diadakan di Jakarta tanggal 19 – 22 Jumadil Akhir 1426 H bertepatan dengan tanggal 26 – 29 Juli 2005 tercermin dalam langkahlangkah aplikasi dalam amar ma’ruf nahi munkar sebagai realisasi dari dakwah kongkrit bi al-lisān wa al-hāl yakni sebagai khādimul ummah (pelayan masyarakat) dalam beragama, berbangsa, dan bernegara. Pernyataan-pernyataan di atas tercermin jelas dalam Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia yang telah disahkan pada Musyawarah Nasional VII MUI di Jakarta.
38
Dalam muqaddimah Pedoman Dasar MUI dinyatakan bahwa memiliki tiga peran utama, yakni : sebagai pewaris para nabi (wara£atul anbiyā`), pelayan umat (khādimul ummah), dan penerus misi yang diemban Rasulullah Muhammad saw. Sementara, umat Islam Indonesia begitu majemuk dan beragam dalam cara berfikir dalam masalah keagamaan. Hal ini dianggap sebagai rahmah dan wasilah untuk terbentuknya kehidupan yang dilandasi rasa persaudaraan, saling menolong, dan toleransi. Sebagai pewaris nabi, ulama menempatkan diri menjadi pemimpin kolektif dalam upaya menuju masyarakat terbaik dengan upaya menegakkan kebenaran dan keadilan secara bersama dengan menekankan nilai-nilai persamaan, keadilan, dan syuro. Untuk itu, ulama akan menjadi pemimpin umat yang akan mengarahkan dan mengawal umat Islam dalam menanamkan aqidah Islamiyah, membimbing umat dalam menjalankan ibadah, dan menuntun umat dalam mengembangkan akhlaq terpuji agar dapat mencapai cita-cita, terwujudnya masyarakat terbaik (khairu ummah). Menurut pedoman dasar ini, Majelis Ulama Indonesia memiliki fungsi sebagai wadah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim dalam mengayomi umat dan mengembangkan hidup yang islami; sebagai wadah silaturahmi para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim untuk mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dan menggalang ukhuwwah Islamiyah; sebagai wakil umat Islam dalam hubungan dan konsultasi antarumat beragama; dan sebagai pemberi fatwa kepada umat
39
Islam dan pemerintah. Tujuan yang ingin dicapai oleh MUI sebagaimana tergambar dalam paparan di atas adalah mewujudkan khairu ummah dan baldatun ¯ayyibatun wa rabbun ghafūr (negara yang aman, damai, adil, makmur, dan mendapat rida Allah swt). Dalam upaya mencapai tujuan itu, MUI melakukan berbagai usaha dengan memberikan bimbingan untuk mewujudkan kehidupan beragama yang kondusif, menyelenggarakan dakwah secara terpola, memberikan fatwa, merumuskan pola kehidupan keberagamaan yang majemuk, menjadi penghubung antara ulama dan umaro, dan yang terpenting meningkatkan hubungan kerja sama antarorganisasi, lembaga Islam, dan cendekiawan muslim yang tentunya disertai dengan program-program bersama demi kepentingan umat. Dalam pola hubungan kerja dengan instansi lain, independensi MUI sangat tampak jelas dan dikemukakan secara eksplisit pada pasal 10 Pedoman Dasar ini. MUI membuka peluang kerja sama dengan siapapun dalam menunjang pencapaian tujuan MUI, baik dengan instansi pemerintah, maupun dengan pihak lain yang memiliki visi dan misi yang sama, dengan landasan kerjasama dalam kebajikan dan taqwa. Dalam hal organisasi politik, MUI menyatakan bahwa ia tidak berafiliasi ke partai politik manapun. Demikian juga dalam hal pendanaan, terungkap dalam pasal 12 bahwa MUI menerima bantuan darimanapun yang halal dan tidak mengikat, di samping memiliki usaha-usaha yang halal pula.
40
Dalam hal pembentukan pengurus, Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia menyebutkan bahwa pembentukan pengurus MUI pusat ditentukan oleh MUNAS, dan di daerah oleh MUSDA. Pemilihan pengurus MUI dapat dilaksanakan secara langsung atau dipilih oleh formatur. Pada MUNAS VII telah ditetapkan formatur yang bertugas menyusun Pengurus Majelis Ulama Indonesia untuk masa bakti 2005 – 2010 melalui Surat Keputusan MUNAS VII MUI Nomor : Kep07/MUNAS-VII/MUI/VII/2005, dengan komposisi sebagai berikut: 1. Prof. DR. KH. Tolchah Hasan (Ketua Dewan Penasehat MUI) 2. DR. KH. MA. Sahal Mahfudz (Ketua Umum MUI) 3. Prof. DR. HM. Din Syamsuddin (Sekretaris Umum MUI) 4. Prof. DR. Nasrun Harun (MUI Sumbar) 5. Drs. KH. A. Hafizh Usman (MUI Pusat) 6. Drs. H. Abdul Kadir Makarim (MUI NTT) 7. KH. Mujtaba Ismail, MA (MUI Kaltim) 8. KH. Drs. Fauzie Nurani (MUI Sulut) 9. KH. A. Cholil Ridwan (DDII) 10. DR. H. Fuad Ansyari (ICMI) 11. DR.H. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag. (Muhammadiyah) 12. Drs. H. Amrullah Ahmad, MA (Syarikat Islam) 13. KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA (Pesantren Gontor)
C. Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
41
Majelis Ulama Indonesia dalam Pedoman Penetapan Fatwanya nomor U-596/MUI/X/19974 yang telah diputuskan pada 18 Januari 1986 M, tentang pencabutan pedoman tata cara penetapan fatwa dan menggantinya dengan pedoman penetapan fatwa Majelis Ulama Indonesia yang baru. Dengan melihat dianamika masyarakat yang tejadi di Indonesia terasa sangat cepat seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, serta tingginya intensitas relasi sosial dengan masyarakat antar bangsa, sebagai sebuah dari dinamika dan perubahan masyarakat yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya dan kini hal itu menjadi kenyataan. Di sisi lain, tanpa disadari keberagamaan umat Islam di bumi nusantara ini semakin tumbuh subur. Sehingga sudah merupakan suatu kewajaran dan keniscayaan jika banyak sekali maslah aktual muncul yang beririsan dengan problematika hukumIslam, untuk itu umat berhak mendapatkan jawaban yang tepat dari pandangan ajaran agama Islam. Oleh karena itu, para alim ulama ditunutut untuk memberikan jawaban dan berupaya menghilangkan penantian umat akan kepastian ajaran Islam berkenaan dengan permasalahan yang mereka hadapi. Demikian juga, segala hal yang dapat menghambat proses pemberian jawaban (fatwa) sudah seharusnya segera dapat diatasi. Hal tersebut sejalan dengan firman Allah SWT 4
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, op.cit., hlm.
1.
42
ٰ ۡ ِ َون َمآ أَن َز ۡلنَا ِم َن ۡٱلبَيﱢ ٰن اس فِي َ ين يَ ۡكتُ ُم َ إِنﱠﭑلﱠ ِذ ِ ت َوٱلھُ َد ٰى ِم ۢن بَ ۡع ِد َما بَيﱠنﱠهُ لِلنﱠ ٓ ٰ ١٥٩ ون َ ُب أُوْ ٰلَ ِئ َك يَ ۡل َعنُھُ ُم ٱ ﱠ ُ َويَ ۡل َعنُھُ ُم ٱللﱠ ِعن ِ َۡٱل ِك ٰت “sesungguhnya oarng yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknat.” (QS. Al-Baqarah : 159)5
Dalam rangka merespon berbagai masalah keagamaan aktual, baik dalam lingkup nasiaonal maupun internasiaonal maka Majelis Ulama Indonesia menyediakan sebuah forum periodik yang bersifat naisonal, lintas kelompok, dan merepresentasikan seluruh pandangan keagamaan dalm umat Islam Indonesia, untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Forum tersebut adalah Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia. Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia, disamping untuk menjawab
masalah-masalah
aktual
keagamaan
(masail
diniyyah
mu’ashirah), juga dalam rangka peneguhan posisi Komisi Fatwa, baik dipusat maupun di daerah dan ajang musyawarah bersama lembaga fatwa organisasi kemasyarakatan Islam yang ada di Indonesia. Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ini, juga memberi ruang partisipasi komisi fatwa daerah, serta lembaga-lembaga organisasi masyarakat (ormas), ulama pesantren dan cendekiawan perguruan tinggi Islam.6 Respon positif muncul dari berbagai pihak atas pelaksanaan ijtima’ ulama tersebut. Di samping itu, secara internal, forum tersebut juga dapat
5
Shihab, M. Quraish, Al-Lubab Makna Tujuan, Dan Pelajaran Dari Surah-Surah AlQur’an Surah Al-Fatihah-Surah Hud,(Tanggerang :Lentera hati: 2012), cet ke 1, hlm. 57. 6 Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, Buku Panduan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia ke-5 Tahun 2015, (Jakarta : Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, 2015), cet.1, hlm.20.
43
berfungsi sebagai wahana koordinasi dan silaturrahmi antar komisi fatwa MUI dari berbagai daerah serta lembaga-lembaga fatwa ormas Islam tingkat pusat. Pelibatan peserta yang luas dan lintas golongan ini diharapkan agar setiap hasil ijtihad para peserta yang terumuskan dalm keputusan ijtima’ dapat diterima secara luas oleh masyarakat dan benarbenar menjawab apa yang sednag dibutuhkan oleh masyrakat dan bangsa ini. Beberapa hal di atas melatarbelakangi terbitnya pedoman penetapan fatwa ini. Pedoman Penetapan Fatwa ini berisi sembilan pasal. pasal 1 berisi ketentuan umum yang menjelaskan beberapa peristilahan yang perlu didefinisikan secara khusus, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman akibat dari definisi yang berbeda.7 pasal II berisi dasar-dasar umum penetapan fatwa yang menggambarkan prosedur dasar dari penetapan fatwa. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa setiap putusan harus mempunyai dasar dari Kitabullah dan sunnah rasul yang mu’tabarah, dan tidak bertentangan dengan maslahat umat. Bila tidak ditemukan, maka diupayakan jawabannya melalui ijtihad, dengan catatan : tidak bertentangan dengan Ijma’, Qiyas yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti Istihsān, Maslahah mursalah, dan Sadd al-Zarī’ah. Sebelum fatwa diputuskan, pendapat
7
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, op.cit., hlm.
3.
44
mazhab-mazhab terdahulu dengan dalil-dalil hukumnya juga perlu ditinjau dan diperhatikan, di samping pendapat para ahli.8 Pasal 3, 4, dan 5 berisi prosedur penetapan fatwa. Pasal 3 merupakan gambaran dari sikap MUI ketika menghadapi suatu masalah. Dalam hal ini, ketika MUI mendapat sebuah masalah, maka masalah itu akan dikaji oleh anggota komisi atau tim khusus paling lambat seminggu sebelum disidangkan. Bila masalah itu sudah dijelaskan oleh al-Quran dan al-Sunnah, maka tidak dianggap perlu adanya fatwa; tetapi, bila terjadi perbedaan pendapat, maka perlu ada fatwa tarjīh dari antara pendapatpendapat itu dengan menggunakan kaidah-kaidah perbandingan yang terdapat dalam fiqh muqaran. Pasal 4 merupakan kelanjutan dari pasal sebelumnya, bila setelah kajian mendalam dan komprehensif serta mempertimbangkan berbagai pendapat yang berkembang dalam sidang, fatwa siap ditetapkan. Pasal 5 merupakan gambaran tentang bagaimana dan apa saja yang harus dituangkan dalam sebuah surat keputusan fatwa. Menurut pasal ini, fatwa harus ditandatangani oleh Dewan Pimpinan, harus dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami, fatwa disertai uraian dan analisis secara ringkas, juga sumber pengambilannya. Tindak lanjut, solusi, dan rekomendasi juga dituangkan dalam keputusan fatwa bila mana perlu.9 Pasal 6 mengatur masalah sidang komisi dan tata cara penyelenggaraannya. Menurut pasal ini, sidang komisi harus dihadiri oleh 8
Ibid., hlm. 4. Ibid., hlm. 5.
9
45
anggota yang jumlahnya dianggap memadai oleh ketua komisi. Sidang komisi diadakan jika permintaan atau pertanyaan dari masyarakat, pemerintah, LSM, atau MUI sendiri yang oleh MUI dianggap perlu pembahasan dan difatwakan.10 Pasal 7 menjelaskan kewenangan dan hierarki MUI Pusat dan daerah. MUI Pusat berwenang mengeluarkan fatwa tentang masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam Indonesia secara
nasional,
sedangkan
MUI
daerah
hanya
membahas
dan
mengeluarkan fatwa tentang masalah keagamaan yang ada di daerahnya. Sebelum mengeluarkan fatwa, MUI daerah harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan MUI Pusat. Penentuan klasifikasi masalah dilakukan oleh tim khusus.11 Pasal 8 dan 9 adalah pasal penutup. Pasal 8 mengatur masalah kedudukan fatwa MUI Pusat dan daerah. Keduanya memiliki derajat yang sama dan tidak saling membatalkan. Bila mana terjadi perbedaan, maka kedua dewan pimpinan segera mengadakan pertemuan untuk mencari penyelesaian yang paling baik. Sedangkan pasal 9 mengatur kemungkinan adanya aturan tambahan dalam hal yang belum diatur dalam pedoman ini. Di samping itu, juga mengatur masa berlaku pedoman ini.12 Dari apa yang dipaparkan di atas, MUI hanya menyebutkan bahwa metode ijtihad yang dilakukan ketika MUI mendapatkan sebuah masalah,
10
Ibid., hlm. 6. Ibid., hlm. 7. 12 Ibid., hlm. 8. 11
46
maka akan mencarinya dalam ayat al-Quran, al-sunnah, dan seterusnya sebagaimana telah dijelaskan di atas.
D. Keputusan Fatwa MUI dalam Perayaan Natal Bersama Salah satu Isu yang berkembang dalam masyarakat majemuk seperti di Indonesia adalah terrkait masalah keagamaan. Pluralitas yang kadang menyebabkan antara satu masyarakat yang berbeda agama dengan masyarakat lain mensikapi perbedaan mereka tersebut dengan cara yang tidak sama. Mengenai kondisi tersebut kemudian istilah “toleransi” menjadi suatu hal yang “populer” yang harus diterapkan demi untuk menjaga kerukunan antar umat beragama dalam suatu negara. Untuk itulah maka, terkait perayaan Natal Bersama juga menjadi salah datu objek kajian dari Lembaga Majelis Ulama Indonesia. Adapun Fatwa MUI terkait masalah tersebut ditetapkan dengan meperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Perayaan Natal Bersama pada akhir-akhir ini disalahartikan oleh sebagian umat Islam dan disangka dengan umat Islam merayakan Maulid Nabi Besar Muhammad saw. 2. Karena salah pengertian tersebut ada sebagian orang Islam yang ikut dalam perayaan Natal dan duduk dalam kepanitiaan natal. 3. Perayaan Natal bagi orang-orang kristen merupakan ibadah.13 Berdasarkan alasan diatas, maka muncul beberapa pertimbangan bahwa :
13
Ibid., hlm.235.
47
1. Umat Islam perlu mendapat petunjuk yang jelas tentang Perayaan Natal Bersama. 2. Umat Islam agar tidak mencampuradukkan aqidah dan ibadahnya dengan aqidah dan ibadah agama lain. 3. Umat Islam harus berusaha untuk menambah Iman dan Taqwanya kepada Allah SWT. 4. Tanpa mengurangi usaha umat Islam dalam Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia. Selanjutnya Majelis Ulama Indonesia berusaha menelaah kembali ajaran-ajaran agama Islam baik dalam al-Qur’an dan hadits yang berkaitan dengan masalah tersebut diatas dengan penjelasan sebagai berikut : A. Bahwa umat Islam diperbolehkan untuk bekerja sama dan bergaul dengan umat agama-agama lain dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah keduniaan, berdasarkan atas : 1. Al-Quran surat al-Hujarat ayat 13:14
ۚ ٰ ٓيَأ َ ﱡيھَا ٱلنﱠاسُ إِنﱠا َخلَ ۡق ٰنَ ُكم ﱢمن َذ َك ٖر َوأُنثَ ٰى َو َج َع ۡل ٰنَ ُكمۡ ُشعُوبٗ ا َوقَبَآئِ َل لِتَ َعا َرفُ ٓو ْا إِ ﱠن أَ ۡك َر َم ُكمۡ ِعن َد ١٣ يرٞ ٱ ﱠ ِ أَ ۡتقَ ٰٮ ُكمۡۚ إِ ﱠن ٱ ﱠ َ َع ِلي ٌم َخ ِب “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu sekalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Kami menjadikan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang bertaqwa (kepada Allah). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujarat :13)
2. Al-Quran surat Luqman ayat 15 :
14
Ibid., hlm.235.
48
اح ۡبھُ َما فِي ٱل ﱡد ۡنيَا َ َس ل َ ك َعلَ ٰ ٓى أَن تُ ۡش ِر َ َوإِن ٰ َجھَدَا َ م فَ َال تُ ِط ۡعھُ َم ۖا َوٞ ك بِ ِهۦ ِع ۡل َ ك ِبي َما لَ ۡي ِ ص ٗ َم ۡعر ١٥ َاب إِلَ ۚ ﱠي ثُ ﱠم إِلَ ﱠي َم ۡر ِج ُع ُكمۡ فَأُنَبﱢئُ ُكم بِ َما ُكنتُمۡ تَ ۡع َملُون َ َُوف ۖا َوٱتﱠبِ ۡع َسبِي َل َم ۡن أَن Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaKu, Kemudian Hanya kepada- Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan. (QS. Luqman: 15)
3. Al-Quran surat Mumtahanah ayat 8 :
ٰ ۡﱢين َولَمۡ ي ُۡخ ِرجُو ُكم ﱢمن ِد ٰيَ ِر ُكمۡ أَن تَبَرﱡ وھُم ِ ﱠال يَ ۡنھَ ٰٮ ُك ُم ٱ ﱠ ُ ع َِن ٱلﱠ ِذينَ لَمۡ يُقَ ِتلُو ُكمۡ فِي ٱلد ٨ ََوتُ ۡق ِسطُ ٓو ْا إِلَ ۡي ِھمۡۚ إِ ﱠن ٱ ﱠ َ ي ُِحبﱡ ۡٱل ُم ۡق ِس ِطين “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”15
B. Bahwa umat Islam tidak boleh mencampuradukkan aqidah dan peribadatan agamanya dengan aqidah dan peribadatan agama lain berdasarkan : 1. Al-Quran surat al-Kafirun ayat 1-6 :
ٓ َ َو د ﱠماٞ ِال أَن َ۠ا عَاب
٣َمآ أَ ۡعبُ ُد
ٓ َ َو٢ َال أَ ۡعبُ ُد َما ت َۡعبُ ُدون ٓ َ ١ َقُ ۡل ٰيَٓأ َ ﱡيھَا ۡٱل ٰ َكفِرُون َال أَنتُمۡ ٰ َعبِ ُدون ٦ لَ ُكمۡ ِدينُ ُكمۡ َولِ َي ِدي ِن٥ َو َ ٓال أَنتُمۡ ٰ َعبِ ُدونَ َمآ أَ ۡعبُ ُد٤ َۡعبَدتﱡم
“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” 2. Al-Qur’an surat al-Baqarah : 42
٤٢ َت َۡعلَ ُمون
ْ ق بِ ۡﭑل ٰبَ ِط ِل َوت َۡكتُ ُم ْ َو َال ت َۡلبِس وا ۡٱل َح ﱠ ُوا ۡٱل َح ﱠ ۡق َوأَنتُم
“Dan jika kedua orang tuamu memaksamu untuk memepersekutukan dengan aku sesuatu yang kamu tidak ada pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikutinya dan 15
Ibid., hlm.236.
49
pergulilah keduanya di dunia ini dengan baik dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Kita, kemudian kepada-Kaulah kembalimu, maka akan Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” C. Bahwa umat Islam harus mengikuti kenabian dan kerasulan Isa Al Masih bin Maryam sebagaimana pengakuan mereka kepada para Nabi dan Rasul yang lain, berdasarkan atas : 1. Al-Qur’an surat Maryam : 30 32
ُ َو َج َعلَنِي ُمبَا َر ًكا أَ ۡينَ َما ُك٣٠ ب َو َج َعلَ ِني نَ ِب ٗيّا نت َ َقَا َل إِنﱢي ع َۡب ُد ٱ ﱠ ِ َءاتَ ٰٮ ِن َي ۡٱل ِك ٰت ُ ۡصلَ ٰو ِة َوٱل ﱠز َك ٰو ِة َما ُدم صنِي بِﭑل ﱠ َوبَ ۢ ﱠرا ِب ٰ َولِ َدتِي َولَمۡ يَ ۡج َع ۡلنِي َجب ٗﱠارا َشقِ ٗيّا٣١ ت َح ٗيّا َ ٰ َوأَ ۡو
٣٢
”Berkata Isa: “Sesungguhnya Aku Ini hamba Allah, dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan )menunaikan) zakat selama Aku hidup. (Dan Dia memerintahkan aku(berbakti kepada ibuku (Maryam) dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS.Maryam: 30-32)16 2. Al-Quran surat al-Maidah ayat 75 :
ٞ ﱠما ۡٱل َم ِسي ُح ۡٱب ُن َم ۡريَ َم إِ ﱠال َرس ۖة َكانَا يَ ۡأ ُك َال ِنٞ َصدﱢيق ِ ُُول قَ ۡد خَ لَ ۡت ِمن قَ ۡب ِل ِه ٱلرﱡ ُس ُل َوأُ ﱡم ۥه ٓ ۡ ٱلطﱠ َعا ۗ َم ٱنظُ ۡر َك ۡيفَ نُبَي ُﱢن لَھُم ٧٥ َت ثُ ﱠم ٱنظُ ۡر أَنﱠ ٰى ي ُۡؤفَ ُكون ِ َٱأل ٰي “Al masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang Sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar. Kedua-duanya biasa memakan makanan sebagai manusia). Perhatikan bagaimana kami menjelaskan kepada mereka (ahli Kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat- ayat kami itu).” (QS. Al-Maidah[5] : 75)
3. Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 285
ٓ ۚ َُءا َمنَﭑل ﱠرسُو ُل بِ َمآ أُنز َل إِلَ ۡي ِه ِمن ﱠربﱢ ِهۦ َو ۡٱل ُم ۡؤ ِمن ونَ ُكلﱞ َءا َمنَ بِﭑ ﱠ ِ َو َم ٰلَئِ َكتِ ِهۦ َو ُكتُبِ ِۦه َو ُر ُسلِ ِهۦ َال ِ ۡ ۖ ۡ َ ْ ُ َ َ ُ ۡ ۡ ۡ ۚ َ ُ نُفَرﱢ َ َ َ َ ٢٨٥ صي ُر َ ق بَ ۡينَ أَ َح ٖد ﱢمن رﱡ ُسلِ ِهۦ َوقالوا َس ِمعنا َوأطعنا غف َرانكَ َربﱠنا َوإِلي ِ ك ٱل َم 16
Ibid., hlm. 237.
50
“Rasul (Muhammad Telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman: semuanya beriman kepada Allah, malaikatmalaikat-Nya, kitab-kitab- Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): “Kami tidak membeda- bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (mereka berdoa): Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” D. Bahwa barangsiapa berkeyakinan bahwa Tuhan itu lebih dari satu, Tuhan itu mempunyai anak Isa al Masih itu anaknya, maka orang itu kafir dan musyrik, berdasarkan atas : 1. Al-Quran surat al-Maidah ayat 72 :17
ْ ٱعبُ ُد ۡ لَقَ ۡد َكفَ َر ٱلﱠ ِذينَ قَالُ ٓو ْا إِ ﱠن ٱ ﱠ َ ھُ َو ۡٱل َم ِسيح ُۡﭑب ُن َم ۡريَ ۖ َم َوقَا َل ۡٱل َم ِسي ُح ٰيَبَنِ ٓي إِ ۡس ٰ َٓر ِءي َل َ واٱ ﱠ ٰ َربﱢي َو َربﱠ ُكمۡۖ إِنﱠ ۥهُ َمن ي ُۡش ِر ۡك ِبﭑ ﱠ ِ فَقَ ۡد َح ﱠر َم ٱ ﱠ ُ َعلَ ۡي ِه ۡٱل َجنﱠةَ َو َم ۡأ َو ٰٮهُ ٱلنﱠا ۖ ُر َو َما لِلظﱠ ِل ِمينَ ِم ۡن ٧٢ ص ٖار َ أَن “Sesungguhnya Telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al masih putera Maryam”, padahal Al masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.”(QS. al-Maidah: 72)
2. QS. al-Maidah Al-Quran Surat al-Maidah ayat 73 :
ْ ۚد َوإِن لﱠمۡ يَنتَھٞ ٰ َو ِحٞال إِ ٰلَه ُ ِلﱠقَ ۡد َكفَ َر ٱلﱠ ِذينَ قَالُ ٓو ْا إِ ﱠن ٱ ﱠ َ ثَال ٓ ث ثَ ٰلَثَ ٖ ۘة َو َما ِم ۡن إِ ٰلَ ٍه إِ ﱠ َُوا َع ﱠما يَقُولُون ْ لَيَ َمس ﱠﱠن ٱلﱠ ِذينَ َكفَر ٧٣ ُوا ِم ۡنھُمۡ َع َذابٌ أَ ِلي ٌم “Sesungguhnya kafir orang-orang yang mengatakan: “Bahwa Allah itu adalah salah seorang dari yang tiga(Tuhan itu ada tiga), padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan disentun siksaan yang pedih.” (QS. al-Maidah: 73)
3. Al-Quran surat at-Taubah : 30
17
Ibid., hlm.238.
51
ۡ ص َر ض ِھُٔونَ قَ ۡو َل َ ٰ ُٮﭑل َم ِسيح ُۡﭑبنُﭑ ﱠ ۖ ِ ٰ َذلِكَ قَ ۡولُھُم بِأ َ ۡف ٰ َو ِھ ِھمۡ ۖ ي َ ٰ ت ٱلنﱠ ِ ََوقَالَ ِت ۡﭑليَھُو ُد ُعز َۡي ٌر ۡٱبنُﭑ ﱠ ِ َوقَال ْ ٱلﱠ ِذينَ َكفَر ٣٠ َُوا ِمن قَ ۡب ۚ ُل ٰقَتَلَھُ ُم ٱ ﱠ ۖ ُ أَنﱠ ٰى ي ُۡؤفَ ُكون “Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu anak Allah, dan orang-orang Nasrani berkata: “Al Masih itu anak Allah. Demikianlah itu ucapan dengan mulut mereka, mereka meniru ucapan/perkataan orang-orang kafir yang terdahulu, dilaknati Allah-lah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling.” (QS. atTaubah: 30)
E. Bahwa Allah pada hari kiamat nanti akan menanyakan Isa, apakah dia pada waktu di dunia menyuruh kaumnya, agar mereka mengakui Isa dan ibunya (Maryam) sebagai Tuhan. Isa menjawab “tidak” : Hal itu berdasarkan atas :18
ٰ ۡ ۡ ون ٱ ﱠ ۖ ِ قَا َل ِ اس ٱتﱠ ِخ ُذونِي َوأُ ﱢم َي إِلَھَ ۡي ِن ِمن ُد ِ َوإِذ قَا َل ٱ ﱠ ُ ٰيَ ِعي َسى ۡٱبنَ َم ۡريَ َم َءأَنتَ قُلتَ لِلنﱠ ۚ ۡ ُ ق إِن ُك س ِلي بِ َح ﱟ ُ ك َما يَ ُك نت قُلتُهۥُ فَقَ ۡد َعلِمۡ تَ ۚهۥُ ت َۡعلَ ُم َما ِفي َ َس ُۡب ٰ َحن َ ون ِل ٓي أَ ۡن أَقُو َل َما لَ ۡي ٰ ُ َما قُ ۡل١١٦ ب ٓ َ نَ ۡف ِسي َو َ َك أ ت لَھُمۡ إِ ﱠال َمآ أَ َم ۡرتَنِي َ ال أَ ۡعلَ ُم َما فِي نَ ۡف ِس ۚكَ إِنﱠ ِ نت عَلﱠ ُم ۡٱل ُغيُو ْ ٱعبُ ُد ۡ بِ ِٓهۦ أَ ِن ُ ۡنت َعلَ ۡي ِھمۡ َش ِھ ٗيدا ﱠما ُدم ُ واٱ ﱠ َ َربﱢي َو َربﱠ ُكمۡۚ َو ُك َ َنت أ َ ت فِي ِھمۡۖ فَلَ ﱠما تَ َوفﱠ ۡيتَنِي ُك نت ك َوإِن ت َۡغفِ ۡر َ ۖ إِن تُ َع ﱢذ ۡبھُمۡ فَإِنﱠھُمۡ ِعبَا ُد١١٧ يب َعلَ ۡي ِھمۡۚ َوأَنتَ َعلَ ٰى ُك ﱢل َش ۡي ٖء َش ِھي ٌد َ ِٱل ﱠرق َ َك أ ١١٨ نت ۡٱل َع ِزي ُز ۡٱل َح ِكي ُم َ لَھُمۡ فَإِنﱠ “Dan (Ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai Isa putera Maryam, Adakah kamu mengatakan kepada manusia(kaummu): Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah?. Isa menjawab: “Maha Suci Engkau (Allah) , tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). jika aku pernah mengatakannya tentu Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku sedangkan Aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui perkara yang ghaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecualiapa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakannya) yaitu: Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Tetapi setelah Engkau wafatkan aku, Engkau sendirilah yang Menjadii pengawas mereka. Engkaulah pengawas dan saksi atas segala sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah: 116-118)
18
Ibid., hlm.239.
52
F. Islam mengajarkan bahwa Allah SWT ituhanya satu, berdasarkan AlQuran surat al-Ikhlas :
٤ يَ ُكن لﱠهۥُ ُكفُ ًوا أَ َح ۢ ُد
َۡولَم
٣ يُولَ ۡد
ۡلَمۡ يَلِ ۡد َولَم
ٱللﱠھُﭑل ﱠ١قُ ۡل ھُ َو ٱ ﱠ ُ أَ َح ٌد ٢ ص َم ُد
“Katakanlah: “Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya.Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (QS. al-Ikhlas : 1-4)19 G. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Allah SWT serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kemaslahatan, berdasarkan atas : a. Hadis Nabi SAW dari Nu’man bin Basyir:
ِ ﺎت َﻻ ﻳَـ ْﻌﻠَ ُﻤ ُﻬ ﱠﻦ َﻛﺜِْﻴـٌﺮ ِﻣ َﻦ اﻟﻨﱠ ﻓَ َﻤ ِﻦ اﺗﱠـ َﻘﻰ,ﺎس ْ ﲔ َواِ ﱠن ْ اِ ﱠن ٌ اﳊََﺮ َام ﺑَـ ﱢ ٌ اﳊَ َﻼ َل ﺑَـ ﱢ ٌ ﲔ َوﺑَـْﻴـﻨَـ ُﻬ َﻤﺎاُُﻣ ْﻮٌرُﻣ ْﺸﺘَﺒِ َﻬ ِ َوﻣﻦ وﻗَﻊ ِﰱ اﻟ ﱡﺸﺒـﻬ,ﺎت اِﺳﺘﺒـﺮءﻟِ ِﺪﻳﻨِ ِﻪ وﻋﺮ ِﺿ ِﻪ ِ اﻟ ﱡﺸﺒـﻬ اﳊِ َﻤﻰ ْ اﳊََﺮِام َﻛﺎﻟﱠﺮا ِﻋﻰ َﺣ ْﻮَل ْ ﺎت َوﻗَ َﻊ ِﰱ َُ َُ ْ َ َ ْ َ َ َْ ْ َ َْ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ )ﻋﻦ ﻧﻌﻤﺎن ﺑﻦ.ُ اََﻻ َوا ﱠن ﲪَﻰ اﷲ َﳏَﺎ ِرُﻣﻪ, اََﻻ َوا ﱠن ﻟ ُﻜ ِﻞ َﻣﻠﻚ ﲪًﻰ,ﻚ اَ ْن ﻳَـ ْﺮﺗَ َﻊ ﻓْﻴﻪ ُ ﻳـُ ْﻮ ِﺷ (ﺑﺸﲑ “Sesungguhnya apa-apa yang halal itu telah jelas dan apa-apa yang haram itu pun telah jelas, akan tetapi di antara keduanya itu banyak yang syubhat (seperti halal, seperti haram). Kebanyakan orang tidak mengetahui yang syubhat itu. Barang siapa memelihara diri dari yang syubhat itu, maka bersihlah agamanya dan kehormatannya, tetapi barang siapa jatuh pada yang syubhat maka berarti ia telah jatuh kepada yang haram, semacam orang yang menggembalakan binatang makan di daerah larangan itu. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai larangan dan ketahuilah bahwa larangan Allah ialah apa-apa yang diharamkan-Nya (oleh akrena itu hanya haram jangan didekati).” b. Kaidah Ushul Fikih
ِِ ِ ﱠم َﻋﻠَﻰ َﺟ ْﻠ .ﺼﺎ ﻟِ ِﺢ ٌ َد ْرءُاﻟْ َﻤ َﻔﺎ ﺳﺪ ُﻣ َﻘﺪ َ ﺐ اﻟَ َﻤ
“Menolak kerusakan-kerusakan itu didahulukan daripada meanrik kemaslahatan-kemaslahatan (jika tidak demikian sangat mungkin mafasidnya yang diperoleh, sedangkan masholihnya tidak dihasilkan).” 19
Ibid. hlm.240.
53
Setelah melalui beberapa proses pertimbangan, pembahasan serta telaah sumbr hukum Islam mengenai masalah perayaan Natal bersama, maka Majelis Ulama Indonesia memutuskan dan menfatwakan beberapa hal dibawah ini: 1. Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas. 2. Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram. 3. Agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.20
20
Ibid., hlm. 242.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pandangan hukum Islam terhadap toleransi antar umat beragama di Indonesia. Islam adalah agama yang bersifat toleran, yang eksistensinya tidak tersekat oleh ruang dan waktu. Islam merupakan agama sepanjang sejarah kemanusiaan yang dibawa oleh Muhammad saw , Nabi dan Rasul Allah SWT. Sumber dari toleran tersebut berpangkal dari pengertian ‘Islam” itu sendiri. Islam adalah sebuah kata bahasa arab yang artinya berarti damai, tunduk, menyerah dan taat. Islam memberikan perhatian khusus terhadap agama lain khususnya Kristen dan Yahudi, dengan kedua agama ini Islam mempunyai hubungan yang erat. Islam mengakui bahwa kedua agama ini berasal dari satu sumber, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Perintah Islam agar umatnya bersikap toleran, ini terdapat pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 256 yang berbunyi :
ٰ َٓ ت َوي ُۡؤ ِم ۢن بِﭑ ﱠ ِ فَقَ ِد ِ َي فَ َمن يَ ۡكفُ ۡر بِﭑلطﱠ ُغو ال إِ ۡك َراهَ فِي ٱلدﱢي ۖ ِن قَد تﱠبَيﱠنَ ٱلرﱡ ۡش ُد ِمنَ ۡٱلغ ۚ ﱢ ۡ ٢٥٦صا َم لَھَ ۗا َوٱ ﱠ ُ َس ِمي ٌع َع ِلي ٌم َ ٱستَمۡ َس َ ِك ِب ۡﭑلع ُۡر َو ِة ۡٱل ُو ۡثقَ ٰى َال ٱنف “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) Agama (Islam); sesungguhnya yang telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thoghut (syaitan) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha penyayang”.(Q.S Al- Baqarah: 256).1
1
Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya,( Semarang : C.V Al Wa’ah, 1971), hlm. 63.
54
55
Jika saja umat beragama memiliki kesungguhan mempelajari kitab sucinya, maka mereka akan menemukan bahwa kitab suci mengajarkan adanya titik temu agama-agama. Al-Qur’an misalnya menggagaskan pencarian titik temu itu dalam beberapa prinsip. Pertama,
al-Qur’an
menggagaskan
keuniversalan
ajaran
Tuhan,artinya ajaran agama itu, khususnya agama samawi, semua bersumber dari Tuhan Yang Satu sebagaimana firman-Nya :
ٗ ُﱢين َما َوص ٰﱠى بِ ِهۦ ن ك َو َما َوص ۡﱠينَا بِ ِٓۦه إِ ۡب ٰ َر ِھي َم َ ي أَ ۡو َح ۡينَآ إِلَ ۡي ٓ وحا َوٱلﱠ ِذ ِ َش َر َع لَ ُكم ﱢمنَ ٱلد ۡ ْ ُوا ٱل ﱢدينَ َو َال تَتَفَ ﱠرق ْ َو ُمو َس ٰى َو ِعي َس ٰۖ ٓى أَ ۡن أَقِي ُم وا فِي ۚ ِه َكبُ َر َعلَى ٱل ُم ۡش ِر ِكينَ َما ت َۡد ُعوھُمۡ إِلَ ۡي ۚ ِه ١٣ ُٱ ﱠ ُ يَ ۡجتَبِ ٓي إِلَ ۡي ِه َمن يَ َشآ ُء َويَ ۡھ ِد ٓي إِلَ ۡي ِه َمن يُنِيب “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwariskan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamudan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa , Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah mengenainya“.(Q.S Asy-Syuuro:13)2 Prinsipkedua, yang ditekankan al-Qur’an menyangkut titik temu agama-agama itu adalah kesatuan nubuwwah (kenabian). Semua nabi-nabi yang menyampaikan ajaran agama itu adalah bersaudara, dalam firmanNya :
ُ ُ وب َ يل َوإِ ۡس ٰ َح َ ُق َويَ ۡعق َ نز َل إِلَ ٰ ٓى إِ ۡب ٰ َر ِۧھ َم َوإِ ۡس ٰ َم ِع ِ نز َل إِلَ ۡينَا َو َمآ أ ِ قُولُ ٓو ْا َءا َمنﱠا بِﭑ ﱠ ِ َو َمآ أ ُ ُ اط َو َمآ أُوتِ َي ُمو َس ٰى َو ِعي َس ٰى َو َمآ أو ِت َي ٱلنﱠ ِبيﱡونَ ِمن ﱠربﱢ ِھمۡ َال نُفَ ﱢر ۡق بَ ۡينَ أَ َح ٖد ﱢم ۡنھُم ِ ََو ۡٱألَ ۡسب ١٣٦ ََونَ ۡح ُن لَ ۥهُ ُم ۡسلِ ُمون “Katakanlah (hai orang-orang yang mukmin), kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, dan Ya’kub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa, serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk dan patuh kepada- Nya” (Q.S. Al Baqoroh: 136).
2
Ibid., hlm. 78.
56
Prinsip yang ketiga, aqidah tidak dapat dipaksakan bahkan harusmengandung kerelaan dan kepuasan. Petunjuk Tuhan ini amatlah jelas, diantaranya:
َٓ ٢٥٦ ...........ﱢين ِ ۖ ال إِ ۡك َراهَ فِي ٱلد
Artinya : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (Q.S. AlBaqoroh 256)3 Kemudian dalam surat Yunus ayat 99 Allah berfirman :
٩٩
ْ ُاس َحتﱠ ٰى يَ ُكون َوا ُم ۡؤ ِم ِنين َ أَفَأَنتَ تُ ۡك ِرهُ ٱلنﱠ............
Artinya : “…maka apakah kamu (hendak (memaksa) manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya.”(Q.S. Yunus : 99)4
Dari ayat diatas ditegaskan bahwa agama Islam tidak mengenal unsur-unsur paksaan, hal ini berlaku mengenai cara, tingkah laku sikap hidup dalam segala keadaan dipandang sebagai sesuatu hal esensial. Karena itu Islam bukan saja mengajarkan supaya jangan melakukan kekerasan dan paksaan, tetapi Islam mewajibkan pula seseorang muslim harus menghormati agama-agama non muslim atau pemeluk-pemeluknya dalam pergaulan. Dalam ayat lain Allah menerangkan bahwa jika Allah menghendakimaka akan menjadikan seluruh manusia untuk beriman, mengenai hal ini sebagaimana firman-Nya :
3
Departemen Agama RI Al-Qu’an dan Terjemahnya, (Bandung : CV Penerbit diponegoro, 2003). hlm. 33. 4 Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang : CV Toha Putra, 1993), hlm. 271.
57
ۡ ٓ َ َولَ ۡو َشآ َء َر ﱡب ْ ُاس َحتﱠ ٰى يَ ُكون وا َ ض ُكلﱡھُمۡ َج ِميع ًۚا أَفَأَنتَ تُ ۡك ِرهُ ٱلنﱠ ِ ك َأل َمنَ َمن فِي ٱألَ ۡر ٩٩ َُم ۡؤ ِمنِين Artinya : “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua oramg yang di muka bumi seluruhnya, maka apakaah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semua. (Q.S. Yunus : 99)5 Dengan berdasarkan ayat di atas maka jelaslah keimanan kepercayaantidak dapat dipaksakan kepada seseorang. Jika Allah menghendaki maka tentu akan menjadikan manusia semuanya menjadi muslim. Namun Allah SWT tidak menghendaki demikian, oleh karena itu seseorang tidak memaksakan untuk beriman. Abdul Aziz Sachedina menambahkan, bahwa di dalam al-Qur’an juga terdapat prinsip pengakuan (affirmative) terhadap keberagaman yang memberikan peringatan kepada manusia, yaitu :
ۡ َف ٩٢ ون ِ ﭑعبُ ُد
ۡإِ ﱠن ٰھَ ِذ ِٓۦه أُ ﱠمتُ ُكمۡ أُ ﱠم ٗة ٰ َو ِحد َٗة َوأَن َ۠ا َربﱡ ُكم
Artinya : “Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan aku adalah Tuhanmu, karena itu hendaklah kamu menyembahku (Q.S. al Anbiya’ : 92)6
Dalam surat al-Baqarah ayat 213 dijelaskan bahwa manusia adalah umat yang satu, yang berbunyi :
َ َكانَ ٱلنﱠاسُ أُ ﱠم ٗة ٰ َو ِحد َٗة فَبَ َع ب ِب ۡﭑل َح ﱢ ق َ َث ٱ ﱠ ُ ٱلنﱠ ِب ۧيﱢنَ ُمبَ ﱢش ِرينَ َو ُمن ِذ ِرينَ َوأَن َز َل َم َعھُ ُم ۡٱل ِك ٰت ۡ وا فِي ۚ ِه َو َما ۡ اس فِي َما ْ ُٱختَلَف ٱختَلَفَ فِي ِه إِ ﱠال ٱلﱠ ِذينَ أُوتُوهُ ِم ۢن بَ ۡع ِد َما َجآ َء ۡتھُ ُم ِ لِيَ ۡح ُك َم بَ ۡينَ ٱلنﱠ ۡ ۡ ۡ ْ ْ ﱠ ﱠ ﱠ ُ ُ َۡٱلبَيﱢ ٰن ت بَ ۡغ ۢيَا بَ ۡينَھُمۡ ۖ فَھَدَى ٱ ُ ٱل ِذينَ َءا َمنُوا لِ َما ٱختَلَفوا فِي ِه ِمنَ ٱل َح ﱢ ق بِإِذنِ ۗ ِهۦ َوٱ ُ يَ ۡھ ِدي َمن ٢١٣ ص ٰ َر ٖط ﱡم ۡستَقِ ٍيم ِ يَ َشآ ُء إِلَ ٰى Artinya : “Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan 5
Ibid., hlm. 322. Soenarjo, op.cit., hlm. 507.
6
58
Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang- orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (Q.S. al Baqarah : 213)7 Dari Ayat diatas muncul tiga fakta : 1. Kesatuan umat manusia di bawah satu Tuhan; 2. Kekhususan agama-agama yang dibawakan para nabi; 3. Dan peranan wahyu (kitab suci) dalam mendamaikan perbedaan diantara berbagai umat.8 Ketiganya merupakan konsepsi fundamental al-Qur’an mengenai pluralisme agama.9 Di satu sisi konsepsi itu tidak mengingkari kekhususan berbagai agama dan kontradiksi-kontradiksi yang mungkin ada di antara agama itu berkenaan dengan praktek dan kepercayaan yang benar. Di sisi 7
Ibid., hlm. 51. Abdul Aziz Sachedina, The Islamic Roots of Democratic Pluralism, terj. Satrio Wahono, Beda Tapi Setara, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), hlm. 50. 9 Pluralisme secara lughowi berasal dari kata plural ( Inggris) yang berarti jamak, dalam arti keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak hal lain di luar kelompok kita yang harus diakui, oleh sebab itu dikatakan senantiasa terdiri dari banyak hal, berbagai jenis berbagai sudut pandang serta berbagai latar belakang. Lihat Elga Sarapung dan Zuly Qodir, Memahami, Pluralisme, Konflik dan Perdamaian, dalam TH Sumartana, Pluralisme Konflik dan Perdamaian; Studi Bersama Antar Iman (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 7. Sementara pluralisme menurut Syamsul Ma’arif, dalam bukunya “Pendidikan Pluralisme di Indonesia” adalah suatu sikap yang mengakui dan sekaligus menghargai,menghormati, memelihara, dan bahkan mengembangkan, atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak. Lihat Syamsul Maa’rif, Pendidikan Pluralisme Di Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005) hlm. 12. Dalam fatwa MUI disebutkan pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa suatu agama adalah sama dan karenanya kebenarannya setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa agamanya sajalah yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Lihat MUNAS VII Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005, (Jakarta: DDI, 2005), hlm. 4. 8
59
lain, konsepsi itu menekankan kebutuhan untuk mengakui kesatuan manusia dalam penciptaan dan kebutuhan untuk berusaha menumbuhkan pemahaman yang lebih baik antar umat beragama. Al-Qur’an juga menegaskan bahwa keberagaman manusia itu tak terelakan bagi suatu tradisi tertentu untuk menentukan kepercayaan umum,nilai, dan tradisi yang perlu bagi kehidupan bermasyarakat.10 Hal di dalam firman Nya Al-Qur’an surat al-Hujarat ayat 13 :
ۚ ٰ ٓيَأ َ ﱡيھَا ٱلنﱠاسُ إِنﱠا خَ لَ ۡق ٰنَ ُكم ﱢمن َذ َك ٖر َوأُنثَ ٰى َو َج َع ۡل ٰنَ ُكمۡ ُشعُوبٗ ا َوقَبَآئِ َل لِتَ َعا َرفُ ٓو ْا إِ ﱠن أَ ۡك َر َم ُكمۡ ِعن َد ١٣ يرٞ ٱ ﱠ ِ أَ ۡتقَ ٰٮ ُكمۡۚ إِ ﱠن ٱ ﱠ َ َع ِلي ٌم َخ ِب Artinya : “Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu laki-laki dan perempuan; dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu bisa mengenal satu sama lain. Sesungguhnya semulia-mulia kamu disisi Allah ialah yang paling bertaqwa. Allah itu Maha Mengetahui dan Maha Mengenal,” (Q.S. al Hujarat : 13)11 Dalam hubungannya dengan kemasyarakatan golongan non muslim, Islam tidaklah sebagai agama yang menutup diri dengan komunitas masyarakat, akan tetapi membuka diri dengan umat yang lain yang berlainan agama, selama tidak membahayakan eksistensinya. Allah menganjurkan kaum muslimin supaya berlaku baik terhadap orang-orang yang non muslim dengan adil, sebagaimana firman-Nya :
ٰ ۡﱢين َولَمۡ ي ُۡخ ِرجُو ُكم ﱢمن ِد ٰيَ ِر ُكمۡ أَن تَبَرﱡ وھُم ِ ﱠال يَ ۡنھَ ٰٮ ُك ُم ٱ ﱠ ُ ع َِن ٱلﱠ ِذينَ لَمۡ يُقَ ِتلُو ُكمۡ فِي ٱلد ٰ ﱢين ِ إِنﱠ َما يَ ۡنھَ ٰٮ ُك ُم ٱ ﱠ ُ ع َِن ٱلﱠ ِذينَ قَتَلُو ُكمۡ فِ ٓي ٱلد٨ ََوتُ ۡق ِسطُ ٓو ْا إِلَ ۡي ِھمۡۚ إِ ﱠن ٱ ﱠ َ ي ُِحبﱡ ۡٱل ُم ۡق ِس ِطين ْ ظھَر َ ٰ َوأَ ۡخ َرجُو ُكم ﱢمن ِد ٰيَ ِر ُكمۡ َو ك ھُ ُم َ ِاج ُكمۡ أَن تَ َولﱠ ۡوھُمۡۚ َو َمن يَت ََولﱠھُمۡ فَأ ُ ْو ٰلَئ ِ ُوا َعلَ ٰ ٓى إِ ۡخ َر ٰ ٩ َٱلظﱠلِ ُمون Artinya : 10 11
Abdul Aziz Sachedina, op. cit hlm. 58. Soenarjo, op. cit., hlm. 847.
60
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berperilaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kamu karena agama dan tiada pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah hanya menyukai orang- orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa yang menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim”.(Q.S. al Mumtahanah : 8-9)12 Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada halangan bagi umat muslimuntuk berlaku baik, berbuat adil terhadap non muslim selama tidak membahayakan agama dan umat Islam. Akan tetapi Allah juga mengingatkan umat Islam bahwa hubungan dengan nonmuslim itu ada batasnya, yakni bilamana golongan lain memusuhi agama dan umat Islam, maka Allah melarang untuk bersahabat dengan mereka. Bahkan dalam situasi dan kondisi demikian umat Islam diwajibkan berjihad dengan jiwa dan raga serta harta dan bendanya untuk mempertahankan Islam. Dalam
Islam,
al-Qur’an
telah
memberi
petunjuk,
bagaimanaberdialog yang baik, sehingga bisa menghasilkan sikap saling pengertian,bukan saling berselisih dan kemudian terlibat konflik. Sebagaimana firman Allah :
ْ ظلَ ُم َ َب إِ ﱠال بِﭑلﱠتِي ِھ َي أَ ۡح َس ُن إِ ﱠال ٱلﱠ ِذين ي ٓ وا ِم ۡنھُمۡۖ َوقُولُ ٓو ْا َءا َمنﱠا بِﭑلﱠ ِذ ِ ََو َال تُ ٰ َج ِدلُ ٓو ْا أَ ۡھ َل ۡٱل ِك ٰت ُ ُ ٤٦ َد َونَ ۡح ُن لَهۥُ ُم ۡسلِ ُمونٞ نز َل إِلَ ۡي ُكمۡ َوإِ ٰلَھُنَا َوإِ ٰلَھُ ُكمۡ ٰ َو ِح ِ نز َل إِلَ ۡينَا َوأ ِ أ Artinya : “Janganlah berdebat dengan orang-orang dari Ahli kitab, kecuali dengan cara yang adil, bimbinglah kepada mereka kepada mereka yang berbuat salah. Katakanlah ,’kita telah beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada kita, dan apa yang telah diturunkan kepada sekalian kamu sekalian. Tuhan kami dan Tuhan kamu 12
Ibid., hlm. 924.
61
adalah Tuhan yang satu; kepadanyalah kita berserah diri. (Q.S. Al Ankabut : 46). Dalam surat An Nahl ayat 125 juga disebutkan :
َ يل َربﱢكَ ِب ۡﭑل ِح ۡك َم ِة َو ۡٱل َم ۡو ِع ُ ۡٱد ظ ِة ۡٱل َح َسنَ ۖ ِة َو ٰ َج ِد ۡلھُم بِﭑلﱠ ِتي ِھ َي أَ ۡح َس ۚ ُن إِ ﱠن َربﱠكَ ھُ َو ِ ع إِلَ ٰى َس ِب ١٢٥ َض ﱠل عَن َس ِبيلِِۦه َوھُ َو أَ ۡعلَ ُم بِ ۡﭑل ُم ۡھتَ ِدين َ أَ ۡعلَ ُم ِب َمن Artinya : ”Ajaklah mereka kejalan Tuhanmu dengan cara metode yang bijaksana (tepat), dan dengan petunjuk yang baik, serta berdebatlah (berdialoq) dengan cara yang hasanah (arif)”…(Q.S. An-Nahl : 125).
Jika dalam dialog atau perdebatan tidak memperoleh titik temu yang mampu menciptakan sikap saling pengertian, maka al-Qur’an pun memberi petunjuk tentang jalan yang terbaik yang bisa ditempuh. Yakni masing-masing tetap pada jalannya sendiri, dengan tanpa saling membenci dan saling bermusuhan.
٦ ين ِ َولِ َي ِد
ۡلَ ُكمۡ ِدينُ ُكم
Artinya : ”Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (Q.S Al Kafirun : 6). Atau dalam surat Saba’ : 25-26 dijelaskan :
قُ ۡل يَ ۡج َم ُع بَ ۡينَنَا َر ﱡبنَا ثُ ﱠم يَ ۡفتَ ُح بَ ۡينَنَا
٢٥
َٔۡ ُسلُونَ َع ﱠمآ أَ ۡج َرمۡ نَا َو َال ن َٔۡ ُقُل ﱠال ت َس ُل َع ﱠما ت َۡع َملُون ٢٦ ِب ۡﭑل َح ﱢق َوھُ َو ۡٱلفَتﱠا ُح ۡٱل َعلِي ُم
Artinya : ”Katakanlah, kamu (non muslim ) tidak akan bertanggung jawab tentang dosa yang kami berbuat, dan kami tidak akan ditanya tentang apa yang kamu perbuat. Katakanlah, Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan yang benar, dan Dialah Maha Pemberi Keputusan dan Maha mengetahui”(Q.S. Saba’ : 25-26).
Ayat-ayat al-Qur’an di atas menunjukkan bahwa Islam senantiasa mengajarkan dan menegakkan hidup berdampingan secara damai dalam kehidupan bermasyarakat serta menciptakan ketentraman hidup di muka
62
bumi. Landasan tersebut adalah suatu kebijaksanaan Allah dalam mengatur antar manusia yang berbeda agama dan kepercayaan. Demikianlah halnya dengan umat Islam terhadap orang-orang nonmuslim agar terealisasi persahabatan dan sikap menghormati. Adapun ajaran Nabi yang lain mengenai hubungan dengan non muslim yang tercermin dalam sikap Nabi terhadap ahlul dzimmah, yaitu orang- orang non muslim yang tinggal di bawah naungan negara Islam, di mana mereka diperlakukan dengan baik, dijamin dan dilindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan kehormatannya. Mereka juga diberi kebebasan memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan yang dianutnya. Golongan dzimmi mendapat hak yang sama dengan Islam dalam masalahperdata. Mereka dibebani membayar jizyah sebagai ganti tugas keamanan yang jumlahnya lebih ringan dibandingkan kewajiban umat Islam, dalam membayar zakat. Terhadap dzimmi Nabi menegaskan kepada umatnya agar tidak mengganggu, menyakiti, atau berbuat yang tidak baik sebagaimana sabda Nabi: “Barangsiapa mengganggu seorang kafir dzimmi, maka saya adalah musuhnya dan barangsiapa memusuhi saya, maka akan saya musuhinya nanti di hari kiamat.”13 Hadits ini menggambarkan betapa besarnya perhatian Nabi kepadaahlul dzimmah sehingga Nabi senantiasa agar tidak mengganggu ataumenyakitinya. Dalam hadits ini pula menunjukkan bahwa dzimmi tidak boleh diganggu haknya (keselamatan, jiwa, harta benda, kehormatan, 13
Imam Jalaluddin Abdurrahman Abu Bakar As Suyuthi, Al Jamiush Shaghir,( Daar Al Qalam,Cairo, tt.), hlm.158.
63
dan kebebasan beragama). Nabi akan bertindak dan mengajukan orang yang menyakiti atau mengganggu hak dzimmi kepada Allah SWT. Sikap yang ditunjukkan Nabi merupakan hubungan non muslim yang sangat mengesankan adalah memberikan pengampunan terhadap orang musyrik Mekkah, di mana orang-orang Quraisy pernah menjadi pihak yang berkuasa melakukan apa saja terhadap Nabi dan pengikutnya yang berupa penindasan, rintangan dalam menyiarkan Islam dan berbagai bentuk gangguan lainnya. Akan tetapi pada gilirannya, Nabi merupakan pihak yang menang tidak pernah melakukan balas dendam terhadap orang Quraisy tersebut. Nabi juga mengajarkan umat Islam untuk berlaku ramah, toleransi baik itu terhadap sesama muslim ataupun kepada orang-orang non muslim. Gagasan titik temu
al-Qur’an itu telah dilakukan Nabi
Muhammad saw dalam masyarakat Madinah, dan lebih terkenalnya dengan “Piagam Madinah”. Kata “piagam” berarti surat resmi yang bersisi pernyataan pemberian hak, yaitu berisi pernyataan dan pengukuhan mengenai sesuatu.14Sedangkan kata “Madinah” menunjuk pada tempat dibuatnya naskah. Melihat
proses
perumusannya
Piagam
Madinah
adalah
dokumenpolitik penting yang dianut oleh Nabi Muhammad saw sebagai perjanjianantara golongan-golongan Muhajirin, Anshar, dan Yahudi, serta sekutunya. Dokumen itu mengandung prinsip-prinsip atau peraturan-
14
Tim penyusun, Kamus Besar Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1988), hlm.680.
64
peraturan penting yang menjamin hak-hak mereka dan menerapkan kewajiban-kewajiban mereka sebagai dasar bagi kehidupan bersama dalam kehidupan sosial politik.15 Perjanjian itu adalah merupakan salah satu rangka di dalam usaha untuk membina masyarakat baru yang sesuai dengan cita Islam yang mempunyai dua sendi. Sendi yang pertamaialah hidup berdampingan secara damai dengan semua golongan, yang kedua ialah tentang terwujudnya kemerdekaan beragama yang tidak hanya diakui dan diizinkan oleh Islam, tetapi juga harus dipertahankan dan dijamin olehnya. Susunan masyarakat yang dikehendaki oleh Islam adalah masyarakat yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan toleransi. Di antara garis-garis besar dari perjanjian itu adalah sebagai berikut : 1. Orang-orang Islam dari Muhajirin dan Anshar adalah satu ummat. 2. Orang Islam yang bersalah harus dihukum, tidak pandang bulu, walaupun anaknya sendiri. 3. Orang-orang Yahudi yang ikut orang Islam akan mendapat hak dan bantuan yang sama, mereka ditolong dan dilindungi dari perlakuan yang tidak wajar, dan orang Islam tidak akan bersekutu dengan golongan lain untuk melawan mereka. 4. Seorang Muslim tidak boleh melindungi harta atau jiwa orang musyrik. 15
101.
Adl A’la, dkk., Nilai-nilaiPluralisme dalam Islam,( Bandung : Huansa, 2005), hlm.
65
5. Seorang Muslim tidak boleh membantu atau melindungi penjahat. 6. Biasa untuk mempertahankan kota Madinah dipikul bersama antara orang Yahudi dan Islam, antar keduanya harus bahu-membahu mengusir musuh. 7. Kedua belah pihak harus saling membantu ketika sedang diserang musuh. 8. Salah satu pihak tidak boleh mendurhakai sekutunya dan apabila ada yang teraniaya harus rela dan dibantu. 9. Kedua belah pihak harus saling membantu. 10. Kaum Yahudi bebas menjalankan syariatnya, begitu juga kaum muslimin. 11. Semua pihak mendapat jaminan keamanan kecuali orang yang bersalah. 12. Harus bersikap baik terhadap tetangga.16 Semua itu adalah untuk mewujudkan kehidupan yang rukun dan tertib di Madinah. Semua golongan harus hidup berdampingan secara damai, dalam suasana persahabatan dan penuh ketenteraman. Sementara itu dalam amandemen 1 tahun 622 Piagam Madinahdikembangkan lagi dengan pengaturan hidup beragama dengan umat Nasrani yang berisikan: 1. Bagi
Orang-orang
Nasrani
dan
daerah
sekitarnya
jaminankeamanan dari Tuhan dan janji Rasul-Nya. 16
Umar Hasyim, op.cit., hlm. 141.
diberikan
66
2. Keyakinan agama dan menjalankan agama mereka. 3. Tidak akan ada perubahan di dalam hak-hak dan kewenangan mereka. 4. Tidak ada seorang pun yang dicabut dari jabatannya. 5. Tidak seorang pun pendeta yang dicabut dari hak dan kependetaannya. 6. Mereka semua mendapatkan dan merasakan segala apa yang baik yangbesar maupun yang kecil. 7. Tidak ada patung atau salib mereka yang akan dipecahkan. 8. Mereka tidak akan menindas dan tidak akan ditindas. 9. Mereka tidak akan lagi melakukan kebiasaan secara jahiliyah. 10. Pajak tidak akan dipungut dari mereka, dan juga mereka tidak makan diperhitungkan menyediakan barang untuk tentara.17 Hubungan yang diajarkan Islam dengan non muslim tidaklah masalah yang masih berupa teori atau slogan saja akan tetapi suatu sikap yang nyata direalisasikan dalam kehidupan, dimana telah dipraktekkan Nabi Muhammad saw lima belas abad silam, Pada masa Khalifah Umar, hubungan Islam dan Kristen terungkap dalam 12 ketentuan yang terkenal dengan “Perjanjian Umar”. Ketentuan- ketentuan ini memperlihatkan sikap toleransi terhadap orang-orang Kristen Perjanjian ini dipandang sebagai hasil kebijakan Khalifah Umar I (634-644). Ketentuan-ketentuan ini berbunyi sebagai berikut: 1. Pembayaran jizyah (pajak).
17
Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad, (Jakarta, Bulan Bintang, 1973), hlm. 47-78. dalam bukunya Prof. DR. H Said Agil Al Munawar, Ibid., hlm. 64-65.
67
2. Seorang Kristen tidak diperkenankan menyanggah agama Islam, ataumemperlihatkan sikap Kurang hormat terhadap kebiasaankebiasaanMuslim. 3. Seorang Kristen tidak diperkenankan menghina Nabi Muhammad saw atau al-Qur’an atau memperlihatkan sikap kurang hormat terhadap merekaitu. 4. Seorang Kristen tidak diperkenankan merugikan hidup atau harta milikseorang Islam dan tidak diperkenankan menganjurkan kepadanya agarmeninggalkan agamanya dan menjadi murtad. 5. Seorang Kristen tidak boleh menyokong musuh atau menerima seorangharbi18 di rumahnya. Ia tidak boleh membuka rahasia-rahasia Islam ataumemberi keterangan kepada musuh. 6. Seorang
Kristen
tidak
diperkenankan
menikah
atau
bergaul
denganseorang wanita Muslim. 7. Seorang Kristen diperbolehkan mengadakan hubungan dagang denganMuslim, tetapi tidak diperkenankan menjual anggur kepadanya ataumengambil riba darinya. Ia tidak boleh meminum anggur atau memakandaging babi di depan umum. 8. Seorang Kristen wajib mengenakan pakaian khusus, yaitu Ghiyar (sepotong kain atas yang kuning), Zunar (ikat penggang), Qalansuwa (semacam topi).
18
Seorang penduduk Dar al-Harp (harfiah : daerah perang, daerah orang yang tidak percaya Islam, musuh Islam).
68
9. Seorang Kristen tidak diperkenankan menaiki kuda atau memegang senjata, tapi naik keledai yang harus diberi tanda pada pelananya. 10. Rumah seorang Kristen tidak boleh tinggi dari seorang Muslim 11. Orang-orang Kristen tidak diperkenankan membunyikan lonceng mereka dengan nyaring dan tidak boleh beribadah dengan suara nyaring. 12. Orang Kristen tidak diperkenankan menangisi orang-orang yang meninggal dengan suara yang nyaring dan orang kristen wajib dikuburkan jauh dari perkampungan orang-orang Muslim.19 Menurut al Hallaj, seorang tokoh sufi masyhur dalam sejarahkhazanah
mistik
Islam,
agama
yang
bermacam-macam
sesungguhnya hanya manifestasi pada perbedaan nama dari hakikat Tuhan yang satu. Karenanya,semua agama merupakan agama Allah. Tak ada perbedaan antara monoteisme dan politeisme.20 Ini menunjukkan bahwa al Hallaj sangat mengakui bahkanmenhargai esksitensi agama-agama selain agama Islam. Atau dengan kata lainal Hallaj memiliki sikap toleransi yangtinggi. Dalam praktiknya, Sikap toleransi menjadi sebuah hal yang “wajib” di kalangan masyarakat yang mejemuk seperti ndonesia. Haltersebut dapat dilihat pada kenyataan sosial dan semboyan dalam lambang Negara Republik Indonesia ”Bhineka Tunggal Ika” (berbeda19
Dr Th.Vanden End, Sejarah Perjumpaan Gereja dengan Islam, ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hlm.32-33. 20 Fatimah Usman, Wahdat al Adyan ; Dialog Pluralisme, (Yogyakarta, LKiS, 2002), hlm.vi.
69
beda namun satujua). Kemajemukan adalah realitas yang tak terbantahkan di bumi nusantara. Agama, etnik, dan kelompok sosial lainnya sebagai instrumen darikemajemukan masyarakaat Indonesia bisa menjadi persolan krusial bagi prosesintergrasi bangsa. Karena kemajemukan sering menjadi sumber ketegangansosial, dan kemajemukan sebagai sumber daya masyarakat yang paling pokok untuk mewujudkan demokrasi. Secara teoritik ada tiga kecenderungan yang sering dihadapi dalammasyarakat majemuk, yakni : 1. Mengidap potensi konflik. 2. Pelaku konflik melihat sebagai all out war (perang habis-habisan). 3. Proses intergrasi sosial lebih banyak terjadi melalui dominasi atas satukelompak oleh kelompok lain. Oleh karena itu tidak berlebihan jika ahli sejarah Inggris terkemukaArnold Toybe, menamakan Indonesia sebagai The land where the religionsare good Neighbours (Negeri dimana agama-agama hidup bertetangga denganbaik). Agama memang peranan sangat penting dalam masyarakat. Agamadapat memberikan dorongan terhadap pembangunan, sekaligus memberi arahserta memberi makna hasil pembangunan itu sendiri. Seiring dengan arti pentingnya agama dalam kehidupan bangsa, makakehidupan beragama mendapat tempat khusus dalam masyarakat yangberdasarkan Pancasila. Pembinaan kehidupan beragama senantiasa
70
diupayakanoleh pemerintah baik yang meliputi aspek pembinaan kesadaran beragama,kerukunan dan toleransi, kreativitas dan aktivitas keagamaan serta pembinaansarana dan fasilitas keagamaan.21 Berbicara tentang pembinaan kerukunan dan toleransi beragama diIndonesia, tidak terlepas dari landasan dan dasar pembinaannya. Di Indonesiakerukunan dan toleransi beragama ini memiliki landasan yang sangat kuat,yaitu : a. Landasan Ideal Pancasila Dengan landasan ini semua umat beragama terikat dalam dan untukmenyelamatkan kesatuan dan persatuan Indonesia. Pada sila pertamadisebutkan : Ketuhanan Yang Maha Esa, ini berarti bahwa pancasila sebagaifalsafah negara menjamin dan sekaligus mencerminkan nilai-nilai
luhur
bangsaIndonesia,
yang
hidup
beragama
dan
berkepercayaan kepada Tuhan Yang mahaEsa. b. Landasan konstitusi UUD 1945 Pembinaan kerukunan dan toleransi beragama di Indonesia diaturdalam konstitusi UUD 1945 pada pasal 29 yang berbunyi : 1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya. c. Landasan operasional berupa Ketetapan MPR Adapun ketetapannya Yaitu Tap MPR NO II/MPR/1976 Tentang P4tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa menyebutkan: 21
Mawardi Hatta, Beberapa Aspek Pembinaan Beragama dalam Konteks Pembangunan Nasional Di Indonesia, (DEPAG RI, 1981), hlm. 14.
71
Percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agamamasing-masing
dan
kepercayaannya
masing-masing
menurut dasarkemanusiaan yang adil dan beradap Hormat menghormati dan bekerja sama antar pemeluk agama dan penganutkepercayaan yang berbeda-beda sehingga hidup rukun. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dankepercayaannya. Tidak memaksakan sesuatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.22 Dengan kerangka demikian, agama di Indonesia agaknya bukansemata-mata urusan pribadi, tapi negara memang diberi peluang untukmelakukan berbagai macam hal yang didefinisikan untuk menjaga stabilitasdan kerukunan, hubungan agama dan negara ini dalam perspektif, secarasubstansial didasari beberapa hal sebagai berikut. Pertama, negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dengandemikian secara tersirat mengandung makna bahwa dalam pengelolaan negara,sudah selayaknya diatur dalam koridor norma yang tidak bertentangan dengannilai ketuhanan (keagamaan). Kedua, negara menjamin setiap warga Negara untuk memilih danberibadah menurut agama dan kepercayaannya. Konsekuensi logis darijaminan di atas adalah negara tidak berhak untuk membatasi dan apalagimelarang setiap warga negaranya untuk memeluk agama yang 22
St. Suripto. BA, dkk., Tanya Jawab Cerdas Tangkas P4. UUD 1945 dan GBHN 1993, (Jakarta , Pustaka Amani, 1993), hlm. 86.
72
diyakininyasejauh tidak berada dalam ruang publik dan memaksakan aturan agama tertentukepada pemeluk agama lain, dengan demikian prinsip kebebasan sangat benar-benar dijunjung tinggi. Ketiga, negara
mempunyai kewajiban untuk
melayani
hajatkeberagamaan warganya secara adil tanpa diskriminasi. Implikasi darikewajiban negara tersebut harus diartikan secara luas terhadap segala sesuatuyang berkaitan dengan hak dan kewajiban warga negara di mata hukum. Atasdasar itu negara harus memenuhi hak-hak sipil warga negaranya tanpa melihatagama dan kepercayaan yang dianut. Terlepas dari prinsip-prinsip tersebut, dalam konteks keIndonesia-an,penulis
melihat
bahwa
pemerintah
dalam
mengatur
kehidupan umat beragama di Indonesia paling tidak dapat dilihat dari tiga perspektif. Pertama, dalamkonteks hubungan antar agama, ada sebagian peraturan itu yang dimaksudkanuntuk melakukan “penjinakan” terhadap perselisihan antar umat beragama,terutama yang menyangkut penyiaran agama dan pendirian rumah ibadah.Semua itu diorientasikan pada untuk menjaga ketenteraman dan ketertiban. Halini dapat dilihat dari Surat Keputusan Menteri Agama No.70 tahun 1978. Surattersebut berisi : 1. Untuk menjaga stabilitas nasional dan demi tegaknya kerukunan antarumat beragama, pengembangan dan penyiaran agama supaya dilaksanakandengan semangat kerukunan, tenggang rasa, tepo seliro,salingmenghargai,
hormat
beragama sesuai jiwaPancasila.
menghormati
antar
umat
73
2. Penyiaran agama tidak dibenarkan untuk : Ditujukan kepada orang atau orang-orang yang telah memeluk agamalain. Dilakukan
dengan
menggunakan
bujukan/pemberianmaterial/minuman, obat-obatan, dan lain sebagainya supaya orangtertarik untuk memeluk suatu agama. Dilakukan dengan cara-cara penyebaran pamflet, bulletin, majalahbuku-buku dan sebagainya di daerah-daerah/di rumah-rumah kediamanumat/orang beragama lain. Dilakukan dengan cara-cara masuk keluar rumah ke rumah orang yangtelah memeluk agama lain dengan dalih apapun. Erat hubungannya dengan penyiaran agama adalah persoalan bantuanluar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia. Persoalan ini sempatmenjadi pemicu munculnya ketegangan hubungan antar umat beragama,karena dengan bantuan luar negeri suatu agama dapat melakukan aktifitaspenyiaran agama dengan intensif, termasuk dengan pemeluk
agama
lain.
Untukmengatasi
hal
itu,
Menteri
Agama
mengeluarkan Surat keputusan No.77 tahun1978 tentang Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga-Lembaga Keagamaan di Indonesia. SK ini berisi bahwa bantuan luar negeri kepada lembaga-lembagakeagamaan di Indonesia harus dimintakan persetujuan Menteri Agama terlebihdahulu, agar dapat diketahui bentuk bantuannya lembaga/negara yangmemberikan,
74
serta
pemanfaatan
bantuan.
Dengan
demikian
pemerintah
dapatmemberikan bimbingan, pengarahan, dan pengawasan terhadap bantuantersebut. Kedua
SK
tersebut
kemudian
diperkuat
dengan
Surat
KeputusanBersama (SKB) dua menteri (Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri) No.1Tahun 1979 tertanggal 2 Januari 1979 tentang Tata Cara PelaksanaanPenyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan diIndonesia. Dalam SKB antara lain disebutkan bahwa pembangunan rumahibadah di suatu daerah harus memperoleh izin dari kepala daerah atau pejabatpemerintahan di bawahnya yang diberi kuasa untuk itu. Syarat lain, sebelummemberi izin kepada kepala daerah atau pejabat lain harus meminta pendapatkepala perwakilan Departemen Agama setempat dan bila perlu memintapendapat ulama’ atau rohaniawan di tempat itu. Kedua, dalam konteks hubungan dengan agama dan negara haltersebut dapat dimaknai sebagai bentuk intervensi negara terhadap komunitasberagama. Meski demikian, hal ini bisa dipahami karena salah satu fungsiadanya negara adalah menyelesaikan masalah-masalah yang tidak dapatdiselesaikan oleh masyarakat. Di samping hal itu, intervensi itu juga seringkalidilakukan untuk atas nama menjaga ketenteraman beragama. Ketiga, dalam konteks hukum ketatanegaraan, hal itu juga bisadimaknai sebagai upaya untuk memasukkan beberapa aspek ajaran
75
agamamenjadi hukum negara meskipun hanya berlaku bagi umat beragama yangbersangkutan. Beberapa aturan ketatanegaraan antara lain Undang-UndangNo.38 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Zakat yang sebelumnya sudah adaPeraturan Menteri Agama N0.4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Amil Zakatdan Peraturan Menteri Agama No.5 Tahun 1968, Inpres No. 1 Tahun1991 tentang Kompilasi Hukum Islam23 , dan masih banyak lagi peraturan atauundang-undang yang memasukkan aspek agama di dalamnya. B. Keputusan Fatwa MUI dalam perayaan Natal Bersama. Fatwa MUI tentang larangan umat muslim terlibat dalam perayaan Natal bersama yang dilatarbelakangi oleh fenomena yang kerap terjadi sejak 1968 ketika hari raya Idul Fitri jatuh pada 1-2 Januari dan 21-22 Desember. Lantaran perayaan Lebaran berdekatan dengan Natal dan Halal bihalal secara bersamaan . ceramah-ceramah keagamaan dilakukan secara bergantian, dari ustadz dan kemudian pendeta. Menurut Jan S. Aritonang dalam sejarah perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Hamka mengecam kebiasaan itu bukan toleransi namun memaksa kedua penganut Islam dan Kristiani menjadi munafik. Hamka juga menilai penganjur perayaan bersama itu sebagai sinkretisme.24 Dalam fatwanya, MUI sendiri melihat bahwa perayaan Natal bersama disalah artikan oleh sebagian umat Islam dan disangka sama 23
Abd. ala, dkk., op.cit, hlm. 92. Sinkretisme adalah pencampuran dari berbagai tradisi agama yang berbeda-beda. Sinkretisme dalam hal agama oleh Berkhof dan Menklaar disebut mencampuradukkan agamaagama dalam Akrim Mariad, ajaran sinkretisme di Indonesia Jurnal Tsaqafah, Ponorogo, volume 4 nomor 1 Dzulqa’dah 1428. 24
76
dengan perayaan maulid Nabi Muhammad Saw. karena salah persepsi tersebut, ada sebagian umat Islam ikut dalam perayaan Natal dan duduk dalam kepanitiaan Natal. Padahal lanjut MUI perayaan Natal bagi umat Kristen adalah Ibadah. Dengan pertimbangan tersebut, umat Islamperlu mendapat petunjuk jelas, agar akidah dan ibadahnya tidak tercampuraduk dengan agama lain, perlu menambah Iman dan Taqwanya kepada Allah SWT, serta tanpa mengurangi usaha menciptakan kerukunan antar umat beragama, MUI mengeluarkan Fatwa tentang perayaan Natal bersama. MUI berharap umat Islam tidak terjerumus dalam syubhat (perkaraperkara samar) dan larangan Allah. Fatwa MUI kemudian ramai diperdebatkan. Kebiasaan menghadiri, saling mengucapkan selamat dan merayakan bersama dikantor atau sekolah lantas membuat peran pimpinan sekolah maupun instansi dilema. Menurut Ketua Komisi Fatwa, Syukri Ghozali, dikutup tempo 30 Mei 1981, Fatwa itu sebenarnya dibuat agar Departemen Agama menentukan langkah dalam menyikapi Natalan-Lebaran yang kerap terjadi. “jadi memang seharusnya tidak bocor keluar,” ujar Syukri. Namun, Fatwa yang disiarkan Buletin Majelis Ulama 3 April 1981 dikutip Harian Pelita 5 Mei 1981. Jadilah Fatwa itu menyebar ke masyarakat sebelum petunjuk pelaksanaan selesai dibuat Departemen Agama. Dianggap dapat menegangkan kerukunan antar umat beragama, pemerintah turun tangan. Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara
77
dalam memorinya H. ARPN : perjalanan hidup seorang anak yatim piatu, menuliskan : “saya undang pimpinan Majelis Ulama. Sayasarankan agar Fatwa tersebut dicabut dan saya akan mengambil alih dengan mengeluarkan peraturan.” Hamka tak lantas mencabut Fatwa itu. Dia hanya mengeluarkan Surat Keputusan MUI nomor 139 tahun 1981 mengenai penghentian edaran Fatwa. Namun, dalam surat pembaca yang ditulisnya dan kemudian dimuat di Kompas 9 Mei 1981, dia menjelaskan surat keputusan MUI itu tak mempengaruhi kesahihan Fatwa tentang perayaan Natal. “Fatwa itu dipandang perlu dikeluarkan sebagai tanggung jawab para Ulama untuk memberikan pegangan kepada umat Islam dalam kewajiban mereka memelihara kemurnian akidah Islamiyah,” tulis Hamka. “Drama” kemudian bergulir. Hamka meletakkan jabatan. Dalam buku mengenang 100 tahun Hamka, Shobahussurur mencatat perkataan Hamka : “masak iya saya harus mencabut Fatwa,” kata Hamka sambil tersenyum sembari menyerahkan surat pengunduran dirinya sebagai ketua MUI kepada Departemen Agama. Gonjang-ganjing MUI dan Fatwa tersebut sampai ke DPR. Menurut Kompas, 21 Mei 1981, dalam tanggapannya didepan rapat kerja dengan komisi IX DPR, Menteri Agama berencana menghelat pertemuan dengan musyawarah kerukunan antar umat agama untuk merumuskan batasan kegiatan seremonial atau ibadah mana yang bisa dan tidak bisa diikuti orang diluar umat agama tersebut.
78
Pada 2 September 1981 Menteri Agama mengeluarkan surat edaran Nomor
MA/432/1981kepada
berbagai
instansi
pemerintah.
Isinya
menjelaskan : selepas acara kegiatan ibadah umat Kristiani, yakni acara seremonialnya, boleh saja pemeluk agama lain hadir mengucapkan dan menrayakan Natal. Kegiatan ibadah, menurut surat edaran tersebut, adalah sembahyang, berdo’a, puiji-pujian, bernyanyi, membakar lilin, dan lainlain. Demikian juga umat Islam, ketika salat Idul Fitri atau Idul Adha tak pernah mengundang pemeluk agama lain, tapi setelah selesai salat pintu terbuka utuk semua tamu.25 Disisi lain, penjelasan dalam Fatwa yang kurang mendetail serta tidak adanya penjelasan atau buku-buku pendukung yang menjabarkan poin-poin dalam Fatwa itu dapat memicu seseorang bisa berdalih bahwa ia sah-sah saja melakukan hal-hal sebagai berikut: 1.
Mengucapkan selamat Natal.
2.
Menyanyikan lagu Natal.
3.
Mengirim Kartu Natal.
4.
Mengajak anak-anak kaum muslimin menonton drama Natal.
5.
Mengajak anak berpakaian Kostum dan ikut drama Natal di Sekolah.
6.
Mengajak anak menonton film Natal.
7.
Menghias dalam dan luar rumah pada minggu-minggu sebelun Natal.
8.
Memasang pohon Natal didepan Rumah.
25
Annisa Mardiani, www.historia.id/agama/upacara-natal-bersama-haram, (Rabu, 2 September 2015).
79
9.
Mengajak anak kerumah tetangga Kristen pada pagi hari Natal untuk menerima kado dari tetangga dan menyanyikan lagu Natal dibawah pohon Natal.
10. Mengirim kado Natal. 11. Mengajak teman-teman kristen untuk makan bersama pada saat Natal. 12. Mengijinkan tetangga menggunakan rumah rang Muslim untuk perayaan Natal (karena rumahny lebih besar tetapi Muslim tersebut hanya menyediakan tempat dan nonton). Maka bila demikian halnya tentu MUI akan sangat kerepotan dalam mengatur setiap kemungkinan yang terjadi, dan dari seiap keungkinan itu harus memikir ulang kemungkinan turunan fatwa yang jumlahnya bisa mencapai ratusan kasus. Tidak ada spesifikasi contoh atau kategori tindakan seperti apa yang diharamkan dalam perayaan Natal bersama kemudian membuat Fatwa itu terkesan ambigu. Peletakan dasar/pedoman nash yang dipakai dalam Fatwapun, dalam hal ini masih secara normatif. Bagi sebagian kalangan yang masih awam pengetahuan agamanya, melihat Fatwa haramnya perayaan Natal bersama tersebut adalah sebuah pandangan yang kolot/kaku. Sehingga perlu adanaya penejelasan yang lebih terkait Fatwa tersebut, sosialisasi bahkan pelurusan persepsi sehingga kesan Islam yang eksklusif tidak melekat pada umat Islam. Apabila disimak baik-baik Fatwa MUI, hal ini sebenarnya telah tersirat dalam dalil-dalil yang telah dkemukakan, antara lain pada point kedua:
80
“Bahwa umat Islam tidak boleh mencampur adukkan akidah dan peribadatan agamanya dengan akidah dan peribadatan agama lain.” Maka dengan demikian segala keungkinan kasus yang timbul berkenaan dengan hal ini, hukumnya terlarang dan masuk dalam keumuman Fatwa tersebut. Termasuk poin- poin yang penulis contohkan seperti mengirim kado Natal, dan semisalnya dimana perbuatan ini melazimkan adanya sikap ridho dan suka cita dengan hari raya tersebut. Terkait larangan pada poin ini, hampir semua agama sepakat dalam masalah tersebut. Masing- masing agama mempunyai dasar ajaran agama dalam bentuk kitab suci yang diyakini kebenarannya oleh pemeluknya. Sehingga kemungkinan mencampuradukkan akidah aantar umat beragama sangat tidak mungkin dianjurkan. Pertanyaan yang muncul di benak masyarakat dalam melihat poin ini adalah bagaimana orang yang ikut perayaan Natal bersama bisa dikatakan mencampuradukkan akidah dan ibadah? Keberadaan Fatwa tentang larangan umat muslim mengikuti perayaan Natal bersama belum bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dalam tradisi Teologi yang diikuti oleh sebagian besar kalangan Sunni, Iman biasanya didefinisikan sebagai tasdiqun bil qalbi wal-iqraru bil-lisan wal’amalu bil arkan26yang maksudnya membenarkan dalam hati, mengakui secara lisan dan menindaklanjutinya dengan tindakan. Dengan definisi ini, jika seseorang menjalankan shalat, tetapi ia tidak percaya 26
hlm. 77.
Abdurrahman Habanakah, Pokok-pokok Akidah Islam, (Jakarta : Gema Insani, 1998),
81
kepada Islam dihati, serta tidak mengucapkan syahadat atau pengakuan verbal, maka dia tidak bisa disebut sebagai seoarng muslim. Begitu pula, ketika seorang muslim datang dalam upacara Natal, sementara dia tidak ikut mengucapkan secara verbal Kredo Iman Kristen, serta tidak mempercayainya dalam hati, maka tidak bisa disebut keluar dari Islam dan pindah ke Kristen juga tidak bisa disebut mencampuradukkan akidah dan ibadahnya. Berkaitan dengan poin tersebut juga senada dengan poin ke-3 : “Bahwa umat Islam harus mengikutu kenabian dan kerasulan Isa Al-Masih bin Maryam sebagaiman pengakuan mereka kepada para Nabi dan Rasul yang lain.” Dimana umat Islam diwajibkan untuk mepercayai bahwa Isa Ibnu Maryam adalah Rasul dan Nabi, bukan seorang Tuhan sebagaimana diimani oleh umat Kristen,. Mengenai hal ini terdapat sejumlah ayat dalam al-Qur’an yang memang dengan jelas menunjukkan hal itu, misanya QS. Maryam 19 : 30-32, QS. Al-Maidah 5 : 75, QS. Al-Baqarah 2 : 285. Argumen ini seolah-olah hendak mengatakan bahwa seseorang muslim yang mengikuti upacara Natal dengan sendirinya mengakui kelahiran Yesus. Padahal, kehadiran seseorang secara fisik dalam suatu upacara tertentu, tidak serta merta bisa ditafsirkan bahwa yang bersangkutan setuju dengan semua yang ada disana. Juga melihat poin ke7. “Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal
82
yang syubhat dan dari larangan Allah SWT serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kemaslahatan.” Dalm poin ini, ada dua jenis tindakan. Pertama, ikut merayakan Natal yang menurut Fatwa itu diharamkan. Kedua, ikut kegiatan Natal yang dianggap syubhat (samar-samar, idak jelas status boleh-tidaknya). Sehingga sebaiknya dijauhi. Dalam sebuah hadits disebutkan : “Sesungguhnya apa-apa yang halal itu telah jelas dan apa-apa yang haram itu pun telah jelas, akan tetapi di antara keduanya itu banyak yang syubhat (seperti halal, seperti haram). Kebanyakan orang tidak mengetahui yang syubhat itu. Barang siapa memelihara diri dari yang syubhat itu, maka bersihlah agamanya dan kehormatannya, tetapi barang siapa jatuh pada yang syubhat maka berarti ia telah jatuh kepada yang haram, semacam orang yang menggembalakan binatang makan di daerah larangan itu. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai larangan dan ketahuilah bahwa larangan Allah ialah apa-apa yang diharamkan-Nya (oleh akrena itu hanya haram jangan didekati).”27 Makna musytabihat dalam sebuah hadits tersebut adalah setiap sesuatau yang belum jelas unsur kehalalan dan keharamannya. Sebab disatu sisi ada ketentuan yang menghalalkannya dan disisi lain terdapat dalil yang mengharamkannya, sehingga status masih diragukan. Terkait masalah tersebut, MUI sama sekali tidak menjelaskan apa perbedaan antara kedua hal tersebut. Secara tidak langsung, dalam hal ini MUI mengakui adanya perbedaan antara dua aspek dalam upacara Natal. Pertama aspek ibadah, dan kedua spek sosial. Jika sesorang ikut upacara Natal dalm pengertian ikut ibadah, maka menurut MUI hukumnya haram. Sebaliknya jika hanya ikut dalam kegiatan Natal yang non ibadah ,
27
Moh. Kurdi Fadal, Kaidah-kaidah Fiqih, (Jakarta : CV Artha Rivera, 2008), hlm. 85.
83
hukumnya tidak haram, tetapi sebaiknya dijauhi karena syubhat. Misalnya saja hanya ucapan selamat Natal oleh umat muslim kepada umat Kristen juga menjadi sebuah hal yang msih diperdebatkan. Menurut Ibn Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan para pengikut seperti Syeikh Ibn Baaz, Syeikh Ibnu Utsmani serta yang lainnya seperti Syeikh Ibrahim bin Muhammad Al-Huqoil berpendapat bahwa mengucapkan selamat hari Natal hukumnya adalah haram karena perayaan ini adalah sebagian dari syiar-syiar agama mereka. Allah tidak meridhoi adanya kekufuran
terhadap
hamba-hambanya.
Sesungguhnya
didialam
pengucapan selamat kepada mereka adalah tasayabuh (menyerupai) dengan mereka dan ini diharamkan. Dalam al-Quran dijelaskan : Dan mereka berkata, “Allah Yang Maha Pengasih mempunyai anak.” Sungguh, kamu telah membawa sesuaitu yang sangat mungkar, hampir saja langit pecah dan bum terbelah, dan gununggunung runtuh,(karenaucapan itu, karena meraka menganggap Allah yang maha pengasih mempunyai anak. Dan tidak mungkin bagi Allah yang maha pengasih mempunyai anak (Qur’an surat maryam : 88-89) Menurut petikan al-Qur’an diatas sudah jelas bahwa Tuhan bagi Islam sifatnya Esa, hanya Allah. Dan Allah SWT tidak beranak. Sedangkan peryaan Natal dimaksudkan untuk menyerahakan kelahiran Yesus, yang dipercayai umat Kristen sebagai anak Allah. Jadi memberi
84
ucapan “Selamat hari Natal” dianggap ikut mengimani kepercayaan kristen dan ini bisa merusak akidah umat muslim.28 Kelompok tertentu dikalngan Islam menyuarakan dengan lantang larangan bagi umat muslim mengucapkan selamat Natal bagi yang merayakannya, misalnya aksi orasi demo di Jogjakarta yang dilakukan oleh FUI dan FPI pada tanggal 19 September 2014.29 Adapun ulasan peristiwa demo tersebut termuat dalam berita di bawah ini : TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA- massa Forum Umat Islam (FUI) yang melakukan aksi demo Jum’at (19/12/2014) di permpatan nol kilometer Yogyakarta menyerukan beberapa tuntutan kepada masyarakat dan aparat. Dalam pernyataan yang dibacakan oleh seorang orator setidaknya ada lima tuntutan dari FUI yaitu, umat muslim tidak mengucapkan selamat Natal, memperingatkan pengusaha untuk tak memaksa karyawan mengenakan atribut Natal. Tuntutan lain adalah mendorong MUI dan kantor kemenag daerah menindak lanjuti Fatwa MUI pusat, menertibkan umat Islam yang mengikuti perayaan Natal, kemudian meminta kepada aparat menindak pengusaha yang memaksa karyawan beragama Islam mengenakan atribut Natal.30
28
www. Era muslim.com. www.kompasiana.com. 30 www.tribunnews.com, ditulis oleh Khaerur Reza. Diakses (Rabu, 02 September 2015). 29
85
Beberpa dalil yang dijadikan dasar laragan mengucapkan selamat Natal oleh sebagian umat muslim di antaranya : QS. Az-Zumar 39:7; QS. Al-Maidah 5:48; QS. Al-Maidah 5:3; QS. Ali Imran 3:58; QS. Al-Furqan 25:72; termasuk juga HR. Muslim no.2167.31 Dalam beberapa dalil tersebut tidak secara gamblang dijelaskan adanya larangan ucapan selamat Natal di dalam konteksnya, tetapi berdasarka teks ini beberapa kaum yang mengaharamkan
ucapan
selamat
Natal
melakukan
proses
inferensi.32kemudian tiba pada klaim bahwa ucapan selamat natal merupakan sesuatu yang haram bagi umat Islam. Bardasarkan teks- teks diatas ada bebepara proposisi33 sebelum tiba pada konklusi mengenai haramnya ucapan selamat Natal, yaitu : 1. Mengucapkan selamat Natal berarti setuju bahwa Yesus (Isa) lahir pada taggal 25 Desember (imply-nya ini bukan penanggalan yang benar) dan setuju bahwa Yesus adalah Tuhan padahal dalam teologi Islam Yesus hanyalah seorang Nabi); 2. Mengucapakn selamat Natal akan menimbulkan rasa cinta secara perlahan terhadap kaum Kristen.
31
Ahmad Mudjab Mahalli, Ahmad Rodli Hasbullah, Hadits-hadits Muttafaq ‘Alaih Bagian Munakahat dan Muamalah, (Jakarta : Kencana, 2004), hlm. 374. 32 Inferensi adalah tindakan atau proses yang berasal kesimpulan logis dari premis-premis yang diketahui atau dianggap benar. Inferensi didefinisikan sebagai sebuah proses dimana kesimpulan disimpulkan dari beberpa pengamatan yang disebut penalaran induktif. Definisi ini daiambil dari tulisan Yanzehsan di wordpress.com (16 februari 2012). Diakses (Rabu, 02 September 2015). 33 Proposisi adalah kalimat logika yang merupakan pernyataan tentang hubungan antara dua atau beberapa hal yang dapat dinilai benar atau salah. Proposisi sebagai pernyatan yang didalamnya manusia mengakui atau mengingkari sesuatu tentang sesuatu yang lain. www.blogspot/2014/04/logika-proposisi.html.
86
3. Nabi melarang umat Islam unruk mendahului dalam mengucapkan salam (HR. Muslim no. 2167) dari sahabat nabi bernama Abu Hurairah.34 Mengenai ungkapan selamat natal tersebut bisa dibagi dalam dua kategori ungkapan 1. Ungkapan konvensional (confensional statemen) atau ungkapan pengakuan (creed statement) atau lebih umum ungkapan deklaratif (declarative statement) dalam kategori ini, seseorang bukan sekedar mengungkapkan sesuatu, lebih dari itu mendeklarasikan bahwa apa yang ia ucapkan itu mengandung gagasan yang ia setujui atau yang ia asumsikan benar dan karenanya ia bukanhanya percaya akan hal itu (believe in) melainkan juga mempercayakan dirinya terhadap hal tersebut (trust in) atau melibatkan dirinya didalam hal tersebut (involve in). 2. Ungkapan pertentangan (neighbourhood statement). Ungkapan-ungkapan dalam kategori ini lebih dimotivasi oleh relasi sosial ketimbang relasi teologis atau filsafati. Bagi sebagian golongan yang mengharamkan ungkapan selamat Natal mengacu pada poin pertama yang menganggap bahwa ucapan tersebut berarti mendukung atau mengakui kebenaran dari peribadatan kaum non muslim. Padahal belum tentu yang memberikan ucapan tersebut benar-benar bermaksud untuk membenarkan ajaran agama Kristen. Bagi
34
Ahmad Mudjab Mahalli, Ahmad Rodli Hasbullah, op.cit., hlm. 374.
87
yang membolehkan ucapan selamat Natal kepada umat Kristen, dalam hal ini cenderung mengacu pada poin kedua dimana ucapan tersebut hanya dianggap sebagai etika dalam bertetangga maupun dalam menjaga relasi sosial yang menuntut mereka harus saling menghormati dan menghargai tanpa melibatkan masalah teologis atau keakidahan didalamnya. Disisi lain, ulama kontemporer seperti Syeikh Yusuf Al-Qardhawi membolehkan pengucapan selamat Natal apabila mereka (orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khusus antara dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti : kerabat, rumah tangga, teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Terkait hal tersebut diatas, secara tersirat MUI dalam Fatwanya tidak menyatakan secara spesifik larangan ucapan selamat Natal. Berkaitan dalam hal tersebut bisa dilihat dalam berita yang dimuat di Gressnews.com sebagai berikut: 35 JAKARTA, GRESSNEWS.COM – Majelis ulama Indonesia (MUI) secara tegas mengatakan fatwa MUI tahun 1981 era Buya Hamka tentang perayaan bersama masih berlaku, tidak diubah dan tidak dicabut hingga sekarang. Poin utamanya tidak terdapat larangan spesifik bagi umat Islam untuk mengucapkan “Selamat Natal” kepada umat Kristiani. Sebagai saudara, Islam dan agama lain tentulah harus hidup berdampingan dan saling menghormati. Jika atas dasar dan konteks kultur
35
Jakarta, Gressnews.com Rabu, 24 Desember 2014, diakses (Rabu, 02 September 2015).
88
budaya dan persahabatan maka meberikan ucapan selamat Natal dapat dilakukan sesuai keperluan.”Dapat dilakukan dengan catatan tidak mempegaruhi akidah”, ujar Ketua Umum MUI Din Syamsudin, di kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (23/12). Jika seorang yakin dengan mengucapkan selamat Natal akidahnya tidak terganggu maka boleh untuknya melakukan hal tersebut namun pengucapannya pun diusahakan tidak secara spesifik. Dianjurkan agar umat Islam menjaga diri untuk tidak terlibat dengan kegiatan yang berhubungan dengan Ibadah dan Akidah. Namun, sudah tentu ucapan selamat ditujukan sesuai keperluan. Misal, sebagai perwakilan salah satu agama di seluruh dunia, Din selalu mendapat ucapan selamat Idul Fitri dari seluruh tokoh agama di dunia, bahkan Vatikan sekalipun.Etikanya saya harus memberi ucapan kembali sebagai penghormatan, amat egois dan pelit bila saya menolak mengucapkan Natal kepada mereka. Sebab, ucapan selamat Natal juga merupakan salah satu cara untuk menjaga hubungan sesama manusia. Namun jika terdapat pendapat Ulama yang menyatakan mengucapkan selamat dapat mengaburkan akidah maka ia juga tidak menyalahkan. Sebelumnya, gubernur DKI Jakarta versi Front Pembela Islam (FPI) Fahrurrozi Ishaq, melarang umat Islam mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen. “Bagi umat Islam, hukumnya haram mengucapkan selamat Natal,” katanya di Jakarta, senin (22/12).
89
Ia meyakini Fatwa MUI pada 7 Maret 1981 era Buya Hamka itu berisi larangan penggunaan aksesoris Natal, uacapan selamat Natal, membantu orang Nasrani dalam perayaan dan pengamanan Natal, serta imbauan agar pengusaha tidak memaksa karyawan muslim menggunakan aksesoris natal. Dari kutipan berita diatas bisa disimpulkan bahwa seacara spesifik mengucapkan selamat Natal kepada umat non muslim tidak diharamkan karena hanya untuk tujuan berperilaku “adil” terhadap sikap umat non muslim yang juga memberikan ucapan selamat pada hari besar umat muslim. Sikap demikian seperti halnya didasarkan pada rujukan surat almumtahanah ayat 8, yang sudah di paparkan oleh penulis di bab sebelumnya. Perbedaan persepsi masyarakat mengenai Fatwa tersebut dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Dalam hal ini lembaga MUI sebagai pihak yang menetapkan Fatwa harus benar-benar
meluruskan persepsi
masyarakat yang menyimpang dari tujuan munculnya Fatwa tersebut dengan menyertakan penjelasan-penjelasan yang komprehensif. Berbagai kalangan yang pro maupun kontra harusnya dapat ditengahi oleh FKUB sebagai wadah yang menjembatani antar umat beragama di Indonesia sehingga ada keseragaman persepsi mengenai latar belakang, maksud dan tujuan munculnya Fatwa tersebut sehingga kerukukan antar umat muslim dan non muslim tetap terjaga. Sikap saling menghargai dan menghormati
90
antar umat beragama di Negara yang mejemuk seperti Indonesia ini pun tetap terjalin dengan baik tanpa mempengaruhi sisi teologis mereka. Oleh sebab itu, intensitas dan keterbukaan komunikasi antar tokoh umat beragama, MUI yang difasilitasi oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) menjadi sebuah jalan untuk menyelaraskan persepsi dalam menanggapi Fatwa yang “rawan konflik” tersebut.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan analisa dari beberapa bab sebelumnya, maka selanjutnya perlu adanya kesimpulan yang dapat memberikan gambaran sebagai jawaban dari berbagai pokok-pokok masalah yang membicarakan tentang hukum Islam terhadap toleransi antar umat beragama dan hukum peryaan Natal bersama menurut Fatwa MUI sebagai berikut : 1. Sikap toleransi yang berarti saling menghormati, menghargai dan membiarkan pemeluk agama untuk melaksanakan ibadah menurut keyakinannya,
tanpa
adanya
sikap
saling
mengganggu
atau
memaksakan ajaran agamanya tersebut dalam perspektif hukum Islam sangat dianjurkan. Pernyataan ini mangacu pada dasar ayat al-Qur’an maupun Hadits yang sudah dipaparkan di bab sebelumnya oleh peneliti. 2. Berdasarkan keputusan Fatwa MUI menerangkan bahwa perayaan Natal bersama bagi umat Islam hukumnya Haram. Keputusan tersebut dilatarbelakangi oleh pertimbangan adanya kekhawatiran terjadi kesalahfahaman dikalangan umat muslim yang memungkinkan mereka terjerumus kepada sesuatu yang syubhat dan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.
91
92
3. Diharamkannya perayaan Natal bersama bagi umat Islam bukan berarti harus menghilangkan sikap toleransi antar umat beragama di Indonesia. Namun, Fatwa ini dikeluarkan untuk memberikan batasanbatasan umat muslim dalam bersikap toleransi dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah dalam akidah Islamiyah dimana sikap toleransi dalam beragama hanya sebatas menghargai dan menghormati agama lain dan bukan dengan ikut serta terlibat dalam peribadatan agama lain atau membenarkan sepenuhnya (meng-imani) kebenran ajaran agama lain.
B. Saran-saran Berdasarkan
kesimpulan
penelitian,
maka
penulis
merekomendasikan beberapa saran sebagai berikut : 1. Untuk menghindari adanya timbulnya perpecahan antar umat beragama maka dalam menetapkan Fatwa haramnya perayaan Natal bersama hendaknya MUI memberikan penjelasan-penjelasan yang riil tentang bentuk sikap yang dilarang maupun diperbolehkan. 2. Fatwa diharamkannya perayaan Natal bersama bagi umat muslim yang hanya dilandaskan pada dalil yang bersifat normatif dan bukan pada petunjuk praktis menyebabkan munculnya berbagai persepsi baik positif maupun negatif. Yang pada akhirnya masing-masing golongan tersebut berusaha mengklaim kebenaran akan pendapat yang
93
diyakininya. Disisi lain untuk kalangan yang mungkin hanya menilai secara tersirat Fatwa tersebut tanpa mengetahui latar belakang penetapan Fatwa akan menganggap bahwa agama Islam adalah agama yang sangat ekslusif, kaku dan anti toleran. 3. Bagi masyarakat secara umum hendaknya mengklarifikasi setiap isu negatif yang muncul sebagai efek penetapan Fatwa dikalangan masyarakat kepada pihak yang lebih tahu dalam hal ini adalah MUI sebagai lembaga yang menetapkan Fatwa.
C. Penutup Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, taufiq serta hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Ungkapan terimaksih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu merelisasikan skripsi ini. Penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan penulis sendiri. Tidak lupa penulis mohon maaf, apabila dalam penyusunan kalimat maupun bahasnya masih banyak kekeliruan. Penulis sangat mangharapkan kritik dan saran yang kontruktif guna perbaikan di masa mendatang. Mudah-mudahan apa yang penulis buat ini mendapat ridho Allah yang Maha Murah. Semoga kita semua termasuk dalam golongan orang-
94
orang yamg beruntung di akhirat nanti. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bermanfaat bagi pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah,Masykuri,Pluralisme Agama danKerukunandalamKeragaman, Jakarta: PenerbitBukuKompas, 2001. Abdurrahman Habanakah, Pokok-PokokAkidah IslamJakarta :GemaInsani, 1998. Abu BakarAsSuyuthi, Imam Jalaluddin Abdurrahman,Al JaimushShaghir, Daar Al Qalam, Cairo, t.t. AdlA’la, dkk, Nilai-nilaiPluralismedalam Islam,Bandung, Huansa, 2005. Ahmad,ZainalAbidin,PiagamNabi Muhammad, Jakarta, BulanBintang, 1973. Al Munawar, Haji Said Agil Husin, Fikih Hubungan Antar Agama, Jakarta : Ciputat Press, 2003. Al-Maraghi, Ahmad Musthofa,TerjemahTafsir Al-araghi, Semarang : CV Toha Putra, 1993 AnnisaMardiani. www.historia.id/agama/upacara-natal-bersamaharam.Rabu,2September 2015. Anwar, Syaifudidin,MetodePenelitian, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2011. As
Saidi, Abd.Al Mu’tal,KebebasanBerfikirdalam AdiWacana, 1999.
Islam,
Yogyakarta;
Awwalludin, “Kedudukan Fatwa-Fatwa MUI dalamPerspektifHukum Islam”.Bandung : Paper Mata KuliahPerkembanganHukum Islam FakultasHukukmUniversitasPasundan Bandung , 2011. Barowi,Ahmad,SHIMA media pergulatan intelektual mahasiswa Globalisasi Dalam lingkup kerukunan umat beragama, Lpm Bursa INISNU Jepara, 2011, ed. IX. Boisard,Marcel A. Humanismedalam Islam, Jakarta: BulanBintang, t.t Departemen Agama RI,Al-Qu’andanTerjemahnya, Bandung : CV Penerbit Diponegoro, 2003. DewanPimpinanMajelisUlama Indonesia, BukuPanduanjtima’ UlamaKomisi Fatwa Se-Indonesia ke-5 Tahun 2015, Jakarta :DewanPimpinanMajelisUlama Indonesia, 2015. cet.1 DrTh.Vanden End, SejarahPerjunpaanGerejadengan GunungMulia, 2001.
Islam,Jakarta,
BPK
Ghufron, Ahmad Fauzul, SHIMA media pergulatan intelektual mahasiswa Pluralisme di Negara Indonesia,Lpm Bursa UNISNU Jepara, 2014, ed. XIII. H. M Ali dkk, Islam untukDisiplinIlmuHukumSosialdanPolitik, Jakarta: BulanBintang, 1989, Hasyim, Umar,ToleransidanKemerdekaanBeragamadalam Islam SebagaiDasarmenuju Dialog danKerukunanAntarUmatBeragama, Surabaya: BinaIlmu, 1979. Hatta,Mawardi,BeberapaAspekPembinaanBeragamadalamKonteksPembangunan Nasional Di Indonesia, DEPAG RI, 1981. Himpunan Fatwa MajelisUlama Indonesia, BagianProyekSarana Dan PrasaranaPriduk Halal DirektoratJendralBimbinganMasyarakat Islam Dan Penyelengaraan Haji,Departemen Agama RI : Jakarta, 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka, 2007. Khadziq, Islam dan Budaya Lokal Memahami Realitas Agama dalamMasyarakat, Yogyakarta: Teras, 2009. Lexy J. Meleong, MetodePenelitianKualitatif, Bandung: PT. RemajaRosdakarya, 2004. M.
Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Aplikasinya,Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002.
Penelitian
dan
M. QuraishShihab, Tafsir Al-MisbahPesan, Kesan&Keserasian Al-Qur’anJakarta :LenteraHati, 2002. Maa’rif,Syamsul,PendidikanPluralisme LogungPustaka, 2005.
Di
Indonesia,Yogyakarta:
Mahalli,Ahmad Mudjab, Ahmad RodliHasbullah, Hadits-HaditsMuttafaq ‘AlaihBagianMunakahat Dan Muamalah,Jakarta : Kencana, 2004. Moh.Kurdifadal, Kaidah-KaidahFiqih, Jakarta : CV Artha Rivera, 2008. MUNAS VII MajelisUlama Indonesia Tahun 2005, Jakarta: DDI, 2005. Munawir,Ahmad Warson,Kamus Arab Indonesia al-Munawir, Yogyakarta: BalaiPustakaProgresif, t.t Nata,
Abuddin, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir Tarbawiy),Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009.
Nazir, Moh.,MetodePenelitian, Jakarta: ghalia Indonesia, 1988.
Al-Ayat
Al-
Nurdin, Ali, Quranic Society Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam AlQur’an,Penerbit Erlangga, 2006. Poerwadarminto, W. J. S,KamusUmumBahasa Indonesia, Jakarta: BalaiPustaka, 1986. Purwanto, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Pendidikan,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, Cet. 2.
Psikologi
dan
Qardhawi,Yusuf,Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jakarta: GemaInsani Press, 1995. Jilid. 2 Ruslani, Masyarakat Dialog Antar Agama, StudiatasPemikiran Muhammad Arkoun, Yogyakarta: YayasanBintangBudaya, 2000. Sachedina,Abdul Aziz The Islamic Roots of Democratic Pluralism, terj. SatrioWahono, Beda TapiSetara, Jakarta: SerambiIlmuSemesta, 2004. Saleem, Abdul Wahab, FOKUS Berimbang dan Berwawasan Dakwah Keindonesiaan Berarti Meneguhkan Kembali Empat pilar Kebangsaan Menuju Terwujudnya Masyarakat Madani, Lpm fokus INISNU Jepara, 2012, ed. IX. SekretariatMajelis Ulama Indonesia,Himpunan Fatwa MUI sejak 1975, Jakarta : Penerbit Erlangga, 2011. Shihab, M. Quraish, Al-Lubabmaknatujuan, danpelajarandari surah-surah alqur’an surah al-fatihah-surah hud,Tanggerang :Lenterahati, 2012, cet. 1. Soenarjo, Al-Qur’an danTerjemahnya,Semarang : C.V Al Wa’ah, 1971. St. Suripto. BA, dkk, Tanya JawabCerdasTangkas P4. UUD 1945 dan GBHN 1993,Jakarta ,PustakaAmani, 1993. Sudarsono, Kamus Hukum,Jakarta: Rineka Cipta, 2009. Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta : CV Rajawali, 1983. Tim penyusun, KamusBesar Indonesia, Jakarta, BalaiPustaka, 1988. Tim Prima Pena, kamusIImiahPopuler, Surabaya: Gita Media Press,2006. Usman,Fatimah,Wahdat al Adyan ; Dialog Pluralisme, Yogyakarta, LKiS, 2002. Waskito,Purwo,Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Grafika Mulia, t.t. www. Era muslim.com. www.kompasiana.com.
DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN Nama
: ElaRofiana
Tempat & Tgl Lahir : Jepara, 24 Desember 1993 Alamat
: Ds. Banjaran RT 01 RW 01Kec. Bangsri Kab.Jepara
Agama
: Islam
Ayah
: ZainalAbidin
Ibu
: Sa’idatun
Pendidikan Formal
:
1. MI Mabadil Huda Banjaran Bangsri Jepara
Lulus 2004
2. MTs Mathalibul Huda Mlonggo Jepara
Lulus 2008
3. MA DarulFalahSirahanCluwakPati
Lulus 2011
4. UNISNU Jepara
Lulus 2015
Demikian daftar riwayat hidup penulis yang dibuat dengan data yang sebenarnya dan semoga menjadi keterangan yang lebih jelas.
. Jepara, 16 September 2015 Penulis
ElaRofiana NIM: 13140000086