HIKAYAT HANG TUAH DAN KABA LAKSAMANA HANG TUAH (TINJAUAN HIPOGRAMATIK) Yullia Syaroh Abstract This research describes intrinsic elements Hikayat Hang Tuah and Kaba Laksamana Hang Tuah. Then look for similarities and differences between the two object. This research aims to find work and become the first parent is present between Hikayat Hang Tuah and Kaba Laksamana Hang Tuah. This research using the theory Hipogramatik. Key word:Hang Tuah, Hikayat, Kaba, Hipogramatik. Pengantar Karya sastra yang menggunakan bahasa khas lainnya adalah hikayat.Hikayat merupakan karya sastra lama Melayu berbentuk prosa yang berisi cerita, undang-undang, dan silsilah bersifat rekaan, keagamaan, historis, biografis, atau gabungan sifat-sifat itu, dibaca untuk pelipur lara, pembangkit semangat juang, atau sekedar untuk meramaikan pesta (KBBI). Salah satu karya sastra yang menggunakan bahasa khas yakni kaba yang berasal dari Minangkabau. Kaba merupakan cerita yang dibawakan oleh tukang kaba secara lisan, dan mulai dituliskan dengan menggunakan bahasa Minangkabau setelah masuk agama Islam di Minangkabau. Kaba adalah salah satu cerita rakyat di samping dongeng, hikayat, dan cerita lainnya. Ada beberapa perbedaan yang khas antar kaba dengan yang lainnya, yakni bentuk bahasanya yang liris, ungkapan-ungkapan yang plastis (mudah dibentuk), dan penggunaan pantun yang cukup dominan. Bahasa kaba mempunyai susunan yang tetap, empat
kata dalam satu
kalimat. Ada kalanya terdiri dari tiga buah kata bila kalimat itu memiliki suasana penegasan, 1
sebagaimana yang lazim ditemukan pada kalimat pantun (Abdullah, 1982: 245-246). Pengarang kaba umumnya anonim, hanya ada beberapa nama saja yang disebut sebagai penulis kaba, di antaranya Sultan Pangaduan, Sjamsuddin St. Radjo Endah dan Selasih. Kata kaba berasal dari bahasa Arab yaitu khabar yang artinya pesan, kabar atau berita. Dalam sastra tradisional Minangkabau, kaba disebut curito yang artinya cerita. Dengan pengetahuan masyarakat Minangkabau yang masih belum mengenal tulisan,kaba pada waktu itu hidup dan berkembang secara lisan. Setelah masuk pengaruh Islam di Minangkabau, maka kaba mulai dituliskan. Pada umumnya kaba ditulis dengan menggunakan tulisan Arab Melayu atau huruf Jawi. Sampai sekarang, kaba ditulis dengan menggunakan tulisan latin sehingga dapat dibaca seluruh lapisan masyarakat (Abdullah, 1982: 243). Salah satu kaba karangan Sjamsudin St. Radjo Endah berjudul Kaba Laksamana Hang Tuah. Dalam penelitian ini, penulis mengambil cerita Hikayat Hang Tuah dan Kaba Laksamana Hang Tuah sebagai objek penelitian. Alasan penulis memilih Hikayat Hang Tuah dan Kaba Laksamana Hang Tuah sebagai objek penelitian karena, perbandingan diakhir cerita antara Hikayat Hang Tuah dan Kaba Laksamana Hang Tuah jelas jauh berbeda, jika di akhir ceritaHikayat Hang Tuah dengan menghilangnya Hang Tuah,ada sebagian orang berkata bahwa Hang Tuah telah meninggal ada pula yang berasumsi bahwa Hang Tuah kini menjadi raja. Lain halnya dengan Kaba Laksamana Hang Tuah dengan akhir cerita yang bahagia ini terbukti dengan diadakannya pesta rakyat dan Hang Tuah telah naik haji. Selain karena perbedaan pada akhir cerita antara Hikayat Hang Tuah dan Kaba Laksamana Hang Tuah, adanya persamaan pada tokoh dan penokohan, latar tempat, latar waktu, alur dan tema, dan dua karya yang berbeda namun menceritakan satu tokoh utama yang sama. Hal ini yang membuat penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut.
2
Kerangka Teori Menurut Nurgiyantoro (1995: 23) unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antarunsur (intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh (Nurgiyantoto, 1995: 36). “Pembagian unsur intrinsik struktur karya sastra yang tergolong tradisional, adalah pembagian berdasarkan unsur bentuk dan isi sebuah pembagian dikhotomis yang sebenarnya diterima orang dengan agak keberatan. Pembagian ini tampaknya sederhana, barangkali agak kasar, namun sebenarnya tidak mudah dilakukan. Hal itu disebabkan pada kenyataannya tidak mudah memasukkan unsur-unsur tertentu ke dalam unsur bentuk ataupun isi berhubung keduanya saling berkaitan. Bahkan, tidak mungkin rasanya membicarakan dan atau menganalisis salah satu unsur itu tanpa melibatkan unsur yang lain. Misalnya, unsur peristiwa dan tokoh (dengan segala emosi dan perwatakannya) adalah unsur isi, namun masalah pemplotan (struktur pengurutan peristiwa secara linear dalam karya fiksi) dan penokohan (sementara dibatasi teknik menampilkan tokoh dalam suatu karya fiksi) tergolong unsur bentuk. Padahal, pembicaraan unsur plot (pemplotan) dan penokohan tak mungkin dilakukan tanpa melibatkan unsur peristiwa dan tokoh. Oleh karena itu, pembedaan unsur tertentu ke dalam unsur bentuk atau isi sebenarnya lebih bersifat teoretis di samping terlihat untuk menyederhanakan masalah” (Nurgiyantoro, 1995: 24-25). Dengan demikian, pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antarberbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan. Analisis struktural tak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah karya fiksi, misalnya peristiwa, plot, tokoh, latar, atau yang lain. Namun, yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antar unsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai (Nurgiyantoro, 1995: 37). Menurut Riffaterre (dalam Endaswara, 2003:132) kajian sastra bandingan, pada akhirnya harus masuk ke dalam wilayah hipogram. Hipogram adalah modal utama dalam
3
sastra yang akan melahirkan karya berikutnya. Jadi, menurut Endaswara (2003: 132) hipogram adalah karya sastra yang menjadi latar kelahiran karya berikutnya. Sedangkan karya berikutnya dinamakan karya transformasi. Hipogram dan transformasi ini akan berjalan terus-menerus sejauh proses sastra itu hidup. Hipogram merupakan “induk” yang akan menetaskan karya baru. Namun, tidak ingin mencari keaslian sehingga menganggap bahwa yang lebih tua yang hebat, seperti halnya studi filologi. Studi interteks justru ingin melihat seberapa jauh tingkat kreativitas pengarang. Hipogram karya sastra akan meliputi: (1) ekspansi, yaitu perluasan atau pengembangan karya. Ekspansi tak sekedar repetisi, tetapi termasuk perubahan gramatikal dan perubahan jenis kata; (2) konversi, adalah pemutarbalikan hipogram atau matriknya. Penulis akan memodifikasi kalimat ke dalam karya barunya; (3) modifikasi, adalah perubahan tataran linguistik, manipulasi urutan kata dan kalimat. Dapat saja pengarang hanya mengganti nama tokoh, padahal tema dan jalan ceritanya sama; (4) ekserp, adalah semacam intisari dari unsur atau episode dalam hipogram yang disadap oleh pengarang. Ekserp biasanya lebih halus, dan sangat sulit dikenali, jika peneliti belum terbiasa membandingkan karya (Endaswara, 2003: 132). Prinsip dasar intertekstual menurut Pradopo (dalam Endaswara, 2003: 133)adalah karya hanya dapat dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan teks lain yang menjadi hipogram. Hipogram adalah karya sastra terdahulu yang dijadikan sandaran berkarya. Hipogram tersebut bisa sangat halus dan juga sangat kentara. Dalam kaitan ini, sastrawan yang lahir berikut adalah reseptor dan transformator karya sebelumnya. Dengan demikian, mereka selalu menciptkan karya asli, karena mencipta selalu diolah dengan pandangannya sendiri, dengan horison dan atau harapannya sendiri. Prinsip intertekstualitas ini merupakan salah satu sarana pemberian makna kepada sebuah teks sastra (sajak). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu selalu menanggapi 4
teks-teks lain yang ditulis sebelumnya. Dalam menanggapi teks itu penyair mempunyai pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, dan konsep estetik sendiri yang ditentukan oleh horison harapannya, yaitu pikiran-pikiran, konsep estetik, dan pengetahuan tentang sastra yang dimilikinya. Semuanya itu ditentukan oleh pengetahuan yang didapat olehnya yang tak terlepas dari pandangan dunia dan kondisi serta situasi zamannya. Prinsip intertekstualitas ini menempatkan para sastrawan (penyair) di tengah-tengah arus sastranya maupun sastra dunia (universal). Ia selalu menanggapi, meresapi, menyerap karya sastra lain dan mentransformasikannya ke dalam sastranya. Dengan demikian, dia selalu menciptakan karya asli sebab dalam mentransformasikan teks lain itu si pengarang mengolah dengan pandangannya sendiri, dengan horison harapannya sendiri(Pradopo, 1997: 228-229). Hubungan antarteks tidak sederhana seperti yang dibayangkan. Kompleksitas hubungan dengan sendrinya tergantung dari kompetensi pembaca, sesuai dengan hakikat postrukturalisme, makin kaya pemahaman seseorang pembaca maka makin kaya pula hubungan-hubungan yang dihasilkan (Ratna, 2004:175). Dalam suatu aktivitas pembacaan dengan demikian akan terdapat banyak hypogram, yang berbeda-beda sesuai dengan kompleksitas aktivitas pembacaan terdahulu. Hypogram juga merupakan landasan untuk menciptakan karya-karya yang baru, baik dengan cara menerima maupun menolaknya. Oleh karena itulah, membaca karya yang hanya terdiri atas beberapa halaman saja, maka ada kemungkinan akan menghasilkan analisis yang melebihi jumlah halaman yang dianalisis (Ratna, 2004:175). Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Bog dan Taylor (dalam Moeloeng, 2005: 4) mendefinisikan metode kualitatif adalah metode penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati yang diarahkan pada latar dan individu secara utuh. Metode dan teknik penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil data.
5
a. Penyediaan data Data dalam penelitian ini adalah dialog-dialog atau kata-kata yang terdapat dalam kaba dan hikayat. Teknik penyediaannya adalah dengan membaca keseluruhan kaba dan hikayat dan memahaminya. Setelah itu, penulis memilih kata-kata atau dialog yang terdapat dalam Hikayat Hang Tuah dan Kaba Laksamana Hang Tuah. b. Analisis data Analisis hubungan hipogram terhadap Kaba Laksamana Hang Tuah dan Hikayat Hang Tuah yang telah dibaca sesuai rumusan masalah dan tujuan penelitian. Pada tahap penyajian hasil analisis, hasil analisis disajikan secara deskriptif yakni dengan mendeskripsikan hasil analisis dengan kutipan-kutipan dari sumber data.
Unsur Intrinsik Hikayat Hang Tuah Unsur intrinsik merupakan unsur yang mampu membagi satu karya sastra menjadi beberapa bagian seperti tokoh, latar, alur, tema, dan amanat. Dengan tujuan mempermudah pembaca memahami maksud dari karya sastra tersebut. Dalam unsur intrinsik yakni tokoh, latar dan alur merupakan unsur cerita dari suatu karya sastra yang saling menunjang dan berkaitan. Jadi analisis unsur intrinsik sangat tepat dilakukan terhadap Hikayat Hang Tuah dan Kaba Laksamana Hang Tuah dengan tujuan untuk membantu menemukan apakah ada keterkaitan antar keduanya. Dalam analisis ini penulis membatasi pada unsur tema, latar, penokohan dan alur. Menurut Abrams latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan (Nurgiyantoro, 1995: 216).Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial.
6
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata (Nurgiyantoro, 1995: 227). Latar tempat atau lokasi tempat kejadian yang ada dalam Hikayat Hang Tuah terjadi di dalam negara Melaka dan Indonesia bahkan beberapa negara lainnya, yang termasuk dalam Melaka adalah Pulau Biram Dewa, Bukit Seguntang, Bintan, Pulau Tinggi, Pulau Ledang, dan Benua Keling. Yang termasuk bagian daerah dari Nusantara adalah Palembang, Tuban, Jayakarta, Bali, Majapahit, Inderapura. Sedangkan latar tempat di negara lain adalah Singapura, Benua Cina, dan Benua Rum (Istanbul). Latar waktu dalam fiksi dapat menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan dengan waktu sejarah. Namun, hal itu juga membawa sebuah konsekuensi: sesuatu yang diceritakan harus sesuai dengan perkembangan sejarah. Segala sesuatu yang menyangkut hubungan waktu, langsung atau tidak langsung, harus berkesesuaian dengan waktu sejarah yang menjadi acuannya (Nurgiyantoro, 1995: 231). Dalam Hikayat Hang Tuah, tidak dapat ditentukan kapan terjadinya peristiwa itu. Namun ada beberapa indikator yang dapat dijadikan petunjuk untuk menentukan kapan waktu terjadinya peristiwa itu yakni adanya kerajaan dari keinderaan (kayangan), istana, dan ilmu sihir (ghaib). Jadi, dengan beberapa petunjuk tersebut dapat kita lihat latar waktu dari Hikayat Hang Tuah yaitu sekitar tahun 1960. Menurut Nurgiyantoro (1995: 233) latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. 7
Latar sosial yang digambarkan dalam Hikayat Hang Tuah adalah: 1)Kehidupan di istana Hang Tuah bersama para sahabatnya, raja Melaka, Temenggung Di Raja, Patih Karma Wijaya, Bendahara beserta prajurit. Dengan konflik yaitu fitnah dari Patih Karma Wijaya yang mengatakan Hang Tuah berbuat zina di istana raja Melaka, percobaan pembunuhan oleh Seri Betara dan Patih Gajah Mada. 3)Seringnya Hang Tuah diutus raja Melaka ke negeri dan pulau lain. 4)Peperangan yang terjadi di antara Hang Tuah dengan Panglima Aria Negara, Megat Panji Alam, Megat Kembar Ali, dan prajurit dari Seri Betara. Menurut Sudjiman (1991: 16), tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa cerita. Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Sedangkan istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab sekaligus mencakup siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaiamana penempatannya dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Tokoh utama dalam cerita Hikayat Hang Tuah adalah Hang Tuah karena memiliki pengaruh yang besar terhadap cerita ini karena Hang Tuah memiliki ilmu yang mampu mengalahkan musuh sehingga mampu menarik perhatian Raja Melaka untuk mengangkatnya sebagai pegawai istana dan setiap cerita nama tokoh Hang Tuah lebih mendominasi dibandingkan dengan tokoh lain. Menurut Nurgiyantoro (1995: 110) plot merupakan unsur yang penting, bahkan tak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain. Tinjauan struktural terhadap karya fiksi pun sering lebih ditekankan pada pembicaraan plot, walau mungkin mempergunakan istilah lain. Alur yang terdapat dalam cerita Hikayat Hang Tuah adalah Raja Bintan, Hang Tuah Lima Bersahabat Menjadi Pegawai Raja, Kedatangan Orang Jawa ke Tanah Melayu, Raja Melaka dengan Raja Muda, Raja Melaka dengan Raja Keling, Hang Tuah Diutus ke Majapahit, Hang Tuah Digelar 8
Laksamana, Patih Gajah Mada Hendak Membunuh Laksamana, Laksamana Melarikan Tun Teja, Laksamana Menyerang Megat Panji Alam di Inderapura, Laksamana Diutus Sekali Lagi ke Majapahit, Berbagai-Bagai Cobaan Atas Diri Laksamana di Majapahit, Laksamana Dibuang Raja Melaka, Hang Jebat Mendurhaka, Laksamana Dipanggil Raja Melaka Kembali, Laksamana Bertikam dengan Hang Jebat, Kertala Sari Dititahkan Mengalahkan Negeri Melaka, Laksamana Diutus ke Benua Keling dan ke Benua Cina, Raja Melaka Bertambah Besar Kekuasaannya, Terenggano Takluk ke Melaka, Sultan Mahmud dan Sultan Muhammad, Inderapura Takluk ke Melaka dan Laksamana Kehilangan Kerisnya, Laksamana Luka dalam Peperangan, Penutup. Menurut Sumardjo dan K.M Saini (1986: 56) tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang dalam menulis ceritanya bukan sekedar mau bercerita, tapi mau mengatakan sesuatu pada pembacanya. Dalam Hikayat Hang Tuah, menceritakan tentang perjalanan kerajaan keinderaan melalui keturunan Sang Pertala Dewa. Dan menceritakan 5 sahabat yang menjadi pegawai di istana Melaka. Nama 5 orang ini adalah Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu.Hang Tuah berasal dari keluarga miskin, dia beserta 4 sahabatnya pergi merantau untuk mencari ilmu dan rezeki. Akhirnya mereka diangkat menjadi pegawai di istana Melaka dengan Raja Melaka bernama Sang jaya Nantaka. Dengan segala sifat baik Hang Tuah dia diangkat menjadi Laksamana dan menjadi orang kesayangan Raja Melaka, apa yang dikatakan Hang Tuah itu juga kata Raja. Sehingga menyebabkan kedengkian dari Patih Karma Wijaya dan segala menteri Raja Melaka. Akhirnya mereka membuat rencana dengan memfitnah Hang Tuah bahwa dia telah melakukan zina dengan dayang di istana. Mendengar itu Raja Melaka marah dan mengusir Hang Tuah. Akhirnya Hang Tuah di usir dari istana, Hang Tuah dipanggil untuk menghadap Raja Melaka dan bekerja lagi di istana. Patih Karma Wijaya dan segala menteri itu memfitnah Hang Tuah kembali, dan Raja Melaka 9
menitahkan untuk memenggal kepala Hang Tuah, namun Bendahara hanya membuangnya. Akhirnya Hang Tuah dipanggil lagi ke istana untuk melawan Hang Jebat yang telah menggantikan posisi Hang Tuah. Mereka pun berperang dan Hang Jebat pun mati di tangan Hang Tuah.Orang Perenggi menyerang tanah Melaka dengan meriam dan Putri Gunung Lidang lari hingga ke Batak dan di Batak dia diangkat menjadi raja. Orang Johor dan orang Belanda menyerang tanah Melaka dengan perjanjian jika mereka berhasil mengalahkan orang Perenggi itu maka tanah Melaka dibagi dua. Unsur Intrinsik Kaba Laksamana Hang Tuah Latar tempat atau lokasi tempat kejadian yang ada dalam Kaba Laksamana Hang Tuah berada di lingkungan Minangkabau yakni dalam istana raja Mansyur Syah dan Datuk Bandaro, kampung nelayan karena sebagian dari masyarakat Minangkabau bekerja sebagai nelayan maka dalam cerita ini Hang Tuah dan keempat sahabatnya pergi ke kampung nelayan sebelum menuju ke gunung ledang dan belajar menjala ikan di kampung nelayan itu, gunung ledang merupakan tujuan mereka berlima untuk belajar ilmu silat dan ilmu gaib. Dalam Kaba Laksamana Hang Tuah, tidak dapat ditentukan kapan terjadinya peristiwa itu. Namun ada beberapa indikator yang dapat dijadikan petunjuk untuk menentukan kapan waktu terjadinya peristiwa itu yakni adanya istana, dan dalam awal kalam (pengantar) pada Kaba Laksamana Hang Tuah dituliskan bahwa kaba ini dibuat awal mula di Tanjuang Malako, sampai di Minangkabau jadi kaba. Jadi, dengan kedua petunjuk tersebut dapat kita lihat latar waktu dari Kaba Laksamana Hang Tuah yaitu sekitar tahun 1960. Latar sosial yang digambarkan dalam Kaba Laksamana Hang Tuah adalah 1)Kehidupan di istana Hang Tuah bersama para sahabatnya, Datuk Bandaro, Bandaro Sati, Puti Sari Banilai, Raja Mansyur Syah beserta prajurit dengan konflik yaitu fitnah dari Bandaro Sati yang mengatakan istri Raja Mansur Syah berselingkuh dengan Hang Tuah. 10
2)Peperangan yang terjadi di atas kapal antara Hang Tuah dengan penyamun yang diwakili oleh kapal penyamun dari Inggris, Portugal, dan Cina. Tokoh utama dalam cerita Kaba Laksamana Hang Tuah adalah Hang Tuah karena dalam cerita ini tokoh Hang Tuah memiliki sifat yang pemberani, jujur, dan tegas serta Hang Tuah merupakan sosok pahlawan dalam cerita ini. Kaba Laksamana Hang Tuah terdiri dari 8 episode/ bab yakni Kawan Balimo, Marantau, Bajak Lawik Cino Kuntuang, Bandaro Sati, Portugih datang Manyarang, Pitanah Keji, Mamakai Adat, Puti Sari Banilai. Dalam Kaba Laksamana Hang Tuah, menceritakan pemuda Minangkabau meskipun bukan pejuang pada masa penjajahan. Para pejuang ini memberantas para penyamun dari berbagai daerah bahkan ada juga dari negara asing yakni negara Portugis yang mencoba merompak kapal Hang Tuah dan kawan-kawan namun akhirnya para penyamun kalah di tangan mereka selama 5 hari berperang, nama 5 orang ini adalah Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Dengan kehebatan dan sifat baik Hang Tuah, membuat Mangkubumi iri hati dan dengki kepadanya, Mangkubumi mulai mencari akal untuk menjatuhkan Hang Tuah bahkan jika perlu dia mati. Dicari kata mufakat untuk menjatuhkan Hang Tuah, suatu hari Hang Tuah dan Madiani istri dari Raja Mansyur Syah sedang berbicara, tidak menyia-nyiakan waktu mereka akhirnya dikepung oleh penjaga istana, Mangkubumipun mengadu kepada raja bahwa Hang Tuah dan Madiani mengkhianati raja. Setelah mendengar berita itu, keesokan harinya diadakan sidang untuk hukuman Hang Tuah atas perselingkuhannya dengan Madiani dibalai, Alim Ulama, Cadiak Pandai pun hadir untuk mendengar pembacaan hukuman Hang Tuah. Dengan banyak nya saksi, tentu hanya saksi palsu memberikan kesaksiannya. Dicarilah hukuman yang pantas untuk Hang Tuah, karena dia telah mempermalukan nagari, dan berselingkuh dengan isteri seorang raja.
11
Ditetapkannya hukuman mati untuknya, namun Datuk Bandaro berusaha membela Hang Tuah yang tak bersalah itu dengan mengatakan bahwa jika menjadi saksi itu ada kriterianya yang pertama tidak memiliki pertalian darah, dan tidak memiliki ikatan keuarga, kedua baligh dan berakal, ketiga sanggup untuk bersumpah, keempat tidak memiliki dendam kepada terdakwa. Setelah Datuk Bandaro menjelaskan semua hal yang dirasanya janggal, maka diputuskanlah bahwa Hang Tuah hanya diusir dari istana, pangkatnya menjadi rakyat biasa, dan dilarang menggunakan senjata. Hipogramatik Hikayat Hang Tuah danKaba Laksamana Hang Tuah Persamaan dalamHikayat Hang Tuah dan Kaba Laksamana Hang Tuah adalah pertama tokoh dan penokohan yakni tokoh Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekiu dan Hang Lekir. Kedua latar, dalam kedua karya sastra ini ada tiga latar yang sama yakni istana, laut, dan Bintan. Ketiga alur, baik dalam HIkayat Hang Tuah maupun Kaba Laksamana Hang Tuah ada beberapa alur yang sama yakni Hang Tuah dan keempat sahabatnya sama-sama pergi merantau, mengabdikan diri kepada raja, diangkat menjadi pegawai istana meskipun dengan pangkat yang berbeda, Hang Tuah diangkat menjadi Laksamana, Hang Tuah diusir dari istana, Hang Tuah dipanggil lagi ke istana. Keempat peristiwa dan konflik, diceritakan bahwa ada seseorang dari istana dengki kepada Hang Tuah dan memfitnah Hang Tuah dengan tujuan Hang Tuah diusir dari istana. Perbedaan dalam Kaba Laksamana Hang Tuah dan Hikayat Hang Tuah adalah tokoh dan penokohan, berbedanya sifat Hang Jebat antara Kaba Laksamana Hang Tuah dan Hikayat Hang Tuah, berbedanya nama ayah dan ibu Hang Tuah, tokoh penokohan dalam Kaba Laksamana Hang Tuah hanya 14 danHikayat Hang Tuah memiliki lebih dari 40 tokoh. Sedangkan pada latar tempat Kaba Laksamana Hang Tuah hanya memiliki 8 dan pada Hikayat Hang Tuah memiliki 18 latar tempat, latar waktu pada Kaba Laksamana Hang Tuah
12
tentu hadir setelah adanya cerita Hikayat Hang Tuah. Kaba Laksamana Hang Tuah memiliki 8 alur/ episode sedangkan Hikayat Hang Tuah lebih banyak memiliki episode yaitu 24. Persamaan dan perbedaan di atas dapat dijelaskan bahwa cerita Kaba Laksamana Hang Tuah berasal dari cerita Hikayat Hang Tuah yang banyak mengalami penghilangan, penambahan, serta penggantian dari beberapa tokoh, latar, dan alur bahkan dalam tokoh yang memiliki kesamaan hanya tokoh Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Jadi, cerita Kaba Laksamana Hang Tuah merupakan variasi dari Hikayat Hang Tuah dan hanya sebagai cerita pelipur lara. Dengan penjelasan persamaan dan perbedaanHikayat Hang Tuah dan Kaba Laksamana Hang Tuah dapat disimpulkan bahwa cerita Hikayat Hang Tuah sebagai induk yang akan menetaskan karya baru (hipogram), sedangkanKaba Laksamana Hang Tuahsebagai karya baru (transformasi), hadirnya cerita Kaba Laksamana Hang Tuah ditengah masyarakat Minangkabau karena adanya keterpengaruhan dari cerita Hikayat Hang Tuah. Dapat dikatakan bahwa Hikayat Hang Tuah merupakan cerita yang hadir lebih dahulu dibanding cerita Kaba Laksamana Hang Tuah, tentu penelitian ini tidak mengaju pada penelitian filologi yang mencari naskah asli untuk membuktikan karya mana yang lebih dahulu hadir. Penulis hanya menjelaskan bahwa kedua karya ini dikaji melalui unsur intrinsik kemudian dengan hipogramatik dengan tujuansebagai pembuktian bahwa memang cerita Hikayat Hang Tuah lah yang lebih dulu hadir di tengah masyarakat sebelum Kaba Laksamana Hang Tuah. Persamaan dan perbedaan antara Hikayat Hang Tuah dan Kaba Laksamana Hang Tuah dapat diambil kesimpulan bahwa Hikayat Hang Tuah sebagai hipogram sedangkan Kaba Laksamana Hang Tuahhadir sebagai karya baru dengan alasan yang meliputi sebagai berikut. Modifikasi, ada perubahan tataran linguistik, manipulasi urutan kata dan kalimat. Dapat saja pengarang hanya mengganti nama tokoh, padahal tema dan jalan ceritanya sama.Karena Hikayat Hang Tuah sebagai hipogram kemudian Kaba 13
Laksamana Hang Tuahsebagai karya baru, tentu dalam cerita Kaba Laksamana Hang Tuah terjadinya penggantian, penambahan, dan penghilangan nama tokoh, sifat tokoh, tempat yang terjadi dalam Kaba Laksamana Hang Tuah, waktu kejadian, dan alur yang ada dalam Kaba Laksamana Hang Tuah lebih sedikit dibandingkan alur yang ada dalam Hikayat Hang Tuah. Bahkan Umar Junus (1992: 80) mengatakan pertama, fungsi kaba sebagai “hiburan”, memungkinkan orang mendengarkan cerita. Untuk menarik khalayak, tukang kaba berusaha mendapatkan cerita baru, tanpa mempersoalkan sumbernya. Kedua, kaba juga digunakan untuk menceritakan sesuatu yang baru dengan cerita lama. Disamping mengekalkan ciri tradisi kaba, melalui kaba diperkenalkan pemikiran baru. Sebab itu, kebanyakan kaba yang telah dicetak sebelum perang pada awal tahun 1960-an, adalah cerita baru, dengan ideologi yang lain daripada kaba yang sebelumnya pernah hidup dalam tradisi lisan. Penutup Sebagai hasil akhir penelitian ini, simpulan bahwaHikayat Hang Tuah sebagai hipogram dariKaba Laksamana Hang Tuah diperoleh melalui hal-hal sebagai berikut 1)Cerita Hikayat Hang Tuah memiliki lebih banyak tokoh dan penokohan, alur, latar waktu yang lebih dulu, tema yang berbeda dengan Kaba Laksamana Hang Tuah. Hikayat Hang Tuah mengawali cerita dengan adanya kerajaan dari negeri kayangan sedangkan Kaba Laksamana Hang Tuah langsung bercerita tentang Hang Tuah. Jadi, ketika membaca Hikayat Hang Tuah pembaca merasa dibawa pada cerita zaman dahulu, berbeda ketika membaca Kaba Laksamana Hang Tuah pembaca hanya sekedar tahu bahwa ceritanya seperti itu dan berakhir dengan bahagia, 2) Cerita Hikayat Hang Tuah memiliki unsur sejarah , 3) Kaba Laksamana Hang Tuah berakhir dengan bahagia, ini membuktikan bahwa Kaba Laksamana Hang Tuah berfungsi sebagai cerita pelipur lara untuk masyarakat Minangkabau, 4) Dalam kata pengantarKaba Laksamana Hang Tuah dikatakan bahwa kaba ini berasal dari Melaka sampai di Minangkabau jadi kaba. 14
Daftar Pustaka Abdullah, Taufik. 1982. Studi Minangkabau. Jakarta:
Adat
sebagai
Pantulan
Perubahan
Sosial
di
Endaswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Junus, Umar. 1992. “Hang Tuah dan Kaba Minangkabau” dalam Dewan Sastera. https://www.google.com/search?safe=active&source=android-browsertype&redir_esc=&q=dewan%20sastera%20hang%20tuah%20dan%20kaba%20minan gkabau%20umar%20junus&qsubts=1400645861101&devioc=o&hi=inID&q=dewan +sastera+hang+tuah+dan+kaba+minangkabau+umar+junus&safe=active Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pradopo, Rachmad Djoko. 1997. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ratna,
Nyoman Kuntha. 2004. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teori,
Metode,
dan
Teknik
Penelitian
Sastra.
Sudjiman, Panuti. 1983. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia. http://kbbi.web.id/hikayat.
15