PERSPEKTIF, VOL. XI NO. 1 MARET 2013
TINJAUAN RIBA PADA PERBANKAN KONVENSIONAL IRWIN ANANTA VIDADA Akademi Manajemen Informatika & Komputer Bina Sarana Informatika Jln.RS. Fatmawati No. 24 Pondok Labu, Jakarta Selatan. Indonesia Email :
[email protected] ABSTRACT The rapid development of the banking sector can not be separated from the more complex problems of governance of cash flows for the economic interests of micro and macro economics. In the implementation of these regulations in compliance with bank runs that have been set by Bank Indonesia, the bank's main function as a collector and distributor of funds to the public. The application was made by the bank to carry out deposit products and loan products to the public with interest rates as the instrument of accession excess or profit between deposit rates and lending rates. This is disputed by the Islamic Sharia as Islamic law does not permit taking advantage of interest in the transaction contract debts the spirit in the savings and loan products of the bank. The presence of similarities between the practices of bank interest and usury is a fundamental focus of the discussion to become a scrutiny review authors primarily to ensure that the specific issues surrounding elements forbade the transaction of usury in Islamic law actually happened in muamalah / conventional banking transactions . Then the author will also parse and prove the existence of a common thread that really has had a relationship with the bank interest group should practice usury prohibition and other elements in muamalah / transactions as opposed to the conventional banks with Islamic law. Key word : Usury, Banking interest, Conventional Banking. I.
PENDAHULUAN
syariat Islam mengijinkannya. Hal ini berlaku dalam muamalah Sebagaimana dijelaskan I’lamul Muwaqqi’in dalam Sabiq (2002) “Pada dasarnya semua ibadah hukumnya haram kecuali kalau ada dalil yang memerintahkannya, sedangkan asal dari hukum transaksi dan muamalah adalah halal kecuali kalau ada dalil yang melarang.” Adapun yang dapat mengubah transaksi atau muamalah dari halal bisa menjadi haram dianataranya jika muamalah tersebut mengandung unsur riba, gharar (adanya spekulasi yang tinggi), jahalah (adanya sesuatu yang tidak jelas), penipuan, kezaliman, perjudian/adu nasib, serta yang dijual mrupakan barang/jasa yang diharamkan. Salah satu permasalahan pokok yang menjadi fokus perhatian penulis dan juga merupakan pembatasan penulisan akan difokuskan pada masalah-masalah tertentu seputar unsur-unsur transaksi riba yang di haramkan syariat Islam dalam muamalah/transaksi perbankan konvensional. Tujuan penulisan adalah untuk mengurai adanya praktek riba dan unsur keharaman lain dalam muamalah/transaksi pada perbankan konvensional.
Perkembangan kehidupan manusia di zaman modern yang demikian pesat ini turut mempengaruhi gaya hidup manusia di segala sektor dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Seiring kemajuan teknologi informasi dan sarana transportasi memberikan warna baru terhadap perkembangan kemajuan dunia perbankan. Tidak dipungkiri begitu besarnya pemanfaatan jasa perbankan dalam kegiatan yang memiliki interaksi dengan perputaran arus uang baik untuk ekonomi mikro maupun ekonomi makro. Bank diasumsikan sebagai tempat yang relatif terjamin dan aman untuk menabung uang serta melakukan kegiatan jasa transaksi keuangan lainnya, yang muncul seiring dengan pesatnya perkembangan zaman seperti munculnya jasa ATM, kartu kredit, kartu debit, safe deposit box, penggunaan check, ebanking, mobile banking, Lc, jasa penagihan piutang (inkaso), jasa pembayaran seperti pembayaran listrik, telepon, air, gaji dan lain pembayaran, jasa transfer uang dan lainnya. Syariat Islam sendiri itu bertujuan untuk mengatur kemaslahatan kehidupan manusia yang tidak saja dalam konteks hubungan dengan Allah namun juga dalam hubungan antar II. TINJAUAN PUSTAKA manusia. Maka selama tidak didapatinya larangan dari kitabullah dan sunnah maka 2.1 Mengenal Bisnis Perbankan
78
PERSPEKTIF, VOL. XI NO. 1 MARET 2013
Interaksi dengan Bank seolah menjadi suatu kebutuhan yang tidak terpisahkan dari kehidupan modern pada saat ini. Umumnya orang mengenal bank untuk aktiftitas tabung menabung maupun pinjam meminjam kredit bank saja. Tetapi seiring perkembangan zaman produk layanan perbankan semakin banyak dan kompleks untuk memenuhi kebutuhan transaksi moderen saat ini. Inti (core) dari bisnis perbankan masih berkisar produk penyimpanan dan peminjaman uang yang merupakan implementasi bank sebagai lembaga intermediari antara sektor yang kelebihan dana kepada sektor yang kekurangan dana sebagaimana diisyaratkan dalam fungsi bank. Bank Indonesia dalam ikhtisar perbankan menyatakan bahwa “Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat serta bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak”. Bank adalah lembaga yang bisnis utamanya adalah menyimpan dan meminjamkan dana masyarakat, Bank kerap disebut sebagai urat nadi kegiatan ekonomi suatu negara, karena uang yang tidak dapat dipisahkan dari aktifitas bank merupakan darah yang menggerakkan perekonomian. Untuk memahami dan mengenal lebih jauh tentang produk-produk yang ada dalam bank maka kita perlu mengetahui produk terkait dengan bisnis utama bank Secara umum bisa diketahui produk perbankan dapat dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Produk-Produk Simpanan Bank, meliputi : a. Giro Rekening Giro adalah rekening yang uangnya bisa diambil setiap hari, di mana rekening ini dilengkapi fasilitas pembayaran dengan cek dan giro bilyet. Bila bertransaksi dengan pihak lain, pengguna bisa membayarnya dengan menggunakan cek atau giro bilyet. Cek adalah surat berharga di mana orang yang di beri cek bisa langsung menguangkannya di bank. Sedangkan giro bilyet adalah surat berharga di mana orang yang di beri giro tersebut tidak bisa menguangkan giro itu di bank, tapi harus disetorkan lebih dulu ke rekeningnya. Barulah setelah itu uang akan cair di dalam rekeningnya. Bunga uang pada rekening giro disebut dengan istilah "jasa giro". Sebagai timbal balik atas pelayanan dan fasilitas yang diberikan,
b.
maka hampir semua bank mengenakan biaya administrasi kepada nasabahnya yang langsung dipotong dari rekening gironya tiap bulan. Tabungan Tabungan adalah produk simpanan di bank yang penyetoran maupun penarikannya dapat dilakukan kapan saja. Dalam perkembangannya saat ini tabungan tidak saja digunakan sebagai sarana menyimpan uang semata, tetapi juga ditambah dengan fasilitas lain yang sebetulnya sudah agak diluar dari maksud menabung itu sendiri contohnya seperti fasilitas debet, fasilitas ATM, transfer, penampungan uang panggajian, penampungan sementara dana setor untuk pembayaran beragam keperluan baik listrik, air, telepon dan lain sebagainya. Jadi jika dilihat dari tujuan seseorang dalam menabung di bank bisa dibagi menjadi dua yaitu : mereka yang ingin benar-benar menabung untuk bisa mengumpulkan sejumlah dana tertentu pada masa yang akan datang (contohnya seperti menabung untuk bisa membeli kebutuhan tertentu), atau mereka hanya ingin menjadikan tabungan sebagai rekening penampungan dan bukan untuk benarbenar menabung (contohnya seperti rekening yang uangnya digunakan untuk membayar belanja bulanan menggunakan fasilitas berupa kartu ATM dan kartu debet). Bunga tabungan diberikan bank agar dana yang tersimpan di tabungan dapat berkembang, sehingga nasabah semakin rajin menabung. Bunga tabungan biasanya dihitung tiap akhir bulan dari saldo rata-rata harian pada bulan tersebut. Bunga tabungan bisa diberikan secara single rate. Artinya, berapa pun jumlah uang yang ada di tabungan bunganya tetap sama. Bisa juga diberikan secara bertingkat, artinya pada jumlah saldo yang berbeda, bunga yang diberikan tidak sama. Biasanya, semakin banyak saldo yang ditanamkan, bunga yang diberikan semakin tinggi. Hal ini sebagai timbal balik atas pelayanan dan fasilitas yang diberikan. Hampir semua bank mengenakan biaya administrasi kepada nasabahnya yang langsung dipotong dari tabungannya tiap bulan. Tapi saat ini ada juga Bank
79
PERSPEKTIF, VOL. XI NO. 1 MARET 2013
2.
80
yang tidak membebankan biaya administrasi pada tabungan. c. Deposito Deposito adalah produk simpanan di bank yang penyetoran maupun penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu saja. Sebagai contoh, kalau kita menaruh uang satu juta rupiah pada deposito yang berjangka waktu tiga bulan, maka uang satu juta rupiah tersebut baru bisa di ambil setelah tiga bulan berlalu. Tentunya, juga dijanjikan pemberian bunga tertentu yang bisa dinikmati pada saat deposito itu jatuh tempo. Bunga deposito biasanya lebih tinggi dibanding bunga tabungan. Ini karena uang tersebut akan "dikunci" selama jangka waktu tertentu sehingga bank merasa perlu untuk menjanjikan suku bunga yang lebih tinggi dibanding suku bunga pada rekening tabungan yang uangnya bisa di tarik kapan saja. Inilah biasanya yang menjadi daya tarik utama deposito. Produk-Produk Pinjaman Bank a. Kredit Usaha Kredit Usaha adalah kredit yang digunakan untuk membiayai perputaran usaha atau bisnis sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang produktif, seperti usaha perdagangan, usaha industri rumah tangga, usaha jasa konsultasi, dan lain-lain. Untuk pelunasan kredit, debitur akan di kenakan senilai persentase suku bunga tertentu pada jangka waktu tertentu. b. Kredit Konsumsi Kredit Konsumsi adalah kredit yang digunakan untuk membeli sesuatu yang sifatnya konsumtif, seperti membeli rumah atau kendaraan pribadi. Dua kredit konsumsi yang biasanya menjadi andalan bank adalah Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan kredit kendaraan. Tentunya, karena uang itu oleh nasabah akan digunakan untuk tujuan konsumtif, maka risiko bagi bank bahwa nasabahnya tidak mampu membayar pinjamannya akan menjadi lebih besar sehingga pada umumnya suku bunga yang dibebankan kepada nasabah untuk kredit konsumsi akan lebih besar ketimbang bunga kredit untuk tujuan usaha. c. Kredit Serba Guna
Kredit Serba Guna adalah kredit yang bisa digunakan untuk tujuan apa saja, bisa untuk konsumsi maupun untuk memulai usaha baru seperti percetakan, bisnis penerjemah tersumpah dan dagang. Salah satu produk kredit serba guna yang sering dipasarkan adalah Kredit Tanpa Agunan atau jaminan, Perbedaan antara KTA dengan kredit yang lain adalah jaminan, karena pada umumnya, bila ingin mendapatkan kredit, seseorang harus menjaminkan salah satu harta yang di miliki kepada bank sehingga apabila tidak mampu mengembalikan pinjaman tersebut, bank akan menyita harta yang dijaminkan tersebut. Lazimnya nilai barang jaminan itu harus lebih besar atau minimal harus sama dengan nilai uang yang di pinjam. Dalam produk ini hanya disyaratkan untuk memiliki jumlah penghasilan tertentu setiap bulannya dan menyerahkan sejumlah bukti yang bisa menunjukkan bahwa memang betul berpenghasilan sebesar jumlah yang disyaratkan. 2.2 Mekanisme kerja selisih suku bunga bank Bank pada dasarnya lembaga perantara (intermediary) dari pihak yang kelebihan dana (para pengguna produk simpanan) dengan pihak yang kekurangan dana (para pengguna produk pinjaman). Upaya mediasi kedua belah pihak ini serta kecekatan dalam memainkan selisih suku bungalah yang menjadi sumber pemasukan bagi operasional dan keuntungan bank. Sebagai contoh : Jika seseorang menyimpan uang di bank dalam bentuk deposito, maka orang tersebut mungkin akan mendapatkan suku bunga 10 persen per tahun. Pada gilirannya, bank akan meminjamkan uang itu ke masyarakat dan pihak yang meminjam uang itu harus membayar bunga kepada bank dengan tingkat bunga yang lebih tinggi dari 10 persen (misal 12 persen). Karena ada selisih persentase dua persen antara suku bunga simpanan bank dengan suku bunga pinjaman bank maka selisih ini yang akan menjadi keuntungan bank. Keuntungan yang didapat dari selisih itu masih harus dikurangi lagi untuk membayar biayabiaya operasional bank, seperti gaji pegawai dan biaya-biaya kantor yang lain. A. Metode Perhitungan Bunga Tabungan Secara umum ada 3 metode perhitungan bunga tabungan yaitu : berdasarkan saldo
PERSPEKTIF, VOL. XI NO. 1 MARET 2013
terendah, saldo rata-rata dan saldo harian. Beberapa bank menerapkan jumlah hari dalam 1 tahun 365 hari, namun ada pula yang menerapkan jumlah hari bunga 360 hari. Untuk memudahkan dalam memahami perhitungan bunga diatas, mari kita lakukan sebuah ilustrasi rekening tabungan sebagai berikut : Tuan A membuka tabungan pada tanggal 1 Juni dengan setoran awal Rp 1.000.000 dengan bunga 5% pa (per annum) . Dengan menafikan metode saldo terendah, saldo rata-rata dan saldo harian, karena sesungguhnya rumus menghitung suku bunga pada ketiganya mempunyai pola rumus yang sama kecuali berbeda dalam menentukan nilai saldo yang mana yang jadi dasar hitung maka untuk contoh ini kita asumsikan saja Rp. 1.000.000 adalah saldonya), maka bunga 2. dihitung dengan rumus sebagai berikut: Bunga = S x i x t / 365 . S = saldo, i= suku bunga tabungan pertahun, t = jumlah hari dalam 1 bulan, 365 = jumlah hari dalam 1 tahun. maka perhitungan bunga adalah sebagai berikut: Bunga = Rp. 1 000.000 x 5 % x 30/365 . = Rp. 4.109,59 B. Metode Perhitungan Bunga Kredit Secara umum ada dua metode dalam perhitungan bunga yaitu efektif dan flat. Namun dalam praktek sehari-hari ada modifikasi dari metode efektif yang disebut dengan metode anuitas. 1. Metode Efektif Untuk memudahkan pemahaman konsep metode perhitungan bunga di atas, dapat diilustrasikan sebagai berikut : Seorang nasabah mengajukan kredit dengan jangka waktu 24 bulan sebesar Rp. 24.000.000 dengan bunga 10% per tahun. Anda berniat melakukan pembayaran pokok pinjaman Rp. 1.000.000 per bulan sampai lunas. Asumsi bahwa suku bunga kredit tidak berubah (tetap) selama jangka waktu kredit. Metode ini menghitung bunga yang harus dibayar setiap bulan sesuai dengan saldo pokok pinjaman bulan sebelumnya. Rumus perhitungan bunga adalah : Bunga = SP x i x (30/360), SP = saldo pokok pinjaman bulan sebelumnya, i =suku bunga per tahun, 30 = jumlah hari dalam 1bulan, 360 = jumlah hari dalam 1 tahun. Maka bunga efektif bulan ke 1 adalah : = Rp. 24.000.000,00 x 10% x (30 hari/360 hari) = Rp. 200.000,00 Angsuran pokok dan bunga pada bulan 1 adalah : Rp. 1.000.000 + Rp. 200.000 = Rp. 1.200.000
Kemudian kalkulasi hitung berikutnya memakai nilai saldo tersisa, yakni nilai saldo setelah dikurangi angsuran pokok bulan pertama maka angsuran bulan kedua lebih kecil dari angsuran bulan pertama demikian pula untuk bulan-bulan selanjutnya, besar angsuran akan semakin menurun dari waktu ke waktu. Sedang untuk metode anuitas merupakan modifikasi metode bunga efektif dimana hasil kalkulasi memodifikasi jumlah angsuran pokok ditambah bunga sedemikian rupa sehingga menghasilkan total angsuran dengan jumlah nominal yang sama dari angsuran bulan ke 1, ke 2 dan seterusnya. Metode Flat Dalam metode ini, perhitungan bunga selalu menghasilkan nilai bunga yang sama setiap bulan, karena bunga dihitung dari prosentasi bunga dikalikan pokok pinjaman awal. Rumus perhitungannya adalah : Bunga per bulan = (P x i x t) : jb P = pokok pinjaman awal, i = suku bunga per tahun, t = jumlah tahun jangka waktu kredit, jb = jumlah bulan dalam jangka waktu kredit. Karena bunga dihitung dari pokok awal pinjaman, maka biasanya secara nominal persentase suku bunga flat tampak lebih kecil dari suku bunga efektif. Dalam contoh kasus di atas misalkan bunga flat sebesar 5,3739 % per tahun, bunga flat tiap bulan selalu sama. Bunga = (Rp. 24.000.000 x 5,3739% x 2 ) : 24 Bunga = Rp. 107.478 Angsuran pokok dan bunga pada bulan pertama adalah : Rp. 1.000.000 + Rp. 107.478 = Rp. 1.107.478 Demikian kalkulasi angsuran periode berikutnya mempunyai angsuran pokok, angsuran bunga dan total angsuran yang sama dari waktu ke waktu hingga berakhirnya masa kredit tersebut. Suku bunga flat 5,3739 % sebetulnya sebanding dengan suku bunga efektif 10 %, hal semacam ini kadang menjadi strategi muslihat untuk menawarkan pinjaman bunga kecil bagi calon nasabah peminjam.
2.3 Mengenal Riba Begitu banyak diantara kita mengenal riba sekedar hanya sebutan istilah belaka, oleh sebab itu ketika nama istilah riba di ganti dengan kamuflase nama-nama yang berbeda, sebagian dari kita tidak mengenal lagi atau bisa juga
81
PERSPEKTIF, VOL. XI NO. 1 MARET 2013
mengikuti hawa nafsu untuk berpura-pura tidak mau tahu agar bisa terbebas dari rasa bersalah dan dosa, meskipun yang bersangkutan sedang bermuamalah melalui transaksi riba. Agar bisa menjauhi riba maka kita pun perlu berbekal pengetahuan mengenai apa itu yang dimaksud dengan riba. Menurut Badri (2009) Riba ialah suatu “akad/transaksi atas barang tertentu yang ketika akad berlangsung, tidak diketahui kesamaannya menurut ukuran syariat atau dengan menunda penyerahan kedua barang yang menjadi obyek akad atau salah satunya”. Dari definisi tersebut diketahui jika riba bisa muncul pada jual beli dan pinjam meminjam. Hal tersebut bisa terjadi karena melanggar dari ketentuan yang dibenarkan syariat. Contoh dari yang diatur syariat ialah tidak dibolehkannya mengambil keuntungan dari utang piutang, karena akad transaksi utang piutang dalam ketentuan prinsip muamalah Islam haruslah berakad sosial dan tidak boleh di komersilkan. Sebagaimana dinyatakan oleh para ulama dalam banyak kitab-kitabnya diantaranya Majmu’ fatawa Ibnu Taimiyah dalam Badri menyatakan bahwa “Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan / keuntungan, maka itu adalah riba” . Menurut Antonio (2003) “Riba secara bahasa bisa bermakna ziyadah atau tambahan. Dalam pengertian lain, secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil”. Ada beberapa penjelasan mengenai riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam. Jika pada transaksi pinjam meminjam uang tidak boleh ada unsur komersil atau mencari keuntungan, namun pada sisi lain terdapat pula akad yang dibenarkan syariat untuk mengambil keuntungan semisal jual beli, sewa menyewa dan lain-lain
82
Hukum riba adalah haram menurut kesepakatan ulama Islam dan riba masuk salah satu diantara dosa besar, sehingga umat Islam dilarang mengambil apapun jenis riba, Banyak sekali dalil baik dari Alqur’an maupun hadist nabi Shalallahu’alaihi wasallam yang menyatakan haramnya dan terlarangnya riba. Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahulloh dalam (badri:2009) mengatakan “Keharaman riba telah disepakati oleh ulama, oleh karena itu barangsiapa yang mengingkari keharamannya, sedangkan ia tinggal di masyarakat muslim, berarti ia telah murtad (keluar dari agama Islam), karena riba termasuk hal-hal haram yang telah jelas dan diketahui oleh setiap orang serta telah disepakati”. Menurut hadist shahih riwayat athThabrany dalam Badri (2010) menyatakan besarnya dosa riba jika dibandingkan dengan dosa lain yang tergambar dari hadist tersebut bahwa: “(Dosa) riba itu memiliki tujuh puluh dua pintu, yang paling ringan ialah semisal dengan (dosa) seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Dan sesungguhnya riba yang paling besar ialah seseorang yang melangggar kehormatan / harga diri saudarnya Setiap orang yang terlibat dalam proses perbuatan riba tersebut baik langsung maupun tidak langsung akan terkena keharaman riba ini. Menurut hadist muslim dalam Badri (2010) Dari sahabat Jabir radhiaallohuanhu ia berkata, “Rosululloh Shalallahu’alaihi wasallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya(sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya.” Dan beliau juga bersabda, “ Mereka itu sama dalam hal dosanya.” 2.4. Macam-macam riba Secara umum diketahui bahwa riba bisa terjadi dalam dua hal, yaitu dalam utang (dain) dan dalam transaksi jual-beli (bai’). Keduanya biasa disebut dengan istilah riba utang (riba duyun) dan riba jual-beli (riba buyu’).
PERSPEKTIF, VOL. XI NO. 1 MARET 2013
Gambar 1 : Skema Jenis-jenis Riba Sumber: Priastomo (2013) A. Riba Dalam Utang (riba duyun) Riba ini terjadi karena pengambilan manfaat tambahan terhadap utang, baik dalam 2. transaksi utang-piutang (qardh) yang muncul karena semata-mata akad utang-piutang, yaitu meminjam harta orang lain untuk dihabiskan lalu diganti pada waktu lain atau pun dalam transaksi jual-beli yang tidak tunai (bai’ muajjal) muncul karena harga yang belum diserahkan pada saat transaksi, baik sebagian atau keseluruhan. Contoh riba dalam utangpiutang (riba qardh) diantaranya ada beberapa contoh misalnya : 1. Ali sebagai karyawan kantor mengajukan utang sebesar Rp. 10 juta kepada bendahara kantor dengan tempo satu tahun. Berdasar perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dan mengikuti aturan pinjam meminjam uang yang biasa berlaku di kantor tersebut maka Ali wajib mengembalikan utang tersebut dengan cara mencicil plus bunga pinjamannya 1% setiap bulan, maka hal tersebut merupakan riba yang diharamkan. Hal ini berlaku tanpa pengecualian baik pada kasus membayar bunga secara flat maupun fluktuatif, baik persentase bunga di hitung dari saldo awal pinjaman maupun saldo tersisa, baik nominal dari suku bunga besar maupun kecil, karena dalam akad pinjam meminjam Islam tidak memperkenankan akad bisnis namun hanya berlaku akad sosial yakni menolong. Riba pada pinjaman dengan bunga yang dipersyaratkan di awal akad sebagaimana pada contoh ini 3. merupakan bagian dari jenis riba jahiliyah
dan ini adalah termasuk riba yang paling besar dosanya dan sangat tampak kerusakannya. Meminjamkan seseorang sejumlah uang tanpa bunga untuk modal usaha dengan syarat pihak yang meminjamkan mendapat sejumlah tertentu / prosentase dari modal pinjaman yang diberikan serta modal pinjaman tetap wajib dikembalikan secara utuh. Modus ini menggunakan label bagi hasil namun hakekatnya bukan bagi hasil namun riba. Contoh : Bapak Suro membutuhkan bantuan modal sebesar 10 juta rupiah untuk penggarapan proyek baru selama tempo tiga bulan, kemudian beliau mengajak kepada ibu Yance untuk berinvestasi selama waktu tersebut dengan menjanjikan pengembalian modal utuh plus bagi hasil 500 ribu rupiah setiap bulan tanpa mempertimbangkan usaha tersebut untung atau rugi, atau dalam konteks kasus lain yang lebih samar yakni bagi hasil yang tidak melihat keuntungan dan kerugian riil ini pun bisa jatuh pada perkara riba. Sistem ini yang banyak terjadi pada koperasi, BMT, bahkan bank-bank syariah pun menerapkan sistem ini dengan istilah mudharabah (bagi hasil) yang mana nilai patokan bagi hasil lebih melihat kepada asumsi indikator bisnis bukan kepada realita untung dan rugi riil usaha, oleh sebab itu seorang nasabah baru pun akan kebagian bagi hasil walaupun secara hakekat uang nasabah tersebut belum benar-benar digunakan dalam suatu usaha. Adi berhutang kepada koperasi Rp. 5.000.000 dengan bunga 0% (tanpa bunga)
83
PERSPEKTIF, VOL. XI NO. 1 MARET 2013
dengan tempo dua bulan. Namun pihak koperasi mengatakan : “Bila sudah masuk jatuh tempo namun hutang belum terlunasi, maka setiap bulannya akan dikenai denda 5%.” Maka ini pun riba walaupun diberi nama denda. 4. Mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan. Contoh : Bapak Adi menggadaikan emas logam mulia seberat 2 gram ke bank. Harga pasaran emas tersebut saat itu satu juta rupiah, nilai gadai ditaksir 80% menjadi 800 ribu rupiah, maka bank memberikan pinjaman dan menerapkan tarif, untuk logam mulia 2 gram tersebut biaya titip sebesar 11.800/15 hari. Dengan demikian, untuk penyimpanan selama 6 bulan saja, nasabah harus membayar Rp. 141.600.dan untuk menyimpan waktu setahun Rp. 283.200. Padahal pada saat yang bersamaan bank menetapkan harga penyewaan Safe Deposit Box (SDB) yang ukuran kecil saja (3x5x24 inch) yang mampu menyimpan emas seberat 2 gram tersebut dengan harga hanya Rp. 100 ribu per tahun. Jika dilihat maka terdapat adanya selisih antara ongkos riil perawatan sebesar Rp. 100.000 pertahun dengan biaya titip dari pinjaman gadai emas sebesar Rp. 283.200. Selisih yang menunjukan telah terjadinya komersialisasi dari transaksi pinjam gadai emas tersebut dari ongkos yang semestinya maka ini pun merupakan riba, karena dalam pinjam gadaipun pihak penerima barang gadai tidak diperkenankan mengambil keuntungan apapun namun sangat disayangkan peraktek ini pun sering dilakukan oleh bank yang melabeli diri sebagai bank syariah. Perlu diketahui bahwa dalam konteks utang, riba atau tambahan diharamkan secara mutlak tanpa melihat jenis barang yang diutang. Maka, riba jenis ini bisa terjadi pada segala macam barang tidak mesti berupa uang. Misal : A berutang 10 kg buah apel kepada B, jika disyaratkan adanya tambahan pengembalian sebesar 1 kg apel, maka tambahan tersebut merupakan riba yang diharamkan. Sedangkan contoh dalam transaksi jual-beli yang tidak tunai (bai’ muajjal) sebagi berikut : X membeli motor kepada Y secara tidak tunai dengan ketentuan harus lunas dalam tiga tahun. Jika dalam tiga tahun tidak berhasil dilunasi maka waktu jatuh tempo akan diperpanjang dan X dikenai denda berupa tambahan sebesar 5% maka denda ini merupakan riba. Mayoritas ulama menyatakan jika ada syarat bahwa orang yang berutang harus memberi hadiah atau jasa tertentu kepada
84
pemberi utang, maka hadiah dan jasa tersebut tergolong riba, sesuai kaidah, “setiap qardh yang menarik manfaat maka ia adalah riba”. Sebagai contoh, apabila B bersedia memberi pinjaman uang kepada A dengan syarat A harus meminjamkan kendaraannya kepada B selama satu bulan, maka manfaat yang dinikmati B itu merupakan riba. B. Riba Dalam Jual-beli Berbeda dengan riba dalam utang (dain) yang bisa terjadi dalam segala macam barang, riba dalam jual-beli tidak terjadi kecuali dalam transaksi enam barang tertentu yang disebutkan oleh Rasulullah sholallahualaihiwasalam dalam hadist maupun barang lain yang semakna dengan komoditi tersebut atau memiliki kesamaan‘illah (alasan), sebagaimana diterangkan hadist riwayat Muslim dalam Muhammad Abduh Tuasikal menyatakan bahwa “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” Dalam riwayat lain sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab hadist diantaranya riwayat Muslim, At Tirmidzi dan Abu Dawud dalam Priastomo (2013) Dalam riwayat lain dikatakan : “Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka jika berbeda jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (kontan).” Maka para ulama menyepakati bahwa yang termasuk komoditi riba berdasarkan nama jenis komoditi yang tersebut dalam hadist nabi Shalallahu’alaihi wasallam itu diantaranya ada enam jenis yaitu emas, perak (dua komoditi jenis ini masuk kelompok pertama yakni kelompok emas/perak dan alat pembayaran semakna emas/perak maka contoh jenis lain untuk kelompok ini ialah dinar, dirham, rupiah, dollar dan lain sebagainya yang semakna). Sedangkan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum), kurma, dan garam (empat komoditi jenis ini masuk kelompok kedua yakni kelompok komoditi bahan makanan yang ditimbang dan ditakar. Contoh jenis lain untuk kelompok ini ialah beras, tepung terigu, jagung
PERSPEKTIF, VOL. XI NO. 1 MARET 2013
dan lain sebagainya yang semakna). Dengan demikian setiap bahan makanan yang diperjual belikan dengan cara ditimbang dan ditakar berlaku pula padanya hukum sebagai komoditi riba.
Gambar 2 : Komoditi Riba Sumber : Data olahan Setelah kita mengtahui jenis-jenis komoditi ribawi dan pengelompokannya tersebut diatas, maka penerapan kaidah rambu-rambu bermuamalah komoditi tersebut sebagai berikut: 1. Diwajibkan adanya tamatsul (sama / sebanding) dan taqabudh (serah terima di tempat / tunai) dalam jual beli barang sejenis, misal emas dengan emas, kurma dengan kurma dan seterusnya. Berdasarkan hadits Bukhori-Muslim dalam Badri (2010) bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, artinya : "Janganlah engkau menjual / membarterkan emas dengan emas, melainkan sama-sama (beratnya) dan janganlah engkau lebihkan sebagian atas lainnya. Dan janganlah engkau membarterkan perak dengan perak malainkan sama-sama (beratnya), dan janganlah engkau lebihkan sebagian atas lainnya. Dan janganlah engkau menjual sebagian darinya dalam keadaan tidak ada di tempat berlangsungnya akad perniagaan dengan emas atau perak yang telah hadir di tempat berlangsungnya akad perniagaan". Dalam konteks ini misalkan untuk jual beli emas dengan emas, rupiah dengan rupiah maka harus terpenuhi syarat tersebut, maka uang Rp. 10.000 tidak boleh di tukar dengan uang Rp. 11.000 atau misalkan uang Rp. 10.000 tidak boleh ditukar dengan dua lembar uang Rp. 5000, dalam keadaan tertunda, yang mana satu lembar Rp. 5000 diserahkan saat penukaran sedangkan yang satu lembar Rp. 5000 lagi disepakati tiga jam kemudian 2. Disyaratkan taqabudh (serah terima di tempat/tunai) dan boleh tafadhul (ada kelebihan) untuk jual beli lain jenis namun pada satu kelompok komoditi yang sama, baik pada kelompok pertama atau kelompok kedua. Misalnya pada kelompok pertama yakni kelompok emas/perak dan alat pembayaran seperti emas dengan perak
3.
atau sebaliknya, emas dengan mata uang atau sebaliknya, perak dengan mata uang atau sebaliknya, rupiah dengan dollar atau sebaliknya, yen dengan ringgit atau sebaliknya. Sedang pada kelompok kedua yakni kelompok bahan makanan yang bisa ditimbang dan ditakar semisal kurma dengan burr atau sebaliknya, sya’ir dengan garam atau sebaliknya, kurma dengan sya’ir, kurma dengan garam atau sebaliknya, beras dengan jagung atau sebaliknya, gandum dengan terigu atau sebaliknya dan lain sebaginya. Berdasarkan hadits dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiallahu anhu , dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, artinya : “Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal (tamatsul), tangan dengan tangan (taqabudh). Namun bila jenis-jenis ini berbeda, maka juallah terserah kalian (dengan syarat) bila tangan dengan tangan (kontan)”. Maka dalam kasus ini boleh menukar satu dollar Amerika dengan 10 ribu rupiah. Diperbolehkan tafadhul (ada kelebihan) dan nasi`ah (tertunda / tempo) untuk jual beli kelompok pertama dengan kelompok kedua atau sebaliknya. Misalnya membeli garam dengan uang, kurma dengan uang, dan seterusnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang dinukil oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, Nashr Al-Maqdisi, Al-Imam An-Nawawi rahimahumullahu, dan sejumlah ulama lain. Dalil mereka adalah sistem salam, yaitu menyerahkan uang di awal akad untuk barang tertentu, dengan sifat tertentu, dengan timbangan tertentu dan diserahkan pada tempo tertentu.
C. Riba Nasi’ah dan Riba fadhl Setelah memahami kedua macam riba tersebut diatas maka jika dispesifikasikan lebih dalam lagi dari sebab timbulnya riba, maka jika dilihat dari sudut pandang penundaan waktu bisa memunculkan riba nasi’ah baik yang timbul dari transaksi utang piutang maupun yang muncul dari jual beli atau pertukaran dua jenis barang secara tempo sedang, jika dilihat dari sudut pandang munculnya tambahan pada salah satu dari kedua barang yang dipertukarkan pada komoditi riba maka hal itu memunculkan riba fadhl.
85
PERSPEKTIF, VOL. XI NO. 1 MARET 2013
III. METODE PENELITIAN Metode Penelitian yang digunakan ialah penelitian kualitatif yaitu bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan makna lebih ditonjolkan dalam pemaparan secara kualitatif. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penulisan sesuai dengan fakta di lapangan sedang literatur yang digunakan merujuk kepada fikih muamalah Islam, praktek perbankan konvensional, peraturan perbankan konvensional serta wawancara dan observasi langsung IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Tinjauan Riba Pada Praktek Bank
Secara umum bisa kita dikatakan bahwa ajaran Islam menghalalkan jual beli dengan adanya laba (selama tidak ada hal yang berentangan dengan syariat) dan ajaran Islam mengharamkan praktek riba. Jika dipandang dari sudut pandang hitung matematik memang laba dan riba bisa menghasilkan hasil selisih hitung yang sama yakni berupa kelebihan hasil dari pemutaran uang atau modal sebelumnya, namun hasil selisih keuntungan laba dan riba ini menjadi masalah jika dilihat dari sudut pandang halal dan haram syariat Islam serta pengaruh keberkahannya. Hal ini semua dipengaruhi oleh akad dan cara yang digunakan sehingga bisa dibedakan menjadi halal dan haramnya keuntungan hasil selisih hitung dari angkaangka yang sama. Hal ini bisa dilihat pada contoh tabel berikut :
Tabel 1 Jenis Transaksi
Sumber: Data Olahan Perlu dilihat apakah instrumen suku bunga itu hakekatnya merupakan hasil aktifitas jual beli ataukah hasil lebih dari pinjaman. Jika akad bank merupakan akad pinjaman dalam konteks ini akad utang piutang, maka mengambil keuntungan darinya merupakan riba yang diharamkan meskipun sudah diberi nama lain seperti bunga bank, karena perubahan dan 2. modifikasi nama tidaklah merubah sifat dan hakekat yang sesungguhnya pada apa yang sudah ditentukan sebagai praktek riba. Perlu dikaji lebih cermat dari ketiga produk simpanan bank seperti tabungan, giro dan deposito tersebut apakah merupakan akad titipan harta atau jasa penitipan dari harta nasabah yang dititipkan kepada bank ataukah memang hakekatnya merupakan akad piutang nasabah kepada bank sebagai penghutang dalam posisi ini. Untuk itu dapat dicermati antara realita yang berlaku pada aktifitas simpanan bank dengan sifat dari masing-masing akad tersebut. Analisa dari sifat simpanan bank yang dikomparasikan antara sifat umum akad piutang, penitipan dan jasa penitipan untuk 3. mengetahui kecocokan sifatnya adalah sebagai berikut : 1. Bank sepenuhnya dibenarkan menggunakan uang nasabah baik untuk dibelanjakan atau dihibahkan atau dihutangkan kembali. Penghutang memang leluasa untuk menggunakan harta yang
86
dipinjamnya tersebut karena jika akad titipan maupun jasa penitipan yang diterapkan bank maka bank sebagai penyimpan tidak dibenarkan menggunakan uang / barang tersebut kecuali atas seizin pemiliknya, bila menggunakannya berarti telah khianat. Bila uang atau barang rusak atau hilang setelah akad terjadi maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab bank, demikialah sifat utang. Sebagai penghutang wajib mengembalikan pinjaman sedangkan resiko hilang menjadi tanggung jawab penghutang, sedangkan pada akad titipan maka pihak yang dititipkan tidak bertanggung jawab jika harta tersebut rusak bukan dari kesengajaan atau kelalaiannya, dan jika akad menggunakan akad jasa penitipan maka penyimpan memang bertanggung jawab memberikan jaminan sesuai jasa yang ditawarkan. (ada kesamaan konsekwensi antara posisi penghutang dan penyimpan jasa titipan). Bank memberi keuntungan kepada nasabah berupa bunga atau jasa giro atas simpanannya, Pada pembahasan sebelumnya telah terdapat kejelasan kesamaan akad nasabah dan bank dalam simpanan bank menyerupai akad piutang nasabah kepada bank. Maka dengan adanya pengambilan keuntungan pada akad ini
PERSPEKTIF, VOL. XI NO. 1 MARET 2013
4.
5.
semakin jelaslah adanya riba pada transaksi tersebut, sedang untuk akad titipan dan jasa penitipan maka hal tersebut mustahil jika ada pihak yang dititipkan mensyaratkan agar memberi keuntungan padahal penyimpan tidak dibenarkan untuk menggunakan barang simpanan. Bank memungut upah kepada nasabah maka hal ini suatu kezaliman jika kita mendapati fakta tersebut. Akad yang hakiki bank terhadap nasabah adalah sebagai penghutang dan posisi nasabah sebagai pemberi piutang. Jika akad titipan murni tidak memungut upah karena semata-mata membantu atau menolong. Sedangkan pada akad jasa penitipan maka hal ini dibenarkan untuk memungut upah atas jasa penitipan sebagai konsekwensi pemberian jaminan atas barang yang dititipkan. Bank memanfaatkan dana nasabah untuk keperluan investasi usaha bank dan operasionalnya. Dalam konteks piutang memang bertujuan menguntungkan penghutang dan terserah buat dimanfaatkan untuk apa saja harta tersebut, sedang tujuan akad titipan ialah menolong semata dan yang diuntungkan ialah pemilik harta yang hartanya terjaga sedang pada jasa penitipan betujuan memberikan jaminan keamanan atas barang yang dititip dan bukan memutarnya untuk keperluan usaha, semakin kuatlah fakta bahwa akad bank dan nasabah ialah utang piutang.
Dari data analisa perbandingan tersebut diatas maka ditarik kesimpulan bahwa ciri simpanan bank ketika dibandingkan dengan ciri-ciri sejumlah akad maka bisa disimpulkan bahwa akad simpanan bank memiliki kesamaan besar dengan akad piutang nasabah terhadap bank, namun pada sebagian poin menyerupai akad titipan maupun jasa penitipan sehingga terjadi kesimpangsiuran dari akad piutang yang semestinya berorientasi pada akad sosial murni namun pada simpanan bank menjadi berakad komersial dan hal ini menyalahi syariat Islam serta merupakan praktek riba. Demikian pula pada produk pinjaman bank baik kredit usaha, kredit konsumsi dan kredit serba guna beserta semua nama-nama produk turunannya dimana pada konteks ini terjadi akad pinjaman bank terhadap nasabah, dimana pihak bank mewajibkan nasabah peminjam untuk mengembalikan total angsuran berupa angsuran pokok beserta bunganya. Padahal telah diuraikan sebelumnya pada pembahasan riba telah dinyatakan Sebagaimana dinyatakan oleh para ulama dalam banyak kitab-kitabnya diantaranya Majmu’ fatawa Ibnu Taimiyah dalam Badri (2010) menyatakan bahwa “Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba”.
Tabel 2 Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil . No 1
Bunga Penentuan tingkat suku bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus untung
2
Besarnya persentase ditentukan berdasarkan jumlah modal 3 Pembayaran bunga tetap tanpa mempertimbangkan proyek yang di lakukan untung atau rugi 4 Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat meski keadaan ekonomi booming dan keuntungan berkali lipat Sumber : Data olahan Islam menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Pada tabel 2 nampak jelas perbedaan nyata konsep bagi hasil dengan konsep bunga bank. Konsep bagi hasil jika terpenuhi rukun-rukun mudharabahnya (Ijab dan qobul, Pemodal dan pelaku usaha, Modal, Usaha, Keuntungan) sesuai syariat maka laba yang dihasilkan selamat dari unsur riba, namun
Bagi Hasil Penentuan berdasar besarnya rasio bagi hasil yang dibuat saat akad dengan berpedoman kemungkinan untung rugi Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan jumlah keuntungan yang diperoleh Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan jika rugi ditanggung bersama Jumlah pembagian laba meningkat sesuai peningkatan jumlah pendapatan
karena praktek bagi hasil (mudharabah) pada bank yang berlabel syariah saat ini pun tidak terpenuhi rukun-rukun mudharabahnya secara sempurna, sehingga menyebabkan bagi hasil yang dijalankan bank berlabel syariah pun belum selamat dari unsur riba sebagaimana bank konvensional
87
PERSPEKTIF, VOL. XI NO. 1 MARET 2013
Umumnya para ulama yang telah 3.2 Praktek Riba Dalam Pengambilan menyatakan haram bank konvensional telah Keuntungan Selisih Suku Bunga Bank juga memfatwakan larangan menjadi pemilik / pegawai bank konvensional maupun menjadi Kebanyakan dari uang di bank itu adalah nasabahnya, baik nasabah yang dengan niat uang nasabah. Kalau bank menyimpan semua mengambil keuntungan bunga bank maupun uang nasabah itu dalam satu tempat, berarti tidak. Hal ini sebagai realisasi kepatuhan uang itu tidak produktif. Padahal, bank juga terhadap larangan tolong menolong dalam dosa harus mencari pendapatan agar bisa membayar dan keburukan sebagaimana yang diisyaratkan bunga tabungan dan deposito yang disimpan dalam Alquran surat Al-Maidah ayat 2, namun pada bank, itu sebabnya bank lalu melempar sekiranya dalam realitanya belum ada solusi kembali sebagian besar uang masyarakat itu ke lain pada sebuah institusi yang lebih sesuai dalam bentuk pinjaman kredit. Contoh : seorang syariah maka fatwa ulama telah memberikan nasabah menyimpan uang Rp. 10 juta di keringanan untuk memanfaatkan jasa bank deposito, maka bank berjanji akan memberikan konvensional sebagai kondisi darurat namun bunga 13 persen per tahun. Oleh bank, dengan syarat tetap tidak mengambil bunga sebetulnya uang Rp 10 juta tersebut akan bank buat kepentingan pribadi. Fatwa-fatwa "dilempar" lagi ke masyarakat dengan cara kontemporer soal pemanfaatan bunga bank meminjamkannya kepada mereka yang diantaranya menurut Lajnah Daimah (Komite membutuhkan (seperti orang yang ingin tetap untuk fatwa dan penelitian) Arab Saudi membuka usaha atau ingin membeli suatu menyatakan sekiranya mesti diambil dari bank barang dengan cara kredit). Peminjaman ini maka bukan untuk disedekahkan dalam arti disertai syarat pengembalian dengan bunga amalan yang sunnah namun lebih kepada yang lebih besar dari 13%, misalkan 18% maka mengeluarkan untuk membersihkan diri sebagai bank akan mendapatkan penghasilan sebesar suatu keharusan yang wajib, sedang Rp. 1,8 juta (18% x Rp. 10 juta), dan dari peruntukannya bisa untuk kemaslahatan jumlah itu, sebesar Rp. 1,3 juta akan digunakan masyarakat semisal untuk membangun jalan untuk membayar bunga deposito nasabah yang dan keperluan sosial maupun fasilitas umum besarnya 13 persen. Selisihnya Rp. 500.000 dari lainnya dan terlarang buat kegiatan keagamaan pernasabah akan menjadi keuntungan bank. semisal membangun masjid dan semacamnya, Tentu saja, keuntungan itu masih harus Berikut fatwa ulama dunia dan lembaga Islam dikurangi lagi dengan biaya-biaya operasional mengenai haramnya praktek bank konvensional: bank seperti gaji karyawan dan lain sebagainya. 1. Pertemuan 150 Ulama terkemuka dalam Berdasarkan mekanisme selisih suku bunga konferensi Penelitian Islam di bulan bank tersebut semakin nyata bahwa aktifitas Muharram 1385 H atau Mei 1965 di Kairo bank tersebut merupakan pengambilan Mesir. Menyepakati secara aklamasi bahwa keuntungan dari praktek riba utang piutang. segala keuntungan atas berbagai macam Selain bermasalah karena riba ternyata praktek pinjaman, semuanya merupakan praktek bank konvensional yang saat ini tidak memiliki riba yang diharamkan termasuk bunga perangkat pengawasan dari semacam institusi bank. dewan pengawas syariah, sehingga uang 2. Majma’al Fiqh al-Islamy, Negara-negara nasabah tersebut rentan digunakan atau diputar OKI yang diselenggarakan di Jeddah pada bank untuk investasi ke bisnis yang diharamkan tanggal 10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 syariat Islam seperti bisnis yang mengandung Desember 1985 unsur perjudian (maisir), unsur ketidakpastian 3. Majma’ Fiqh Rabithah al’Alam al-Islamy, (ghoror) semacam forex, industri minuman Keputusan 6 Sidang IX yang keras, industri/produksi makanan/minuman diselenggarakan di Makkah, 12-19 Rajab haram, usaha media atau hiburan yang tidak 1406. Islami dan lain-lain yang dilarang dalam syariah 4. Keputusan Dar It-Itfa, Kerajaan Saudi Islam. Padahal untuk segmen pasar Indonesia Arabia, 1979. kebanyakan nasabahnya ialah orang muslim 5. Keputusan Supreme Shariah Court, yang sepatutnya terbantu kebersihan Pakistan, 22 Desember 1999. muamalahnya dari unsur-unsur haram tersebut 6. Majma’ul Buhuts al-Islamyyah, di AlAzhar, Mesir, 1965. 3.3. Fatwa Ulama sedunia yang telah 7. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) mengharamkan Bank Konvensional Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga bank tidak sesuai dengan syari’ah.
88
PERSPEKTIF, VOL. XI NO. 1 MARET 2013
Keputusan Sidang Lajnah Tarjih 1. Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo menyatakan bahwa sistem perbankan konvensional tidak sesuai dengan kaidah 2. Islam. 9. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung. 10. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa seIndonesia tentang Fatwa Bunga(interest/fa’idah), tanggal 22 Syawal 1424/16 Desember 2003. 11. Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa’idah 1424/03 Januari 2004, 28 Dzulqa’idah 1424/17 Januari 2004 dan 05 Dzulhijah 1424/24 Januari 2004 8.
Meskipun Inti (core) dari bisnis perbankan masih berkisar produk penyimpanan dan 3. peminjaman uang yang dalam prakteknya menggunakan instrumen suku bunga yang dipermasalahkan sebagai riba dalam syariat Islam, tetapi masih terdapat pula sejumlah layanan perbankan yang halal seperti : layanan transfer uang dari satu tempat ke tempat lain dengan ongkos pengiriman, menerbitkan kartu 4. ATM / kartu debet, menyewakan lemari besi / safe deposit box, mempermudah hubungan antarnegara dalam transaksi. V. KESIMPULAN Berdasarkan data, tinjauan dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pemasalahan riba pada perbankan khususnya konvensional tidak akan selesai selama undang- undang dan peraturan perbankan yang menjadikan fungsi utama bank sebagai penghimpun dan penyalur dana semata tidak dirubah. 2. Penghimpun dan penyalur dana ke 5. masyarakat dalam implementasi bank dengan produk simpanan dan pinjaman. 3. Praktek simpanan dan pinjaman bank menerapkan akad komersial yakni menggunakan instrumen suku bunga sebagai selisih lebih atas modal utang piutang yang terjadi 4. Bank konvensional mengambil keuntungan dari praktek utang piutang yang dilarang dalam syariat Islam karena merupakan riba. 5. Masih terdapat pula sejumlah layanan perbankan yang dihalalkan 6. Adapun saran yang dapat diberikan adalah:
Diperlukan Political will dari pemerintah untuk merivisi undang-undang perbankan tersebut Pemilahan nasabah berdasarkan tujuan masing-masing teramasuk yang sekedar mengamankan hartanya ke bank, maka bisa diterapkan akad utang-piutang tanpa bunga dengan posisi nasabah sebagai pemberi utang dan bank sebagai penghutang. Dalam hal ini bank bisa memanfaatkan dana ini untuk tambahan operasional usaha riil bank. Sedangkan bagi nasabah yang bertujuan mencari keuntungan dapat dengan akad investasi melalui mekanisme bagi hasil (mudharabah) bersama pihak bank dengan mengahadapi konskwensi untung atau rugi dari hasil operasi yang ditanggung bersama. Bank tidak lagi memberikan pinjaman ke masyarakat dengan akad bisnis, sekiranya praktek peminjaman ini masih harus dilakukan maka sepatutnya bank tidak mengambil keuntungan dari transaksi ini dengan apapun namanya baik itu bunga, bagi hasil atau denda keterlambatan. Unit usaha peminjaman harus bersifat sosial. Jika bank memiliki spirit dan misi sosial, serta berkeinginan menjalankan program ini maka bank sepatutnya bersama-sama dengan swadaya masyarakat dan pemerintah menghimpun donasi masyarakat dalam zakat, infaq, sedekah serta berperan aktif dalam membantu penyaluran dana sosial pemerintah, serta bersama-sama masyarakat memfasilitasi berdirinya semacam unit-unit BMT dan turut mengelola dana-dana sosial dan sumbangan masyarakat. Maka dengan ini unit bisnis komersil dan unit sosial dapat seiring sejalan tanpa tercampuri akad yang bisa menyebabkan jatuh kepada riba. Tidak mengikuti solusi mendistribusikan modal kembali kepada nasabah pihak kedua sebagaimana yang diterapkan bank berlabel syariah saat ini. Karena posisi bank sebagai penampung modal masyarakat yang semestinya melakukan usaha riil untuk mendapatkan laba. Ironis bank berlabel syariah saat ini malah membuat akad mudharabah kedua ke pihak lain. Praktek ini dikritik dan dikecam oleh para ulama karena dianggap sebagai kamuflase dari praktek hutang piutang berlabel istilah syariah. Perbankan menerapkan cara sesuai syariah untuk langsung terjun ke sektor riil serta memiliki berbagai unit usaha yang nyata dan menguntungkan, maka dengan ini pula
89
PERSPEKTIF, VOL. XI NO. 1 MARET 2013
bank akan membuka lowongan kerja untuk melengkapi potensi sumber manusia bagi bisnis bank memunculkan invenstor-investor setiap saat.
baru http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Edu daya kasi+Perbankan/perbankan47.htm serta baru Bank Indonesia.2008. Memahami Bunga Kredit. Jakarta. Diambil dari : http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Edu kasi+Perbankan/perbankan35.htm
Priastomo, Titok. 2013. Pengertian Riba, Jenisjenis Riba, Contoh-contoh Riba. Jakarta. Afifuddin, Muhammad. 2006. Macam-macam Diambil dari http://www.alRiba. Yogyakarta. Diambil dari khilafah.org/2013/ 01/pengertian-ribahttp://asysyariah.com/macam-macamjenis-jenis-riba-contoh.html riba.html Sabiq, Ahmad. 2002 . Hukum Multi Level Marketing (MLM) Bagian 1 dari 3. Antonio, Syafi’i Muhammad. 2001. Bank Yogyakarta. Diambil dari Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: http://www.konsultasisyariah.com/ Gema Insani Press. Senduk, Safir. 2009. Berkenalan Dengan Kredit Ananta, Irwin. 2012. Tinjauan Kritis Praktek Bank. Jakarta. Diambil dari : Mudharabah Pada Perbankan Syariah. http://www.perencanakeuangan.com/files/ Bandung. Proceeding Seminar Nasional KenalKredit.html Inovasi dan teknologi (SNIT). Penerbit: LPPM BSI Senduk Safir. 2009. Mengenal Produk Simpanan di Bank. Jakarta. Diambil dari : Badri, Arifin Muhammad. 2010. Riba dan http://www.perencanakeuangan.com/files/ Tinjauan Kritis Perbankan Syari’ah. Bogor: ProdukSimpanan.html Pustaka Darul Ilmi. Shomad, Abdus Muhammad. 2010. Sekilas Badri, Arifin Muhammad. 2010. Tinjauan Praktek Bank Syari’ah Di Indonesia. Kritis Perbankan Syariah. Jakarta. Makalah Jakarta. Makalah Seminar Nasional KPMI. Seminar Nasional KPMI Tim Redaksi.2007. Perbedaan Antara Riba Badri, Arifin Muhammad. 2010. Mengenal Fadhl Dan Riba Nasi'ah. Jakarta. Diambil Hukum Riba. Yogyakarta. Diambil dari dari : http://pengusahamuslim.com/mengenalhttp://almanhaj.or.id/content/2201/slash/0/p hukum-riba-33 erbedaan-antara-riba-fadhl-dan-ribanasiah/ DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia. 2011 Ikhtisar Perbankan: Institusi Perbankan di Indonesia. Jakarta. Diambil dari http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Ikhti sar+Perbankan/Lembaga+Perbankan/ http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/B7E418ECFE5B-49F3-95DC0F9980F76942/1481/ MemahamiBungaKredit.pdf
Tim Redaksi. 2012. Cara Halal Memanfaatkan Bunga Bank. Yogyakarta. Diambil dari : http://pengusahamuslim.com/cara-halalmemanfaatkan-1461
Tuasikal Abduh Muhammad.2012.Riba dalam emas. Yogyakarta. Diambil dari : http://muslim.or.id/fiqh-danmuamalah/riba-dalam-emas-dll-ribaBank Indonesia. 2008. Mengetahui Perhitungan fadhl.html Bunga Tabungan. Jakarta. Diambil dari :
90