TINGKAT STRES AKADEMIK ANAK USIA SEKOLAH TERHADAP SISTEM FULL DAY SCHOOL DI SEKOLAH DASAR KAB. BOGOR Hesi Oktamiati1, Yossie Susanti Eka Putri2 1.
2.
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus FIK UI, Depok, Jawa Barat- 16424 Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus FIK UI, Depok, Jawa Barat- 16424 E-mail:
[email protected]
Abstrak Sekolah dengan sistem full day di Indonesia sedang banyak terjadi, alasan adanya sekolah ini adalah penurunan kualitas SDM masyarakat Indonesia. Sekolah full day mempunyai waktu belajar lebih lama sehingga dapat menimbulkan stres akademik pada anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat stres akademik pada anak usia sekolah terhadap sekolah yang mempunyai sistem full day. Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian deskriptif sederhana. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner stres akedemik untuk mengambil data dari 128 siswa kelas 4-kelas 6 yang bersekolah di sekolah full day. Penelitian ini menggunakan teknik total sampling. Untuk mengetahui gambaran stres akademik pada anak usia sekolah digunakan uji univariat. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian siswa tidak mengalami stres akademik. Kata Kunci: Anak usia sekolah; sekolah full day; dan stres akademik
The Academic Stress Levels of the School Age Children over Full Day School System at Elementary School, in Bogor Abstract In Indonesia, there are a lot of schools using a full day system lately, and the decline of the human resources is the cause behind this phenomenon. Full day schools have a longer time study; hence, it triggers academic stress for the children. The objective of this research is to recognize the depiction of the academic stress levels of the school age children over full day school system. This research was conducted through a descriptive method; meanwhile the questioner of academic stress was the instrument in terms of collecting the data from 128 students on the fourth grade to sixth grade. This research used the total sampling technique. Univariat test was applied to determine the depiction of the academic stress levels of the school age children. The outcome of this research apparently portrayed that several students did not experience academic stress. Keywords: School age children; full day school; and academic stress
Tingkat stres..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2013.
Pendahuluan Era globalisasi seperti sekarang ini pendidikan menjadi salah satu pokok masalah, secara umum pendidikan di Indonesia mengalami kemerosotan kualitas sumber daya manusia. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) Awaloedin Djamin bahwa rangking Human Development Index (HDI) negara Indonesia tahun 1999 berada pada urutan 105, sedangkan pada tahun 2000 turun ke peringkat 109. Pada tahun 2011, HDI menempatkan Indonesia diposisi 124 dari 187 kemudian pada tahun 2012, HDI Indonesia menempati posisi 121 dari 187 negara (Human Development Report, 2013). Indikator yang digunakan untuk dalam Human Development Index salah satunya adalah kualitas sumber daya manusia di dalam sebuah negara. Hal yang sama juga ditunjukan oleh Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New York, Senin (1/3/2011), indeks pembangunan pendidikan atau Education Development Index (EDI) berdasarkan data tahun 2008, nilai EFA untuk Indonesia adalah 0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. EDI dikatakan tinggi jika mencapai 0,95-1. Kategori medium berada di atas 0,80 sedangkan kategori rendah di bawah 0,80 (Kompas, 2011). Kemerosotan inilah yang mencetuskan ide untuk diadakannya sekolah full day (Buharuddin, 2008). Pelaksanaan sekolah full day di Indonesia pada hakekatnya tidak hanya menambah waktu dan memperbanyak materi pembelajaran di sekolah, agar terciptanya kualitas sumber daya manusia yang baik tetapi juga untuk mengkondisikan anak agar memiliki pembiasaan hidup yang baik, untuk pengayaan atau pendalaman konsep-konsep materi pembelajaran. Penerapan sistem sekolah full day di Indonesia memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positifnya adalah anak sekolah diberikan waktu yang lebih panjang untuk belajar. Sisi negatifnya adalah anak merasa bosan, sehingga menimbulkan stres di sekolah. Stres di sekolah dapat terjadi ketika seorang anak mempunyai tuntutan yang harus mereka penuhi di sekolah, menaati peraturan sekolah yang kaku dan ketat (Yardi, dalam Buharuddin, 2004). Hal ini didukung oleh Arends (dalam Desmita, 2005) menyatakan bahwa sekolah sama dengan organisasi yang banyak memiliki norma, nilai, peraturan, tuntutan yang harus dipenuhi oleh anggotanya, begitu juga dengan sekolah. Norma, nilai, peraturan sekolah memiliki dampak yang besar terhadap penyesuaian akademik dan sosial siswa.
Tingkat stres..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2013.
Ketidakmampuan siswa menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan sekolah tersebut akan memacu terjadinya stres. Desmita (2011) dan Greenberg (2002) mengungkapkan bahwa salah satu stres yang ditimbulkan oleh sekolah adalah stres akademik. Stres akademik adalah stres yang bersumberkan dari proses belajar mengajar atau hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan belajar atau lebih dikenal dengan tekanan akademik dan tekanan teman sebaya. Tekanan akademik berupa tekanan yang bersumberkan dari naik kelas, lama belajar, mencontek, banyak tugas, mendapatkan nilai ulangan, birokrasi, mendapatkan beasiswa, keputusan menentukan jurusan dan karir, serta kecemasan ujian dan manajemen waktu. Penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sekolah dapat menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya stres pada anak. Jika dikaitkan dengan konsep sistem sekolah full day yang sedang marak di Indonesia, khususnya di daerah Ibukota Jakarta, sehingga peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana gambaran stres akademik pada anak usia sekolah terhadap sistem full day school.
Tinjauan Teoritis Konsep anak usia sekolah Tahap tumbuh dan kembang manusia terbagi menjadi delapan menurut Papalia, Olds, and Feldman (2009), yaitu tahap prenatal (konsepsi), neonatus dan toddler (0 tahun sampai 3 tahun), tahap anak usia sekolah awal (3 tahun sampai 6 tahun), tahap anak usia sekolah tengah (6 sampai 11 tahun), tahap remaja (11 tahun sampai 20 tahun), tahap dewasa awal (20 tahun sampai 40 tahun), tahap dewasa tengah (40 tahun sampai 65 tahun), dan tahap dewasa akhir (65 tahun sampai lebih). Menurut Wong (dalam Hockenberry, 2009), usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun, yang artinya sekolah menjadi pengalaman inti anak. Periode ketika anak-anak dianggap mulai bertanggung jawab atas perilakunya sendiri dalam hubungan dengan orangtua mereka, teman sebaya, dan orang lainnya. Usia sekolah merupakan masa anak memperoleh dasar-dasar pengetahuan untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa dan memperoleh keterampilan tertentu. Menurut Departemen Pendidikan Nasional yang disebut anak usia sekolah di Indonesia adalah anak yang memiliki kelompok umur 6 tahun sampai 12 tahun. Sulistyaningsih (2005) menyimpulkan bahwa pada tahap inilah anak memiliki kesiapan untuk sekolah, maksudnya adalah seorang anak telah memiliki
Tingkat stres..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2013.
suatu kualitas dan keterampilan sehingga anak mampu melakukan penyesuaian diri terhadap kegiatan-kegiatan di sekolah. Menurut Hurlock (1999) kesiapan bersekolah ini terdiri dari kesiapan secara fisik dan kesiapan secara psikologis, yang meliputi kesiapan emosi, sosial, dan mental. Karakteristik anak usia sekolah Setiap tahapan umur memiliki karakteristiknya masing-masing dan mereka terbagi dalam perkembangan fisik, perkembangan kognitif, dan perkembangan psikososial (Papalia, Olds & Feldman, 2009).
Ada beberapa aspek pengembangan fisik menurut Papalia,, Olds, dan
Feldmen (2009), yaitu: 1) Perkembangan motorik dan kegiatan fisik, tugas perkembangan motorik pada usia ini melempar, menangkap, berlari, dan keseimbangan. Anak laki-laki bermain lebih kepada aktivitas permainan dengan fisik, sedangkan anak perempuan lebih suka bermain dengan permainan yang mengandung ekspresi verbal. Sekitar 10% anak usia sekolah biasanya bermain rough and tumble permainan yang terdiri dari loncat-loncatan, tendangtendangan, saling kejar mengejar, bergulat, dan biasanya diikuti dengan saling tertawa dan teriak. Permainan rough and tumble lebih banyak dilakukan oleh anak laki-laki, hal ini dikarenakan oleh hormon dan pandangan sosial terhadap permainan ini yang banyak melibatkan kekuatan fisik laki-laki. Permainan ini memiliki keuntungan yaitu mengasah kekuatan perkembangan otot dan tulang. 2) Perkembangan koordinasi gerak, koordinasi gerak adalah kemampuan untuk mengkontrol gerakan tubuh, kemampuan untuk melakukan gerakan secara efisien. Koordinasi ini dapat diukur melalui pola gerak keterampilan mencakup mengontrol gerakan tubuh, keseimbangan, kelincahan, dan fleksibilitas. Kemampuan koordinasi gerak secara umum antara anak laki-laki dan perempuan tidak berbeda sampai umur 11 tahun. Perbedaannya adalah anak laki-laki lebih baik dalam aktivitas kekuatan dan gerak kasar dengan melibatkan otot besar, dan perempuan lebih baik pada aktivitas kecermataan.
Aspek perkembangan kognitif pada anak usia sekolah, Papalia, Olds, dan Feldman (2009) adalah sudah memulai untuk berpikir secara logis tetapi secara konkrit, memori dan kemampuan berbahasa sudah meningkat, kemudian Aspek perkembangan psikososial pada anak usia sekolah memiliki perkembangan psikososial sebagai berikut, konsep diri anak sudah berkembang dengan matang dan mempengaruhi harga dirinya, lebih suka membentuk kelompok bermain atau peer dengan jenis kelamin yang sama (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Loree (dalam Budiman, 2006) menyimpulkan bahwa anak usia sekolah memiliki
Tingkat stres..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2013.
karakteristik psikososial seperti kecenderungan perilaku sosial anak untuk menarik diri dari pergaulan sosial atau memperluas pergaulan sosialnya, pola kecenderungan perilaku sosial anak yang mudah bereaksi terhadap suatu kejadian, pola kecendrungan perilaku sosial anak menjadi pasif atau dominan, loyal terhadap kelompoknya (gang atau peer), menyukai kegiatan kelompok, bangga dengan keberhasilan yang diraihnya, ingin mengetahui segala sesuatu, rasa bangga berkembang, senang sekali memberikan pujian dan mengagungkan, dan mengkritik tindakan orang dewasa. Tugas-tugas perkembangan anak usia sekolah menurut Havighurst dalam Hurlock (2002) adalah sebagai berikut: 1) Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan yang umum. 2) Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai mahluk yang sedang tumbuh. 3) Belajar menyesuaikan diri dengan teman seusianya. 4) Mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat. 5) Mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis, dan berhitung. 6) Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari.
7)
Mengembangkan
pengertian
moral,
tata
dan
tingkatan
nilai.
8)
Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan lembaga-lembaga. 9) Mencapai kebebasan pribadi. Konsep full day school Kata full day berasal dari bahasa Inggris. Full berarti penuh, sedangkan day berarti hari. Jadi, full day school merupakan sekolah sepanjang hari, atau proses belajar mengajar yang dilakukan mulai pukul 06.45 sampai 15.00 atau dengan kata lain sekolah yang memberlakukan jam belajar mengajar mulai dari pagi hingga sore hari. Kunci utama dalam full day school adalah pengaturan jadwal mata pelajaran dan pendalaman materi (Salim, 1998 dalam Buharuddin, 2008). Hal ini dapat dilihat dari makna dan pelaksanaan full day school diatas.
Basuki (2008) berpendapat bahwa sekolah, sebagian waktunya digunakan untuk
program pelajaran yang suasananya informal, tidak kaku, menyenangkan untuk siswa dan membutuhkan kreatifitas dan inovasi dari guru, dalam hal ini berdasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan Basuki (2008) menyatakan bahwa jam belajar yang efektif untuk anak adalah antara 3 sampai 4 jam sehari jika dalam suasana formal, sedangkan 7 sampai 8 jam sehari jika dalam suasana informal. Basuki juga menyimpulkan bahwa full day school merupakan sekolah yang lebih menggali potensi anak didik secara total dengan menitikberatkan pada situasi dan kondisi dimana anak didik dapat mengikuti proses belajar dan bermain, dengan demikian siswa tidak merasa terbebani dan tidak bosan berada di sekolah. Konsep full day school banyak memiliki metode pembelajaran dimana proses belajar
Tingkat stres..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2013.
tidak dilakukan didalam kelas secara terus menerus, akan tetapi siswa diberikan kebebasan untuk memilih tempat belajar. Artinya siswa dapat belajar dimana saja seperti di perpustakaan, laboratorium, dan lain-lain. Sisi lain dalam sistem full day school ini, menggunakan metode pengajaran dialogis emansipatoris yang mana konsep ini menawarkan pengajaran yang memposisikan siswa sebagai subyek yang dominan dalam proses belajar mengajar, guru sebagai fasilitator dan memberikan stimulus bagi siswa terhadap mata pelajaran untuk dibahas dan diperdalam oleh siswa dengan sendirinya akan menumbuhkan budaya diskusi dan dialog, sehingga dengan lamanya belajar siswa tidak menjadi jenuh (Departer, Reardon, & Naurie, 2004).
Pelaksanaan full day school di Indonesia Basuki (2008) dan Buharuddin (2008) menyatakan pendapat yang sama tentang pelaksanaan full day school, yaitu full day school merupakan program pendidikan yang seluruh aktivitas berada di sekolah (sekolah sepanjang hari) dengan ciri integrated activity dan integrated curriculum, artinya seluruh program dan aktivitas anak yang ada di sekolah, mulai dari belajar, bermain, makan, dan beribadah dikemas dalam suatu sistem pendidikan. Kurikulum yang sudah terencana dengan baik, dijalankan oleh orang-orang yang berkompeten didalamnya maka perjalanan proses pembelajaran yang dalam hal ini adalah siswa sebagai subjek pembelajaran akan berjalan sesuai harapan. Konsep yang digunakan dalam pelaksanaan sekolah full day adalah untuk pengembangan dan inovasi sistem pembelajaran yaitu mengembangkan kreatifitas yang mencakup integrasi dari kondisi tiga ranah, yaitu kognitif, psikomotorik dan afektif. Konsep stres akademik pada anak usia sekolah Stres adalah respon manusia yang bersifat nonspesifik terhadap setiap tuntutan kebutuhan yang ada dalam dirinya. Stres merupakan reaksi tubuh terhadap situasi yang menimbulkan tekanan, perubahan, ketegangan emosi, dan lain-lain (Potter, dan Perry, 2005). Folkman (1984) dan Rice (1992) berpendapat bahwa stres juga dapat disebabkan oleh faktor psikologis individu, serta ada beberapa jenis stresor psikologis yaitu tekanan (pressure), frustasi, dan konflik.
Kebanyakan stres yang dialami anak-anak dianggap tidak penting oleh orang
dewasa. Hal ini dikarenakan anak-anak hanya memiliki sedikit pengalaman untuk belajar, maka bahkan situasi yang menyebabkan perubahan kecil juga sudah menimbulkan efek terhadap perasaan anak. Stres dalam
Tingkat stres..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2013.
dunia anak terjadi apabila anak merasa tidak mampu untuk menahan tekanan-tekanan yang berasal dari luar dirinya (external pressure), misalnya tekanan dari teman-teman, keluarga dan sekolah atau dari dalam dirinya sendiri (internal pressure). Desmita (2011) dan Greenberg (2002) mengungkapkan bahwa stres akademik adalah stres yang bersumber dari proses belajar mengajar atau hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan belajar atau lebih dikenal dengan tekanan akademik dan tekanan teman sebaya. Tekanan akademik berupa tekanan yang bersumberkan dari naik kelas, lama belajar, menyontek, banyak
tugas,
mendapat
nilai
ulangan, birokrasi, mendapatkan beasiswa, keputusan menentukan jurusan dan karir serta kecemasan ujian dan manajemen waktu. Tanda dan gejala stres anak usia sekolah Gejala stres pada anak dibagi menjadi empat menurut Fremont (2004), yaitu pikiran, perasaan, perilaku, dan fisik. 1. Pikiran, meliputi self criticism, kesulitan untuk berkonsentrasi atau membuat keputusan, disorientasi, takut gagal, dan pikiran yang berulang. 2.
Perasaan, meliputi cemas, mudah marah, takut, moody, dan pemalu.
3.
Perilaku, meliputi gagap atau kesulitan berbahasa lainnya, menangis, bertingkah impulsif, tawa yang gugup, menggigit teman, menggertakan gigi atau menggenggam kuku, peningkatan atau pengurangan nafsu makan.
4.
Fisik, meliputi otot yang mengeras, tangan dingin dan berkeringat, sakit kepala, adanya masalah pada leher dan punggung, gangguan tidur, gangguan pencernaan, sering demam, nafas yang cepat, jantung berdebar-debar, dan gemetaran.
Faktor penyebab stres di sekolah Tad (dalam Sudiana, 2007) menyebutkan faktor-faktor yang dapat menyebabkan stres akademik, yaitu faktor dari aspek lingkungan sekolah dan elemen sekolah. Aspek lingkungan sekolah meliputi kondisi sekolah dan lokasi sekolah, seperti jarak yang jauh antara sekolah dengan rumah, letak sekolah yang terlalu ramai, kondisi ruangan kelas, dan fasilitas yang diberikan sekolah. Elemen sekolah meliputi perilaku guru, cara mengajar, kompetensi antar siswa di dalam kelas, kurikulum sekolah, ujian, dan kegiatan ekstrakulikuler.
Tingkat stres..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2013.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif, dimana penelitian hanya melihat fenomena stres akademik yang terjadi pada anak usia sekolah terhadap sekolah full day di Bogor. Penelitian ini menggunakan teknik total sampling dengan melibatkan 128 siswa dari kelas 4-kelas 6. Penelitian ini menggunakan kuesioner stres akademik yang telah dikembangkan dari aspek-aspek biologis dan psikososial dampak stres akademik yang mengaju pada pendapat Olejnik dan Holschuh, kemudian telah dimodifikasi oleh Rachmawati. Rachmawati (2012) telah memvalidasi (r=0,30 dan α= 0,915). Kuesioner stres akademik ini terdiri dari 18 pertanyaan masing-masing memiliki nilai 1-4. Nilai 1 untuk “Sangat Tidak Sesuai”, nilai 2 untuk “Tidak Sesuai”, nilai 3 untuk “Sesuai” dan nilai 4 untuk “Sangat Sesuai. Dalam penelitian ini sangat menjunjung tinggi etika penelitian. Data hasil pengukuran, disajikan secara statistik deskriptif dengan tabel. Hasil Penelitian Tabel 1. Distribusi Tingkat Stres Akademik Anak Usia Sekolah Mean
50,4
Median
50
Modus
50
Skewn ess
Std. Error of Skewness
Nilai Min-Max
0,5
0,214
39-61
< Mean
67 orang (52,3%)
> Mean
61 orang (47,7%)
Tabel 1 menunjukan bahwa tingkat stres akademik diketahui dengan melihat nilai yang berada diatas rata-rata (> Mean) sedangkan yang tidak memiliki tingkat stres akademik dilihat dari nilai kurang dari mean (< Mean). Sehingga mendapatkan hasil bahwa sebagian besar responden di SD Labs School Kaizen tidak mengalami stres akademik, yaitu sebasar 67 orang (52,3%) dan sisanya yang mengalami stres akademik sebesar 61 orang (47, 7%).
Tingkat stres..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2013.
Pembahasan Tingkat stres akademik anak usia sekolah terhadap sistem full day school didapatkan hasil bahwa di SD Labs School Kaizen, Bogor sebagian anak tidak mengalami stres akademik. Penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang sebelumnya Penelitian yang dilakukan oleh Rina Refliandra dan Zidni Immawan Muslimin pada tahun 2008 di Jogjakarta menyatakan bahwa siswa dari SD full day memiliki tingkat stresnya lebih tinggi dibandingkan dengan siswa SD half-day (misalnya SD Negeri). penelitian ini mengatakan ada beberapa alasan siswa SD full day memiliki tingkat stres yang lebih dibandingkan dengan siswa SD half day, diantaranya dikarenakan panjangnya waktu belajar karena siswa SD full day (07.15- 15.00). Waktu belajar yang cukup panjang dan dengan metode pembelajaran yang masih bersifat tradisional (ceramah) serta kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar aktif dapat menjadi kontributor yang cukup besar bagi terjadinya stres pada siswa. Alasan kedua menurut Rina dan Zidni (2008) yaitu kondisi lingkungan fisik yang sangat ramai dan padat, serta tidak ada sarana dan prasarana bermain di SD full day. Penelitian Rina dan Zidni sejalan dengan yang diungkapkan oleh Tad (dalam Sudiana, 2007). Tad menyebutkan faktor-fakor yang dapat menyebabkan stres anak di sekolah, yaitu aspek lingkungan sekolah (lokasi dan kondisi sekolah) dan elemen sekolah (perilaku guru, metode pengajaran, kurikulum, tugas, dan ujian). Shindler, dkk (2010) mengatakan salah satu penyebab stres akademik di sekolah adalah iklim kelas (interaksi guru-siswa, siswa-siswa, cara mengajar guru). Penelitian Shindler, dkk (2010) juga menjelaskan bahwa iklim kelas dapat berhubungan dengan prestasi anak, jika iklim kelas tidak baik maka nantinya ada penurunan prestasi akademik anak. Hal ini sama dengan yang dijelaskan oleh Desmita (2005) mengidentifikasi ada empat tuntutan sekolah yang menjadi sumber stress, yaitu 1) lingkungan fisik. 2) tuntutan tugas sekolah. 3) tuntutan peran, yang berkaitan dengan prilaku yang dikomunikasikan dengan orang tua dan guru, masyarakat kepada siswa. Harapan ini dapat menimbulkan stres jika anak tidak dapat memenuhi harapannya. 4) tuntutan interpersonal, yang bersumber dari diri sendiri dan dari proses belajar mengajar. Penelitian yang dilakukan oleh Rina dan Zidni sudah sangat jelas menggambarkan bahwa sekolah tersebut tidak menggunakan konsep full day school sehingga menimbulkan stres pada siswanya. Stres adalah suatu kondisi yang disebabkan
Tingkat stres..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2013.
adanya ketidaksesuaian antara situasi yang diinginkan dengan kondisi psikologis, biologis, atau sistem sosial individu tersebut (Sarafino, 2006). Keselica (dalam Desmita, 2005) mengatakan bahwa stres sekolah yang dialami anak mempunyai dampak, tidak saja pada penyesuaian fisiologis, psikologis, dan psikososial, melainkan juga akademik. Menurut Desmita (2011), dan Greenberg (2002) menyatakan bahwa stres akademik adalah stres yang bersumberkan dari proses belajar mengajar atau hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan belajar dan tekanan teman sebaya. Menurut Fremont (2004) tanda dan gejala stres pada anak dibagi menjadi empat bagian, yaitu 1) pikiran, meliputi kesulitas untuk berkonsentrasi, kesulitan mengambil kesimpulan, disorientasi, takut gagal, dan pikiran yang beulang. 2) perasaan, meliputi cemas, mudah marah, takut, dan pemalu. 3) perilaku, meliputi gagap, menangis, bertingkah imuplsif, menggertakan gigi atau menggenggam kuku, peningkatan atau penurunan nafsu makan. 4) fisik, meliputi gangguan tidur, nafas yang cepat, jantung yang berdebar-debar, dan gemeteran. Penelitian yang dilakukan oleh Valizadeh, Farnam, dan Farsih (2011) menjelaskan bahwa ada perbedaan tanda dan gejala stres antara anak laki-lai dengan anak perempuan. Tanda dan gejala stres pada anak laki-laki meliputi lebih merasa ketakutan, keinginan memukul seseorang, kakuan otot yang berlebih, dan penurunan nafsu makan, sedangkan anak perempuan memiliki tanda dan gejala stres seperti lebih merasa sakit perut, lebih bernafas cepat, gemeteran dan menggigil. Penelitian ini juga mendapatkan hasil bahwa anak usia 9 tahun-12 tahun memiliki tingkat stres yang tinggi. Jewett dan Peterson (2002) mengatakan bahwa stres pada anak merupakan hal yang sering terjadi dan dapat berdampak positif, tergantung kepada bagaimana pengolahan stres yang dilakukan terhadap anak. Penelitian yang dilakukan oleh Harpell dan Andrew (2013) mendapatkan hasil bahwa anak harus mengembangkan konsep diri dengan baik, agar dapat mengatasi stresornya. Hal ini sesuai dengan teori Stuart dan Laraia (2005) mengatakan bahwa semakin bertambahnya usia seseorang, maka kemampuan seseorang dalam hal pengolahan stres semakin baik. Penelitian yang dilakukan Ben-Zur dan Zeidner (2012) dan penelitian Eun-Jung (2009) mengatakan bahwa konsep diri seseorang dan cara koping terhadap stres seseorang dipengaruhi oleh latar belakang keluarga atau suku-budaya. Penelitian yang dilakukan di SD Labs School Kaizen mendapatkan bahwa sebagaian siswa tidak mengalami stres akademik. Konsep sekolah yang telah diterapkan oleh SD Labs School Kaizen dapat dikatakan sudah baik, karena dapat dibuktikan dengan adanya sistem pembelajaran IPLESS (Intelligence, Physic, Language, Emotional, Social, and Spiritual). Sistem pembelajaran ini sama dengan sistem pembelajaran integrated activity dan integrated
Tingkat stres..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2013.
curriculum. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Basuki dan Buharuddin (2008), yaitu konsep full day school yang ada di Indonesia mempunyai ciri yaitu integrated activity dan integrated curriculum. Artinya adalah seluruh program pendidikan dan aktivitas siswa yang berada di sekolah, mulai dari bermain, belajar, makan, dan beribadah dikemas dalam suatu sistem pendidikan (Basuki dan Buharuddin, 2008). Sebenarnya sistem ini sama dengan halnya yang diungkapkan oleh Departer, Reardon, dan Naurie (2004). Konsep ini pun menjalankan pengembangan kreatifitas dan inovasi, kemudian pembelajaran juga dikemas secara informal, seperti belajar sambil bermain sehingga tidak menimbulkan stres pada siswa. Departer, Readon, dan Naurie (2004) mengungkapkan bahwa full day school yang baik adalah menggunakan metode pengajaran dialogis emansipatoris. Konsep ini menawarkan pengajaran yang memposisikan siswa sebagai subjek dominan dalam proses belajar mengajar, guru sebagai fasilitator dan memberikan stimulus bagi siswa terhadap mata pelajaran untuk dibahas dan diperdalam oleh siswa dengan sendirinya akan menumbuhkan budaya diskusi dan dialog, sehingga dengan lamanya belajar siswa tidak menjadi jenuh. Fasilitas yang disediakan oleh pihak sekolah Labs School Kaizen, Bogor sudah sangat baik yaitu dengan adanya laboratorium bahasa, komputer, dan sains, lapangan sekolah yang cukup luas, dan ruang kelas yang nyaman. Tersedianya fasilitas yang baik dapat mendukung perkembangan kreatifitas yang mencangkup integritas dan kondisi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Seperti yang dikemukakan oleh Tad bahwa salah satu faktor stres akademik adalah aspek lingkungan sekolah yang tidak mendukung. Desmita (2011) mengidentifikasikan bahwa salah satu sumber stres akademik adalah tuntutan fisik yang berasal dari lingkungan sekolah. Pengaturan jadwal kegiatan yang digunakan oleh SD Labs School Kaizen, Bogor sesuai dengan yang telah dikemukakan oleh Salim (dalam Buharuddin, 2008) yaitu full day school adalah sekolah yang memberlakukan jam belajar mengajar mulai dari pagi (06.45) hingga sore hari (15.00). Kunci utama dalam full day school adalah pengaturan jadwal mata pelajaran dan pendalaman materi. Basuki (2008) mengatakan waktu yang digunakan untuk program pembelajaran yang suasananya informal, tidak kaku, menyenangkan untuk siswa dan membutuhkan kreatifitas dan inovasi dari guru. Basuki (2008) menyimpulkan bahwa konsep full day school banyak memiliki metode pembelajaran dimana proses belajar tidak dilakukan didalam kelas secara terus menerus, akan tetapi siswa diberikan kebebasan untuk memilih tempat belajar, seperti
Tingkat stres..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2013.
perpustakaan, laboratorium, dan lain-lain. Hal ini juga sejalan dengan konsep full day school yang digunakan oleh SD Labs School Kaizen, Bogor yaitu konsep belajar sambil bermain. Penelitian yang dilakukan oleh Cryan dan Others (dalam Departer, Readon & Naurie, 2004) menemukan bahwa dengan adanya full day school menunjukan anak-anak akan lebih banyak belajar daripada bermain, karena adanya waktu yang lebih banyak di kelas, hal ini juga dapat mengakibatkan produktivitas anak tinggi. Kemudian siswa merasa lebih dekat dengan guru, siswa juga menunjukkan sikap lebih positif, karena tidak ada waktu luang untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan karena siswa berada dikelas selama seharian dan siswa mendapatkan pengawasan dari guru (Departer, Reardon, dan Naurie, 2004). Full day school sebenarnya sangat cocok untuk tugas perkembangan anak usia sekolah dan karakteristik perkembangan anak usia sekolah. Penelitian yang dilakukan Martinez, Stuber, dan Snider tahun 2006 mendapatkan hasil bahwa anak yang masuk ke sekolah bersistem full day maka kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan anak yang masuk ke sekolah dengan sistem half day. Hal ini dikarenakan oleh banyak faktor yaitu sistem pengajaran yang diterapkan sekolah, kemudian metode pengajaran yang dilakukan guru. Penelitian yang dilakukan oleh Martines, Stuber, dan Snider lebih menekankan metode inovatif dan kreatif yang harus dilakukan oleh guru, agar tidak menimbulkan stres di sekolah. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan maka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa sekolah yang memiliki sistem full day tidak akan menimbulkan stres akademik pada siswa jika konsep full day school diterapkan dengan baik dan benar sesuai dengan kondisi anak didik. Konsep sistem full day school merupakan sistem yang sangat mendukung tugas perkembangan dan karakteristik perkembangan anak usia sekolah, seperti yang diketahui bahwa sekolah dengan sistem ini menggunakan metode belajar sambil belajar atau dapat disebut dengan integrated activity dan integrated curriculum. Kemudian sistem sekolah ini juga mengembangkan cara berdiskusi dan berdialog, dimana cara ini dapat mengembangkan budaya tukar pikiran yang diajarkan sejak dini, walaupun sebagian siswa tidak mengalami stres akademik tetapi pihak sekolah dan orang tua tetap harus waspada terhadap hal tersebut. Saran
Tingkat stres..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2013.
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu fokus asuhan keperawatan anak atau keperawatan jiwa, kemudian dapat memberikan penyuluhan kesehatan si sekolah dan memberikan informasi mengenai tanda dan gejala stres pada anak kepada orang tua dan pihak sekolah. Perawat harus mempunyai kemampuan untuk mengenali emosi, tanda dan gejalan stres pada anak sehingga nantinya perawat dapat mencegah dan mengkontrol situasi stres pada anak. Saran untuk pengelolah institusi pendidikan, yaitu sekolah yang menerapkan sistem full day school harus lebih memperhatikan stres akademik yang dialami oleh siswanya. Rekomendasi dari peneliti adalah adanya membuat pengembangan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi anak di sekolah dan kegiatan di sekolah lebih menyenangkan, karena dasar dari konsep sekolah yang mempunyai sistem full day school adalah belajar sambil bermain sehingga tidak menimbulkan rasa bosan. Sebenarnya konsep sekolah dengan sistem full day sangat baik untuk tahap tumbuh kembang anak usia sekolah, jika konsep dijalankan dengan baik. Peran guru juga sangat penting dalam sistem full day school. Perawat juga harus mengajarkan bagaimana caranya untuk menangani kebutuhan fisik anak kepada orang tua dan pihak sekolah, mengingat bahwa faktor penyebab stres pada anak tidak hanya biologis dan mental, tetapi juga hubungan sosial sangat terlibat dalam kesehatan jiwa pada anak. Oleh karena itu perlu adanya manajeme stres pada anak yang dapat dilakukan di sekolah atau di rumah. Manajemen stres inilah yang harus dikembangkan lagi oleh pihak keperawatan jiwa dan keperawatan anak, bagaimana membuat manajemen stres pada anak. Manajemen stres pada anak mungkin saja dapat berupa melakukan hal yang disenangi anak, story telling, bermain bersama, dan teknik relaksasi. Berdasarkan hasil uraian diatas direkomendasikan untuk penelitian selanjutnya agar menggunakan responden yang lebih beragam dengan jumlahnya yang setara, misalnya jumlah kelas 1- kelas 6 setiap kelasnya sama, begitu juga dengan jumlah jenis kelamin. Bahasa yang ada di dalam kuesioner haruslah yang mudah dipahami oleh anak usia sekolah. Penelitian selanjutnya sangat diharapkan meneliti tentang stres akademik anak usia sekolah. Hal ini dimaksudkan agar dapat diperoleh suatu gambaran hasil penelitian yang lebih luas lagi, karena penelitian tentang stres akademik anak usia sekolah sangat jarang ditemukan. Penelitian selanjutnya juga dapat meneliti tentang hubungan tentang stres akademik dengan sistem full day school. Hal ini juga dimaksudkan untuk menambah wawasan mengenai peran
Tingkat stres..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2013.
sekolah serta orang tua agar dapat mengetahui lebih banyak informasi mengenai stres akademik pada anak usia sekolah. Daftar Referensi
Basuki, S. (2008). Full day school, harus proporsional sesuai jenjang dan jenis sekolah. Jurnal Pendidikan: 1-6. Diunduh pada 17 Oktober 2012 dari http://wwww.SMKN1lmj.Sch.id/dl/fuldayschool.pdf Ben-Zur, H & Zeidner, M. (2012). Appraisal, coping, and affective and behavioural reactions to academic stressor. Journal Psychology, 3, 713-721. Diunduh pada 16 Juni 2013 dari http://www.SciRP.org/journal/psych. Budiman, N. (2006). Memahami perkembangan anak usia sekolah dasar. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Buharuddin, H. (2008). Analisis tentang full day school antara mutu pendidikan dan pelemahan ekonomi: Artikel. Majalah Teknologi dan Manajemen, 6, 65-73. Departer, B., Reardon, M., & Naurie, S., N. (2004). Mempraktekan quantum teaching di ruang kelas-kelas. Bandung; Kaifa. Desmita. (2005). Psikologi perkembanan peserta didik. Bandung: Remaja Rosdakarya. ----------. (2011). Psikologi perkembangan perserta didik. Bandung: Remaja Rosdakarya. Eun-Jun, B. (2009). The effect of gender, academic concern, and social support on stress for international students. Unpublished Ph.D Dissertatio , University of
Missouri-
Columbia. Diundih pada tanggal 16 Juni http://search.proquest.com/docview/868573347/13EB6A8D70D4D9A4530/6? accountid=17242. Fremont, S. (2004). Managing stres, counseling & mental helath center at the University of Texas at Austin. Journal of Psychology. Diunduh pada tanggal 10 Juni 2013 dari http://cmhc.utexas.edu/stress.html Greenberg, J. S. (2002). Comphrehensive stress management. (8th Ed). New York: McGrawHill. Harpell, J. V., & Andrew, J. J. W. (2013). Relationship between school based stress and test anxiety. International Journal of Psychological, 5 (2), 74-84. Diunduh pada tanggal 16 Juni 2013 dari http://dx.doi.org/10.5539/ijps.v5n2p74 Human Development Index. (2011). Diunduh pada 15 Desember 2012 dari http://datakesra.menkokesra.go.id/sites/default/files/pendidikan_file/human_developement _index_2011.pdf .
Tingkat stres..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2013.
Human Development Report. (2013). The rise of the sun: human progress in a divers world. Diunduh pada tanggal 7 Juli 2013 dari http://hdrstats.undp.org/images/explanations/IDN.pdf. Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New York: Springer Publishing Company. Muslimin, Z. I, & Rina, R. (2011). Perbedaan tingkat stres antara siswa sekolah dasar yang bersistem full day dan half day. Jurnal Psikologi 6 (1): 40-44. Diunduh pada 15 Oktober 2012 dari http://fpsi.unissula.ac.id/images/61zidni%20immawan%2040-44.pdf. Napitupulu, E. L. (2011, Maret). Indeks pendidikan indonesia menurun. Kompas. Diunduh pada tanggal 20 Oktober 2012 dari http://edukasi.kompas.com/read/2011/03/02/1855569/Indeks.Pendidikan.Indonesia.Menur un Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). (3 Maret 2011). Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education. Kompas, A0. Papalia, D. E., Olds, S, W, & Feldmen, R, D. (2009). Human development (7th Ed). New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Rice, P. L. (1992). Stress and health. California: Brooks-Cole Publishing Company. Sarafino, E.P. (2006). Health psyochology: Biopsychosocial interactions (5th Ed). New York: John Wiley & Sons, Inc. Shindler, J., Jones, A., Williams, A. D., et. al. (2010). Exploring the school climate-Student achievement connection: And making sense of why the first precede the second. Diunduh pada tanggal 17 Juni 2013dari http://www.calstatela.edu/centers/schoolclimate/research/School_Clima Achievement_Connection_v4.pdf. Stuart, G. W., & Laraia, M. T. (2005). Psychiatric nursing: Principle and practice 8th Edition. St. Loius: Mosby. Sudiana. (2007). Kondisi stres siswa sekolah menengah kejuruan dan faktorfaktor penyebabnya. Diunduh pada 15 Desember 2012 dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/s_a5051_992873_abstract.pdf. Valizadeh, L., Fernam, A., & Farshi., M. R. (2011). Investigation of stress sympotoms among primary school children. Journal JCS, 6 (4). Diunduh pada tanggal 7 Juli 2013 dari http://journals.tbzmed.ac.ir.
Tingkat stres..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2013.
Tingkat stres..., Hesi Oktamiati, FIK UI, 2013.