JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Tingkat Pengetahuan Wanita Usia Subur Tentang Alat Kontrasepsi IUD di BPRB Bina Sehat Kasihan Bantul Ade Rindiarti1, Tony Arjuna2, Nindita Kumalawati Santoso3 1,2,3 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta
Abstrak Berdasarkan data dari SDKI menunjukkan bahwa tingkat pemakaian kontrasepsi semakin meningkat kecuali kontrasepsi IUD yang mengalami penurunan. Turunnya jumlah peserta KB IUD dari tahun ke tahun dapat disebabkan karena beberapa faktor salah satunya ketidaktahuan tentang kelebihan KB IUD. Pengetahuan terhadap alat kontrasepsi merupakan pertimbangan dalam menentukan metode kontrasepsi yang digunakan. Tujuan penelitian untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan wanita usia subur tentang alat kontrasepsi IUD di BPRB Bina Sehat Kasihan Bantul. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah wanita usia subur yang berada di BPRB Bina Sehat Kasihan Bantul. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental sampling. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 30 wanita usia subur. Analisis menggunakan distribusi frekuensi. Hasil penelitian tingkat pendidikan responden yaitu SD berjumlah 16 responden (53,3%), pemakaian alat kontrasepsi sebagian besar kontrasepsi suntik berjumlah 24 responden (80,0%), berdasarkan pekerjaan responden yang paling banyak IRT sehingga tidak mempunyai penghasilan berjumlah 22 responden (73,3%), dan tingkat pengetahuan responden tentang alat kontrasepsi IUD sebagian besar dengan kategori kurang yaitu berjumlah 15 responden (50,0%). Kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa tingkat pengetahuan wanita usia subur di BPRB Bina Sehat Kasihan Bantul tergolong rendah. Kata Kunci: tingkat pengetahuan, kontrasepsi IUD
Info Artikel: Artikel dikirim pada 17 Desember 2012 Artikel diterima pada 17 Desember 2012 PENDAHULUAN Pertumbuhan penduduk di Indonesia cukup tinggi yaitu 1,38% per tahun. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk adalah tingginya angka kelahiran yang berkaitan erat dengan usia kawin pertama sebagai salah satu sasaran program Keluarga Berencana (KB) dan sebagian kelompok masyarakat dan keluarga belum menerima dan menghayati norma keluarga kecil sebagai landasan untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Keadaan ini merupakan salah satu masalah kependudukan Indonesia sehingga memerlukan kebijakan kependudukan, yaitu dengan menurunkan tingkat pertumbuhan serendahrendahnya. Cara efektif untuk menurunkan angka pertumbuhan penduduk dengan jalan mengikuti program KB(1).
Visi program keluarga berencana nasional telah diubah mewujudkan keluarga yang berkualitas tahun 2015. Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan kedepan, bertanggung jawab, harmonis(2). KB merupakan salah satu pelayanan kesehatan preventif yang paling dasar dan utama bagi wanita, meskipun tidak selalu diakui demikian. Peningkatan dan perluasan pelayanan keluarga berencana merupakan salah satu usaha untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu yang sedemikian tinggi akibat kehamilan. Sebagian besar wanita harus menentukan pilihan kontrasepsi yang sulit. Tidak hanya karena terbatasnya jumlah metode yang tersedia, tetapi juga karena metode-metode tertentu mungkin tidak dapat diterima sehubungan dengan kebijakan nasional KB,
Tingkat Pengetahuan Wanita Usia Subur Tentang Alat Kontrasepsi IUD di BPRB Bina Sehat Kasihan Bantul
1
kesehatan individual dan seksualitas wanita, maupun biaya untuk memperoleh kontrasepsi(3). Kontrasepsi hormon merupakan kelompok kontrasepsi yang pemakaiannya berada pada urutan ke tiga diseluruh dunia. Sebagian besar (85%) menggunakan kontrasepsi oral sedangkan implant hanya 15% namun beberapa negara mungkin banyak mengandalkan salah satu metode tertentu(4). Berdasarkan data BKKBN Pusat, jumlah pasangan usia subur (PUS) yang menggunakan metode kontrasepsi, yaitu suntik 31,6%, pil 13,2%, IUD 4,8%, implant 2,8%, kondom 1,3%, medis operasi wanita (MOW) 3,1%, medis operasi pria (MOP) 0,2%, pantang berkala 1,5%, senggama terputus 2,2%, metode lainnya 0,4%(5). Turunnya jumlah peserta KB IUD dari tahun ke tahun dapat disebabkan karena beberapa faktor seperti ketidaktahuan peserta tentang kelebihan KB IUD, dimana pengetahuan terhadap alat kontrasepsi merupakan pertimbangan dalam menentukan metode kontrasepsi yang digunakan(6), kualitas pelayanan KB, dilihat dari segi ketersediaan alat kontrasepsi, ketersediaan tenaga yang terlatih dan kemampuan medis teknis petugas pelayanan kesehatan, biaya pelayanan IUD yang mahal, adanya hambatan dukungan dari suami dalam pemakaian alat kontrasepsi IUD, adanya niat yang timbul dari adanya sikap yang didasarkan pada kepercayaan, norma-norma di masyarakat dan norma pokok yang ada dalam lingkungan. Salah satu norma yang dianut masyarakat adalah pemasangan IUD yang dilakukan di aurat (vagina) sehingga menimbulkan perasaan malu/enggan untuk menggunakan IUD(7). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan tanggal 15 April 2012 di BPRB Bina Sehat Kasihan Bantul didapatkan jumlah wanita usia subur yang menggunakan alat kontrasepsi dari bulan Januari-April 2012 berjumlah 71 orang. Jenis alat kontrasepsi yang digunakan yaitu implan, suntik dan IUD. Secara umum tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana tingkat pengetahuan wanita usia subur tentang kontrasepsi IUD di BPRB Bina Sehat Kasihan Bantul. BAHAN DAN METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif dengan rancangan penelitian menggunakan pendekatan cross sectional. Populasi adalah semua wanita usia subur yang menggunakan kontrasepsi IUD di BPS Bina Sehat di Kasihan Bantul. Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu accidental sampling dengan kriteria inklusi wanita usia subur di BPRB Bina Sehat yang berusia 15-49 tahun, bersedia menjadi responden.
2
Lokasi penelitian dilakukan di BPRB Bina Sehat Kasihan Bantul pada bulan Mei sampai Juni 2012. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner tingkat pengetahuan wanita usia subur tentang alat kontrasepsi IUD. Kuesioner hasil adopsi dari penelitian Mulastin(8). Uji validitas dan reliabilitas dilakukan di Desa Tretes Kecamatan Kembang Kabupaten Jepara dengan ukuran sampel (n) sebanyak 20 orang responden dengan taraf signifikan sebesar 95%, dengan nilai r hitung sebesar 0,468. Variabel dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan wanita usia subur dengan pemilihan alat kontrasepsi IUD di BPRB Bina Sehat. HASIL DAN BAHASAN Karakteristik Responden Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 30 orang responden wanita usia subur di BPRB Bina Sehat Kasihan Bantul. Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi umur, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dan pemakaian kontrasepsi. Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Di BPRB Bina Sehat Kasihan Bantul Umur 20-29 Tahun 30-39 Tahun 40-49 Tahun Total
f 9 13 8 30
% 30 43,3 26,7 100
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa distribusi frekuensi responden menurut umur terbanyak adalah wanita usia subur berumur 30-39 tahun sebanyak 13 orang responden atau sebesar 43,3% dan yang paling sedikit yaitu wanita usia subur yang berumur 40-49 tahun berjumlah 8 orang responden atau sebesar 26,7%. Tabel 2. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan di BPRB Bina Sehat Kasihan Bantul Pendidikan SD SMP SMA PT Total
f 16 5 5 4 30
% 53,3 16,7 16,7 13,3 100
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan
Ade Rindiarti, Tony Arjuna, Nindita Kumalawati Santoso, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 1, Tahun 2013, 1-5
terbanyak yaitu responden dengan jenjang pendidikan SD sebanyak 16 orang atau sebesar 53,3%. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan di BPRB Bina Sehat Kasihan Bantul Pekerjaan PNS Buruh IRT Lain-Lain Total
f 1 2 23 4 30
% 3,3 6,7 76,7 13,3 100
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan sebagian besar responden berprofesi sebagai IRT sebanyak 23 orang atau sebesar 76,3%. Tabel 4. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Penghasilan di BPRB Bina Sehat Kasihan Bantul Penghasilan Tidak Ada Penghasilan >2.000.000 1.000.000-2.000.000 500.000-1.000.000 <500.000 Total
f 22 2 1 1 4 30
% 73,3 6,7 3,3 3,3 13,3 100
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa distribusi frekuensi responden berdasarkan penghasilan terbanyak adalah responden yang tidak mempunyai penghasilan yaitu berjumlah 22 orang responden atau sebesar 73,3%. Tabel 5. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Pemakaian Kontrasepsi di BPRB Bina Sehat Kasihan Bantul Kontrasepsi PIL Suntik Implant Kondom IUD Total
f 3 24 2 1 0 30
% 10,0 80,0 6,7 3,3 0 100
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Berdasarkan Tabel 5 menunjukkan bahwa distribusi frekuensi responden berdasarkan kontrasepsi yang digunakan, dimana sebagian besar responden menggunakan kontrasepsi suntik sebanyak 24 orang atau sebesar 80%. Berdasarkan hasil
penelitian didapatkan responden yang menggunakan kontrasepsi IUD sebesar 0%, sedangkan responden yang tidak menggunakan kontrasepsi non IUD sebesar 100%. Dari hasil penelitian ini semua responden tidak ada yang menggunakan kontrasepsi IUD. Tingkat Pengetahuan Responden tentang Alat Kontrasepsi IUD/Spiral di BPRB Bina Sehat Kasihan Bantul Tabel 6. Tingkat Pengetahuan Responden Tentang Alat Kontrasepsi IUD/Spiral Tingkat Pengetahuan Baik Cukup Kurang Total
f 5 10 15 30
% 16,7 33,3 50 100
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden mempunyai tingkat pengetahuan yang kurang tentang alat kontrasepsi IUD yaitu 15 orang (50%). Tingkat pengetahuan responden tentang alat kontrasepsi IUD/spiral di BPRB Bina Sehat Kasihan Bantul Berdasarkan distribusi karakteristik pekerjaan dan pendapatan diketahui persentase terbanyak adalah responden yang merupakan ibu rumah tangga (76,7%) dan memiliki pendapatan dibawah rata- rata atau tidak berpenghasilan. Berdasarkan pendidikan diketahui bahwa responden dengan pendidikan SD 16 orang dan pengalaman responden terhadap pemakaian alat kontrasepsi sebelumnya atau yang sedang dipakai yaitu frekuensi yang terbanyak adalah kontrasepsi suntik yaitu 80%, dikarenakan sebagian besar responden hanya memahami keuntungan dari kontrasepsi suntik. Berdasarkan Tabel 6 menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan responden tentang alat kontrasepsi IUD sebagian besar tergolong kurang yaitu berjumlah 15 orang responden atau sebesar 50,0%. Responden dengan tingkat pengetahuan yang kurang mengenai kontrasepsi IUD disebabkan karena pendidikan yang rendah sebagaimana telihat dari Tabel 2 yang menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat pendidikan responden yaitu SD berjumlah 16 orang atau sebesar 53,3%. Sesuai dengan pendapat Manuaba, mengatakan bahwa tingkat pendidikan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang untuk bertindak dan mencari penyebab serta solusi dalam hidupnya(9). Orang yang berpendidikan lebih tinggi biasanya akan bertindak lebih rasional. Oleh karena itu orang yang
Tingkat Pengetahuan Wanita Usia Subur Tentang Alat Kontrasepsi IUD di BPRB Bina Sehat Kasihan Bantul
3
berpendidikan akan lebih mudah menerima gagasan baru. Demikian pula halnya dengan menentukan pola perencanaan keluarga dan pola dasar penggunaan kontrasepsi serta peningkatan kesejahteraan keluarga. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan responden yang menggunakan kontrasepsi IUD sebesar 0%, sedangkan responden yang menggunakan kontrasepsi non IUD sebesar 100%. Dari hasil penelitian ini semua responden tidak ada yang menggunakan kontrasepsi IUD. Dalam penelitian ini dilakukan wawancara mendalam untuk mengetahui alasan mengapa mereka tidak menggunakan IUD/spiral yaitu orang yang menjawab tidak tahu 60%, karena kurangnya fasilitas pelayanan kesehatan merupakan hambatan utama pemilihan spiral, kurangnya konseling pada tenaga kesehatan di puskesmas, RS dan khususnya di BPRB bina sehat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyimpulkan kurangnya pengetahuan tentang IUD dikaitkan dengan kurangnya informasi tentang berbagai metode kontrasepsi termasuk IUD dan manfaatnya yang diberikan oleh petugas kesehatan, sehingga responden tidak hanya mendengar informasi yang bersifat negatif dari tetangga. Alasan kedua yaitu biaya yang mahal hanya terdapa 3,3% dari 30 responden, persepsi biaya IUD menunjukan bahwa pada umumnya responden cenderung memandang dari segi pengeluaran biaya saat pemasangan. Alasan selanjutnya karena tidak diberi penyuluhan 20% responden mengatakan tidak pernah diberi penyuluhan oleh tenaga kesehatan, di BPRB bina sehat sendiri tidak melakukan konseling melainkan hanya memberi inform choice tanpa diberi penjelasan lebih dalam tentang manfaat,efek samping dari kontrasepsi. Penelitian sebelumnya juga mendapatkan hal seperti itu responden mengatakan kurang mengetahui manfaat dari IUD hanya dapat informasi dari tetangga. Ketidak cocokan responden tentang IUD terdapat 13,3% mereka yang pernah memakai Spiral mengatakan tidak cocok dan hanya memakai untuk beberapa bulan saja. Alasan lain yang menyebabkan ketidaktahuan yaitu karena sebagian besar responden beranggapan bahwa IUD tidak aman seperti dapat berjalan-jalan sendiri didalam perut IUD dapat keluar sendiri dari rahim, nyeri pada perut, dan sakit saat berhubungan seksual. Meskipun hal tersebut tidak dapat dipastikan kebenarannya oleh responden, namun seringkali bahan pembicaraan tersebut cukup mempengaruhi persepsi responden akan keamanan pemakaian IUD. Hal ini sama dengan penelitian sebelumnya, bahwa dalam penelitian tersebut sebagian besar ibu-ibu menyiratkan perasaan kurang aman disebabkan karena menurut 4
pendapat mereka IUD adalah sebuah benda asing yang bila dimasukan didalam tubuh, maka tubuh akan menghasilkan reaksi tertentu yang dapat membuat pemakai mengalami efek samping tertentu. Pendidikan juga memepengaruhi pola berfikir pragmatis dan rasional terhadap adat kebiasaan, dengan pendidikan yang tinggi seseorang dapat lebih mudah untuk menerima ide atau masalah baru seperti penerimaan, pembatasan jumlah anak, dan keinginaan terhadap jenis kelamin tertentu. Pendidikan juga akan meningkatkan kesadaran wanita terhadap manfaat yang dapat dinikmati bila ia mempunyai jumlah anak sedikit, wanita yang berpendidikan lebih tinggi cenderung membatasi jumlah kelahiran dibandingkan dengan tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah(10). Berdasarkan teori di atas mendukung penelitian ini dimana sebagian besar wanita usia subur yang menjadi responden berlatar belakang pendidikan rendah yaitu SD. Sumber informasi menjadi salah satu yang mempengaruhi tingkat pengetahuan wanita usia subur. Informasi bisa diberitakan lewat penyuluhan atau selebaran-selebaran seperti leaflet atau media komunikasi. Dengan adanya informasi dari tenaga kesehatan tingkat pengetahuan wanita usia subur semakin meningkat terutama tentang kontrasepsi IUD. Selain karena rendahnya tingkat pendidikan dan sumber informasi yang kurang, pengalaman juga sangat mempengaruhi tingkat pengetahuan responden. Sesuai dengan pendapat Hartanto, mengatakan bahwa pengetahuan calon akseptor tentang suatu alat kontrasepsi salah satunya dipengaruhi oleh informasi yang diperolehnya11. Setiap tenaga kesehatan berkewajiban memberikan informasi dan motivasi yang dan benar tentang alat kontrasepsi kepada WUS sehingga mempunyai pengetahuan yang cukup dan memiliki kesadaran dalam mengikuti gerakan KB. Pengetahuan seseorang bisa didapatkan dari berbagai sumber yaitu informasi (media, penyuluhan), pendidikan, pengalaman seseorang. Sumber informasi yang kurang dan jarang mendapatkan penyuluhan dari tenaga kesehatan sehingga responden kurang mengetahui tentang IUD/spiral. Selain dari informasi juga pendidikan responden yang rendah sangat mempengaruhi dari pengetahuan responden tersebut, dimana sebagian besar responden berlatar belakang pendidikan SD. Pengalaman yang kurang juga dari responden dalam mengakses pelayanan kesehatan yang kurang terutama masalah kontrasepsi IUD sehingga responden kurang tahu tentang kontrasepsi IUD tersebut, dimana terlihat bahwa responden bekerja sebagai IRT, dengan demikian responden banyak menghabiskan waktu di rumah dan jarang
Ade Rindiarti, Tony Arjuna, Nindita Kumalawati Santoso, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 1, Tahun 2013, 1-5
keluar untuk mengakses atau mencari informasi mengenai IUD/spiral. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan responden yang mempunyai tingkat pengetahuan dengan kategori kurang tentang alat kontrasepsi IUD yaitu berjumlah 15 orang responden atau sebesar 50,0%. Sedangkan yang paling sedikit yaitu responden dengan tingkat pengetahuan baik yaitu berjumlah 5 orang responden atau sebesar 16,7%, responden yang mempunyai tingkat minat tinggi dalam pemakaian alat kontrasepsi yaitu kontrasepsi suntik berjumlah 24 responden atau sebesar 80,0% dan responden yang menggunakan kontrasepsi IUD 0%, berdasarkan tingkat pendidikan, menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat pendidikan responden yaitu SD berjumlah 16 orang atau sebesar 53,3%. Tingkat pengetahuan yang kurang mengenai kontrasepsi IUD/spiral, berdasarkan penghasilan keluarga, responden yang paling banyak IRT sehingga tidak mempunyai penghasilan, yaitu berjumlah 22 orang responden atau sebesar 73,3% dan yang paling sedikit yaitu responden dengan penghasilan 1 juta-2 juta dan 500 ribu-1 juta berjumlah 1 orang responden atau sebesar 3,3%. Sehingga kurangnya minat untuk menggunakan alat kontrasepsi IUD/spiral. Agar memberikan akses informasi tentang alat kontrasepsi IUD/spiral, baik melalui penyuluhan, pembagian leafleat, poster dan media informasi lain sehingga dapat meningkatkan pengetahuan akseptor KB tentang alat kontrasepsi IUD/spiral, dan perlunya membangun kesadaran kepada pasangan usia subur bahwa pemanfaatan alat kontrasepsi jangka panjang seperti IUD merupakan kebutuhan dan alternatif berkontrasepsi yang aman. Petugas pemberi pelayanan kontrasepsi diharapkan dapat memberi kemudahan bagi klien yang kurang mampu
dengan memberikan informasi tentang pemberian pelayanan kontrasepsi IUD secara cuma-cuma atau menggunakan sistem angsuran jasa pelayanan yang ada di Puskesmas. RUJUKAN 1. Nurcahaya W. Hubungan Kontrasepsi pil KB dengan Kegemukan Wanita [internet]. 2007 [cited 2012 Jun 15]. Available from: http://data.tp.ac.id/ dokumen berhubungan+pengetahuan+dengan+ pem ilihan+kontrasepsi+iud 2. Saifuddin AB. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2003. 2. Depkes RI. Rencana Strategi Nasional Program Pelayanan Keluarga Berencana. Jakarta: Depkes RI; 2008. 3. Glasier A, Ailsa G. Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi. Jakarta: EGC; 2005. 4. BKKBN. Kumpulan Data Program Keluarga Berencana Nasional. Jakarta: BKKBN; 2006. 5. Wang D, Almann R. Sosio-Demographic Determinants of Intra Uterine Device Use and Failure in China. Human Reproduction. 2002;17(5):1226-32. 6. Simanjuntak, David. Akses Sosial Ekonomi dan Pelayanan Terhadap Kualitas Peserta KB. Majalah Kesehatan Masyarakat. 1996;24(11). 7. Mulastin. Hubungan Sikap Ibu Tentang Alat Kontrasepsi Dalam Rahim dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim di RSIA Kumalasiwi Pecangan Kabupaten Jepara. J Kesehatan dan Budaya. 2012;3(1). 8. Manuaba B. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan Keluarga Berencana. Jakarta: EGC; 2006. 9. Soekanto S. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada; 2006. 10. Hartanto. KB Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan; 2004.
Tingkat Pengetahuan Wanita Usia Subur Tentang Alat Kontrasepsi IUD di BPRB Bina Sehat Kasihan Bantul
5
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Komunikasi Terapeutik Perawat Berhubungan dengan Tingkat Kepuasan Pasien di Puskesmas Dukun Magelang Puyan Lukman Hadi1, Tri Prabowo2, Brune Indah Yulitasari3 1,3 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 2 Program Studi Keperawatan Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Yogyakarta Jalan Tata Bumi No. 3, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
Abstrak Perawat yang memilki keterampilan berkomunikasi terapeutik akan mudah membina hubungan saling percaya dengan klien juga dapat mencegah terjadinya masalah legal etik. Selain itu dapat memberikan kepuasan professional dalam pelayanan keperawatan dan meningkatkan citra profesi keperawatan serta citra rumah sakit atau pelayanan kesehatan lain dalam memberikan pelayanan. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kepuasan pasien di Puskesmas Dukun Magelang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik (induktif) dengan pendekatan cross sectional. Lokasi penelitian di Puskesmas Dukun Magelang. Subyek penelitian adalah pasien yang ditangani oleh perawat di Puskesmas Dukun Magelang. Sampel penelitian diambil dengan teknik accidental sampling berjumlah 231 responden. Data diambil dengan menggunakan kuesioner. Analisis data menggunakan korelasi Kendal Tau. Hasil penelitian sebanyak 119 orang (51,5%) responden mendapatkan komunikasi terapeutik cukup baik, sedangkan tingkat kepuasan pasien dalam kategori puas 114 orang (62,3%). Hasil analisis Kendal Tau untuk mengetahui hubungan komunikasi terapeutik dengan tingkat kepuasan diperoleh nilai korelasi 0,551 artinya memiliki arah korelasi positif yang berarti semakin baik komunikasi terapeutik maka tingkat kepuasan akan semakin tinggi. Nilai korelasi 0,551 artinya mempunyai tingkat hubungan yang sedang. Nilai p = 0,000 dengan taraf kesalahan 5% artinya ada hubungan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kepuasan pasien. Kesimpulan ada hubungan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kepuasan pasien di Puskesmas Dukun Magelang dengan keeratan hubungan sedang. Kata Kunci: komunikasi terapeutik, tingkat kepuasan, pasien
Info Artikel: Artikel dikirim pada 23 Februari 2013 Artikel diterima pada 27 Februari 2013 PENDAHULUAN Dalam segala proses kehidupan komunikasi merupakan hal yang pokok. Hubungan antar manusia bisa terjadi tidak lain karena adanya sistem komunikasi. Berbagai masalah berkaitan dengan sistem kehidupan manusia dapat dipecahkan melalui komunikasi. Manusia berkomunikasi untuk berbagai keperluan, mempengaruhi tujuan-tujuan tertentu. Bentuk komunikasi pada manusia, berupa bicara, tulisan, gerakan dan penyiaran(1). Komunikasi tidak hanya sekedar alat untuk berbicara dengan klien, perawat dan klien adalah suatu hubungan terapeutik dimana hubungan yang mempunyai tujuan yaitu tujuan untuk kesembuhan klien1. Perawat atau bidan yang memiliki keterampilan 6
berkomunikasi terapeutik tidak saja akan mudah membina hubungan saling percaya dengan klien, tetapi juga dapat mencegah terjadinya masalah legal etik, selain itu dapat memberikan kepuasan profesional dalam pelayanan keperawatan/kebidanan dan meningkatkan citra profesi keperawatan/ kebidanan serta citra rumah sakit dalam memberikan pelayanan. Ada tiga jenis komunikasi yaitu verbal, tertulis, dan non verbal yang dimanifestasikan secara terapeutik(2). Pemberian asuhan keperawatan khususnya yang berada dipelayanan kesehatan sangat diperlukan adanya strategi pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilaksanakan setiap hari. Adapun strategi yang dimaksud adalah strategi komunikasi
Puyan Lukman Hadi, Tri Prabowo, Brune Indah Yulitasari, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 1, Tahun 2013, 6-11
terapeutik. Strategi tersebut dapat dilakukan oleh perawat atau bidan(2). Pelayanan diharapkan membuat pasien merasa puas (customer satisfaction) adalah dengan memberikan kepada pelanggan apa yang betul-betul mereka butuhkan dan inginkan, bukan memberikan apa yang kita pikirkan dibutuhkan oleh mereka(3). Menurut Depkes RI yang dikutip oleh Nursalam, kepuasan pasien berhubungan dengan mutu pelayanan rumah sakit(4). Dengan mengetahui tingkat kepuasan pasien, manajemen rumah sakit dapat melakukan peningkatan mutu pelayanan. Presentase pasien yang menyatakan puas terhadap palayanan berdasarkan hasil survei dengan instrumen yang baku. Kegiatan pemantauan kepuasan terhadap pelanggan di Rumah Sakit dan Puskesmas sudah sesuai dengan SK Menpan Nomor 23 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Kabupaten/Kota perlu melaksanakan survey pemantauan kepuasaan masyarakat. Dalam Undang-undang No. 8 tahun 1999 juga telah diatur tentang hak-hak konsumen terhadap pelayanan kesehatan. Diantaranya adalah hak memperoleh kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan jasa, hak untuk didengar pendapat dan keluhannya, hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian dan hak diperlakukan atau dilayani secara tidak diskriminatif. Berdasarkan dari Laporan Kesehatan Daerah Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2005 persentase pelanggan yang memberikan komentar tentang pelayanan Puskesmas, 15,5% menyatakan sangat puas, 80,7% menyatakan puas, 3,3% kurang puas, 0,5 tidak puas(5). Penelitian tentang tingkat kepuasan pasien pernah dilakukan oleh Alvian, yang menunjukan tingkat kepuasan pasien sebanyak 56,9% dan sisanya menunjukan hal yang sebaliknya yaitu hanya sebesar 43,1%(6). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Dukun Magelang, hasil wawancara dengan 10 pasien dan wawancara serta observasi dengan 3 perawat di Puskesmas Dukuh Magelang. Hasil wawancara terhadap 10 pasien 8 pasien mengungkapkan ketidakpuasan dengan pelayanan keperawatan yang diberikan perawat di Puskesmas Dukun Magelang. Hasil wawancara terhadap 3 perawat mengungkapkan tidak melakukan komunikasi terapeutik dan dari hasil observasi perawat tidak melakukan komunikasi terapeutik dengan fase-fase yang benar. Puskesmas Dukun Magelang tidak ada fasilitas yang mendukung untuk memberikan informasi atas ketidakpuasan pasien yang berkunjung. Rata-rata jumlah pengunjung di Puskesmas Dukun Magelang perbulan ada 2.314 pasien, sedangkan
rata-rata perhari ada 77 pasien dan dari wawancara dengan perawat mengungkapkan 70%-85% pasien pengunjung Puskesmas Dukun Magelang ditangani oleh perawat, hal ini menunjukan banyaknya pasien yang ditangani oleh perawat dan mengakibatkan komunikasi antara perawat dengan pasien menjadi tidak terlaksana dengan baik. Secara umum tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kepuasan pasien di Puskesmas Dukun Magelang. Secara khusus untuk mengetahui komunikasi terapeutik perawat terhadap pasien, mengetahui tingkat kepuasan pasien, mengidentifikasi hubungan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kepuasan pasien di Puskesmas Dukun Magelang. BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasi dengan rancangan penelitian ini menggunakan cross-sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien pengunjung di Puskesmas Dukuh Magelang yang rata-rata tiap bulan berjumlah 2.314 pasien. Teknik sampling yang digunakan adalah accidental sampling adalah pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia disuatu tempat sesuai dengan konteks penelitian. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 231 pasien. Kriteria dalam menentukan sampel meliputi kriteria inklusi bersedia menjadi responden, bisa menulis dan membaca, usia antara 15-65 tahun, pasien yang tidak mengalami gangguan komunikasi, pasien yang mendapat tindakan oleh perawat di Puskesmas Dukun Magelang, pasien yang sudah berkunjung dan mendapat tindakan oleh perawat di Puskesmas Dukun Magelang lebih dari 1 kali. Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Dukun Magelang pada bulan Mei sampai Juni 2012. Instumen penelitian menggunakan kuesioner. Dalam penelitian ini tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas karena untuk kuesioner komunikasi terapeutik perawat mengadopsi dari penelitian terdahulu dan telah di lakukan uji validitas dan setelah dilakukan analisis validitas menggunakan program komputer pengolahan data statistik dengan taraf signifikan 0,05(7). Teknik korelasi yang digunakan adalah teknik korelasi “product moment”. Hasil uji validitas didapat rentang nilai r hasil 0,523– 0,984, maka r hasil >r tabel (0,444). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah komunikasi terapeutik perawat. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat kepuasan pasien.
Komunikasi Terapeutik Perawat Berhubungan dengan Tingkat Kepuasan Pasien di Puskesmas Dukun Magelang
7
HASIL DAN BAHASAN
Tingkat Kepuasan
Karakteristik Responden
Tingkat kepuasan secara umum yang dialami responden di Puskesmas Dukun Magelang disajikan pada Tabel 3.
Karakteristik responden penelitian berdasarkan pendidikan di Puskesmas Dukun Magelang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Kategori Pendidikan di Puskesmas Dukun Magelang 2012 Pendidikan SD SMP SMA PT Jumlah
n 84 108 33 6 231
% 36,4 46,8 14,3 2,6 100
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden di Puskesmas Dukun Magelang memiliki pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) yaitu sebanyak 108 orang (46,8%). Komunikasi Terapeutik Komunikasi terapeutik perawat secara umum di Puskesmas Dukun Magelang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Komunikasi Terapeutik Perawat di Puskesmas Dukun Magelang 2012 n 65 119 47 231
Tingkat Kepuasan Sangat Puas Puas Kurang Puas Tidak Puas Jumlah
n 24 144 51 12 231
% 10,4 62,3 22,1 5,2 100
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Komunikasi Terapeutik Baik Cukup Baik Kurang Baik Jumlah
Tabel 3. Tingkat Kepuasan Pasien di Puskesmas Dukun Magelang 2012
% 28,1 51,5 20,3 100
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Berdasarkan Tabel 2 komunikasi terapeutik perawat di Puskesmas Dukun Magelang mayoritas berada dalam kategori cukup baik yaitu sebanyak 119 orang (51,5%).
Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa tingkat kepuasan yang dialami responden di Puskesmas Dukun Magelang mayoritas berada dalam kategori puasyaitu sebanyak 144 orang (62,3%). Hubungan Komunikasi Terapeutik dengan Tingkat Kepuasan Hubungan dukungan sosial komunikasi terapeutik dengan tingkat kepuasan yang dialami responden di Puskesmas Dukun Magelang disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa yang memiliki komunikasi terapeutik perawat kurang baik dan tingkat kepuasan tidak puas sebanyak 6 orang (12,8%), komunikasi terapeutik perawat cukup baik dan tingkat kepuasan tidak puas sebanyak 4 orang (3,4%), komunikasi terapeutik perawat baik dan tingkat kepuasan tidak puas sebanyak 2 orang (3,1%). Nilai p-value adalah 0,000 dengan α = 0,05 karena nilai p<α maka Ha diterima dan Ho ditolak artinya ada hubungan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kepuasan pasien di Puskesmas Dukun Magelang. Hasil uji statistik dengan rumus kendal tau maka dapat dilihat nilai korelasinya adalah 0,551 artinya korelasi antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat
Tabel 4. Hubungan Komunikasi Terapeutik dengan Tingkat Kepuasan Pasien di Puskesmas Dukun Magelang 2012. Komunikasi Terapeutik Kurang Baik Cukup Baik Baik Jumlah
Tidak Puas n % 6 12,8 4 3,4 2 3,1 12 5,2
Tingkat Kepuasan Cukup Puas Puas n % n % 32 68,1 9 19,1 17 14,2 94 79,0 2 3,1 41 63,1 51 22,1 144 62,3
Sangat Puas n % 0 0 4 3,4 20 30,8 24 10,4
Jumlah
τ
p
47 119 65 231
0,551
0,000
Sumber: Data Primer Tahun 2012
8
Puyan Lukman Hadi, Tri Prabowo, Brune Indah Yulitasari, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 1, Tahun 2013, 6-11
kepuasan pasien memiliki arah korelasi positif yang berarti semakin baik komunikasi terapeutik perawat maka tingkat kepuasan akan semakin tinggi. Nilai korelasi 0,551 artinya hubungan antara komunikasi terapeutik perawat terhadap tingkat kepuasan pasien mempunyai hubungan yang sedang. Pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat disamping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat diwilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Pelayanan kesehatan yang diberikan merupakan pelayanan kesehatan yang menyeluruh yang meliputi pelayanaan kuratif (pengobatan), preventif (upaya pencegahan), promotif (peningkatan kesehatan) dan rehabilitatif (pemulihan kesehatan). Pelayanan tersebut ditunjukan kepada semua penduduk, dengan tidak membedakan jenis kelamin dan golongan umur, sejak pembuahan dalam kandungan sampai tutup usia(8). Komunikasi kesehatan merupakan upaya sistematis yang secara positif mempengaruhi praktek-praktek kesehatan populasi-populasi besar.Sasaran utama komunikasi kesehatan adalah melakukan perbaikan kesehatan yang berkaitan dengan praktik-praktik dan status kesehatan. Komunikasi kesehatan didefinisikan sebagai modifikasi perilaku manusia secara faktor-faktor sosial yang berkaitan dengan perilaku yang secara langsung maupun tidak langsung mempromosikan kesehatan, mencegah penyakit atau melindungi individu-individu terhadap bahaya(9). Suasana yang menggambarkan komunikasi yang terapeutik apabila dalam berkomunikasi dengan klien, perawat mendapatkan gambaran yang jelas tentang kondisi klien yang sedang dirawat, mengenai tanda dan gejala yang ditampilkan serta keluhan yang dirasakan, gambaran tersebut dapat dijadikan acuhan dalam menentukan masalah keperawatan dan tindakan keperawatan yang akan dilakukan, dengan harapan tindakan yang dilakukan sesuai dengan keluhan dan sesuai dengan masalah keperawatan yang sedang dialami oleh klien atau bisa dikatakan bahwa tindakan keperawatan tepat sasaran sehingga membantu mempercepat proses penyembuhan. Hal ini menggambarkan bahwa dalam menjalankan proses komunikasi terapeutik, seorang perawat melakukan kegiatan dari mulai pengkajian, menentukan masalah keperawatan, menentukan rencana tindakan, melakukan tindakan keperawatan sesuai dengan yang telah direncanakan sampai pada evaluasi yang semuanya itu bisa dicapai dengan maksimal apabila terjadi proses komunikasi
yang efektif dan intensif. Data akurat yang berasal dari klien merupakan pemberian yang berharga dan tak ternilai karena akan dipakai sebagai acuan dalam memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan keahlian yang dimiliki sekaligus merupakan sarana untuk pengembangan dalam pelayanan keperawatan utamanya dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan. Komunikasi Terapeutik Perawat Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 2 didapatkan bahwa sebagian besar komunikasi terapeutik perawat dalam kategori cukup baik yaitu sebanyak 119 orang (51,5%), sedangkan kategori kurang baik 47 orang (20,3%), baik 65 orang (28,1%). Menurut Machfoedz komunikasi terapeutik adalah pengalaman interaktif bersama antara perawat dan pasien dalam komunikasi yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh pasien(10). Menurut Machfoedz terdapat enam faktor yang mempengaruhi komunikasi dalam pelayanan keperawatan yaitu pertama: persepsi artinya persepsi berpengaruh pada proses komunikasi karena persepsi merupakan dasar terjadinya komunikasi, bila terjadi kesamaan persepsi antara komunikator dan komunikan maka pesan dapat tersampaikan sesuai dengan yang dimaksud. Kedua: nilai artinya nilai yang dianut oleh perawat dalam komunikasi kesehatan berbeda dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh pasien, oleh karena itu perawat harus berpegang pada nilai-nilai profesionalisme dalam berkomunikasi. Ketiga: emosi artinya dalam membantu pasien perawat harus melibatkan perasaan dan merasakan apa yang dirasakan oleh pasien yang ada dalam perawatannya dan perawat harus dapat bersikap profesional dalam mengendalikan diri dan emosinya. Keempat: pengetahuan artinya perbedaan tingkat pengetahuan dapat menjadi kendala dalam komunikasi antara perawat dengan pasien, dengan demikian perawat dituntut untuk mumpuni dalam memahami tingkat pengetahuan pasien. Kelima: peran dan hubungan artinya gaya komunikasi harus disesuaikan dengan peran yang sedang dilakukan, karena peran seseorang berpengaruh dalam berkomunikasi. Keenam: kondisi lingkungan artinya komunikasi akan lebih efektif kalau dilakukan dalam lingkungan yang menunjang, situasi yang ramah, nyaman, tetapi terganggu oleh suara gaduh tidak mendukung keberhasilan komunikasi(10). Hasil penelitian pada Tabel 3 berdasarkan tingkat pendidikan pasien diantaranya adalah SD 84 orang (36,4%), SMP 108 (46,8%), SMA 33 orang
Komunikasi Terapeutik Perawat Berhubungan dengan Tingkat Kepuasan Pasien di Puskesmas Dukun Magelang
9
(14,3%), Perguruan Tinggi 6 orang (2,6%). Dari keseluruan yang memiliki tingkat pendidikan yang paling dominan adalah SMP. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dimungkinkan pasien yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan dapat mempengaruhi proses komunikasi atau sebaliknya. Oleh karena itu penelitian ini menunjukan bahwa komunikasi terapeutik perawat yang diberikan cukup baik dan ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi komunikasi terapeutik perawat sehingga menjadikan komunikasi terapeutik perawat yang diterima pasien cukup baik. Tingkat Kepuasan Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 3 didapatkan bahwa sebagian besar pasien mengalami tingkat kepuasan dalam kategori tidak puas yaitu 12 (5,2%) orang, kurang puas 51 (22,1%) orang, puas 144 (62,3%) orang dan sangat puas 24 (10,4%) orang. Menurut Fais dan Sitti, kepuasan terhadap pelayanan kesehatan akan dinyatakan melalui beberapa hal yaitu pertama: komunikasi dari mulut ke mulut artinya informasi yang diperoleh dari pasien atau masyarakat yang memperoleh pelayanan yang memuaskan ataupun tidak, akan menjadi informasi yang dapat digunakan sebagai referensi untuk menggunakan atau memilih jasa pelayanan kesehatan tersebut. Kedua: kebutuhan pribadi artinya pasien atau masyarakat selalu membutuhkan pelayanan kesehatan yang tersedia sebagai kebutuhan pribadi yang tersedia pada tepat waktu dan tempat sesuai dengan kebutuhan(9). Pasien atau masyarakat mengharapkan adanya kemudahan dalam memperoleh pelayanan kesehatan baik dalam keadaan biasa maupun gawat darurat. Ketiga: pengalaman masa lalu artinya pasien atau masyarakat yang pernah mendapatkan pelayanan kesehatan yang memuaskan akan kembali ke pelayanan kesehatan yang terdahulu untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memuaskan sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan pengalaman masa lalu. Keempat: komunikasi eksternal artinya sosialisasi yang luas dari sistem pelayanan kesehatan mengenai fasilitas, sumber daya manusia, serta kelebihan-kelebihan yang dimiliki suatu instansi pelayanan kesehatan akan mempengaruhi pemakaian jasa pelayanan oleh masyarakat atau pasien. Hubungan Komunikasi Terapeutik dengan Tingkat Kepuasan Interpretasi hasil pada uji statistik dengan menggunakan rumus analisis kendal tau menunjukan nilai korelasi adalah 0,551 artinya korelasi antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kepuasan
10
pasien memiliki arah korelasi positif yang berarti semakin baik komunikasi terapeutik perawat maka tingkat kepuasan akan semakin tinggi. Nilai korelasi 0,551 artinya tingkat hubungan antara komunikasi terapeutik perawat terhadap tingkat kepuasan pasien mempunyai hubungan yang sedang. Hubungan yang sedang artinya sudah terdapat hubungan, tetapi masih ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi variabel-variabel yang diteliti. Nilai p adalah 0,000 dengan α = 0,05 karena nilai p < α maka Ha diterima dan Ho ditolak artinya ada hubungan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kepuasan pasien di Puskesmas Dukun Magelang. Penelitian Anggraini menemukan bahwa semakin baik komunikasi terapeutik yang dirasakan, semakin baik atau tinggi kepuasan yang dirasakan, berdasarkan penelitian ini menemukan komunikasi yang baik dapat meningkatkan kepatuhan klien dalam hal pengobatan dan perawatan penyakitnya, serta mempunyai peranan yang cukup besar bagi kepuasan klien yang berobat dan dirawat, sebaliknya hubungan interpersonal dan komunikasi yang tidak baik akan mengurangi kepuasan klien(11). Penggunaan komunikasi terapeutik merupakan media dalam mengembangkan hubungan antara perawat dan klien. Menurut Parasurman yang dikutip oleh Bustami lima faktor yang mempengaruhi kepuasan pasien yaitu pertama: reliabillitas artinya kemampuan memberikan pelayanan dengan segera, tepat (akurat), dan memuaskan. Kedua: daya tanggap artinya keinginan para karyawan/staf membantu semua pelanggan serta berkeinginan dan melaksanakan pemberian palayanan dengan tanggap. Ketiga: jaminan artinya karyawan/staf memiliki kompetensi, kesopanan dan dapat dipercaya, bebas dari bahaya, ini merefleksikan kompetensi perusahaan. Keempat: bukti fisik atau bukti langsung artinya berupa ketersediaan sarana dan prasarana termasuk alat yang siap pakai serta penampilan karyawan/staf yang menyenangkan. Kelima: empati artinya karyawan mampu menempatkan dirinya pada pelanggan, dapat berupa kemudahan dalam menjalin hubungan dan komunikasi termasuk perhatiannya terhadap para pelanggan(12). Penelitian Wiyono cit Anggraini mengungkapkan kepuasan pelanggan rumah sakit atau organisasi pelayanan kesehatan lain atau kepuasan pasien dipengaruhi banyak faktor antara lain pendekatan dan perilaku petugas, mutu informasi, prosedur perjanjian, waktu tunggu, fasilitas umum yang tersedia, fasilitas perhotelan seperti mutu makanan, kunjungan dari pasien dan perawatan yang diterima(11). Salah satu faktor kepuasan pasien adalah pendekatan dan perilaku petugas yaitu komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik merupakan hal yang sangat penting bagi perawat
Puyan Lukman Hadi, Tri Prabowo, Brune Indah Yulitasari, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 1, Tahun 2013, 6-11
untuk mendukung proses keperawatan. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan untuk fasilitas umum yang disediakan di Puskesmas seperti ruang tunggu, ruang perawatan, toilet, tempat parkir penempatan tempat diatur dengan baik dan dijaga kebersihannya dan dari hasil wawancara dengan perawatnya, semua ini dilakukan untuk membuat pasien nyaman berada di Puskesmas baik saat perawatan atau tidak dalam perawatan dengan fasilitas yang tersedia. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan ada hubungan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kepuasan pasien di Puskesmas Dukun Magelang, sebagian besar komunikasi terapeutik perawat di Puskesmas Dukun Magelang adalah berada dalam kategori cukup baik, sebagian besar tingkat kepuasan pasien di Puskesmas Dukun Magelang berada dalam kategori puas. Bagi petugas kesehatan perlu meningkatkan perbaikan mutu pelayanan di Puskesmas agar kepuasan dapat ditingkatkan dan diadakannya saran untuk menilai atau mengetahui kepuasan pasien di Puskesmas. Perlu mengoptimalkan dalam melakukan komunikasi terapeutik dengan pasien untuk meningkatkan hubungan antara perawat dengan pasien menjadi lebih baik dan meningkatkan tingkat kepuasan pasien. RUJUKAN 1. Murwani I, Istichomah. Komunikasi Terapeutik Panduan Bagi Perawat. Yogyakara: Fitramaya; 2009.
2. Priyanto A. Komunikasi dan Konseling. Jakarta: Salemba Medika; 2009. 3. Sari D. Manajemen Pemasaran Usaha Kesehatan. Yogyakarta: Mitra Cendika; 2008. 4. Nursalam. Manajemen Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika; 2011. 5. Dinkes. Laporan Kesehatan Daerah. Jawa Tengah [Internet]. 2005 [cited 2012 Mar 11]. Available from: http://www.dinkesjateng.go.id/ dokumen/inventorianalisispultra05. htm.Minggu 6. Alvian E. Hubungan Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Tingkat Kepuasan Pasien di RSUD Margono Purwokerto. Fakultas Ilmu Keperaatan Universias Muhammadiyah Purwokerto. 2007. 7. Maria S. Hubungan Antara Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik Perawat Dengan Tingkat Kepuasan Pasien di RSUD Dr. Soedjati Grobogan. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Gajahmada. 2002. 8. Ferry E, Makhfudli. Keperawatan Kesehatan Komunitas. Jakarta: Salemba Medika; 2009. 9. Fais S, Sitti S. Organisasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan serta Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika; 2009. 10. Mahfoedz I. Statistika Nonparametrik. Yogyakarta: Fitramaya; 2010. 11. Anggraini F. Hubungan komunikasi terapeutik perawat dalam tindakan keperawatan dengan tingkat kepuasan klien di ruang rawat inap RSUD Wates Kulon Progo Yogyakarta. 2008. 12. Bustami. Penjaminan Mutu Pelayanan Kesehatan dan Akseptabilitasnya. Jakarta: Erlangga; 2011.
Komunikasi Terapeutik Perawat Berhubungan dengan Tingkat Kepuasan Pasien di Puskesmas Dukun Magelang
11
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Minat Ibu Hamil dalam Mengikuti Senam Hamil di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan, Bantul Dewi Masrurin1, Sri Subiyatun2, Nur Indah Rahmawati3 1,2,3 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta
Abstrak BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul rata-rata ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya sebanyak 110 orang sedangkan ibu hamil yang mengikuti senam hamil di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul hanya sekitar 40 ibu hamil. Senam hamil sangat bermafaat bagi ibu hamil. Namun kurangnya minat ibu hamil mengikuti senam hamil dan menyadari pentingnya senam hamil bagi ibu maupun janinnya. Tujuan penelitian untuk mengetahui minat ibu hamil dalam mengikuti senam hamil di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul Tahun 2012. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif, Rancangan penelitian ini adalah cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu hamil yang memeriksakan kehamilan di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo. Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik total sampling, besar sampel 52. Analisis yang digunakan univariat. Hasil penelitan minat ibu hamil dalam mengikuti senam hamil di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul pada kategori sedang sebanyak 27 orang (51,9%), responden pada kategori tinggi sebanyak 18 orang (34,6%) dan yang berada pada kategori rendah sebanyak 7 orang (13,5%). Kesimpulan hasil pengolahan data menunjukan gambaran minat ibu hamil dalam mengikuti senam hamil di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul pada kategori sedang yaitu sebanyak 27 orang (51,9%) Kata Kunci: minat, ibu hamil, senam hamil
Info Artikel: Artikel dikirim pada 27 Desember 2012 Artikel diterima pada 27 Desember 2012 PENDAHULUAN Angka Kematian Ibu (AKI) Indonesia secara Nasional dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2007, dimana menunjukkan penurunan yang signifikan dari tahun ke tahun. Berdasarkan SDKI survei terakhir tahun 2007 AKI Indonesia sebesar 228 per 100.000 Kelahiran Hidup, meskipun demikian angka tersebut masih tertinggi di Asia. Sementara target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ada sebesar per 100.000 Kelahiran Hidup(1). Berdasarkan data di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan registrasi penduduk pada tahun 2006, angka kematian ibu pada tahun 2004 yaitu sebanyak 5 orang. Dalam jangka waktu satu tahun tersebut terdapat 5 kasus kematian ibu(2). Obesitas menjadi epidemi di seluruh dunia, prevalensi selama usia reproduksi juga meningkat. Laporan yang mengkhawatirkan menyatakan bahwa dua pertiga orang dewasa di Amerika Serikat kelebihan
12
berat badan atau obesitas, dengan setengah dari mereka dalam kategori yang terakhir, dan tingkat ibu hamil obesitas diperkirakan mencapai 18-38%. Para wanita ini yang menjadi perhatian utama untuk penyedia kesehatan perempuan karena mereka menghadapi banyak kehamilan yang berhubungan dengan komplikasi. Laporan terakhir menunjukkan bahwa obesitas selama kehamilan dapat menjadi faktor risiko mengalami obesitas, diabetes, dan penyakit kardiovaskular pada bayi baru lahir di kemudian hari(3). Pada tahun 2002, American College of Obstetricians dan Gynecologists menerbitkan panduan senam selama kehamilan, yang menunjukkan bahwa jika tidak ada komplikasi medis atau obstetrik, 30 menit atau lebih olahraga ringan sehari pada sebagian besar, jika tidak semua, 2 hari dalam seminggu dianjurkan untuk ibu hamil. Namun, panduan ini tidak mendefinisikan ‘intensitas sedang’ atau jumlah tertentu dari pengeluaran kalori mingguan dari aktivitas fisik yang diperlukan.
Dewi Masrurin, Sri Subiyatun, Nur Indah Rahmawati, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 1, Tahun 2013, 12-17
Beberapa penelitian telah menyatakan mengenai manfaat senam hamil bagi ibu hamil dalam persiapan persalinannya, antara lain pada tahun 2002, Gunadi K meneliti pengaruh senam hamil terhadap lama dan cara persalinan pada wanita hamil yang melakukan pemeriksaan antenatal di poliklinik Sardjito Yogyakarta. Beliau menyimpulkan bahwa senam hamil menurunkan insidensi partus lama, malpresentasi, inertio uteri (stimulasi persalinan) dan partus tindakan(4). Efek dari senam hamil selama kehamilan pada intensitas nyeri pinggang dan kinematika dari tulang belakang dan hasilnya bisa di ambil kesimpulan senam hamil selama kehamilan secara signifikan mengurangi intensitas nyeri punggung rendah, tidak memiliki efek terdeteksi pada lordosis dan memiliki dampak yang signifikan terhadap fleksibilitas tulang belakang(5). Pergerakan dan latihan dari senam kehamilan tidak saja menguntungkan sang ibu, tetapi juga sangat berpengaruh terhadap kesehatan bayi yang dikandungnya. Pada saat bayi mulai dapat bernafas sendiri, maka oksigen akan mengalir kepadanya melalui plasenta, yaitu dari aliran darah ibunya ke dalam aliran darah bayi yang dikandung. Senam kehamilan akan menambah jumlah oksigen dalam darah di seluruh tubuh sang ibu dan karena itu aliran oksigen kepada bayi melalui plasenta juga akan menjadi lancar(6). Latihan senam hamil tidak dapat dikatakan sempurna bila pelaksanaannya tidak disusun secara teratur yaitu minimal satu kali dalam seminggu yang dimulai saat umur 24 minggu. Dengan mengikuti senam hamil secara teratur dan insentif, wanita tersebut akan menjaga kesehatan tubuhnya dan janin yang dikandungnya secara optimal(7). Minat adalah suatu fungsi jiwa untuk dapat mencapai sesuatu(8). Minat mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku karena dengan minat seseorang akan melakukan sesuatu akan melakukan sesuatu yang diminatinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi minat antara lain: pendidikan, umur, pekerjaan, pengalaman, tanggung jawab, dan informasi. Bila seorang ibu hamil menyadari bahwa senam hamil adalah penting untuk menuju kelahiran yang lancar dan bermanfaat selama masa kehamilan yaitu memberikan rasa nyaman dan mengatasi keluhan yang dirasakan kemungkinan besar ia akan keluar untuk mempelajari dan mengikuti senam hamil(9). Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa senam hamil sangat bermafaat bagi ibu hamil. Namun kurangnya minat ibu hamil mengikuti senam hamil dan menyadari pentingnya senam hamil bagi
ibu maupun janinnya. Dari data pra survei tetang kegiatan ibu hamil di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul. Di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul telah terjadwal senam hamil dilakukan 2 kali dalam sebulan yaitu minggu ke 2 dan minggu ke 4. Ibu hamil yang memeriksakan kehamilan ratarata pada bulan Januari, Februari dan Maret tahun 2012 adalah sebanyak 110 sedangkan ibu hamil yang mengikuti seam hamil di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul hanya sekitar 40 ibu hamil. Dengan wawancara telah di dapatkan 20 orang ibu hamil yang periksa hamil ada 8 orang yang berminat mengikuti senam hamil dan 12 orang yang tidak berminat mengikuti senam hamil. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran minat ibu hamil megikuti senam hamil di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul. Tujuan penelitian untuk mengetahui minat ibu hamil dalam mengikuti senam hamil di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul. BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan rancangan penelitian ini adalah cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil yang periksa hamil dengan usia kehamilan trimester II dan III di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul pada 4-10 Juni 2012 sebanyak 52 orang. Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik total sampling, atau sampel jenuh sebesar 52 orang ibu hamil. Variabel dalam penelitian ini adalah variabel tunggal, yaitu gambaran minat ibu hamil dalam mengikuti senam hamil. Penelitian ini dilaksanakan di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul. Waktu penelitian dilaksanakan pada 4-10 Juni 2012. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner. Kuesioner dalam penelitian ini telah mengadopsi dari penelitian Setyarini yang telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas(10). HASIL DAN BAHASAN Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Hasil distribusi frekuensi adalah berupa datadata yang diperoleh dari responden yang berjumlah 52 orang ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul. Berdasarkan Tabel 1 berdasarkan umur menunjukkan bila sebagian besar responden berada pada umur 20-35 tahun sebanyak 41 orang (78,8%),
Minat Ibu Hamil dalam Mengikuti Senam Hamil di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan, Bantul
13
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur, Pendidikan, dan Pekerjaan di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul Karakteristik Umur (tahun) 20-35 >35 Pendidikan SD SLTP SLTA PT Pekerjaan Tidak Bekerja Bekerja Jumlah
f
%
41 11
78,8 21,2
7 13 19 13
13,5 25 36,5 25
Umur
31 21 52
59,6 40,4 100
20-35 >35 Total
Sumber: Data Primer Tahun 2012
dan pada umur >35 tahun adalah sebanyak 11 orang (21,2%). Berdasarkan pendidikan menunjukkan bila sebagian besar responden dengan pendidikan terakhir SLTA sebanyak 19 orang (36,5%), 13 orang (25%) ibu hamil dengan pendidikan terakhir SLTP, dengan jumlah sama yaitu 13 orang (25%) ibu hamil yang pendidikan terakhir PT dan sebagian kecil berada pada ibu hamil dengan pendidikan terakhir SD sejumlah 7 orang (13,5%). Berdasarkan pekerjaan menunjukkan bila sebagian besar responden sebagai ibu rumah tangga sebanyak 31 orang (59,6%), dan ibu hamil yang bekerja sebanyak 21 orang (40,4%). Deskripsi Jawaban Responden Mengenai Gambaran Minat Ibu Hamil dalam Mengikuti Senam Hamil Distribusi jumlah ibu hamil berdasarkan minat dalam mengikuti senam hamil disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Minat Ibu Hamil dalam Mengikuti Senam Hamil Kriteria Tinggi Sedang Rendah Total
n
%
18 27 7 52
34,6 51,9 13,5 100
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Berdasarkan Tabel 2 di atas, menunjukan bahwa responden memberikan jawaban paling banyak berada pada kategori sedang sebanyak 27 orang (51,9%), responden pada kategori tinggi sebanyak 18 orang (34,6%) dan yang berada pada kategori rendah sebanyak 7 orang (13,5%). 14
Deskripsi Jawaban Responden Mengenai Gambaran Minat Ibu Hamil dalam Mengikuti Senam Hamil Berdasarkan Umur, Pendidikan, dan Pekerjaan Distribusi jumlah ibu hamil berdasarkan umur dalam mengikuti senam hamil disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Minat Senam Hamil Berdasarkan Umur Minat Mengikuti Senam Hamil Tinggi Rendah Sedang Total f % f % f % 15 28,8 21 40,4 5 9,6 41 3 5,8 6 11,5 2 3,8 11 18 34,6 27 51,9 7 13,5 52
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Berdasarkan Tabel 3 di atas ibu hamil dengan umur 20-35 tahun atau umur produktif memiliki minat yang tinggi sebanyak 15 orang (28,8%), minat yang sedang sebanyak 21 orang (40,4%), sedangkan yang memiliki minat yang rendah sebanyak 5 orang (9,6%). Dan ibu hamil yang berumur >35 tahun 3 orang (5,8%) memiliki minat tinggi dalam mengikuti senam hamil, yang memiliki minat sedang sebanyak 6 orang (11,5%), dan 2 orang (3,8%) memiliki minat rendah untuk mengikuti senam hamil. Tabel 4. Minat Senam Hamil Berdasarkan Pendidikan Pendidikan SD SLTP SLTA PT Total
Minat Mengikuti Senam Tinggi Sedang Rendah f % f % f % 1 1,9 5 9,6 1 1,9 2 3,8 10 19,2 1 1,9 7 13,5 8 15,4 4 7,7 8 15,4 4 7,7 1 1,9 18 34,6 27 51,9 7 13,5
Total 7 13 19 13 52
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Berdasarkan Tabel 4 di atas ibu hamil yang berpendidikan SD memiliki minat tinggi hanya 1 orang (1,9%), minat sedang sejumlah 5 orang (9,6%), dan yang memiliki minat yang rendah juga hanya 1 orang (1,9%). Ibu hamil yang berpendidikan terakhir SLTP memiliki minat tinggi sebanyak 2 orang (3,8%), 10 orang (19,2) memiliki minat sedang, dan yang memiliki minat rendah hanya 1 orang (1,9%). Yang berpendidikan terakhir SLTA ibu hamil yang memilki minat yang tinggi 7 orang (13,5%), 8 orang (15,4%) memiliki minat yang sedang dan yang memiliki minat rendah sebanyak 4 orang (7,7%). Sedangkan ibu hamil yang pendidikan terakhir PT yang memiliki minat yang tinggi paling banyak yaitu sebanyak 8
Dewi Masrurin, Sri Subiyatun, Nur Indah Rahmawati, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 1, Tahun 2013, 12-17
orang (15,4%). Memiliki minat sedang sebanyak 4 orang (7,7%), dan yang minat rendah hanya 1 orang (1,9%). Tabel 5. Minat Senam Hamil Berdasarkan Pekerjaan Pekerjaan Bekerja Tidak Bekerja Total
Minat Mengikuti Senam Tinggi Sedang Rendah f % f % f % 9 17,3 10 19,2 2 3,8 9 17,3 17 32,7 5 9,6 18 34,6 27 51,9 7 13,5
Total 21 31 52
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Berdasarkan Tabel 5 di atas ibu hamil yang bekerja yang memiliki minat tinggi sebanyak 9 orang (17,3%), yang memiliki minat sedang sebanyak 10 orang (19,2%), 2 orang (3,8%) ibu hamil yang memiliki minat yang rendah. Dan sedangkan ibu hamil yang tidak bekerja memiliki minat tinggi sebanyak 9 orang (17,3%), sebanyak 17 orang (32,7%) ibu hamil yang tidak bekerja memiliki minat sedang, dan yang memiliki minat rendah sejumlah 5 orang (9,6%). Minat Ibu Hamil Dalam Mengikuti Senam Hamil Berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan peneliti maka didapatkan hasil minat ibu hamil dalam mengikuti senam hamil di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul berada pada kategori sedang yaitu sebanyak 27 orang (51,9%), responden yang berada pada kategori tinggi sebanyak 18 orang (34,6%) dan kategori rendah sebanyak 7 orang (13,5%). Frekuensi Ibu Hamil Yang Memeriksakan Kehamilannya Ibu hamil yang memeriksakan kehamilan di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul sebanyak 41 orang (78,8%) adalah yang memiliki umur produktif yaitu pada umur 20-35 tahun, hal ini menunjukan bila ibu hamil yang masih berada di umur produktif lebih peduli terhadap kehamilannya dan ibu hamil yang berumur produktif masih aktif untuk mencari-cari informasi tentang manfaat senam hamil dalam masa kehamilan dan menuju proses persalinan. Sembilan belas orang (36,5%) ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul berpendidikan SLTA, hal ini dikarenakan ibu hamil yang memiliki pendidikan tinggi akan lebih mengetahui betapa pentingnya untuk menjaga kesehatan ibu dan janinnya selama kehamilan karena ibu mudah menerima informasi tentang kehamilan dan mendapat informasi tentang kehamilan dari banyak kalangan atau dari banyak
forum pendidikan. Sedangkan 31 orang (59,6%) ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul rata-rata ibu hamil yang tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga, hal ini dikarenakan pada ibu yang tidak bekerja memiliki banyak peluang untuk memeriksakan kehamilannya dibandingkan dengan ibu hamil yang bekerja dan memiliki banyak kesempatan untuk tetap menjaga kesehatan kehamilannya dengan cara dengan rutin melakukan kunjungan untuk melakukan konsultasi kepada bidan tentang kehamilannya. Hasil pengisian kuesioner yang telah peneliti berikan pada ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul telah didapatkan sebagian besar memiliki minat untuk melakukan senam hamil adalah sedang dengan jumlah 27 orang (51,9%). Berdasarkan Tabel 3 ibu hamil yang memiliki minat tinggi telah didominasi ibu hamil dengan umur produktif atau dengan umur 20-35 tahun, ini dikarenakan ibu hamil yang berumur produktif masih memilki stamina yang bagus untuk mengikuti senam hamil, jadi umur memiliki faktor minat ibu dalam mengikuti senam hamil selama masa kehamilan. Berdasarkan Tabel 4 dilihat dari segi pendidikan, ibu hamil yang berpendidikan terakhir PT dengan jumlah 8 orang, dan ibu hamil yang berpendidikan SLTA dengan jumlah 7 orang, ini menunjukkan bahwa pendidikan memiliki faktor atau sangat berpengaruh dalam minat ibu hamil dalam mengikuti senam hamil di BPRB Bina Sehat, ini dikarenakan ibu hamil dengan memiliki pendidikan yang tinggi telah paham bagaimana pentingnya senam hamil dalam masa kehamilan karena ibu telah mudah menyerap informasi dengan baik, dan memiliki mendapat informasi tentang senam hamil dari banyak kalangan. Dilihat dari Tabel 5 ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya di BPRB Bina Sehat yang memiliki minat tinggi dilihat dari segi pekerjaan. Ibu hamil yang tidak bekerja atau ibu sebagai IRT yang paling banyak yaitu sebanyak 31 orang. Ini dikarenakan ibu hamil yang tidak bekerja telah mempunyai kesempatan banyak waktu untuk mengikuti senam hamil, dan memiliki banyak waktu untuk mencari informasi manfaat senam hamil selama masa kehamilan dan persiapan dalam persalinan. Ini menujukkan bahwa dari segi pekerjaan juga mempengaruhi minat ibu hamil dalam mengikuti senam hamil. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa minat ibu hamil dalam mengikuti senam hamil di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan bantul memilki kategori sedang, yang telah didominasikan oleh ibu hamil yang berumur produktif, memiliki pendidikan
Minat Ibu Hamil dalam Mengikuti Senam Hamil di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan, Bantul
15
yang tinggi, dan tidak bekerja. Ini menunjukkan usia, pendidikan dan pekerjaan merupakan faktor minat ibu hamil dalam mengikuti senam hamil. Ini sesuai dengan teori Hurlock. E.B bahwa faktor yang memiliki pengaruh minat dalam mengikuti senam hamil adalah umur, pendidikan, pekerjaan, pengalaman, tanggung jawab dan informasi(9). Hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ibu hamil yang berumur produktif yang memilki stamina yang bagus, semakin banyak informasi atau pengetahuan ibu hamil terhadap pentingnya senam hamil dalam kehamilan dan untuk menuju kelahiran, dan ibu hamil yang tidak bekerja yang banyak memilki banyak waktu untuk mengikuti senam hamil dan menggali informasi tentang manfaat senam hamil dalam kehamilan maka akan semakin tinggi minat ibu hamil untuk mengikuti senam hamil. Dan semakin tinggi minat mengikuti senam hamil pada ibu hamil akan dapat mendorong ibu hamil untuk melakukan senam hamil dengan rutin dan teratur. Karena dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa usia, pendidikan dan pekerjaan adalah faktor minat ibu hamil dalam mengikuti senam hamil atau sangat mempengaruhi minat ibu hamil untuk mengikuti senam hamil atau tidak mengikuti senam hamil. Dapat dihubungkan dengan penelitian sebelumnya, yaitu pada penelitian Vioni yang menyatakan hasil tingkat pengetahuan ibu hamil tentang senam hamil di RB Amanda dalam kategori sedang (47,5%), ini menunjukan bahwa pengetahuan ibu tentang senam hamil akan membuat ibu mengikuti senam hamil dengan rutin(11). Dan pada penelitian Setyarini, dengan hasil sedang 48,5%, ini menunjukan minat ibu hamil untuk mengikuti senam hamil masih belum begitu tinggi, seperti halnya hasil dalam penelitian ini, maka dari itu masih sangat dibutuhkan seperti penyuluhan tentang manfaat senam hamil dalam masa kehamilan dan menuju proses kehamilan(10). Hasil wawancara pada 20 orang ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul, didapatkan 8 orang yang berminat mengikuti senam hamil dan 12 orang yang tidak berminat mengikuti senam hamil. Ini telah sesuai dengan hasil penelitian ini, yang menunjukkan minat ibu hamil dalam mengikuti senam hamil adalah sedang (51,9%). Dengan ini ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul masih ada sebagian yang belum memiliki minat melakukan senam hamil, tapi sebagian sudah sangat berminat untuk mengikuti senam hamil. BPRB Bina Sehat tinggal memberi penjelasan pada ibu hamil yang 16
memeriksakan kehamilannya tentang manfaat senam hamil dalam masa kehamilan dan menuju proses persalinan. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Neoeasy, mendefinisikan minat sebagai suatu kecenderungan untuk bertingkah laku yang berorientasi kepada objek, kegiatan, atau pengalaman tertentu, dan kecenderungan tersebut antara individu yang satu dengan yang lain tidak sama intensitasnya(12). Menurut Hurlock.E.B yaitu minat mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku karena dengan minat seseorang akan melakukan sesuatu yang diminatinya(9). Faktor-faktor yang mempengaruhi minat antara lain: pendidikan, umur, pekerjaan, pengalaman, tanggung jawab dan informasi. Bila seorang ibu hamil menyadari bahwa senam hamil adalah penting untuk menuju kelahiran yang lancar dan bermanfaat selama masa kehamilan yaitu memberikan rasa nyaman dan mengatasi keluhan yang dirasakan kemungkinan besar dia akan keluar masuk mempelajari dan mengikuti senam hamil. Hal ini membuktikan bahwa ibu hamil yang mengetahui betapa pentingnya senam hamil selama kehamilan dan untuk menuju kelahiran akan dapat meningkatkan minat senam hamil ibu hamil dalam mengikuti senam. Dan ibu hamil yang memiliki minat untuk senam hamil akan mendorong ibu untuk mengikuti maupun melakukan senam hamil dengan rutin. SIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian terhadap 52 orang ibu hamil yang memeriksakan di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul dan berdasarkan hasil analisis mengenai minat ibu hamil dalam mengikuti senam hamil dapat ditarik kesimpulan gambaran minat ibu hamil dalam mengikuti senam hamil di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul pada kategori sedang yaitu sebanyak 27 orang (51,9%), ibu hamil yang memeriksakan kehamilan di BRBB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul rata-rata berada di umur 2035 tahun, Ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul mayoritas ibu hamil yang berpedidikan SLTA sebanyak 19 orang (36,5%), ibu hamil yang memeriksakan kehamilan di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan Bantul sebanyak 31 orang (59,6%) ibu hamil tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka saran agar ibu hamil dapat mengerti betapa pentingnya senam hamil dalam masa kehamilan, oleh sebab itu ibu hamil diharapkan untuk mengikuti senam hamil dengan rutin agar kehamilannya sehat, dan bisa memperisapkan diri dan mental agar lebih
Dewi Masrurin, Sri Subiyatun, Nur Indah Rahmawati, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 1, Tahun 2013, 12-17
siap dalam menghadapi persalinan, agar bidan melakukan penyuluhan dan pembinaan kepada ibu-ibu hamil mengenai pentingnya senam hamil, manfaat senam hamil yang benar, cara melaksanakan senam hamil yang baik dan benar serta memberikan informasi sebanyak mungkin kepada ibu hamil untuk meingkatkan minat ibu hamil dalam mengikuti senam hamil selama masa kehamilan. RUJUKAN 1. Muliadi A. Angka Kematian Ibu Melahirkan [internet]. 2007 [cited 2012 Apr 20]. Available from: www.freetechebooks.com. 2. Priyanto A. 2012. AKI DIY Lebih Rendah dari Nasional [intrnet]. 2012 [cited 2012 Mar 12]. Available from: www.jogja.antaranews.com. 3. Aviram, Amir, Moshe H, Yariv Y. Ibu Obesitas: Implikasi bagi kehamilan dan Resiko Jangka Panjang [internet]. 2011 [cited 2012 Apr 12]. Available from: http://www.ijgo.org. 4. Maryuni, Sukaryati Y. Senam Hamil, Senam Nifas, dan Terapi Musik. Jakarta: Trans Info Media; 2011.
5. Garshasbi A, Zadeh, Faqhih. Pengaruh Senam Hamil Pada Intensitas Nyeri Pinggang Pada Ibu Hamil [internet]. 2004 [cited 2012 Apr 20]. Available from: www.ijgo.org. 6. Sani. Menuju Kelahiran yang Alami. Jakarta: Raja GrajindoPersada; 2002. 7. Manuaba. Buku Ajar Patalogi Obstetri Untuk Mahasiswa Kebidanan. 1st ed. Jakarta: EGC; 2006. 8. Purwanto H. Pengantar Perilaku Manusia Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC; 2002. 9. Hurlock EB. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga; 2002. 10. Setyarini D. Minat Ibu Hamil Untuk Mengikuti Senam Hamil di RB Puri Adisty Rejowinangun Yogyakarta. Yogyakarta: STIKES AISYIYAH; 2008. 11. Vioni A. Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Senam Hamil di RB Amanda Gamping Sleman Yogyakarta. Yogyakarta: STIKES ALMA ATA; 2011. 12. NeoEasy. Konsep Minat [internet]. 2010 [cited 2012 Mar 12]. Available from: www.creasoft. wordpress.com.
Minat Ibu Hamil dalam Mengikuti Senam Hamil di BPRB Bina Sehat Bangunjiwo Kasihan, Bantul
17
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Gambaran Diri Tidak Berhubungan dengan Tingkat Depresi pada Lansia di UPT Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta Arif Kusmiarto1, Hamam Hadi2, Rista Apriana3 1,2,3
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta
Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta Abstrak Depresi terus menjadi sumber perdebatan terpusat pada persoalan pada pemahaman kita tentang penyebab dan perkembangannya yang sangat pesat. Depresi pada lansia lebih banyak tampil dalam perubahan fisik, seperti kelelahan kronis, gangguan tidur, penurunan berat badan. Depresi pada lansia juga dapat tampil dalam bentuk perilaku denial, merasa dirinya sudah tak berharga, ansietas atau penurunan fungsi kognitif, dan gangguan konsep diri seperti gambaran diri. Tingkat depresi muncul apabila lansia mengalami perubahan fisik yang menyebabkan gambaran dirinya buruk. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan antara gambaran diri dengan tingkat depresi pada lansia di UPT Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta. Jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian cross-sectional. Sampel diambil dengan teknik total sampling yaitu semua lansia yang tinggal di panti yang berjumlah 43 orang lansia. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner. Variabel penelitiannya adalah gambaran diri dan tingkat depresi pada lansia. Pengolahan dan analisis data menggunakan uji statistik chi-square. Hasil penelitian menunjukkan (81,2%) lansia mengalami gambaran diri dalam kategori sedang dengan tidak mengalami depresi, sedangkan lansia yang memiliki gambaran diri dalam kategori baik yaitu (100%) dengan lansia tidak mengalami depresi. Hasil p-value=0,312 (p=0,05). Kesimpulan rata-rata lansia yang tinggal di Panti Budhi Dharma tidak mengalami gangguan gambaran diri dan tidak mengalami depresi. Hipotesis yang diajukan ditolak, sehingga tidak ada hubungan antara gambaran diri dengan tingkat depresi pada lansia di UPT Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta. Kata Kunci: lansia, gambaran diri, depresi
Info Artikel: Artikel dikirim pada 2 Februari 2013 Artikel diterima pada 7 Februari 2013 PENDAHULUAN Populasi pertumbuhan penduduk lansia (lanjut usia) di Indonesia berkembang secara pesat. Setiap individu tentunya akan mengalami masa menua seiring bertambahnya umur dan penurunan kekuatan atau aktivitas dan kegiatannya. Pada saat memasuki masa tua, sebagian lanjut usia dapat menjalaninya dengan bahagia, namun tidak sedikit dari mereka yang mengalami kesedihan atau rasa ketidakpastian dalam menjalani hidup(1). Proses menua adalah proses alamiah manusia yang mengalami penurunan kemampuan jaringan serta membawa permasalahan yang kompleks termasuk masalah psikososial. Dengan demikian lansia pun akan mengalami masalah fisik, sosial, ekonomi dan psikologis, sehingga mengakibatkan penurunan status mental seperti depresi(1).
18
Depresi merupakan serangkaian emosi yang bersifat dinamik, mengikuti suasana perasaan internal maupun eksternal individu. Data WHO menyebutkan bahwa pada tahun 2020, depresi berat akan menduduki peringkat atas, termasuk depresi pada lanjut usia (lansia) juga mengalami peningkatan. Kondisi ini memerlukan perhatian yang lebih dari pemberi layanan kesehatan seperti perawat(1). Depresi terus menjadi sumber perdebatan terpusat pada persoalan pada pemahaman kita tentang penyebab dan perkembangannya yang sangat pesat. Depresi pada lansia seringkali lambat terdeteksi karena gambaran klinisnya tidak khas. Depresi pada lansia lebih banyak tampil dalam keluhan somatis, seperti kelelahan kronis, gangguan tidur, penurunan berat badan, depresi pada lansia juga dapat tampil dalam bentuk perilaku denial (penolakan), merasa dirinya sudah tak berharga,
Arif Kusmiarto, Hamam Hadi, Rista Apriana, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 1, Tahun 2013, 18-22
ansietas atau penurunan fungsi kognitif, dan gangguan konsep diri seperti gambaran diri(2). Konsep diri erat kaitannya dengan depresi pada individu terutama komponen gambaran diri. Kehidupan yang sehat, baik fisik maupun psikologi salah satunya di dukung yang baik dan stabil. Konsep diri merupakan ide atau pikiran individu tentang dirinya dan erat kaitannya berhubungan dengan pengaruh terhadap lingkungan sosialnya dan ini bisa dipelajari dan dilihat dengan kontak langsung seperti wawancara, dan kontak sosial mengenai pandangan orang lain mengenai dirinya(3). Salah satu komponen dalam konsep diri adalah gambaran diri, yaitu sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Penyebab dari gangguan gambaran diri bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain perkembangan, budaya, keluarga, psikologi, penampilan interpersonal terhadap kondisi tubuhnya dalam sudut pandang lansia yang menyebabkan munculnya depresi(4). Gambaran diri yang buruk, atau tidak terkontrol akan menyebabkan depresi yang fluktuaktif. Gambaran diri tersebut dapat berupa ketidakmampuan lansia dalam menerima kondisi atau perubahan terhadap dirinya, seperti mengingkari apa yang telah terjadi pada dirinya (denial), perilaku yang berlebihan atau pendiam, penolakan akan hal yang ada dalam tubuhnya sekarang, dan kecemasan akan masa depannya(3). Dari hasil studi pendahuluan yang dilaksanakan pada bulan November 2010 di UPT Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta didapatkan jumlah lansia sebanyak 58 orang, dengan jumlah lansia laki laki 19 orang dan jumlah lansia perempuan sebanyak 39 orang. Dari hasil wawancara 10 lansia, 8 diantaranya cenderung menunjukkan perubahan perilaku, diantaranya seperti berat badan menurun, diam, kurang semangat, sulit tidur, dan menunjukkan sikap ketidaksenangan terhadap berbagai aktivitas yang dilakukan. Mereka cenderung putus asa dengan keadaaannya, sering diam, selalu kelihatan sedih dan murung, merasa tidak berguna di lingkungan sosial karena keterbatasan aktivitas dikarenakan penyakitnya seperti stroke, DM, TBC, buta, tuli, penyakit jantung, dan cacat fisik seperti amputasi kaki dan tangan. Meskipun pelayanan dari panti sudah cukup maksimal, banyak lansia menunjukkan adanya gejala depresi yang disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap pencapaian gambaran diri seperti bergantung kepada alat bantu, perubahan fisik yang menurun. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena peneliti melihat gangguan depresi pada lansia mengalami kecenderungan untuk meningkat setiap tahunnya. Selain itu peningkatan depresi ini harus terus diwaspadai karena depresi juga dapat memicu terjadinya kejadian bunuh diri pada lansia yang mengakibatkan meningkatnya jumlah lansia yang mengalami depresi
yang khususnya dikarenakan gambaran diri yang buruk, yang dikhawatirkan akan memicu terjadinya bunuh diri, kualitas hidup rendah. Maka diperlukan penelitian tentang hubungan gambaran diri dengan tingkat depresi pada lansia. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan antara gambaran diri dengan tingkat depresi pada lansia di UPT Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta. BAHAN DAN METODE Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian non ekperimental dengan rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh lansia yang berada di UPT Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta yaitu sebanyak 58 lansia. Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah lansia yang berada di panti wredha yang berjumlah 58 lansia, dengan menggunakan metode pengambilan sampel total sampling yang berarti peneliti mengambil sampel keseluruhan dari sampel yang akan diteliti dengan demikian hasil lebih representative. Kriteria sampel harus memenuhi kriteria inklusi lansia laki laki dan perempuan yang berusia minimal 60 tahun, lansia berada di UPT Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta, lansia mampu berkomunikasi dengan baik dan lancer, selama penelitian tinggal di UPT Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta, bersedia menjadi responden. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah lansia yang mempunyai penyakit dementia, lansia berada dikopel isolasi di UPT Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta. Lokasi penelitian dilakukan di UPT Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta, dilaksanakan pada tanggal 12, 13, 14 februari 2011. Alat dalam penelitian ini adalah kuesioner yang berupa sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden. Untuk mengukur tingkat depresi, menggunakan geriatric depresion scale(5). Dalam penelitian ini uji validitas dan reliabilitas diuji oleh Tuah, dapat diketahui bahwa tingkat validitas setiap item pertanyaannya adalah sahih, dengan nilai yang terdapat di r tabel dengan tingkat kesalahan 5% yaitu 0,444 dan hasil nilai reliabilitasnya 0,842621(6). Variabel independen adalah gambaran diri. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah tingkat depresi lansia. HASIL DAN BAHASAN Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah seluruh lansia yang ada di UPT Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yaitu sebanyak 43 lansia.
Gambaran Diri Tidak Berhubungan dengan Tingkat Depresi pada Lansia di UPT Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta
19
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Usia, Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan, Gambaran Diri, dan Tingkat Depresi Lansia di UPT Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta Karakteristik Usia 60-64 tahun 65-69 tahun 70-74 tahun 75-79 tahun >80 tahun Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP SMA Gambaran Diri Baik Buruk Tingkat Depresi Non Depresi Depresi Jumlah
f
%
6 9 16 8 9
14,0 20,9 37,2 18,6 9,3
17 26
39,5 60,5
26 7 4 6
60,5 16,3 9,3 14,0
11 32
25,6 74,4
37 6 43
86,0 14,0 100
Berdasarkan Tabel 1 responden pada penelitian ini mayoritas responden perempuan yaitu 26 orang (60,5%), berumur 70-74 tahun ada 16 orang (37,2%), dan tidak sekolah ada 26 orang (60,5%). Usia lansia antara 60–64 tahun sebanyak 6 orang (14,0%), usia 65–69 tahun sebanyak 9 orang (20,9%), usia 70–74 tahun sebanyak 16 orang lansia (37,2%), usia 75–79 tahun sebanyak 8 orang (18,6%) dan usia >80 tahun sebanyak 4 orang (9,3%). Jenis kelamin sebagian besar adalah perempuan yakni sebanyak 26 orang (60,5%) dan untuk laki-laki sebanyak 17 orang (39,5%). Pendidikan yaitu tidak bersekolah sebanyak 26 lansia (60,5%), SD sebanyak 7 lansia (16,3%), SMP sebanyak 4 lansia (9,3%), SMA sebanyak 6 lansia (14,0%). Gambaran diri baik sebanyak 11 orang (25,6%), dan gambaran diri buruk sebanyak 32 orang (74,4%). Lansia yang non depresi sebanyak 37 orang (86,0%), dan depresi sebanyak 6 orang (14,0%).
Hubungan antara gambaran diri dengan tingkat depresi pada penelitian ini menggunakan uji statistik chi-square untuk melihat adanya hubungan anatara dua variabel dikatakan signifikan bila nilai p<0,05 dan dinyatakan tidak signifikan bila nilai p= 0,057. Hasil penelitian pada Tabel 2 menunjukkan lansia dengan gambaran diri buruk sebagian besar tidak mengalami depresi sebanyak 26 orang (81,2%) dan lansia yang memiliki gambaran baik tidak mengalami depresi sebanyak 11 orang (100,0%). Hasil uji chi-square di atas diperoleh nilai hitung sebesar χ² 1,090 sedangkan χ² tabel 3,841, dengan tingkat a =0,05, dengan demikian χ² hitung <χ² tabel yaitu (1,090<3,841), dan nilai p=0,312 (p>0,05), maka Ha ditolak. Dari kedua analisis tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada hubungan yang siginifikan antara gambaran diri dengan tingkat depresi pada lansia di UPT Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia Lansia Hasil penelitian pada Tabel 1 menunjukkan karakteristik responden berdasarkan usia, sebagian besar lansia yang tinggal di panti berumur 70-74 tahun sebanyak 17 orang (37,2%). Meskipun depresi banyak terjadi pada lansia, namun faktor usia bukanlah faktor yang utama dari terjadinya depresi pada lansia, melainkan faktor perubahan fisik seperti penurunan fungsi tubuh, dan kecacatan fisik(8). Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Lansia Hasil penelitian dari Tabel 1 menunjukkan karakteristik lansia berdasarkan jenis kelamin, yakni 26 lansia perempuan (60,5%) dan 17 lansia laki laki (39,5%). Lansia perempuan lebih banyak daripada lansia laki laki di UPT Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta. Menurut Stanley, bahwa perempuan memiliki kecenderungan hampir dua kali lipat lebih besar dari pada pria untuk mengalami depresi berat(8). Besar resiko mengalami depresi semasa hidup pada wanita adalah sekitar 10% sampai 25%, dibandingkan dengan sekitar 5% sampai 12% untuk laki-laki. Meski perbedaan
Tabel 2. Tabulasi Uji Chi Square Gambaran diri terhadap Tingkat Depresi pada Lansia Gambaran Diri Buruk Baik Total
20
Tingkat Depresi Depresi Non Depresi f % f % 6 18,8 26 81,2 0 0 11 100,0 6 14,0 37 86,0
Total f 32 11,43 43
% 100,0 100,0 100,0
χ2 hitung
p-value
1,090
0,312
Arif Kusmiarto, Hamam Hadi, Rista Apriana, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 1, Tahun 2013, 18-22
hormonal atau perbedaan biologis lainya yang terkait dengan gender, penyebab lain yaitu banyaknya jumlah stress yang dihadapi perempuan dalam kehidupan kontemporer. Perempuan lebih cenderung dari pada pria untuk menghadapi faktorfaktor yang penuh tekanan seperti penganiayaan fisik dan seksual, kemiskinan, orang tua tunggal dan diskriminasi gender. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Pendidikan Hasil penelitian dari Tabel 1 menunjukkan karakteristik lansia berdasarkan tingkat pendidikan, sebagian besar kelayan tidak bersekolah yaitu sebnyak 26 lansia (60,5%). Lansia yang memiliki tingkat pendidikan lebih rendah memiliki resiko depresi yang lebih berat dibanding tingkat pendidikan yang lebih tinggi, namun hal tersebut merupakan kesekian dari faktor penyebab gambaran diri yang buruk serta depresi berat(8). Gambaran Diri Gambaran Diri adalah sikap seseorang terhadap dirinya secara sadar dan tidak sadar. Perilaku tersebut mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman baru setiap individu(4). Penelitian ini menunjukkan sebagian besar kelayan yang mempunyai gambaran diri dalam kategori sedang berjumlah 26 lansia (81,2%). Penelitian ini menggunakan interprestasi gambaran diri lansia pada UPT Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta adalah sedang dimana kelayan tidak mengalami gangguan gambaran diri karena sebagian dari responden mempunyai pandangan bahwa fisiknya masih dapat berfungsi secara normal. Pandangan yang realistik terhadap dirinya, menerima dan menyukai bagian tubuh akan memberikan rasa aman bagi lansia tersebut(8). Hal ini sesuai dengan penelitian Tuah yang menunjukkan bahwa gambaran diri pada lansia sebagian besar memang cukup baik atau sedang, yaitu lansia tidak mengalami gangguan gambaran diri dikarenakan masih mempunyai persepsi yang baik mengenai persepsi terhadap bagian tubuhnya, tidak bergantung dengan orang lain, serta mampu berorientasi dengan baik dalam lingkungan sosial yang baru(6). Hal tersebut diperkuat oleh teori Stuart dan Sundeen bahwa gambaran diri merupakan aspek dasar perilaku individu, sehingga dengan gambaran diri yang positif akan dapat berfungsi lebih efektif
yang terlihat dari penguasaan lingkungan yang mempengaruhinya(4). Tingkat Depresi Depresi adalah gangguan alam perasaan (mood), kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental seseorang. Umumnya mood yang secara dominan muncul adalah perasaan tidak berdaya dan kehilangan harapan hidup(1). Penelitian ini menunjukkan lansia yang mempunyai tingkat depresi dalam kategori tidak ada gejala depresi berjumlah 37 lansia (86,0%). Jumlah lansia yang non depresi lebih banyak daripada jumlah lansia yang depresi, jadi sampel yang diambil tidak bisa homogen. Selain itu, lansia di panti sudah dirawat secara holistik seperti kebutuhan mendapatkan makanan yang cukup sehari 3 kali makan, mengadakan senam lansia pada hari sabtu dari jam 07.10 sampai dengan 08.15 WIB, menyediakan pengasuh untuk merawat lansia yang sakit ringan tetapi bila lansia mengalami sakit berat seperti demam berdarah, malaria dan lain lain pihak panti akan merujuknya ke Puskesmas terdekat atau Rumah sakit Kota Wirosaban Yogyakarta, pengasuh panti pun sering berinteraksi sosial dan melakukan komunikasi terapeutik pada lansia serta pada hari sabtu lansia dihibur dengan bermain musik atau bernyanyi diruang khusus untuk para lansia mengekspresikan emosinya. Menurut Stuart, faktor faktor yang mempengaruhi terjadinya depresi antara lain adalah terjadinya episode depresif sebelumnya, riwayat keluarga yang mengalami depresi, percobaan bunuh diri, jenis kelamin wanita, kurangnya dukungan sosial, peristiwa kehidupan yang suram, dan sulitnya menerima keadaan diri dan lingkungan(9). Hal ini sesuai dengan penelitian Susilo yang menunjukkan bahwa sebagian besar lansia yang berada di panti wredha mengalami depresi ringan atau tidak mengalami depresi dikarenakan lansia mampu menerima dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya, dan lansia makin matur dalam kehidupannya sehari hari(10). Hal ini sependapat dengan teori Stanley manusia sebagai makhluk holistik meliputi bio-psikososial dan spiritual kultural. Itu menjadi prinsip keperawatan yang diberikan harus memperhatikan aspek tersebut(8). Lansia yang dirawat harus mendapatkan perhatian bukan hanya pada aspek biologis, tetapi dari aspek perubahan fisik, serta berusaha untuk memenuhi kebutuhannya, dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya, terus menerus menghadapi perubahan lingkungan dan berusaha beradaptasi dengan lingkungan.
Gambaran Diri Tidak Berhubungan dengan Tingkat Depresi pada Lansia di UPT Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta
21
Hubungan Antara Gambaran Diri Dengan Tingkat Depresi Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil p=0,312 yaitu p=0,05 yang berarti bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara gambaran diri dengan tingkat depresi pada lansia di UPT Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta. Hal tersebut dikarenakan karena jumlah sampel yang diambil tidak homogen, yaitu jumlah lansia yang mengalami depresi lebih sedikit daripada jumlah lansia yang tidak depresi. Secara proporsi pun menjelaskan bahwa semakin baik gambaran diri lansia, semakin baik pula tingkat depresinya, yaitu dibuktikan dengan hasil tabulasi menunjukkan bahwa lansia dengan gambaran diri buruk mengalami depresi sebanyak 6 lansia (18,8%) dan tidak mengalami depresi sebanyak 26 orang (81,2%) dan lansia yang memiliki gambaran baik keseluruhan tidak mengalami depresi sebanyak 11 orang (100,0%). Hal ini sesuai dengan penelitian Tuah yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara gambaran diri dengan tingkat depresi pada lansia di panti wredha dikarenakan konsep diri lansia positif sehingga tidak muncul gejala depresi berat pada lansia(6). Hal ini sesuai dengan penelitian Handayani menunjukan bahwa lansia yang memiliki gambaran diri yang baik maka semakin kecil kemungkinan depresi pada lansia tersebut(11). Hal ini sependapat dengan teori Nugroho beberapa faktor lainnya penyebab depresi antara lain ideal diri tidak realistis seperti individu yang selalu dituntut untuk berhasil akan merasa tidak punya hak untuk gagal dan berbuat kesalahan maka akan menyebabkan perasaan cemas, kebutuhan yang tak realistis, tidak ada keinginan untuk menghindari kegagalan, dan rendah diri(1). Harga diri dan peran diri pun mempengaruhi penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungannya, orang lain dan dirinya sendiri. Semakin baik harga diri dan peran diri lansia, semakin baik pula penyesuaian dirinya dan lebih mampu bereaksi terhadap rangsangan lingkungan atau orang lain dengan cara yang dapat diterima. Hal ini jelas akan semakin kecil pula kemungkinan depresinya, demikian pula sebaliknya(1). Hal ini diperkuat dengan teori Stanley bahwa lansia mengalami perubahan progresif yang bersifat irreversibel(8). Namun dengan adanya penurunan fisik, pola hidup lansia yang dijalani cukup baik, kekuatan semangat untuk beraktivitas masih tetap dimiliki juga penyakit yang diderita menjadi minimal dirasakan, sehingga gambaran diri dan tingkat depresi pada lansia bisa tetap terjaga dengan baik.
22
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian yang telah dianalisis dan dibahas dapat disimpulkan sebagian besar lansia mempunyai gambaran diri dalam kategori buruk, sebagian besar lansia tingkat depresinya berada dalam kategori tidak mengalami depresi, tidak ada hubungan yang signifikan antara gambaran diri dengan tingkat depresi pada lansia di UPT Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta. Berdasarkan hasil analisis data, pembahasan, dan kesimpulan tersebut di atas dapat disarankan bagi UPT Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta Pengasuh dapat mengupayakan tindakan pencegahan secara dini terhadap perubahan gambaran diri pada lansia sehingga lansia tidak mengalami depresi yang lebih berat, bagi perawat memberikan penyuluhan dan tindakan keperawatan seperti pelayanan kesehatan secara bertahap agar lansia yang mengalami penyakit atau perubahan fisik tidak mengalami depresi yang berat. RUJUKAN 1. Nugroho W. Keperawatan Gerontik. 2nd ed. Jakarta: EGC; 2000. 2. Lueckenotte GA. Gerontologic Nursing. 3rd ed. Jakarta: EGC; 2000. 3. Rakhmat J. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya; 2008. 4. Stuart GW. Keperawatan Jiwa. 3rd ed. Jakarta: EGC; 2000. 5. Roach S. Introductory Gerontological Nursing. Philadelphia: Lippincott; 2001. 6. Tuah R. Gambaran Konsep Diri Lansia yang Tinggal di Panti Sosial Tresna Wredha Abiyoso Pakem Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2002. 7. Sugiyono. Statisik Untuk Penelitian Alfabet. Bandung: Rineka cipta; 2005. 8. Stanley M. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. 2nd ed. Jakarta: EGC; 2007. 9. Stuart GW. Buku Saku Keperawatan Jiwa. 5th ed. Jakarta: EGC; 2007. 10. Susilo H. Gambaran Masalah Keperawatan Impaired Religiosity Menurut Nanda-I Pada Lansia yang Mengalami Berbagai Tingkat Depresi di Panti Wredha Budhi Dharma Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2009. 11. Handayani R. Hubungan Konsep Diri dengan Tingkat Depresi Pada Lansia Yang Tinggal di PSTW Abiyoso Pakem Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada; 2003.
Arif Kusmiarto, Hamam Hadi, Rista Apriana, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 1, Tahun 2013, 18-22
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Pemberian Pendidikan Kesehatan Reproduksi Berpengaruh Terhadap Tingkat Pengetahuan Tentang Seks Bebas pada Remaja Kelas X dan XI di SMK Muhammadiyah II Bantul Dian Savitri1, Kirnantoro2, Siti Nurunniyah3 1,3 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 2 Program Studi Keperawatan Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Yogyakarta Jalan Tata Bumi No. 3, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
Abstrak Data Pusat Studi Seksualitas (PSS) PKBI DIY tahun 2008 menemukan fakta bahwa remaja melakukan perilaku seksual berpelukan dalam pacaran 62,1%, bergandengan tangan 60,5%, berciuman bibir 59%, dan saling meraba 60%. Perilaku seksual beresiko lainnya yang dilakukan remaja adalah membaca buku/majalah porno yaitu sebesar 63,7% menonton blue film 46,7% dan masturbasi mencapai 30,2%. Tujuan penelitian untuk mengetahui tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah intervensi dan mengetahui pengaruh pemberian pendidikan kesehatan reproduksi terhadap tingkat pengetahuan tentang seks bebas. Jenis Penelitian ini adalah penelitian praeksperimen dengan rancangan one group pretest posttest. Sampel yang digunakan yakni 43 siswa. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner tertutup dengan menggunakan skala ordinal. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan responden sebelum intervensi adalah tinggi sebanyak 27 responden (62,8%), sedang sebanyak 10 responden (23,3%) dan rendah sebanyak 6 responden (14,0%). Tingkat pengetahuan responden setelah intervensi adalah tinggi sebanyak 35 responden (81,4%), sedang sebanyak 8 responden (18,6%) dan rendah 0 responden (0%). Dan hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh yang signifikan antara pemberian pendidikan kesehatan reproduksi terhadap tingkat pengetahuan tentang seks bebas pada remaja dengan nilai z=-3,960 dan nilai p-value=0,000. Kesimpulan tingkat pengetahuan responden sebelum intervensi tinggi dengan persentase 62,8% dan tingkat pengetahuan setelah intervensi tinggi dengan persentase 81,4%. Ada pengaruh yang signifikan pada p-value=0,000 dan z=-3,960. Kata Kunci: pendidikan kesehatan reproduksi, tingkat pengetahuan, seks bebas
Info Artikel: Artikel dikirim pada 7 Januari 2013 Artikel diterima pada 7 Januari 2013 PENDAHULUAN Remaja adalah suatu masa dimana individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual, individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-kanak sampai dewasa(1). Pada usia 1019 tahun kondisi emosional remaja masih labil dan rentan terhadap pengaruh apapun, sehingga pada remaja sering terjadi perilaku seks bebas(2). Seks bebas berkembang dari suatu budaya Barat yang menekankan pada kebebasan, seperti bebas melakukan hubungan seksual sebelum menikah, bebas berganti-ganti pasangan, dan bebas melakukan hubungan seksual usia dini(3).
Responden wanita dan pria berusia 1519 tahun yang menyatakan bahwa gairah seks meningkat adalah tanda perubahan fisik pada remaja. Pengetahuan remaja umur 15-24 tahun tentang masa subur hanya 26% wanita dan 21% pria yang memberi jawaban benar tentang kesempatan terbesar seorang wanita menjadi hamil pada pertengahan siklus haid. Sebesar 74,1% wanita dan 70% pria usia 15-19 tahun tidak mengetahui gejala Infeksi Menular Seksual(4). Hal ini memberikan bukti rendahnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja. Data Pusat Studi Seksualitas (PSS) PKBI DIY tahun 2008 menemukan fakta bahwa remaja melakukan perilaku seksual berpelukan dalam pacaran 62,1%, bergandengan tangan 60,5%,
Pemberian Pendidikan Kesehatan Reproduksi Berpengaruh Terhadap Tingkat Pengetahuan Tentang Seks Bebas
23
berciuman bibir 59%, dan saling meraba 60%. Perilaku seksual beresiko lainnya yang dilakukan remaja adalah membaca buku/majalah porno yaitu sebesar 63,7% menonton blue film 46,7% dan masturbasi mencapai 30,2%(5). Kabupaten Bantul provinsi DIY, angka pernikahan dini usia di bawah 20 tahun tergolong tinggi. Dalam satu semester tahun 2009, jumlah perkara yang meminta dispensi kawin muda pada Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Bantul mencapai 65 kasus. Jumlah remaja yang berusia 15 sampai 19 tahun di kabupaten Bantul terdapat 77.386 remaja dan pada tahun 2009 terdapat 1365 orang yang hamil di bawah 20 tahun(6). Tingginya angka pernikahan pada usia muda dan banyaknya jumlah ibu hamil di bawah 20 tahun tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian dikarenakan kehamilan pranikah. Menurut Pangkahila, kurangnya pemahaman tentang perilaku seksual pada masa remaja amat merugikan bagi remaja itu sendiri termasuk keluarganya, sebab pada masa ini remaja mengalami perkembangan yang penting yaitu kognitif, emosi, sosial dan seksual. Perkembangan ini akan berlangsung mulai sekitar 12 sampai 20 tahun. Kurangnya pemahaman tersebut disebabkan oleh berbagai faktor antara lain: adat istiadat, budaya, agama, dan kurangnya informasi dari sumber yang benar. Hal ini akan mengakibatkan berbagai dampak yang justru amat merugikan kelompok remaja dan keluarganya(7). Promosi kesehatan reproduksi pada remaja sering dikonotasikan sebagai pendidikan seks di mana sebagian besar masyarakat di Indonesia masih mentabukan hal ini. Bahkan ada lembaga pendidikan formal setingkat sekolah menengah yang masih ragu untuk melaksanakan penyuluhan kesehatan reproduksi bagi siswanya. Sementara itu, masa remaja adalah fase pertumbuhan dan perkembangan saat individu mencapai usia 10-19 tahun. Dalam rentang waktu ini terjadi pertumbuhan fisik yang cepat, termasuk pertumbuhan serta kematangan dari fungsi organ reproduksi. Bila tidak didasari dengan pengetahuan yang cukup, mencoba hal baru yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi bisa memberikan dampak yang akan menghancurkan masa depan remaja dan keluarga. Dari hasil studi pendahuluan di SMK Muhammadiyah II Bantul pada tanggal 21 Februari 2012 didapatkan informasi bahwa di sekolah tersebut tidak ada mata pelajaran yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Pelajaran kesehatan reproduksi hanya diperoleh dari penyuluhan BKKBN yang diadakan setahun sekali, sehingga pengetahuan siswa mengenai kesehatan reproduksi 24
terbatas. Selama 3 tahun terakhir sekolah ini sudah mengeluarkan 5 siswi yang hamil akibat seks bebas. Jumlah siswa dan siswi kelas X dan XI SMK Muhammadiyah II Bantul adalah 289 siswa yang terdiri dari 9 kelas. Dari hasil wawancara 10 siswa di SMK Muhammadiyah II Bantul menambahkan bahwa siswa mendapatkan informasi mengenai kesehatan reproduksi dan seks bebas yang didapat dari keluarga, teman dan orang tua sebanyak 7 siswa dan yang didapat dari internet dan buku sebanyak 3 siswa. Setelah ditanya mengenai faktor yang mempengaruhi perilaku seks bebas adalah pengaruh teman dan lingkungan sekitar (2 siswa), kurangnya informasi mengenai seks bebas (4 siswa), kurangnya perhatian dari orang tua atau anak yang mengalami broken home (4 siswa). Ketika ditanya oleh peneliti apakah aborsi dapat menyebabkan kematian, 6 siswa menjawab iya dan 4 siswa lainnya mengatakan tidak. Kemudian setelah ditanya tentang dampak seks bebas 9 siswa menjawab kehamilan yang tidak diinginkan dan 1 siswa menjawab dikucilkan oleh keluarga dan teman. Secara umum tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian pendidikan kesehatan reproduksi terhadap tingkat pengetahuan tentang seks bebas pada remaja kelas X dan XI di SMK Muhammadiyah II Bantul. Secara khusus untuk mengetahui tingkat pengetahuan tentang seks bebas pada remaja sebelum mendapat pendidikan kesehatan reproduksi dan untuk mengetahui tingkat pengetahuan tentang seks bebas pada remaja sesudah mendapat pendidikan kesehatan reproduksi. BAHAN DAN METODE Jenis Penelitian ini adalah penelitian pra eksperimen dengan rancangan one group pretest posttest. Rancangan ini tidak menggunakan kelompok pembanding (control), tetapi paling tidak sudah dilakukan observasi pertama (pretest) yang memungkinkan menguji perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya eksperimen (program), dan dilakukan pengambilan data akhir (posttest)(9). Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas X dan XI SMK Muhammadiyah II Bantul yang berjumlah 289 siswa. Teknik sampling penelitian ini dilakukan dengan teknik random sampling, setiap populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Sampel yang digunakan merupakan perwakilan dari setiap kelas X dan XI yang berjumlah 9 kelas yang diambil adalah 43 siswa. Penelitian ini dilakukan di SMK Muhammdiyah II Bantu pada tanggal 12 Mei 2012 untuk pretest dan
Dian Savitri, Kirnantoro, Siti Nurunniyah, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 1, Tahun 2013, 23-28
15 Mei 2012 untuk posttest. Instrumen penelitian adalah kuesioner yang berisi tentang pertanyaan dan pilihan jawaban yang sudah disediakan dalam bentuk pilihan benar atau salah. Kuesioner sudah dilakukan uji validitas pada tanggal 18 April 2012 di SMK Nasional Bantul dengan jumlah 35 pertanyaan. Hasil dari uji reliabilitas dengan menggunakan rumus spearman brown adalah 0,767. Sehingga r hitung >r tabel maka dapat disimpulkan instrumen tersebut reliabel dan dapat digunakan untuk penelitian. Dalam penelitian ini yang merupakan variabel independen adalah pemberian pendidikan kesehatan reproduksi. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah pengetahuan remaja tentang seks bebas. HASIL DAN BAHASAN Tingkat Pengetahuan tentang Seks Bebas pada Remaja di SMK Muhammadiyah 2 Bantul Sebelum Dilakukan Penyuluhan Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan tentang seks bebas pada remaja di SMK Muhammadiyah 2 Bantul sebelum diberikan penyuluhan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan tentang Seks Bebas pada Remaja di SMK Muhammadiyah 2 Bantul Sebelum Diberikan Penyuluhan Tingkat Pengetahuan Rendah Sedang Tinggi Total
f 6 10 27 43
% 14,0 23,3 62,8 100
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Berdasarkan Tabel 1 merupakan tabel tingkat pengetahuan responden tentang seks bebas pada remaja sebelum diberikan intervensi dimana sebagian besar responden tergolong memiliki tingkat pengetahuan tinggi sebanyak 27 responden (62,8%), kemudian diikuti tingkat pengetahuan sedang sebanyak 10 responden (23,3%) dan hanya 6 siswi (14,0 %) tergolong rendah. Tingkat Pengetahuan tentang Seks Bebas pada Remaja di SMK Muhammadiyah 2 Bantul Setelah Dilakukan Penyuluhan Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan tentang seks bebas pada remaja di SMK Muhammadiyah 2 Bantul setelah diberikan penyuluhan disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan tingkat pengetahuan tentang seks bebas setelah dilakukan
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan tentang Seks Bebas pada Remaja di SMK Muhammadiyah 2 Bantul Setelah Dilakukan Penyuluhan Tingkat Pengetahuan Rendah Sedang Tinggi Total
f 0 8 35 43
% 0 18,6 81,4 100
Sumber: Data Primer Tahun 2012
intervensi. Berdasarkan tabel tersebut, tingkat pengetahuan didominasi oleh tingkat pengetahuan tinggi sebanyak 35 siswa (81,4%), kategori sedang 8 siswa (18,6%) dan kategori rendah 0 responden (0%). Tingkat Pengetahuan tentang Seks Bebas pada Remaja Di SMK Muhammadiyah 2 Bantul Sebelum dan Setelah Dilakukan Penyuluhan Perbandingan tingkat pengetahuan tentang seks bebas pada remaja di SMK Muhammadiyah 2 Bantul sebelum dan setelah diberikan penyuluhan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan tentang Seks Bebas pada Remaja di SMK Muhammadiyah 2 Bantul Sebelum dan Setelah Dilakukan Penyuluhan Tingkat Pengetahuan Rendah Sedang Tinggi Total
Pretest Posttest 6 10 27 43
0 8 35 43
Keterangan Ada Kenaikan Ada Kenaikan Ada Kenaikan
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan tingkat pengetahuan tentang seks bebas setelah diberikan intervensi pada responden mengalami kenaikan. Berdasarkan tabel tersebut, tingkat pengetahuan tinggi pada saat pretest sebanyak 27 responden dan pada saat posttest menjadi 35 responden. Kategori sedang pada saat pretest sebanyak 10 responden dan posttest menjadi 8 responden, dan kategori rendah pada saat pretest sebanyak 6 responden dan pada saat posttest menjadi 0 responden. Pengaruh Pemberian Pendidikan Kesehatan Reproduksi terhadap Tingkat Pengetahuan tentang Seks Bebas pada Remaja di SMK Muhammadiyah 2 Bantul Untuk mengetahui pengaruh penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan remaja digunakan analisis uji wilcoxon seperti pada Tabel 4.
Pemberian Pendidikan Kesehatan Reproduksi Berpengaruh Terhadap Tingkat Pengetahuan Tentang Seks Bebas
25
Tabel 4. Perbedaan Rerata Tingkat Pengetahuan Tentang Seks Bebas pada Remaja di SMK Muhammadiyah 2 Bantul Sebelum dan Setelah diberikan Penyuluhan Tingkat Pengetahuan Pretest Posttest
Mean 24,19 26,49
Mean Difference 2,30
SD 4,48 2,84
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Berdasarkan Tabel 4 menjelaskan tentang perbedaan rerata tingkat pengetahuan tentang seks bebas sebelum dan setelah intervensi, dimana data tersebut menjelaskan bahwa perbedaan rerata antara pretest dan posttest adalah 2,30, sedang perbedaan standar deviasi sebesar 1,64. Tabel 5. Pengaruh penyuluhan terhadap Tingkat Pengetahuan Tentang Seks Bebas pada Remaja di SMK Muhammadiyah 2 Bantul Pretest Sedang f % Rendah 1 2,3 Sedang 3 7,0 Tinggi 4 9,3 Total 8 18,6
Posttest Tinggi f % 5 11,6 7 16,3 23 53,5 35 81,4
Total z p-value f % 6 13,9 -3,960 0,000 10 23,3 27 62,8 43 100
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Berdasarkan Tabel 5 menjelaskan tentang hasil analisis uji wilcoxon. Data tersebut menunjukkan nilai Z sebesar -3,960. Bila taraf kesalahan 0,05 maka harga z tabel =1,64. Harga z hitung >z tabel (harga (-) tidak diperhitungkan karena harga mutlak), dengan demikian Ha diterima. Didapatkan juga nilai p-value 0,000. Maka p-value<0,05. Sehingga dapat dikatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara sebelum dan sesudah pemberian pendidikan kesehatan reproduksi terhadap tingkat pengetahuan tentang seks bebas pada remaja di SMK Muhammadiyah 2 Bantul. Tingkat Pengetahuan Tentang Seks Bebas pada Remaja di SMK Muhammadiyah 2 Bantul Sebelum Penyuluhan Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan tentang seks bebas pada remaja di SMK Muhammadiyah 2 Bantul dengan diberikan intervensi berupa pemberian pendidikan kesehatan reproduksi. Sampel yang diambil pada penelitian ini sebanyak 43 siswa. Sebelum diberikannya intervensi, dari seluruh siswa yang dijadikan sampel, mayoritas siswa berpengetahuan tinggi dengan persentase 62,8%, sedangkan untuk siswa berpengetahuan rendah sebesar 14,0%. 26
Data tersebut menunjukkan bahwa mayoritas siswa sudah mengetahui tentang kesehatan reproduksi. Sebelum diberikan intervensi, mayoritas siswa sudah dibekali wawasan tentang kesehatan reproduksi. Pengetahuan tersebut diperoleh dari berbagai sumber, seperti misalnya melalui internet, buku, tenaga kesehatan dan lain-lain. Tetapi pengetahuan tersebut hanya pada tingkatan tahu. Sedangkan untuk tingkatan sintesis atau bahkan evaluasi diperlukan informasi-informasi yang lebih detail sebagai dasar pengetahuan seks bebas. Hal ini seperti sejalan dengan pendapat dari Notoatmodjo yang menyatakan bahwa pengetahuan itu sendiri banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu pendidikan formal(10). Sehingga pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan yang tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah, mutlak berpengetahuan rendah pula. Hal ini mengingat bahwa, peningkatan pengetahuan tidak mutlak di peroleh dari pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang tentang suatu obyek mengandung dua aspek yaitu posisif dan negatif. Kedua aspek ilmiah yang pada akhirnya akan menentukan sikap seseorang tentang suatu obyek tertentu. Semakin banyak aspek positif dan obyek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap obyek tertentu. Pada dasarnya tingkat pengetahuan meliputi tahu, paham, penerapan, analisa, sintesa, dan evaluasi. Menurut Nurhidayah memberikan pengertian tentang tingkat kemampuan tahu yaitu kemampuan responden untuk menghafal, mengingat, mendefinisi, mengenali, atau mengidentifikasi informasi tentang fakta, peraturan prinsip, kondisi, dan syarat yang disajikan dalam pengajaran(11). Kecilnya persentase tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi kategori kurang dari penelitian ini sebelum dilakukan intervensi menunjukkan bahwa informasi tentang kesehatan reproduksi sudah diketahui melalui berbagai sumber walaupun belum pernah dilakukan intervensi sebelumnya. Notoatmodjo mendefinisikan penyuluhan kesehatan merupakan upaya merubah perilaku individu, keluarga, kelompok ataupun masyarakat dalam pencapaian tujuan kesehatan yang optimal(10). Sehingga individu tidak hanya tahu tentang kesehatan reproduksi, tetapi lebih dari itu, intervensi yang diberikan diharapkan dapat membentuk perilaku sehat sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian. Menurut Notoatmodjo pengetahuan seseorang dapat diperoleh dari pengalaman yang berasal dari
Dian Savitri, Kirnantoro, Siti Nurunniyah, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 1, Tahun 2013, 23-28
media massa, media elektronik, buku, petugas kesehatan, orang tua, guru, saudara, teman dan sebagainya(12). Pengetahuan ini dapat berbentuk keyakinan tertentu, sehingga seseorang dapat berperilaku sesuai keinginan sebagai hasil proses pengaaruh pengideraan terhadap obyek. Ada banyak cara yang digunakan untuk memberikan informasi dalam rangka peningkatan pengetahuan khususnya tentang pengetahuan kesehatan reproduksi. Salah satu metode yang sering digunakan dalam ilmu kesehatan adalah dengan metode penyuluhan.
alat reproduksi melalui mata ajar disekolahnya, yang terdapat pada mata ajar biologi. Saat duduk di bangku SMP pun remaja sudah mendapatkan sedikit pelajaran mengenai reproduksi manusia pada mata ajar biologi. Banyaknya media pemberian informasi membuat remaja semakin mudah memahami intervensi dalam penelitian ini, sehingga hasil yang diterima 81,4% siswa berpengetahuan tinggi.
Tingkat Pengetahuan tentang Perilaku Seks Bebas pada Remaja Di SMK Muhammadiyah 2 Bantul Setelah Penyuluhan
Pengaruh penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan seks bebas dapat diketahui dengan menggunakan uji wilcoxon. Hasil analisis diperoleh adanya pengaruh yang signifikan (p=0,000) pemberian pendidikan reproduksi kesehatan terhadap tingkat pengetahuan seks bebas pada remaja di SMK Muhammadiyah 2 Bantul. Pemberian pendidikan kesehatan reproduksi berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan tentang perilaku seks bebas. Jika dilihat nilai perbedaan ratarata, nilai rata-rata posttest lebih tinggi dibandingkan dengan pretest, hal ini menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan kearah yang positif, artinya tingkat pengetahuan tentang perilaku seks bebas menjadi lebih baik setelah diberi intervensi. Dengan demikian, intervensi yang diberikan berhasil meningkatkan pengetahuan remaja di SMK Muhammadiyah 2 Bantul tentang seks bebas. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fayana dengan judul hubungan pemberiaan pendidikan seks (pre menarche) oleh orang tua terhadap tingkat pengetahuan remaja putri tentang menarche di SD Muhammadiyah Suronatan, dimana hasil penelitiannya menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara pemberian pendidikan seks oleh orang tua terhadap tingkat pengetahuan remaja tentang menarche(14). Penelitian Nisma memperkuat hasil penelitian ini dengan hasil yang menunjukkan adanya pengaruh penyampaian pendidikan kesehatan reproduksi oleh kelompok sebaya terhadap pengetahuan kesehatan remaja di SMP Negeri 2 Kasihan Bantul Yogyakarta(14). Menurut Notoatmodjo, metode penyuluhan kesehatan pada dasarnya merupakan pendekatan yang digunakan dalam proses pendidikan untuk menyampaikan pesan kepada sasaran penyuluhan kesehatan, yaitu seperti individu, kelompok, keluarga dan masyarakat. Dalam penyampaian informasi yang ingin disampaikan, dapat dilakukan dengan menggunakan media sebagai sarana penyampaian pesan atau informasi(10). Alat atau sarana yang mudah digunakan dan dipahami oleh penyuluh maupun obyek sasaran merupakan nilai
Hasil penelitian diketahui bahwa pengetahuan siswa tentang kesehatan reproduksi setelah diberikan intervensi, siswa yang berpengetahuan tinggi menjadi meningkat dengan persentase sebesar 81,4%. Hal ini menunjukkan respon responden terhadap pendidikan kesehatan reproduksi cukup tinggi. Sedangkan tingkat pengetahuan yang tergolong rendah menjadi tidak ada. Hasil penelitian dengan memberikan intervensi berupa penyuluhan kesehatan reproduksi dapat merubah pengetahuan, sikap dan perilaku kesehatan, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pasaribu dalam tesisnya yang berjudul “Perbandingan Penyuluhan Kesehatan Metode Ceramah Tanya Jawab dengan Penyuluhan Kesehatan Menggunakan Buku Kecacingan dalam Mencegah Reinfeksi Ascaris lumbricoides pada Anak Sekolah Dasar”, dimana terjadi peningkatan pengetahuan setelah dilakukan penyuluhan pada kedua metode tersebut(13). Seperti yang telah diketahui bahwa pendidikan kesehatan reproduksi ditujukan untuk menggugah kesadaran, memberikan atau meningkatkan pengetahuan. Pendidikan kesehatan ini merupakan proses pendidikan yang tidak terlepas dari proses belajar. Ketika pengetahuan atau pemahaman remaja tentang kesehatan reproduksi tinggi, dengan sendirinya akan mencegah terjadinya penyimpanganpenyimpangan seks bebas. Perilaku kesehatan reproduksi perlu ditumbuh kembangkan dengan peningkatan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi itu sendiri. Masalah inilah yang menjadikan motivasi tersendiri bagi siswi SMK Muhammadiyah 2 Bantul dengan ditunjukkan sikap terhadap intervensi yang dilakukan peneliti, sehingga hasil yang diperoleh peningkatan pengetahuan siswi tersebut. Informasi yang didapat responden tentang kesehatan reproduksi cukup tinggi. Pada remaja SMA rata-rata sudah mendapatkan informasi tentang
P e n g a r u h P e n y u l u h a n t e r h a d a p Ti n g k a t Pengetahuan Seks Bebas pada Remaja Di SMK Muhammadiyah 2 Bantul
Pemberian Pendidikan Kesehatan Reproduksi Berpengaruh Terhadap Tingkat Pengetahuan Tentang Seks Bebas
27
tambah tersendiri bagi keberhasilan atau efektifnya penyuluhan. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan tentang seks bebas pada remaja sebelum diberi pendidikan kesehatan reproduksi termasuk kategori tinggi dengan persentase 62,8%, tingkat pengetahuan tentang seks bebas pada remaja setelah diberi pendidikan kesehatan reproduksi termasuk kategori tinggi dengan persentase 81,4%, ada pengaruh yang signifikan pada (p=0,000) dan nilai z=-3,960 antara pemberian pendidikan kesehatan reproduksi terhadap tingkat pengetahuan tentang seks bebas pada remaja di SMK Muhammadiyah 2 Bantul. Penelitian ini hendaknya digunakan sebagai tambahan literatur untuk ilmu kebidanan mengenai pengetahuan remaja tentang seks bebas. Bagi Siswa SMK Muhammadiyah 2 Bantul penyuluhan kesehatan mengenai kesehatan reproduksi menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan, sehingga diharapkan kepada siswa dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam menyikapi perilaku seks bebas, bagi SMK Muhammadiyah 2 Bantul dari hasil penelitian didapat bahwa pengetahuan tentang perilaku seks bebas meningkat dan dapat merubah kebiasaan siswa SMK kearah yang lebih baik sehingga bapak atau ibu guru dalam hal ini dapat mensosialisasikan penyuluhan mengenai kesehatan reproduksi ke siswa siswi untuk mengurangi resiko akibat yang ditimbulkan dari seks bebas. RUJUKAN 1. Sarwono. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada; 2008. 2. Himawan AH. Bukan Salah Tuhan Mengazab. Solo: Tiga Serangkai; 2008.
28
3. Irwansyah. Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan. Bandung: Grafindo Media Pratama; 2006. 4. Badan Pusat Statistik. Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia 2007.Jakarta: BPS; 2008. 5. Pusat Studi Seksualitas. Riset Aksi Komunitas PKBI DIY. Yogyakarta: PSS; 2008. 6. Dinkes Kabupaten Bantul. Profil Kesehatan Kabupaten Bantul. Bantul: Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul: 2010. 7. Soetjiningsih. Buku Ajar: Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta: Sagung Seto; 2004. 8. Aryani R, et al. Kesehatan Remaja: Problem dan Solusinya. Jakarta: Salemba Medika; 2010. 9. Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta; 2010. 10. Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT Rineka Cipta; 2007. 11. Nurhidayah RE. Pendidikan Keperawatan. Medan: USU Press; 2009. 12. Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta; 2005. 13. Pasaribu, Hotber ER. Perbandingan Penyuluhan Kesehatan Metode Ceramah Tanya Jawab Dengan Penyuluhan Kesehatan Menggunakan Buku Kecacingan Dalam Mencegah Reinfeksi Ascaris lumbricoides Pada Anak Sekolah Dasar, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro; 2005. 14. Fayana S. Hubungan Pemberian Pendidikan Seks (Pre Menarche) oleh Orang Tua terhadap Tingkat Pengetahuan Remaja Putri tentang Menarche di SD Muhammadiyah Suronatan. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta; 2010. 15. Nisma H. Pengaruh Penyampaian Pendidikan Kesehatan Reproduksi Oleh Kelompok Sebaya (Peer Group) Terhadap Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Remaja di SMP Negeri 2 Kasihan Bantul Yogyakarta. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta; 2008.
Dian Savitri, Kirnantoro, Siti Nurunniyah, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 1, Tahun 2013, 23-28
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Karakteristik dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Balita Tidak Mendapat ASI Eksklusif di Dusun Mangir Tengah Desa Sendang Sari Kecamatan Pajangan Bantul Dita Karinda1, Ircham Machfoedz2, Sundari Mulyaningsih3 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 1,2,3
Abstrak Alasan-alasan para ibu menghentikan pemberian ASI-nya, menurut hasil laporan Depkes RI 1990 yaitu ASI tidak keluar 32%, ibu bekerja 28%, pengaruh pemberian susu formula 16%, pengaruh suami dan saudara 24% dan keinginan dianggap modern 4%. Bayi yang tidak diberi ASI secara eksklusif sangat rentan terserang penyakit. Penyakit yang bisa disebabkan karena kegagalan pemberian ASI eksklusif antara lain meningkatkan risiko kematian, infeksi saluran pencernaan (muntah, mencret), infeksi saluran pernapasan, meningkatkan gizi buruk. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang karakteristik dan faktor-faktor yang memengaruhi balita yang tidak mendapat ASI eksklusif di Dusun Mangir Tengah Desa Sendang Kecamatan Pajangan Bantul. Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan metode penelitian natura1istik kuatitatif. Data-data penelitian dicatat melalui perekaman audio tape, pengambilan foto, catatan lapangan. Subjek penelitian ini adalah ibu-ibu yang memiliki balita yang tidak diberi ASI eksklusif. Pengambilan data menggunakan observasi dan wawancara mendalam. Hasil penelitian status gizi balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif termasuk dalam kategori baik. Pertumbuhan dan perkembangan balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif termasuk dalam kategori normal. Faktor- faktor yang memengaruhi balita tidak mendapatkan ASI eksklusif antara lain ASI tidak lancar, kerja pabrik, kuliah, bayi tidak mau minum ASI, payudara bengkak, puting lecet. Kata Kunci: karakteristik balita, ASI eksklusif
Info Artikel: Artikel dikirim pada 23 Januari 2013 Artikel diterima pada 27 Januari 2013 PENDAHULUAN Data yang diperoleh dari World Health Statistik 2011 menyebutkan bahwa terdapat perbedaan yang mencolok Angka Kematian Balita (AKABA) diantara negara-negara anggota ASEAN pada tahun 2009. Angka kematian balita terendah di Singapura yaitu 3 kematian per 1.000 kelahiran hidup sedangkan yang tertinggi di Kamboja yaitu 88 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan Indonesia sebanyak 34 kematian per 1.000 kelahiran hidup(1). Menurut Survei Demografi Kesehatan Rumah Tangga (SDKRT) Angka kematian bayi di Indonesia tahun 2007 mencapai 34 per 1.000 kelahiran hidup dengan AKB terendah Yogyakarta yaitu 19 per 1.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Ibu (AKI) 228 per 100 ribu kelahiran(1). Penyebab utama tingginya angka kematian bayi dan balita adalah gangguan pada saat bayi baru
lahir (neonatal) dan penyakit infeksi, seperti diare dan pneumonia serta kekurangan gizi (gizi buruk) seperti yang diungkapkan oleh Menteri kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih dalam Simposium Pengarustamaan Hak Anak dalam Mewujudkan Generasi Sehat dan Berdaya Saing Unggul di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Dome, Sabtu, 24 Desember 2011(2). Menurut Eisenberg, bayi yang tidak diberi ASI secara eksklusif sangat rentan terserang penyakit3. Penyakit yang bisa disebabkan karena kegagalan pemberian ASI eksklusif antara lain meningkatkan risiko kematian, infeksi saluran pencernaan (muntah, mencret), infeksi saluran pernapasan, meningkatkan gizi buruk. Selain itu bayi yang tidak diberikan ASI secara eksklusif juga akan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Secara umum bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif
Karakteristik dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Balita Tidak Mendapat ASI Eksklusif di Dusun Mangir Tengah
29
akan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan disamping mengalami gizi buruk. Sampai dengan tahun 2008 cakupan ASI ekslusif di provinsi DIY baru mencapai 39,9%, menurun pada tahun 2009 yaitu sebesar 34,56%(1). Pada tahun 2010, cakupan ASI eksklusif meningkat mencapai 40,57% (target 80%). Lebih rinci, cakupan ASI Eksklusif di empat Kabupaten/Kota masih berkisar 20–39%, sedangkan Kabupaten Sleman sudah mencapai ≥60%(4). Data tersebut memberikan indikasi bahwa masih banyak ibu-ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif pada bayinya. Fenomena yang ada di masyarakat menunjukan bahwa masih banyak ibu-ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif pada bayinya secara optimal. Berbagai penelitian menyebutkan akibat/dampak dari tidak optimalnya pemberian ASI eksklusif tersebut sangat besar. Apabila bayi dibawah 4 bulan telah diberi makanan tambahan maka bayi akan sulit tidur di malam hari, selain itu bayi akan mengalami gangguangangguan lain seperti sakit perut, diare, sembelit, infeksi, kurang darah, dan alergi(5). Bayi akan menyusu lebih sedikit, hal ini disebabkan ukuran perut bayi masih kecil sehingga mudah penuh sedangkan kebutuhan gizi bayi belum terpenuhi(6). Akibatnya proses pertumbuhan bayi akan terganggu. Hal ini akan menyebabkan tingkat kecerdasan (Intellegence Quotient/IQ) bayi menjadi rendah yang secara keseluruhan menyebabkan sumber daya manusia (SDM) menjadi lebih buruk(7). Pada studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan Januari 2012 di Dusun Mangir Tengah Desa Sendang Kecamatan Pajangan Bantul, peneliti menemui 10 ibu beserta balitanya. Berdasarkan wawancara dengan ibu-ibu tersebut didapatkan keterangan bahwa 3 balita (30%) mendapatkan ASI eksklusif sedangkan yang tidak mendapatkan ASI eksklusif sebanyak 7 balita (70%). Alasan ibu-ibu tidak memberikan ASI antara lain kerja di pabrik 2 orang (28,56%), mengajar 1 orang (14,28%), ASI keluar sedikit atau tidak keluar 2 orang (28,56%), ditinggal kerja ke luar 1 orang (14,28%) dan ditinggal kuliah 1 orang (14,28%). Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang karakteristik dan faktor-faktor yang mempengaruhi balita yang tidak mendapat ASI eksklusif di Dusun Mangir Tengah Desa Sendang Kecamatan Pajangan Bantul. BAHAN DAN METODE Jenis penelitian digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian naturalistik kualitatif. Lokasi penelitian berada di wilayah Dusun Mangir Tengah Desa Sendang Sari Kecamatan Pajangan Bantul, dilaksanakan pada awal bulan Mei
30
2012. Instrumen penelitian menggunakan perekam audio tape, pengambilan foto, catatan lapangan, dan lembar DDST yang berisi untuk memantau tumbuh kembang balita. Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah ibu-ibu yang memiliki balita yang tidak diberi ASI eksklusif. Sampel ditentukan menggunakan teknik purposive sampling. Kredibilitas atau derajat kepercayaan diperiksa melalui kelengkapan data yang diperoleh dan berbagai sumber. HASIL DAN BAHASAN Komposisi penduduk menurut golongan umur dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Penduduk Menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin Umur (tahun) Laki–Laki 0–5 15 6–9 8 10 – 14 11 15 – 19 14 20 – 24 8 25 – 29 13 30 – 34 17 35 – 39 11 40 – 44 22 45 – 49 10 50 – 54 11 55 – 59 11 60 – 64 14 65 ke atas 24 Jumlah 189
Perempuan 19 7 19 19 11 10 16 11 22 11 17 15 8 21 206
Jumlah 34 15 30 33 19 23 33 22 44 21 28 26 22 45 395
Sumber: Data Primer Tahun 2012 Tabel 2. Komposisi Penduduk Menurut Rata-Rata Penghasilan Keluarga/bulan Jumlah Penghasilan kurang dari Rp 300.000,00 Rp 300.000,00 – Rp 500.000,00 Lebih dari Rp 500.000,00 Jumlah
Jumlah KK 22 35 70 127
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Secara umum kegiatan yang dilaksanakan di Dusun Mangir Tengah yang berhubungan dengan penelitian ini antara lain kegiatan posyandu untuk balita dan lansia yang dilaksanakan setiap tanggal 15 (kecuali hari minggu) dengan kegiatan utama yaitu penimbangan berat badan balita dan lansia, penyelenggaraan puskesmas keliling yang dilaksanakan setiap 2 bulan sekali yaitu pada tanggal 15 (kecuali hari minggu), dan senam ibu-ibu yang dilaksanakan setiap hari Sabtu jam 15.00 WIB.
Dita Karinda, Ircham Machfoedz, Sundari Mulyaningsih, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 1, Tahun 2013, 29-35
Tabel 3. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian Kepala Keluarga Mata pencaharian Pegawai Negeri Pegawai Swasta ABRI Pensiunan Pengusaha
Jumlah 8 16 1 8 2
Pengrajin Petani Pedagang Buruh Lain-lain Jumlah
1 10 13 49 19 127
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Karakteristik Responden Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi karakteristik ibu dan bayi. Karakteristik ibu meliputi umur, pendidikan terakhir, pekerjaan dan tingkat pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif. Berdasarkan Tabel 4 memperlihatkan bahwa untuk responden 1 adalah Ny Y yang berumur 31 tahun, pendidikan terakhir SMA, pekerjaan ibu rumah tangga (IRT), tingkat pengetahuan tentang ASI eksklusif baik dan mempunyai anak yang tidak diberi ASI eksklusif
1 orang. Responden 2 adalah Ny S yang berumur 28 tahun, pendidikan terakhir SMU, bekerja di pabrik, tingkat pengetahuan tentang ASI eksklusif cukup dan mempunyai anak yang tidak diberi ASI eksklusif 1 orang. Responden 3 adalah Ny A yang berumur 22 tahun, pendidikan terakhir SMU, kuliah, tingkat pengetahuan tentang ASI eksklusif baik dan mempunyai anak yang tidak diberi ASI eksklusif 2 orang. Responden 4 adalah Ny B yang berumur 30 tahun, pekerjaan ibu rumah tangga, tingkat pengetahuan tentang ASI eksklusif cukup dan mempunyai anak yang tidak diberi ASI eksklusif 2 orang. Responden 5 adalah Ny D yang berumur 37 tahun, pendidikan terakhir SD, bekerja sebagai ibu rumah tangga, tingkat pengetahuan tentang ASI eksklusif baik dan mempunyai anak yang tidak diberi ASI eksklusif 2 orang. Responden 6 adalah Ny E yang berumur 27 tahun, pendidikan terakhir S1, kuliah, tingkat pengetahuan tentang ASI eksklusif baik dan mempunyai anak yang tidak diberi ASI eksklusif 1 orang. Responden 7 adalah Ny R yang berumur 29 tahun, pendidikan terakhir SMK, bekerja di pabrik, tingkat pengetahuan tentang ASI eksklusif baik dan mempunyai anak yang tidak diberi ASI eksklusif 1 orang. Karakteristik bayi dalam penelitian ini meliputi umur, berat badan dan status gizi pada saat dilakukan penelitian seperti diperlihatkan pada Tabel 5.
Tabel 4. Data Karakteristik Ibu Inisial Ny. Y Ny. S Ny. A Ny. B Ny. D Ny. E Ny. R
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
SMA SMU SMU SD S1 SMK
IRT Pabrik Kuliah IRT IRT Kuliah Pabrik
31 28 22 30 37 27 29
Tingkat Pengetahuan tentang ASI Baik Cukup Baik Cukup Baik Baik Baik
Jumlah Anak 1 1 2 2 2 1 1
Sumber: Data Primer Tahun 2012 Tabel 5. Data Karakteristik Bayi Inisial Ibu Ny. Y Ny. S Ny. A Ny. B Ny. D Ny. E Ny. R
Jenis Kelamin P L P P P P P L L L
Umur (bulan) 22 48 36 12 42 30 54 30 37 27
Bayi Tinggi Badan (cm) 84 107 98 78 104 92 109 92 100 90
BB (kg) Status Gizi 11,5 15 15 8,7 14 11 15 14 14 11
Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik
Sumber: Data Primer Tahun 2012 Karakteristik dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Balita Tidak Mendapat ASI Eksklusif di Dusun Mangir Tengah
31
Berdasarkan Tabel 5 memperlihatkan bahwa untuk responden 1 yaitu Ny Y memiliki bayi perempuan dengan umur 22 bulan, tinggi badan 84 cm, berat badan 11,5 kg dan status gizi baik. Responden 2 adalah Ny S memiliki bayi laki-laki dengan umur 48 bulan, tinggi badan 107 cm, berat badan 15 kg dan status gizi baik. Responden 3 adalah Ny A memiliki 2 bayi perempuan semua. Bayi pertama dengan umur 36 bulan, tinggi badan 98 cm, berat badan 15 kg dan status gizi baik. Bayi kedua dengan umur 12 bulan, tinggi badan 78 cm, berat badan 8,7 kg dan status gizi baik. Responden 4 adalah Ny B memiliki 2 bayi perempuan semua. Bayi pertama dengan umur 42 bulan, tinggi badan 104 cm, berat badan 14 kg dan status gizi baik. Bayi kedua dengan umur 30 bulan, tinggi badan 92 cm, berat badan 11 kg dan status gizi baik. Responden 5 adalah Ny D memiliki 2 bayi. Bayi pertama perempuan dengan umur 54 bulan, tinggi badan 109 cm, berat badan 15 kg dan status gizi baik. Bayi kedua laki-laki dengan umur 30 bulan, tinggi badan 92 cm, berat badan 14 kg dan status gizi baik. Responden 6 adalah Ny E memiliki bayi lakilaki dengan umur 37 bulan, tinggi badan 100 cm, berat badan 14 kg dan status gizi baik. Responden 7 adalah Ny R memiliki bayi laki-laki dengan umur 27 bulan, tinggi badan 90 cm, berat badan 11 kg dan status gizi baik. Karakteristik Bayi Yang Tidak Diberi ASI Eksklusif Status gizi bayi dalam penelitian ini meliputi dua hal yaitu status gizi bayi sekarang dan tumbuh kembang bayi sejak diberikan susu formula atau makanan pendamping ASI. Status Gizi Hasil wawancara dengan ibu-ibu yang bayinya tidak diberi ASI eksklusif didapatkan informasi bahwa semua bayi mempunyai status gizi baik (R1, R2, R3, R4, R5, R6, R7) misalkan seperti diungkapkan dalam hasil wawancara dengan responden 1 dan responden 3 sebagai berikut: Responden 1 Pewawancara : waktu diberi ASI formula itu bu, badannya kurus apa gemuk? Ny. Y : gemuk Pewawancara : ibu tahu gak, tanda-tanda status gizi anak yang baik tu gimana? Ny. Y : ya badannya gemuukkk, ya lincah gitu lho mbak (tertawa) Pewawancara : yang jadi pedoman ibu dalam melihat status gizi anak baik gimana bu? Ny. Y : ya,....anu berat badannya naiik terus gitu
32
Responden 3 Pewawancara : trus gimana mbak status gizi anaknya waktu dikasih susu formula, kurus atau gemuk? Ny. A : malah tambah gemuk. Pewawancara : tambah gemuk? Ny. A : iya Meskipun status gizi bayi tergolong naik, namun selama tidak diberi ASI eksklusif pernah mengalami diare, seperti terungkap dari hasil wawancara sebagai berikut: Responden 2 Pewawancara : Trus anak ibu diberi susu formula tu, pernah nggak bu sakit diare gitu Ny. S : pernah Pewawancara : pernah. Sering nggak bu Ny. S : nggak sering Responden 3 Pewawancara : terus sejak mbaknya kasih susu formula dedeknya pernah sakit diare gitu Ny. A : jarang. Pernah tapi jarang Responden 6 Pewawancara : sejak anak mbak dikasih susu formula pernah nggak anak mbak sakit diare Ny. E : o o o o , , , , , s e r i n g h a h a h a . . . . . . (tertawa) Pewawancara : pernah nggak mbak dirawat dirumah sakit gitu mbak Ny. E : hampir, dikasih obat jalan ndilalahe langsung berkurang Pewawancara : t e r u s g i m a n a m b a k g i z i n y a , sejak dikasih susu formula. Berat badannya naik terus? Ny. E : yoo....endak sih. Naik-naik, tapi kalo pas.... kan pertama kan pake bebelac. bebelac ki waa...diare ki terus-terusan dik, satu bulanan ki diaree terus, ya sembuh, terus diare lagi. Terus tak ganti susunya baru ndak diare. Yo pas diare tu berat badane turun Tumbuh Kembang Bayi Hasil wawancara menunjukkan bahwa semua bayi yang tidak diberi ASI eksklusif pertumbuhan dan perkembangannya tergolong normal sebagaimana diperlihatkan pada hasil wawancara sebagai berikut:
Dita Karinda, Ircham Machfoedz, Sundari Mulyaningsih, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 1, Tahun 2013, 29-35
Responden 1 Pewawancara : terus waktu umur 6 bulan sudah bisa menirukan kata-kata nggak bu? Ny. Y : ya cuma simbah-simbah, misalkan pertama tu baru bisa manggil mbahmbah gitu Pewawancara : oooo,...kalo dipanggil gitu, dia tahu gak kalo nama dia tu dipanggil? Ny. Y : iya, tahu dia Pewawancara : terus kalo pas umur 12 bulan bu anaknya bisa apa? Menirukan ngomong apa terus dia ikut-ikutan ngomong gitu, celoteh gitu? Ny. Y : ya, dikit-dikit mbak Pewawancara : minum dengan cangkir udah bisa belum bu? Ny. Y : dah Responden 3 Pewawancara : trus waktu umur 6 bulan, dedeknya sudah bisa ngapain mbak. Ny. A : w a k t u 6 b u l a n s u d a h b i s a merangkak Pewawancara : makan sendiri sudah bisa belum mbak? Ny. A : sudah, Pewawancara : sudah, trus kayak mencari benang? trus misalnya ngoceh-ngoceh gitu, sudah bisa belum mbak? Ny. A : sudah Pewawancara : udah bisa belum mbak nyebutin kata-kata Ny. A : udah, udah bisa nyebutin mama.... mama....papa...papa... Pewawancara : nah ni yang gede kan umurnya 3 tahun ya mbak ya..dia sudah bisa ngapain mbak? Ny. A : eeee......mandi sendiri trus make apa kaos sendiri.... Pewawancara : gosok gigi mbak? Ny. A : udah, udah bisa gosok gigi, makan juga udah sendiri Pewawancara : lari-lari udah bisa belum mbak? Ny. A : udah bisa main sepeda Faktor-Faktor yang Memengaruhi Bayi Tidak Diberi ASI Eksklusif Dari hasil wawancara terungkap bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi bayi tidak diberi ASI eksklusif adalah ASI tidak keluar/tidak lancar, kerja, kuliah, bayi tidak mau minum ASI karena ASI tidak lancar (R1), kerja pabrik (R2 ,R7), kuliah (R3, R6), bayi tidak mau minum ASI (R4), payudara bengkak,
puting lecet (R5, R6) sebagaimana terungkap dalam wawancara sebagai berikut: Responden 1 dan Responden 5 Pewawancara : ini kenapa ibu tidak beri ASI eksklusif, maksude tu selama 6 bulan Ny. Y : kurang Pewawancara : oo, ASI kurang keluarnya Ny. Y : iya Responden 2 dan Responden 7 Pewawancara : Kenapa ibunya gak beri ASI eksklusif aja Ny. S : ya kerja di pabrik Responden 3 dan Responden 6 Pewawancara : mbak kenapa mbak nggak ngasih ASI sampai 6 bulan aja Ny. A : eeee, karena menurut saya tu apa... repot, ribet...kayak gitulah Pewawancara : kalo anak pertama mbak, kan kalo yang kedua karena mbak kuliah, kalo yang pertama? Ny. A : kalo yang pertama itu kan dianya kurang mau......kurang mau ASI, lebih suka minum susu apa.... formula....iya pake dot....iya Responden 4 Pewawancara : Ibu kenapa bu ini nggak kasih ASI eksklusif dengan bayinya Ny. B : kenapa ya,.....ya anaknya sudah nggak memerlukan Status Gizi Status gizi adalah keadaan tubuh sehat sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi dibedakan antara status gizi buruk, gizi kurang, dan gizi lebih(8). Hasil wawancara dengan semua responden didapatkan keterangan bahwa semua bayi pada saat dilakukan penelitian mempunyai status gizi yang baik. Bayi yang mempunyai status gizi baik, meskipun tidak diberi ASI eksklusif dapat disebabkan karena pemberian susu formula dalam waktu yang cukup lama sehingga bayi sudah terbiasa dan dapat menerima MP ASI yang diberikan kepadanya. Hasil wawancara menunjukkan bahwa umur bayi yang paling kecil adalah 12 bulan dan umur bayi yang paling besar adalah 54 bulan. Sedangkan pemberian susu formula ada yang diberikan sejak lahir, 2 minggu setelah lahir atau 3 bulan setelah lahir. Berdasarkan hasil wawancara tersebut didapatkan
Karakteristik dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Balita Tidak Mendapat ASI Eksklusif di Dusun Mangir Tengah
33
keterangan bahwa bayi telah mendapatkan susu formula lebih awal dari ketentuan yang telah ditetapkan yaitu setelah bayi berusia 6 bulan. Meskipun bayi responden semua mempunyai status gizi yang baik pada saat dilakukan penelitian, namun tetap saja ada pengaruh pemberian susu formula terlalu dini terhadap kesehatan bayi. Hal tersebut terungkap dari hasil wawancara bahwa semua bayi kecuali bayi responden 1 yang belum pernah mengalami diare. Sakit diare atau sakit pencernaan lain merupakan penyakit yang umum diderita oleh bayi yang tidak diberi ASI secara eksklusif. Menurut Eisenberg, bayi yang tidak diberi ASI secara eksklusif sangat rentan terserang penyakit. Penyakit yang bisa disebabkan karena kegagalan pemberian ASI eksklusif antara lain meningkatkan risiko kematian, infeksi saluran pencernaan (muntah, mencret), infeksi saluran pernapasan, meningkatkan gizi buruk(3). Tumbuh Kembang Pertumbuhan dan perkembangan merupakan proses yang terjadi pada tiap makhluk. Tumbuh kembang adalah proses yang kontinyu sejak dari konsepsi sampai maturitas atau dewasa, yang dipengaruhi oleh faktor bawaan dan lingkungan. Ini berarti bahwa tumbuh kembang sudah terjadi sejak di dalam kandungan dan setelah kelahiran merupakan suatu masa dimana mulai saat itu tumbuh kembang anak dapat dengan mudah diamati(9). Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik (anatomi) dan struktur tubuh dalam arti sebagian atau seluruhnya karena adanya multiplikasi (bertambah banyak) sel-sel tubuh dan juga karena bertambah besarnya sel. Adanya multiplikasi dan pertambahan ukuran sel berarti ada pertambahan secara kuantitatif dan hal tersebut terjadi sejak terjadinya konsepsi hingga dewasa. Perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan. Sebagai hasil dari proses pematangan, disini menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya termasuk juga perkembangan emosi, intelektual, dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungan. Hasil penelitian yang diperoleh melalui wawancara mengungkapkan bahwa bayi yang tidak diberi ASI eksklusif mempunyai pertumbuhan dan perkembangan yang normal pada saat dilakukan 34
penelitian. Hal tersebut terungkap dari hasil wawancara terhadap responden bahwa bayinya dapat melakukan aktifitas yang seharusnya dapat dilakukan pada bayi seusianya. Misalnya pada umur 6 bulan, bayi sudah dapat merangkak, berdiri sedikit-sedikit, mainan sendok, mengucapkan satu atau dua kata dengan jelas. Pada umur 1 tahun dapat minum dengan cangkir, jika dipanggil menoleh. Pertumbuhan dan perkembangan bayi yang tergolong normal dapat disebabkan karena adanya stimulasi dari orang-orang disekitar bayi seperti orang tua atau neneknya. Hal ini terungkap pada saat dilakukan wawancara didapatkan responden dan bayinya didampingi oleh orang tua responden, yang juga memberikan stimulasi perkembangan pada anaknya seperti mengajak berbicara, bermain dan sebagainya. Meskipun pertumbuhan dan perkembangan bayi responden sekarang tergolong normal, namun pada awal-awal pemberian susu formula tetap saja didapatkan bayi yang belum bisa melakukan aktifitas sesuai umurnya, seperti bayi responden 2 dan responden 4 yang belum bisa makan sendiri pada saat berumur 6 bulan. Menurut Wiryo akibatnya proses pertumbuhan bayi akan terganggu(7). Hal ini akan menyebabkan tingkat kecerdasan (Intellegence Quotient/IQ) bayi menjadi rendah yang secara keseluruhan menyebabkan sumber daya manusia (SDM) menjadi lebih buruk. Alasan Tidak Diberi ASI Eksklusif Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan itu tidak memberikan ASI eksklusif pada bayinya. Hasil wawancara dengan responden didapatkan keterangan bahwa responden tidak memberikan ASI eksklusif pada bayinya disebabkan karena faktor eksternal yang tidak dapat dihindari seperti ASI tidak lancar (R1), kerja pabrik (R2, R7), kuliah (R3,R6), bayi tidak mau minum ASI (R4), payudara bengkak, puting lecet (R5, R6). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Sukamti (2003) yang menyebutkan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi pemberian ASI Eksklusif antara lain pekerjaan, tingkat pengetahuan, adat istiadat, kebiasaan, usia, kontra Indikasi pada ibu dan bayi. Responden yang tidak memberikan ASI eksklusif pada bayinya lebih disebabkan karena faktor yang tidak dapat dikendalikan. Secara umum responden mengetahui waktu pemberian ASI eksklusif dan pentingnya pemberian ASI eksklusif seperti yang terungkap hasil pengisian kuesioner tingkat pengetahuan tentang ASI eksklusif, dimana hasilnya menunjukkan responden mempunyai
Dita Karinda, Ircham Machfoedz, Sundari Mulyaningsih, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 1, Tahun 2013, 29-35
pengetahuan baik tentang ASI eksklusif (R1, R2, R5, R6, R7) dan mempunyai pengetahuan cukup tentang ASI eksklusif (R2, R4). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Desiana, yang menyebutkan bahwa sebanyak 76,7% perilaku ibu-ibu dalam memberikan ASI eksklusif dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan tentang ASI eksklusif(10). Untuk mendukung hasil penelitian ini, peneliti melakukan wawancara terhadap ahli gizi di STIKES Alma Ata Yogyakarta. Menurut pendapat ahli gizi tersebut pemberian ASI eksklusif tidak terlalu berpengaruh terhadap status gizi balita. Perbedaan bayi yang diberi susu formula dan ASI eksklusif terletak pada imunitas bayi terhadap berbagai penyakit. Perbedaan yang lain terletak pada perkembangan intelektual balita. Balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif lebih rentan terhadap berbagai penyakit. Hal tersebut disebabkan karena komposisi susu formula tidak sama dengan komposisi ASI. Susu formula lebih banyak mengandung lemak sehingga bila bayi diberi susu formula sebelum usia 6 bulan, maka pertumbuhan bayi tersebut akan normal dalam arti berat badannya akan naik dan menjadi gemuk. Bayi yang mengalami kegemukan dalam waktu yang lama akan menyebabkan bayi mengalami berbagai komplikasi kesehatan yang dapat meningkatkan angka kesakitan dan kematian bayi. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil penelitian ini bahwa semua bayi pernah mengalami diare kecuali bayi responden pertama. Bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif juga akan mengalami gangguan perkembangan psikomotorik, baik psikomotorik halus maupun psikomotorik kasar. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil penelitian ini dimana bayi tidak dapat melakukan aktifitas sesuai dengan usia perkembangannya. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan melalui wawancara mendalam dapat diambil kesimpulan status gizi balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif termasuk dalam kategori baik, pertumbuhan dan perkembangan balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif termasuk dalam kategori normal, faktorfaktor yang mempengaruhi balita tidak mendapatkan ASI eksklusif di Dusun Mangir Tengah Desa Sendang
Sari Kecamatan Pajangan Bantul antara lain ASI tidak lancar, kerja pabrik, kuliah, bayi tidak mau minum ASI, payudara bengkak, puting lecet. Bidan agar dapat memberikan motivasi kepada ibu-ibu hamil untuk melakukan perawatan payudara secara teratur selama kehamilan dan setelah persalinan sehingga ASI dapat keluar dengan lancar. Selain itu bidan juga dapat memotivasi ibu yang bekerja atau kuliah untuk tetap memberikan ASI eksklusif dengan cara memerah ASI sebelum bekerja atau kuliah. Motivasi dapat dilakukan melalui penyuluhan maupun media informasi lainnya, bagi responden agar tetap berusaha memberikan ASI eksklusif pada anak selanjutnya dengan melakukan perawatan payudara selama kehamilan dan setelah persalinan dan memberikan ASI perah jika ditinggal bekerja atau kuliah. RUJUKAN 1. Kemenkes. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2010. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2011. 2. Ririn. Pola Makan Anak Adopsi Kebiasaan Orangtua [internet]. 2011 [cited 2012 Apr 22]. Available from: http://keluargasehat.wordpress. com/2008/04/17/pola-makan-anak-2/. 3. Eisenberg E, Murkoff HE, Hathaway SE. Bayi Pada Tahun Pertama Yang Anda Hadapi Bulan per Bulan. Jakarta: Arcan; 2007. 4. Dinkes Jogja. Profil Kesehatan Propoinsi DIY tahun 2010. Yogyakarta: Dinas Kesehatan; 2011. 5. Purwanti HS. Konsep Penerapan ASI Eksklusif. Jakarta: EGC; 2004. 6. Krisnatuti, Yenrina R. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Jakarta: Puspa Swara; 2003. 7. Wiryo H. Peningkatan Gizi Bayi, Anak, Ibu Hamil, dan Menyusui dengan Bahan Makanan Lokal. Jakarta: Sagung Seto; 2002. 8. Almatsier. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2002. 9. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. 10. Desiana N. Gambaran Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Ibu Dalam Pemberian ASI Eksklusif Terhadap Bayi Usia 7-24 Bulan di Desa Bunder Banaran Galur Kulon Progo Yogyakarta tahun 2010. Yogyakarta: STIKES ‘Aisyiyah; 2010.
Karakteristik dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Balita Tidak Mendapat ASI Eksklusif di Dusun Mangir Tengah
35