TINGKAT PENGETAHUAN IBU DAN POLA KONSUMSI PADA ANAK AUTIS DI KOTA BOGOR
DWI MURNI MUJIYANTI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT DWI MURNI MUJIYANTI. Level of Mother’s Knowledge and Consumption Pattern in Children with Autism in Bogor. Under direction of TIURMA SINAGA and EDDY S. MUDJAJANTO. Autism is a developing disorder which is caused by brain destruction. Brain destruction makes some disorder in communication, behavior, and social ability. Most children with autism have metabolic problem, such as enzyme deficiencies and leaky gut condition which allows proteins gluten and casein can not be absorbed as in normal children. So, intervention of diet especially diet GFCF (Gluten Free Casein Free) is one of the most common solution given. Mother’s knowledge is one important thing that affects child consumption. The general purpose of this research was to determine the relationship between mother’s knowledge and consumption pattern in children with autism in Bogor. The research uses cross sectional study from April to May 2011. The number of 93% samples have a frequency of eating 3 meals a day and only 17% given cycle menu. The number of 10% samples have an allergy to food served cold, orange, shrimp, and honey. The number of 26,67% samples taking supplement. Most of the samples do not consume foods containing gluten or casein. Food that contain gluten and casein are the most frequently consumed by the samples are biscuit, milk, cheese, and yogurt. Intakes of both calories and proteins were adequate in the majority of children, but the proteins was higher than Recommended Dietary Allowence (RDA). The average intake of vitamin A and magnesium were normal. However, the following nutrients did not meet the RDA requirements at all : vitamins C, calcium, and zinc. The result showed that nutritional status of 30% sample were normal and 40% sample were obesity. The result showed that mother’s knowledge related to the frequency of consumption of food containing gluten and casein in children. Samples which have a less knowledgeable mothers, likely to consume food that contain gluten for more than or equal to 3 times a week. However, samples with less knowledgeable mothers, reducing the consumption of food containing casein to less than 3 times a week. The result showed no relationship between mother’s knowledge with energy and nutrition adequacy level, as well as nutritional status of sample. The result also indicate that there is no relationship between adequacy level of energy and protein with nutritional status.
Keyword : Autism, gluten free casein free, mother’s knowledge, energy and nutrition adequacy level, food consumption
RINGKASAN DWI MURNI MUJIYANTI. Tingkat Pengetahuan Ibu dan Pola Konsumsi pada Anak Autis di Kota Bogor. Dibimbing Oleh TIURMA SINAGA dan EDDY S. MUDJAJANTO. Tujuan penelitian ini secara umum adalah mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan pola konsumsi pada anak autis di Kota Bogor. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1) mengidentifikasi karakteristik anak autis dan keluarga, 2) mengetahui akses ibu terhadap informasi pangan dan gizi serta tingkat pengetahuan ibu tentang pola konsumsi, makanan sumber gluten dan kasein, serta makanan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan bagi anak autis, 3) mengetahui pola konsumsi pangan yang meliputi frekuensi makan, siklus menu, makanan yang disukai, makanan yang biasa dikonsumsi, konsumsi pangan sumber gluten dan kasein, konsumsi suplemen, serta tingkat kecukupan energi dan zat gizi anak autis, 4) menilai status gizi anak autis, 5) menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi anak autis, 6) menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi anak autis, 7) menganalisis hubungan antara pengetahuan ibu dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi anak autis, 8) menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan frekuensi konsumsi pangan sumber gluten dan kasein anak autis. Penelitian dilaksanakan di Yayasan Keluarga Istimewa Indonesia (YKII), Cimanggu, dan SDN Perwira Kota Bogor. Pengambilan data penelitian dilaksanakan pada bulan April-Mei 2011. Kriteria contoh dalam penelitian ini adalah anak autis yang melakukan bimbingan belajar di Yayasan Keluarga Istimewa Indonesia (YKII), Cimanggu serta bersekolah di SDN Perwira Kota Bogor yang bersedia ikut serta dalam penelitian. Penarikan contoh dilakukan secara purposive sampling. Responden adalah ibu yang merupakan sumber informasi untuk menambah data. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer meliputi (1) karakteristik anak (usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan), (2) karakteristik orang tua (pendapatan, pendidikan, besar keluarga, usia), (3) pola konsumsi (frekuensi makan, jenis bahan pangan sumber gluten dan kasein, konsumsi suplemen, konsumsi selama tiga hari, makanan yang biasa dikonsumsi, makanan yang disukai, dan alergi). Pola konsumsi dan konsumsi pangan anak dinilai dengan menggunakan Food Frequency Questionares (FFQ) dan Food Record (3x24 jam), wawancara, serta pengamatan langsung. Data sekunder meliputi keadaan umum dan profil yayasan dan sekolah. Contoh sebagian besar (76,7%) berjenis kelamin laki-laki dan berusia pada kisaran 8-9 tahun sebanyak 43,3%. Keluarga contoh sebagian besar (70%) merupakan keluarga kecil, dengan usia ibu 80,0% tergolong usia dewasa awal (31-40 tahun) dan usia ayah 70,0% tergolong kategori dewasa madya (41-50 tahun). Pendidikan terakhir SMA pada ibu sebesar 40% dan pada ayah sebesar 33,33%. Ayah contoh sebagian besar (36,67%) bekerja sebagai wiraswasta sedangkan ibu contoh sebagian besar (76,67%) merupakan ibu rumah tangga. Pendapatan keluarga contoh sebagian besar (30%) berada pada rentang Rp. 5.000.001-Rp. 7.500.000. Responden sebagian besar (73,33%) sudah mengetahui informasi awal mengenai autis. Tindakan awal responden ketika pertama kali menyadari anaknya mengalami autis sebagian besar (86,67%) langsung berkonsultasi dengan dokter. Responden sebagian besar (56,67%) memperolah informasi dari media televisi, koran, majalah, atau internet. Responden sebagian besar (50%)
umumnya langsung menerapkan informasi yang ia peroleh tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan tenaga profesional. Jenis pelayanan kesehatan yang umumnya digunakan oleh ibu adalah rumah sakit atau puskesmas (73,33%). Sebanyak 33,33% responden mengaku sering datang ke dokter/ terapis minimal 1 kali seminggu. Alasan responden yang membawa anaknya ke terapis sebagian besar atas anjuran dari dokter (73,33%). Responden sebagian besar (60%) mengaku pernah mengikuti seminar atau penyuluhan tentang anak autis untuk menambah pengetahuan tentang autis. Menurut hasil perhitungan 66,67% responden memiliki tingkat pengetahuan yang baik. Contoh sebagian besar (93,33%) mengonsumsi makanan lengkap sebanyak tiga kali makan utama dalam sehari. Ibu sebagian besar tidak menerapkan siklus menu bagi anaknya sehingga cenderung memberikan makanan sesuai dengan bahan pangan yang tersedia. Makanan yang biasa dikonsumsi hampir sama seperti anak yang tidak mengalami autis. Contoh hanya tidak boleh mengonsumsi jenis makanan tertentu sesuai diet yang dijalani dan alergi yang dialami. Contoh yang memiliki alergi terhadap makanan tertentu sebanyak 10%. Sebanyak 26,67% contoh mengonsumsi suplemen. Contoh sebagian besar tidak mengonsumsi gluten maupun kasein. Rata-rata konsumsi pangan sumber gluten dan kasein contoh adalah 43,33% tidak pernah mengonsumsi pangan sumber gluten dan 66,67% tidak pernah mengonsumsi makanan sumber kasein. Jenis pangan sumber gluten yang paling sering diberikan yaitu mie, roti, dan biskuit masing-masing sebanyak 3x dalam seminggu. Sementara jenis pangan sumber kasein yang masih diberikan diantaranya susu sapi, susu skim, susu bubuk, mentega, keju, yoghurt, dan biskuit/wafer yang mengandung susu. Berdasarkan hasil perhitungan 40% contoh memiliki tingkat kecukupan energi normal dan 80% contoh memiliki tingkat kecukupan protein berlebih. Tingkat kecukupan vitamin A pada contoh, sebanyak 60% telah cukup baik. Kondisi sebaliknya ditemukan pada tingat kecukupan vitamin C. Sebagian besar contoh (70%) masih berada dalam kategori kurang. Contoh sebagian besar termasuk dalam kategori kurang untuk tingkat kecukupan kalsium dan zinc. Masing-masing dengan persentase 80% untuk kalsium dan zinc. Sementara tingkat kecukupan magnesium sebesar 93,33% dari contoh sudah cukup. Indeks BB/U menunjukkan bahwa 73,33% contoh berstatus gizi baik. Indeks TB/U menunjukkan bahwa 83,33% contoh memiliki status gizi normal. Status gizi contoh berdasarkan indeks IMT/U berkisar pada status gizi normal (30%) dan obesitas (40%). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi, serta status gizi (p>0,05). Hasil analisis korelasi Pearson juga menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi contoh. Hasil uji epidemiologi dengan menghitung Odds Ratio (OR) diketahui bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan ibu dengan frekuensi konsumsi pangan sumber gluten dan kasein pada anak. Anak dengan ibu yang berpengetahuan kurang berpeluang mengonsumsi pangan sumber gluten ≥3 kali seminggu 4 kali lebih sering dibandingkan anak dengan ibu berpengetahuan baik. Kondisi sebaliknya terjadi pada hubungan antara pengetahuan ibu dengan konsumsi makanan sumber kasein. Kelompok ibu berpengetahuan kurang menurunkan konsumsi pangan sumber kasein pada anak 2,3 kali lebih tinggi dibandingkan ibu berpengetahuan baik.
TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN POLA KONSUMSI ANAK AUTIS DI KOTA BOGOR
DWI MURNI MUJIYANTI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul
: Tingkat Pengetahuan Ibu dan Pola Konsumsi pada Anak Autis di Kota Bogor
Nama : Dwi Murni Mujiyanti NIM
: I14070068
Disetujui, Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Tiurma Sinaga, B. Sc., MFSA NIP. 19610521 198312 2 001
Ir. Eddy S. Mudjajanto NIP. 19601119 198803 1 001
Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alah SWT karena atas rahmat, hidayah, dan keridhaan-Nya penulis mampu menyelesaikan penulisan tugas akhir ini dengan baik. Penyusunan tugas akhir penulis yang berjudul “Tingkat Pengetahuan Ibu dan Pola Konsumsi pada Anak Autis di Kota Bogor” disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana gizi pada Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis pada kesempatan ini ingin berterima kasih kepada : 1.
Tiurma Sinaga, B. Sc., MFSA
dan Ir. Eddy S. Mudjajanto selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan arahan, masukan, kritik, dan semangat untuk menyelesaikan tugas akhir ini dengan penuh kesabaran. 2.
Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M. Kes selaku dosen pemandu seminar dan dosen penguji skripsi atas saran yang diberikan.
3.
Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M. Si selaku dosen pembimbing akademik.
4.
Ibu dan bapak tercinta, serta Kakak tersayang, Nopiyanti atas dukungan, cinta, kasih sayang, doa, nasihat, dan semangatnya.
5.
Keluarga besar Yayasan Keluarga Istimewa Indonesia (YKII), SDN Perwira, SDN Semeru 6, LSC Sekolah Alam Bogor serta orang tua dan adik-adik yang telah bersedia untuk berpartisipasi dan membantu kelancaran penelitian.
6.
Sahabat-sahabatku (Novi L, Siti M, Siti H, Tia, Welli, Ivi, Rysda, Cipit, Susi, Muthe, Ayu, Dita, Yid, Stefanie, Nonly, Siti Astuti, Nope, dan Ila) dan teman-teman Luminaire (GM 44) atas doa, kebersamaan, kebaikan dan dukungannya selama ini.
7.
Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis selama kuliah hingga penyelesaian skripsi yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat dan informasi bagi semuanya. Bogor, Desember 2011
Dwi Murni Mujiyanti
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 13 Oktober 1988. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari keluarga Bapak Mujakir dan Ibu Eti Maryati. Tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Cilolohan 1 Tasikmalaya setelah sebelumya bersekolah di Taman Kanak-kanak Cangkurileung
Tasikmalaya.
Penulis
melanjutkan
studinya
di SMPN
1
Tasikmalaya dan lulus pada tahun 2004. Selanjutnya penulis melanjutkan sekolah di SMAN 1 Tasikmalaya dan lulus pada tahun 2007. Bulan Juli 2007, Penulis dinyatakan diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Gizi Masyarakat, mayor Ilmu Gizi, Fakultas Ekologi Manusia. Selain mempelajari mayor Ilmu Gizi penulis juga mengambil minor Perkembangan Anak dari jurusan Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK), Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh masa pendidikan di IPB, penulis pernah aktif sebagai anggota divisi Mentoring Club Forum Syiar Islam FEMA (FORSIA) periode 2008-2009. Penulis juga pernah menjabat sebagai Ketua Divisi Keuangan Majalah Emulsi (Majalah Peduli Pangan dan Gizi) periode 2008-2010. Selain itu, Penulis juga pernah terlibat dalam berbagai kepanitiaan, antara lain Nutrition Fair (2009), Seminar dan Pelatihan Jurnalistik (2010), dan Seminar Gizi Nasional “Senzational” (2010). Pada tahun 2008-2009 penulis mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) dan beasiswa Supersemar pada tahun 2009-2010. Bulan Juni sampai dengan Agustus 2010, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Sukadamai, Kabupaten Bogor. Selain itu, Penulis juga melaksanakan Internship Dietetic (ID) di RSUD Cibinong, Bogor pada bulan Juni 2011.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................
i
DAFTAR TABEL .........................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
v
PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................... Perumusan Masalah ........................................................................... Tujuan ................................................................................................. Hipotesis ............................................................................................. Kegunaan ...........................................................................................
1 3 3 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Autis .................................................................................................... Pengertian dan gejala ................................................................. Jenis-jenis Autis.......................................................................... Klasifikasi Autis........................................................................... Etiologi dan Patofisiologi............................................................. Mekanisme Terjadinya Autis ....................................................... Faktor Resiko Kejadian Autis ...................................................... Jenis-jenis Terapi ....................................................................... Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga ................................................ Besar Keluarga ........................................................................... Pendidikan ................................................................................ Pendapatan ............................................................................... Pengetahuan Gizi dan Akses Ibu terhadap Informasi Gizi dan Kesehatan ......................................................................................... Kebiasaan Makan ................................................................................ Konsumsi Pangan................................................................................ Diet untuk Penderita Autis .................................................................. Diet GFCF (Gluten Free Casein Free) ....................................... Penilaian Konsumsi Pangan ................................................................ Food Frequency Questinaires (FFQ) .......................................... Food Record ............................................................................... Status Gizi ..........................................................................................
5 5 7 8 9 12 14 16 18 18 18 18 19 21 21 22 23 24 25 26 26
KERANGKA PEMIKIRAN ...........................................................................
28
METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat ............................................................... Jumlah dan Cara Penarikan Sampel ................................................... Jenis dan Cara Pengambilan Data ...................................................... Pengolahan dan Analisis Data ............................................................ Definisi Operasional ............................................................................
30 30 30 31 34
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...................................................... Yayasan Keluarga Istimewa Indonesia (YKII) ............................ SDN Perwira .............................................................................. Karakteristik Anak Autis ....................................................................... Usia Anak ................................................................................... Jenis Kelamin ............................................................................. Karekteristik Keluarga Anak Autis ....................................................... Besar Keluarga ........................................................................... Usia Orang Tua ......................................................................... Pendidikan Terkahir ................................................................... Pekerjaan .................................................................................. Pendapatan Keluarga ................................................................ Akses Informasi .................................................................................. Pengetahuan Ibu ................................................................................ Konsumsi Pangan ............................................................................... Frekuensi Konsumsi Pangan ..................................................... Siklus Menu ............................................................................... Makanan yang Disukai .............................................................. Makanan yang Biasa Dikonsumsi .............................................. Konsumsi Suplemen .................................................................. Alergi Makanan .......................................................................... Konsumsi pangan sumber gluten dan kasein ............................. Konsumsi Zat Gizi ............................................................................... Tingkat Kecukupan Gizi ...................................................................... Status Gizi ................ .......................................................................... Hubungan antara Pengetahuan Gizi dengan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi ............................................................................. Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dengan Status Gizi Contoh ............. Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Gizi ...................................................................................................... Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Konsumsi Pangan Sumber Gluten dan Kasein ....................................................
36 36 36 37 37 37 38 38 39 40 40 41 42 45 49 50 50 51 51 53 54 55 59 60 62 66 66 67 68
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ......................................................................................... Saran .................................................................................................. DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
70 72 73
LAMPIRAN ...................................................................................................
77
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1
Cut off pengkategorian pengetahuan gizi ......................................
20
Tabel 2
Data, jenis data, dan cara pengumpulan data ...............................
31
Tabel 3
Distribusi jenis kelamin contoh berdasarkan usia ..........................
37
Tabel 4
Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga ................................
39
Tabel 5
Sebaran usia orang tua contoh .....................................................
39
Tabel 6
Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orang tua ......................
40
Tabel 7
Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua........................
41
Tabel 8
Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga ......................
41
Tabel 9
Sebaran contoh berdasarkan informasi dan tindakan awal ibu, sumber informasi dan penerapannya ........................................... Tabel 10 Sebaran ibu berdasarkan jenis, frekuensi kunjungan, dan keikutsertaan dalam seminar atau penyuluhan ............................ Tabel 11 Distribusi tingkat pengetahuan ibu berdasarkan tingkat pendidikan .................................................................................... Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan jenis suplemen yang dikonsumsi ....
43 44 46 53
Tabel 13 Distribusi jenis makanan penyebab alergi berdasarkan klasifikasi autis ............................................................................................. Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan rata-rata frekuensi konsumsi pangan sumber gluten dan kasein per kelompok makanan .......... Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan konsumsi zat gizi ...........................
56 59
Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein........................................................................................... Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin ..............
59 61
Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan mineral ..............
62
Tabel 19 Distribusi status gizi (indeks BB/U dan TB/U) contoh berdasarkan klasifikasi autis ........................................................ Tabel 20 Distribusi status gizi (indekas IMT/U) contoh berdasarkan klasifikasi autis ............................................................................. Tabel 21 Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat pengetahuan ibu dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi .............................. Tabel 22 Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi ........................................................................ Tabel 23 Hasil uji korelasi Pearson antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi ............................................................. Tabel 24 Distribusi konsumsi gluten dan kasein berdasarkan pengetahuan ibu ................................................................................................
54
63 64 66 67 67 69
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1
Bagan kerangka pemikiran tingkat pengetahuan ibu dan pola konsumsi pada anak autis di kota Bogor ..........................
Gambar 2
29
Perbandingan sebaran status gizi contoh dengan grafik normal status gizi (IMT/U) menurut WHO 2007 ........................
64
Gambar 3
Sebaran contoh berdasarkan status gizi (TB/U) .......................
65
Gambar 4
Sebaran contoh berdasarkan presentase jawaban benar dari setiap pertanyaan .............................................................
80
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Angka kecukupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada contoh ..................................................................... Lampiran 2 Persentase jawaban pengetahuan ibu .................................
78 80
Lampiran 3 Frekuensi makanan sumber gluten yang biasa dikonsumsi ..
81
Lampiran 4 Frekuensi makanan sumber kasein yang biasa dikonsumsi .
82
Lampiran 5 Data status gizi contoh yang diambil ....................................
83
Lampiran 6 Kuesioner .............................................................................
84
PENDAHULUAN Latar Belakang Anak merupakan individu yang berada pada satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Anak mengalami rentang pertumbuhan dan perkembangan yang terdiri dari rentang cepat dan lambat. Proses perkembangan anak memiliki ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola koping, dan perilaku sosial (Hidayat A 2004). Pada beberapa kondisi terdapat anak-anak yang mengalami masalah perkembangan. Salah satu kelainan yang diderita anak yang menjadi sorotan saat ini adalah autis. Autis adalah
gangguan
perkembangan
yang
mencakup
bidang
komunikasi, interaksi, serta perilaku yang luas dan berat. Gejala autis mulai tampak pada anak usia 18-36 bulan. Penyebabnya adalah gangguan pada perkembangan susunan syaraf pusat yang menyebabkan terganggunya fungsi otak. Autis bisa terjadi pada siapapun, tanpa ada perbedaan status sosial ekonomi, pendidikan, golongan etnis, maupun bangsa (Indiarti MT 2007). Kasus autis belakangan ini bukan hanya terjadi di negara-negara maju seperti Inggris, Australia, Jerman dan Amerika, tetapi juga di negara berkembang seperti Indonesia. Prevalensi autis di dunia saat ini mencapai 15-20 kasus per 10.000 anak atau 0,15-0,20%. Apabila angka kelahiran di Indonesia enam juta per tahun, maka jumlah penyandang autis di Indonesia, bertambah 0,15% atau 6.900 anak pertahun. Jumlah anak laki-laki penyandang autis dapat mencapai tiga sampai empat kali lebih besar daripada anak perempuan (Mashabi NA. & Tajudin NR. 2009). Jumlah anak penderita autis di Indonesia diperkirakan mencapai 150.000-200.000 anak. Langkah untuk mengurangi gejala dari autis salah satunya adalah dengan memberikan intervensi diet. Intervensi diet dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi gejala autisme, meningkatkan kualitas hidup, serta memberikan status nutrisi yang baik. Intoleransi dan alergi makanan merupakan salah satu faktor pencetus yang perlu diperhatikan terhadap anak autis. Intervensi diet khusus bagi anak penyandang autis akan sangat bermanfaat untuk mengurangi manifestasi klinis yang terjadi, sehingga dapat membantu dalam perbaikan tingkah laku. Terdapat beberapa terapi diet autis yang telah diajukan untuk memperbaiki atau menyembuhkan gangguan ini. Strategi diet autis yang telah diusulkan sebagai penanganan diantaranya yaitu:
diet bebas jamur, diet GFCF (Gluten Free Casein Free), diet bebas bahan aditif, dan diet suplemen. Diet yang paling sering diberikan adalah diet Gluten Free Casein Free (GFCF). Gluten dan kasein tidak diperbolehkan untuk anak autis karena gluten dan kasein termasuk protein yang tidak mudah dicerna. Enzim pencernaan pada anak autis sangat kurang hingga membuat makanan tidak dicerna dengan sempurna. Gluten dan kasein dapat mempengaruhi fungsi susunan syaraf pusat, menimbulkan keluhan diare dan meningkatkan hiperaktivitas, yang tidak hanya berupa gerakan tetapi juga emosinya seperti marah-marah, mengamuk atau mengalami gangguan tidur (Suryana 2004). Hasil penelitian Latifah pada tahun 2004 menunjukkan bahwa 68,42% anak autis di Kota Bogor yang menerima diet GFCF
menunjukkan
adanya
perbaikan
perilaku
terutama
dalam
hal
hiperaktivitas. Dokter biasanya menyarankan untuk memperhatikan makanan untuk anak yang telah dinyatakan autis. Diet yang dianjurkan yaitu harus bebas gluten dan kasein. Dokter sering lupa bahwa ibu-ibu tidak tahu makanan apa saja yang bebas gluten dan kasein, sehingga tidak sedikit orang tua yang akhirnya kebingungan dalam memilih bahan makanan. Anak menjadi memiliki pilihan makanan yang terbatas yang pada akhirnya berpotensi menjadikan anak mudah terserang penyakit atau mengalami gizi kurang (Kusumayanti et al. 2005). Seorang ibu harus bersikap lebih selektif dalam mengatur pola makan bagi anaknya. Ibu dapat dengan tegas melarang atau memperbolehkan anak untuk mengonsumsi jenis makanan tertentu. Oleh karena itu, ibu harus memiliki pengetahuan yang baik tentang pilihan makanan untuk anak autis. Berdasarkan hasil penelitian Mashabi NA dan Tajudin NR pada tahun 2009, diketahui bahwa tinggi rendahnya pengetahuan ibu akan mempengaruhi pola makan anak autis. Penelitian Kusumayanti et al. tahun 2005 menyebutkan bahwa sebagian besar anak penyandang autis yang di terapi di RS Sanglah Denpasar belum dapat melaksanakan diet GFCF (Gluten Free Casein Free). Salah satu alasan yang dikemukan ibu dari penyandang autis adalah kurangnya pengetahuan ibu tentang diet GFCF (Gluten Free Casein Free) bagi anak autis. Oleh karena itu pengetahuan ibu tentang pangan apa saja yang boleh dikonsumsi oleh anak autis sangat penting bagi terpenuhinya kecukupan gizi sesuai dengan kebutuhan anak. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik
untuk mengetahui gambaran pola konsumsi anak autis khususnya pangan sumber gluten dan kasein dan pengetahuan ibu pada anak autis di kota Bogor. Perumusan Masalah Anak penyandang autis jumlahnya semakin bertambah dari tahun ke tahun, bukan hanya di negara-negara maju tetapi juga di negara berkembang seperti Indonesia. Hasil penelitian Central of Disease Control (CDC) di Amerika Serikat menyatakan bahwa perbandingan anak penyandang autis sebesar 1 dari 150 kelahiran. Angka yang sama juga diperkirakan terjadi di tempat lain termasuk Indonesia. Penanganan yang tepat sangat diperlukan baik dari segi psikososial maupun asupan makanan yang sehat dan bergizi. Salah satu terapi diet yang umum dianjurkan pada anak penderita autis adalah diet GFCF (Gluten Free Casein Free). Ibu memegang peranan penting dalam pendampingan proses perkembangan anak, termasuk dalam pemilihan asupan makanan yang tepat sesuai kebutuhan anak. Pengetahuan yang cukup terutama tentang diet yang tepat bagi anak penyandang autis sangat diperlukan agar dapat memberikan penanganan yang tepat dan memastikan anak mendapat asupan makanan yang cukup. Tujuan Tujuan umum : Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan pola konsumsi pada anak autis di Kota Bogor. Tujuan khusus : 1. Mengidentifikasi karakteristik anak autis dan keluarga. 2. Mengetahui akses ibu terhadap informasi pangan dan gizi serta tingkat pengetahuan ibu tentang pola konsumsi, makanan sumber gluten dan kasein, serta makanan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan bagi anak autis. 3. Mengetahui pola konsumsi pangan yang meliputi frekuensi makan, siklus menu, makanan yang disukai, makanan yang biasa dikonsumsi, konsumsi pangan sumber gluten dan kasein, konsumsi suplemen, serta tingkat kecukupan energi dan zat gizi anak autis. 4. Menilai status gizi anak autis. 5. Menganalisis
hubungan
antara
pengetahuan
kecukupan energi dan protein anak autis.
ibu
dengan
tingkat
6. Menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi anak autis. 7. Menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi anak autis. 8. Menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan frekuensi konsumsi pangan sumber gluten dan kasein anak autis. Hipotesis Hipotesis yang akan diuji dan digunakan sebagai dasar dari penelitian ini adalah : 1.
Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan tingkat kecukupan energi dan protein contoh.
2.
Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi contoh.
3.
Terdapat hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi contoh.
4.
Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan frekuensi konsumsi pangan sumber gluten dan kasein contoh. Kegunaan Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
gambaran
tingkat
pengetahuan ibu tentang pola konsumsi atau diet yang selama ini telah dilakukan. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi para orang tua anak penyandang autis tentang pentingnya pengetahuan dan pemberian makanan yang tepat bagi anak autis. Penulis dan masyarakat umumnya diharapkan dapat mengetahui lebih banyak tentang permasalahan-permasalahan anak autis, serta bagi terapis atau pengajar dapat menjadikan sebagai bahan masukan untuk orang tua tentang cara pemberian makan yang tepat untuk anak autis.
TINJAUAN PUSTAKA Autis Pengertian dan Gejala Autisme berasal dari kata Yunani “autos” yang berarti self (diri). Kata autisme ini digunakan di dalam bidang psikiatri untuk menunjukkan gejala menarik diri. Istilah autis pertama kali dikemukakan pada tahun 1943 oleh Leo Kanner, seorang psikolog dari Universitas John Hopkins. Ia memakai istilah autis yang secara sosial tidak mau bergaul dan tenggelam dengan kerutinan, anakanak yang harus berjuang keras untuk bisa menguasai bahasa lisan namun tak jarang menyimpan bakat intelektual tinggi. Berdasarkan penelitian terkini, gejala autis disebabkan beberapa faktor yaitu genetik, infeksi virus rubella atau galovirus saat dalam kandungan, faktor makanan seperti makanan yang mengandung gluten dan kasein, gangguan metabolik yang menyebabkan kelainan pada sistem limbik (bagian otak yang mengatur emosi), kondisi ibu yang merokok pada saat hamil, serta pencemaran terhadap logam berat terutama timbal (Kanner L 2007 dalam Latifah 2004). Sari ID (2009), berpendapat istilah autis berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan isme yang berarti aliran. Autisme berarti suatu paham yang tertarik hanya pada dunia sendiri. Autis diduga akibat kerusakan saraf otak yang bisa muncul karena beberapa faktor, di antaranya : genetik dan faktor lingkungan. Menurut Sutadi (2003), secara sederhana masalah atau karakteristik yang sering terdapat pada penyandang autis adalah sebagai berikut: (1) Kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi seperti bicara dan berbahasa. (2) terjadi ketidaknormalan dalam hal menerima rangsang melalui panca indera (pendengaran, penglihatan,perabaan dan lain-lain), (3) masalah gerak/motorik. (4) kelemahan kognitif, (5) perilaku yang tidak biasa, dan (6) masalah fisik. Menurut Yuliana & Emilia (2006), Autistic Spectrum Disorder (ASD) adalah suatu kelompok gangguan perkembangan anak yang terdiri dari Attention Deficit Disorder (ADD), Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dan Pervasive Developmental Disorder (PDD). PDD adalah diagnosis yang diberikan kepada anak-anak apabila menunjukkan gejala autis tetapi masih memiliki sedikit kemampuan untuk berbicara dan berkomunikasi. Seorang anak yang didiagnosis dengan
ADD
memiliki
kesulitan
dalam
mempertahankan
kemampuan
memusatkan perhatiannya. Seorang anak hiperaktif dengan ADD dinamakan ADHD. Keduanya dianggap sebagai bentuk ASD yang lebih ringan. Asperger 's
Syndrome adalah bentuk autis yang paling ringan karena mempakan anak-anak yang cerdas. Mereka menggunakan dan mengerti perbendaharaan kata secara khas, tetapi memiliki minat yang sangat sempit dan menunjukkan banyak kekurangan dari segi sosial. Seorang anak dengan Asperger 's Syndrome bisa sangat ahli mengenai masalah mesin cuci, tapi mesin cuci adalah satu-satunya hal yang dibicarakan. Gejala-gejala yang terlihat pada anak yang menderita autis adalah diare atau sembelit yang susah diatur, sakit pada bagian perut, adanya gas dan kembung, buang air besar yang berbau busuk dan bewarna lebih muda, dan kesulitan tidur setiap malam
yang disebabkan oleh saluran usus yang
mengalami gangguan sepanjang malam akibat asam lambung naik dan membakar esopaghus, yaitu tempat dilaluinya makanan menuju perut (Yuliana & Emilia E 2006). Menurut Acocella (1996) dalam Lubis MU. (2009), ada banyak tingkah laku yang tercakup dalam autis dan ada 4 gejala yang selalu muncul, yaitu : 1.
Isolasi sosial
Banyak anak autis yang menarik diri dari segala kontak sosial kedalam suatu keadaan yang disebut extreme autistic aloness. Hal ini akan semakin terlihat pada anak yang lebih besar, dan ia akan bertingkah laku seakan-akan orang lain tidak pernah ada. 2.
Kelemahan kognitif :
Anak autis sebagian besar (± 70%) mengalami retardasi mental (IQ < 70) tetapi anak autis sedikit lebih baik, contohnya dalam hal yang berkaitan dengan kemampuan sensori motor. Terapi yang dijalankan anak autis meningkatkan hubungan sosial mereka tapi tidak menunjukkan pengaruh apapun pada retardasi mental yang dialami. Oleh karena itu, retardasi mental pada anak autis, terutama sekali disebabkan oleh masalah kognitif dan bukan pengaruh penarikan diri dari lingkungan sosial. 3.
Kekurangan dalam bahasa
Lebih dari setengah autis tidak dapat berbicara, yang lainnya hanya mengoceh, merengek, menjerit atau menunjukkan ecolalia, yaitu menirukan apa yang dikatakan orang lain. Beberapa anak autis mengulang potongan lagu, iklan TV, atau potongan kata yang terdengar tanpa tujuan. Beberapa anak autis menggunakan kata ganti dengan cara yang aneh. Menyebut diri mereka sendiri sebagai orang kedua “kamu” atau orang ketiga “dia”. Intinya anak autis tidak
dapat berkomunikasi dua arah (resiprok) dan tidak dapat terlibat dalam pembicaraan normal 4.
Tingkah laku stereotif
Anak autis sering melakukan gerakan yang berulang-ulang secara terusmenerus tanpa tujuan yang jelas. Seperti berputar-putar, berjingkat-jingkat dan lain sebagainya. Gerakan yang dilakukan berulang-ulang ini disebabkan adanya kerusakan fisik, misalnya adanya gangguan neurologis. Anak autis juga mempunyai kebiasaan menarik-narik rambut dan menggigit jari. Walaupun sering menangis kesakitan akibat perbuatan sendiri, dorongan untuk melakukan tingkah laku yang aneh ini sangat kuat dalam diri mereka. Anak autis juga hanya tertarik pada bagian-bagian tertentu dari sebuah objek, misalnya pada roda mainan mobil-mobilan. Anak autis juga menyukai keadaan lingkungan dan kebiasaan yang monoton. Menurut Handojo (2003), deteksi dini autis pada anak yang dianjurkan untuk diwaspadai oleh para orang tua adalah sebagai berikut : 1. Anak usia 30 bulan belum bisa bicara untuk komunikasi 2. Hiperaktif dan acuh kepada orang tua dan orang lain 3. Tidak bisa bermain dengan teman sebayanya 4. Ada perilaku aneh yang diulang-ulang Jenis-jenis Menurut Faisal Y (2003) dalam Hidayat (2004), autisme terdiri dari tiga jenis yaitu persepsi, reaksi, dan yang timbul kemudian. 1. Autisme persepsi Autisme persepsi merupakan autisme yang timbul sebelum lahir dengan gejala adanya rangsangan dari luar baik kecil maupun kuat yang dapat menimbulkan kecemasan. 2. Autisme reaktif Autisme reaktif ditunjukkan dengan gejala berupa penderita membuat gerakan-gerakan tertentu yang berulang-ulang dan kadang-kadang disertai kejang dan dapat diamati pada anak usia 6-7 tahun. Anak memiliki sifat rapuh dan mudah terpengaruh oleh dunia luar. 3. Autisme yang timbul kemudian Jenis autisme ini diketahui setelah anak agak besar dan akan mengalami kesulitan dalam mengubah perilakunya kerena sudah melekat atau ditambah adanya pengalaman yang baru.
Sedangkan menurut Sari ID (2009), autis terbagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut : 1.
Autisme klasik. Autis sejak lahir merupakan bawaan yang diturunkan dari orang tua ke
anak yang dilahirkan atau sering disebut autis yang disebabkan oleh genetika (keturunan) (CDC 2000). Kerusakan saraf sudah terdapat sejak lahir, karena saat hamil, ibu terinfeksi virus seperti rubella, atau terpapar logam berat berbahaya seperti merkuri dan timbal yang berdampak mengacaukan proses pembentukan sel-sel otak janin. 2.
Autisme regresif Muncul saat anak berusia antara 12 sampai 24 bulan. Sebelumnya
perkembangan anak relatif normal, namun saat usia anak menginjak 2 tahun kemampuan anak merosot. Anak tadinya sudah bisa membuat kalimat dua sampai tiga kata berubah diam dan tidak lagi berbicara. Anak terlihat acuh dan tidak mau melakukan kontak mata. Kalangan ahli menganggap autisme regresif muncul karena anak terkontaminasi langsung faktor pemicu. Paparan logam berat terutama merkuri dan timbal dari lingkungan merupakan faktor yang paling disorot. Klasifikasi Autis Menurut Cohen & Bolton (1994) dalam Hadrian J (2008) autisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian berdasarkan gejalanya. Seringkali pengklasifikasian disimpulkan setelah anak didiagnosa autis. Klasifikasi ini dapat diberikan melalui Childhood Autism Rating Scale (CARS). Skala ini menilai derajat kemampuan anak untuk berinteraksi dengan orang lain, melakukan imitasi, memberi respon emosi, penggunaan tubuh dan objek, adaptasi terhadap perubahan, memberikan respon visual, pendengaran, pengecap, penciuman dan sentuhan. Selain itu, Childhood Autism Rating Scale juga menilai derajat kemampuan anak dalam perilaku takut/gelisah melakukan komunikasi verbal dan non verbal, aktivitas, konsistensi respon intelektual serta penampilan menyeluruh Pengklasifikasiannya adalah sebagai berikut : a). Autis ringan Pada kondisi ini, anak autis masih menunjukkan adanya kontak mata walaupun tidak berlangsung lama. Anak autis ini dapat memberikan sedikit respon ketika dipanggil namanya, menunjukkan ekspresi-ekspresi muka, dan dalam berkomunikasi secara dua arah meskipun terjadinya hanya sesekali.
Tindakan-tindakan
yang
dilakukan,
seperti memukulkan kepalanya
sendiri,
mengigit kuku, gerakan tangan yang steroetif dan sebagainya, masih bisa dikendalikan dan dikontrol dengan mudah. Karena biasanya perilaku ini dilakukan masih sesekali saja, sehingga masih bisa dengan mudah untuk mengendalikannya. b). Autis sedang Pada kondisi ini, anak autis masih menunjukkan sedikit kontak mata, namun tidak memberikan respon ketika namanya dipanggil. Tindakan agresif atau hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik yang stereotipik cenderung
agak
sulit
untuk
dikendalikan
tetapi
masih
bisa
dikendalikan. c). Autis berat Anak autis yang berada pada kategori ini menunjukkan tindakan-tindakan yang sangat tidak terkendali. Biasanya anak autis memukul-mukulkan kepalanya ke tembok secara berulang-ulang dan terus-menerus tanpa henti. Ketika orang tua berusaha mencegah, namun anak tidak memberikan respon dan tetap melakukannya, bahkan dalam kondisi berada dipelukan orang tuanya, anak autis tetap memukul-mukulkan kepalanya. Anak baru berhenti setelah merasa kelelahan kemudian langsung tertidur. Kondisi yang lainnya yaitu, anak terus berlarian didalam rumah sambil menabrakkan tubuhnya ke dinding tanpa henti hingga larut malam, keringat sudah bercucuran di sekujur tubuhnya, anak terlihat sudah sangat kelelahan dan tak berdaya. Tetapi masih terus berlari sambil menangis. Seperti ingin berhenti, tapi tidak mampu karena semua diluar kontrolnya. Hingga akhirnya anak terduduk dan tertidur kelelahan. Etiologi dan Patofisiologi Menurut Sari ID (2009), autis merupakan penyakit yang bersifat multifaktor. Teori pengenai penyebab dari autis diantaranya adalah sebagai berikut. 1.
Faktor genetika Faktor genetik diperkirakan menjadi penyebab utama dari kelainan
autisme, walaupun bukti kongkrit masih sulit ditemukan. Hal tersebut diduga karena adanya kelainan kromosom pada anak autisme, namun kelainan itu tidak selalu berada pada kromosom yang sama. Penelitian masih terus dilakukan sampai saat ini.
Jumlah anak berjenis kelamin laki-laki yang menderita autis lebih banyak dibandingkan perempuan, hal ini diduga karena adanya gen atau beberapa gen pada kromosom X yang terlibat dengan autis. Perempuan memiliki dua kromosom X, sementara laki-laki hanya memiliki satu kromosom X. Kegagalan fungsi pada gen yang terdapat di salah satu kromosom X pada anak perempuan dapat digantikan oleh gen pada kromosom lainnya. Sementara pada anak laki-laki tidak terdapat cadangan ketika kromosom X mengalami keabnormalan. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa gen pada kromosom X bukanlah penyebab utama autis, namun suatu gen pada kromosom X yang mempengaruhi interaksi sosial dapat mempunyai andil pada perilaku yang berkaitan dengan autis (Wargasetia 2003). 2.
Kelainan anatomis otak Kelainan anatomis otak ditemukan khususnya di lobus parietalis,
serebelum serta pada sistem limbiknya. Sebanyak 43% penyandang autisme mempunyai kelainan di lobus parietalis otaknya, yang menyebabkan anak tampak acuh terhadap lingkungannya. Kelainan juga ditemukan pada otak kecil (serebelum), terutama pada lobus ke VI dan VII. Otak kecil bertanggung jawab atas proses sensoris, daya ingat, berfikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian). Jumlah sel Purkinye di otak kecil juga ditemukan sangat sedikit, sehingga terjadi gangguan keseimbangan serotonin dan dopamin, menyebabkan gangguan atau kekacauan lalu lintas impuls di otak. Kelainan khas juga ditemukan di daerah sistem limbik yang disebut hipokampus dan amigdala. Kelainan tersebut menyebabkan terjadinya gangguan fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi. Anak kurang dapat mengendalikan emosinya, sering terlalu agresif atau sangat pasif. Amigdala juga bertanggung jawab terhadap berbagai rangsang sensoris seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, rasa dan rasa takut. Hipokampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan daya ingat. Gangguan hipokampus menyebabkan kesulitan penyimpanan informasi baru, perilaku diulang-ulang yang aneh dan hiperaktif. 3.
Disfungsi metabolik Disfungsi
metabolik
terutama
berhubungan
dengan
kemampuan
memecah komponen asam amino phenolik. Amino phenolik banyak ditemukan di berbagai
makanan
dan
dilaporkan
bahwa
komponen
utamanya
dapat
menyebabkan terjadinya gangguan tingkah laku pada pasien autis. Sebuah publikasi dari Lembaga Psikiatri Biologi menemukan bahwa anak autis
mempunyai kapasitas rendah untuk menggunakan berbagai komponen sulfat sehingga anak-anak tersebut tidak mampu memetabolisme komponen amino phenolik. Komponen amino phenolik merupakan bahan baku pembentukan neurotransmiter, jika komponen tersebut tidak dimetabolisme baik akan terjadi akumulasi katekolamin yang toksik bagi saraf. Makanan yang mengandung amino phenolik itu adalah : terigu (gandum), jagung, gula, coklat, pisang, dan apel. 4.
Infeksi Kandidiasis Strain Candida ditemukan di saluran pencernaan dalam jumlah sangat
banyak saat menggunakan antibiotik yang nantinya akan menyebabkan terganggunya flora normal anak. Infeksi Candida albicans berat bisa dijumpai pada anak yang banyak mengonsumsi makanan yang banyak mengandung yeast dan karbohidrat, karena dengan adanya makanan tersebut Candida dapat tumbuh subur. Makanan jenis ini dilaporkan menyebabkan anak menjadi autis. Penelitian sebelumnya menemukan adanya hubungan antara beratnya infeksi Candida albicans dengan gejala-gejala menyerupai autis, seperti gangguan berbahasa, gangguan tingkah laku dan penurunan kontak mata. Tetapi Dr Bernard Rimland, seorang peneliti terkemuka di bidang autis, mengatakan bahwa sampai sekarang hubungan antara keduanya kemungkinannya masih sangat kecil. 5.
Teori kelebihan opioid dan hubungan antara diet protein kasein dan gluten. Pencernaan anak autis terhadap kasein dan gluten tidak sempurna.
Kedua protein ini hanya terpecah sampai polipeptida. Polipeptida dari kedua protein tersebut terserap ke dalam aliran darah dan menimbulkan “efek morfin” di otak anak. Pori-pori yang tidak lazim kebanyakan ditemukan di membran saluran cerna pasien autis, yang menyebabakan masuknya peptida ke dalam darah. Hasil metabolisme gluten adalah protein gliadin. Gliadin akan berikatan dengan reseptor opioid C dan D. Reseptor tersebut berhubungan dengan mood dan tingkah laku. Diet sangat ketat bebas gluten dan kasein menurunkan kadar peptida opioid serta dapat mempengaruhi gejala autis pada beberapa anak. Sehingga, implementasi diet merupakan terobosan yang baik untuk memperoleh kesembuhan pasien. Teori lain yang masih kontroversial mengenai vaksinasi MMR yang diberikan pada usia 15 bulan, juga teori penggunaan antibiotik, stres, merkuri
dan berbagai toksin yang ada di lingkungan. Akan tetapi, semua faktor tersebut mungkin hanya merupakan pemicu, yang bisa terjadi pada anak yang sudah mempunyai riwayat genetik. Teori yang berhubungan dengan diet sampai sekarang masih ramai dibicarakan diantara berbagai teori tersebut. Mekanisme Terjadinya Autis 1) Mekanisme Racun Logam Berat Logam berat dapat berpengaruh buruk pada sistem saluran cerna, sistem imun tubuh, sistem saraf, dan sistem endokrin. Logam berat mengubah fungsi seluler dan sejumlah proses metabolisme dalam tubuh, termasuk yang berhubungan dengan sistem saraf pusat dan sekitamya. Sebagian besar kerusakan
yang
disebabkan
oleh
logam
berat
disebabkan
oleh
perkembangbiakan radikal bebas oksidan. Radikal bebas adalah molekul yang secara energi keberadaannya tidak seimbang, yaitu terdiri dari elektron yang tidak berpasangan yang mengambil elektron dari molekul lainnya. Radikal bebas umumnya muncul bila molekul sel-sel bereaksi dengan oksigen. Produksi radikal bebas yang berlebihan dapat terjadi apabila seseorang
terpapar logam berat
atau
anak-anak memiliki defisiensi
antioksidan secara genetis. Radikal bebas akan dapat merusak jaringan di seluruh tubuh, termasuk otak. Antioksidan seperti vitamin A, C, dan E melindungi tubuh terhadap radikal bebas dan pada tingkat tertentu memperbaiki kerusakan akibat radikal bebas (McCandless 2003). 2) Imun Tubuh dan Saluran Cerna Berinteraksi Otak adalah bagian tubuh yang membutuhkan zat gizi penting. Kebutuhan tersebut sangat bergantung pada interaksi kompleks antarasistem imun, kelenjar endoktrin, dan saluran pencemaan. Imun tubuh adalah pemimpin pertahanan tubuh menghadapi bakteri patogen, jamur, dan virus. Sistem imun juga dapat membedakan antarmolekul asing (Foreign) dan molekul tubuh sendiri (self) dan menggerakkan sel-sel dan antibodi untuk menghadapi molekul asing. Sistem imun seharusnya bereaksi apabila ada masalah, tetapi anak autis mempunyai sistem imun yang malfungsi. Seringkali perubahan fungsi ini menyebabakan tubuh salah mengidentifikasi sel-sel sendiri dan molekul asing. Malfungsi ini menyebabkan terjadinya peradangan saluran cerna (McCandless 2003). Saluran cerna merupakan penghalang penting antara patogen yang datang dari luar dan organ-organ dalam, dimana
sejumlah mekanisme imun terdapat pada ephitalium. Lapisan usus ini bertugas memblokir patogen luar agar tidak melakukan perusakan. 3) Pertumbuhan Jamur yang Berlebih dapat Melukai Sistem Saluran Cerna Pemberian antibiotik yang berlebihan mengakibatkan banyak bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Antibiotik bukan hanya membunuh patogen, tetapi sekaligus membunuh bakteri-bakteri pelindung (probiotik) usus. Diare kronis atau sembelit pada anak dapat menunjukkan gejala pertumbuhan jamur yang berlebihan pada banyak individu. Pertumbuhan bakteri dan jamur yang berlebihan dapat melukai sistem saluran cerna dan merupakan salah satu penyebab spektrum autis (McCandless 2003). 4) Peningkatan Permeabilitas Mukosa Usus dan Malabsorpsi Jamur memproduksi hasil sampingan yang beracun yang dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit pencernaan, terasuk sindrom iritasi usus besar (irritable bowel syndrome), sembelit yang kronis atau diare (Walsh 2003 dalam Yuliana & Emilia E 2006). Salah satu racun hasil sampingan ini adalah enzim yang membiarkan jamur tersebut menggali lubang di dinding usus yang dapat mengakibatkan terjadinya keadaan leaky gut. Racun-racun yang diproduksi oleh jamur ini benar-benar mengebor lubang-lubang pada dinding usus dan meresap ke dalam aliran darah anak. Substansi racun ini dapat melukai atau merusak sawar darah otak yang menyebabkan rusaknya kesadaran, kemampuan kognitif, kemampuan bicara atau tingkah laku. Sawar darah otak merupakan suatu dinding yang impermeabel. Sawar darah berfungsi melindungi otak dari berbagai gangguan yang dapat menyebabkan disfungsi otak. Penyerapan protein yang tidak cukup atau tidak sesuai oleh usus dapat menyebabkan kelainan sistem pencernaan. Sistem pencernaan yang sehat akan mampu mencerna makanan yang kompleks dan memecahnya ke dalam bentuk yang dapat diserap oleh sel-sel tubuh yang kemudian diubah menjadi energi melalui metabolisme tubuh (McCandless 2003). Sewaktu dicerna, banyak protein yang dipecah menjadi asam amino tunggal, yang lainnya dibawa sebagai rantai yang sedikit lebih besar. Pada anak autis, protein dan peptida yang tidak dapat dicema berasal dari casein dan gluten. Peptida yang tidak bisa diterima tubuh dapat memasuki aliran darah dan apabila terbawa ke otak akan memiliki efek seperti opioid (Shattock 2002 dalam Yuliana & Emilia E. 2004).
Lubang-lubang yang berukuran abnormal di antara dinding-dinding lapisan sel usus akan membiarkan opioid dan zat-zat beracun lainnya merembes memasuki aliran darah (Shattock 2002 dalam Yuliana & Emilia E. 2004). Racun-racun ini tidak seharusnya berada di tempat tersebut, maka sistem imun mengenali substansi-substansi ini sebagai benda asing dan membuat antibodi menentang mereka. Beberapa patogen usus yang masuk dalam aliran darah, biasanya akan dihancurkan oleh munculnya reaksi imun. Akan tetapi pecahan dinding sel patogen yang telah dihancurkan ini dapat menyebabkan peradangan dan sampai tingkat tertentu dapat tersangkut di lokasi-lokasi seluruh tubuh termasuk hati dan otak itu sendiri. Substansi racun tersebut
dapat
merusak bahkan
melampaui kemampuan
hati untuk
membersihkan racun tersebut apabila terdapat dalam jumlah yang cukup banyak. Penumpukan patogen tersebut dapat menimbulkan kehilangan memori dan kebingungan. Faktor Resiko Kejadian Autis Penyebab autis secara pasti sampai saat ini belum diketahui. Para ahli hanya meyakini disebabkan oleh multifaktor yang saling berkaitan satu sama lain, seperti: faktor genetik, abnormalitas sistem pencernaan (gastro-intestinal), polusi lingkungan, disfungsi imunologi, gangguan metabolisme (inborn error), gangguan pada masa kehamilan/persalinan, abnormalitas susunan syaraf pusat/struktur otak, dan abnormalitas biokimiawi. Adapun faktor-faktor resiko yang diduga menjadi penyebab dari autis tersebut adalah sebagai berikut : 1. Tokoplasmosis Tokoplasmosis yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa tokoplasma gondii. Manusia dapat terinfeksi parasit ini melalui makanan yang mengandung parasit. Ibu hamil yang mengalami keguguran Toplasmosis
berulang ibu
dapat
dapat
dipastikan
menyebabkan
penyebabnya abortus,
tokoplasma.
kematian
janin,
pertumbuhan janin terhambat, partus prematus dan kematian neonatal. Bayi yang terkena biasanya berat badan lahirnya rendah, memperlihatkan gejala
penyakit
neurologi
dengan
konvulasi,
hidrocefalus
atau
mikrocefalus dan kalsifikasi pada parenkim otak. Kalsifikasi pada parenkim otak dapat menyebabkan pertumbuhan sel-sel otak dan pembentukan cabang sel otak terhambat sehingga komunikasi antar sel
terganggu, sehingga di kemudian hari anak akan mengalami hambatan dalam perkembangan otak. 2. Pendarahan antenatal Pendarahan antenatal adalah kondisi dimana ibu hamil mengalami perdarahan
yang
dapat
disebabkan
karena
gangguan
plasenta.
Gangguan pada plasenta akan menyebabkan terganggunya suplai oksigen dan glukosa pada janin. Suplai yang tidak mencukupi akan membuat perkembangan otak janin terganggu. 3. Hiperemesis gravidarum Hiperemesis gravidarum adalah mual dan muntah yang sering pada kehamilan trimester I yang menyebabkan keadaan umum menjadi buruk.
Hiperemesis
gravidarum
dapat
menyebabkan
cadangan
karbohidrat dan lemak habis terpakai untuk keperluan energi, kekurangan cairan
yang
diminum
dan
kekurangan
cairan
karena
muntah
menyebabkan dehidrasi, sehingga cairan ekstraselular dan plasma serta natrium dan klorida dalam darah turun. Dehidrasi menyebabkan hemokonsentrasi sehingga aliran darah ke jaringan berkurang demikian pula aliran darah ke janin berkurang sehingga suplai oksigen dan glukosa untuk otak janin berkurang. 4. Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) BBLR adalah suatu kejadian dimana berat badan bayi saat lahir kurang dari 2500 gram. BBLR dapat disebabkan karena gizi yang kurang saat dalam kandungan. Bayi BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipoksia, keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya metabolisme anaerob sehingga otak mengalami kerusakan pada periode perinatal. 5. Trauma lahir Trauma lahir adalah trauma akibat pertolongan pada persalinan misalnya trauma karena tindakan forsep dan vakum. Trauma lahir dapat menyebabkan
perdarahan
intraserebral,
perdarahan
subarahnoid,
subdural hematon yang mengakibatkan gangguan otak baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga terjadi gangguan aliran darah. 6. Asfiksia Asfiksia adalah keadaan bayi tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Asfiksi dapat terjadi selama kehamilan akibat
kondisi atau kehamilan yang diderita ibu seperti gizi yang buruk, penyakit menahun seperti anemia, hipertensi, penyakit jantung. Asfiksi dapat terjadi juga secara mendadak karena hal-hal yang diderita ibu selama persalinan. Faktor-faktor yang timbul dalam persalinan bersifat lebih mendadak dan hampir selalu mengakibatkan anoksia dan hipoksia janin dan berkahir dengan asfiksia bayi. 7.
Kejang demam Kejang demam adalah keadaan dimana bayi mengalami kejang yang didahului oleh panas badan karena suatu penyakit infeksi yang diderita bayi. Kejang demam menyebabkan peningkatan metabolisme dalam tubuh, apabila berlangsung lama dapat menyebabkan kekurangan glukosa, oksigen, dan berkurangnya aliran darah otak sehingga terjadi gangguan sel. Apabila berlangsung lama dapat terjadi kerusakan neuron.
8. Mump, Measles, dan Rubella (MMR) Vaksinasi MMR merupakan vaksin kombinasi yang terdiri dari vaksin hidup yang dilemahkan, yaitu vaksin campak, rubella, dan gondongan. Bahan pengawet vaksin menggunakan thimerasol, suatu senyawa merkuri organik yang telah lama digunakan sebagai pengawet dan stabilizer dalam vaksin. Efek kumulatif yang terjadi pada pemberian berbagai macam vaksin yang mengandung thimerasol dalam waktu singkat seperti pada program vaksinasi akan meningkatkan sensitivitas yang tinggi pada beberapa anak terhadap merkuri. Akibat yang ditimbulkan karena keracunan merkuri adalah demielinisasi dendrit otak. Berdasarkan hasil penelitian Muhartomo H (2004) dengan melakukan study case control diperoleh hasil bahwa perdarahan antenatal dan asfiksia lahir terbukti sebagai faktor resiko autis. Jenis-jenis Terapi Terdapat beberapa terapi yang digunakan untuk penanganan anak autis selain terapi biomedis yang bertujuan untuk memperbaiki metabolisme tubuh melalui diet dan pemberian suplemen. Terapi-terapi tersebut diantaranya yaitu: a. Terapi Wicara Terapi untuk membantu anak autis melancarkan otot-otot mulut sehingga membantu anak autis berbicara lebih baik (Suryana 2004).
b. Terapi Perilaku Metode untuk membentuk perilaku positif pada anak autis, terapi ini lebih dikenal dengan nama ABA (Applied Behavior Analysis) atau metode Lovass (Handojo 2003). c. Terapi Okupasi Terapi untuk melatih motorik halus anak autis. Terapi okupasi untuk membantu menguatkan, memperbaiki, koordinasi dan keterampilan ototnya (Suryana 2004). d. Terapi Bermain Proses terapi psikologik pada anak, dimana alat permainan menjadi sarana utama untuk mencapai tujuan (Sutadi 2003). e. Terapi Sensory Integration Pengorganisasian informasi melalui sensori-sensori (sentuhan, gerakan, keseimbangan, penciuman, pengecapan, penglihatan dan pendengaran) yang sangat berguna untuk menghasilkan respon yang bermakna (Sutadi 2003). f. Terapi Auditory Integration Terapi untuk anak autis agar pendengarannya lebih sempurna (Suryana 2004). g. Terapi Pijat Terapi pijat anak autis efektif memperlancar peredaran darah yang berfungsi mendistribusikan oksigen, nutrisi, dan mengangkut racun tubuh sehingga tidak mengendap dan menimbulkan penyakit. Fokus pemijatan untuk anak autis terletak di beberapa titik di bagian kepala, seperti seperti puncak kepala, tengkuk dibagian leher, pangkal tulang kepala dan area sclap atau area puncak ke samping kepala bersambung kearah telinga. Orangtua yang cukup aktif melakukan pemijatan dalam waktu satu bulan memperlihatkan perkembangan anak yang cukup signifikan. Terlebih lagi jika terapi pijat diberikan lebih dini kepada anak karena titik meridian akupunkturnya masih mudah dibentuk sehingga aliran darah tetap stabil. Level pemberian terapi pijat, disesuaikan dengan kondisi anak. Satu seri akupuntur yaitu 10-12 kali dalam 1 minggu, tergantung tingkat keparahan. Level autis terparah membutuhkan terapi sampai 3 seri (Hoedijono S 2011).
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Besar Keluarga Data besar keluarga berdasarkan BKKBN 1998 dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu keluarga kecil yang terdiri dari ≤ empat orang, keluarga sedang dengan jumlah anggota keluarga sebanyak lima sampai enam orang, dan keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga sebanyak ≥ tujuh orang. Besar keluarga didefinisikan sebagai keseluruhan jumlah anggota keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak, dan anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama. Kejadian kurang energi protein berat sedikit dijumpai pada keluarga yang memiliki anggota lebih kecil. Hal ini terjadi karena, jika besar keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan relatif lebih tinggi daripada golongan yang lebih tua (Suhardjo 2003). Pendidikan Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang
atau
masyarakat
untuk
menyerap
informasi
dan
mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi (Fallah 2004 dalam WKNPG 2004). Tingkat pendidikan orang tua mempunyai korelasi positif dengan cara mendidik dan mengasuh anak. Tingkat pendidikan baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pola komunikasi antar anggota keluarga. Pendidikan akan sangat mempengaruhi cara, pola, kerangka berpikir, persepsi, pemahaman
dan
kepribadian
yang
nantinya
merupakan
bekal
dalam
berkomunikasi (Gunarsa & Gunarsa 1995). Pendapatan Keluarga yang berpenghasilan cukup atau tinggi lebih mudah dalam menentukan pemilihan bahan pangan sesuai dengan syarat mutu yang baik. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Pendapatan yang tinggi akan meningkatkan daya beli sehingga keluarga mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan akhirnya berdampak positif terhadap status gizi. Penurunan pendapatan terkait erat dengan penurunan tingkat ketahahan pangan dan terjadinya masalah gizi kurang. Keterkaitan ketahanan pangan dan ketidaktahanan pangan dapat dijelaskan dengan hukum Engel
dimana saat
terjadi
peningkatan
pendapatan,
konsumen
akan
membelanjakan
pendapatannya untuk pangan dengan alokasi semakin kecil. Sebaliknya bila pendapatan menurun, alokasi yang dibelanjakan untuk pangan semakin meningkat (Soekirman 2000). Pengetahuan Gizi dan Akses Ibu terhadap Informasi Gizi dan Kesehatan Pengetahuan umumnya datang dari pengalaman. Pengetahuan juga dapat diperoleh dari informasi yang disampaikan oleh guru, orang tua, teman, buku, dan surat kabar (Tjitarsa IB 1992). Pengetahuan didefinisikan secara sederhana sebagai informasi yang disimpan dalam ingatan. Pengetahuan gizi adalah pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi, serta interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah dan buruk. Menurut Notoatmodjo (2005), pengetahuan akan membuat seseorang mengerti sesuatu hal dan mengubah kebiasaannya, sehingga meningkatkan pengetahuan akan merubah kebiasaan seseorang mengenai sesuatu. Jika peningkatan itu terjadi pada pengetahuan akan gizi, maka akan terjadi perubahan kebiasaan terkait dengan gizi sehingga menjadi lebih baik. Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang peranan makanan, makanan yang aman untuk dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara pengolahan makan yang baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta bagaimana cara hidup sehat (Notoatmodjo 2003). Menurut Paterrson dan Pietinen (2009), tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi yang bersangkutan. Pengetahuan dapat diperoleh dari pendidikan formal maupun informal. Pendidikan formal adalah jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah sesuai dengan kurikulum yang sudah ditetapkan dan terdapat jenjang kronologis yang ketat untuk tingkatan umur populasi sasarannya. Pendidikan informal adalah jenis pendidikan yang berlangsung seumur hidup yang mempelajari seluruh aspek kehidupan (Pranadji 1989). Selain pengetahuan gizi, akses ibu terhadap informasi dapat menjadi indikator kemampuan ibu untuk merawat anak secara lebih baik. Berbagai informasi gizi dan kesehatan dapat diperoleh dengan melihat atau mendengar sendiri, melalui alat-alat komunikasi seperti membaca surat kabar/majalah, mendengarkan siaran radio, menyaksikan siaran televisi atau melalui penyuluhan (Engle et al. 1997 dalam Milyawati 2008).
Satu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan : (1) status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan, (2) setiap orang akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk tumbuh optimal, pemeliharaan tubuh dan memenuhi kebutuhan energi, (3) ilmu gizi memberikan
fakta-fakta
yang
perlu
sehingga
penduduk
dapat
belajar
menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi (Suhardjo 2003). Riyadi (1996), menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi adalah banyaknya informasi yang dimiliki oleh seseorang mengenai kebutuhan tubuh akan zat gizi, kemampuan seseorang untuk menerapkan pengetahuan gizi ke dalam pemilihan bahan pangan, dan cara pemanfaatan pangan yang sesuai dengan keadaannya. Oleh karena itu, pengetahuan gizi sangat erat kaitannya dengan baik buruknya kualitas makanan yang dikonsumsi. Penyuluhan pengetahuan gizi dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen berbentuk pertanyaan pilihan berganda (multiple choice test). Instrumen ini merupakan bentuk tes objektif yang paling sering digunakan. Multiple choice test dapat digunakan untuk mengukur berbagai aspek terkait di dalam ranah kognitif. Oleh karena itu, bentuk tes ini sangat baik untuk mengetahui dampak intervensi penyuluhan gizi yang berupa berubahnya pengetahuan gizi seseorang. Penggunaan multiple choice test dapat dilakukan untuk mengukur berbagai aspek yang meliputi pemahaman terhadap suatu istilah, fakta yang spesifik, metode dan prosedur, penerapan suatu prinsip, dan sebab akibat (Khomsan 2000). Kategori pengetahuan gizi dapat dibagi pada tiga kelompok yaitu baik, sedang, dan kurang. Cara pengkategoriaan dilakukan dengan menetapkan cut off point dari skor yang telah dijadikan persen. Menurut Khomsan (2000), untuk keseragaman maka digunakan cut off point sebagai berikut : Tabel 1 Cut off point pengkategorian pengetahuan gizi Kategori Pengetahuan Gizi Skor Baik >80% Sedang 60-80% Kurang < 60%
Kebiasaan Makan Model analisis perilaku konsumsi pangan anak-anak yang dikembangkan oleh Lund dan Burk (1969), mengatakan bahwa suatu konsumsi pangan terjadi karena ada motivasi (needs, drives, desires) yang ditentukan oleh beragam proses kognitif mencakup persepsi, memori, berpikir, memutuskan untuk bertindak. Kebutuhan hidup manusia (termasuk anak-anak) pada dasarnya mencakup tiga macam yaitu kebutuhan biologis, kebutuhan psikologis, dan kebutuhan sosial. Selain ketiga macam kebutuhan tersebut, ada faktor lain yang berkaitan langsung dengan kognitif dan tidak langsung dengan motivasi yaitu pengetahuan dan kepercayaan anak-anak terhadap makanan dan sikap serta penilaian anak terhadap makanan (Suhardjo 1989). Lund dan Burk menyatakan bahwa ada dua faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan kebiasaan makan keluarga yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Empat variabel utama yang perlu diperhatikan dari lingkungan keluarga mencakup pengetahuan dan kepercayaan terhadap makanan serta sikap keluarga terhadap makanan. Kedua variabel tersebut dipengaruhi oleh variabel primer sosial ekonomi seperti status ekonomi keluarga. Sementara faktor utama yang berkaitan dengan lingkungan sekolah yang dapat dianggap penting dalam menentukan pola kebiasaan makan anakanak adalah pengalaman dan pendidikan di sekolah serta pengetahuan dan sikap terhadap makanan dari guru yang mengajarkan (Suhardjo 1989) . Konsumsi Pangan Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis pangan dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau sekelompok orang (keluarga atau rumah tangga) pada waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Pola konsumsi
pangan
merupakan
susunan
jenis
pangan
yang
dikonsumsi
berdasarkan kriteria tertentu (Hardinsyah & Martianto 1992). Makanan sangat penting untuk kelangsungan kehidupan, setiap makanan yang dikonsumsi akan memberikan pengaruh pada status gizi dan kesehatan. Makanan mengandung berbagai zat gizi yang penting yang dibutuhkan
tubuh
untuk
kecukupan
energinya,
pertumbuhan,
dan
perkembangan, tingkah laku normal, terhindar dari berbagai macam penyakit, dan untuk perbaikan jaringan tubuh. Konsumsi harian zat gizi yang penting
dipengaruhi oleh variasi makanan yang dikonsumsi dan jumlahnya (Marotz et al. 2004). Cara
seseorang
atau
sekelompok orang memilih
pangan
dan
memakannya sebagai reaksi terhadap pengaruh-pengaruh fisiologik, psikologik, budaya, dan sosial dikenal sebagai kebiasaan makan. Kebiasaan makan kadang-kadang disebut pola makan, kebiasaan pangan, atau pola pangan (Suhardjo 1989). Ibu merupakan pelaku utama dalam keluarga pada proses pengambilan keputusan, terutama yang berhubungan dengan konsumsi pangan. Latar belakang pendidikan, budaya dan status sosial ekonomi berpengaruh sangat besar terhadap pola makan keluarga, apalagi jika keluarga tersebut memiliki anak autis (Mashabi NA. & Tajudin NR. 2009). Anak autis menderita gangguan kesehatan saluran cerna. Anak autis biasanya hanya menyukai makanan yang sangat terbatas jenis dan nilai gizinya. Anak yang menyukai sayuran dan makanan bergizi lainnyapun mungkin juga tidak mendapatkan gizi yang cukup untuk kebutuhan otaknya karena ketidakmampuan anak untuk mencerna, menyerap, dan atau memfungsikan zat gizi yang masuk ke dalam tubuhnya dengan baik (McCandless 2003). Siklus menu pada anak autis perlu diberikan agar anak tidak terlalu cepat atau peka terhadap makanan tertentu. Diet untuk Penderita Autis Kunci kesembuhan anak autisme yang terbaik ada dua, yaitu intervensi terapi perilaku dengan metode ABA (Applied Behaviour Analysis) dan intervensi biomedis. ABA dipergunakan pertama kali dalam penanganan autisme oleh Lovaas, sehingga disebut dengan metode Lovaas. Metode ini melatih anak berkemampuan bahasa, sosial, akademis, dan kemampuan membantu diri sendiri. Salah satu penyebab autis adalah gangguan metabolisme, maka pengaturan konsumsi pangan merupakan hal yang penting untuk dilakukan sebagai salah satu metode intervensi biomedis. Makanan juga berguna untuk menghindari timbulnya penyimpangan metabolisme selain untuk proses tumbuh kembang (Wirakusumah 2003 dalam Latifah 2004). Anak autis mayoritas menderita gangguan kesehatan saluran cerna. Penelitian menunjukkan bahwa 60-70% dari keseluruhan sistem imun manusia terletak di saluran usus dan organ-organ pencernaan. Kenyataan ini membuat saluran cerna sebagai organ sistem imun terbesar dalam tubuh manusia (McCandless 2003). Pola makan pada anak terutama anak autis harus
mengandung jumlah zat gizi, terutama karbohidrat, protein dan kalsium yang tinggi guna memenuhi kebutuhan fisiologik selama masa pertumbuhan dan perkembangan. Berdasarkan penelitian oleh Walsh dan Shaw dalam McCandless (2003), anak autis umumnya kekurangan zinc, vitamin B6, GLA (Asam Gamma Linoleat), serta metionin karena buruknya kualitas protein yang dikonsumsi. Biasanya pilihan makanan anak autis sangat terbatas sehingga hampir semua anak memiliki defisisensi vitamin dan mineral yang sudah berlangsung cukup lama. Gangguan gizi lain yang sering ditemukan pada anak autis adalah kekurangan zinc yang sering ditemui pada hampir 90% anak autis serta kekurangan magnesium. Zinc diperlukan untuk perkembangan mukosa usus yang sehat, pembentukan myelin, dan pengembangan sistem imun yang sempurna. Magnesium memegang peranan penting dalam sistem enzim dan bertindak sebagai katalisator reaksi yang berkaitan dengan metabolisme. Diet
hipoalergenik
menyebutkan
beberapa
jenis
makanan
dapat
menyebabkan reaksi alergi pada anak autis, seperti gula, susu sapi, gandum, coklat, telur, kacang, maupun ikan. Konsumsi gluten dan kasein perlu dihindari kerena penyandang autis pada umumnya tidak tahan terhadap gluten dan kasein (Wirakusumah 2003 dalam Latifah 2004). Diet GFCF (Gluten Free Casein Free) Gluten adalah protein yang bersifat khas yang terdapat pada tepung terigu, dan dalam jumlah kecil dalam tepung serealia lainnya, gluten terdiri dari dua komponen protein yaitu gliadin dan glutein. Sedangkan kasein adalah protein kompleks pada susu yang mempunyai sifat khas yaitu dapat menggumpal dan membentuk massa yang kompak (Mashabi NA & Tajudin NR. 2009). McCandless (2003), menyatakan bahwa diet GFCF merupakan langkah penting yang bisa dilakukan oleh orang tua tanpa terlebih dahulu melakukan tes di laboratorium. Anak-anak yang melakukan diet ini biasanya memberikan respon yang lebih baik daripada anak-anak yang belum melakukan diet GFCF. Penyembuhan saluran cerna pada anak autis dapat dilakukan paling awal, karena perut tidak akan bisa sehat jika makanan yang tidak tercerna dengan benar tetap menyebabkan berlangsungnya peradangan saluran cerna. Menurut Emilia dan Yuliana (2006), proses pola makan bebas gluten dan kasein dimulai secara perlahan-lahan dengan cara sebagai berikut :
1. Menyingkirkan makanan yang mengganggu satu demi satu sambil
berangsur-angsur memperkenalkan makanan pengganti yang baru. 2. Membuat makanan dengan variasi dalam bahan dan pengolahan serta
menarik dalam penyajian 3. Gluten lebih lama hilang dari sistem pencernaan daripada kasein. Tes
urin menunjukkan bahwa kasein dapat hilang dari tubuh dalam tiga hari, sedangkan
gluten
membutuhkan
waktu
berbulan-bulan.
Dengan
demikian, hindari konsumsi susu terlebih dahulu dan setelah beberapa minggu hindari mengkonsusmsi produk susu atau hasil olahan susu. Setelah itu baru menghindari produk dengan bahan dasar gandum 4. Menghindari produk kedelai kecuali tes hipersensitivitas makanan
menunjukkan bahwa anak tidak alergi terhadap kedelai. 5. Mematuhi pola makan bebas gluten dan kasein dan kedelai ketat, minimal
selam 6 bulan karena pemberian makanann yang mengandung gluten dan kasein, meskipun dalam jumlah sedikit, dapat menyebabkan kemunduran pada kesehatan anak. 6. Membiasakan diri untuk membaca label pada kemasan makanan atau
tandai makanan yang mengandung gluten dan kasein. Saat ini, terdapat banyak tepung GFCF, yang dapat langsung digunakan sebagai bahan baku makanan atau dibuat biskuit ataupun makanan lainnya yang biasa dijual di pasaran. Selain itu berbagai produk bebas gluten dan kasein telah banyak dijual baik berupa produk yang sudah jadi, antara lain berupa roti atau tepung yang beraneka ragam jenisnya. Hal yang juga penting untuk diperhatikan pada pemilihan makanan anak autis adalah tidak mengandung zat tambahan seperti pewarna, pemanis atau pengawet (Sari ID. 2009). Penilaian Konsumsi Pangan Penilaian keadaan gizi masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penilaian secara langsung dan tidak langsung. Pengukuran secara tidak langsung dapat dilakukan dengan mengetahui keadaan konsumsi pangan seseorang. Metode penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan baik pada tingkat individu, keluarga, ataupun masyarakat. Survei konsumsi tingkat individu dapat menggunakaan metode berikut, yaitu penimbangan (weighing method), metode mengingat (recall method), riwayat makan (dietary history), frekuensi pangan (food frequency), dan metode kombinasi (Kusharto & Saddiyah 2006).
Food Frequency Questinaires (FFQ) FFQ merupakan kuesioner yang menggambarkan frekuensi contoh dalam mengonsumsi beberapa jenis makanan dan minuman. Frekuensi konsumsi makanan dilihat dalam satu hari, minggu, bulan, atau dalam satu tahun. Kuesioner terdiri dari list jenis makanan dan minuman (Achadi EL 2007). Jenis FFQ diantaranya adalah sebagai berikut : a.) Simple or nonquantitative FFQ, tidak memberikan pilihan tentang porsi yang biasa dikonsumsi sehingga menggunakan standar porsi b.) semiquantitative FFQ, memberikan porsi yang dikonsumsi, misalnya sepotong roti, secangkir kopi. c.) quantitative FFQ, memberikan pilihan porsi yang biasa dikonsumsi contoh, seperti kecil, sedang, atau besar. Kelebihan FFQ yaitu : 1.
Dapat diisi sendiri oleh contoh
2.
Machine readable (dapat dibaca oleh mesin)
3.
Relatif murah untuk populasi yang besar
4.
Dapat digunakan untuk melihat hubungan antara diet dengan penyakit
5.
Data usual intake lebih representatif dibandingkan diet record beberapa hari
Keterbatasan FFQ yaitu : 1.
Kemungkinan tidak menggambarkan usual food atau porsi yang dipilih oleh contoh
2.
Tergantung pada kemampuan contoh untuk mendeskripsikan dietnya Penggunaan metode frekuensi pangan bertujuan untuk memperoleh
data pangan secara kualitatif dan informasi deskripsi tentang pola konsumsi. Metode ini umumnya tidak digunakan untuk data kualitatif pangan ataupun intake konsumsi zat gizi. Namun, metode frekuensi pangan juga dapat digunakan untuk menilai konsumsi pangan secara kuantitatif. Hal ini tergantung dari tujuan penelitian, apakah hanya ingin menggali frekuensi penggunan pangan saja atau juga dengan konsumsi zat gizinya. Metode ini memungkinkan kita dapat menilai frekuensi penggunaan pangan atau kelompok pangan tertentu selama kurun waktu spesifik dan sekaligus mengestimasi konsumsi zat gizinya. Kuesioner yang digunakan mempunyai dua komponen utama, yaitu daftar pangan dan frekuensi penggunaan pangan (Supariasa et al. 2001).
Food Record Food record adalah catatan contoh tentang jenis dan jumlah makanan atau minuman dalam suatu periode waktu, biasanya antara 1 sampai 7 hari. Makanan dan minuman yang dikonsumsi dapat dijumlahkan dengan estimasi menggunakan ukuran rumah tangga (estimated food record) atau menimbang (weighted food record) (Achadi EL 2007). Kelebihan dari food record yaitu : 1.
Tidak tergantung pada memori
2.
Mendapatkan data asupan yang detail
3.
Mendapatkan data tentang eating habit
4.
Multiple day lebih representatif menggambarkan usual intake, valid sampai lima hari
Keterbatasan food record yaitu : 1.
Membutuhkan kerjasama yang tinggi dari contoh
2.
Contoh harus dapat membaca dan menulis
3.
Dapat mengubah kebiasaan makan
4.
Analisis intensif dan mahal
5.
Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan data, harus menimbang dan mencatat
6.
Respon rate dapat menjadi rendah karena memberikan beban kepada contoh
Formulir yang telah didesain dan alat tulis diberikan dengan sedikit penjelasan cara pengisian kepada contoh, dan pada waktu yang dijanjikan peneliti datang mengambil sekaligus untuk konfirmasi dari hasil pencatatan. Status Gizi Status sekelompok
gizi
orang
adalah yang
keadaan
diakibatkan
kesehatan oleh
tubuh
konsumsi,
seseorang
atau
penyerapan,
dan
penggunaan zat-zat makanan. Menurut Supariasa et al. (2001), penilaian status gizi dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu penilaian status gizi secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Pengukuran status gizi yang paling sering digunakan yaitu berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) sebagai ukuran antropometri yang banyak diterapkan. Menurut Riyadi (2001), BB/U dianggap tidak informatif bila tidak ada informasi tentang TB/U. Data referensi BB/TB memiliki keuntungan karena tidak memerlukan informasi tentang umur kronologis. Tetapi, hubungan BB/TB
berubah secara dramatis menurut umur selama remaja. Karena berbagai keterbatasan, IMT/U direkomendasikan sebagai indikator terbaik untuk anak usia sekolah dan remaja. Indikator ini memerlukan informasi tentang umur dan sudah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada persentil atas. Indikator ini sejalan dengan indikator-indikator yang direkomendasikan untuk orang dewasa. Selain itu, data referensi yang bermutu tinggi juga sudah tersedia. Walaupun IMT belum sepenuhnya divalidasi dengan indikator kekurusan atau gizi kurang pada anak usia sekolah dan remaja. IMT merupakan indeks massa tubuh tunggal yang dapat diterapkan untuk mengukur keadaan yang sangat kurang dan kelebihan gizi (Riyadi 2001). Keunggulan antropometri adalah prosedur sederhana, aman, dan bisa untuk sampel yang besar, peralatan murah, mudah dibawa, tahan lama, akurat, dan dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau dan juga dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu. Kelemahan antropometri seperti tidak sensitif, faktor di luar gizi dapat menurunkan spesifikasi dan sensitivitas pengukuran antropometri dan lain-lain (Supariasa et al. 2001). Status gizi seseorang tidak selalu sama dari masa ke masa karena merupakan interaksi dari berbagai faktor. Faktor yang secara langsung mempengaruhi status gizi adalah konsumsi pangan dan status kesehatan. Konsumsi pangan, salah satunya dipengaruhi oleh akses terhadap pangan. Lebih lanjut, akses terhadap pangan ditentukan oleh tingkat pendapatan seseorang (Riyadi 2001). Menurut Owen et al. (2000), terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi status gizi seseorang, yaitu faktor sosioekonomi, perilaku, aktivitas fisik, pelayanan kesehatan, dan faktor genetik. Menurut kerangka pikir UNICEF (1998) dalam WKNPG VII (2000), baik buruknya status gizi seseorang disebabkan oleh beberapa faktor yang kemudian diklasifikasikan menjadi penyebab langsung, tidak langsung, pokok masalah, dan akar masalah. Konsumsi pangan serta adanya infeksi penyakit merupakan penyebab langsung yang dapat mempengaruhi status gizi. Penyebab tidak langsung yang dapat mempengaruhi status gizi seseorang dibagi menjadi 3 faktor, yaitu ketersediaan akses pangan, pola asuh, serta pelayanan kesehatan.
KERANGKA PEMIKIRAN Autis adalah
gangguan
perkembangan
yang
mencakup
bidang
komunikasi, interaksi, dan perilaku yang luas dan berat. Kunci kesembuhan anak autis ada dua, yaitu intervensi terapi perilaku dengan metode ABA (Applied Behaviour Analysis) dan intervensi biomedis. Intervensi biomedis salah satunya dapat dilakukan dengan pengaturan pola konsumsi pangan. Hal ini terkait dengan salah satu penyebab autis yaitu gangguan metabolisme. Kebiasaan makan sangat ditentukan oleh karakteristik keluarga dan karakteristik dari anak itu sendiri. Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka pangan untuk setiap anak akan berkurang dan berisiko terhadap kejadian kurang energi protein. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Selain itu, tingkat pendapatan akan menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Anak penyandang autis mayoritas menderita gangguan kesehatan saluran cerna. Ibu sebagai pengasuh utama diharapkan memiliki pengetahuan tentang kondisi anaknya dan pemberian makan yang baik. Menurut Paterrson & Pietinen (2009), tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi yang bersangkutan. Ibu merupakan pelaku utama dalam keluarga pada proses pengambilan keputusan, termasuk yang berhubungan dengan konsumsi pangan, terutama pada keluarga yang memiliki anak autis. Informasi mengenai autis dapat diperoleh dari berbagai media. Media yang dapat dijadikan sebagai sumber informasi diantaranya seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lainnya serta hasil konsultasi dengan tenaga profesional (dokter, psikolog), ataupun dari hasil penyuluhan dan seminar. Informasi yang diperoleh dapat meningkatkan tingkat pengetahuan ibu mengenai autis. Anak autis mayoritas menderita gangguan kesehatan saluran cerna. Konsumsi gluten dan kasein perlu dihindari karena penyandang autis pada umumnya tidak tahan terhadap gluten dan kasein. Selain diet GFCF (Gluten Free Casein Free), pola makan pada anak terutama anak autis harus mengandung jumlah zat gizi, terutama karbohidrat, protein dan kalsium yang tinggi guna memenuhi kebutuhan fisiologik selama masa pertumbuhan dan perkembangan. Baik buruknya tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada anak sangat ditentukan oleh konsumsi makanan yang baik yang pada akhirnya akan menentukan status gizi anak.
Karakteristik contoh :
Karakteristik sosial ekonomi keluarga :
Usia
Jenis Kelamin
Pendidikan
Berat Badan
Pendapatan
Tinggi badan
Besar keluarga
Usia orang tua
Akses terhadap informasi
Pola Konsumsi
Konsumsi pangan sumber
anak autis
gluten dan kasein
Pengetahuan ibu
Tingkat kecukupan energi dan zat gizi
Status gizi anak autis
Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran Tingkat Pengetahuan Ibu dan Pola Konsumsi pada Anak Autis di Kota Bogor
Keterangan : Variabel yang diteliti Hubungan yang diteliti
METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Pengambilan data penelitian dilaksanakan pada bulan April-Mei 2011. Penelitian dilaksanakan di Yayasan Keluarga Istimewa Indonesia (YKII), Cimanggu, dan SDN Perwira Kota Bogor. Pemilihan tempat dilakukan secara purposive dengan pertimbangan (1) belum ada penelitian sebelumnya di tempat tersebut, (2) kemudahan akses, dan (3) ibu bersedia untuk diwawancarai. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Populasi penelitian adalah anak penyandang autis yang terdaftar di dua lokasi penelitian yang berjumlah 60 orang. Contoh dalam penelitian ini adalah anak yang memenuhi kriteria. Kriteria contoh dalam penelitian ini adalah (1) anak penderita autis, (2) terdaftar di dua lokasi penelitian, (3) bersedia ikut serta dalam penelitian, dan (4) ibu bersedia untuk diwawancarai. Ibu adalah responden yang merupakan sumber informasi untuk menambah data. Penarikan contoh dilakukan secara purposive. Calon contoh sebanyak 36 orang diperoleh berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Contoh sebanyak 30 orang adalah yang memiliki data lengkap. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer meliputi (1) karakteristik anak (usia, jenis kelamin, klasifikasi autis, berat badan, dan tinggi badan), (2) karakteristik orang tua (pendapatan, pendidikan, besar keluarga, dan usia), (3) pola konsumsi (frekuensi konsumsi pangan sumber gluten dan kasein, konsumsi suplemen, konsumsi selama tiga hari, makanan yang sering dikonsumsi, makanan yang disukai, dan alergi. Karakteristik orang tua diperoleh dengan cara pengisian kuesioner. Data primer diperoleh dari pengisian kuesioner oleh ibu dan data sekunder diperoleh dari yayasan atau sekolah. Pola konsumsi dan konsumsi pangan anak dinilai dengan menggunakan Food Frequency Questionares (FFQ) dan Food Record, wawancara, serta pengamatan langsung. Food record diisi selama tiga hari. Data status gizi diperoleh dengan metode antropometri dengan menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan anak. Data sekunder meliputi keadaan umum dan profil yayasan dan sekolah. Jenis data,variabel data dan cara pengumpulannya ditunjukkan pada tabel 2.
Tabel 2 Jenis, variabel dan cara pengumpulan data No 1
Jenis data Data Primer
Variabel Karakteristik anak : Usia Jenis kelamin Klasifikasi Autis Karakteristik keluarga : Pendidikan orang tua Pendapatan orang tua Besar keluarga Usia orang tua Pengetahuan ibu
2.
Data Primer
3.
Data Primer
4.
Data Primer
Akses terhadap informasi pangan dan gizi
5.
Data Primer
6.
Data Primer
Pola konsumsi pangan : Konsumsi pangan frekuensi konsumsi pangan kebiasaan makan pangan sumber gluten dan kasein Tingkat kecukupan energi dan zat gizi
7.
Data Primer
Status gizi
8.
Data Sekunder
Informasi yayasan dan sekolah
Cara Pengumpulan Pengisian kuesioner, wawancara
Pengisian kuesioner, wawancara
Pengisian kuesioner (20 pertanyaan tentang autis, diet GFCF, dan gizi), wawancara Pengisian kuesioner (8 pertanyaan mengenai pelayanan kesehatan dan akses informasi), wawancara Pengisian kuesioner, Metode FFQ, food record 3x24jam, dan wawancara Isian tertulis, konversi URT ke dalam gram sesuai dengan yang disajikan (Food Record 3x24 jam) Pengukuran secara langsung dengan menggunakan timbangan injak dan microtoise Data yayasan dan sekolah
Pengolahan dan Analisis Data Data diolah secara manual maupun dengan menggunakan komputer Microsoft excel, SPSS versi 16, Software Nutrisurvey, dan Anthroplus WHO 2007. Pengolahan data meliputi beberapa tahap yaitu, pengeditan, pengkodean, pengentrian dan analisis. Pengetahuan gizi diolah dari jawaban contoh terhadap pertanyaan dalam kuesioner. Bentuk pertanyaan berupa kalimat positif dan negatif. Skor untuk jawaban benar pada pernyataan positif adalah 1 dan salah 0. Skor untuk pernyataan negatif sebaliknya. Total nilai apabila semua jawaban benar adalah 20. Nilai yang diperoleh kemudian dijumlahkan dan selanjutnya dikategorikan berdasarkan cut off point >80% baik, 60-80% sedang dan <60% kurang (Khomsan 2000). Data akses terhadap informasi diperoleh dengan memberikan delapan pertanyaan terkait jenis pelayanan kesehatan yang biasa
digunakan dan frekuensi kunjungan, informasi diet untuk anak autis, sumber informasi yang biasa diakses, serta bagaimana ibu menerapkan informasi tersebut. Pola konsumsi pangan
sumber gluten
dan kasein
yang
juga
menunjukkan perilaku makan anak dilihat dari pengisian FFQ yang dikumpulkan dengan cara mencatat jenis dan frekuensi pemberian pangan sumber gluten dan kasein yang dikonsumsi oleh contoh. Jumlah contoh yang mengonsumsi pangan sumber gluten maupun kasein dengan frekuensi tertentu kemudian dirataratakan serta dianalisis secara deskriptif. Selain itu dilihat juga konsumsi suplemen, siklus menu, makanan yang sering dikonsumsi, makanan kesukaan, alergi, dan penggunaan suplemen. Data konsumsi pangan diperoleh dari hasil food record selama tiga hari. Jumlah makanan yang dikonsumsi dituliskan dengan menggunakan satuan URT (Ukuran Rumah Tangga). Selanjutnya dilakukan konversi URT ke dalam gram sesuai dengan yang disajikan. Kandungan zat gizi dalam seluruh bahan pangan yang dikonsumsi dijumlahkan dan dirata-ratakan untuk mendapatkan rata-rata konsumsi contoh per tiga hari. Selanjutnya rata-rata konsumsi pangan tersebut digunakan untuk menghitung tingkat kecukupan rata-rata anak berdasarkan angka kecukupan rata-rata contoh. Kecukupan energi dan zat gizi diacu berdasarkan angka kecukupan energi dan zat gizi dari WKNPG tahun 2004. Kandungan zat gizi dari makanan yang dihitung adalah energi, protein, kalsium, zinc, magnesium, vitamin A, dan vitamin C. Kandungan zat gizi dari makanan dihitung dengan menggunakan Daftar Kandungan Bahan Makanan (DKBM) dengan rumus sebagai berikut : Kgij = (Bj/100)x Gij x (BDD/100) Keterangan : Kgij = kandungan gizi i dalam bahan makanan j Bj
= berat makanan j yang dikonsumsi (g)
Gij
= kandungan zat gizi dalam 100 g BDD bahan makanan j
BDDj = bagian bahan makanan j yang dapat dimakan Perhitungannya untuk menentukan Angka Kecukupan energi dan protein anak adalah sebagai berikut : Angka kecukupan = BB aktual/BB ideal x AKG yang dianjurkan Angka kecukupan vitamin dan mineral dihitung langsung dengan angka kecukupan tanpa perlu menggunakan angka kecukupan zat gizi yang dicari.
Tingkat kecukupan energi dan zat gizi diperoleh dengan cara membandingkan jumlah konsumsi zat gizi dengan kecukupannya yaitu menggunakan rumus tingkat kecukupan zat gizi dibawah ini : TKG = (K/AKGI) x 100% Keterangan : TKG = tingkat kecukupan zat gizi K
= konsumsi
AKGI = angka kecukupan zat gizi contoh yang dicari Tingkat
kecukupan
energi
dan
protein
dikategorikan
dengan
menggunakan cutt of point Depkes (1996) yang dibedakan menjadi defisit tingkat berat (<70% AKE), defisit tingkat sedang (70-79% AKE), defisit tingkat ringan (80-89% AKE), normal (90-119% AKE), dan berlebihan (≥120% AKE). Sementara tingkat kecukupan untuk vitamin dan mineral dikategorikan menjadi dua yaitu kurang (<77% angka kecukupan) dan cukup (≥77% angka kecukupan) (Gibson 2005). Status gizi dihitung berdasarkan Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U) dan indeks TB/U yang dikategorikan berdasarkan WHO (2007). Pengkategorian status gizi menurut indeks IMT/U yaitu sangat kurus (<-3 SD), kurus (<-2 SD s/d -3 SD), normal (-2 SD s/d 1 SD), overweight (1 SD s/d 2 SD), dan obese (>2 SD). Sementara pengkategorian status gizi berdasarkan indeks TB/U yaitu sangat pendek (<-3 SD), pendek (≥-3 SD s/d <-2 SD), dan normal (≥2 SD). Status gizi berdasarkan indeks BB/U dikategorikan berdasarkan CDC (2000) menjadi gizi kurang (<-2 SD), gizi baik (-2 SD s/d 2 SD), dan gizi lebih (>2 SD). Hubungan antara pengetahuan ibu dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi serta status gizi contoh dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman. Hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi contoh menggunakan uji korelasi Pearson. Jenis uji korelasi yang digunakan ditentukan berdasarkan pada skala pengukuran dan normalitas data. Hubungan antara pengetahuan ibu dengan konsumsi pangan sumber gluten dan kasein dianalisis menggunakan uji epidemiologi dengan menghitung nilai Odds Ratio (OR). Uji Signifikasi dilakukan dengan mencari nilai X dan Confidence Interval (CI). Hubungan antar variabel dikatakan signifikan apabila nilai OR berada diantara selang lower-upper, nilai OR tidak sama dengan satu, dan nilai satu tidak ada diantara selang Confidence Interval (CI).
Definisi Operasional Autis adalah gangguan perkembangan pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi,
dan
interaksi
sosial.
Gangguan
ini
mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain, melakukan aktivitas sosial ataupun keterampilan penggunaan komunikasi yang mencakup kemampuan bicara, berimajinasi, dan komunikasi. Autis dan Spektrumnya adalah anak penderita autis dan atau anak dengan gangguan perkembangan dengan gejala yang tampak seperti autis. Misalnya hiperaktif, melakukan gerakan dan ucapan yang berulang-ulang, dan ketertarikan pada satu hal atau minat tertentu. Contoh adalah anak penyandang autis yang bersekolah atau bimbel di Yayasan Keluarga Istimewa Indonesia, Cimanggu, atau SDN Perwira Kota Bogor yang bersedia ikut serta dalam penelitian. Karakterisitik Contoh adalah ciri-ciri dan keadaan umum anak penyandang autis yang meliputi umur, jenis kelamin, berat badan, dan tinggi badan. Karakteristik Keluarga adalah kondisi keluarga anak penyandang autis yang mencakup pendapatan, pendidikan keluarga, besar keluarga, serta usia orang tua Usia Orang Tua adalah usia ayah dan ibu contoh yang dikelompokkan menjadi dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (40-60 tahun), dan dewasa lanjut (>60 tahun). Pendidikan Orang Tua adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah ditempuh ayah dan ibu contoh yang ditandai dengan adanya tanda tamat ijazah yang dikelompokkan menjadi tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tidak tamat SMP, tamat SMP, tidak Tamat SMA, tamat SMA, diploma : 1/2/3, S1, dan S2/S3. Pendapatan Orang Tua adalah jumlah penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan ayah dan ibu dalam satu bulan yang dinilai dalam bentuk rupiah (uang) yang dihasilkan dari pekerjaan utama dan penghasilan tambahan. Besar Keluarga adalah jumlah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, kakak, adik, atau anggota keluarga lain yang tinggal satu rumah dengan contoh. Besar keluarga dikategorikan menjadi 3 yaitu keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-6 orang), dan keluarga besar (≥7 orang).
Akses terhadap Informasi adalah sumber informasi ibu terkait autis meliputi artikel koran atau majalah, konsultasi dengan dokter atau tenaga profesional lain, dari sekolah atau tempat terapi anak autis, atau panutan (orang tua, teman) serta penerapan dari informasi yang diperoleh. Pengetahuan Ibu adalah hal-hal yang diketahui oleh ibu mengenai autis, gizi dan pilihan makanan, serta diet GFCF yang diukur dari skor jawaban pertanyaan. Tingkat pengetahuan dihitung dalam persentase serta dikategorikan menjadi baik, sedang, dan kurang. Pola Konsumsi Gluten dan Kasein adalah jumlah dan frekuensi bahan pangan yang mengandung gluten dan kasein yang dikonsumsi anak selama sehari, minggu, atau bulan, dinilai dengan menggunakan FFQ. Diet GFCF (Gluten Free Casein Free) adalah pengaturan atau pemberian makanan bagi anak autis dengan tidak memberikan makanan yang mengandung gluten dan kasein. Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi adalah perbandingan antara konsumsi dengan angka kecukupan energi dan zat gizi yang dianjurkan menurut umur, jenis kelamin, berta badan, tinggi badan anak berdasarkan WKNPG VIII (2004) dan dinyatakan dalam persen. Status Gizi adalah keadaan tubuh anak yang ditentukan berdasarkan perhitungan indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U) (dikategorikan menjadi lima kategori, yaitu sangat kurus (<-3 SD), kurus (<-2 SD s/d -3 SD), normal (-2 SD s/d 1 SD), overweight (1 SD s/d 2 SD), obese (>2 SD), indeks TB/U (dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu sangat pendek (<-3 SD), pendek (≥-3 SD s/d <-2 SD), dan normal (≥-2 SD)) mengacu pada WHO (2007) serta indeks BB/U (dikategorikan menjadi gizi kurang (<-2 SD), gizi baik (-2 SD s/d 2 SD), dan gizi lebih (>2 SD)) mengacu pada CDC (2000).
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Yayasan Keluarga Istimewa Indonesia (YKII) Yayasan Keluarga Istimewa Indonesia merupakan yayasan non profit yang bekerja di bidang sosial dan kemanusiaan serta bersifat kekeluargaan. Yayasan ini berdiri pada tanggal 19 Juni 2009 di Lido, Sukabumi. Yayasan resmi berbadan hukum pada tahun 2008. Sejak saat itu, yayasan bertempat di Bogor hingga saat ini. Anggota dari yayasan ini adalah orang-orang yang menaruh minat dalam pembinaan dan pendidikan warga istimewa (anak penyandang autis dan spektrumnya). Yayasan bertujuan untuk mecapai kemandirian warga istimewa dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat. Adapun visi dari yayasan yaitu memberikan pelayanan, perhatian, pengawasan, dan perlindungan kepada warga istimewa (anak penyandang autis dan spektrumnya) dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa; menjamin terpenuhinya kebutuhan pendidikan (pembinaan) yang layak bagi warga istimewa; menjamin diperolehnya persamaan hak dan kewajiban (kesempatan) warga istimewa dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa. Kepengurusan dari yayasan terdiri dari dewan pengawas, dewan pembina, pengurus, dan anggota. Wujud kegiatan yang biasa diadakan oleh yayasan berupa pendidikan bimbel bagi anak istimewa, kegiatan terapi kuda dan lumba-lumba, serta berenang. Selain itu, yayasan juga mengadakan berbagai kegiatan bersama anak dan orang tua bekerjasama dengan lembaga lain seperti sekolah inklusi SDN Semeru dan LSC Sekolah Alam, misalnya dalam acara perayaan hari autis. Anak-anak yang melakukan bimbel di yayasan sebagian juga bersekolah di SDN Semeru dan LSC Sekolah Alam. SDN Perwira SDN Perwira merupakan satu dari sedikit sekolah inklusi yang berada di kota Bogor dengan jumlah siswa berkebutuhan khusus yang mencapai 70% dari seluruh jumlah siswanya. Sekolah ini berdiri sejak tahun 1977 dan berakreditasi B. SDN Perwira berlokasi di Jl. Perwira no. 4 Kelurahan Pabaton, Kecamatan Bogor Tengah. Sumberdaya manusia yang terdapat di sekolah ini yaitu seorang kepala sekolah dan 11 orang guru. SDN perwira memiliki tujuan agar peserta berkebutuhan khusus usia wajib belajar dapat memperoleh layanan pendidikan sama seperti peserta didik pada umumnya tanpa melihat kekhususan dan
menghasilkan lulusan yang memiliki kecakapan, keterampilan, dan pengetahuan sesuai dengan kemampuan atau potensi peserta didik. Karakteristik Contoh Usia Usia contoh pada penelitian berkisar antara 6 sampai 16 tahun. Contoh sebagian besar (43,3%) berusia 8-9 tahun. Pengelompokkan usia hanya dilakukan untuk melihat sebaran anak penyandang autis pada setiap kelompok usia satu tahun. Contoh sebagian besar (93,40%) termasuk pada kategori usia anak sekolah. Menurut Hurlock (1999), masa ini merupakan masa akhir masa kanakkanak (late childhood) yang berlangsung dari usia 6 tahun sampai tiba saatnya anak menjadi matang secara seksual, yaitu 13 tahun bagi anak perempuan dan 14 tahun bagi anak laki-laki. Golongan umur anak sekolah ini belum mencapai dewasa dan merupakan generasi yang perlu mendapatkan perhatian dalam konsumsi pangannya. Pola makan pada masa ini perlu mendapat perhatian khusus, karena pola konsumsi saat ini akan terbawa terus sampai dewasa. Anak autis yang semakin cepat terdeteksi dan ditangani maka semakin besar kemungkinan untuk membaik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Budhiman (1999) dalam Kusumayanti D et al. (2005) bahwa hal tersebut dimungkinkan karena sel otak pada usia dini masih dapat dirangsang untuk membentuk cabang baru, sehingga modifikasi perilaku yang bersifat positif masih mungkin dikembangkan pada anak penyandang autis.
Usia (tahun)
Tabel 3 Distribusi jenis kelamin contoh berdasarkan usia Jenis kelamin Total Laki-laki Perempuan n 2 10 4 5 1 1 23
6-7 8-9 10-11 12-13 14-15 16-17 Total
% 6,7 33,3 13,3 16,7 3,3 3,3 76,7
n 2 3 2 0 0 0 7
% 6,7 10,0 6,7 0,0 0,0 0,0 23,3
n
%
4 13 6 5 1 1 30
13,3 43,3 20,0 16,7 3,3 3,3 100,0
Jenis Kelamin Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 76,7% contoh berjenis kelamin laki-laki. Contoh berjenis kelamin perempuan yang menderita autis sebanyak 23,3%. Hal ini sejalan dengan pernyataan Mashabi NA. dan Tajudin NR (2009)
bahwa prevalensi anak laki-laki penyandang autis tiga sampai empat kali lebih besar daripada anak perempuan. Jumlah anak berjenis kelamin laki-laki yang menderita autis lebih banyak dibandingkan perempuan, hal ini diduga karena adanya gen atau beberapa gen pada kromosom X yang terlibat dengan autis. Perempuan memiliki dua kromosom X, sementara laki-laki hanya memiliki satu kromosom X. Kegagalan fungsi pada gen yang terdapat di salah satu kromosom X pada anak perempuan dapat digantikan oleh gen pada kromosom lainnya. Sementara pada anak laki-laki tidak terdapat cadangan ketika kromosom X mengalami keabnormalan. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa gen pada kromosom X bukanlah penyebab utama autis, namun suatu gen pada kromosom X yang mempengaruhi interaksi sosial dapat mempunyai andil pada perilaku yang berkaitan dengan autis (Wargasetia 2003). Karakteristik Keluarga Contoh Besar Keluarga Besarnya
jumlah
anggota
keluarga
mempengaruhi
pemenuhan
konsumsi makanan dari masing-masing anggota keluarga. Jumlah anggota keluarga yang besar akan meningkatkan pemenuhan kebutuhan makanan yang dikonsumsi. Jumlah anggota keluarga juga mempengaruhi jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh seluruh anggota keluarga (Suhardjo 2003). Tabel 4 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan jumlah anggota keluarga. Contoh sebagian besar (70%) berasal dari keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga antara 3-4 orang. Keluarga contoh umumnya terdiri dari ayah, ibu, dan dua orang anak. Contoh dengan besar keluarga kecil memungkinkan lebih sedikitnya kejadian status gizi kurang. Hal ini sejalan dengan pernyataan Suhardjo (2003) bahwa umumnya kejadian kurang energi protein berat sedikit dijumpai pada keluarga yang memiliki anggota lebih kecil. Semakin besar jumlah anggota keluarga, maka pengasuhan yang diberikan pada anak dalam keluarga dapat dilakukan oleh beberapa pengasuh. Perhatian dan kasih sayang yang kurang optimal dari orang tua dapat menurunkan kualitas pengasuhan dan menyebabkan lambatnya pertumbuhan dan perkembangan anak autis. Hal tersebut dapat disebabkan karena tidak adanya kesepakatan dalam keluarga. Kerjasama yang baik antara suami dan istri serta keduanya fokus dalam hal pengasuhan maka perkembangan anak autis
akan dapat diamati secara seksama (Grandin 1995 dalam Wieke 2008). Hal tersebut sangat penting terutama untuk pengaturan pola makan anak. Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga Besar Keluarga n % Kecil (≤ 4 orang) 21 70 Sedang (5-6 orang) 9 30 Rata-rata ± SD 4,2 ± 0,92 Total 30 100
Usia Orang Tua Usia dewasa menurut Hurlock (1999) dikategorikan menjadi dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (40-60 tahun), dan dewasa lanjut (>60 tahun). Usia ayah contoh sebagian besar (70,0%) berada pada kategori dewasa madya yaitu pada kisaran usia 41-50 tahun. Usia ibu contoh sebagian besar (80,0%) berada pada kelompok dewasa awal dengan kisaran usia 31-40 tahun. Rata-rata usia ayah contoh adalah 43,2 tahun dan rata-rata usia ibu contoh adalah 37,47 tahun. Tabel 5 menunjukkan sebaran usia orang tua contoh. Tabel 5 Sebaran usia orang tua contoh Ayah Kategori Usia n % Dewasa Awal (18-40 tahun) 9 30,0 Dewasa Madya (41-60 tahun) 21 70,0 Dewasa Lanjut (>60 tahun) 0 0,0 Total 30 100,0
Ibu n
% 24 6 0 30
80,0 20,0 0,0 100,0
Usia orang tua akan mempengaruhi kualitas pengasuhan terhadap anaknya. Usia biasanya mempengaruhi kesiapan seseorang untuk menjalani proses-proses dalam kehidupannya. Tahapan kehidupan salah satunya dijalani dengan berkeluarga. Usia orang tua dapat mempengaruhi kesiapan menjalankan peranannya, terutama dalam memenuhi kebutuhan anak untuk menunjang tumbuh kembang yang optimal (Anfamedhiarifda 2006). Usia yang semakin bertambah, akan membuat seseorang lebih mampu memecahkan masalah yang dihadapi dengan cukup baik tanpa emosional. Masa dewasa dini adalah masa seseorang memiliki banyak masalah baru dalam hidup karena pada masa ini seseorang sedang berada pada masa penyesuaian diri dengan cara hidup yang baru (Hurlock 1999). Rentang usia orang tua contoh berada pada masa dewasa dini (18-40 tahun) dan dewasa madya (40-60 tahun). Semakin bertambahnya usia orang tua diharapkan perhatian dan pengasuhan terhadap anak terutama anak autis yang membutuhkan penanganan khusus juga semakin baik.
Pendidikan Terakhir Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan terutama ibu, dapat mempengaruhi konsumsi keluarga. Tingkat pendidikan ibu yang tinggi akan mempermudah penerimaan
informasi
tentang
gizi
dan
kesehatan
anak
serta
mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi (Fallah 2004 dalam WKNPG 2004). Berdasarkan tabel 6 sebanyak 33,33% pendidikan terakhir ayah dan 40% pendidikan terakhir ibu adalah tamat SMA. Selain tamat SMA, pendidikan terkahir ayah yang cukup banyak yaitu sarjana strata 1 sebanyak 30%. Sementara tingkat pendidikan ibu contoh yang paling tinggi adalah strata 1. Tingkat pendidikan yang baik diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan ibu tentang
pilihan
makanan
yang
baik
untuk
anaknya
serta
mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Wieke (2008), ibu yang berpendidikan rendah mampu memberikan kualitas pengasuhan yang terbaik untuk anaknya sehingga pertumbuhan dan perkembangan anaknya pun akan semakin baik. Hal tersebut berbeda dengan ibu yang berpendidikan tinggi tetapi kurang memberikan kualitas pengasuhan yang terbaik untuk anaknya, maka pertumbuhan dan perkembangan anaknya pun akan terhambat. Jadi, berhasil atau tidak ibu mendidik anak bukan dilihat dari faktor lama pendidikan saja tetapi yang terpenting adalah kualitas pengasuhan yang diberikan. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orang tua Ayah Ibu Pendidikan n % n Tamat SD 3 10,00 4 Tamat SMA 10 33,33 12 Diploma 1/2/3 5 16,67 7 S1 9 30,00 7 S2/S3 3 10,00 0 Total 30 100 30
% 13,33 40,00 23,33 23,33 0,00 100
Pekerjaan Berdasarkan hasil pengisian kuesioner, ayah contoh sebagian besar (36,67%) bekerja sebagai wiraswasta. Ibu contoh sebagian besar (76,67%) merupakan ibu rumah tangga. Anak autis memerlukan perhatian ekstra dari ibu sebagai pengasuh utama sehingga banyak diantara ibu contoh yang berhenti bekerja untuk lebih memperhatikan dan mengasuh anaknya secara langsung. Ibu adalah orang yang paling berperan dalam perkembangan anak, sehingga
anak yang selalu berada di bawah pengawasan ibu diharapkan akan mendapatkan kualitas pengasuhan yang terbaik sehingga perkembangan anak pun akan terarah dengan baik. Hasil ini hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Latifah (2004) bahwa 72% ibu dengan anak autis di kota Bogor merupakan ibu rumah tangga. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua Ayah Ibu Pekerjaan n % n Pedagang 4 13,33 1 Buruh/non tani 3 10,00 0 PNS/ABRI/Polisi 7 23,33 2 Wiraswata 11 36,67 4 Ibu rumah tangga 0 0,00 23 Lainnya 5 16,67 0 Total 30 100,00 30
% 3,33 0,00 6,67 13,33 76,67 0,00 100,00
Pendapatan Keluarga Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas
makanan
yang
dikonsumsi.
Pendapatan
yang
tinggi
akan
meningkatkan daya beli sehingga keluarga mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan akhirnya berdampak positif terhadap status gizi. Pendapatan berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas konsumsi pangan. Menurut
hukum
Bennet,
peningkatan
pendapatan
akan
cenderung
mempengaruhi individu untuk meningkatkan kualitas konsumsi pangannya yang lebih bergizi tinggi dan pola konsumsinya akan lebih beragam (Soekirman 2000). Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga Pendapatan keluarga n % ≤2,5 juta 7 2,51-5 juta 8 5,1-7,5 juta 9 7,51-10 juta 4 >10,1 juta 2 Total 30
23,33 26,67 30,00 13,33 6,67 100,00
Pendapatan keluarga merupakan penjumlahan dari pendapatan seluruh anggota keluarga baik dari hasil pekerjaan utama maupun pekerjaan tambahan. Pendapatan keluarga contoh sebagian besar (30%) antara Rp. 5.000.001 - Rp. 7.500.000. Pendapatan yang tinggi akan meningkatkan daya beli sehingga keluarga mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan dan akhirnya berdampak positif terhadap status gizi. Hasil penelitian Wieke (2008) menyebutkan bahwa 41,9% alokasi biaya terbesar yang dikeluarkan untuk merawat anak autis berkisar >Rp. 1.200.000 per bulan. Anak autis memiliki beberapa gangguan dalam tubuhnya, sehingga
membutuhkan biaya yang cukup besar. Biaya yang dikeluarkan orang tua untuk anak autis antara lain untuk kebutuhan terapi, suplemen dan makanan khusus, serta tes-tes alergi yang dibutuhkan anak. Menurut Edi (2003), pada studi awal diduga bahwa penyandang autis hanya terdapat pada keluarga dengan kelas sosial ekonomi tingggi. Penemuan terbaru menemukan bahwa lebih dari 25 tahun yang lalu kasus ini meningkat pada kelompok sosial ekonomi rendah. Penemuan ini diduga bertambah karena meningkatnya kesadaran terhadap autis maupun tersedianya pekerja-pekerja kesehatan mental anak bagi keluarga miskin. Hal ini sesuai dengan data yang diperoleh bahwa masih terdapat sebanyak 23,33% keluarga contoh yang berpenghasilan kurang dari Rp. 2.500.000. Akses Informasi Pengetahuan umumnya datang dari pengalaman. Pengetahuan juga dapat diperoleh dari informasi yang disampaikan oleh guru, orang tua, teman, buku, dan surat kabar (Tjitarsa IB 1992). Akses ibu terhadap informasi dapat menjadi indikator kemampuan ibu untuk merawat anak secara lebih baik. Berbagai informasi gizi dan kesehatan dapat diperoleh dengan melihat atau mendengar sendiri, melalui alat-alat komunikasi seperti membaca surat kabar/majalah, mendengarkan siaran radio, menyaksikan siaran televisi atau melalui penyuluhan (Engle et al. 1997 dalam Milyawati 2008). Pertanyaan-pertanyaan terkait akses informasi meliputi pertanyaan tentang sumber informasi yang ibu peroleh, penerapan dari informasi yang diperoleh, bentuk tindakan ibu untuk mengatasi masalah anak, jenis fasilitas pelayanan kesehatan yang biasa digunakan, serta frekuensi penggunaan layanan kesehatan. Ibu sebagian besar (73,3%) mengaku sudah pernah tahu ataupun mendengar tentang autis sebelum mengetahui bahwa anaknya mengalami autis. Akan tetapi ternyata masih ditemukan sebanyak 26,7% ibu yang belum pernah mengetahui sama sekali mengenai autis. Tindakan awal ibu yang biasa dilakukan saat mengetahui bahwa anaknya mengalami autis beranekaragam. Ibu sebagian besar (86,7%) lebih memilih untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan
tenaga
profesional
seperti
dokter untuk
menentukan
tindakan
selanjutnya yang harus dilakukan terhadap anak. Ibu yang semakin awal menyadari anaknya mengalami autis dan semakin cepat melakukan tindakan maka semakin cepat pula anak menunjukkan perkembangan. Tenaga ahli
diharapkan dapat menjadi pilihan pertama untuk menentukan tindakan yang harus dilakukan pada anak. Ibu sebagian besar (56,7%) mengetahui bahwa gejala yang timbul pada anaknya adalah autis dari media televisi, koran, majalah, atau internet. Ibu lainnya mengetahui saat diperiksakan ke dokter, diberitahu orang lain, ataupun dengan mengamati tanda-tanda yang muncul pada anak. Ibu yang pernah mendengar tentang autis sebelumnya memiliki perhatian yang lebih ketika mengamati gejala autis yang timbul pada anak. Tabel 9 Sebaran ibu berdasarkan informasi dan tindakan awal ibu, sumber informasi dan penerapannya Akses informasi Persentase (%) Informasi awal tentang Pernah tahu 73,3 autis Tidak tahu 26,7 Total 100,0 Membiarkan saja 6,7 Berkonsultasi dengan 86,7 Tindakan awal ibu tenaga profesional Membawa anak ke terapis 3,3 Lainnya 3,3 Total 100,0 Media 56,7 Diagnosa dokter 20,0 Sumber informasi Diberitahu orang lain 16,7 Lainnya 6,7 Total 100,0 Langsung menerapkan 50,0 Tidak peduli 10,0 Penerapan informasi Berkonsultasi dengan 26,7 dokter/terapis Lainnya 13,3 Total 100,00
Umumnya sebagian besar (50,0%) ibu mengaku langsung menerapkan informasi yang diperoleh dari media tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan tenaga profesional seperti dokter. Ibu yang biasa berkonsultasi dengan tenaga profesional terlebih dahulu seperti dokter atau terapis hanya sebanyak 10,0%. Ibu sebagian kecil (13,3%) menerapkan informasi dengan membandingkan literatur yang pernah dibaca atau pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Selain itu, masih ditemukan ibu yang tidak peduli dengan informasi apapun mengenai anak autis sebanyak 10,0%. Ibu sebaiknya tidak langsung mengaplikasikan informasi yang diterima kepada anak. Hal ini mengingat gejala dari autis sendiri yang bersifat khas pada setiap anak. Ibu dapat berkonsultasi dengan tenaga profesional seperti dokter atau terapis ataupun bertukar pendapat dengan orang tua lain yang memiliki kasus serupa. Terapis umumnya adalah seseorang yang
memiliki latar belakang kependidikan dari disiplin ilmu yang sesuai, seperti pendidikan guru taman kanak-kanak, pendidikan guru sekolah dasar, sarjana pendidikan luar biasa atau sarjana psikolog. Selain itu, seseorang dari disiplin ilmu yang lain dapat pula menangani anak autis setelah mengikuti pelatihan dan bimbingan. Tabel 10 Sebaran ibu berdasarkan jenis, frekuensi kunjungan, alasan kedatangan, dan keikutsertaan dalam seminar atau penyuluhan Pelayanan kesehatan n % Jenis pelayanan Rumah sakit/Puskesmas/Klinik 22 73,3 kesehatan Terapis 8 26,7 Total 30 100,0 Tidak pernah 7 23,3 Frekuensi Jarang (1-3 x/6bln) 7 23,3 informasi/kunjungan ke Sedang (1x/bln-2-3x/bln) 6 20,0 dokter/terapis Sering (1x/minggu-setiap hari) 10 33,3 Total 30 100,0 Ikut-ikutan 1 3,3 Alasan datang ke Saran dokter 22 73,3 terapis Informasi dari media 2 6,7 Lainnya 5 16,7 Total 30 100,0 Keikutsertaan dalam Pernah 18 60,0 seminar/penyuluhan Tidak pernah 12 40,0 Total 30 100,0
Jenis pelayanan kesehatan yang umumnya digunakan oleh ibu adalah rumah sakit atau puskesmas (73,3%). Ibu sebagian kecil (26,7%) menggunakan layanan terapis untuk mengkonsultasikan dan memeriksakan anaknya. Frekuensi kunjungan ke dokter atau terapis bervariasi antar ibu. Ibu sebagian besar (33,3%) mengaku sering datang ke dokter/ terapis minimal 1 kali seminggu. Ibu lain memiliki frekuensi sedang (1-3 kali dalam sebulan) sebanyak 20,0% dan jarang (1-3 kali dalam 6 bulan) sebanyak 23,3%. Ibu mengaku hanya sekali membawa anaknya pada pemeriksaan awal ke rumah sakit atau puskesmas dan tidak melakukan tindakan lebih lanjut. Ibu beralasan bahwa gejala yang timbul pada anaknya tidak terlalu berat. Selain itu, ibu terlalu sibuk sehingga tidak bisa meluangkan waktu untuk membawa anaknya ke dokter atau terapis. Menurut Owen et al. (2000), pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi seseorang. Ketersediaan akses pangan, pola asuh, dan pelayanan kesehatan merupakan penyebab tidak langsung yang dapat mempengaruhi status gizi. Ibu yang rutin membawa anaknya menjalani pelayanan kesehatan diharapkan memiliki anak yang berstatus gizi baik.
Alasan ibu yang membawa anaknya ke terapis sebagian besar atas anjuran dari dokter (73,33%). Sedangkan yang lainnya ada yang mendapatkan informasi dari media atau mengikuti apa yang dilakukan oleh orang tua anak autis lainnya. Kunci kesembuhan anak autis yang terbaik terbagi menjadi dua, yaitu intervensi perilaku dan intervensi biomedis. Tujuan dari terapi adalah agar anak mampu untuk berintegrasi dan berinteraktif dalam berbagai lingkungan dalam kehidupannya. Keberhasilan suatu terapi sendiri menurut Handojo (2003), dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia awal terapi, intensitas terapi, berat ringannya Autism Syndrom Disorder (ASD), Intelligent Quotient (IQ) anak, dan kerusakan pada pusat bicara anak. Selain akses terhadap layanan kesehatan dan pemberian terapi bagi anak, terdapat pula berbagai seminar atau penyuluhan tentang autis. Ibu sebagian besar (60%) mengaku pernah mengikuti seminar atau penyuluhan tentang anak autis. Kegiatan seminar atau penyuluhan diharapkan dapat menambah pengetahuan ibu tentang anak autis. Pendidikan seseorang menentukan pengetahuan dari orang tersebut. Perkembangan stimulasi seorang anak dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki orang tua. Orang tua yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup, maka anak akan kekurangan atau bahkan tidak mendapatkan stimulasi perkembangan yang cukup dan sesuai dengan tahapan usianya. Ibu yang memiliki pendidikan yang tinggi, cenderung memberikan pengasuhan makan yang sesuai dengan kebutuhan anaknya. Menurut hasil penelitian Syafitri (2008) kualitas pengasuhan makan pada anak autis umumnya adalah kualitas sedang yaitu sebesar 71.0% dimana pendidikan terakhir ibu sebagian besar (35,5%) adalah tamat SMA. Ibu yang berpendidikan tinggi memiliki akses terhadap informasi-informasi terbaru baik yang berasal dari buku, koran, majalah, ataupun internet (Gunarsa&Gunarsa 1995). Pengetahuan Ibu Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang peranan makanan, makanan yang aman untuk dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara pengolahan makan yang baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta bagaimana cara hidup sehat (Notoatmodjo 2003). Pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan yaitu (1) status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan, (2) setiap orang akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk tumbuh optimal, pemeliharaan tubuh dan memenuhi kecukupan energi, (3) ilmu
gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi (Suhardjo 2003). Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada penelitian ini masingmasing diberi skor kemudian dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu kurang, sedang, dan baik. Pengkategorian pengetahuan gizi didasarkan pada Khomsan (2000) yang membagi pengetahuan gizi menjadi tiga, yakni baik dengan skor >80%, sedang dengan skor 60-80%, dan kurang dengan skor <60%. Nilai minimum yaitu 8 jawaban benar dari 20 pertanyaan dan nilai maksimum yaitu 19 jawaban benar dari 20 pertanyaan. Berdasarkan hasil yang diperoleh 66,7% ibu memiliki tingkat pengetahuan yang baik. Berdasarkan hasil tersebut diharapkan ibu dapat memberikan pilihan makanan yang tepat bagi anaknya.
Hal
ini
sejalan
dengan
pernyataan
Suhardjo
(2003)
bahwa
pengetahuan gizi yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah dan buruk. Ibu memiliki peranan utama dalam menyediakan dan mengolah makanan bagi keluarga. Pemberian makanan yang tepat sangat diperlukan bagi anak autis, sehingga pengetahuan ibu tentang makanan bagi anak autis menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Pengetahuan yang baik dapat disebabkan oleh tingkat pendidikan ibu yang didominasi tamatan SMA/Sederajat serta memadainya akses terhadap informasi gizi dan kesehatan melalui media ataupun layanan kesehatan seperti dokter dan terapis. Tabel 11 Distribusi tingkat pengetahuan ibu berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat pengetahuan Total Tingkat Baik Sedang Kurang pendidikan n % n % n % n % Tamat SD 3 10,0 0 0,0 1 3,3 4 13,3 Tamat 6 20,0 4 13,3 2 6,7 12 40,0 SMA Diploma 6 20,0 1 3,3 0 0,0 7 23,3 1/2/3 S1 5 16,7 1 3,3 1 3,3 7 23,3 Total 20 66,7 6 20,0 4 13,3 30 100,0
Pengetahuan yang diukur dalam penelitian ini yaitu berupa pertanyaan umum mengenai gizi dan secara spesifik tentang autis dan pengaturan makan untuk anak autis khususnya pemberian makanan sumber gluten dan kasein. Pertanyaan yang paling banyak dijawab dengan benar oleh ibu adalah pertanyaan mengenai autis dan keterkaitan makanan dengan gejala autis serta pilihan makanan untuk anak autis. Rata-rata pertanyaan tersebut dijawab benar oleh 90% ibu. Sementara jawaban yang paling banyak dijawab salah oleh ibu adalah perbandingan jenis kelamin pada anak penderita autis (40%).
Sebanyak 90% ibu mengetahui bahwa autis adalah jenis penyakit yang diturunkan dan lebih sedikit dijumpai pada anak perempuan. Dumas dan Nielsen (2003), menyatakan bahwa peluang autis pada anak laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan, yakni empat hingga lima kali lebih besar dibandingkan anak perempuan. Hal tersebut menunjukkan adanya hubungan antara autis dan faktor-faktor genetik, tetapi bukan berarti bahwa semua kasus autis disebabkan oleh peranan faktor genetik (McCandless 2003). Genetik merupakan salah satu penyebab dari autis. Ibu sebagian besar (80%) mengetahui bahwa terapi dapat mengurangi gejala pada anak tetapi tidak dapat menyebuhkan 100%. Hal ini sejalan dengan pernyataan Yusuf W (2003) dalam Milyawati (2008), autis terjadi karena adanya kelainan pada otak sehingga tidak dapat diperbaiki atau disembuhkan, namun gejala-gejala yang ditimbulkan dapat dikurangi secara maksimal sehingga anak autis dapat bersosialisasi dengan anak-anak lainnya secara normal. Ibu sebagian besar (95%) mengetahui bahwa makanan bukanlah penyebab dari autis. Menurut McCandless (2003), anak autis menderita gangguan
saluran
cerna.
Gangguan
tersebut
diantaranya
adalah
ketidakmampuan anak untuk mencerna, menyerap, dan atau memfungsikan zat gizi yang masuk ke dalam tubuhnya dengan baik. Penyebab lain dari autis adalah adanya interaksi antara sistem imun dengan saluran cerna yang menyebabkan peradangan saluran cerna, pertumbuhan jamur yang berlebihan sehingga melukai saluran cerna, serta kondisi leaky gut (adanya lubang-lubang kecil pada mukosa usus sehingga meningkatkan permeabilitas usus) yang menyebabkan opioid (opioid bersifat layaknya obat-obatan seperti opium, morfin, dan heroin yang bekerja sebagai toksin/racun yang dapat mengganggu fungsi otak dan sistem imunitas, serta menimbulkan gangguan perilaku) dan zat-zat beracun lainnya merembes memasuki aliran darah. Makanan bukanlah penyebab dari autis akan tetapi dapat meningkatkan kemungkinan semakin beratnya gejala yang timbul pada anak autis terkait gangguan metabolisme yang umumnya dialami oleh anak autis. Intervensi diet khusus bagi anak penyandang autis akan sangat bermanfaat untuk mengurangi manifestasi klinis yang terjadi, sehingga dapat membantu dalam perbaikan tingkah laku. Pemberian makanan yang tepat dapat mengurangi perilaku hiperaktif, mengulang-ulang kegiatan, dan memperbaiki
kontak mata pada anak. Hal ini diketahui dengan baik oleh 90% ibu yang telah menjawab pertanyaan dengan benar. Pola makan pada anak autis harus mengandung jumlah zat gizi, terutama karbohidrat, protein dan kalsium yang tinggi guna memenuhi kebutuhan fisiologik selama masa pertumbuhan dan perkembangan (McCandless 2003). Keseimbangan jumlah asupan zat gizi yang dikonsumsi oleh anak penting untuk diperhatikan demi mencegah terjadinya kejadian malnutrisi pada anak. Ibu sebagian besar (95%) menjawab dengan benar pernyataan tersebut, sehingga diharapkan dalam prakteknya ibu dapat memberikan asupan makanan yang berimbang, beragam, dan bergizi bagi anak. Menurut Soetardji & Soenardi (2002), memberikan makanan yang bervariasi penting dilakukan untuk mencegah anak merasa bosan dengan makanan yang sama. Siklus menu pada anak autis perlu diberikan agar anak tidak terlalu cepat atau peka terhadap makanan tertentu. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa anak sebaiknya tidak diberikan kebebasan dalam memilih makanannya. Sebanyak 85% ibu mengetahui pentingnya pemberian makanan yang bervariasi, pemberian siklus menu agar anak tidak merasa bosan, dan mengetahui bahwa anak sebaiknya tidak dibebaskan dalam memilih makanan. Akan tetapi, dalam praktiknya masih ditemukan ibu yang tidak memberikan siklus menu pada anak. Ibu mengaku bahwa agak sulit untuk mengatur hal tersebut yang disebabkan antara lain keterbatasan ketersediaan bahan makanan dan keinginan anak. Anak yang menderita autis sebaiknya melakukan diet khusus sesuai dengan keluhan yang dialami. Salah satu diet yang umum dilakukan adalah diet GFCF. McCandless (2003), menyatakan bahwa diet GFCF merupakan langkah penting yang bisa dilakukan oleh orang tua tanpa terlebih dahulu melakukan tes di laboratorium. Diet sangat ketat bebas gluten dan kasein menurunkan kadar peptida opioid serta dapat mempengaruhi gejala autis pada beberapa anak (Sari ID 2009). Hal ini dikarenakan gluten dan casein dapat mengakibatkan anak menjadi lebih aktif, tantrum, bahkan tidak bisa diam sehingga kondisi anak dapat menurun. Makanan-makanan sumber gluten dan kasein seperti tepung terigu, susu sapi, mie (berbahan tepung terigu), dan roti merupakan jenis makanan yang sebaiknya dihindari. Pada pernyataan “makanan yang terbuat dari tepung terigu perlu dihindari” masih ditemukan cukup banyak ibu (35%) yang belum
mengetahui bahwa tepung terigu adalah jenis makanan yang perlu dihindari. Hal yang sama ditemukan pada pernyataan “susu sapi adalah makanan yang baik bagi anak autis”. Sebanyak 35% ibu belum mengetahui bahwa susu sapi adalah makanan yang sebaiknya dihindari oleh anak. Menurut Suryana (2004), anak autis juga perlu menghindari pemakaian bahan panambah rasa saperti MSG dan pewarna buatan. Ibu sebagian besar (80% dan 90%) mengetahui hal tersebut. Beberapa zat pewarna dapat merusak DNA yang menyebabkan mutasi genetik dan dapat mempengaruhi organ penting seperti syaraf otak (Sjambali 2003 dalam Latifah 2004). Bahan pewarna yang sering menimbulkan alergi adalah tatrazine, bahan pengawet asam benzoat, dan bahan penambah rasa monosodium glutamat (Munasir 2003). Alternatif bahan pewarna dapat menggunakan bahan alami seperti daun pandan, kunyit, dan buah bit merah. Bahan-bahan untuk membuat gurih dan mempertajam rasa juga dapat menggunakan bahan-bahan alami seperti jahe, kunyit, dan bumbu-bumbu lainnya. Ibu sebagian besar (65%) mengetahui bahwa konsumsi suplemen diberikan sesuai dengan kebutuhan anak. Hal ini sejalan dengan pernyataan Lewis (1988) dalam Latifah (2004) bahwa terdapat banyak vitamin, mineral, asam amino, dan suplemen rempah (misalnya K-link sage plus dengan kandungan akar sage merah) yang dapat membantu anak autis. Sebagian dari suplemen tersebut tidak dianjurkan kecuali tes tertentu menunjukkan adanya defisiensi, namun sebagian yang lain sering dicoba karena diduga aman dan dapat mempengaruhi gejala autis pada anak. Hal yang harus dilakukan adalah konsultasi dengan dokter atau ahli gizi yang mengetahui dengan pasti mengenai kebutuhan anak autis dan terapi alternatif. Konsumsi Pangan Kebiasaan
makan
didefinisikan
sebagai
cara-cara
individu
dan
kelompok individu memilih, mengonsumsi dan menggunakan makanan-makanan yang tersedia, yang didasarkan pada faktor-faktor sosial budaya dimana manusia hidup. Suhardjo (1989) menyatakan bahwa kebiasaan makan yang baik dimulai di rumah, atas bimbingan dari orang tua dan anggota keluarga yang lainnya. Kebiasaan makan ada yang baik dan ada yang buruk bila dipandang dari segi gizi. Konsumsi makan yang diamati dalam penelitian ini meliputi kebiasaan memilih makanan, diet GFCF (Gluten Free Casein Free), alergi makanan,
konsumsi suplemen, dan makanan yang disukai. Menurut Kusumayanti et al. (2005), anak autis memiliki pilihan makanan yang terbatas dan termasuk kategori yang suka memilih-milih makanan yang diberikan oleh ibu. Frekuensi Konsumsi Pangan Frekuensi makan merupakan salah satu bentuk kebiasaan makan seseorang. Frekuensi makan diukur dalam satuan kali per hari, per minggu maupun per bulan. Penggunaan metode frekuensi pangan bertujuan untuk memperoleh data pangan secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang pola konsumsi. Metode ini umumnya tidak digunakan untuk memperoleh data kuantitatif pangan ataupun intake konsumsi zat gizi. Ada beberapa hal yang mempengaruhi frekuensi makan, seperti faktor ekonomi, kebiasaan, dan pola sosial budaya. Frekuensi makan pada orang dengan kondisi ekonomi mampu lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang kondisi ekonominya lemah. Hal ini disebabkan orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi memiliki daya beli yang tinggi sehingga dapat mengonsumsi makanan dengan frekuensi yang lebih tinggi. Contoh sebagian besar (93,33%) mengonsumsi makanan lengkap sebanyak tiga kali makan utama dalam sehari. Makanan lengkap biasanya diberikan pada makan siang dan sore atau malam. Di pagi hari sayuran jarang diberikan. Konsumsi makanan selingan bervariasi untuk setiap contoh, namun sebagaian besar (83,33%) contoh mengonsumsi selingan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Siklus Menu Porsi makanan yang diberikan disesuaikan dengan kemampuan dan kemauan anak untuk mengonsumsinya. Ibu sebagian besar (83,33%) tidak menerapkan siklus menu bagi anaknya sehingga cenderung memberikan makanan sesuai dengan bahan makanan yang tersedia. Ibu yang memberikan siklus menu bagi anaknya menerapkan menu empat hari berdasarkan pemberian protein hewani. Ayam diberikan pada hari pertama, daging sapi pada hari kedua, telur pada hari ketiga dan ikan pada hari keempat, kemudian siklus tersebut diulang lagi pada hari kelima. Siklus menu pada anak autis perlu diberikan agar anak tidak terlalu cepat atau peka terhadap makanan tertentu. Selain itu, siklus menu dilakukan untuk mengetahui tingkat sensitivitas anak terhadap makanan yang diberikan. Pemberian siklus menu ini memiliki konsekuensi yaitu ibu tidak selalu mengikuti
kesukaan anaknya karena khawatir ada pengaruh makanan yang diberikan terhadap gejala autisme. Siklus menu umumnya dilakukan atas saran dokter dan disesuaikan dengan hasil pemeriksaan alergi. Penerapann siklus menu terkadang lebih banyak dipengaruhi oleh hasil pengamatan ibu terhadap tingkat sensitivitas anaknya pada jenis makanan tertentu. Makanan yang Disukai Contoh sebagian besar (70%) tidak memiliki makanan favorit, hanya sejumlah 30% contoh yang memiliki makanan favorit. Jenis sayuran yang umumnya disukai contoh adalah sayur asem, labu siam, dan bayam. Buah yang paling banyak disukai adalah jambu biji, pisang, pepaya, dan melon. Kelompok lauk hewani yang disukai contoh biasanya terdiri dari ayam, ikan, dan daging sapi. Kelompok makanan lain yang disukai contoh adalah mie goreng, soto, coklat, yoghurt, baso, gorengan, dan bihun. Perlu dipahami bahwa jenis makanan untuk masing-masing contoh memiliki perbedaan untuk setiap individu. Jenis makanan apapun boleh diberikan pada anak asalkan tidak memperparah gejala autis yang timbul. Akan tetapi, apabila makanan yang disukai tersebut memperparah gejala yang timbul (misalnya mie, yoghurt, baso, dan gorengan yang mengandung gluten dan kasein) ibu sebaiknya mengurangi konsumsi makanan tersebut secara bertahap sebelum akhirnya menghentikan konsumsinya sama sekali. Hal tersebut dilakukan agar anak tidak merasa terpaksa untuk melakukannya. Makanan yang Biasa Dikonsumsi Anak autis memiliki keterbatasan dalam pilihan makanan, karena mereka tidak boleh mengonsumsi jenis makanan tertentu. Jenis makanan yang biasa dikonsumsi oleh contoh dikelompokkan ke dalam makanan sumber karbohidrat, protein, sayuran, buah, dan makanan ringan (snack). Kelompok makanan sumber karbohidrat yang biasa dikonsumsi adalah nasi, roti, kentang, mie, dan bihun. Roti dan mie berbahan dasar tepung terigu merupakan salah satu bahan makanan sumber gluten. Menurut Soetardji dan Soenardi (2002), pemilihan makanan sumber karbohidrat bagi anak autis dipilih yang tidak mengandung gluten. Contoh makanan yang baik dikonsumsi adalah beras, singkong, ubi, talas, jagung, tepung beras, tapioka, ararut, maizena, bihun, dan soun. Kelompok protein hewani yang paling banyak dikonsumsi adalah ayam dalam berbagai bentuk masakan, serta produk-produk olahan ayam seperti
nugget dan sosis. Sumber protein hewani lain adalah daging sapi, telur, udang, hati ayam dan ikan. Beberapa jenis makanan yang sebaiknya dihindari oleh anak autis menurut Soetardji dan Soenardi (2002), adalah daging yang diolah dan diawetkan seperti sosis dan sumber gluten terselubung yang salah satunya terdapat dalam produk olahan ayam yaitu nugget. Berdasarkan data yang diperoleh masih ditemukan contoh yang terbiasa mengonsumsi pangan seperti sosis dan nugget, sehingga diharapkan ibu dapat mengurangi konsumsi pangan tersebut. Produk olahan nugget dapat tetap diberikan asalkan dibuat sendiri tanpa adanya tambahan bahan sumber gluten atau kasein dan bahan pengawet. Sosis siap konsumsi yang dijual di pasaran umumnya memakai bahan pengawet dan bahan aditif lainnya. Sosis tiruan dari daging giling yang dibuat sendiri dapat menjadi alternatif makanan bagi anak. Ibu merasa khawatir untuk memberikan ikan laut terkait kekhawatiran tercemar merkuri. Menurut Suryana (2004), pencemaran bisa terjadi pada ikanikan di sekitar pantai seperti ikan teri atau kerang-kerangan, tetapi bukan pada ikan laut dalam seperti kakap, tenggiri, tuna, dan salmon. Ibu diharapkan tidak perlu khawatir untuk memberikan ikan laut dalam kepada anak. Kelompok makanan sumber protein nabati yang sering dikonsumsi oleh sebagian besar contoh adalah tempe. Sayuran yang biasa dikonsumsi adalah bayam, sayur asem, sayur sop, karedok, toge, kangkung, sayur lodeh, dan sawi. Sedangkan kelompok buah yang biasa dikonsumsi adalah pisang, apel, melon, tomat, pepaya, jeruk, semangka, strawberry, dan jambu biji. Buah-buahan tersebut bisa dikonsumsi secara langsung atau diolah menjadi jus. Jenis sayuran atau buah apapun boleh diberikan asalkan tidak memberikan efek merugikan pada anak. Makanan ringan yang biasa dikonsumsi terbagi menjadi dua yaitu makanan kering dan makanan basah. Makanan kering yang biasa dikonsumsi berupa keripik, biskuit (biskuit beras ataupun biskuit berbahan terigu), gorengan, risol, donat, dan wafer. Makanan basah yang dikonsumsi contoh seperti bubur kacang hijau, kue basah, cilok, martabak, eskrim, kolak, puding, dan buras. Contoh juga mengonsumsi susu dan teh manis. Susu yang biasa dikonsumsi terdiri dari susu cair (53,33%), susu skim bubuk (13,33%), atau susu kedelai (3,33%). Menurut Suryana (2004), penggunaan susu sapi pada anak autis dapat diganti dengan susu kedelai atau susu kentang yang sudah terdapat di toko-toko yang khusus menjual makanan untuk anak autis.
Konsumsi Suplemen Pemberian suplemen pada dasarnya tidak diperlukan apabila asupan gizi anak seimbang. Pemberian suplemen seperti vitamin, mineral, asam amino, dan suplemen rempah dapat mambantu anak autis. Pemberian umumnya disesuaikan dengan anjuran dokter berdasarkan hasil tes yang menunjukkan adanya defisiensi. Namun, terdapat pula yang sering mencoba karena diduga aman dan dapat mempengaruhi gejala anak (Soetardji dan Soenardi 2002). Sebanyak 26,67% contoh mengonsumsi suplemen. Suplemen yang diberikan berupa suplemen khusus atau suplemen yang biasa diberikan untuk menambah nafsu makan. Pemberian suplemen khusus dilakukan setelah berkonsultasi dengan dokter. Suplemen khusus yang diberikan terdiri dari suplemen mineral (magnesium, zinc) dan suplemen selain mineral (minyak ikan, propolis, enzim DPP IV). Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan jenis supleman yang dikonsumsi Jenis supleman n % Magnesium, zinc Mineral 1 12,5 Minyak ikan, propolis, enzim DPP IV, enzim Selain mineral 4 50 karbohidrat, K-Link sage plus omega
Minyak ikan mengandung asam lemak omega 3 yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan otak. Minyak ikan cod berfungsi untuk memperbaiki metabolisme asam lemak. Penggunaannya dianjurkan bukan hanya untuk anak autis, melainkan juga untuk semua anak. Selain omega 3, minyak ikan (fish oil) cod juga mengandung vitamin A yang cukup tinggi (McCandless 2003). Selain minyak ikan, enzim adalah suplemen lain yang juga biasa diberikan kepada anak autis. Enzim berfungsi untuk memecah beberapa komponen makanan agar mempermudah proses pencernaannya. Merek dagang enzim yang digunakan antara lain enzym complete/DPP IV yang mengandung beberapa komponen enzim seperti : DPP IV, FP 31 protease, alkaline protease, alpha amylase, glucoamylase, alpha galactosidase, lactase, maltase, cellulase, phytase, xylanase (hemicellulase), invertase (sucrase), bromelain, AFP (Acid Fast Protease), kiwi protease, papain, dan lipase. Ibu sebagian besar (62,5%) selain memberikan suplemen khusus juga memberikan suplemen makanan yang biasa diberikan pada anak-anak normal. Suplemen tersebut berfungsi untuk pertumbuhan dan nutrisi otak, memelihara dan memperbaiki daya tahan tubuh, serta meningkatkan nafsu makan. Merek dagang yang biasa digunakan adalah Curcuma Plus, Scott Emulsion, Ester C
Kids, dan Cerebrofort Syrup. Rata-rata contoh mengonsumsi 1-2 jenis suplemen setiap harinya. Konsumsi suplemen yang paling banyak dikonsumsi oleh contoh adalah enam jenis suplemen per hari. Alergi Makanan Contoh sebagian kecil (10%) memiliki alergi terhadap bahan makanan tertentu. Contoh yang memiliki alergi sebagian besar merupakan contoh yang tergolong autis berat. Alergen dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu buah, lauk hewani, dan lain-lain. Alergi terhadap kelompok makanan tersebut diketahui melalui pengamatan sehari-hari maupun hasil pemeriksaan darah. Alergen dari kelompok buah adalah jeruk, alergen dari kelopok lauk hewani adalah kuning telur dan peyek rebon, dan alergen dari kelompok lain-lain adalah madu dan makanan yang disajikan dalam keadaan dingin. Tabel 13 Distribusi jenis makanan penyebab alergi berdasarkan klasifikasi autis Kelompok dan jenis makanan alergen Klasifikasi autis Buah Lauk hewani Lain-lain Berat Jeruk (1) Kuning telur (1) Madu (1), makanan dingin (1) Sedang Peyek rebon (1) Ringan -
Alergi yang terjadi pada anak autis berbeda-beda dari satu individu dengan individu lainnya. Hasil penelitian terhadap 120 anak Indonesia yang memenuhi kriteria diagnosis autisme masa kanak-kanak, menunjukkan bahwa anak-anak tersebut menderita multiple food allergy.
Selain susu sapi dan
gandum atau makanan terbuat dari gandum, makanan yang sering menimbulkan alergi pada anak adalah telur, kacang tanah, kedelai, dan ikan laut. Menurut hasil penelitian tersebut, dari 120 anak, 100 anak (83,3%) alergi susu sapi, gluten, dan makanan lain, 18 anak (15%) alergi susu sapi dan makanan lain, serta 2 anak (27%) alergi terhadap gluten dan makanan lain (Budhiman 2003 dalam latifah 2004). Tes alergi perlu dilakukan pada anak untuk mengetahui jenis makanan apa saja yang dapat menimbulkan alergi pada anak. Suryana (2004), menyatakan bahwa jika anak memiliki alergi sebaiknya memang menghindari makanan tersebut, akan tetapi makanan yang membuat alergi, juga tetap dianjurkan untuk dicoba pada anak. Misalnya telur, sebaiknya konsumsi dihentikan dan diberikan kembali setelah enam bulan. Selain alergi hal yang penting diperhatikan pada anak autis adalah pemberian antibiotik ketika anak sakit. Pemberian antibiotik yang berlebihan mengakibatkan banyak bekteri yang resisten terhadap antibiotik. Antibiotik
menyebabkan terganggunya flora normal usus. Antibiotik bukan hanya membunuh patogen tetapi sekaligus membunuh bakteri-akteri pelindung (probiotik usus) (McCandless 2003). Pemberian antibiotik biasanya dibarengi dengan konsumsi prebiotik. Prebiotik dikenal sebagai bahan makanan yang dapat mendukung tumbuh kembangnya bakteri menguntungkan dalam sistem pencernaan. Bakteri probiotik berkembang dengan baik apabila ada prebiotik yang cukup. Prebiotik sering ditambahakan pada susu formula seperti FOS (Frukto Oligo Sakarida) dan GOS (Galakto Oligo Sakarida). Akan tetapi, karena anak autis sebaiknya menghindari produk susu, hal ini sering menimbulkan masalah tersendiri bagi ibu dalam memilih makanan bagi anak. Prebiotik sebenarnya juga terdapat secara alami dalam bahan makanan tertentu. Sumber prebiotik dari bahan makanan alami diantaranya adalah pisang, bawang, madu, dan kacang-kacangan, serta ASI. Anak dapat mengonsumsi makanan sumber prebiotik alami asalkan tidak memiliki alergi atau intoleransi terhadap makanan tersebut. Konsumsi Pangan Sumber Gluten dan Kasein Kebanyakan anak autis memiliki masalah dalam mencerna casein dan gluten. Sewaktu dicerna, banyak protein yang dipecah menjadi asam amino tunggal, yang lainnya dibawa sebagai rantai yang sedikit lebih besar. Pada anak autis, protein dan peptida yang tidak dapat dicerna berasal dari casein dan gluten. Peptida yang tidak bisa diterima tubuh dapat memasuki aliran darah dan apabila terbawa ke otak akan memiliki efek seperti opioid (Shattock 2002 dalam Latifah 2004). Peptida ini di otak akan berubah menjadi casomorphin dan gluteomorphin yang seratus kali lebih berbahaya dari morfin biasa. Pori-pori yang tidak lazim kebanyakan ditemukan di membran saluran cerna anak autis, yang menyebabkan masuknya peptida ke dalam darah. Hasil metabolisme gluten adalah protein gliadin. Gliadin akan berikatan dengan reseptor opioid C dan D. Reseptor tersebut berhubungan dengan mood dan tingkah laku. McCandless (2003), menyatakan bahwa diet GFCF (Gluten Free Casein Free) merupakan langkah penting yang bisa dilakukan oleh orang tua tanpa terlebih dahulu melakukan tes di laboratorium. Anak-anak yang melakukan diet ini biasanya memberikan respon yang lebih baik daripada anak-anak yang belum melakukan diet GFCF. Menurut Winarno (1997), kadar protein susu sapi umumnya 3,5%. Protein susu pada umumnya dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu kasein
dan protein whey. Kasein merupakan komponen protein yang terbesar dalam susu dan sisanya berupa protein whey. Kadar kasein pada protein susu mencapai 80% dari jumlah total protein yang terdapat dalam susu sapi, sedangkan protein whey sebanyak 20%. Produk olahan susu antara lain adalah keju, mentega, es krim, dan yoghurt. Kandungan protein pada masing-masing produk per 100 gram adalah 22,8 g (keju), 0,5 g (mentega), 4 g (es krim), dan 3,3 g (yoghurt). Gluten terdapat dalam tepung terigu, yang secara khas membedakan tepung terigu dengan tepung-tepung lainnya. Kandungan gluten dapat mencapai 80% dari total protein dalam tepung, dan terdiri dari protein gliadin dan glutenin. Umumnya tepung terigu digolongkan berdasarkan kandungan proteinnya. Tepung terigu yang dijual di pasaran memiliki kandungan protein yang berkisar antara 8% - 9%, 10,5% - 11,5% dan 12% - 14%.Tepung terigu berprotein 12%14% ideal untuk pembuatan roti dan mie. Tepung terigu berprotein 10,5%-11,5% untuk roti dengan volume sedang, donat dan pastry/pie. Sedangkan untuk gorengan, biskuit, kue-kue, cake dan wafer menggunakan terigu yang berprotein 8%-9% (Paran 2009). Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan rata-rata frekuensi konsumsi pangan sumber gluten dan kasein per kelompok makanan Gluten Kasein Frekuensi n % n % Tidak pernah 13 43,33 20 66,67 1x sebulan 8 26,67 5 16,67 3 x seminggu 6 20,00 4 13,33 > 3x seminggu 2 6,67 0 0,00 1-2x sehari 1 3,33 1 3,33 >3x sehari 30 100,00 0 0,00 Total 13 43,33 20 66,67
Berdasarkan tabel di atas, contoh sebagian besar tidak mengonsumsi makanan sumber gluten maupun kasein. Rata-rata konsumsi makanan sumber gluten dan kasein contoh adalah 43,33% tidak pernah mengonsumsi makanan sumber gluten dan 66,67% tidak pernah mengonsumsi makanan sumber kasein. Frekuensi pemberian paling sering rata-rata sebanyak 1x sebulan atau 3x seminggu baik untuk makanan sumber gluten maupun kasein. Berdasarkan hasil penelitian Latifah (2004) sebagian besar (86,4%) ibu menerapkan diet bebas gluten dan kasein pada anaknya. Ibu sebagian besar (83,33%) tidak memberlakukan diet yang ketat pada anaknya. Meskipun tidak dalam jumlah banyak, anak kadang-kadang diperbolehkan untuk mengonsumsi makanan
ringan yang mengandung gluten seperti biskuit dan wafer, bahkan ada juga yang diberikan mie berbahan dasar terigu. Jenis makanan sumber gluten yang paling sering diberikan yaitu mie, roti, dan biskuit masing-masing sebanyak 3x dalam seminggu. Ibu mengaku tidak memberlakukan diet dengan ketat sehingga anak masih diperbolehkan mengonsumsi makanan tersebut dalam jumlah yang terbatas. Jenis makanan lain seperti pasta, kue-kue berbahan dasar terigu, sereal gandum, dan tepung bumbu sebagian besar tidak pernah diberikan. Sementara hampir semua jenis gandum mengandung gluten, termasuk malt (biji gandum) dan oat. Sereal yang terbuat dari beras atau jagung dapat menjadi penggantinya. Tepung bumbu termasuk bahan makanan yang sebaiknya dihindari karena berbahan dasar tepung terigu yang merupakan sumber gluten. Penggunaan tepung terigu sebagai bahan untuk membuat cake atau kue dapat diganti dengan tepung bebas gluten (gluten free) seperti tepung beras, tepung kedelai, tepung maizena (pati jagung), tepung tapioka, tepung sagu, dan tepung garut (arrowroot flour). Saat ini juga sudah dijual tepung campuran bebas gluten atau gluten free flour mix (GF flour mix). GF flour mix merupakan produk campuran tepung yang telah dimodifikasi sehingga dapat menghasilkan biskuit yang enak dengan rasa yang tidak kalah dengan tepung bergluten. Produk tersebut dapat berupa campuran dari tepung beras, tepung sagu aren dan tepung singkong (Karim & Chender 2007). Selain produk-produk free gluten kemasan, ibu dapat menggunakan makanan-makanan alami yang berasal dari singkong, ubi jalar, jagung, dan sebagainya. Makanan-makanan tersebut tidak memerlukan biaya yang mahal dan proses pemasakan yang rumit. Singkong dan ubi dapat direbus atau digoreng. Penggunaan tepung terigu pada pembuatan gorengan, misalnya goreng pisang dapat diganti dengan tepung beras. Hampir semua jenis makanan yang mengandung kasein rata-rata tidak pernah dikonsumsi contoh. Jenis makanan yang masih biasa ditemukan dikonsumsi 3x seminggu ataupun 1-2x sehari adalah susu sapi (16,67% untuk konsumsi 1-2x sehari), susu skim, susu bubuk, mentega dan keju (umumnya sebagai campuran dari makanan lain), yoghurt, dan biskuit/ wafer yang mengandung susu (26,67% untuk konsumsi 1-2x sehari). Ibu yang masih memberikan susu beralasan bahwa susu adalah salah satu sumber asupan gizi anak, sementara beberapa orang tua lain beralasan bahwa anak tidak mempunyai alergi terhadap casein. Keju, mentega, dan yoghurt merupakan
produk turunan susu yang sebaiknya juga dihindari apabila sedang melakukan diet casein free. Susu yang terbuat dari beras, kentang, dan
kedelai sudah
banyak dijual di pasaran. Jenis susu tersebut dapat menjadi alternatif susu yang bebas kasein. Asupan makanan sumber gluten dan kasein masih ditemukan pada anak dengan ibu yang sudah menerapkan diet GFCF. Ibu beralasan bahwa kondisi anak sudah membaik sehingga pemberian diet menjadi lebih ringan dengan memperbolehkan konsumsi pangan sumber gluten dan kasein dalam jumlah tertentu. Menurut Aden (2008), diet GFCF sangat disarankan akan tetapi asupan gluten dan casein sebaiknya tidak dihentikan dihentikan sama sekali pada awal penerapan diet. Hal tersebut disebabkan seperti halnya pecandu narkoba, jika mendadak dihentikan bisa mengalami ketagihan. Pada anak autis, jika konsumsi pangan sumber gluten dan casein tiba-tiba dihentikan bisa memperburuk kondisi anak. Penghentian asupan gluten dan casein secara total dari menu makanan sebaiknya dilakukan secara bertahap. Makanan yang tidak mengandung gluten atau kasein dapat dicampur bersama-sama dengan makanan yang masih mengandung gluten atau casein sehingga kandungan gluten atau kasein pada makanan tersebut menjadi lebih rendah. Misalnya, mencampur susu kedelai dengan susu sapi, sambil mengurangi proporsi susu sapinya. The Autistic Network For Dietary Intervention, Amerika, menyarankan agar penderita gangguan perilaku yang terkait dengan gangguan pencernaan seperti autis untuk menjalani diet bebas gluten dan kasein atau diet GFCF (gluten free casein free) selama minimal 6 bulan. Menurut Emilia dan Yuliana (2006), proses pola makan bebas gluten dan kasein dimulai secara perlahan-lahan dengan cara sebagai berikut : 1. Menyingkirkan makanan yang mengganggu satu demi satu sambil berangsur-angsur memperkenalkan makanan pengganti yang baru. 2. Membuat makanan dengan variasi dalam bahan dan pengolahan serta menarik dalam penyajian 3. Gluten lebih lama hilang dari sistem pencernaan daripada kasein. Tes urin menunjukkan bahwa kasein dapat hilang dari tubuh dalam tiga hari, sedangkan gluten membutuhkan waktu berbulan-bulan. Anak sebaiknya menghindari konsumsi susu terlebih dahulu dan setelah beberapa minggu menghindari produk susu atau hasil olahan susu. Setelah itu baru menghindari produk dengan bahan dasar gandum
4. Menghindari produk kedelai
kecuali
tes hipersensitivitas
makanan
menunjukkan bahwa anak tidak alergi terhadap kedelai. 5. Mematuhi pola makan bebas gluten dan kasein dan kedelai ketat, minimal selama 6 bulan karena pemberian makanan yang mengandung gluten dan kasein, meskipun dalam jumlah sedikit, dapat menyebabkan kemunduran pada kesehatan anak. 6. Membiasakan diri untuk membaca label pada kemasan makanan atau tandai makanan yang mengandung gluten dan kasein. Konsumsi Zat Gizi Konsumsi pangan per hari dan jenis makanan yang biasa diikonsumsi oleh contoh diketahui dengan melakukan record 3x24 jam. Hasil record tersebut kemudian diterjemahkan sesuai dengan kandungan zat gizi dari masing-masing bahan pangan. Rata-rata konsumsi energi contoh adalah sebesar 1800,77 Kalori. Jenis makanan sumber energi yang biasa dikonsumsi contoh adalah nasi, roti, kentang, mie, dan bihun. Rata-rata konsumsi protein contoh yaitu 66,7 gram. Makanan sumber protein yang dikonsumsi terbagi menjadi dua, yaitu protein hewani dan protein nabati. Konsumsi beberapa zat gizi selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan konsumsi zat gizi Konsumsi Zat gizi Terendah Tertinggi Rata-rata Energi (Kal) 790 2584 1800,77 Protein (gram) 23,1 104,7 66,75 Vitamin A (RE) 19 6290,63 837,63 Vitamin C (mg) 1,2 324,7 42,27 Kalsium (mg) 40 1291,57 350,19 Magnesium (mg) 109,83 501,37 222,45 Zinc (mg) 3,23 17,5 7,90
SD 387,80 18,90 1320,68 67,15 313,54 69,24 3,06
Makanan yang banyak mengandung vitamin A yang biasa dikonsumsi oleh contoh antara lain adalah sayuran hijau (bayam, kangkung, brokoli), wortel, tomat, dan sawi, serta beberapa jenis buah seperti semangka, pepaya, melon, jambu biji, mangga, dan jeruk. Makanan hewani sumber vitamin A adalah telur, ikan pindang, hati ayam, dan daging sapi. Vitamin C dari makanan yang dikonsumsi terdapat dalam buah seperti jeruk dan pepaya. Intake kalsium diperoleh dari daging sapi dan ikan laut. Selain itu, masih terdapat contoh yang masih mengonsumsi susu sapi sehingga terdapat sumbangan asupan kalsium dari susu tersebut. Sumber zinc berasal dari daging sapi, hati, dan telur. Selain berasal dari makanan, sumber asupan vitamin dan mineral juga diperoleh dari konsumsi suplemen.
Tingkat Kecukupan Gizi Menurut hasil penelitian Defeat Autism Now! Mengenai status gizi pada anak-anak autis, sebagian besar anak autis menunjukkan defisiensi beberapa vitamin dan mineral, seperti rendahnya vitamin B6 dan buruknya kemampuan mengikat B6 disertai dengan jumlah magnesium intraseluler (dalam sel) yang rendah atau rendah-normal, rendahnya seng intraselular, rendahnya kadar vitamin A dalam darah, rendahnya biotin, B1, B3, dan fungsi B5, menurut uji mikrobiologi, serta rendahnya vitamin C pada urin (McCandless 2003). Menurut Karyadi dan Muhillal (1990), kecukupan gizi yang dianjurkan adalah banyaknya masing-masing zat gizi yang harus terpenuhi dari makanan untuk dapat hidup sehat. Pada penelitian ini, dihitung tingkat kecukupan beberapa jenis mineral (Ca, Mg, dan Zn) dan vitamin (vitamin A dan vitamin C). Angka kecukupan gizi energi dan protein contoh diperoleh dengan menggunakan koreksi
berat
badan
contoh.
Kemudian
ditentukan
tingkat
kecukupan
berdasarkan kategori Depkes (1996). Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein Zat gizi Klasifikasi n % Defisit Tingkat Berat 5 16,67 Defisit Tingkat Sedang 2 6,67 Defisit Tingkat Ringan 4 13,33 Energi Normal 12 40,00 Berlebih 7 23,33 Total 30 100,00 Defisit Tingkat Berat 1 3,33 Defisit Tingkat Sedang 1 3,33 Defisit Tingkat Ringan 1 3,33 Protein Normal 3 10,00 Berlebih 24 80,00 Total 30 100,00
Berdasarkan hasil perhitungan 40% contoh memiliki tingkat kecukupan energi normal dan 80% contoh memiliki tingkat kecukupan protein berlebih. Meskipun sebagian contoh tidak mengonsumsi beberapa jenis makanan yang menjadi sumber energi seperti susu dan makanan yang mengandung gluten (roti, kue, biskuit dan lain-lain), contoh mendapat cukup asupan energi dari menu makanan yang mereka konsumsi. Sementara itu, tingginya asupan protein diduga karena tingginya konsumsi makanan sumber protein baik protein hewani maupun protein nabati. Menurut Almatsier (2009), protein yang berlebihan tidak baik untuk tubuh. Makanan yang tinggi protein biasanya tinggi lemak sehingga dapat menyebabkan obesitas. Kelebihan asam amino memberatkan ginjal dan hati yang harus memetabolisme dan mengeluarkan kelebihan nitrogen.
Kelebihan protein dapat menyebabkan asidosis, dehidrasi, diare, kenaikan amoniak darah, kenaikan ureum darah, dan demam. Tingkat kecukupan vitamin A pada contoh, sebanyak 60% telah cukup baik. Tingat kecukupan vitamin C 70% contoh masih berada dalam kategori kurang. Salah satu manifestase akibat kekurangan vitamin C adalah gangguan syaraf berupa histeria dan depresi diikuti gangguan psikomotor. Vitamin C memiliki banyak fungsi dalam tubuh, sebagai koenzim dan kofaktor. Vitamin C mereduksi besi feri menjadi fero dalam usus halus sehinga zat besi mudah diabsorpsi. Vitamin C juga membantu absorpsi kalsium dengan menjaga agar kalsium berada dalam bentuk larutan. Peranan penting vitamin C yaitu sebagai antioksidan dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi (Almatsier 2009). Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin Zat gizi Kategori n % Kurang 12 40 Vitamin A Cukup 18 60 Total 30 100 Kurang 21 70 Vitamin C Cukup 9 30 Total 30 100
Antioksidan seperti vitamin A dan C membantu melindungi tubuh terhadap radikal bebas dan pada tingkat tertentu memperbaiki kerusakan akibat radikal bebas (McCandless 2003). Hal tersebut juga terkait dengan salah satu penyebab autis yaitu keracunan logam berat pada beberapa anak autis. Logam berat dapat berpengaruh buruk pada sistem saluran cerna, sistem imun tubuh, sistem saraf, dan sistem endokrin. Sebagian besar kerusakan yang disebabkan oleh logam berat datang dari perkembangbiakan radikal bebas oksidan. Tubuh tidak dapat memproduksi vitamin C sehingga diperlukan asupan dari makanan atau suplemen. Bahan makanan yang banyak mengandung vitamin C adalah daun singkong, daun katuk, daun melinjo, daun pepaya, sawi, pepaya, gandaria, dan buah-buahan yang berasa asam. Konsumsi vitamin C yang baik juga dapat membantu meningkatkan penyerapan kalsium dan zat besi. Tingkat kecukupan gizi beberapa mineral yaitu kalsium, magnesium, dan zinc bervariasi untuk masing-masing mineral tersebut. Sebaran tingkat kecukupan untuk masing-masing mineral contoh dapat dilihat pada tabel 18.
Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan mineral Zat gizi Kategori n % Kurang 24 Kalsium Cukup 6 Total 30 Kurang 2 Magnesium Cukup 28 Total 30 Kurang 24 Zinc Cukup 6 Total 30
80,00 20,00 100,00 6,67 93,33 100,00 80,00 20,00 100,00
Contoh sebagian besar (80%) termasuk dalam kategori kurang untuk tingkat kecukupan kalsium dan zinc. Tingkat kecukupan magnesium sebesar 93,33% dari contoh sudah cukup. Tingkat kecukupan kalsium yang tidak mencukupi diduga karena sebagian besar contoh tidak mengonsumsi susu sapi yang memiliki kandungan kalsium tinggi. Kalsium adalah unsur pokok utama penyusun tulang dan gigi dan sangat penting untuk proses penghantaran saraf, kontraksi otot, detak jantung, pembekuan darah, produksi energi, dan pemeliharaan fungsi sistem imun. Anak yang kekurangan kalsium lebih cenderung menunjukkan sifat mudah tersinggung, mengalami gangguan tidur, amarah, dan tidak mampu memberikan perhatian pada sesuatu. Anak-anak membutuhkan kalsium sebanyak 800-1200 mg per hari, terutama yang sedang menjalankan diet GFCF (McCandless 2003). Kalsium sangat penting dalam kebutuhan sehari-hari anak autis, sehingga perlu asupan kalsium lebih untuk anak yang berasal dari makanan lain selain susu sapi. Bahan makanan yang banyak mengandung kalsium antara lain udang, ikan teri, bayam, sawi, daun melinjo, daun katuk, selada air, dan daun singkong. Kekurangan zinc dapat disebabkan karena makanan utama berupa serelia tumbuk dan kacang-kacangan. Menurut Almatsier (2009), serelia tumbuk dan kacang-kacangan tinggi akan serat dan fitat yang menghambat absorpsi zinc. Kekurangan zinc kronis dapat menyebakan gangguan pada fungsi pencernaan, fungsi pankreas, gangguan pembentukan kilomokron, kerusakan saluran cerna, gangguan sistem imun, sistem syaraf, dan fungsi otak. Menurut hasil penelitian Walsh dan Shaw dalam McCandless (2003), gangguan gizi yang sering ditemukan pada anak autis adalah kekurangan zinc yang ditemui pada hampir 90% anak autis. Status Gizi Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier 2009). Menurut Riyadi (1995), status gizi
adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi. Ukuran fisik seseorang sangat berhubungan dengan status gizi. Oleh karena itu, antropometri digunakan sebagai indeks yang baik dan dapat digunakan sebagai penentuan status gizi untuk negara berkembang. Status gizi contoh ditentukan berdasarkan indeks TB/U dan IMT/U menurut WHO (2007) yang juga telah diadaptasi oleh kementrian kesehatan RI tentang standar antropometri penilaian status gizi anak untuk usia 5-19 tahun dan indeks BB/U menurut CDC (2000). Indeks BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini karena mudah berubah. Namun indeks BB/U tidak spesifik karena berat badan selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi badan.Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan keadaan tubuh skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap defisiensi zat gizi dalam jangka pendek. Pengaruh defisiensi jangka panjang terhadap tinggi badan akan muncul setelah beberapa waktu yang cukup lama. Indeks IMT/U merupakan indikator yang paling baik bagi remaja dan anak usia sekolah. Indikator ini sudah divalidasi sebagai indikator lemak tubuh total pada
persentil
atas
dan
juga
sejalan
dengan
indikator
yang
sudah
direkomendasikan untuk orang dewasa serta data referensi yang bermutu tinggi tentang indikator ini sudah tersedia (Soekirman 2000). Penentuan status gizi ditentukan berdasarkan software anthroplus 2007 yang mengacu pada referensi WHO 2007 dan software nutrisurvey untuk indeks BB/U menurut referensi CDC 2000. Tabel 19 Distribusi status gizi (indeks BB/U dan TB/U) contoh berdasarkan klasifikasi autis Berat Badan/Umur Total Klasifikasi Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih autis n % n % n % n % Berat 1 3,3 4 13,3 0 0,0 5 16,7 Sedang 3 10,0 7 23,3 0 0,0 10 33,3 Ringan 2 6,7 11 36,7 2 2,0 15 50,0 Total 6 20,0 22 73,3 2 2,0 30 100,0 Tinggi Badan/Umur Total Klasifikasi Sangat pendek Pendek Normal autis n % n % n % n % Berat 0 0,0 0 0,0 5 16,7 5 16,7 Sedang 1 3,3 1 3,3 8 26,7 10 33,3 Ringan 2 6,7 1 3,3 12 40,0 15 50,0 Total 3 10,0 2 6,7 25 83,3 100 100,0
Tabel 20 Distribusi status gizi (indeks IMT/U) contoh berdasarkan klasifikasi autis IMT/U Klasifikasi Total (%) Sangat autis Kurus Normal Overweight Obesitas kurus Berat 3,3 0,0 3,3 3,3 6,6 16,7 Sedang 3,3 0,0 10,0 3,3 16,7 33,3 3,3 16,7 13,3 16,7 50,0 Ringan 0,0 Total 6,7 3,3 30,0 20,0 40,0 100,0
Indeks BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini karena mudah berubah. Indeks BB/U menunjukkan bahwa 73,33% contoh berstatus gizi baik. Contoh sebagian besar yang berstatus gizi baik merupakan contoh dengan kategori autis sedang. Indeks TB/U yang digunakan dalam penelitian ini berfungsi untuk mengetahui keadaan gizi di masa lalu. Indeks TB/U menunjukkan bahwa 83,33% contoh memiliki status gizi normal. Contoh yang berstatus gizi normal sebagian besar termasuk kategori autis ringan. Status gizi contoh berdasarkan indeks IMT/U berkisar pada status gizi normal dan obesitas. Hal tersebut terlihat dari persentase anak yang berstatus gizi normal sebanyak 9 orang (30,00%) dan anak berstatus gizi obesitas sebanyak 12 orang (40,00%). Contoh yang berstatus gizi normal sebagian besar termasuk pada kategori autis ringan. Anak-anak autis meskipun tidak boleh mengonsumsi beberapa jenis makanan tertentu, namun status gizi lebih mencerminkan kondisi konsumsi di masa lalu. Artinya orang tua memberikan gizi yang cukup pada saat anaknya masih bayi. Di samping itu, dari hasil wawancara dan pengamatan terlihat bahwa sebagian anak memang memiliki nafsu makan yang cukup baik sehingga porsi makannya terkadang bisa dua kali dari porsi normal. Meskipun demikian masih ditemukan adanya anak yang kurus (3,33%) dan sangat kurus (6,67%).
Gambar 2 Perbandingan sebaran status gizi contoh dengan grafik normal status gizi (IMT/U) menurut WHO 2007
Grafik tersebut menunjukkan bahwa status gizi contoh berdasarkan indeks IMT/U masih di bawah standar internasional WHO. Indeks IMT/U menunjukkan status gizi masa kini, sehingga bisa dilihat bahwa status gizi contoh saat ini masih terdapat beberapa yang masuk ke kategori gizi kurang (10%) dan sebagian besar (60%) masuk ke kategori gizi lebih.
Gambar 3 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (TB/U)
Kecenderungan status gizi kurang contoh terlihat dari grafik status gizi contoh (grafik merah) yang cenderung bergeser ke kiri grafik normal (grafik hijau). Nilai z skore terendah (ujung kiri bawah grafik merah) mencapai nilai lebih dari -3 SD yang menandakan kecenderungan status pendek dan sangat pendek menurut TB/U. Berdasarkan hasil penelitian Latifah (2004) mengenai status gizi anak autis berdasarkan indeks TB/U 100% contoh berstatus gizi normal demikian juga dengan hasil penelitian Syafitri (2008) sebanyak 90,3% berstatus gizi normal. Akan tetapi pada penelitian ini ditemukan bahwa masih terdapat 6,67% berstatus gizi pendek dan 10% berstatus sangat pendek. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini tidak jauh berbeda juga diperoleh dari hasil penelitian Xia W et.al. (2010) bahwa masih ditemukan adanya anak autis dengan status gizi kurang dan lebih. Berdasarkan penelitian Xia W et.al. (2009), 60,4% anak autis berusia 2-9 tahun di Cina berstatus gizi normal, 8,1% anak berstatus gizi buruk dan kurang, dan 31,5% anak berstatus gizi overweight dan obesitas.
Hubungan antara Pengetahuan Ibu dengan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Menurut Paterrson dan Pietinen (2009), tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi yang bersangkutan. Ibu sebagai penyedia, pengolah, dan penyaji makanan bagi anak memegang peranan penting. Namun, hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan tidak adanya hubungan yang nyata antara tingkat pengetahuan ibu dengan tingkat kecukupan energi dan protein pada anak. Riyadi (1996), menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi adalah banyaknya informasi yang dimiliki oleh seseorang mengenai kebutuhan tubuh akan zat gizi, kemampuan seseorang untuk menerapkan pengetahuan gizi ke dalam pemilihan bahan pangan, dan cara pemanfaatan pangan yang sesuai dengan keadaannya. Hasil uji korelasi yang menunjukkan tidak adanya hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dan tingkat kecukupan energi dan protein diantaranya disebabkan karena homogenitas sampel. Seluruh ibu merupakan orang tua anak autis dengan tingkat pendidikan yang hampir sama. Pengetahuan ibu menyebar rata pada kategori baik dan sedang. Tingkat kecukupan energi dan protein contoh sebagian besar sudah mencukupi. Ibu lebih memusatkan perhatiannya pada pemberian diet yang diberikan pada anak. Selain itu, bentuk pertanyaaan dalam keusioner lebih mengarah pada autis dan pemilihan makanan untuk anak autis. Tabel 21 Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat pengetahuan ibu dengan tingkat kecukupan energi dan zat gizi Tingkat pengetahuan Ibu No. Variabel r p 1 Tingkat kecukupan energi -0.282 0.131 2 Tingkat kecukupan protein -0.484 0.007 Keterangan : r = koefisien korelasi; p = signifikasi (nyata jika p<0,05
Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Status Gizi Contoh Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Semakin tinggi pengetahuan gizi seseorang diharapkan semakin baik pula keadaan gizinya. Namun berdasarkan uji korelasi Spearman tidak terdapat hubungan yang nyata antara pengetahuan ibu dengan status gizi. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan yang baik belum tentu diikuti dengan pola makan dan konsumsi pangan yang baik.
Sikap, tindakan, fasilitas, dan selera turut berperan dalam menentukan status gizi seseorang. Tabel 22 Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi Tingkat pengetahuan Ibu No. Indeks status gizi r p 1 BB/U -0.150 0.430 2 TB/U 0.045 0.812 3 IMT/U -0.198 0.295 Keterangan : r = koefisien korelasi; p = signifikasi (nyata jika p<0,05)
Konsumsi pangan pada penelitian ini tidak mencerminkan keseluruhan gambaran status gizi saat ini secara langsung sebab status gizi merupakan akibat dari konsumsi sebelumnya. Konsumsi pangan hanya gambaran bukti sementara dari tingkat kecukupan seseorang dan merupakan konsumsi pada saat diteliti (Roedjito 1989). Konsumsi pangan pada saat diteliti lebih mencerminkan status gizi berdasarkan indeks BB/U. Data homogen yang menyebar merata menjadi penyebab dari tidak adanya hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi. Tingkat pengetahuan ibu rata-rata menyebar pada kategori sedang dan baik, begitu pula dengan status gizi yang menyebar pada kategori normal, baik berdasarkan indek BB/U, TB/U, maupun IMT/U. Status gizi bukan merupakan variabel yang cukup diperhatikan oleh ibu melainkan dietnya. Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Gizi Contoh Hasil korelasi Pearson menunjukkan tidak adanya hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi contoh (p>0.05). Hal ini diduga karena adanya keterbatasan fungsi pencernaan pada beberapa anak autis. Menurut McCandless (2003), anak autis menderita gangguan kesehatan saluran cerna. Anak autis biasanya hanya menyukai makanan yang sangat terbatas jenis dan nilai gizinya. Anak yang menyukai sayuran dan makanan bergizi lainnyapun mungkin juga tidak mendapatkan gizi yang cukup untuk kebutuhan otaknya karena ketidakmampuan anak untuk mencerna, menyerap, dan atau memfungsikan zat gizi yang masuk ke dalam tubuhnya dengan baik. Tabel 23 Hasil uji korelasi Pearson antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi BB/U TB/U IMT/U No. Variabel r p r p r p 1 Tingkat kecukupan energi -0.025 0.895 -0.153 0.420 0.137 0.472 2 Tingkat kecukupan -0.256 0.157 -0.236 0.210 -0.203 0.283 protein Keterangan : r = koefisien korelasi; p = signifikasi (nyata jika p<0,05)
Anak autis rata-rata memiliki tingkat kecukupan energi dan protein yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa homogenitas konsumsi pangan anak menyebar dengan merata. Meskipun anak melakukan diet gluten free casein free, konsumsi harian anak telah mampu memenuhi angka kecukupan yang harus dipenuhi oleh anak. Hal tersebut menandakan bahwa ibu tidak perlu merasa khawatir anak akan mengalami kekurangan gizi karena melakukan diet bebas gluten dan kasein. Meskipun anak tidak mengonsumsi makanan sumber gluten dan kasein, masih banyak sumber makanan lain yang apabila dikonsumsi secara beragam dan seimbang kebutuhan anak masih dapat terpenuhi dengan baik. Pemberian diet gluten free casein free tidak akan membuat anak menjadi kurus, gemuk ataupun pendek. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Konsumsi Pangan Sumber Gluten dan Kasein Tinggi rendahnya pengetahuan ibu akan mempengaruhi pola makan anak
autis.
Tingkat
pengetahuan
ibu
yang
baik
diharapkan
dapat
menghindarkan dari konsumsi pangan yang salah dan buruk. Diet sangat ketat bebas gluten dan kasein dapat menurunkan kadar peptida opioid serta dapat mempengaruhi gejala autis pada beberapa anak. Akan tetapi, pilihan makanan yang terbatas yang pada akhirnya berpotensi menjadikan anak mudah terserang penyakit atau mengalami gizi kurang. Oleh karena itu, diharapkan dengan tingkat pengetahuan ibu yang baik maka penerapan diet GFCF dapat dijalankan dengan baik dan kecukupan zat gizi anak tetap terpenuhi. Berdasarkan hasil analisis dengan menghitung nilai Odds Ratio (OR) diketahui bahwa nilai OR = 4 (95% CI : 0,78-20,55). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan ibu denganfrekuensi konsumsi pangan sumber gluten. Anak pada kelompok ibu berpengetahuan kurang berpeluang mengonsumsi makanan sumber gluten 4 kali lebih tinggi dibandingkan pada anak dengan ibu yang berpengetahuan baik. Akan tetapi, karena pada nilai selang CI : 0,78-20,55 terdapat angka 1 (95% CI : 0,78-20,55), maka pengetahuan ibu belum merupakan faktor resiko atau penyebab terjadinya konsumsi gluten pada anak. Sehingga diduga terdapat faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber gluten selain pengetahuan ibu. Salah satu faktor yang diduga berpengaruh terhadap hasil tersebut adalah kebiasaaan makan anak. Kondisi sebaliknya terjadi antara hubungan antara pengetahuan ibu dengan konsumsi pangan sumber kasein. Berdasarkan hasil analisis diketahui
nilai OR = 0,44 (95% CI : 0,22-28,31). Hal ini menunjukkan terdapat hubungan terbalik antara pengetahuan ibu dengan frekuensi konsumsi pangan sumber kasein. Kelompok ibu berpengetahuan kurang menurunkan konsumsi pangan sumber kasein anak 2,3 kali lebih tinggi dibandingkan kelompok ibu berpengetahuan baik. Akan tetapi, karena pada nilai selang CI : 0,22-28,31 terdapat angka 1 (95% CI : 0,22-28,31), maka pengetahuan ibu belum merupakan faktor resiko atau penghambat terjadinya konsumsi kasein pada anak. Kasein merupakan jenis protein yang banyak terdapat pada susu dan produk olahannya. Susu dan produk olahannya merupakan sumber kalsium utama yang penting untuk pertumbuhan anak. Peluang konsumsi makanan sumber kasein yang lebih tinggi pada kelompok ibu berpengetahuan baik diduga karena kekhawatiran ibu terhadap dampak kekurangan konsumsi susu terhadap pertumbuhan atau perkembangan anaknya. Tabel 24 Distribusi konsumsi gluten dan kasein berdasarkan pengetahuan ibu Rata-rata frekuensi konsumsi gluten Pengetahuan Total Tidak 3x > 3x 1-2x ibu 1x sebulan pernah seminggu seminggu sehari Baik 26,67 26,67 10,0 0,00 3,3 66,6 Sedang 13,33 0,0 10,0 6,7 0,00 30.0 Kurang 3,33 0,0 0,0 0,00 0,00 3,33 Total 43,3 26,7 20,0 6,7 3,3 100,0 Rata-rata frekuensi konsumsi kasein Pengetahuan Total Tidak 1x 3x > 3x 1-2x ibu pernah sebulan seminggu seminggu sehari Baik 40,00 13,33 13,33 0,00 0,00 66,7 Sedang 16,67 0,00 0,00 0,00 3,33 20,0 Kurang 10,00 3,33 0,0 0,00 0,00 13,3 Total 66,7 16,7 13,3 0,0 3,3 100,0
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Contoh sebagian besar (76,7%) berjenis kelamin laki-laki dan berada pada kisaran usia 6-16 tahun. Keluarga contoh sebagian besar (70%) merupakan keluarga kecil, dengan usia ibu 80,0% tergolong usia dewasa awal (31-40 tahun) dan usia ayah 70,0% tergolong kategori dewasa madya (41-50 tahun). Pendidikan terakhir ibu dan ayah contoh sebagian besar adalah tamat SMA. Ayah contoh sebagian besar (36,67%) bekerja sebagai wiraswasta sedangkan ibu contoh sebagian besar (76,67%) merupakan ibu rumah tangga. Pendapatan keluarga contoh menyebar pada kisaran ≤Rp. 2.500.000-Rp. 10.000.000, dengan persentase terbesar pada rentang Rp. 5.000.001-Rp. 7.500.000 sebanyak 30%. Ibu sebagian besar (73,33%) sudah mengetahui informasi awal mengenai autis dan sebagian besar (56,67%) sumber informasinya berupa media televisi, koran, majalah, atau internet. Tindakan awal ibu ketika pertama kali menyadari anaknya mengalami autis sebagian besar (86,67%) langsung berkonsultasi dengan dokter. Setengah dari ibu umumnya langsung menerapkan informasi yang diperoleh tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan tenaga profesional. Jenis pelayanan kesehatan yang umumnya digunakan oleh ibu adalah rumah sakit atau puskesmas (73,33%). Sebanyak 33,33% ibu mengaku sering datang ke dokter/terapis minimal 1 kali seminggu. Alasan ibu yang membawa anaknya ke terapis sebagian besar atas anjuran dari dokter (73,33%). Ibu sebagian besar (60%) mengaku pernah mengikuti seminar atau penyuluhan tentang anak autis untuk menambah pengetahuan tentang autis. Menurut hasil perhitungan 66,67% ibu memiliki tingkat pengetahuan yang baik. Contoh sebagian besar (93,33%) mengonsumsi makanan lengkap sebanyak tiga kali makan utama dalam sehari. Ibu contoh sebagian besar tidak menerapkan siklus menu bagi anaknya. Makanan yang biasa dikonsumsi hampir sama seperti anak yang tidak mengalami autis. Contoh hanya tidak boleh mengonsumsi jenis makanan tertentu sesuai diet dan alergi yang dialami. Contoh yang memiliki alergi terhadap makanan tertentu sebanyak 10%. Sebanyak 26,67% contoh mengonsumsi suplemen. Contoh rata-rata tidak pernah mengonsumsi gluten (43,33%) maupun kasein (66,67%). Berdasarkan hasil perhitungan 40% contoh memiliki tingkat kecukupan energi normal dan 80% contoh memiliki tingkat kecukupan protein berlebih. Contoh sebagian besar
termasuk dalam kategori kurang untuk tingkat kecukupan kalsium dan zinc. Sementara tingkat kecukupan magnesium sebesar 93,33% dari contoh sudah cukup. Tingkat kecukupan vitamin A pada contoh, sebanyak 60% telah cukup baik. Akan tetapi sebaliknya pada tingat kecukupan vitamin C 70% contoh masih berada dalam kategori kurang. Indeks BB/U menunjukkan bahwa 63,33% contoh berstatus gizi baik. Indeks TB/U menunjukkan bahwa 83,33% contoh memiliki status gizi normal. Status gizi contoh berdasarkan indeks IMT/U berkisar pada status gizi normal (30%) dan obesitas (40%). Berdasarkan indeks TB/U dan IMT/U sebagian besar contoh yang berstatus gizi normal termasuk pada ketegori autis ringan. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi dengan tingkat kecukupan energi dan protein.homogenitas data terkait tingkat pengetahuan ibu yang menyebar pada kategori sedang dan baik serta tingkat kecukupan energi dan protein anak yang mencukupi diduga sebagai penyebab dari hal tersebut. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi (p>0,05). Selain karena homogenitas data yang menyebar merata, ibu lebih terkonsentrasi pada diet yang diberikan pada anak dibandingkan status gizi anak. Hasil analisis korelasi Pearson juga menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi contoh. Hal ini menunjukkan bahwa ibu tidak perlu khawatir untuk memberikan diet ketat bebas gluten dan kasein. Meskipun beberapa makanan sumber gluten dan kasein dihilangkan, status gizi anak akan tetap baik asalkan anak tetap mengonsumsi makanan yang bergizi, beragam, dan berimbang. Hasil uji epidemiologi dengan menghitung nilai Odds Ratio (OR) menunjukkan
bahwa
terdapat
hubungan
yang
tidak
signifikan
antara
pengetahuan ibu dengan frekuensi konsumsi pangan sumber gluten dan kasein. Anak dengan ibu yang berpengetahuan kurang berpeluang mengonsumsi pangan sumber gluten 4 kali lebih sering dibandingkan anak dengan ibu berpengetahuan baik. Kondisi sebaliknya terjadi pada hubungan antara pengetahuan ibu dengan konsumsi pangan sumber kasein. Kelompok ibu berpengetahuan kurang menurunkan konsumsi pangan sumber kasein anak 2,3 kali lebih tinggi dibandingkan kelompok ibu berpengetahuan baik.
Saran Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi contoh masih kurang beragam. Hal tersebut terlihat dari tingginya konsumsi pangan sumber protein serta rendahnya konsumsi pangan sumber kalsium, zinc, dan vitamin C. Contoh diharapkan dapat lebih menyeragamkan jenis makanan yang dikonsumsi sehingga akan diperoleh tingkat kecukupan energi dan zat gizi yang cukup sesuai dengan kebutuhannya. Pihak orang tua dan guru diharapkan dapat mengenalkan dan memberikan bimbingan mengenai praktik pemilihan makanan yang baik. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah melakukan penelusuran lebih mendalam terkait jenis-jenis diet yang diberikan selain GFCF, hasil pemeriksaan laboratorium anak yang menentukan pemilihan diet pada anak serta kesesuaian antara pengetahuan yang ibu miliki dengan praktek pelaksanaan diet pada anak. Makanan bebas gluten dan kasein belum banyak dikembangkan, sehingga hal ini juga membuka peluang untuk membuat pangan bebas gluten dan kasein baik bagi produsen maupun untuk penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA Achadi EL. 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rajawali Press Aden
CM. 2009. Intervensi Bomedis pada Anak Autisme. http://www.melaticeria.or.id/index.php=com_content&view=article&id=20:int ervensi-biomedis-pada-anak-autisme&catid=17:artikel&Itemid=51. [12 Maret 2011].
Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka. Anfamedhiarifda. 2006. Pengaruh stimulasi psikososial di kelompok bermain terhadap karakter anak usia 2-4 tahun [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [CDC] Center for Disease Control. 2000. Prevalence of Autis in Brick Township. http://www.cdc.gov/nceh/programs/dd/report.htm. [8 maret 2011]. [Depkes] Departemen Kesehatan. 1996. Pedoman Praktis Pemantauan Gizi Orang Dewasa. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Dumas JE, Nilsen WJ. 2003. Abnormal Child and Adolescent Psychology. Boston: Allyn and Bacon. Edi T. 2003. Diagnosis Dini Autisme. Di dalam : R. Sutadi LA, Bawazir, dan N Tanjung, editor. Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Gibson RS. 2005. Principles of Nutrition Assesment. New York: Oxford University Press. Gunarsa SD, Gunarsa YS. 1995. Psikologi Praktis: Anak, Remaja, dan Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia Hadrian J. 2008. Autisme. http://josephadrian.wordpress.com/2008/08/autisme/. [7 Agustus 2011]. Handojo Y. 2003. Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi Untuk Mengajar Anak Normal, Autis dan Perilaku Lain. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer. Hardinsyah, Martianto. 1992. Bahan pengajaran gizi terapan [diktat]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hidayat A. 2004. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Surabaya: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Hoedijono S. 2011. Natural Therapy with Massages. Seminar dan Workshop. 30 Agustus 2011. Surabaya. Hurlock EB. 1999. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Indiarti MT. 2007. Ma, Aku Sakit Lagi : Panduan Lengkap Kesehatan Anak dari A Sampai Z. Yogyakarta: ANDI yogyakarta. Karim RA, Chander S. 2007. Panduan Lengkap Pengobatan Penyakit dengan PROPOLIS. Jakarta : PT. Lebah Permata Khatulistiwa. Karyadi, Muhilal. 1990. Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Jakarta: Gramedia Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kusharto, Saddiyah. 2006. Penilaian konsumsi pangan [diktat]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kusumayanti D, Suiraoka, Nursanyoto. 2005. Hubungan antara Konsumsi Casein, Gluten, dan Pola Aktivitas yang Khas pada Anak Penyadang Autis di Denpasar. Prosiding Temu Ilmiah, Kongres XIII Persagi, 2005 : 196-202. Latifah RE. 2004. Studi konsumsi dan status gizi pada anak penyandang gangguan spektrum autisme di kota Bogor [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Lubis MU. 2009. Penyesuaian diri orang tua yang memiliki anak autis [skripsi]. Medan : Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara. Marotz, Cross, Rush. 2004. Health, Safety, and Nutrition for Young Children 6th Ed. New York : Thomson Delmar Learning. Mashabi NA, Tajudin NR. 2009. Hubungan antara pengetahuan gizi ibu dengan pola makan anak autis. Makara, Kesehatan 13 : 84-86. McCandless. 2003. Children with Starving Brain. F. Siregar, penerjemah; Jakarta: Grasindo. Milyawati L. 2008. Dukungan keluarga, pengetahuan dan persepsi ibu serta hubungannya dengan strategi koping ibu pada anak dengan gangguan Autism Spektrum Disorder (ASD) [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Muhartomo H. 2004. Faktor-faktor resiko yang berpengaruh terhadap kejadian autisme [Tesis]. Semarang : Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro. Munasir Z. 2003. Alergi Makanan dan Autisme. Di dalam : R. Sutadi LA, Bawazir, dan N Tanjung, editor. Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Notoatmodjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. . 2005. Konsep Perilaku Kesehatan dalam Promosi Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Owen AL, Splett PL, Owen GM. 2000. Nutrition in The Community : The Art and Science of Delivering Service. New York : The McGraw-Hill Companies. Paran S. 2009. 100+ Tip Anti Gagal Bikin Roti, Cake, Pastry, & Kue Kering. Jakarta : PT. Kawan Pustaka. Petterson RE, Pietinen P. 2009. Pengkajian Status Gizi pada Perorangan Dan Masyarakat. Di dalam : Hartono A, penerjemah; Gibnery MJ, Margetts BM, Kaenney JM, Arab L, editor. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari : Public Health Nutrition. Pranadji DK. 1989. Pendidikan gizi (proses belajar mengajar) [diktat]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Roedjito. 1989. Kajian Penelitian Gizi. Jakarta : Mediyatama Saran Perkasa. Riyadi H. 1995. Prinsip dan Penilaian Status Gizi. Bogor: GMSK IPB . 1996. Gizi dan Kesehatan dalam Pembangunan Pertanian (Khomsan, A dan A Sulaeman, Editor). Bogor : IPB-Press. . 2001. Buku ajar metode penilaian status gizi secara antropometri. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sari ID. 2009. Nutrisi pada pasien autis. Cermin Dunia Kedokteran 36 : 89-93. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya : untuk Keluraga dan Masyarakat. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Soenardi T, Soetardjo S. 2002. Makanan Sehat Anak Autis. Jakarta: Gramedia. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Departemen pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi. .
.2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara.
Suryana A. 2004. Terapi Autisme, Anak Berbakat, dan Anak Hiperaktif. Jakarta : Progress. Supariasa IDN, Bakri B, Hajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC. Sutadi R. 2003. Autisme. Kongres/Konferensi Nasional Autisme Indonesia, 3-4 Mei 2003. Jakarta. Syafitri IL. 2008. Pengasuhan (makan, hidup sehat, dan bermain), konsumsi dan status gizi penderita Autism Spectrum Disorder (ASD) [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tjitarsa IB. 1992. Pendidikan Kesehatan. Bandung : Penerbit ITB.
Wargasetia TL. 2003. Aspek Genetika pada Autisme. Di dalam : R. Sutadi LA, Bawazir, dan N Tanjung, editor. Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Wieke O. 2008. Riwayat Autisme, stimulasi psikososial, dan hubungannya dengan perkembangan sosial anak dengan gangguan Autism Spektrum Disorder (ASD) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [WHO] World Health Organization. 2007. Growth Reference 5-19 Years. www.who.int. [9 April 2011]. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. [WKNPG] Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. 2000. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VII : Mengambil Hikmah Krisis Ekonomi Dan Moneter Dalm Membangun Ketaha Pangan Dan Gizi Masyarakat Yang Lebih Kokoh Dan Efektif Di Masa Depan. Jakarta : LIPI . 2004. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII : Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta : LIPI Xia W, Zhou Y, Sun C, Wang J, Wu L. 2009. A preliminary study on nutritional status and intake in Chinese children with autism. Eur Journal Pediatr. 10 : 169. Yuliana, Emilia E. 2006. Penanganan anak autis melalui terapi gizi dan pendidikan. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 61 : 429-447.
LAMPIRAN
No contoh
BB aktual (Kg)
BB standar (Kg)
1
60
48
Lampiran 1 Angka kecukupan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada contoh Magnesium Protein Vitamin A Vitamin C Energi (Kal) Kalsium (mg) (mg) (gram) (RE) (mg) AKG TKG AKG TKG AKG TKG AKG TKG AKG TKG AKG TKG 109,12 600 50,62 152,89 1000 22,84 220 101,79 71,25 2400 60 75 60
126,28
600
70,51
75
432,93
1000
73,06
Zinc (mg) AKG 18,2
TKG 39,95
220
83,12
18,2
36,81
2
86
48
2400
81,58
3
37
35
1800
116,28
45
168,07
500
189,14
45
32,00
600
40,02
120
223,06
11,3
72,57
4
28
18
1550
82,45
39
115,21
450
59,36
45
8,51
500
15,32
90
167,67
10,3
46,89
5
25
35
2050
87,56
50
105,64
600
34,50
50
242,50
1000
12,35
170
97,92
14,0
45,21
6
40
55
2600
52,81
65
77,18
600
80,61
90
97,89
1000
11,79
270
62,85
16,9
34,73
7
26
25
1800
104,72
45
165,33
500
109,81
45
264,07
600
39,86
120
191,69
11,3
96,73
8
24
35
1406
121,79
34
462,58
600
86,63
50
40,80
1000
15,85
170
113,98
14,0
64,07
9
48
25
1800
116,67
45
180,07
500
54,23
45
17,62
600
68,87
120
228,28
11,3
74,07
45
89,04
500
38,17
45
15,40
600
22,54
120
417,81
11,3
35,13
10
36
25
1800
66,22
11
31
25
1800
99,83
45
151,44
500
66,27
45
17,22
600
44,94
120
178,13
11,3
154,87
12
20
25
1800
43,89
45
51,33
500
57,32
45
7,11
600
38,45
120
91,53
11,3
28,58
13
23
25
1800
113,83
45
145,62
500
124,66
45
29,04
600
95,88
120
189,48
11,3
62,21
14
37
35
1800
107,11
45
141,18
500
114,17
45
51,84
600
77,38
120
182,42
11,3
65,75
15
44
25
2050
125,32
50
173,80
600
82,90
50
24,66
1000
54,18
170
128,63
14,0
60,21
16
36
25
1800
123,56
45
232,67
500
108,86
45
343,33
600
89,84
120
226,56
11,3
108,85
17
29
25
2088
103,88
52
393,06
500
86,17
45
301,33
600
25,49
120
186,48
11,3
97,96
18
41
25
1800
99,83
45
155,04
500
122,60
45
47,56
600
48,73
120
181,69
11,3
65,75
28
421,26
600
3,17
50
2,40
1000
4,00
180
63,83
12,9
65,12
19
21
38
1133
164,53
20
43
25
1800
120,39
45
192,89
500
86,02
45
35,07
600
35,41
120
206,53
11,3
85,58
21
60
35
2400
88,38
60
145,72
600
738,78
75
51,96
1000
92,00
220
128,80
18,2
57,86
22
40
35
2343
70,77
57
197,51
600
81,50
50
37,00
1000
15,11
180
115,85
12,9
56,59
No contoh 23 24 25 26 27 28 29 30
BB aktual (Kg) 46 25 20 22 37 29 76 21
BB standar (Kg) 48 35 25 25 25 38 35 25
Energi (Kal) AKG 2300 1464 1440 1584 2664 1564 2050 1512
TKG 61,87 124,91 103,96 105,56 56,87 114,22 126,05 98,35
Protein (gram) AKG 58 36 36 40 67 38 50 38
TKG 132,17 439,77 277,35 283,39 239,34 310,81 197,20 298,06
Vitamin A (RE) AKG TKG 600 373,16 600 93,70 500 273,27 500 1258,13 500 45,01 600 27,85 600 26,12 500 138,50
Vitamin C (mg) AKG 75 50 45 45 45 50 50 45
TKG 17,69 37,06 7,62 272,15 19,78 24,80 75,60 188,22
Kalsium (mg) AKG 1000 1000 600 600 600 1000 1000 600
TKG 129,16 22,94 14,41 194,26 26,14 19,38 19,55 55,63
Magnesium (mg) AKG TKG 220 79,38 170 153,08 120 131,39 120 168,92 120 209,48 180 146,44 170 119,06 120 202,92
Zinc (mg) AKG 18,2 14,0 11,3 11,3 11,3 12,9 14,0 11,3
TKG 28,41 55,50 46,02 50,18 50,44 44,96 101,43 51,33
Lampiran 2 Persentase jawaban pengetahuan ibu Persentase jawaban benar dari setiap soal
Persentase (%)
100
95
90 90 80
80
90 90
85 85 85
90 90 90
80 65
85
90 65
55
60 40
90
40
20 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Jawaban benar
Gambar 4 Sebaran contoh berdasarkan persentase jawaban benar dari setiap pertanyaan Keterangan : 1. Autis adalah jenis penyakit yang diturunkan 2. Anak autis banyak dijumpai pada anak perempuan 3. Perbandingan anak autis laki-laki : perempuan adalah 4 : 1 4. Pemberian terapi dapat mengurangi gejala yang timbul pada anak autis tetapi tidak menyembuhkan 100% 5. Makanan merupakan salah satu penyebab dari autis 6. Pemberian makanan yang tepat dapat mengurangi perilaku hiperaktif, mengulang-ulang kegiatan, dan memperbaiki kontak mata pada anak 7. Anak perlu diberikan makanan yang bergizi dan seimbang terutama makanan sumber karbohidrat, protein, dan kalsium agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. 8. Anak diberi kebebasan untuk memilih makanannya 9. Memperkenalkan berbagai jenis makanan akan membuat anak tidak cepat bosan 10. Anak autis memperoleh diet (pengaturan makan) khusus 11. Pemberian diet khusus bagi anak penyandang autis dapat membantu dalam perbaikan tingkah laku 12. Penerapan diet bebas gluten dan kasein pada anak penyandang autis baik dilakukan 13. Gluten pada tepung terigu dan kasein pada susu sapi akan terserap ke dalam aliran darah dan menyebabkan meningkatnya hiperaktivitas yang berupa gerakan dan emosi seperti marah-marah 14. Makanan yang dibuat dari tepung terigu perlu dihindari 15. Mie dan roti berbahan dasar tepung terigu adalah bahan makanan yang mengandung gluten 16. Susu sapi adalah makanan yang baik bagi anak autis 17. Anak autis tidak boleh diberikan sereal yang terbuat dari beras atau jagung 18. Penambahan MSG pada makanan anak boleh dilakukan 19. Makanan yang mengandung pewarna buatan tidak boleh diberikan pada anak penyandang autis 20. Pemberian suplemen untuk anak disesuaikan dengan kebutuhan anak
Lampiran 3 Frekuensi makanan sumber gluten yang biasa dikonsumsi Jenis makanan
Frekuensi Tidak pernah 1x sebulan Mie 3 x seminggu >3x seminggu 1-2x sehari Total Tidak pernah 1x sebulan Roti 3x seminggu >3x seminggu 1-2x sehari Total Tidak pernah Pasta 1x sebulan 3 x seminggu Total Tidak pernah Kue berbahan dasar 1x sebulan terigu 3 x seminggu >3x seminggu Total Tidak pernah 1x sebulan 3x seminggu Biskuit >3x seminggu 1-2x sehari ≥ 3x sehari Total Tidak pernah 1x sebulan Sereal gandum 3x seminggu >3x seminggu 1-2x sehari Total Tidak pernah 1x sebulan Tepung bumbu 3x seminggu 1-2x sehari Total
n 4 10 11 3 2 30 7 9 11 2 1 30 16 12 2 30 16 4 8 2 30 6 5 6 4 7 2 30 16 3 7 1 3 30 14 12 2 2 30
% 13,33 33,33 36,67 10,00 6,67 100,00 23,33 30,00 36,67 6,67 3,33 100,00 53,33 40,00 6,67 100,00 53,33 13,33 26,67 6,67 100,00 20,00 16,67 20,00 13,33 23,33 6,67 100,00 53,33 10,00 23,33 3,33 10,00 100,00 46,67 40,00 6,67 6,67 100,00
Lampiran 4 Frekuensi makanan sumber kasein yang biasa dikonsumsi Jenis makanan Frekuensi n % Tidak pernah 14 1x sebulan 2 Susu sapi 3x seminggu 7 1-2x sehari 5 ≥ 3x sehari 2 Total 30 Tidak pernah 26 1x sebulan 1 Susu skim 3x seminggu 2 1-2x sehari 1 Total 30 Tidak pernah 29 Susu kambing 1x sebulan 1 Total 30 Tidak pernah 20 1x sebulan 3 Susu bubuk 3 x seminggu 2 1-2x sehari 5 Total 30 Tidak pernah 11 1x sebulan 11 Keju 3 x seminggu 6 >3x seminggu 2 Total 30 Tidak pernah 14 1x sebulan 10 Mentega 3 x seminggu 5 1-2x sehari 1 Total 30 Tidak pernah 18 1x sebulan 8 Yoghurt 3 x seminggu 2 1-2x sehari 2 Total 30 Tidak pernah 7 1x sebulan 5 Biskuit/ wafer 3 x seminggu 9 dengan susu >3x seminggu 1 1-2x sehari 8 Total 30
46,67 6,67 23,33 16,67 6,67 100,00 86,67 3,33 6,67 3,33 100,00 96,67 3,33 100,00 66,67 10,00 6,67 16,67 100,00 36,67 36,67 20,00 6,67 100,00 46,67 33,33 16,67 3,33 100,00 60,00 26,67 6,67 6,67 100,00 23,33 16,67 30,00 3,33 26,67 100,00
No responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Lampiran 5 Data status gizi contoh yang diambil Status gizi JK BB TB BB/U TB/U L L L L L L L L P L P P L L L L L L P L L L L L L P L P L P
60 86 37 28 25 40 26 24 48 36 31 20 23 37 44 36 29 41 21 43 60 40 46 25 20 22 37 29 76 21
160 166 130 110 137 167 140 122 145 110 110 100 110 127 147 132 140 118 111 124 148 157 162 115 110 112 139 128 144 110
gizi normal gizi normal gizi normal gizi normal gizi kurang gizi kurang gizi normal gizi kurang gizi normal gizi normal gizi normal gizi normal gizi normal gizi normal gizi normal gizi normal gizi normal gizi normal gizi kurang gizi lebih gizi normal gizi normal gizi normal gizi normal gizi kurang gizi normal gizi normal gizi normal gizi lebih gizi kurang
normal normal normal normal normal normal normal pendek normal sangat pendek sangat pendek sangat pendek pendek normal normal normal normal normal normal normal normal normal normal normal normal normal normal normal normal normal
IMT/U
overweight obesitas obesitas obesitas sangat kurus sangat kurus kurus normal obesitas obesitas obesitas overweight overweight obesitas overweight obesitas normal obesitas normal obesitas obesitas normal normal overweight normal normal overweight normal obesitas normal
Lampiran 6 Kuesioner KUESIONER
TINGKAT PENGETAHUAN IBU DAN POLA KONSUMSI PADA ANAK AUTIS DI KOTA BOGOR
Nama Anak
:
Nama Ayah/Ibu
:
Tempat, Tanggal Lahir Anak
:
Jenis Kelamin
:
Alamat Rumah
:
Nama Sekolah/Yayasan
:
Tanggal Wawancara
:
Waktu Wawancara
:
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Lampiran 1 Kuesioner Orang Tua Nama ayah
:
Tempat tanggal lahir
:
Nama ibu
:
Tempat tanggal lahir
:
Jumlah anggota keluarga
:
Kami mohon bantuan ibu untuk menjawab beberapa pertanyaan di bawah ini sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Cara menjawab adalah dengan cara melingkari jawaban sesuai dengan yang sebenarnya. No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pertanyaan Apa pendidikan terkahir yang ditamatkan oleh suami ibu? 1. Tidak tamat 6. Tidak tamat SMA sekolah 7. Tamat SMA 8. Diploma 1/2/3 2. Tidak tamat SD 3. Tamat SD 9. S1 4. Tidak tamat SMP 10. S2/S3 5. Tamat SMP Apa pendidikan terkahir yang ditamatkan oleh ibu? 1. Tidak tamat 6. Tidak tamat SMA sekolah 7. Tamat SMA 2. Tidak tamat SD 8. Diploma 1/2/3 3. Tamat SD 9. S1 4. Tidak tamat SMP 10. S2/S3 5. Tamat SMP Apa pekerjaan utama suami ibu? 1. Tidak bekerja 5. PNS/TNI/polisi 2. Petani 6. Wiraswasta 3. Pedagang 7. Lainnya .... 4. Buruh tani/non tani Apa pekerjaan utama ibu? 1. Tidak bekerja 5. PNS/TNI/polisi 2. Petani 6. Wiraswasta 3. Pedagang 7. IRT (ibu rumah 4. Buruh tani/non tangga) tani 8. Lainnya .... Berapa total pendapatan suami ibu dalam sebulan? 1= ≤ Rp. 2,5 juta 2= Rp. 2,51-5 juta 3= Rp. 5,1-7,5 juta 4= Rp. 7,51-10 juta 5 = > Rp. 15 juta Berapa total pendapatan ibu dalam sebulan? 1= ≤ Rp. 2,5 juta 2= Rp. 2,51-5 juta 3= Rp. 5,1-7,5 juta 4= Rp. 7,51-10 juta 5 = > Rp. 15 juta
Koding (diisi oleh petugas)
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
Lampiran 2 Kuesioner Pengetahuan dan Akses Informasi Kami mohon bantuan ibu untuk menjawab beberapa pertanyaan di bawah ini sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Cara menjawab adalah dengan cara melingkari satu jawaban sesuai dengan sebenarnya. Pertanyaan Pengetahuan 1. Autis adalah jenis penyakit yang diturunkan a. Benar
b. Salah
2. Anak autis banyak dijumpai pada anak perempuan a. Benar
b. Salah
3. Perbandingan anak autis laki-laki : perempuan adalah 4 : 1 a. Benar
b. Salah
4. Pemberian terapi dapat mengurangi gejala yang timbul pada anak autis tetapi tidak menyembuhkan 100% a.
Benar
b. Salah
5. Makanan merupakan salah satu penyebab dari autis a. Benar
b. Salah
6. Pemberian makanan yang tepat dapat mengurangi perilaku hiperaktif, mengulang-ulang kegiatan, dan memperbaiki kontak mata pada anak a. Benar
b. Salah
7. Anak perlu diberikan makanan yang bergizi dan seimbang terutama makanan sumber karbohidrat, protein, dan kalsium agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. a. Benar
b. Salah
8. Anak diberi kebebasan untuk memilih makanannya a. Benar
b. Salah
9. Memperkenalkan berbagai jenis makanan akan membuat anak tidak cepat bosan a.
Benar
b. Salah
10. Anak autis memperoleh diet (pengaturan makan) khusus a. Benar
b. Salah
11. Pemberian diet khusus bagi anak penyandang autis dapat membantu dalam perbaikan tingkah laku a. Benar
b. Salah
12. Penerapan diet bebas gluten dan kasein pada anak penyandang autis baik dilakukan a. Benar
b. Salah
13. Gluten pada tepung terigu dan kasein pada susu sapi akan terserap ke dalam aliran darah dan menyebabkan meningkatnya hiperaktivitas yang berupa gerakan dan emosi seperti marah-marah a. Benar
b. Salah
14. Makanan yang dibuat dari tepung terigu perlu dihindari a. Benar
b. Salah
15. Mie dan roti berbahan dasar tepung terigu adalah bahan makanan yang mengandung gluten a. Benar
b. Salah
16. Susu sapi adalah makanan yang baik bagi anak autis a. Benar
b. Salah
17. Anak autis tidak boleh diberikan sereal yang terbuat dari beras atau jagung a. Benar
b. Salah
18. Penambahan MSG pada makanan anak boleh dilakukan a. Benar
b. Salah
19. Makanan yang mengandung pewarna buatan tidak boleh diberikan pada anak penyandang autis a. Benar
b. Salah
20. Pemberian suplemen untuk anak disesuaikan dengan kebutuhan anak a. Benar
b. Salah
Pertanyaan Akses Informasi 1. Pernahkah ibu mendengar atau mendapatkan informasi mengenai autis sebelumnya? a.
Pernah
b. tidak pernah
2. Pernahkah ibu mengikuti kegiatan penyuluhan atau seminar tentang anak autis? a. Pernah
b. tidak pernah
3. Darimana ibu mendapatkan informasi bahwa gejala-gejala yang muncul pada anak adalah autis? a. Membaca/menonton di media b. Diberitahu orang lain
c. Hasil diagnosa dokter d. Lainnya, sebutkan.... 4. Tindakan pertama apa yang ibu lakukan ketika menyadari bahwa anak ibu mengalami autis? a.
Membiarkan saja
b.
Segera berkonsultasi dengan tenaga profesional (dokter, psikolog, terapi, dll)
c.
Membawa anak ke terapis
d.
Lainnya, sebutkan...
5. Apakah alasan ibu datang ke terapis? a.
Ikut-ikutan
b.
Saran dari dokter
c.
Informasi dari media
d.
lainnya,sebutkan.....
6. Jenis fasilitas pelayanan kesehatan apa yang paling sering ibu gunakan? a.
Rumah sakit/puskesmas/klinik
b.
Terapis
c.
Pengobatan alternatif
d.
Lainnya, sebutkan.....
7. Berapa kali frekuensi informasi/kunjungan ke dokter atau terapi? a.
tidak pernah
b.
jarang (1-3 x/6bln)
c.
sedang (1x/bln-2-3x/bln)
d.
sering (1x/minggu-setiap hari)
8. Bagaimana tindakan ibu jika ada berita tentang autis di media? a.
Menerapkan apa yang disampaikan
b.
Tidak peduli
c.
Berkonsultasi dengan dokter atau terapis
d.
Lainnya,sebutkan......
FORMULIR FOOD FREQUENCY MENURUT JENIS BAHAN-BAHAN MAKANAN No. Responden Nama Umur Jenis Kelamin Kelompok makanan
Sumber Gluten
Sumber Kasein
Suplemen
: : : : Jenis makanan
Mie (berbahan tepung terigu) Roti (muffin, bagel, croissant,bur ger, pizza) Pasta (makaroni, spageti, fettucine) Kue (putu mayang, getuk lindri, brownies, nastar) Biskuit Sereal gandum Tepung bumbu Susu sapi Susu skim Susu kambing Susu bubuk Keju Mentega Yoghurt Biskuit/wafer mengandung susu (sebutkan jenis dan jumlahnya)
Tidak pernah
1x sebulan
Frekuensi 3x >3x seminggu seminggu
1-2 x sehari
≥3x sehari
FOOD RECORD (3 X 24 JAM) Petunjuk pengisian Record konsumsi dilakukan selama 3 hari. Kolom yang diisi hanya nama makanan, jenis bahan makanan (apabila bahan-bahannya lebih dari 1), URT (ukuran rumah tangga), dan asal saja. Pengisian data konsumsi makanan dapat berupa makanan utama seperti nasi, lauk, sayur, buah, dll. Juga berupa makanan selingan seperti kue, biskuit, es campur, es kelapa, kolak, dll. Jenis makanan apapun yang dikonsumsi pada hari tersebut dicatat selengkaplengkapnya, baik jenis makanan maupun bahan-bahan dari makanan tersebut. Contoh : Waktu
Pagi
Siang
Malam
Selingan
Nama makanan Nasi Ikan mas goreng Tempe bacem Nasi Ayam bumbu kecap bagian paha Nasi Sate ayam Jus tomat Bubur kacang hijau
Jenis bahan makanan
Jumlah dimakan URT
Asal
gram
1 prg 1 ptg
pemasakan Pemasakan
1 ptg sdg
Pemasakan
1 prg 1 ptg
Pemasakan Pembelian
2 bh 10 tusuk
Pemasakan Pembelian
1 gls 1 prg
Pemberian Pemasakan
Keterangan : Bh Bj Btg Btr Bsr Gls
= buah = biji = batang = butir = besar = gelas
kcl ptg sdg sdm sdt tsk
= kecil = potong = sedang = sendok makan = sendok teh = tusuk
Kode
Contoh Tabel Record : Hari ke-... (hari/tanggal :..........................) Waktu
Pagi
Siang
Malam
Selingan Suplemen
Nama makanan
Jenis bahan makanan
Jumlah dimakan URT
gram
Asal
Kode