PERAN IBU PADA ANAK AUTIS DI SEKOLAH LUAR BIASA SEMESTA KOTA MOJOKERTO FENDI BRAMA 1212020011 Subject : Peran Ibu, Autis, Ibu Yang Mempunyai Anak Autis Description Kehadiran anak merupakan dambaan bagi setiap suami-istri, karena anak dianggap mempunyai nilai tersendiri bagi keluarga. Setiap bapak atau ibu pasti mengharapkan bahwa kelahiran anak atau buah hati cinta kasih mereka dalam keadaan normal, namun dalam kenyataan kadangkala harapan atau impian tersebut tidak sesuai dengan kenyataan seperti gangguan pada anak autis. Tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui peran ibu pada anak autis. Jenis penelitian deskriptif. Variabel dalam penelitian ini adalah peran ibu pada anak autis. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu anak autis sebanyak 53 responden. Sampel sebanyak 17 responden diambil menggunakan teknik purposive sampling. Penelitian dilaksanakan di Sekolah Luar Biasa Semesta Kota Mojokerto pada tanggal 08-12 Mei 2015. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner. Teknik pengolahan data menggunakan editing, coding, scoring, entry data, cleaning, tabulating dan disajikan dalam tabel distribusi frekuensi. Berdasarkan hasil penelitian di Sekolah Luar Biasa Semesta Kota Mojokerto didapatkan bahwa sebagian besar orang tua berperan pada anak autis yaitu sebanyak 11 responden (64,7%). Simpulan dalam penelitian ini yaitu orang tua berperan pada anak autis. Perawat sebagai petugas kesehatan sebaiknya agar lebih aktif lagi dalam melakukan komunikasi dengan orang tua dan dapat memberikan perhatian serta dukungan yang lebih bagi anak dan orang tuanya serta memberikan informasi yang lebih banyak lagi kepada setiap orang tua mengenai parent support group dan dapat membentuk suatu wadah yang sama fungsinya seperti parent support group.
Abstract The presence of a child is a dream for every husband and wife, because child is considered to have a value for the family. Every father or mother would expect that their lovely child would be born normally, but in reality sometimes hopes or dreams do not conform with reality as disorders in children with autism. The aim of this study was to determine the role of mother in children with autism. This is a descriptive study. The variable in this study is the role of mother in children with autism. The population in this study of mother in children with autism was 53 respondents. A sample of 17 respondents were taken by using purposive sampling technique. Research was conducted at the Sekolah Luar Biasa Semesta Mojokerto from 8 to 12 May 2015. The research instrument used questionnaire. Data processing techniques used editing, coding, scoring, data entry, cleaning, tabulating and it is then presented in frequency distribution table.
Based on the results of research in the Sekolah Luar Biasa Semesta Mojokerto found that most parents of autistic children play a role i.e 11 respondents (64,7%). The conclusions of this research that parents play a role in autistic children. Nurses as healthcare workers should be more active in communicating with parents and can provide better care and support for children and their parents and provide more information to all parents about parent support group and can form a group with similar function to that parent support group. Keywords: Roles of Mother, Autism : 1. Rifa’atul Laila Mahmudah, M.Farm-Klin. 2. Mohammad Nur Firdaus, S.Kep.Ns Date : 10 Juli 2015 Type Material : Laporan Penelitian Permanen Link : Right : Open Dokument Summary : Contributor
Latar Belakang Kehadiran anak merupakan dambaan bagi setiap suami-istri, karena anak dianggap mempunyai nilai tersendiri bagi keluarga, bahkan banyak yang menganggap bahwa keluarga belum lengkap apabila belum memiliki anak dari pernikahannya. Kehadiran anak dalam sebuah keluarga juga dipandang memberi nilai tambah tersendiri, karena anak dipandang mampu menambah keharmonisan rumah tangga khususnya antar suami dan istri, keluarga akan lebih hidup dan tenang dengan kehadiran seorang anak (Nirmala, 2014). Setiap bapak atau ibu pasti mengharapkan bahwa kelahiran anak atau buah hati cinta kasih mereka dalam keadaan normal, namun dalam kenyataan kadangkala harapan atau impian tersebut tidak sesuai dengan kenyataan karena dalam proses kelahiran bahkan sesudah kelahiran anak mengalami perubahan pertumbuhan dan perkembangan yang tidak normal atau mengalami beberapa gangguan tertentu sehingga anak memiliki kebutuhan khusus seperti gangguan pada anak autis (Salman, 2014). Beberapa permasalahan yang secara umum terdapat pada anak dengan gangguan autis adalah pada aspek sosial dan komunikasi yang sangat kurang atau lambat serta perilaku yang repetitif atau pengulangan dan keadaan ini dapat kita amati pada anak seperti kekurang mampuan anak untuk menjalin interaksi sosial yang timbal balik secara baik dan memadai, kurang kontak mata, ekspresi wajah yang kurang ceria atau hidup serta gerak-gerik anggota tubuh yang kurang tertuju, tidak dapat bermain dengan teman sebaya sehingga terlihat sendiri saja atau cenderung menjadi penyendiri bahkan tidak dapat berempati atau merasakan apa yang dirasakan orang lain (Sicillya E. Boham, 2013). Autis merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang tidak bisa disembuhkan (not curable) namun bisa diterapi (treable) dimana kelainan yang terjadi pada otak tidak bisa diperbaiki namun gejala yang ada dapat dikurangi semaksimal mungkin sehingga anak bisa bersosialisasi dengan orang lain secara normal. Kunci keberhasilan terapi adalah keterlibatan orang tua dalam proses terapi (Sabri, 2008). Namun, pada kenyataannya selama ini anak autis masih dianggap sebagai aib atau bencana
bagi sebagian keluarga. Perhatian dan kasih sayang orang tua pada anak autis juga tidak lebih dari mereka yang normal (Mufadilah, 2014). Berdasarkan data UNESCO tahun 2011 prevalensi penyandang autis di seluruh dunia mencapai 35 juta yang artinya 6 dari 1000 orang di dunia mengidap autisme. Berdasarkan penelitian Center for Disease Control (CDC) di Amerika Serikat 2008 perbandingan autisme pada anak umur 8 tahun yang terdiagnosa 1 : 80. Sedangkan di Asia, penelitian Hongkong Study 2008 melaporkan tingkat kejadian autisme dengan prevalensi 1,68 per 1000 untuk anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia sampai saat ini belum ada penelitian khusus yang dapat menyajikan data autisme. Bila diasumsikan dengan prevalensi autisme pada anak di Hongkong, berdasarkan data Badan Pusat Statistik jumlah anak usia 5 hingga 19 tahun mencapai 66.000.805 jiwa dan diperkirakan terdapat lebih dari 112 ribu anak penyandang autisme di Indonesia (Hadriani, 2013). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilaksanakan pada bulan Maret 2015 di di SLB Semesta Kota Mojokerto dari 10 orang tua yang memiliki anak autis didapatkan bahwa 6 orang tua (60%) berperan pada anak autis seperti melakukan pengawasan yang membimbing, memberi contoh yang baik serta pendekatan pribadi dan 4 orang tua (40%) tidak berperan pada anak autis. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kebanyakan orang tua berperan pada anak autis, namun masih terdapat sebagian orang tua yang tidak berperan pada anak anak autis. Penyebab autis sangat multifaktor, kemungkinan besar autis pada anak disebabkan adanya kerentanan genetik, kemudian dipicu oleh faktor lingkungan seperti infeksi (rubella, cytomegalovirus) saat anak masih dalam kandungan, bahan-bahan kimia (pengawet makanan, pewarna makanan, perasa makanan dan berbagai food additives lainnya) sera polutan seperti timbal, timah hitam atau air raksa dari ikan yang tercemar merkuri sebagai bahan pengawet vaksin (Zulkaida, 2007). Bagi orangtua yang memiliki anak autis, inilah periode awal kehidupan anaknya yang merupakan masa-masa tersulit dan paling membebani. Pada periode ini sering kali orangtua berhadapan dengan begitu banyak permasalahan. Tidak saja berasal dari anaknya tetap bercampur dengan masalah lain yang dapat membebani orangtua, termasuk permasalahan yang muncul dari reaksi masyarakat (Ginting, 2013). Penerimaan orang tua sangat mempengaruhi perkembangan anak autis di kemudian hari. Sikap orang tua yang tidak dapat menerima kenyataan bahwa anaknya memiliki gangguan autis akan sangat buruk dampaknya, karena hal tersebut hanya akan membuat anak autis merasa tidak di mengari dan tidak di terima apa adanya serta dapat menimbulkan penolakan dari anak (resentment) (Zulkaida, 2007). METODOLOGI PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif. Dalam penelitian ini peneliti ingin mendeskripsikan tentang peran ibu pada anak autis. Dalam penelitian ini terdapat satu variabel yaitu peran ibu pada anak autis. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh orang tua yang memiliki anak autis sebanyak 53 responden. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian orang tua yang memiliki anak autis sebanyak 17 responden. Jenis sampling dalam penelitian ini adalah non probability sampling dengan teknik purposive sampling Instrumen dalam penelitian ini menggunakan lembar kuesioner.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang dilaksanakan di sekolah luar biasa Semesta Kota Mojokerto didapatkan bahwa sebagian besar orang tua berperan pada anak autis yaitu sebanyak 11 responden (64,7%). Orang tua terdiri dari ayah dan ibu, tetapi peneliti fokus pada peran ibu karena dari 17 responden adalah perempuan. Peran orang tua terhadap anak di dalam keluarga adalah sebagai motivator, fasilitator dan mediator. Sebagai motivator, orang tua harus senantiasa memberikan motivasi / dorongan terhadap anaknya untuk berbuat kebajikan dan meninggalkan larangan Tuhan. Ilmu pengetahuan sebagai fasilitator, orang tua harus memberikan fasilitas, pemenuhan kebutuhan keluarga atau anak berupa sandang pangan dan papan, termasuk kebutuhan pendidikan (Valentina, 2009). Menurut pendapat Danuatmaja (2008) bahwa peran orang-tua bagi anak penyandang autis sangat penting. Banyak hal yang bisa dan harus dilakukan orangtua anak autis yaitu memastikan diagnostik, sekaligus mengetahui ada tidaknya gangguan lain pada anak untuk ikut diobati. Orangtua harus dapat memilih dokter yang kompeten seperti dokter anak yang menangani autis-me, dokter saraf anak, dan dokter rehabilitasi medik. Orang tua memiliki peran yang baik terhadap anak autis dibuktikan bahwa orang tua dapat memahami keadaan anak apa adanya dimana terlihat dari hasil observasi bahwa setiap hari orang tua selalu menemani anak untuk belajar, menghargai usaha anak dalam belajar dengan memberikan pujian pada anak atas nilai bagus yang telah diperoleh oleh anak. Komunikasi responden dengan anak lancar, hangat dan terbuka, hal ini terlihat saat responden berdiskusi pada anak ketika anak ingin bermain dengan teman, orang tua selalu menanyakan keinginan anak, anak diberikan beberapa pilihan oleh responden untuk memilih teman yang disukainya, responden juga mengarahkan atau menegur anak dengan memberikan penjelasan ketika anak melakukan kesalahan. Berdasarkan parameter tentang adanya kontrol didapatkan bahwa sebagian besar responden berperan terhadap adanya kontrol yaitu sebanyak 12 responden (70,6%). Adanya kontrol, yaitu usaha-usaha untuk mempengaruhi aktivitas orientasi cita-cita anak, membatasi ketergantungan, agresif dan perilaku untuk terus bermain (Subhan, 2011). Hal ini dibuktikan bahwa orang tua selalu mengkritik anak ketika anak melakukan kesalahan, melatih anak beberapa keterampilan (seperti belajar makan sendiri, dan menggunakan pakaian sendiri), memotivasi anak ketika anak tidak ingin belajar serta orang tua selalu memberikan motivasi atau mengajarkan kepada anak untuk berkomunikasi dengan temannya. Peran orang tua terhadap anak autis tentang adanya tuntutan kematangan didapatkan bahwa hampir seluruhnya responden berperan terhadap adanya tuntutan kematangan yaitu sebanyak 13 responden (76,4%). Tuntutan kematangan, tekanan pada anak untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuan intelektual, sosial dan emosional (Subhan, 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berperan terhadap adanya tuntutan kematangan anak autis dimana sebagian besar responden selalu melibatkan anak dalam kegiatan sehari-hari, orang tua selalu memberikan kebebasan kepada anak untuk menentukan sendiri apa yang ingin ia lakukan dan orang tua selalu mengajarkan dan memberikan kebebasan anak untuk berinteraksi dengan orang lain dengan baik.
Adanya komunikasi jelas antara orang tua dan anak didapatkan bahwa sebagian besar responden tidak berperan yaitu sebanyak 10 responden (58,8%). Komunikasi jelas antara orang tua dengan anak, contohnya menggunakan alasan untuk menanyakan pendapat anak dan perasaannya (Subhan, 2011). Tidak berperannya orang tua terhadap adanya komunikasi yang jelas dengan disebabkan karena kesibukan atau pekerjaan orang tua hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil wawancara kuesioner bahwa orang tua tidak pernah atau kadang-kadang menemani anak ketika anak sedang sekolah, orang tua jarang menghibur anak ketika ia sedih. Pada parameter pengasuhan orang tua didapatkan bahwa sebagian besar responden berperan pada anak autis yaitu sebanyak 10 responden (58,8%) Pengasuhan orang tua, meliputi kehangatan (cinta, perhatian dan keharuan) dan keterbukaan (pujian dan kesenangan dalam prestasi anak) (Subhan, 2011). Hal ini dibuktikan bahwa sebagian besar selalu menyayangi anak meskipun anak menderita autis, menangani dan mengerjakan segala keperluan anak dengan sepenuh hati, selalu menanyakan dan memberikan pujian kepada anak terhadap hasil belajar anak dan memberikan semangat kepada anak untuk mendapatkan prestasi yang lebih baik. Berdasarkan faktor umur didapatkan bahwa seluruhnya responden berumur > 35 tahun yaitu sebanyak 17 responden (100%) dan berdasarkan tabulasi silang didapatkan bahwa sebagian besar orang tua berumur >35 tahun berperan pada anak autis yaitu sebanyak 11 responden (64,7%). Usia yang matang dan dewasa pada pasangan suami isteri, memperbesar kemungkinan orang tua untuk menerima diagnosa dengan relatif lebih tenang. Dengan kedewasaan yang mereka miliki, pikiran serta tenaga mereka difokuskan pada mencari jalan keluar yang terbaik (Rachmayanti, 2009). Umur orang tua memiliki pengaruh yang besar terhadap peran serta orang tua terhadap anak autis. Orang tua yang memiliki umur >35 tahun tergolong dalam usia dewasa, dimana pada usia tersebut orang tua relatif lebih tenang dalam menerima diagnosa. Disamping hal tersebut pada usia matang atau dewasa orang tua relatif memiliki respon yang positif terhadap anak dengan autis yaitu dengan cara mencari jalan keluar yang terbaik untuk anak. Hal ini disebabkan oleh pengalaman orang tua dalam pengasuhan anak. Berdasarkan faktor pendidikan didapatkan bahwa hampir setengahnya responden berpendidikan SD yaitu sebanyak 7 responden (41,2%) dan berdasarkan hasil tabulasi silang didapatkan bahwa sebagian kecil responden berpendidikan SD berperan pada anak autis yaitu sebanyak 4 responden (23,5%). Semakin tinggi tingkat pendidikan, relatif makin cepat pula orang tua menerima kenyataan dan segera mencari penyembuhan. Disisi lain, latar belakang pendidikan yang baik, memberikan kepercayaan diri yang lebih baik bagi orang tua, untuk mencari informasi mengenai keadaan anaknya (Rachmayanti, 2009). Tingkat pendidikan memiliki pengaruh yang besar terhadap pengetahuan seseorang. Seseorang dengan pendidikan tinggi memiliki pengetahuan yang baik dan relatif mudah untuk menerima kenyataan anak dengan diagnosa autis. Sebaliknya orang tua yang memiliki pendidikan rendah akan memiliki pengetahuan yang kurang tentang autis. Namun dalam penelitian ini menunjukkan bahwa orang tua dengan pendidikan yang rendah (SD) berperan pada anak autis. Hal ini disebabkan karena baiknya informasi yang didapatkan oleh orang tua
melalui tenaga kesehatan sehingga orang tua memiliki respon yang positif terhadap anak autis. Berdasarkan faktor pekerjaan didapatkan bahwa sebagian besar responden tidak bekerja yaitu sebanyak 11 responden (64,7%) dan berdasarkan hasil tabulasi silang didapatkan bahwa kurang dari setengah responden tidak bekerja berperan pada anak autis yaitu sebanyak 8 responden (47,1%). Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang dan banyak tantangan. Keuangan keluarga yang memadai, memberikan kesempatan yang lebih baik bagi orang tua untuk dapat memberikan ”penyembuhan” bagi anak mereka. Dengan kemampuan finansial yang lebih baik, makin besar pula kemungkinan orang tua untuk dapat memberikan beberapa terapi sekaligus, sehingga proses ”penyembuhan” juga akan semakin cepat (Rachmayanti, 2009). Orang tua yang tidak bekerja pada umumnya lebih banyak memiliki waktu luang terhadap anak autis. Hal ini ditunjukkan berdasarkan hasil penelitian bahwa sebagian besar repsonden tidak bekerja berperan terhadap anak autis. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian di SLB Semesta Kota Mojokerto yang dilaksanakan didapatkan bahwa sebagian besar orang tua berperan pada anak autis yaitu sebanyak 11 responden (64,7%). SARAN 1. Bagi Peneliti Untuk menambah pengetahuan dan wawasan sehingga peneliti bisa memberikan informasi tentang terapi autis dan pentingnya peran ibu pada anak autis. 2. Bagi teoritis a. Peneliti selanjutnya Hasil penelitian dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian berikutnya terutama yang berhubungan dengan penelitian tentang peran ibu pada anak autis. b. Pendidikan Keperawatan Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran keperawatan anak khususnya memberikan gambaran tentang peran ibu pada anak autis secara nyata. 3. Bagi Praktis a. Praktek Keperawatan Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan tambahan informasi bagi praktek keperawatan khususnya keperawatan anak dalam memberikan asuhan keperawatan dengan mengetahui pentingnya peran ibu pada anak autis. b. Masyarakat / keluarga Kepada orang tua yang memiliki anak autis bila menghadapi situasi yang membuat para orang tua kaget untuk pertama kali mendengar kabar anak mengalami sindrom autis, berusaha santai, tetap optimis, dan tawakal kepada allah dan berusaha mengadukan masalah kita kepadanya. Para orang tua akan menemukan jalan keluar yang terbaik dari masalah yang
sedang dialami. Karena semakin orang tua lama untuk menerima anak yang mengalami sindrom autis, akan memperlami penanganannya. Correspondensi : E-Mail Alamat No. Hp
:
[email protected] : Situbondo : 082233390963