INFORMASI IPTEK
UPAYA/TINDAKAN HUKUM DALAM PENGAWASAN KEGIATAN PEMANFAATAN KETENAGANUKLIRAN : Preventif, Represif dan Edukatif Amil Mardha Direktorat Peraturan Keselamatan Nuklir Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) Jl. M.H. Thamrin 55, Jakarta 10350, INDONESIA Telp. +62-21-2301249 ; 2302281 ; Fax. +62-21-2301253 E-mail :
[email protected]
PENGANTAR Tahun 2002 yang lalu BAPETEN telah menyelenggarakan Konvensi Nasional Keselamatan Nuklir di Jakarta. Hasil dari kegiatan itu terdapat beberapa rekomendasi yang menyatakan bahwa sosialisasi keselamatan nuklir harus dilakukan lebih intensif dan menginformasikan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh BAPETEN kepada para pengguna pemanfaat tenaga nuklir dengan cepat, tepat dan menyeluruh, tidak hanya untuk para pekerja saja namun juga ditujukan untuk para manajer. Konvensi Nasional Keselamatan Nuklir ini dirancang sebagai sebuah forum berkumpul dan bertemu para stakeholder dan para customer BAPETEN, baik dari lingkungan pemerintah, maupun dari lingkungan swasta, dan para pakar keselamatan serta kaum akademisi dan lembaga swadaya masyarakat untuk sama-sama menyatukan komitmen terhadap keselamatan nuklir dengan mengkedepankan keselamatan sebagai pilar penentu dalam setiap kegiatan pemanfaat tenaga nuklir. Untuk mencapai keselamatan yang tinggi, sistem pengawasan yang diselenggarakan harus terintegrasi dan cermat, dengan memuat upaya/tindakan hukum yang bersifat preventif, represif dan edukatif. Dalam makalah ini penulis menguraikan landasan hukum pengawasan ketenaganukliran yang merupakan pilar-pilar pengawasan
ketenaganukliran dan membagi aspek hukum pengawasan dalam upaya/tindakan preventif, represif dan edukatif. PENDAHULUAN Pemanfaatan tenaga nuklir di berbagai bidang kehidupan manusia, dewasa ini sudah semakin berkembang dan maju pesat, dengan tujuan untuk kesejahteraan rakyat. Disamping memberikan manfaat yang sangat besar, tenaga nuklir juga mempunyai potensi bahaya radiasi terhadap pekerja, anggota masyarakat, maupun lingkungan. Oleh sebab itu pemanfaatan tenaga nuklir harus mendapat pengawasan. Hal ini menuntut adanya sistem pengawasan yang cermat, terintegrasi dan edukatif, dengan mempertimbangkan aspek ekonomi dan sosial masyarakat, untuk itu perlu ditempuh upaya yang memadai untuk mempersiapkan perangkat hukum guna menjamin keselamatan serta memberi perlindungan optimal terhadap potensi bahaya radiasi bagi pekerja radiasi dan masyarakat umum. Perangkat hukum yang dimaksud dapat berupa peraturan perundangan yang diperlukan atau terkait, kesiapan sumber daya manusia yang mengusai bidang ketenaganukliran, kesiapan dan kemampuan aparat penegak hukum dan lembaga peradilan. Landasan yuridis pemanfaatan tenaga nuklir pertama kali di Indonesia adalah Undang-
Upaya/tindakan hukum dalam pengawasan kegiatan pemanfaatan ketenaganukliran : Prefentif, Represif dan Edukatif (Amil Mardha)
1
INFORMASI IPTEK
undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom. Namun pada tanggal 10 April 1997 pemberlakuan Undang-undang tersebut dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Lembaran Negara RI tahun 1997 Nomor 23, yang terdiri dari 10 (sepuluh) Bab dan 48 (empat puluh delapan) Pasal. Penggantian itu dilakukan atas pertimbangan untuk mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan pemanfaatan teknologi nuklir yang makin maju dan meluas. Meskipun Indonesia belum menggunakan nuklir untuk alternatif pembangkit energi, tetapi tetap harus dipikirkan dan dipersiapkan perangkat hukumnya (regulation framework) agar tidak terjadi kekosongan hukum kelak. Selain itu, penggantian Undang-undang tersebut sesuai saran dunia internasional dalam bidang ketenaganukliran yang mensyaratkan pemisahan antara kegiatan pengawasan tenaga nuklir dengan kegiatan pelaksanaan promosi pemanfaatan tenaga nuklir, sehingga dapat dihindarkan kemungkinan terjadinya konflik kepentingan, dan diharapkan dengan terbentuknya Badan Pengawas yang independen dapat mewujudkan tertib hukum dalam penggunaan nuklir di segala bidang dan tercapainya keselamatan yang tinggi. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 merupakan landasan hukum utama yang mengatur segala sesuatu mengenai ketentuan keselamatan nuklir dan keselamatan radiasi yang tentunya perlu dilanjutkan dengan peraturan pelaksanaannya, dalam rangka memberikan arahan tindakan untuk mencapai tingkat keselamatan yang tinggi. Dasar hukum tersebut juga mengatur hubungan antara instansi pengawas dengan para pengguna nuklir baik secara perorangan, badan pemerintah, koperasi, BUMN, maupun swasta. Instansi pengawas yang dibentuk pemerintah ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 yaitu :
2
“Pemerintah membentuk Badan Pengawas yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang bertugas melaksanakan pengawasan terhadap segala kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir.”
Kewenangan instansi pengawas tersebut didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 76 Tahun 1998 tentang Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) sebagaimana dicabut dengan Keputusan Presiden No.166 Tahun 2000, sebagaimana diubah terakhir dengan Keppres No. 62 Tahun 2001, sebagaimana dicabut dengan Keppres No. 103 Tahun 2001, terakhir diubah dengan Keppres No. 3 Tahun 2002 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. LANDASAN HUKUM PENGAWASAN Pengawasan dalam pemanfaatan tenaga nuklir diatur dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 20 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Ada dua hal yang diatur dalam Pasal 14 yaitu penunjukan Badan Pengawas untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan tenaga nuklir, dan mekanisme pelaksanaan pengawasan adalah melalui peraturan, perizinan dan inspeksi. Dtinjau dari segi penegakan hukum, aspek pengawasan dapat diklasifikasikan menjadi 3 bentuk upaya/tindakan yaitu preventif, represif dan edukatif. Ketentuan hukum preventif yang terkandung di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 merupakan pilar-pilar pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia yaitu berupa peraturan, perizinan, dan inspeksi. Hal ini tertuang dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 17 ayat (1) dan (2), Pasal 19 ayat (1), dan Pasal 20. Sedangkan upaya/tindakan represif terdapat dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 44. Selain konsep hukum pengawasan yang fungsinya sebagai tindakan preventif dan represif, terdapat Buletin Alara, Volume 5 Nomor 1, Agustus 2003, 1 – 8
INFORMASI IPTEK
juga konsep edukatif yang bersifat pembinaan untuk menimbulkan motivasi dan kesadaran terhadap keselamatan serta dapat tercapainya tertib hukum dalam pelaksanaan pemanfaatan tenaga nuklir. Hal tersebut diatur dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997, yaitu : “Badan Pengawas melakukan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan mengenai pelaksanaan upaya yang menyangkut keselamatan dan kesehatan pekerja, dan anggota masyarakat serta perlindungan terhadap lingkungan hidup.”
UPAYA/TINDAKAN PREVENTIF Tenaga nuklir disamping mempunyai manfaat yang cukup besar dalam berbagai aplikasi kehidupan, juga mempunyai potensi bahaya radiasi terhadap pekerja, masyarakat, dan lingkungan hidup, sehingga untuk memastikan bahwa suatu proses kegiatan pemanfaatan nuklir berlangsung dengan baik dan berwawasan keselamatan, seharusnya ada suatu kegiatan pengawasan dengan cara membuat peraturan, menyelenggarakan perizinan dan melakukan inspeksi terhadap para pemanfaat tenaga nuklir dan atau sumber radiasi. a.
Pengaturan
Pengaturan ini penting, karena untuk suatu kegiatan pengawasan, produk peraturan, perlu ada terlebih dahulu. Peraturan perundangundangan yang akan diterbitkan dapat memberikan kepastian hukum dan penegakan hukum dalam rangka menciptakan keselamatan, keamanan, ketentraman dan kesehatan pekerja dan masyarakat serta perlindungan terhadap lingkungan hidup. Pengaturan ini akan menjadi dasar hukum atau sebagai pedoman dalam kegiatan pengawasan. Untuk melaksanakan tugas dalam bidang pengaturan, BAPETEN membuat peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya yang dijabarkan dari Undang-undang Ketenaganukliran (UU No. 10/1997), yaitu berupa Rancangan Peraturan Pemerintah yang
nantinya menjadi Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Kepala BAPETEN yang bersifat Ketentuan Keselamatan, Pedoman, Petunjuk Teknis dan sebagainya. Hasil-hasil peraturan yang telah disusun disebarluaskan kepada masyarakat dengan melalui pendistribusian naskah peraturan dan melakukan sosialisasi/penyuluhan peraturan perundangan ketenaganukliran. Dalam proses pembuatan Peraturan Pemerintah, BAPETEN tidak melaksanakan sendiri, namun dilakukan proses pembahasan bersama antar institusi dengan Departemen, LPND atau institusi lain yang terkait. Untuk menghasilkan suatu Rancangan Peraturan Pemerintah, disajikan terlebih dahulu naskah akademis (konsepsi) yang merupakan acuan atau sebagai bimbingan dalam pembuatan batang tubuh peraturan. Konsepsi memuat aturan-aturan Internasional (Safety Series-IAEA) yang diadopsi atau mengacu dari peraturan-peraturan negara lain. Konsepsi mengandung/berisi pokok-pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur, jangkauan dan arah pengaturan serta sasaran yang ingin diwujudkan. Setelah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP), pengaturan dibawahnya yaitu yang sifatnya sebagai peraturan pelaksana, harus segera/siap dibuat, dengan hasilnya berupa Keputusan Kepala BAPETEN. Pengaturan ini digunakan oleh pemanfaat sebagai pedoman, bimbingan dan petunjuk dalam melaksanakan kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir. b. Perizinan Perizinan merupakan salah satu pilar pengawasan yang menjadi tugas dan fungsi BAPETEN untuk mengendalikan, mengawasi dan mengevaluasi pemakaian zat radioaktif dan atau sumber radiasi, pembangunan dan pengoperasian instalasi nuklir dan fasilitas radiasi di Indonesia. Pada dasarnya sistem perizinan terdiri atas pemberitahuan (notifikasi), pencatatan (registrasi), dan pemberian izin (lisensi). Dengan sistem perizinan ini zat radioaktif, sumber radiasi
Upaya/tindakan hukum dalam pengawasan kegiatan pemanfaatan ketenaganukliran : Prefentif, Represif dan Edukatif (Amil Mardha)
3
INFORMASI IPTEK
dan bahan nuklir dapat diverifikasi dan dapat diketahui keberadaan sumber radiasi tersebut dimanfaatkan, oleh siapa dan untuk tujuan apa dan bagaimana cara memanfaatkannya, sehingga kemungkinan timbulnya resiko bahaya radiasi yang merugikan jiwa dan harta benda serta terjadinya perubahan tujuan pemanfaatan bahan nuklir, dapat dicegah sedini mungkin. Dari data administrasi perizinan BAPETEN, pemanfaatan radiasi dapat dikelompokan menjadi tiga : 1. Kelompok Kesehatan, yang terdiri dari diagnostik, terapi dan kedokteran nuklir, 2. Kelompok Penelitian , dan 3. Kelompok Industri/tehnik Dari ketiga kelompok ini dilihat dari segi jumlah izin yang dikeluarkan yang terbanyak adalah pemanfaatan di bidang kesehatan, yang pada umumnya dilaksanakan oleh rumah sakit kepunyaan pemerintah sendiri, baik untuk diagnosa, terapi maupun kedokteran nuklir. Untuk bidang industri yang terbanyak izin dikeluarkan adalah radiografi, gauging, logging dan analisis. Setiap pemanfaatan tenaga nuklir wajib memiliki izin, hal ini diamanatkan pada UU No. 10/1997 pasal 17 ayat (1). Jadi setiap orang atau badan yang akan memanfaatkan tenaga nuklir wajib mendapat izin dari Badan Pengawas. Namun untuk mendapatkan izin tersebut pemanfaat/user harus memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus yang ditetapkan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 64 Tahun 2000 tentang Perizinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir. Izin dapat dikeluarkan jika semua persyaratan telah dipenuhi oleh pemohon dan izin tidak dapat dikeluarkan bila semua persyaratan permohonan belum juga lengkap. Persyaratan Umum yang dimaksud, yaitu : 1. Mempunyai izin usaha atau izin lain dari instansi yang bersangkutan, hal ini dimaksudkan agar pemohon izin mempunyai identitas jelas dan perusahaan atau kantor
4
2. 3. 4.
5.
pemohon izin benar-benar legal dan bukan seperti pedagang kaki lima yang mudah untuk berpindah tempat sehingga tidak dapat dilacak keberadaannya. Mempunyai fasilitas yang memenuhi persyaratan keselamatan, Mempunyai petugas ahli yang memenuhi kualifikasi untuk pemanfaatan tenaga nuklir, Mempunyai peralatan teknik dan peralatan keselamatan radiasi yang diperlukan untuk pemanfaatan tenaga nuklir, dan Memiliki prosedur kerja yang aman bagi pekerja, masyarakat dan lingkungan hidup.
Selain persyaratan umum sebagaimana dimaksud di atas, persyaratan khusus diberlakukan terhadap pemanfaatan bahan nuklir dan instalasi yang mempunyai potensi dampak radiologi tinggi. Persyaratan khusus yang diberlakukan terhadap pemanfaatan bahan nuklir adalah : a. mempunyai sistem pertanggungjawaban dan pengawasan bahan nuklir, dan b. mempunyai sistem proteksi fisik bahan nuklir. Sedangkan persyaratan khusus untuk instalasi yang mempunyai potensi dampak radiologi tinggi adalah : • menyampaikan dokumen Laporan Analisis Keselamatan yang selanjutnya disebut LAK; dan atau • wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut AMDAL; • memenuhi persyaratan konstruksi. Yang dimaksud dengan instalasi yang mempunyai potensi dampak radiologi tinggi adalah instalasi yang dirancang dan dibangun secara khusus seperti misalnya instalasi irradiator, akselerator, radioterapi, produksi radioisotop. Pada prinsipnya setiap pemanfaatan zat radioaktif atau sumber radiasi harus mendapatkan Buletin Alara, Volume 5 Nomor 1, Agustus 2003, 1 – 8
INFORMASI IPTEK
izin dari BAPETEN, kecuali pemanfaatan sumber radiasi yang sangat kecil aktivitasnya dari batas minimum yang ditentukan oleh Kepala BAPETEN. Hal ini tidak perlu izin, melainkan cukup diberitahukan untuk didaftar atau diregistrasi, jadi ada pengecualian izin (exemption). Ketentuan exemption yang dikenakan, diatur dalam Keputusan Kepala BAPETEN No. 19/Ka-BAPETEN/V-99 tentang Pengecualian dari kewajiban memiliki izin pemakaian zat radioaktif dan atau sumber radiasi lainnya. Selain pengguna harus memiliki izin pemanfaatan tenaga nuklir, juga diwajibkan bagi petugas yang bekerja dalam medan radiasi pada instalasi nuklir atau instalasi yang memanfaatkan sumber radiasi pengion harus memiliki izin bekerja. Hal ini disyaratkan dalam Undangundang No. 10 /1997 pasal 19 ayat (1), yaitu : “Setiap petugas yang mengoperasikan reaktor nuklir dan petugas tertentu di dalam instalasi nuklir lainnya dan di dalam instalasi yang memanfaatkan sumber radiasi pengion wajib memiliki izin.”
Surat izin yang diterbitkan untuk orang atau badan, berlaku paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. Lamanya jangka waktu berlakunya izin tergantung dari tujuan pemanfaatannya. Izin yang dimiliki oleh Pemegang Izin akan berakhir atau tidak berlaku lagi, apabila : • • • •
jangka waktu izin telah berakhir, pemegang izin perorangan meninggal dunia, badan pemegang izin bubar, izin tersebut dicabut oleh Badan Pengawas.
Izin yang berakhir karena dicabut oleh Badan Pengawas dapat disebabkan antara lain : a. izin sudah dibekukan karena alasan keselamatan tetapi pemegang izin tetap beroperasi, atau b. telah terjadi kecelakaan radiasi sehingga menimbulkan korban luka parah dan atau meninggal dunia, atau
c. terjadinya penyimpangan dari tujuan pemanfaatan tenaga nuklir. Apabila terjadi perubahan data perizinan sebelum izin berakhir, pemegang izin harus segera mengajukan permohonan perubahan terhadap izin yang sudah diterbitkan (merevisi). Namun apabila perubahan data perizinan yang dimaksud adalah hal-hal yang menyangkut spesifikasi teknik (spektek) yang mempengaruhi keselamatan dan atau perubahan pemegang izin, maka pemegang izin harus melakukan pengajuan permohonan izin baru. Selama dalam proses pengajuan permohonan izin baru tersebut dan izin belum terbit, pemegang izin tidak boleh mengoperasikan instalasinya. Yang dimaksud dengan perubahan pemegang izin adalah apabila terjadi pengalihan kepemilikan perusahaan atau instalasi, tidak termasuk perubahan nama pejabat dalam perusahaan atau instalasi. c. Inspeksi Benteng terakhir dalam rangkaian sistem pengawasan adalah inspeksi. Inspeksi pada instalasi nuklir dan instalasi yang memanfaatkan radiasi pengion dimaksudkan untuk memeriksa apakah yang dilakukan oleh pemanfaat di tempat kerjanya sudah sesuai dengan petunjuk, pedoman atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan apakah pemegang izin memenuhi kewajibannya dalam mentaati persyaratanpersyaratan perizinan. Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) melakukan inspeksi berdasarkan amanat Pasal 20 ayat (1) UU No.10/1997, yaitu : “Inspeksi terhadap instalasi nuklir dan instalasi yang memanfaatkan radiasi pengion dilaksanakan oleh Badan Pengawas dalam rangka pengawasan terhadap ditaatinya syarat-syarat dalam perizinan dan peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan nuklir.”
Inspeksi yang dilakukan oleh BAPETEN meliputi inspeksi instalasi nuklir yaitu untuk reaktor nuklir, fasilitas yang digunakan untuk pemurnian, konversi, pengayaan bahan nuklir,
Upaya/tindakan hukum dalam pengawasan kegiatan pemanfaatan ketenaganukliran : Prefentif, Represif dan Edukatif (Amil Mardha)
5
INFORMASI IPTEK
fabrikasi bahan bakar nuklir dan/atau pengolahan ulang bahan bakar nuklir bekas, dan fasilitas yang digunakan untuk menyimpan bahan bakar nuklir dan bahan bakar nuklir bekas. Selanjutnya dilakukan pula inspeksi terhadap pemanfaatan zat radioaktif dan sumber radiasi pengion, yaitu pemanfaat tenaga nuklir dari rumah sakit, penelitian dan industri yang fasilitasnya berupa misalnya pesawat sinar-X, CT-Scan, radiografi, logging, gauging dan lain-lain. Inspeksi dilakukan bukan saja sesudah fasilitas nuklir berdiri tetapi sudah harus mulai dilakukan pada saat penentuan tapak, pembangunan atau konstruksi fasilitas nuklir tersebut. Bahkan untuk fasilitas/instalasi nuklir tertentu inspeksi dapat dilakukan terhadap proses manufaktur instrumen/peralatan yang akan dipasang. Untuk melaksanakan inspeksi dalam rangka pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir dilakukan oleh seorang inspektur. Kegiatan yang dilakukan oleh inspektur dalam pelaksanaan inspeksi meliputi kegiatan audit, pemeriksaan, tindak lanjut/temuan, pemberian peringatan sampai dengan pencabutan izin dan melaporkan kepada polisi. Inspektur Keselamatan Nuklir diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BAPETEN. Para pengawas ini secara berkala atau sewaktu-waktu, dengan atau tanpa pemberitahuan dapat mendatangi instalasi nuklir/radiasi pengion untuk memeriksa atau memverifikasi apakah ketentuan keselamatan radiasi dipatuhi atau tidak, dan persyaratan perizinan yang dipenuhi apakah telah ditaati. Inspektur juga melakukan pemantauan radiasi di dalam instalasi dan di luar instalasi di seluruh wilayah Indonesia. Untuk menjalankan tugas pengawasan ini maka inspektur dibekali surat perintah tugas dari BAPETEN agar tidak mendapatkan kesulitan di lapangan dalam melaksanakan tugasnya.
pemakai radiasi di lapangan dan mengetahui segala permasalahan yang dihadapinya dan juga dia sendiri yang harus mengambil keputusan atau tindakan. UPAYA/TINDAKAN REPRESIF Pelaksanaan upaya/tindakan represif melibatkan institusi peradilan dan aparat penegak hukum meliputi hakim, kejaksaan dan kepolisian. Keterlibatan institusi dan aparat penegak hukum tersebut diperlukan untuk menyelesaikan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Undangundang Ketenaganukliran sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Seperti halnya Undang-undang yang lain, maka Undang-undang No.10/1997 ini juga menetapkan ketentuan pidana. Pada UU ini ancaman hukuman mati tidak ada, tetapi sanksi pidana yang diterima cukup berat. Perbuatan pidana yang diatur dalam UU No. 10/1997 yaitu : a. perbuatan tidak memiliki izin seperti diatur dalam pasal 41, pasal 42 dan pasal 43 b. pada pasal 44 perbuatannya bukan berupa tidak memiliki izin tetapi pelanggaran seperti penghasil limbah radioaktif tingkat tinggi (LRTT) tidak melaksanakan penyimpanan sementara limbahnya, dan untuk penghasil limbah radioaktif tingkat rendah dan sedang (LRTR & LRTS) tidak melaksanakan pengumpulan, pengelompokan, atau pengolahan dan penyimpanan sementara limbah tersebut sebelum diserahkan kepada Badan Pelaksana (BATAN).
Peranan inspektur menjadi sangatlah penting dalam pencegahan terjadinya perubahan tujuan pemanfaatan tenaga nuklir atau bahan nuklir, dan kecelakaan radiasi atau nuklir. Mereka sendiri yang berhadapan langsung dengan
Dari Inspektur, para pemanfaat yang melanggar peraturan dapat diperkarakan ke pengadilan. Selama ini sudah sekitar 5 kasus yang diperkarakan di pengadilan, umumnya pelanggaran tidak mempunyai izin. Berdasarkan Undang-undang No. 10/1997 pelanggaran atau kewajiban memiliki izin, sanksinya berat, yaitu pidana denda Rp. 100 juta, atau kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun, untuk mereka yang melanggar Pasal 17 ayat (1) yaitu
6
Buletin Alara, Volume 5 Nomor 1, Agustus 2003, 1 – 8
INFORMASI IPTEK
pelanggaran izin pemanfaatan tenaga nuklir. Sedangkan petugas yang tidak memiliki surat izin bekerja, melanggar Pasal 19 ayat (1) dengan sanksinya yaitu pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 50 juta, atau apabila tidak mampu membayar denda, terpidana dipidana dengan kurungan pengganti paling lama 6 (enam) bulan. Namun demikian diharapkan pelanggaran tidak perlu terjadi. Kepatuhan terhadap peraturan seharusnya bukannya karena takut dihukum, melainkan berdasarkan kesadaran setiap insan pemanfaat bahwa sudah sepatutnya setiap insan Indonesia harus mematuhi hukum yang berlaku di negara ini. UPAYA/TINDAKAN EDUKATIF Badan Pengawas Tenaga Nuklir selain mengemban amanat untuk melaksanakan inspeksi, perizinan dan peraturan, juga melaksanakan tugas pembinaan dengan tujuan meningkatkan kesadaran hukum bagi para pemanfaat dan memelihara tertib hukum dalam melakukan pemanfaatan tenaga nuklir yaitu seperti yang diamanatkan dalam Pasal 21 UU No.10/1997 : “Badan Pengawas melakukan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan mengenai pelaksanaan upaya yang menyangkut keselamatan dan kesehatan pekerja, dan anggota masyarakat serta perlindungan terhadap lingkungan hidup.”
Pembinaan yang dilakukan BAPETEN berupa penyuluhan dan bimbingan. Penyuluhan dan bimbingan ini dimaksudkan untuk menimbulkan motivasi bagi para pengguna dalam melaksanakan pemanfaatan tenaga nuklir agar selalu memperhatikan peraturan, pedoman, petunjuk teknis ketenaganukliran yang berlaku dan diharapkan kesadaran bagi para pengguna untuk selalu mengutamakan keselamatan pekerja, anggota masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup. BAPETEN menyelenggarakan penyuluhan peraturan perundangan ketenaganukliran sejak tahun 1999. Penyelenggaraan dilaksanakan di
kota-kota propinsi, dengan dihadiri oleh para petugas proteksi radiasi, personil yang bekerja dengan radiasi, pemegang izin pemanfaatan tenaga nuklir yang umumnya adalah kepala rumah sakit, direktur dari bidang kesehatan dan industri. Dalam kurun waktu 4 (empat) tahun, sejak tahun 1999-2002 telah terlaksana 25 kali di 23 kota propinsi, dengan jumlah peserta hadir 999 orang terdiri dari Pengusaha Instalasi Nuklir (PIN)/Pemegang Izin, direktur, manajer, Petugas Proteksi Radiasi (PPR) dari industri dan kesehatan. Materi penyuluhan yaitu kebijakan pengawasan ketenaganukliran, peraturan perundang-undangan ketenaganukliran, perizinan, inspeksi, kedaruratan dan aspek keselamatan dalam pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia. Sesuai dengan tujuan penyuluhan bahwa dengan adanya kegiatan ini para peserta yang sebelumnya tidak tahu menahu mengenai peraturan ketenaganukliran baik substansinya maupun kuantitasnya dan tidak mengerti mekanisme/proses perizinan, akhirnya mereka menjadi mengerti dan paham. Sehingga dampak adanya penyuluhan ini para petugas yang tadinya tidak mempunyai atau sudah mati masa berlakunya Surat Izin Bekerja (SIB), banyak yang memperbarui dan kuantitas perizinan zat radioaktif dan sumber radiasi semakin meningkat. KESIMPULAN Kepatuhan setiap pengguna terhadap peraturan, seharusnya, bukannya karena takut dihukum, melainkan berdasarkan kesadaran setiap insan pemanfaat, bahwa sudah sepatutnya setiap insan Indonesia harus mematuhi hukum yang berlaku di negara ini dengan tujuan bahwa keselamatan merupakan yang utama dalam segala kegiatan ketenaganukliran. DAFTAR PUSTAKA 1.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran, Badan Pengawas Tenaga Nuklir.
Upaya/tindakan hukum dalam pengawasan kegiatan pemanfaatan ketenaganukliran : Prefentif, Represif dan Edukatif (Amil Mardha)
7
INFORMASI IPTEK
2.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2000 Tentang Perizinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir, Badan Pengawas Tenaga Nuklir.
3.
Penyuluhan Peraturan Perundangan Keselamatan Nuklir, Revisi 0.0, Badan Pengawas Tenaga Nuklir.
8
Buletin Alara, Volume 5 Nomor 1, Agustus 2003, 1 – 8