TINDAK PIDANA NARKOTIKA TELAAH TERHADAP PENEGAKAN HUKUMNYA DI KEJAKSAAN NEGERI TEMBILAHAN Oleh: Fitri Wahyuni Mahasiswa Program Doktor Universitas Andalas-Padang Email:
[email protected] Ika Syafitri Karimona
Abstrak Penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif lainnya atau dikenal masyarakat dengan sebutan narkoba (narkotika dan bahan obat berbahaya) merupakan masalah yang sangat kompleks dan memerlukan upaya penanggulangan secara kompherehensif dengan melibatkan kerjasama multidispliner, multisektor, peran serta masyarakat secara aktif, berkesinambungan, konsekuen dan konsisten. Perlunya upaya penanggulangan secara komprehensif disebabkan berbagai hal, yaitu: kejahatan narkoba merupakan kejahatan yang bersifat transnasional, kejahatan narkoba dilakukan dengan berbagai modus operandi, teknologi yang canggih, terorganisir, dan berkaitan dengan kejahatan lainnya, misalnya seperti kejahatan pencucian uang, perdagangan manusia, dan kejahatan ekonomi, sehingga dapat menimbulkan bahaya yang sangat besar bagi manusia, bangsa, Negara dan ketahanan nasional, serta menimbulkan banyak korban yang berkelanjutan. Berdasarkan hasil kajian dapat disimpulkan bahwa penting sekali penegakan hukum terhadap kejahatan narkoba. Kejaksaan yang merupakan salah satu penegak hukum yang mempunyai peranan penting dalam penanggulangan kasus tindak pidana narkoba. Dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana narkoba, Kejaksaan Negeri Tembilahan telah melakukan upaya preventif dan represif. Upaya preventif yang telah dilakukan ialah meningkatkan kesadaran hukum masyarakat berupa penyuluhan hukum mengenai bahaya penyalahgunaan narkoba, sedangkan upaya represif yang telah dilakukan ialah penuntutan terhadap kasus tindak pidana narkoba sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Upaya ini dilakukan dengan harapan dapat menekan terjadinya penyalahgunaan narkoba yang berefek merusak kehidupan masyarakat. Kata kunci: penegakan hukum, narkotika, kejaksaan
Abstract Drugs abuse and other addictive substances were known as narkoba (acronym for narcotics and dangerous additive substance). This issue was a complex issue which required a comprehensivestep of prevention involving multi-dicipline cooperation, multi-sector, active community participation, sustainable andconsistent care. Comprehensive prevention efforts were required due to several reasons. First, drug crimeswere a transnational crime. Second, drug crimes were used to carry out with the
1
various modus operandi, sophisticated technology, and well organized. They were associated with other crimes, such as money laundering, human trafficking, and economic crime. Therefore, it could appear a very great danger to community, nation, state, and national defense, as well as increasing the numbers of victim. This study concluded that law enforcement against drug crimes needed to be priority. Attorney as one of law enforcement apparatus had an important role in the prevention of drug criminal cases. In the law enforcement against drug criminal offenses, District Attorney Tembilahan had been implemented preventive and repressive action. Preventive efforts which had been applied by giving legal education in order to raise public awareness on the dangers of drug abuse. The repressive efforts was held by prosecuting criminal cases of drug in accordance with Law Number 35 of 2009 on Narcotics. This efforf was conducted forreducing the drug abuse cases which effected to destroy people's lives. Keywords: law enforcement, narcotics, attorney Pendahuluan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip penting negara hukum ialah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum (equality before the law). Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.1 Penegakan hukum harus berjalan secara konsisten dan jujur, sehingga semua kalangan mendukung, terutama masyarakat. Masyarakat akan merasa terlindungi baik hak-hak pribadi maupun keselamatan secara penuh dalam proses penegakan hukum yang dijalankan oleh aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman). Kejaksaan merupakan lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Sebagai salah satu aparat penegakan hukum kejaksaan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat, serta dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan lainnya.2 Tugas dan wewenang kejaksaan diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, yang menyatakan sebagai berikut: (1) melakukan penuntutan; (2) melaksanakan putusan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh keputusan hukum tetap; (3) melakukan pengawasan terhadap putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan putusan lepas bersyarat; (4) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-undang; dan melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.3 1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dan Advokat, (Surabaya: Karina, 2004), hlm. 19. 2 Ibid,, hlm. 20-21. 3 Ibid., hlm. 14.
2
Kejaksaan juga mempunyai tugas dan wewenang d ibidang ketertiban umum. Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum dan melakukan pengawasan peredaran barang cetakan.4 Kejaksaan melalui Jaksa Penuntut Umum merupakan salah satu aparat penegak hukum yang mempunyai peranan penting terhadap kasus tindak pidana narkotika dalam hal penuntutan dan melakukan kegiatan peningkatan kesadaran hukum masyarakat dengan cara mensosialisasikan Undang-Undang Narkotika terbaru (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika). Kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang merupakan kejahatan yang bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi atau teknologi yang canggih. Kejahatan narkotika ini merupakan kejahatan terorganisasi, berkaitan dengan kejahatan lainnya (kejahatan pencucian uang, penjualan manusia, dan kejahatan ekonomi), bahaya yang sangat besar bagi manusia, bangsa, negara dan ketahanan nasional, menimbulkan banyak korban yang berkelanjutan,5 memerlukan upaya penanggulangan secara kompherehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, peran serta masyarakat secara aktif dan berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.6 Makna Penegakan Hukum Penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginankeinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum ialah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Proses penegakan hukum menjangkau pula sampai kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Dalam kenyataan, proses penegakan hukum memuncak pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum.7 Peranan peraturan hukum cukup besar dalam hubungannya dengan pelaksanaan peraturan yang dilakukan oleh para penegak hukum. Keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya dimulai sejak dibuat peraturan hukum yang akan dijalankan tersebut.8 Penegakan hukum bukanlah merupakan suatu kegiatan yang berdiri sendiri, melainkan mempunyai hubungan timbal balik yang erat dengan masyarakat. Penegakan hukum dalam suatu masyarakat mempunyai kecenderungan-kecenderungannya sendiri yang disebabkan oleh struktur masyarakatnya. Struktur masyarakat tersebut merupakan kendala, baik berupa penyediaan sarana sosial yang memungkinkan penegakan hukum dijalankan, maupun memberikan hambatan-hambatan yang menyebabkan penegakan hukum tidak dapat dijalankan atau kurang dapat dijalankan dengan seksama.9 Pelaksanaan penegakan hukum di dalam masyarakat sangat kompleks.10 Pertama, kompleksitas suatu masyarakat dimulai oleh pembagian sumber-sumber daya yang kemudian menimbulkan strukturisasi kekuasaan. Maka dijumpai golongan yang 4
Ibid.
5
AR. Sujono dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 47. 6 Ibid., hlm. 15. 7 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. 24. 8 Ibid., hlm. 25. 9 Ibid., hlm, 31. 10 Ibid., hlm, 68.
3
memperoleh kekuasaan lebih besar dibanding dengan yang lain. Oleh karena itu, mendapatkan kekayaan ekonomi dan politik yang lebih besar. Terciptalah suatu pelapisan dalam masyarakat berupa perbedaan kedudukan-kedudukan sosial, politik dan ekonomi. Kedua, penegakan hukum yang dijalankan secara terorganisasi oleh badan-badan penegak hukum akan dilakukan sedemikian rupa. Pelaksanaannya akan memberikan keuntungan kepada badan-badan tersebut, sedangkan pelaksanaan yang akan memberikan hambatan dan dihindari. Ketiga, keuntungan-keuntungan akan diperoleh apabila penegakan hukum dijalankan terhadap orang-orang dari golongan yang tidak atau hanya mempunyai sedikit kekuasaan politik. Apabila penegakan hukum ditujukan terhadap golongan yang mempunyai kekuasaan, penegakan hukum hanya akan menciptakan hambatan bagi badan penegak hukum. Keempat, peraturan-peraturan yang melarang dilakukannya perbuatan yang lazim dilakukan oleh orang-orang dari lapisan bawah cenderung untuk lebih sering diterapkan, sedang yang lazim dilakukan oleh mereka dari golongan menengah ke atas banyak kemungkinannya tidak dijalankan. Kelima, sistem hukum (modern) diorganisasikan ke dalam badan-badan yang tersusun secara birokratis. Tujuan badan-badan tersebut dinyatakan secara formal dan jelas, sedang setiap pejabat menduduki tempatnya masing-masing sesuai dengan struktur birokrasi yang telah ditentukan. Hak-hak serta kewajiban-kewajibannya juga dituliskan secara jelas. Keenam, penyusunan secara formal-birokratis menimbulkan tuntutan terhadap para pejabat untuk bertindak sesuai dengan peranan yang telah dirumuskan secara formal. Ketujuh, sistem hukum modern didasarkan pada legitimasi yang bersifat hukum dan rasional. Sistem hukum modern menghendaki agar hukum dirumuskan dalam kaidah-kaidah yang umum dan dibuat berlaku umum, artinya sama bagi siapa saja. Kedelapan, peraturan-peraturan yang ditujukan kepada para pejabat penegak hukum tersebut menghendaki agar mereka menerapkan hukum dengan cara yang sama terhadap setiap orang. Kesembilan, sesuai dengan kerangka penerapan hukum sebagaimana diuraikan pada butir-butir terdahulu, maka apabila pejabat hukum berhadapan dengan orang-orang dari lapisan-lapisan sosial yang berbeda-beda, maka dapat diperkirakan tindakan atau peranan yang mereka lakukan akan berbeda dari apa yang tertera secara formal dalam peraturan-peraturan. Dalam hubungannya dengan upaya penegakan hukum di Indonesia, Soerjono Soekanto mengatakan bahwa hukum dan penegak hukum merupakan sebagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan, jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum.11 Pertama, faktor hukumnya sendiri. Kedua, faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan hukum. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Kelima, faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. Kelima faktor ini saling berkaitan erat, karena merupakan esensi dari penegakan hukum dan merupakan tolak ukur dari pada efektifitas penegakan hukum. Elemen-elemen esensial negara hukum (rechtsstaat) yang menjadi ciri tegaknya supremasi hukum mencakup adanya jaminan bahwa pemerintah dalam menjalankan kekuasaannya selalu berlandaskan hukum dan peraturan perundang-undangan, jaminan perlindungan hukum terhadap hak-hak dasar, pembagian kekuasaan negara yang jelas, 11 Soerjono Soekanto, RajaGrafindo, 2008), hlm. 8.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
4
adil, dan kosisten, serta perlindungan hukum dari badan-badan peradilan terhadap tindakan pemerintah.12 Abdul Gani mengatakan bahwa supremasi hukum merupakan prasyarat mutlak bagi penyelenggaraan kehidupan kenegaraan berdasarkan kedaulatan rakyat. Supremasi hukum berarti adanya jaminan konstitusional dalam proses politik yang dijalankan oleh kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Supremasi hukum akan selalu bertumpu pada kewenangan yang ditentukan oleh hukum.13 Terwujudnya supremasi hukum dapat berpengaruh pada stabilitas dan ketertiban umum yang kondusif. Peran Jaksa Penuntut Umum dalam Penegakan Hukum Permasalahan penegakan hukum di mulai dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, tidak konsistennya para aparat penegak hukum terhadap hukum, dan intervensi kekuasaan. Permasalahan hukum yang membudaya di negara ini ialah ketidakkonsistenan para aparat penegak hukum terhadap hukum dan peraturan yang sah dan sudah tertulis jelas dalam undang-undang. Contoh kasus-kasus kecil, ketika para pejabat dinas yang berpangkat tinggi akan berkunjung atau melintas jalan raya, maka polisi justru mempersilahkan arak-arakan mobil pejabat itu melanggar ramburambu lalu lintas secara terang-terangan di depan para pengguana jalan. Mereka yang seharusnya memberi contoh bagaimana peraturan diterakkan, namun mereka bertindak sebaliknya. Contoh kasus-kasus besar, kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara yang merugikan negara bermiliyar-miliyar, separti kasus korupsi Bank Bali, BLBI, dan proyek pemetaan dan pemotretan areal hutan oleh Bob Hasan. Kasus-kasus tersebut proses peradilannya berlangsung cepat dan dipermudah oleh pihak pengadilan. Terbukti dengan hasil vonis pengadilan yang begitu ringan terhadap mereka. Berbeda halnya dengan kasus-kasus kecil dan sederhana yang dialami oleh masyarakat kecil. Kasus yang tidak seberapa dalam pengadilannya, justru begitu rumit dan memakan waktu yang lama dibandingkan dengan kasus-kasus besar para koruptor negeri ini. Perbedaan penanganan dan vonis hukuman atas kasus-kasus tersebut disebabkan berbagai hal, seperti tingkat kekayaan, tinggi rendahnya jabatan, dan sebagainya. Diskriminasi hukum ini benar-benar menyulitkan dan memojokkan masyarakat kecil, sehingga tidaklah heran jika masyarakat Indonesia tidak percaya kepada peradilan di Indonesia serta perangkat hukumnya, bahkan sebisa mungkin mereka menghindari berurusan dengan hal-hal tersebut. Empat faktor yang menyebabkan permasalahan dalam penegakan hukum di Indonesia. Pertama, campur tangan politik. Kasus-kasus hukum di Indonesia banyak yang terhambat karena adanya campur tangan politik di dalamnya. Saat ini, kasuskasus besar dan berdimensi struktural setidaknya melibatkan partai politik penguasa negara ini. Kedua, peraturan perundangan yang berpihak kepada kepentingan penguasa dibandingkan kepentingan rakyat. Ketiga, rendahnya integritas moral, kredibilitas, profesionalitas, dan kesadaran hukum aparat penegak hukum. Moral beberapa aparat penegak hukum di Indonesia bisa dikatakan sangat rendah. Mereka dapat dengan mudahnya disuap oleh para tersangka agar mereka bisa terbebas atau paling tidak mendapat hukuman yang rendah dari kasus hukum yang mereka hadapi. Padahal, para aparat ini telah disumpah saat ia memangkuh jabatannya sebagai penegak hukum. Keempat, kedewasaan berpolitik. Berbagai sikap yang diperlihatkan 12
Bambang Sugionao dan Ahmad Husni, Supremasi Hukum dan Demokrasi, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2007, hlm. 72. 13 Padmo Wahjono, Masalah ketatanegagaan Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 157.
5
oleh partai politik saat kadernya terkena kasus poltik sesungguhnya memperlihatkan ketidak dewasaan para elit politik di negara hukum ini. Founding fathers negara ini telah mencita-citakan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat) bukan kekuasaan (machtsstaat). UndangUndang Dasar 1945 pun telah menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.14 Sebagai konsekuensi dari negara hukum, maka negara Indonesia harus menjunjung tinggi supremasi hukum berasaskan prinsip dasar dari negara hokum, yaitu equality before the law, yang artinya setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum. Sebagai suatu negara hukum, maka sudah selayaknya segala sesuatu yang dijalankan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat harus berada dalam koridor hokum. Artinya, dalam kehidupan masyarakat mutlak diperlukan hukum untuk mengatur hubungan antara warga masyarakat dan hubungan antara masyarakat dengan negara. Berkaitan dengan hal tersebut, Satjipto Raharjo,15 mengemukakan bahwa dalam setiap masyarakat harus ada hukum yang mengatur perilaku-perilaku dan tata kehidupan anggota masyarakat. Untuk adanya tata hukum dalam masyarakat diperlukan tiga komponen kegiatan, yaitu: pembuatan norma-norma hukum, pelaksana norma-norma hukum tersebut, dan penyelesaian sengketa yang timbul dalam suasana tertib hukum tersebut. Apabila melihati kehidupan masyarakat di Indonesia saat ini telah banyak peraturan-peraturan yang dikeluarkan untuk menjaga kelangsungan hidup bernegara dan bermasyarakat. Dikeluarkannya berbagai peraturan menggambarkan adanya norma-norma hukum yang diciptakan untuk mengatur hak dan kewajiban dari negara dan masyarakat. Pelaksanaan dari berbagai peraturan yang mengandung norma-norma hukum tersebut pada dasarnya merupakan bagian dari penegakan hukum karena penegakan hukum merupakan suatu upaya untuk menjaga agar hukum harus ditaati. Pelanggaran atau penyimpangan dari hukum yang berlaku akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang diatur dalam hukum. Dalam hal inilah hukum pidana digunakan. Dengan demikian, penegakan hukum dengan menggunakan perangkat hukum pidana juga merupakan upaya untuk memberantas kejahatan. Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa sistem hukum (legal system) ialah satu kesatuan hukum yang terdiri dari tiga unsur yakni struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum.16 Secara sederhana, struktur hukum berkaitan dengan lembaga-lembaga atau institusi-institusi pelaksana hukum atau dapat dikatakan sebagai aparat penegakan hukum. Dalam hal hukum pidana, maka lembaga yang bertugas melaksanakannya terwujud dalam suatu sistem peradilan pidana (criminal justice system), yang pada hakikatnya merupakan sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana yang terdiri atas kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan serta kekuasaan pelaksanaan putusan/pidana oleh badan/aparat pelaksana/eksekusi.17 Dalam proses penegakan hukum pidana, unsurunsur tersebut terwujud dalam lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan.
14
Lihat Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, sebelum dilakukan amandemen terhadap UUD 1945, konstitusi kita memiliki Penjelasan yang menyebutkan bahwa Negara indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat), namun setelah amandemen dilakukan Penjelasan tersebut ditiadakan dan bukan lagi menjadi bagian dari konstitusi. 15 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 102. 16 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2001), hlm. 28. 17 Satjipto Rahardjo, Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, (Jakarta: Rajawali, 1986), hlm. 27.
6
Substansi hukum merupakan keseluruhan asas-hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan, dalam hal substansi hukum pidana di Indonesia, maka induk perundangundangan pidana materil adalah Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan induk perundang-undangan pidana formil (hukum acaranya) adalah Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Unsur ketiga dalam sistem hukum ialah kultur hukum, yakni kebiasaan atau budaya masyarakat yang menyertai dalam penegakan hukum. Kultur hukum tersebut berada pada masyarakat maupun pada aparat penegak hukum. Pada prinsipnya, kultur hukum suatu bangsa sebanding dengan kemajuan yang dicapai oleh bangsa bersangkutan, karena hukum suatu bangsa sesungguhnya merupakan pencerminan kehidupan sosial bangsa yang bersangkutan.18 Lawrence M. Friedman mengibaratkan sistem hukum itu seperti pabrik, dimana struktur hukum adalah mesin, substansi hukum adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu, dan kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. Dalam sebuah sistem hukum, aspek penegakan hukum (law enforcement) merupakan pusat aktivitas dalam kehidupan berhukum. Penegakan hukum dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan maupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or conflicts resolution). sedang dalam arti sempit, penegakan hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya yang lebih sempit lagi melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara, dan badan-badan peradilan.19 Penegakan hukum harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat. Di samping itu, masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa apa yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosofis), belum tentu berguna bagi masyarakat.20 Dalam kondisi yang demikian ini menurut Jimly Asshiddiqie,21 masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan apakah hukum itu adil atau tidak. Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan.22 Adil bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain. 18
Jimly Asshiddiqie, Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia, Makalah, Disampaikan pada acara Seminar Menyoal Moral Penegak Hukum, Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 17 Februari 2006. 19 Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum yang Menjamin Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan Masyarakat, Suatu Sumbangan Pemikiran. Lihat http://jimly.com/pemikiran/makalah?page=3. 20 21
Ibid. Ibid.
22 Sudikno Mertokusumo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, (Yoyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 2.
7
Berdasarkan anggapan tersebut, Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa hukum tidak dapat ditekankan pada suatu nilai tertentu saja, tetapi harus berisikan berbagai nilai. Radbruch mengatakan bahwa hukum itu harus memenuhi berbagai karya disebut sebagai nilai dasar dari hukum. Nilai dasar hukum tersebut ialah keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum.23 Meskipun ketiga-tiganya itu merupakan nilai dasar dari hukum, namun di antara terdapat suatu spannungsverhaltnis (ketegangan), karena di antara ketiga nilai dasar hukum tersebut masing-masing mempunyai tuntutan yang berbeda satu sama lainnya, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan. Untuk itulah proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum diharapkan mampu menjembatani nilai-nilai dasar tersebut. Tidak salah Taverne pernah mengatakan, Geef
me goede Rechters, goede Rechters Commissarissen, goede Officieren Van Justitie en goede Politie Ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek van strafprocesrecht goed bereiken, artinya Berikan saya hakim yang baik, hakim pengawas yang baik, jaksa yang baik, dan polisi yang baik, maka penegakan hukum akan berjalan walaupun dengan hukum pidana yang buruk. Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Kejaksaan sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan. Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan.24 Semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan (en een ondelbaar). Mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta sebagai pelaksana penetapan dan putusan pengadilan. Dengan begitu Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus/perkara dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Selain melakukan penuntutan Kejaksaan juga melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (executive ambtenaar). Kejaksaan juga memiliki tugas dan wewenang dalam bidang pidana lainnya, yakni: melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; dan melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.25
23 24 25
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 21. Lihat Pasal 3 Undang-Undang tentang Kejaksaan. Lihat Pasal 2 Ayat (3) Undang-Undang tentang Kejaksaan.
8
Dalam bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.26 Adapun yang dapat dilakukan jaksa dalam bidang ini, antara lain melakukan penegakan hukum; bantuan hukum sebagai jaksa pengacara negara; melakukan pelayanan hukum kepada masyarakat; memberikan pertimbangan hukum kepada lembaga pemerintah; dan melakukan tindakan hukum lain. Sedang dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan peningkatan kesadaran hukum masyarakat; pengamanan kebijakan penegakan hukum; pengawasan peredaran barang cetakan; pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.27 Dalam Pasal 1 butir 1 undang-undang kejaksaan menyebutkan bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Sedangkan Pasal 1 butir 2 menyebutkan bahwa Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Hal tersebut juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni dalam Pasal 1 butir 6 huruf a dan b Jo. Pasal 13. Dengan demikian, jelas penuntut umum sudah pasti adalah seorang jaksa, sedangkan jaksa belum tentu seorang penuntut umum. Bila melihat uraian di atas, dapat dikatakan bahwa peran jaksa selaku penuntut umum dalam penegakan hukum tentu berada dalam koridor tindakan penuntutan.28 Dalam rangka persiapan tindakan penuntutan atau tahap pra penuntutan, bisa diperinci mengenai tugas dan wewenang dari Jaksa Penuntut Umum. Pertama, berdasarkan Pasal 109 ayat (1) KUHAP, jaksa menerima pemberitahuan dari penyidik atau penyidik PNS dan penyidik pembantu dalam hal telah dimulai penyidikan atas suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana yang biasa disebut dengan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan). Kedua, berdasarkan Pasal 110 ayat (1) KUHAP, penyidik dalam hal telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara pada penuntut umum. Selanjutnya apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 138 ayat (1) KUHAP penuntut umum segera mempelajari dan meneliti berkas perkara, yakni: mempelajari apakah tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka telah memenuhi unsur-unsur dan telah memenuhi syarat pembuktian. Jadi yang diperiksa ialah materi perkaranya dan meneliti apakah semua persyaratan formal telah dipenuhi oleh penyidik dalam membuat berkas perkara, yang antara lain perihal identitas tersangka, locus dan tempus tindak pidana dan kelengkapan administrasi semua tindakan yang dilakukan oleh penyidik pada saat penyidikan. Ketiga, mengadakan prapenuntutan sesuai Pasal 14 huruf b KUHAP dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 Ayat (3) dan (4) serta ketentuan Pasal 138 Ayat (1) dan (2) KUHAP. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan kurang lengkap (P-18), penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi (P-19). Dalam hal ini penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sebagaimana petunjuk penuntut umum tersebut sesuai Pasal 110 Ayat (2) dan (3) KUHAP.
26 27 28
Lihat Pasal 3 Undang-Undang tentang Kejaksaan. Lihat Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang tentang Kejaksaan. Lihat Pasal 3 Undang-Undang tentang Kejaksaan.
9
Keempat, bila berkas perkara telah dilengkapi sebagaimana petunjuk, maka menurut ketentuan Pasal 139 KUHAP, penuntut umum segera menentukan sikap apakah suatu berkas perkara tersebut telah memenuhi persyaratan atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan (P-21). Kelima, mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku penuntut umum sesuai Pasal 14 huruf I KUHAP. Menurut penjelasan pasal tersebut, maksud tindakan lain ialah meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan melihat secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum dan pengadilan. Keenam, berdasarkan Pasal 140 Ayat (1) KUHAP, penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyelidikan dapat dilakukan penuntutan, maka penuntutan umum secepatnya membuat surat dakwaan untuk segera melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan untuk diadili. Ketujuh, berdasarkan Pasal 8 Ayat (3) huruf b KUHAP, penuntut umum menerima penyerahan tanggung jawab atas berkas perkara, tersangka serta barang bukti. Proses serah terima tanggung jawab tersangka sering disebut Tahap 2. Di dalamnya penuntut umum melakukan pemeriksaan terhadap tersangka baik identitas maupun tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka. Penuntut umum dapat melakukan penahanan/penahanan lanjutan terhadap tersangka sebagaimana Pasal 20 ayat (2) KUHAP dan dapat pula melakukan penangguhan penahanan serta dapat mencabutnya kembali. Jaksa Penuntut Umum memiliki tugas dan wewenang dalam poses penuntutan. Pertama, berdasarkan Pasal 143 Ayat (1) KUHAP, penuntut umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.29 Kedua, melakukan pembuktian30 atas surat dakwaan yang dibuat, yakni dengan alat bukti yang sah sebagaimana Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dalam hal itu penuntut umum berkewajiban menghadirkan terdakwa berikut saksi-saksi, ahli serta barang bukti di depan persidangan untuk dilakukan pemeriksaan. Ketiga, berdasarkan Pasal 182 Ayat (1) huruf a, setelah pemeriksaan dinyatakan selesai penuntut umum mengajukan tuntutan pidana, meskipun sebenarnya yang lebih tepat yang diajukan adalah tuntutan31 (requisitoir), karena tidak menutup peluang selain dari tuntutan pidana atas diri terdakwa, penuntut umum dapat menuntut bebas diri terdakwa. Keempat, bila atas tuntutan terhadap terdakwa dan berdasarkan alat bukti yang sah majelis hakim berkeyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya,32 maka majelis hakim menjatuhkan putusan, dimana bila terdakwa dan penuntut umum kemudian menerima, putusan tersebut kemudian berkekuatan hukum tetap (inkracht), maka berdasarkan Pasal 270 KUHAP, jaksa melaksanakan putusan (eksekusi) tersebut. Kelima, terkait poin d tersebut, apabila terdakwa maupun penuntut umum tidak menerima putusan tersebut, maka terdakwa ataupun penuntut umum dapat melakukan upaya hukum banding berdasarkan Pasal 233 KUHAP, dan/atau upaya hukum kasasi berdasarkan Pasal 244 KUHAP. Keenam, berdasarkan Pasal 140 Ayat (2) KUHAP, penuntut umum dapat memutuskan untuk menghentikan penuntutan dengan mengelarkan SKPP (Surat Ketetapan Peghentian Penuntutan) karena alasan perkara tersebut tidak cukup bukti, peristiwanya bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, SKPP diberitahukan kepada tersangka dan apabila ditahan tersangka harus segera dikeluarkan. Turunan surat tersebut wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarganya, penasehat hukum, pejabat RUTAN, penyidik dan hakim. 29 30 31 32
Lihat Lihat Lihat Lihat
Pasal Pasal Pasal Pasal
3 Undang-Undang tentang Kejaksaan 2 Ayat (3) Undang-Undang tentang Kejaksaan. 30 Ayat (1) Undang-Undang tentang Kejaksaan. 30 Ayat (2) Undang-Undang tentang Kejaksaan.
10
Bila kemudian ditemukan alasan baru, penuntut umum dapat menuntut tersangka, alasan baru tersebut adalah novum (bukti baru). Selain tindakan-tindakan tersebut, Jaksa Agung secara khusus mempunyai tugas dan wewenang menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan, mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang, mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, dan mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara. Mencermati uraian di atas, maka semua tindakan-tindakan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum baik dalam proses pra penuntutan maupun penuntutan sesungguhnya dilakukan atas dasar keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, penegakan hukum demi keadilan tersebut mencakup adil bagi terdakwa, adil bagi masyarakat yang terkena dampak akibat perbuatan terdakwa dan adil di mata hokum. Apa yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum dalam rangka penegakan hukum adalah untuk mencapai tujuan hukum yakni kepastian hukum, menjembatani rasa keadilan dan kemanfaatan hukum bagi para pencari keadilan. Pengaturan Narkotika dari Waktu ke Waktu Di dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 dijelaskan bahwa Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.33 Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tindak pidana narkotika ialah perbuatan yang dilarang oleh hukum berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009. Dengan kata lain, penyalahgunaan terhadap narkotika pelakunya dapat diberi sanksi atau hukuman berdasarkan hukum pidana. Bentuk-bentuk tindak pidana narkotika adalah34 (1) Penyalahgunaan Narkotika Golongan I (ganja, opium, kokain, heroin, shabu2, dan ekstasi); (2) Penyalahgunaan Narkotika Golongan II (morfin, metadona, dan petidina); (3) Penyalahgunaan Narkotika Golongan III (kodeina dan propiram); (4) Orang tua/wali dari pecandu yang belum cukup umur sengaja tidak melapor dipidana; (5) Penyalahgunaan prekursor (zat/bahan pembuat narkotika) dipidana; (6) Narkotika dengan pelaku korporasi; (7) Dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika; (8) Percobaan/pemufakatan jahat tindak piana Narkotika dipidana; (9) membantu melakukan tindak pidana Narkotika dipidana; (10) Keluarga dan pecandu yg belum cukup umur sengaja tidak melapor dipidana; (11) Pengurus industri farmasi yang tidak melabel/publikasi sesuai ketentaun dipidana; (12) Orang yang menghalang-halangi, mempersulit penyidikan, penuntutan tindak pidana narkotika dipidana; (13) Nahkoda/kapten penerbang yang tidak memenuhi standar dalam memuat narkotika dipidana; (14) Penyidik, PPNS yang tidak memenuhi standar penyitaan dipidana; (15) Kepala Kejaksaan Negeri yg tidak membuat penetapan status barang sitaan dipidana; (16) Petugas labolatorium yang memalsukan hasil pengujian dipidana; (17) Saksi yang memberikan keterangan tidak benar dipidana; (18) Recedivis (3 tahun mengulangi) pidana maksimum ditambah 1/3 hukuman; (19) WNA yg melakukan tindak pidana dilakukan pengusiran dan dilarang kembali ke Indonesia; dan (20) Pimpinan Rumah Sakit, Puskesmas, Balai Pengobatan,
33
AR. Sujono dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-undang ….. Op. Cit., hlm. 63.
34
Ibid., hlm. 211.
11
Industri Farmasi, Apotek, pimpinan lembaga Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang mengedarkan/menggunakan tidak sesuai ketentuan. Sanksi terhadap tindak pidana narkotika telah ditentukan dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jenis sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelaku tindak pidana narkotika meliputi piana pokok, pidana tambahan, serta tindakan pengusiran. Pidana pokok meliputi pidana mati, seumur hidup, penjara dalam waktu tertentu, kurungan dan denda. Pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu.35 Narkotika dalam pengertian opium telah dikenal dan dipergunakan masyarakat Indonesia khususnya warga Tionghoa dan sejumlah besar orang Jawa sejak tahun 1617.36 Selanjutnya diketahui mulai tahun 1960-an terdapat sejumlah kecil kelompok penyalahguna heroin dan kokain. Pada awal 1970-an mulai muncul penyalahgunaan narkotika dengan cara menyuntik. Orang yang menyuntik disebut morfinis. Sepanjang tahun 1970-an sampai tahun 1990-an sebagian besar penyalahguna kemungkinan memakai kombinasi berbagai jenis narkoba (polydrug user), dan pada tahun 1990-an heroin sangat populer dikalangan penyalahguna narkotika. Peraturan perundang-undangan yang mengatur narkotika di Indonesia sebenarnya telah ada sejak berlakunya Ordonasi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1972). Ordonansi ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 26 Juli 1976. Selanjutnya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 1 September 1997.37 Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 didahului dengan keluarnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988 (Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika Dan Psikotropika 1988). Keberadaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mempunyai tiga tujuan. Pertama, menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau pengembangan ilmu pengetahuan. Kedua, mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika. Ketiga, memberantas peredaran gelap narkotika. Terdapat pula berbagai peraturan perundang-undangan lain yang mendukung, seperti Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional, Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2002 tentang Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika, Prekusor, dan Zat Adiktif lainnya. Di samping itu, berkaitan dengan upaya memberikan perlindungan dan peredaran gelap narkotika, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan adanya perlindungan khusus bagi anak menjadi korban penyalahguna narkotika.38 Semakin seriusnya kejahatan yang berhubungan dengan narkoba, membuat pemerintah dalam hal ini Presiden Republik mengeluarkan kembali Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2002 tentang Penanggulangan Penyalahgunaan Dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika, Prekusor, Dan Zat Adiktif Lainnya.39
35
Ibid., hlm. 259.
36
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal PPM dan PL, Pedoman Pengembangan Kebijakan dan Program Pencegahan Penularan HIV diantara Para Pengguna Napza Suntik, Jakarta, 2003, hlm. 1. 37 Dani Krisnawati, Dkk, Bunga Rampai Pidana Khusus, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hlm. 82. 38 Ibid., hlm. 83 39 AR. Sujono dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-undang ….. Op.Cit., hlm. 45.
12
Sehubungan dengan semakin kompleksnya kejahatan/tindak pidana narkotika dan obat-obat terlarang dan berbagai pengaruhnya yang semakin merasuk ke dalam berbagai sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, akhirnya dengan kemauan politik yang sungguh sehubungan dengan penal law reform guna menaggulangi kejahatan yang berhubungan dengan narkotika, maka pemerintah Republik Indonesia menerbitkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 yang diundangkan tanggal 12 Oktober 2009. Terdapat lima dasar pertimbangan diterbitkannya undang-undang tersebut.40 Pertama, untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata meteriil dan speritual berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya. Kedua, untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat serta melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika. Ketiga, narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama. Keempat, mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan atau menggunakan narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan tindak pidana narkotika karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehiupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia. Kelima, tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara sehingga Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Narkotika di Kejaksaan Negeri Tembilahan Kejaksaan Negeri Tembilahan melaksanakan penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika dengan melakukan upaya preventif dan reprensif. Pertama, upaya preventif. Penegakan hukum yang dilakukan untuk mencegah terjadinya suatu tindak pidana. Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang terhadap tindak pidana narkotika dari segi preventif sesuai dengan Pasal 30 Ayat (3) huruf a pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan peningkatan kesadaran hukum masyarakat; pengamanan kebijakan penegakan hukum; pengamanan peredaran barang cetakan; pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama; dan penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. 40
Ibid., hlm. 46.
13
Berdasarkan isi Pasal 30 Ayat (3) huruf a yang merupakan dasar hukum bagi Kejaksaan Negeri Tembilahan melakukan tugas preventif terhadap tindak pidana narkotika, yaitu dengan cara melakukan penyuluhan-penyuluhan hukum mengenai bahaya penyalahgunaan narkotika untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dan dapat menghindari dan melindungi keluarga dan masyarakat sekitar terhadap bahaya penyalahgunaan narkotika. Penyuluhan tersebut dilaksanakan oleh Kejaaksaan Negeri Tembilahan melalui bidang intelijen setiap tiga bulan sekali. Setakat ini Kejaksaan Negeri Tembilahan telah melakukan penyuluhan hukum di beberapa kecamatan yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir dengan mengundang peserta penyuluhan dari kalangan pelajar. Hal tersebut dilakukan mengingat pelajar merupakan salah satu generasi penerus yang akan mewujudkan cita-cita bangsa khususnya di Kabupaten Indragiri Hilir. Kejaksaan Negeri Tembilahan juga telah melakukan kerja sama dengan pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Indragiri Hilir untuk melaksanakan penyuluhan-penyuluhan tersebut. Kedua, upaya represif. Penegakan hukum yang dilakukan untuk menangani suatu tindak pidana yang telah terjadi. Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang terhadap tindak pidana narkotika dari segi represif, yaitu pada tahap pra penuntutan dan penuntutan. Jaksa dapat melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana narkotika setelah adanya laporan dari pihak kepolisian. Tahap-tahap pelaksanaan tugas represif tersebut adalah pertama, tahap penerimaan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP). Setelah diterimanya surat perintah dimulainya penyidikan dari pihak kepolisian, maka Kepala Kejaksaan segera menerbitkan surat perintah penunjukan jaksa penuntut umum untuk mengikuti perkembangan penyidikan perkara tindak pidana dengan kode surat P.16, setelah ditunjuknya jaksa penuntut umum atas suatu perkara tindak pidana dan sebelum habisnya masa tahanan pada tahap penyidikan, maka penyidik meminta perpanjangan penahanan dari Kepala Kejaksaan Negeri setelah itu diterbitkanlah surat perpanjangan penahanan dengan kode surat T.4. Kedua, tahap penerimaan berkas, pada tahap ini jaksa melakukan pra penuntutan dengan cara meneliti berkas perkara yang dikirim oleh penyidik apabila ada kekurangan pada penyidikaan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 Ayat (3) dan Ayat (4) di mana penelitian berkas diberikan waktu selama 14 hari, dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik dengan menerbitkan surat pemberitahuan hasil penyidikan belum lengkap dengan kode surat P18 dan pengembalian berkas perkara untuk dilengkapi dengan kode surat P-19. Setelah berkas perkara dilengkapi oleh penyidik maka jaksa penuntut umum dapat menerbitkan surat pemberitahuan hasil penyidikan sudah lengkap dengan kode surat P21, setelah diterbitkannya P-21 maka penyidik dapat melakukan pelimpahan tersangka dan barang bukti kepada Jaksa Penuntut umum. Ketiga, Jaksa Penuntut Umum dapat melakukan penahanan, memberikan perpanjangan penahanan lanjutan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik (penahanan untuk orang dewasa selama 20 hari dan dapat diperpanjang 40 hari, sedangkan penahanan untuk anak-anak selama 20 hari dan dapat ditambah 10 hari). Keempat, Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan. 5. Jaksa Penuntut Umum melimpahkan perkara ke pengadilan agar segera diterbitkan surat penetapan hari sidang. 6. Jaksa Penuntut Umum dapat menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan-ketentuan hari dan waktu perkara sidang. Sidang I: Pembacaan surat dakwaan; Sidang II: Eksepsi (jika ada); SidangIII: Tanggapan JPU (jika ada); Sidang IV: Putusan Sela (jika ada); Sidang V: Keterangan Saksi-saksi; Sidang VI: Keterangan Terdakwa; Sidang VII: pembacaan Tuntutan; Sidang VII: Pembelaan
14
(jika ada); Sidang VIII: Replik (jika ada); Sidang VIII: Putusan; dan Melaksanakan putusan hakim. Pada umumnya proses penanganan perkara tindak pidana narkotika pada tahap prapenuntutan dan penuntutan di Kejaksaan Negeri Tembilahan tidak jauh berbeda dengan penanganan perkara tindak pidana lainnya. Hanya saja yang membedakannya, yaitu perkara tindak pidana narkotika merupakan salah satu perkara penting yang harus benar-benar diperhatikan oleh Jaksa Penuntut Umum baik pada tahap pra penuntutan maupun pada tahap penuntutan. Pada tahap pra penuntutan perkara tindak pidana narkotika, Jaksa Penuntut Umum melakukan penelitian terhadap berkas perkara yang dilimpahkan oleh penyidik. Jaksa Penuntut Umum harus memperhatikan beberapa hal. Pertama, unsur pasal yang disangkakan oleh penyidik sudah tepat atau belum. Kedua, memperhatikan bobot dari barang bukti, berdasarkan bobot barang bukti tersebut Jaksa Penuntut Umum dapat menentukan berat dan ringannya suatu tuntutan dengan membuat rencana tuntutan terhadap pelaku tindak pidana narkotika jaksa penuntut umum berpedoman pada Surat Edaran Jaksa Agung yang pada isinya menentukan pada barang bukti dengan bobot tertentu harus di ajukan kepada Jaksa Agung, Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan Negeri. Ketiga, memperhatikan alat bukti yang ada pada perkara tindak pidana narkotika yaitu keterangan saksi (saksi yang ada pada tindak pidana narkotika rata-rata berasal dari saksi penangkap yang berasal dari pihak kepolisian). Keempat, alat bukti tertulis berupa hasil uji laboratorium terhadap barang bukti narkotika dan hasil tes urin pelaku tindak pidana narkotika. Kelima, memperhatikan pelaku apakah pelaku tersebut termasuk residivis atau tidak. Pada surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap tindak pidana narkotika tidak pernah menggunakan dakwaan tunggal, dimana hanya menggunakan satu pasal untuk menjerat perbuatan pelaku tundak pidana narkotika, tetapi Jaksa Penuntut Umum selalu membuat surat dakwaan dengan pasal yang berlapis. Hal tersebut dilakukan agar pelaku tindak pidana narkotika tidak dapat lepas dari segala perbuatannya. Jaksa Penuntut Umum selalu berhati-hati untuk mencermati tindak pidana narkotika yang ditanganinya. Ini dapat dilihat dari pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum selalu berlalpis. Hal tersebut dikarenakan tindak pidana narkotika berbeda dengan tindak pidana lainnya. Selain memperhatikan tolak ukur berat atau ringannya tuntutan yang akan diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, maka Jaksa Penuntut Umum juga harus memperhatikan alat bukti surat dan keterangan saksi-saksi. Saksi-saksi yang ada pada tindak pidana narkotika biasanya kebanyakan saksi penangkap yang berasal dari kepolisian, sementara alat bukti media elektronik sesuai Pasal 86 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sangat sulit untuk dibuktikan meskipun handphone pelaku tindak pidana narkotika telah disita untuk dijadikan barang bukti. Sehubungan semakin kompleksnya kejahatan atau tindak pidana narkotika dan obat-obatan terlarang dengan berbagai pengaruhnya yang terjadi di dalam berbagai sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara sesuai dengan penal law reform (mengarah pembaharuan hukum pidana) Pemerintah telah menerbitkan UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 bahwa tujuan dari undang-undang adalah untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa indonesia dari penyalahgunaan narkotika; memberantas
15
peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika; menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial, bagi penyalahguna dan pecandu narkotika. Penutup Penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai Narkota (Narkotika dan Bahan Obat Berbahaya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara kompherehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif dan berkesinambungan, konsekuen dan konsisten. Kejaksaan yang melalui Jaksa Penuntut Umum merupakan salah satu aparat penegak hukum yang mempunyai peranan penting terhadap kasus tindak pidana narkotika dalam hal penuntutan dan melakukan kegiatan peningkatan kesadaran hukum masyarakat dengan cara mensosialisasikan Undang-undang narkotika terbaru (Undangundang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika). Upaya dalam penegakan hukum dapat dilakukan melalui upaya preventif dan upaya refresif sehingga upaya ini diharapkan mampu menekan terjadinya penyalahgunaan narkotika yang berefek terjadinya tindak pidana. Daftar Pustaka AR. Sujono dan Bony Daniel. 2011. Komentar dan Pembahasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta: Sinar Grafika. Bambang Sugionao dan Ahmad Husni, Supremasi Hukum dan Demokrasi, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2007. Barda Nawawi Arief. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Citra Adtya Bakti. Dani Krisnawati, Dkk. 2006. Bunga Rampai Pidana Khusus. Jakarta: Pena Pundi Aksara. Jimly Asshiddiqie, Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia, Makalah, Disampaikan pada acara Seminar Menyoal Moral Penegak Hukum, Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 17 Februari 2006. Padmo Wahjono. 1985. Masalah ketatanegagaan Indonesia Dewasa Ini. Jakarta: Ghalia Indonesia. Satjipto Rahardjo. 1009. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta: Genta Publishing. ______________. 1979. Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung: Alumni. ______________. 1986. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni. ______________. 1986. Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional. Jakarta: Rajawali. Soerjono Soekanto. 2008. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: RajaGrafindo. Sudikno Mertokusumo. 1993. Bab-bab tentang Penemuan Hukum. Yoyakarta: Citra Aditya Bakti.
16