TINDAK PIDANA GRATIFIKASI PADA PEMBERIAN DANA BIAYA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH OLEH PEMERINTAH KOTA SURABAYA KEPADA KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SURABAYA SKRIPSI
OLEH : I KOMANG SATRIA ANGGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2014
TINDAK PIDANA GRATIFIKASI PADA PEMBERIAN DANA BIAYA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH OLEH PEMERINTAH KOTA SURABAYA KEPADA KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SURABAYA
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Sutabaya
OLEH :
I KOMANG SATRIA ANGGARA NPM : 11120040
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2014
2
TINDAK PIDANA GRATIFIKASI PADA PEMBERIAN DANA BIAYA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH OLEH PEMERINTAH KOTA SURABAYA KEPADA KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SURABAYA
NAMA
: I KOMANG SATRIA ANGGARA
NPM
: 11120040
JURUSAN
: ILMU HUKUM
FAKULTAS
: HUKUM
DI SETUJUI dan DI TERIMA OLEH: PEMBIMBING
Andy Usmina Wijaya, S.H., M.H
3
Telah diterima dan Disetujui Oleh Tim Penguji Skripsi serta dinyatakan LULUS. Dengan demikian skripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi
syarat-syarat
mencapai gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
Surabaya, 29 Maret 2014
1. Ketua
: Tri Wahyu Andayani., S.H., C.N., M.H. ( Dekan )
2. Sekretaris
: Andy Usmina Wijaya., S.H., M.H.
(
)
(
)
( Pembimbing ) 3. Anggota
: 1.Dr. H. Taufiqurrahman., S.H., M.Hum (
)
( Dosen Penguji I)
2. H. Arief Syahrul Alam., S.H., M.Hum
(
)
(Dosem Penguji II)
4
Motto Succes Is Alway Accompanied With Failure
“Kesuksesan Selalu Disetai Dengan Kegagagalan”
to get a success, your courage must be greater than yaour fear “ untuk mendapatkan kesuksesan, keberanianmu harus lebih besar daripada ketakutanmu"
5
6
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sehingga, penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul: “TINDAK
PIDANA
GRATIFIKASI
PADA
PEMBERIAN
DANA
BIAYA
PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH OLEH PEMERINTAH KOTA SURABAYA KEPADA KETUA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA
SURABAYA ” untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Tugas Akhir
Sarjana Strata-1 Di Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. Skripsi ini, tidak akan penulis selesaikan tanpa adanya bantuan dan dorongan dari semua pihak yang penuh keikhlasan serta ketulusan baik moril maupun spiritual, waktu, tenaga, dan pikiran. Oleh karena itu, penulis mempersembahkan sebagai “kado” dan mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Kedua orang tua Papa dan Mama serta kakak-kakak ku, semuanya telah memberikan semangat penuh baik moril maupun spiritual yang tak terhingga nilainya. 2. Bapak Budi Endarto., S.H., M.Hum. Selaku Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya. 3. Bapak Dr. H. Taufiqurrahman., S.H., M.Hum. Selaku Wakil Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya dan selaku Dosen Pembina PLKH. 4. Bapak Andy Usmina., S.H.,M.H.,Selaku Dosen Pembimbing Skripsi penulis. i
0
5. Ibu Tri Wahyu Andayani., S.H., C.N., M.H. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. 6. Bapak Andy Usmina Wijaya., S.H., M.H. Selaku Kepala Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. 7. Bapak H. Mulus Sugiarto., S.Sos., M.Si. Selaku Kepala Biro Kemahasiswaan Universitas Wijaya Putra Surabaya. 8. Bapak/Ibu Dosen Penguji skripsi penulis. 9. Sobat-sobat ku universitas wijaya putra surabaya fakultas hukum khususnya Yuda Permadi Kusuma Dinata, Sukmawati Siswo Putri. 10. Para Bapak/Ibu Dosen Universitas Wijaya Putra Surabaya. 11. Para Staf dan Karyawan Universitas Wijaya Putra Surabaya Semoga segala amal perbuatan dan amal ibadah yang diberikan kepada penulis. Senantiasa mendapatkan berkah, pahala dan kebaikan yang
berlipat
ganda
dari
Tuhan
Yang
Maha
Esa
Amiiiiiiiiiiiinnnnn,,,,,,,,,!!!!!!!!. Penulis menyadari sepenuhnya dalam penyusunan skripsi ini dalam rangka memenuhi Ujian Tugas Akhir. Jauh dari kesempurnaan masih memiliki banyak kekurangan baik dari segi materi maupun dari segi penyusunannya. Mengingat keterbatasan wawasan dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan penulis sangat mengharapkan saran, kritik, tanggapan, serta masukan untuk penyempurnaan penulisan skripsi.
ii
1
Dengan demikian, skripsi ini diharapkan akan memberikan nilai tambah dan manfaat yang besar bagi semua pihak untuk menambah Khasanah, wawasan, dan pengetahuan luas di dunia pendidikan Indonesia dimasa depan.
Surabaya, 29 Maret 2014 Terima Kasih
PENULIS
iii
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 6 1.3 Penjelasan Judul .............................................................................................. 7 1.4 Alasan Pemilihan Judul .................................................................................. 8 1.5 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 9 1.6 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 9 1.7 Metode Penelitian ........................................................................................... 10 1.8 Sistematika Pertanggungjawaban .............................................................. 14 BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA GRATIFIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI .................................................. 15 2.1 Dasar Hukum Tindak Pidana Gratifikasi Di Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pindana Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi................................................................................................ 15 2.1 Pengaturan Dana Pemungutan Pajak Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Dan Retribusi Daerah ..................... 28 BAB III PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA GRATIFIKASI PADA PEMEBERIAN DANA PUNGUTAN PAJAK DAERAH OLEH PEMERINTAH KOTA SURABAYA KEPADA KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KOTA SURABAYA....................................................................................................... 39 3.1 Urgensi Penegakan Hukum Di Indonesia ................................................. 39 3.2 Penegakan Hukum Tindak Pidana Gratifikasi Pemberian Dana Pungutan Pajak Oleh Pemerintah Kota Surabaya Kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Surabaya ................................. 43 BAB IV PENUTUP .................................................................................................... 55
iv
3
4.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 55 4.2 Saran ................................................................................................................. 56 DAFTAR BACAAN ................................................................................................... 57
v
4
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Tindak Pidana Korupsi saat ini merupakan suatu kejahatan luar biasa yang perlu di perangi oleh berbagai belahan negara di dunia. Kejahatan korupsi sebagai penyebab terpuruknya negara dan menyebabkan krisis multi dimensi, semua elemen bangsa sepakat memerangi korupsi. Hal ini, dapat dilihat dengan adanya lembaga yang bertugas untuk memberantas korupsi yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat yang wewenangnya mengawasi, menindak, menyidik, dan menjatuhkan sanksi bagi para pelaku tindak pidana korupsi. Suatu lembaga atau pejabat publik yang kemungkinan melakukan tindak pidana korupsi. Secara terminologi korupsi merupakan suatu kejahatan tindak pidana yang dapat merugikan uang negara untuk memperkaya baik dirinya sendiri maupun kerabat keluarga atau saudaranya, pengertian kata korupsi dikemukakan oleh para ahli hukum atau dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), seseorang yang bukan berlatar belakang sebagai ahli hukum atau ahli bahasa akan mendapatkan jawaban yang berbeda namun mempunyai arti dan makna yang sama yaitu merugikan negara juga masyarakat dan merupakan suatu tindak kejahatan.1 Tindakan korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal uang sifatnya kompleks. Faktor-faktor 1
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik, Dan Masalahnya, Alumni Bandung , 2007, H.1.
1
penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi yang disebut koruptor, tetapi bisa juga berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi atau lingkungan yang memaksa seseorang yang mempunyai kesempatan untuk melakukan tindak pidana korupsi, ada dua hal yang jelas yakni dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya) dan rangsangan dari luar dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya). Pada umumnya penyebab korupsi di Indonesia yang salah satunya adalah latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi. Masyarakat sebagai korban dari tindak pidana korupsi dan penentang korupsi ternyata secara tidak sadar telah melakukan “tekanan sosial” terhadap pejabat terutama pejabat pemerintahan, sehingga menyebabkan seorang pejabat harus melakukan sesuatu yang melanggar hukum demi menjawab tekanan sosial tersebut. Tekanan sosial terhadap seorang pejabat tersebut timbul karena adanya perilaku masyarakat yang sering bertingkah laku seperti anak manja yang sering meminta pertolongan materi kepada orang tuanya. Dalam hal ini, yang di ibaratkan sebagai orang tua adalah pejabat, kenyataan ini dapat dilihat seiring adanya masyarakat baik secara pribadi maupun mengatas namakan suatu organisasi meminta sumbangan dana baik secara langsung untuk keperluan pribadi maupun mengajukan proposal kegiatan suatu organisasi2. Adanya tindakan meminta sumbangan dana mengharuskan seorang pejabat menyediakan persiapan dana ekstra yang diambil dari kantong pribadi, sementara kebutuhan dana bagi keperluan diri sendiri dan keluarganya sudah pasti tidak 2
Ibid.
2
dapat diabaikan. Kebiasaan masyarakat meminta sumbangan dana kepada pejabat disebabkan karena adanya asumsi masyarakat bahwa semakin tinggi jabatan seseorang, maka akan semakin mudah mendapatkan rezeki berupa uang. Asumsi ini mungkin berdasarkan adanya perbedaan jumlah penghasilan yang berasal dari tunjangan jabatan yang dibedakan berdasarkan tinggi rendahnya suatu jabatan. Masyarakat berasumsi demikian disebabkan tunjangan jabatan dan penghasilan lainnya yang legal tidak melawan hukum memang tidak memang tidak pernah dipublikasikan, pemerintah mempunyai alasan tertentu untuk hal tersebut. Selain adanya asumsi masyarakat telah berkembang opini yang menganggap bahwa setiap pejabat cenderung melakukan korupsi, pungutan liar, gratifikasi atau sejenisnya untuk memperkaya diri bahkan sebagian masyarakat menganggap suatu kewajaran meskipun tetap berpendapat korupsi dan sejenisnya harus diberantas, mayarakat yang bersikap mendua tersebut biasanya dari kalangan yang didalamnya orang-orang yang berpotensi untuk menduduki suatu jabatan. Nilai-nilai di masyarakat menjadi sangat kondusif untuk terjadinya korupsi, karena korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat, misalnya masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan, selain masyarakat sering kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi. Setiap korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini, kurang disadari oleh masyarkat sendiri. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari. Tekanan sosial juga menyebabkan
3
seorang pejabat harus berprilaku dan berpenampilan berbeda dengan masyarakat terutama masyarakat menengah ke bawah. Sehingga hal ini, mengingatkan pada asas yaitu asas kepatuhan, dimana asas tersebut harusnya terkesan sebagai alat untuk meredam protes masyarakat yang didasari rasa kecemburuan sosial masyarakat dengan adanya berbagai fasilitas yang diperoleh seorang pejabat. Korupsi dewasa ini dilakukan secara bersama-sama yang dianggap sangat praktis dalam membuktikannya, karena sama-sama menolak bahkan tidak bersedia untuk memberikan tanggapan. Sebagaimana yang terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya, ketua Dewan yaitu Musyafak Rouf menerima aliran dana Rp 720.000.000,00 diberikan oleh Pemerintah Kota Surabaya secara dua tahap, yang pertama Rp 470.000.000,00 dan yang kedua Rp 250.000.000,00. Dana yang terakhir itu disebut-sebut diberiakan oleh pemerintah Kota Surabaya untuk memuluskan pengesahan APBD 2008, aliran dana tersebut akhirnya menjadi suatu permasalahan, karena dianggap sebagai hadiah sehingga dikualifikasikan tindak pidana gratifikasi. Namun, ketua DPRD Kota Surabaya tersebut menolak dan mengaku tidak bersalah, hingga penyidik dari Polisi Daerah Jawa Timur merasa kesulitan untuk mencari barang bukti. 3 Padahal anggota dewan melalui kuasa hukumnya menegaskan bahwa kliennya tidak bersalah. “Kasus ini bukan gratifikasi tapi dana yang dipermasalahkan itu dana biaya pungutan”. Biaya pemungutan menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Daerah Pemerintah Kota Surabaya Nomor 9 Tahun 2006 adalah : “biaya yang diberikan kepada aparat pelaksana pemungutan pajak daerah dan aparat penunjang dalam rangka kegiatan pemungutan”. Mengenai 3 Kapolda Mengaku Bingung Tangani Kasus Gratifikasi, JAWA POS”, Sabtu 26 April 2008, h. 33.
4
biaya pemungutan pajak ini masyarakat menyebutnya jasa pungut (japung), sebagai penyebutan yang salah. Dasar yang melandasi dana tersebut dikatakan Walikota Nomor 44 Tahun 2007. “Bahwa dewan sebagai aparat penunjang dalam rangka penarikan dana biaya pemungutan berhak mendapatkan dana tersebut”. Kuasa hukumnya berkilah bahwa dana biaya pemungutan itu diambil dari dana APBD Kota Surabaya. “Dana ini diambil dari pos PAD (Pendapatan Pajak Daerah). Dan mekanismenya sudah diatur dalam PerWali”4 Akhir-akhir ini banyak disorot tidak pidana korupsi yang terjadi karena adanya gratifikasi. Namun, pengertian gratifikasi ini masih belum jelas, sehingga banyak cara yang dilakukan oleh pegawai negeri dan pejabat untuk mendapatkan sesuatu dari pihak lain yang tidak termasuk dalam pengertian gratifikasi. Mengenai hal ini, dapat dilihat dari rumusan korupsi Pasal 12 B UU No.20 Tahun 2001 adalah rumusan tindak pidana korupsi baru yang dibuat pada UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Mengenai tidak jelasnya pengertian gratifikasi berimplikasi suap ini menjadikan banyak kasus yang mengambang atas penaganannya. Kasus suap yang melibatkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia fraksi Partai Persatuan Pembangunan Al Amin Nur Nasution berhubungan dengan alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan dan pengembangan kawasan wisata terpadu di lagoi. Kasus lain yang terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya, meskipun peristiwa mengenai kasus gratifikasi ini terjadi pertengahan tahun 2007.
4
Ibid.
5
Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, harus memenuhui unsur-unsur sebagai berikut: 1.
Pegawai negeri atau pnyelenggara negara;
2.
Menerima gratifikasi;
3.
Yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya;
4.
Penerimaan gratifikasi tersebut tidak dilaporkan KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan dari latar belakang diatas maka, penulis mengambil pokok rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah pemungutan pajak oleh Ketua DPRD Kota Surabaya termasuk tindak pidana gratifikasi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang pemberantasan Tindak Pidana korupsi? 2. Bagaimana penegakan hukum tindak pidana gratifikasi pada pemberian dana pungutan pajak daerah oleh pemerintah kota surabaya kepada ketua dewan perwakilan rakyat Kota Surabaya
6
1.3 Penjelasan Judul Untuk menghindari salah pengertian atau multitafsir dalam penelitian ini maka, diperlukan adanya suatu penjelasan istilah dan tinjauan pustaka skripsi ini yang berjudul: “TINDAK PIDANA GRATIFIKASI PADA PEMBERIAN DANA BIAYA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH OLEH PEMERINTAH KOTA SURABAYA KEPADA KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SURABAYA” 1. Tindak pidana gratifikasi adalah uang hadiah kepada pegawai diluar gaji yang ditentukan. Sedangkan, menurut Pasal 12 B UU Korupsi Gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. 2. Pemungutan Pajak Daerah Kota Surabaya menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Daerah Pemerintah Kota Surabaya Nomor 1 angka 5 Kota Surabaya Nomor 9 tahun 2006 adalah biaya yang diberikan kepada aparat pelaksana pemungutan pajak daerah dan aparat penunjang dalam rangka kegiatan pemungutan. 3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Surabaya adalah Lembaga Perwakilan Rakyat (Parlement) Daerah (Provinsi, Kota, Kabupaten) Di Indonesia Yang Berkedudukan Sebagai Penyelenggara Pemerintah Daerah Bersama Dengan Pemerintah Daerah.
7
1.4 Alasan Pemilihan Judul Untuk mengetahui pemberian dana biaya pemungutan pajak daerah oleh Pemerintah Kota Surabaya kepada Ketua DPRD dikualifikasikan telah melakukan tindak pidana gratifikasi menurut UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, dalam kasus ini penerima selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kota Surabaya sudah ditetapkan sebagai terpidana sedangkan pemberi suap selaku Wali Kota sampai sekarang tidak ditetapkan sebagai terpidana, dan untuk mengetahui tentang pengaturan dana pemungutan pajak yang dilakukan oleh Ketua DPRD Surabaya sesuai dengan Undang-Undang 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Daerah Pemerintah Kota Surabaya Nomor 1 angka 5 Kota Surabaya Nomor 9 tahun 2006 adalah biaya yang diberikan kepada aparat pelaksana pemungutan pajak daerah dan aparat penunjang dalam rangka kegiatan pemungutan.
8
1.5 Tujuan Penelitian Berdasarkan dari Rumusan Masalah tersebut di atas, maka dapat diambil tujuan dari penilitian adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pemungutan pajak oleh ketua DPRD kota surabaya termasuk tindak pidana gratifikasi menurut Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2. Untuk mengetahui penegakan hukum tindak pidana gratifikasi pada pemberian dana pungutan pajak daerah oleh pemerintah Kota Surabaya kepada Ketua dewan perwakilan rakyat Kota Surabaya
1.6 Manfaat Penelitian Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan bermanfaat bagi penulis dan orang lain yang membacanya. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini antara lain : a. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Pidana Khusus Korupsi. 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakan tentang gratifikasi tindak pidana korupsi di Indonesia.
9
2. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis untuk tahap selanjutnya. b. Manfaat praktis 1. Sebagai wahana penulis mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang di peroleh di bangku perkuliahan. 2. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
1.7 Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif. Adapun yang dimaksud dengan tipe penelitian yuridis normatif, merupakan penelitian hukum terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder terutama yang berkaitan dengan materi yang dibahas.
2.
Pendekatan Penelitian Pendekatan dalam penelitian skripsi ini dari undang-undang (statue approach) Statute approach yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengidentifikasi serta membahas peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan materi yang dibahas.5
3.
Langkah penelitian Langkah pengumpulan bahan hukum dalam tulisan ini adalah melaui studi kepustakaan, yaitu diawali dengan inventarisasi semua bahan hukum yang terkait dengan pokok permasalahan, kemudian diadakan klasifikasi
5
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hal. 93.
10
bahan hukum yang terkait dan selanjunya bahan hukum tersebut disusun dengan sistematisasi untuk lebih mudah. Langka pembahasan dilakukan dengan menggunakan penalaran yang bersifat deduktif dalam arti berawal dari pengetahuan hukum yang bersifat umum yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan literatur, yang kemudian diimplementasikan pada permasalahan yang dikemukakan sehingga diperoleh jawaban dari permasalahan yang bersifat khusus. Pembahasan selanjunya digunakan penafsiran sistematis dalam arti mengaitkan pengertian antara peraturan perundang-undangan yang ada serta pendapat para sarjana, dimaksudkan untuk mengetahui dan memahami permasalahan yang berhubungan dengan materi yang dibahas. 4.
Sumber bahan hukum Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah berupa bahan hukum, yang di peroleh dengan cara studi kepustakaan, meliputi : a. Bahan hukum primer yang terdiri dari: -
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 No. 134),
-
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih
dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 No. 126, Tambahan lembaran negara No. 3984).
11
-
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 No 246, tambahan Lembaran Negara No.4048).
-
Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No.125, tambahan Lembaran Negara No. 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 8 tahun 2005. (Lembaran Negara Tahun 2005 No.108, tambahan Lembaran Negara. 108, tambahan Lembaran Negara No. 4548).
-
Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 No.145).
-
Peraturan Daerah No 9 Tahun 2006 tentang Biaya Pemungutan Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2006 No. 9).
-
Peraturan Walikota No. 44 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pemberian Biaya Pemungutan Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2007 No. 11).
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahaminya yaitu literatur maupun karya ilmiah para sarjana. c. Bahan hukum
tersier, yaitu bahan hukum
yang menjelaskan
pengertian dari bahan hukum primer dan sekunder yaitu bahan hukum dari kamus. Dari ketiga bahan hukum primer, sekunder, dan tersier ini diperoleh dengan menggunakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap
12
bahan-bahan yang harus penulis kumpulkan untuk keperluan penelitian ini. Setelah bahan-bahan tersebut berhasil dikumpulkan dilanjutkan dengan wilayah-wilayah yang menjadi pembahasannya. Adapun penelitian ini dilakukan terhadap buku-buku, artikel, risalah-risalah, majalah-majalah, surat kabar-surat kabar serta peraturan perundang-undangan yang mempunyai keterkaitan dengan penulisan ini.
13
1.8 Sistematika Pertanggungjawaban Sistematika penyusunan skripsi ini disusun dalam empat bab, dan masingmasing bab terdiri atas sub-sub bab. Bab I, membahas tentang latar belakang permasalahan hukum yang akan menjadi objek penelitian, selanjutnya terbentuk rumusan masalah, penjelasan judul, alasan pemilihan judul, tujuan penelitian, manfaat penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan penelitian skripsi, sistematika pertanggung jawaban penulisan skripsi. Bab II, menjelaskan pengaturan pungutan pajak termasuk tindak pidana gratifikasi menurut Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang
perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang pemberantasan Tindak Pidana korupsi Bab ini disajikan untuk menjelaskan tindakan Ketua DPRD Kota Surabaya dan Pemerintah Kota Surabaya dapat dikualifikasikan telah melakukan tindak pidana gratifikasi menurut UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bab III, menjelaskan tentang penegakan hukum tindak pidana gratifikasi dalam pemberian dana biaya pungutan pajak oleh pemerintah Kota Surabaya kepada ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Surabaya. Bab IV, adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang dilakukan penulis.
14
15
BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA GRATIFIKASI MENURUT UNDANGUNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
2.1 Dasar Hukum Tindak Pidana Gratifikasi Di Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pindana Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana atau perbuatan pidana diartikan oleh Moeljatno sebagai “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”. Selanjutnya Moeljatno mengemukakan 6: hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk; 1)
2)
3)
Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar laranganlarangan tersebut. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksankan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan-larangan tersebut7.
Apabila memperhatikan pendapat Moeljatno diatas dapat dijelaskan bahwa tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian yang dipelajari 6 7
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1999, h. 64. Ibid, h.1.
15
dalam hukum pidana. Karena hukum pidana tidak hanya memberikan pengertian tentang perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa dalam hal ini pelaku tindak pidana melanggar larangan sebagaimana diatur dalam UU Korupsi, melainkan juga mencakup hal berkaitan dengan pengenaan pidana dan cara bagaimana, pidana tersebut dapat dilaksanakan. Larangan tersebut ditunjukan kepada perbuatannya, yaitu suatu kedaan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan atau perbuatan seseorang. Sedangkan ancaman pidananya atau sanksinya ditunjukan kepada pelaku yang melakukan tindak pidana korupsi yang biasanya disebut dengan perkataan "barang siapa” yaitu pelaku tindak pidana korupsi sebagai subyek hukum yaitu orang perseorangan maupun korporasi yaitu pendukung hak dan kewajiban dalam bidan hukum. Pelaku yang dikenakan sanksi berupa pidana disebabkan karena melakukan perbuatan yang terlarang. Pelaku tindak pidana diatur dalam Pasal 55 KUHP, yang menentukan: 1)
Di pidana sebagai pelaku tindak pidana a) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan hal yang turut serta melakukan perbuatan: b) Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atas martabat dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
2)
Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan saja yang dapat diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
16
Korupsi berasal dari bahasa latin “corruptio” atau “corruptus” yang mempunyai arti harafiah “kebusukan”, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah”.8 Di dalam ketetentuan Pasal 2 ayat (1) UU Korupsi tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana korupsi apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang memenuhi keseluruhan unsur-unsurnya sebagai berikut: a. Melawan hukum; b. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau oran lain atau siuatu korporasi yang daat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Melawan hukum, menurut penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Korupsi, yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formal maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundangundangan. Namun, apabila perbuatan dianggap tercela karena tidak sesuai dengan keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat. Maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata ”dapat” sebelum rasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
8
Ridwan Halim, hukum pidana dalam tanya jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta,1983, h.15.
17
Melawan hukum merupakan salah satu unsur penting dari suatu tindak pidana. Menurut Ridwan Halim, yang dimaksud dengan melawan hukum adalah suatu perbuatan atau perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya: a. Merupakan tindakan manusia baik secara aktif (berbuat) maupun secara pasif (mendiamkan). Yang dimaksud secara aktif ialah berbuat sesuatu yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang sedangkan yang dimaksud secara pasif ialah mendiamkan atau tidak melakukan perbuatan yang sebenarnya diwajibkan oleh undang-undang. b. Dilarang oleh hukum atau undang-undang dengan ancaman undang-undang
dengan
ancaman
hukum
adat
istiadat/kebiasaan/tata kesusilaan dan kesopanan yang hidup dalam masyarakat.9 Menurut doktrin unsur “melawan hukum” itu dapat dikupas dari sudut pandang atas unsur formal dan unsur materiil, yaitu: a. Melawan hukum secara formil (menurut Simons) ialah suatu perbuatan yang mengandung suatu unsur atau berbagai unsur yang dalam undang-undang nyata-nyata ditulis atau ditegaskan sebagai hal yang melawan hukum. b. Melawan hukum secara materiil ( menurut Van Hammel) ialah suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat (baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis atau
9
Ibid.
18
kebiasaan) dipandang sebagai perbuatan melawan
hukum
meskipun undang-undang tidak menegaskan demikian.10 Dalam tindak pidana korupsi, terdapat pengertian melawan hukum secara materiil yang bersifat negatif, yaitu melawan hukum formil dan hukum materiil, yakni perbuatan tersebut dikatakan melawan hukum apabila perbuatan tersebut melanggar undang-undang, tidak sesuai dengan norma hidup dalam masyarakat. Jadi, meski tidak diatur di dalam perundangundangan, namun jika perbuatan itu dianggap tercela, karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka perbuatan itu dapat dipidana. Unsur yang kedua adalah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Menurut pendapat Darwan Prins adalah sebagai berikut: 1. Memperkaya diri sendiri, artinya bahwa dengan melakukan perbuatan melawan hukum itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya sendiri. 2. Memperkaya orang lain maksudnya, akibat perbuatan melawan dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau berkembangan harta bendanya. Jadi, disini yang diuntungkan bukan pelaku langsung; 3. Memperkaya korporasi, atau mungkin juga mendapat keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi.11
10 11
Ibid. Darwan Prints, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002,h. 1.
19
Sedangkan, tindak pidana korupsi menurut Pasal 3 UU Korupsi, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pasal 33 UU Korupsi di dalamnya terkandung unsur-unsur : a. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi. b. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; c. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Unsur yang pertama yakni menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sudah dijelaskan diatas dimana pengertiannya berkaitan dengan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan mendatangkan keuntungan. Unsur yang kedua adalah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Seseorang baru dapat dikatakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana, jika seseorang tersebut mempunyai jabatan atau kedudukan. Pengertian pejabat diatur dalam Pasal 92 KUHP yang menentukan; a. Orang-orang yang dipilih
dalam
pemilihan yang diadakan
berdasarkan aturan-aturan umum; b. Orang-orang yang bukan karena pilihan menjadi anggota badan pembuat undang-undang, badan pemerintahan atau badan
20
perwakilan rakyat yang dibentuk oleh pemerintah atau atas nama pemerintah; c. Semua anggota waterschtap; d. Semua kepala bumi putera dan kepala golongan timur asing yang menjalankan kekuasaan yang sah; e. Hakim, termasuk pula hakim wasit, serta orang-orang yang menjalankan
peradilan
administratif
atau
ketua-ketua
dan
anggota-anggota peradilan agama; f.
Semua anggota angkatan perang.
Unsur yang ketiga yakni dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
Mengenai
merugikan
keuangan
negara
yang
merupakan salah satu unsur pokok korupsi sesuai dengan konsideran UU Korupsi butir (a) bagian menimbang sebagai berikut, “bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau
perekonomian
negara,
juga
menghambat
pertumbuhan
dan
kelangsungan pembangunan nasional yang menurut efisiensi tinggi”. Mengenai perekonomian negara diatur dalam Pasal 33 ayat (1) UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai berikut: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” Keuangan negara yang dimaksud menurut penjelasan umum Pasal 3 UU Korupsi adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
21
a) Berada
dalam
penguasaan, pengurusan, dan
pertanggung
jawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah; b) Berada
dalam
penguasaan, pengurusan, dan
pertanggung
jawaban Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Sedangkan, yang dimaskud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Penerapan Pasal 2 UU Korupsi ditunjukan kepada pelaku atau orang umum, yang melakukan tindak pidana korupsi, sedangkan penerapan Pasal 3 UU Korupsi ditunjukan kepada pegawai negeri yang melakukan tindak pidana korupsi. Pengertian pelaku atau setiap orang diatur dalam Pasal 1 angka 33 UU Korupsi yang menentukan bahwa; “Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. “ yang dimaksud korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.” Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Korupsi ditentukan bahwa yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana itu dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan
22
undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter, sedangkan yang dimaksud dengan penyelenggara negara, tertulis dalam penjelasan Pasal 5 ayat (2) huruf 3 UU Korupsi bahwa yang dimaksud dengan “penyelenggara negara” dalam Pasal 5 UU Korupsi adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pengertian “Penyelenggara Negara” tersebut berlaku pula untuk pasal-pasal berikutnya yang ada dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. Tindak pidana korupsi juga berkaitan dengan tindak pidana penyuapan tertuang dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 1 UU Korupsi, ketentuan tersebut sebenarnya diambil 13 Pasal KUHP yakni Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 KUHP yang dikategorikan menjadi tindak pidana korupsi, adanya dua aturan yang mengatur tindak pidana yang sama maka berlaku asas “lex specialis derogat legi generalis” yang diatur dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP yang menentukan bahwa : “Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam auran pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan”. Dengan adanya UU No. 20 tahun 2001 yang menyempurnakan UU. No 30 tahun 1999, maka Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 dijadikan sebagai tindak pidana korupsi yang bersifat mandiri, dan tidak tergantung lagi dengan KUHP.
23
Mengenai jenis-jenis tindak pidana korupsi diatur mulai dari Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 UU Korupsi, di antaranya: 1. Pasal 3 Tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana jabatan atau kedudukan. 2. Pasal 5 tindak pidana korupsi suap dengan memberikan atau menjanjikan sesuatu. 3. Pasal 6 tindak pidana korupsi suap hakim dan advokat. 4. Pasal 7 korupsi dalam hal membuat bangunan dan menjual bahan bangunan dan korupsi dalam hal menyerahkan alat keperluan TNI. 5. Pasal 8 korupsi pegawai negeri menggelapkan uang dan surat berharga. 6. Pasal 9 tindak pidana korupsi pegawai negeri memalsu buku-buku dan daftar-daftar. 7. Pasal 10 tindak pidana korupsi pegawai negeri merusakkan barang, akta, surat dan daftar. 8. Pasal 11 korupsi pegawai negeri menerima hadiah atau janji yang berhubungan dengan kewenangannya. 9. Pasal 12 korupsi pegawai negeri atau penyelenggara negara atau hakim dari advokat menerima hadia, atau janji, pegawai negeri memaksa,
membayar,
memotong,
pembayaran,
meminta
pekerjaan, menggunakan tanah negara dan turut serta dalam pemborongan. 10.Pasal 12 B tindak pidana korupsi suap pegawai negeri menerima gratifikasi 11.Pasal 13 korupsi suap pada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan jabatan12 Selain jenis tindak pidana korupsi yang telah disebutkan di atas, masih ada tindak pidana lain yang berkaitan dngan tindak pidana korupsi. Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi terdiri atas: 1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi, Pasal 21; 12
Adam Chazawi, Hukum Pidana Materiil Dan Formil Korupsi Di Indonesia, Bayu Media Publiching, Jakarta, 2005, h. 34-37.
24
2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, Pasal 20 jo.Pasal 28. 3. Bank yang tidak memberi keterangan rekening tersangka, Pasal 22 jo. Pasal 29. 4. Saksi atau ahli yang tidak memeberi keterangan atau memberi keterangan palsu, Pasal 22 jo. Pasal 35 5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memebrikan keterangan atau memberi keterangan palsu, Pasal 22 jo. Pasal 36 6. Saksi yang membuka identitas pelapor, Pasal 24 jo. Pasal 31.
Berkaitan dengan proses pembuktian di sidang pengadilan dalam tindak pidana korupsi dikenal dengan pembagian beban pembuktian yang diatur dalam Pasal 37 dan Pasal 37 A ayat (3) UU Korupsi yang mempunyai pengertian bahwa terdakwa harus membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Disisi lain, penuntut umum tetap harus membuktikan dakwaan mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa. Sanksi tindak pidana Korupsi yang diatur dalam UU Korupsi meliputi Pidana Penjara, dan denda yang merupakan stelsel kumulatif. Stelsel kumulatif mempunyai pengertian penjatuhan sanksi lebih dari 1 (satu) jenis tindak pidana pokok bersamaan. Ketentuan mengenai sanksi diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 13 UU Korupsi juga dikenal dengan stelsel minimal khusus dan denda minimal, disamping stelsel maksimal. Dalam Pasal 2 UU Korupsi, sanksi pidana penjara paling singkat adalah 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun sedangkan denda paling sedikit Rp. 200,000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Sedangkan, dalam Pasal 3 UU Korupsi, sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan atau denda
25
paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dalam tindak pidana korupsi, dengan adanya perubahan UU No. 20 Tahun 2001 terdapat perubahan sanksi. Hal ini, tertulis dalam Pasal 12 A UU korupsi yang menentukan: 1) Ketentuan
mengenai
pidana
penjara
dan
pidana
denda
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 77, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). 2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Hadiah atau janji juga dapat dikualifikasikan sebagai gratifikasi. Gratifikasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “uang hadiah kepada pegawai diluar gaji yang ditentukan”13. Menurut Black’s Law Dictionary, gratifikasi adalah “A Voluntary Given Reward Or Recomense For Service Or Benefit, A Gratuity”. Definisi sederhana, gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12 B UU korupsi adalah pemberian hadiah. Gratifikasi merupakan pemberian dalam arti yang luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya.
13
Purwadarmita, Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, H.329.
26
Perihal gratifikasi dikenal dalam Pasal 12 B UU Korupsi, bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Ketentuan Pasal 12 B UU Korupsi tersebut tidak memberikan definisi mengenai gratifikasi. Pada pasal tersebut hanya menyebutkan mengenai gratifikasi tersebut diberikan kepada : 1) Pegawai negeri; 2) Penyelenggara negara; 3) Berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Memperhatikan uraian diatas Pasal 12 B UU Korupsi, diatas tidak memberikan rumusan mengenai gratifikasi, melainkan hanya memuat ketentuan mengenai: 1) Batasan mengenai pengertian gratifikasi yang dianggap sebagai pemberian suap, dan; 2) Jenis-jenis gratifikasi yang dianggap sebagai pemberian suap. Gratikasi dianggap sebagai suap apabila: a) Diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara b) Berhubungan
dengan
jabatannya
dan
berlawanan
dengan
kewajiban atau tugasnya.
27
2.1 Pengaturan Dana Pemungutan Pajak Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Dan Retribusi Daerah Pajak adalah “iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa imbalan (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”14. Pasal 23 A Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menentukan bahwa “pajak dan pungutan lain yan besifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang”. Pungutan secara paksa terhadap wajib pajak merupakan suatu hal yang layak, karena pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara atau daerah. Pungutan dibebankan kepada wajib pajak, yang salah satu wajib pajak adalah pengusaha. Pengusaha menurut Pasal 1 angka 3 UndangUndang Nomor 16 Tahun 2000 adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak terwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean. Pajak merupakan salah satu sumber Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Sehingga, mempunyai peran penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Mengenai pengenaan pajak meskipun dalam bentuk iuran, pengenaannya dapat dipaksakan, disertai dengan suatu sanksi bagi wajib pajak yang tidak membayar Pembangunan Nasional dan Pembangunan Daerah sesungguhnya menjadi tanggung jawab warga negara dan masyarakatnya. Kaitannya dengan pembangunan daerah dalam rangka otonomi daerah, pendapatan daerah menjadi sangat penting karena dapat meningkatkan taraf hidup dan 14
Mardiasmono, Perpajakan, Edisi Revisi Tahun 2002, Andi, Yogyakarta, 2002 h. 12.
28
kesejahteraan masyarakat. Dengan pembangunan daerah yang serasi dan terpadu disertai perencanaan pembangunan yang baik, efisien dan efektif maka akan tercipta kemandirian daerah dan kemajuan yang merata diseluruh wilayah Indonesia.15 Pelaksanaan
pembangunan
di
daerah
sangat
tergantung
dari
pendapatan asli daerah serta pengelolaan daerah itu sendiri. Hadirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah membawa perubahan yang begitu besar bagi menjadi 2 (dua) pelaksanaan pembangunan daerah. Secara tegas undang-undang ini memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan
aspirasi
masyarakat atau dengan kata lain daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 telah diberikan Otonomi. Upaya pemerintah untuk membangun
harus
ditingkatkan
dengan
melakukan
pembinaan
dan
pengarahan kepada segenap masyarakat sehingga dapat terwujud tujuan dari pembangunan mendukung
itu
sendiri,
kelancaran
disamping
proses
peran
serta
pembangunan.
masyarakat
Untuk
untuk
melaksanakan
pembangunan yang berkesinambungan maka daerah / kota lebih dituntut untuk dapat menggali seoptimal mungkin sumber-sumber keuangannya, seperti; pajak, retribusi atau pungutan yang merupakan sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah, sebagaimana yang dimaksud dalam UndangUndang Nomor 32 tahun 2004.
15
Ibid, h.17
29
Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber pembiayaan yang paling penting dimana komponen utamanya adalah penerimaan yang berasal dari komponen pajak daerah dan retribusi daerah. Pajak daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Retribusi daerah atau retribusi berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah adalah pemungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/ atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah, menjelaskan bahwa tiap-tiap daerah telah diserahkan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri berdasarkan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dan dalam melaksanakan
pembangunan
di
daerah
harus
lebih
mengutamakan
kepentingan masyarakat dan senantiasa bekerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam pelaksanaan Perihal pajak diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum tata cara perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1983 Nomor 49, tambahan lembar negara nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2000 Nomor 126, tambahan lembaran negara nomor 3984). Pajak daerah daitur dalam Undang-
30
Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1997 Nomor 41, tambahan lembaran negara nomor 3685) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 34 tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, tambahan lembaran negara nomor 4048). Pengaturan mengenai pajak ini tidak lepas dari indonesia sebagai negara yang berdasarkan
atas
hukum,
sehingga
mengenai
perpajakanpun
harus
didasarkan atas peraturan perundang-undangan.16 Pajak daerah dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah (selanjutnya disingkat PP No.65 tahun 2001). Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU No.16 Tahun 2001, yang menentukan sebagai berikut : 1) Setiap wajib pajak wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak dan kepadanya diberikan nomor pokok wajib pajak. 2) Setiap wajib pajak sebgai pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang pajak pertambahan nilai 1984 dan perubahannya,
wajib
melaporkan
usahanya
pada
kantor
direktorat jenderal pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak.
16
Kristiadi, J.B., Problema Pendapatan Daerah, Prisma No. 18 Edisi ke-8, Jakarta 2002, h.20.
31
Di dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2000 diatas disebutkan “wajib melaporkan usahanya pada kantor direktorat jenderal pajak yang pada wilayah kerjanya”17 Perihal pajak daerah, diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagaimana diatur dalam Pasal 157 UU No. 32 tahun 2004: a.
Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu: 1) Hasil pajak daerah. 2) Hasil retribusi daerah. 3) Hasil pengolahan kekayaan daerah yang dipisahkan dan; 4) Lain-lain PAD yang sah;
b.
Dana perimbagan; dan
c.
Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Sedangkan Pasal 158 UU No. 32 Tahun 2004 menentukan sebagai berikut: 1) Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan undangundang yang pelaksanaanya didaerah diatur lebih lanjut dengan perda. 2) Pemerintahan daerah dilarang melakukan pungutan atau dengan sebutan lain diluar yang telah diteapkan. 3) Hasil
pengelolahan
kekayaan
daerah
yang
dipisahkan
sebagaimana dimaksud dalam; Pasal 157 huruf a angka 3 dan
17
Arnita, Kustadi, Sistem Perpajakan di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung 2004.,h.30.
32
157 huruf a angka 4 ditetapkan dengan perda berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Selanjutnya Pasal 159 UU No. 32 Tahun 2004 menentukan sebagai berikut: Dana pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 huruf B terdiri atas; a. Dana bagi hasil; b. Dana alokasi umum; c. Dana alokasi khusus. Dengan demikian, pajak daerah bagi daerah yang bersangkutan merupakan bagian dari pendapatan asli daerah (PAD) untuk membiayai penyelenggaraan pembiayaan pembangunan daerah. Memperhatikan uraian diatas dapat dijelaskan bahwa pajak dearah merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah selain hasil retribusi daerah; hasil pengelolahan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan lain-lain PAD yang sah. Hal ini berati bahwa pajak daerah merupakan bagian dari kekayaan daerah. Sebagaimana disebutkan dalam konsideran bagian menimbang PP No. 65 Tahun 2001, bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (3), Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 34 Tahun 2000, dipandang perlu menetapkan peraturan pemerintah tentang pajak daerah.18
18
Ibid, h. 39.
33
Pajak daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah sebagaimana Pasal 1 angka 1 PP No.65 Tahun 2001. Di dalam pajak daerah, yang dijadikan obyek meliputi kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, bea balik nama kendaraan bermotor, dan kendaraan diatas air, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak pengambilan dan pemanfaatan air tanah dan air permukaan, pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan bahan galian golongan C, pajak parkir dan pajak lain-lain. Sehubungan dengan pemungutan pajak, Pasal 76 PP No. 65 Tahun 2001 menentukan bahwa kegiatan pemungutan pajak daerah dapat diberikan biaya pemungutan pajak daerah dapat diberikan biaya pemungutan pajak paling tinggi sebesar 5 % (lima persen). Pedoman tentang alokasi biaya pemungutan ditetapkan oleh menteri dalam negeri dengan pertimbangan menteri keuangan. Memperhatikan hal tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa terdapat biaya pengeluaran untuk petugas pemungut pajak yang lebih dikenal biaya pemungutan sebesar 5 %. Mengenai alokasi biaya pemungutan ditetapkan oleh menteri dalam negeri dengan pertimbangan menteri keuangan. Hal ini, berarti bahwa tidak seluruh hasil pemungutan pajak daerah untuk kas daerah, melainkan sebesar 5 % dari hasil pungutan tersebut diperuntukkan sebagai uang jasa pemungut pajak tersebut atau lebih dikenal dengan biaya pungutan.
34
Pajak daerah bagi pemerintah Kota Surabaya didasarkan atas Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 9 tahun 2008 tentang Biaya Pemungutan Pajak Daerah (selanjunya disingkat PERDA Kota Surabaya No. 9 tahun 2006). Dalam konsideran ditentukan bahwa untuk meningkatkan penerimaan daerah dari sektor pajak daerah dan sekaligus sebagaimana upaya meningkatkan kualitas pelayanan pemungutan pajak daerah, perlu diberikan biaya pemungutan pajak daerah, perlu diberikan biaya pemungutan pajak daerah kepada aparat pelaksana pemungutan pajak daerah dan aparat penunjang dalam rangka kegiatan pemungutan. Pajak daerah tersebut dipungut dari para wajib pajak. Pemungutan menurut Pasal 1 angka 4 Perda Kota Surabaya No. 9 tahun 2006 adalah “suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data obyek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada wajib pajak serta pengawasan penyetorannya”. Pemungutan pajak diperlukan suatu biaya pemungutan, menurut Pasal 1 angka 5 Perda Kota Surabaya No. 9 Tahun 2006 adalah “biaya pemungutan diberikan kepada aparat pelaksana pemungutan pajak menurut Pasal 1 angka 6 Perda Kota Surabaya No. 9 Tahun 2006 adalah “aparat unit kerja yang bertugas melaksanakan kegiatan pemungutan daerah”. Aparat pelaksana pemungutan pajak daerah disertai aparat penunjang. Menurut Pasal 1 angka 7 Perda Kota Surabaya No. 9 Tahun 2006 adalah “aparat atau pejabat pada instansi/unit kerja/lembaga yang menunjang dalam rangka kegiatan pemungutan pajak daerah. Kepada aparat pelaksana dan aparat penunjang diberikan biaya pemungutan pajak daerah”. Besarnya biaya pemungutan pajak daerah
35
menurut Pasal 3 ayat (1) Perda Kota Surabaya No. 9 Tahun 2006 “ditetapkan sebesar 5 % (lima persen) dari realisasi penerimaan pajak daerah”. Memperhatikan pembahasan di atas dijelaskan bahwa tidak satu pasal pun didalam Perda yang memberikan hak kepada Ketua DPRD untuk mendapatkan bagian biaya pemungutan pajak sebagai aparat pelaksana pajak dan aparat penunjang pajak, yang berhak sebagai aparat pelaksana pajak dan aparat penunjang pajak, yang berhak mendapatkan dana biaya pemungutan. Ketua DPRD Kota Surabaya mendapatkan dana biaya pemungutan didasarkan atas Peraturan Walikota No. 44 Tahun 2007. Pada konsideran Peraturan Walikota bagian mengingat menyebut pada PP No. 65 Tahun 2001 dan Perda Surabaya No. 9 Tahun 2006, padahal baik di dalam PP No. 65 Tahun 2001 maupun Perda Surabaya No. 9 Tahun 2006 tidak satu pasal pun yang menunjuk bahwa ketua DPRD Kota Surabaya adalah sebagai pihak aparat pelaksana dan aparat penunjang. Oleh karenanya jika, dalam pelaksanaannya ketua DPRD mendapatkan dana biaya pemungutan maka tidak berlandasan hukum. Hal ini, dikemukakan oleh Zudan Arif Fakrullah bahwa “DPRD tidak berhak mendapatkan japung, japung itu untuk penujang. Tapi DPRD bukan sebagai penujang pemungutan, DPRD berada di jalur legislatif, bukan eksekutif yang dimaksud sebagai penunjang berkaitan langsung dengan pemungutan”.19 Apabila dikaitkan dengan teori Van Vollenhoven, yang membagi fungsi kekuasaan menjadi empat (catur praja) memang indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan melainkan pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Lembaga
19 www.Surabayasindo.com. Zudan Arif Fahrullah, Masalah Jasa Pungut DPRD diakses tanggal 24 oktober 2013.
36
tersebut mempunyai tugas dan wewenang masing-masing, mengenai pemungutan pajak merupakan wewenang dari lembaga eksekutif, sehingga jika ketua DPRD sebagai anggota legislatif menyatakan dirinya berhak untuk mendapat apa yang menjadi hak dari eksekutif, maka tidak berlandaskan hukum. Sedangkan menurut, Wayan Titib selaku dewan penasehat aliansi anti korupsi Kota Surabaya sekaligus pengajar Ilmu Hukum Universitas Airlangga, fungsi utama DPRD adalah sebagai lembaga pengontrol pelaksanaan pembangunan kota dan bukan sebagai lembaga pemungutan pajak. Karena itu, pemberian dana kepada DPRD sebanyak dua kali, yaitu Rp 250 juta dan Rp 470 juta (yang diklaim sebagai japung oleh saksi Bambang Dwi Hartono) merupakan bentuk penyuapan. Dana itu berasal dari pendapatan asli daerah yang diperoleh dari pajak, antara lain retribusi, parkir, dan pajak makanan minuman. Seharusnya uang itu harus dikembalikan lagi kepada masyarakat20
Berdasarkan pembahasan diatas dapat dijelaskan bahwa Ketua DPRD Kota Surabaya menerima bagian dana biaya pemungutan didasarkan oleh atas Peraturan Walikota No. 44 Tahun 2007. Peraturan Walikota tersebut pada konsiderannya merujuk Pasal pada PP No. 65 Tahun 2001 dan Perda No.9 Tahun 2006 tidak satu pun yang menyebutkan bahwa ketua DPRD adalah termasuk pejabata atau aparat pelaksana dan aparat penunjang pemungut pajak. Oleh karena itu, eksistensi dari peraturan walikota No. 44 Tahun 2007 tersebut yang menunjuk ketua DPRD Kota Surabaya sebagai pihak penerima biaya pemungutan adalah tidak berlandaskan hukum. Oleh 20
www.kompas.com DPRD Tidak Berhak Mendapat Jasa Pungutan, diakses tanggal 24 okyober 2013.
37
karena itu, jika ternyata ketua DPRD mendapat bagian dana Biaya pemungutan, maka dana yang diterimanya tersebut tidak sah. Oleh karena itu, benar adanya dan berlandaskan hukum jika ketua DPRD bukan sebagai pihak penerima dana biaya pemungutan.
38
39
BAB III
PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA GRATIFIKASI PADA PEMEBERIAN DANA PUNGUTAN PAJAK DAERAH OLEH PEMERINTAH KOTA SURABAYA KEPADA KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KOTA SURABAYA
3.1 Urgensi Penegakan Hukum Di Indonesia Istilah penegakan hukum adalah terjemahan dari bahasa Inggris ”law enforcement”. Hal ini, memberikan kesan bahwa penegakan hukum identik dengan tindakan represif yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Beberapa pakar sosiologi hukum, antara lain menyebutkan bahwa secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang ada dalam kaidah yang baik dan sikap
tindak
sebagai rangkaian
penjabaran
nilai tahap
akhir untuk
menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian dalam pergaulan hidup. Penegakan hukum adalah proses untuk mewujudkan keinginankeinginan hukum menjadi kenyataan. Yang dimaksud dengan keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuatan undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan hukum.21 Untuk sedikit memperluas cakrawala, akan lebih baik pembicaraan mengenai penegakan atau menegakkan hukum (law enforcement) didahului dengan tinjauan bersama terhadap fungsi membuat hukum (law making), dan fungsi menjalankan atau melaksanakan
21
Chaerudin, dkk, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum, ctk. Pertama, PT. Rafika Aditama, Bandung, h. 21.
39
hukum (law applying). Membicarakan secara bersama ketiga hal tersebut perlu. Dalam kenyataan, fungsi membuat, menjalankan, dan melaksanakan hukum berjalan tumpang tindih (overlapping). Bahkan yang satu merupakan fungsi yang lain. Hukum yang dibuat tetapi tidak dijalankan tidak akan berarti. Demikian pula sebaliknya. Tidak ada hukum yang dijalankan kalau hukumnya tidak ada. Agar hukum dapat Tidak ada hukum yang dijalankan kalau hukumnya tidak ada. Agar hukum dapat dijalankan, atau ditegakkan harus terlebih dahulu ada hukum. Hakim wajib memutus menurut atau berdasarkan hukum. Dalam kekosongan hukum atau hukum tidak jelas, hakim wajib menemukan hukum sebagai dasar memutus, bukan atas dasar lain. Hal-hal seperti kenyataan sosial, kesadaran hukum hanyalah sesuatu yang wajib dipertimbangkan, sedangkan putusannya sendiri harus tetap berdasar atau menurut hukum.22 Jika ditinjau secara fungsional, penegakan hukum merupakan sistem aksi. Banyak aktivitas yang dilakukan oleh alat perlengkapan negara dalam melakukan penegakan hukum. Akan tetapi jika penegakan hukum itu diartikan secara luas, maka tidak hanya difokuskan pada tindakan setelah terjadinya tindak pidana, akan tetapi termasuk pula masalah pencegahan kejahatan (prevention of crime) yang juga melibatkan banyak pihak. Di samping itu, upaya untuk melakukan pencegahan kejahatan merupakan bagian dari politik kriminal, yaitu keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-
22
Bagir Manan, Sistem Peradilan Beribawa ( Suatu Pencarian ), ctk Pertama, FH UII, Press, Yogyakarta, 2005.
40
undangan dan badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma hukum.23 Negara yang berdasarkan atas hukum harus didasarkan atas hukum yang baik dan adil. Hukum yang baik adalah yang demokratis, didasarkan atas kehendak rakyat, sesuai kesadaran hukum rakyat. Sedangkan hukum yang adil adalah hukum yang sesuai dan memenuhi maksud dan tujuan setiap hukum, yakni keadilan. Dilihat dari sudut pandang sosiologi hukum, proses pembentukan UU yang telah dilakukan secara aspiratif, transparan dan demokratis, maka pada gilirannya diharapkan UU yang dihasilkannya akan diterima oleh masyarakat dengan penuh kesadaran.24 Ada faktor lain yang menunjang peraturan tersebut dapat berjalan secara efektif. Faktor penegak hukum yang paling sentral dibanding dengan faktor-faktor yang lain. Hal ini disebabkan, oleh karena Undang-Undang disusun oleh penegak hukum, penerapannya dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan oleh masyarakat luas.25 Oleh karena itu, dengan adanya ketegasan dari para penegak hukum atas terjadinya setiap pelanggaran terhadap aturan tersebut, maka hukum akan berjalan dengan efektif. Tanggapan dan sorotan terhadap penegakan hukum di Indonesia bukan hal baru. Masalah ini begitu penting untuk dibicarakan dan dipecahkan karena tidak saja merupakan tugas dan amanat konstitusi, tapi berhubungan
23
Chaerudin,... loc.cit.
24
Saifudin, Proses Pembentukan Undang-Undang, Studi Tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembentukan UU di Era Reformasi, Ringkasan Desertasi, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Program Pasca Sarjana, Jakarta, 2006, hlm 3. 25
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terhadap Penegakan Hukum, ctk Keempat, PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm 55.
41
langsung dengan tegaknya hukum dan jaminan bagi pencari keadilan. Peran hukum semakin terasa penting, karena pembangunan hukum termasuk bidang penegakannya adalah bagian dari pola pembangunan bangsa Indonesia. Masalah yang menyelimuti penegakan hukum tidak terlepas dari sistem hukum yang dibangun. Sejak saat perumusan dan pembuatan undang-undang (law making) sampai pada tahap penegakannya (law enforcement) tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hukum sebagai kaidah sosial tidak terlepas dari nilai (value) yang berlaku dalam suatu masyarakat, bahkan hukum
merupakan
pencerminan
dari
nilai-nilai
yang
berlaku
dalam
masyarakat tersebut. Penegakan hukum yang benar adalah penegakan hukum yang adil dan berkeadilan, dan penegakan hukum yang adil adalah penegakan hukum yang memberikan perlindungan dan manfaat yang besar bagi setiap orang dan pencari keadilan itu sendiri. 26 Menurut Prof. Dr. Soerjono Soekanto, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi atas penegakan hukum. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: a. Faktor hukumnya sendiri; b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum; c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan;
26
Chaerudin,..Op cit,..hlm 56-57.
42
e. Faktor kebudayaan yakni, sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.27
3.2 Penegakan Hukum Tindak Pidana Gratifikasi Pemberian Dana Pungutan Pajak Oleh Pemerintah Kota Surabaya Kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Surabaya
Penerapan Pasal 2 UU Korupsi ditunjukan kepada pelaku atau orang umum, yang melakukan tindak pidan korupsi, sedangkan penerapan Pasal 3 UU korupsi ditunjukan kepada pegawai negeri yang melakukan tindak pidana korupsi. Pengertian pelaku atau setiap orang diatur dalam Pasal 1 angka 33 UU
korupsi yang menentukan bahwa; “Setiap
orang adalah
orang
perseorangan atau termasuk korporasi. “ yang dimaksud korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.” Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Korupsi ditentukan bahwa yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana itu dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter, sedangkan yang dimaksud dengan penyelenggara negara, tertulis dalam penjelasan Pasal 5 ayat (2) huruf 3 UU Korupsi bahwa yang dimaksud dengan “penyelenggara negara” dalam pasal ini adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
27
Sarjono soekanto,,..Op cit hlm 5-6.
43
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pengertian “penyelenggara negara” tersebut berlaku pula untuk pasal-pasal berikutnya yang ada dalam Undang-undang ini. Ketua DPRD Kota Surabaya sebagai pejabat penyelenggara negara mendapat gaji dari anggaran pendapatan dan belanja daerah dilarang untuk menerima hadiah atau janji sebgaimana dalam Pasal 12 UU Korupsi yang menentukan sebagai berikut: “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00
(satu
milyar
rupiah
):
pegawai
negeri
atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatanya, yang bertentangan dengan kewajibannya”.
Ketentuan Pasal 12 tersebut di atas, melarang pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima hadiah atau janji, dengan ketentuan hadiah atau janji yang diterima tersebut mempunyai maksud untuk menggerakkan agar penerima hadiah atau janji tersebut melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. Hadiah atau janji yang diterima oleh pegawai negeri atau pejabat penyelenggara negara atas dasar pemberian disertai suatu harapan dikualifikasikan sebagai gratifikasi. Gratifikasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “uang hadiah kepada pegawai diluar gaji yang
44
telah ditentukan”28. Menurut Black Law dictionary, gratifikasi adalah “a voluntary given reward or recompense for service or benefit, a gratuity” definsi sederhana, gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12 B UU Korupsi adalah pemberian hadiah. Gartifikasi merupakan pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma dan fasilitas lainnya. Perihal gratifikasi dikenal dalam Pasal 12 B UU Korupsi, bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemebrian suap, apabila berhuibungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Ketentuan Pasal 12 B UU Korupsi tersebut tidak memberikan definisi mengenai gratifikasi. Pada pasal tersebut hanya menyebutkan mengenai gratifikasi diberikan kepada: 1) Pegawai negeri; 2) Penyelenggara negara; 3) Berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Memperhatikan uraian Pasal 12 B UU Korupsi, diatas tidak memberikan rumusan mengenai gratifikasi, melainkan hanya memuat ketentuan mengenai: 1) Batasan pengertian yang dianggap sebaga pemberian suap dan; 2) Jenis-jenis gratifikasi yang dianggap sebagai pemberi suap. Gratifikasi yang dianggap sebagai suap bila: a) Diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;
28
Purwadarmita, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,1989, h.329.
45
b) Berhubungan
dengan
jabatannya
dan
berlawanan
dengan
kewajiban atau tugasnya. Penyelenggara negara berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, Bab II Pasal 2 meliputi: 1. Pejabat negara pada lembaga tertinggi negara. 2. Pejabat negara pada lembaga tinggi negara. 3. Menteri. 4. Gubernur. 5. Hakim. 6. Pejabat negara yang lain: a)
Duta besar;
b)
Wakil gubernur;
c)
Bupati/walikota.
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis. a) Komisaris, direksi dan pejabat struktural pada BUMN dan BUMD. b) Pimpinan BI (Bank Indonesia). c) Pimpinan Perguruan Tinggi. d) Pejabat eselon satu dan pejabat lain yang disamakan pada lingkungan sipil dan militer. e) Jaksa. f)
Penyidik.
g) Panitera pengadilan. h) Pimpinan proyek atau bendaharawan proyek. Contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebgai gratifikasi : - Pemberian hadiah atau uang sebagai ucpan terima kasih karena telah dibantu; - Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut - Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara Cuma-Cuma,
46
- Pemeberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang atau jasa dari rekanan, - Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat - Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan, - Pmberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja, - Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat kunjungan kerja.
Dengan demikian, Ketua DPRD dalam menjalankan jabatannya tidak diperkenankan menerima pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu. Seluruh
pemberian tersebut diatas, dapat dikategorikan sebagai
gratifikasi, apabila ada hubungan kerja atau kedinasan antara pemberi dengan pejabat yang menrima, ada atau semata-mata karena keterkaitan dengan jabatan atau kedudukan pejabat tersebut. Berwenang atau kewenangan berasal dari kata wewenang dibedakan wewenang dalam hukum administrasi dan dalam hukum publik. Wewenang dalam hukum administrasi adalah wewenang pemerintahan, sedangkan wewenang dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.29 Pejabat penyelenggara negara dilarang menerima gratifikasi karena pejabat penyelenggara negara merupakan unsur aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh kesetian kepada pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk maksud 29
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Majalah Bulanan “YURIDIKA’,No.5-6 Tahun XII, SeptemberDesember 1997.
47
tersebut pada huruf a, diperlukan pejabat penyelenggara negara yang berkemampuan melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan serta bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Untuk membentuk sosok pejabat penyelenggara negara, diperlukan upaya meningkatkan manajemen pejabat penyelenggara negara. Jadi, tugas dari pejabat penyelenggara negara adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat itu merupakan konsekuensi dari pejabat penyelenggara
negara
negara. Sedangkan, maksud
dilarang
menerima
gratifikasi,
dari pejabat
karena
pejabat
penyelenggaraan negara mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam penyelenggaraan negara untuk mencapai cita-cita perjuangan bangsa mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebgaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan pejabat penyelenggaraan negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguhsunguh
dan
penuh
tanggung
jawab,
perlu
diletakkan
asas-asas
penyelenggaraan negara. Praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak hanya dilakukan antar penyelenggara negara dan pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara, sehingga diperlukan landasan hukum untuk pencegahannya. Oleh karenanya, dituntun terbentuknya penyelenggara negara yang besih adalah penyelenggara yang mentaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan neptoisme, serta perbuatan tercela lainnya. Perihal jenis-jenis gratfikasi yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih dan yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) sebagaimana Pasal 12 B UU Korupsi.
48
Meskipun
demikian
tidak
semua
gratifikasi
kepada
pejabat
penyelenggaran negara tersebut dapat dikualifikasikan sebagai penyuapan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 12 B UU Korupsi sebagai berikut : 1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada komisi pemberantasan tindak pidana korupsi. 2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 hari (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. 3) Komisi pemberantasan tindak pidana korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara. 4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebgaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan dilaporkannya adanya penyuapan tersebut kepada KPK dan tidak lebih dari 30 hari sejak penyuapan, maka unsur melawan hukum dari tindak pidana korupsi menjadi berakhir atau hapus. Memperhatikan
pembahasan
sebagimana
tersebut
diatas
dapat
dijelaskan bahwa ketua DPRD Kota Surabaya sebagai pejabat penyelenggara negara, dalam menjalankan jabatannya sebagai lembaga legislatif menerima hadiah dari pemerintah Kota Surabaya berupa sejumlah uang tertentu dengan harapan agar menyetujui Rancangan Peraturan Daerah tentang busway, bukan dana dari biaya pemungutan. Karena Ketua DPRD Kota Surabaya tidak berhak menerima dana biaya pemungutan. Hal ini, sesuai dengan yang dikemukakan oleh Zuldan Arif Fakrullah bahwa “ sumber penghasilan DPRD sudah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006
49
sebagaimana diubah Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007, penghasilan itu diantaranya dari uang komisi, uang representasi, tunjangan penghasilan dan seterusnya bahwa dewan tidak boleh menerima tunjangan lain di luar yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) tersebut.30 Hal ini, berarti bahwa penghasilan Ketua DPRD tidak termasuk uang biaya pemungutan dan tidak berhak atas dana tersebut. Dana dalam bentuk hadiah tersebut diterima karena jabatannya, sehingga dianggap sebagai haknya Ketua DPRD Kota Surabaya yang menerima hadiah tersebut dalam waktu kurang dari satu bulan tidak mengembalikan hadiah atau gratifikasi tersebut, sehingga Ketua DPRD dan Pemerintah Kota Surabaya dapat dikualifikasikan telah melakukan tindak pidana korupsi. Di dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi dikenal mengikuti pembuktian terbalik. Asas pembuktian terbalik ketentuan tersebut secara terang-terangan disimpangi, karena hakim dapat saja menjatuhkan putusan pidana tanpa adanya suatu alat bukti, yaitu jika terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Jadi disini hanya adanya keyakinan hakim sudah cukup untuk menyatakan kesalahan terdakwa, tanpa perlu adanya alat bukti. Hal ini, sama dengan sistem dalam teori pembuktian onviction intime (pembuktian berdasar keyakinan hakim semata) yang telah dijelaskan diatas. Hal ini tentu saja sangat merugikan terdakwa. Menurut Luhut MP Panggaribuan, bila sistem pembuktian terbalik ini diterapkan maka akan membawa implikasi negatif yang luar biasa yaitu : pertama, secara umum akan kembali ke zaman yang disebut dengan acient
30
Zudan Arif Fahrullah, Loc.Cit.
50
regime. Pada zaman ini berkuasa The Holy Inquisition yang kemudian dikenal dalam hukum acara pidana dengan sistem inkuisitor. Tersangka dan terdakwa menjadi obyek. Sebab, pengakuan merupakan alat bukti yang penting. Kedua, dalam situasi rendahnya kapabilitas dan intergritas aparatur penegak hukum dewasa ini maka sistem pembuktian terbalik bisa menjadi alat black-mailing yang efektif untuk memperkaya diri dan bentuk penyalahgunaan penegakan hukum yang lain. Ketiga, usaha untuk meningkatkan profesionalitas dan integritas penegak hukum akan menjadi tidak perlu bila sistem pembuktian terbalik diterima. Sebab ia cukup mengandalkan perasaan maka bila orang itu gagal narapidanalah ia. Jadi aparatur penegak hukum itu cukup setingkat debt collector.31 Akan tetapi, meskipun asas pembuktian terbalik mengandung banyak kelemahan seperti diatas, hal ini bukan berarti asas pembuktian terbalik tidak dapat diterapkan, penerapan sistem pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi ini sudah dianut di Hongkong, Malaysia, dan Singapura. Di hongkong misalnya, pembuktian ini diatur dalam Pasal 10 (1b) Prevention of Bribery Ordonance 1970, Added 1974 : “or is in control of pecuniary resorces of property disproportionate to his present or past official emoluments, shall, unless he gives satisfactory explanation to the court as to how he was able to maintain such a standart of living or how such pecuniary resources of property came under his control, be guilty of an offences.” Yang mempunyai arti “dari ketentuan terlihat bahwa menguasai sumber-sumber pendapat atau harta yang tidak sebanding dengan gajinya pada saat ini atau pendapatan resmi di masa lalu, akan dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran, kecuali kalau ia dapat memberikan suatu penjelasan yang 31
www.kompascyber.com .luhut MP Panggaribuan, Pembuktian Pada Umunya., Diakses tanggal 12 Desember 2013.
51
memuaskan kepada pengadilan mengenai bagaimana ia mampu memperoleh standart hidup yang demikian itu atau bagaimana sumber-sumber pendapatan atau harta itu dapat ia kuasai”. Penerapan
sistem pembuktian tebalik ini
menurut keternagan seorang pejabat Independent Commision Against Corruption Hongkong cukup efektif untuk memberantas tindak pidana korupsi. Karena sesorang akan takut melakukan korupsi. Sebab akan sulit baginya memberikan penjelasan yang memuaskan tentang sumber kekayaannya kalau memang kekayaannya itu diperoleh dengan cara yang tidak sah. 32 Mengingat merajalelanya tindak pidana korupsi di Indonesia, maka tidak salah jika pemerintah kemudian juga mengusulkan untuk mengamandemen UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi dengan menerapkan pembuktian terbalik terhadap perkara korupsi, terlepas dari alasan
yang mendorong pemerintah untuk mengeluarkan usulan tersebut.
Dalam UU No. 31 Tahun 1999 memang telah diatur mengenai pembuktian terbalik, tetapi ketentuan tersebut bersifat terbatas, artinya terdakwa berhak untuk membuktikan tetapi, karena penuntut umum tetap wajib membuktikan dakwaannya. Sedangkan, dalam pembuktian terbalik tersebut bersifat murni, di mana terdakwa wajib membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi, jika ia berhasil membuktikan maka berartia ia terbukti melakukan korupsi. Sistem ini digunakan terhadap setiap pemberian kepada pegawai negeri (dalam arti luas) yang nilainya diatas Rp 10 juta, sedangkan yang nilainya di bawah Rp 10 Juta masih menggunakan sostem pembuktian biasa.
32
Ibid,. Diakses tanggal 14 desember 2013.
52
Meskipun penerapan sistem pembuktian terbalik bertentangan dengan asas praduga tak bersalah yang telah diatur dalam KUHAP, dalam hal ini berlaku asa lex specialist derogat lex generali. Selain itu hal ini merupakan salah satu sarana yang dapat ditempuh untuk memberantas korupsi yang sudah mengakar di Indonesia. Hal ini, sesuai dengan tujuan hukum menurut Jeremy Bentham dalam bukunya Introduction to the Morals and Legislation, yaitu bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata berfaedah bagi orang. Karena apa yang berfaedah bagi seseorang mungkin saja merugikan orang lain, maka tujuan hukum adalah menjamin kebahagian sebanyakbanyaknya bagi orang sebanyak-banyaknya. Penerapan pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi memang disatu pihak akan merugikan terdakwa, karena hak-haknya kurang terlindungi, tetapi dilain pihak hal ini akan membawa kebahagian atau kemanfaatan bagi banyak orang, karena dapat mengurangi tindak pidana korupsi yang telah begitu
banyak
merugikan
negara.
Meskipun
demikian,
untuk
dapat
menerapkan pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi perlu dikaji terlebih dahulu, karena menurut Topo santoso direktur Pusat Studi peradilan Pidana Indonesia, dala hal ini terdapat beberapa masalah, yaitu : Pertama, bagaimana pihak kejaksaan membiasakan diri dari pola yang sebelumnya. Kedua, apakah perangkat penegak hukum sudah siap dengan itu (pembuktian terbalik), mulai dari pengacaranya, hakimnya, jaksa penuntut umumnya. Ketiga, jangan sampai pembuktian terbalik ini justru menjadi alat pemerasan baru, di mana semua orang dapat saja disudutkan melakukan korupsi. Dan pihak kejaksaan tidak akan merasa bersalah dengan menuduhkan berbagai macam-macam korupsi. Orang yang dituduh korupsi disuruh membuktikan
53
bahwa ia tidak melakukan korupsi, sehingga banyak sekali orang yang akan “diperas” karena dituduh melakukan korupsi.33 Selain itu menurut Todung Mulia Lubis penerapan asas pembuktian terbalik ini tidak mudah, karena selama ini laporan kekayaan pejabat tidak dibuat. Jadi sulit dipisahkan antara kekayaan pribadi dengan kekayaan-kekayaan “haram” yang diperoleh. Seharusnya disyaratkan laporan kekayaan pejabat sebelum menjabat dan diumumkan
kekayaannya
setiap
tahun,
sehingga
si
pejabat
dapat
diinvestigasi34.
33 34
www.Tempointeraktif.Topo santoso, Pembuktian Diakses 17 November 2013.
Ibid.
54
55
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan Berdasarkan dari hasil kajian penelitian yang dilakukan oleh penulis maka kesimpulan dapat dikemukakan sebagai berikut: 1.
Ketua DPRD Kota Surabaya bukan merupakan aparat penunjang pajak. Karena pemungutan pajak merupakan wewenang dari lembaga eksekutif, sehingga jika DPRD sebagai lembaga legislatif menyatakan dirinya berhak untuk mendapat apa yang menjadi hak dari eksekutif, maka tidak berlandaskan hukum. Oleh karenanya ketua DPRD tidak berhak mendapatkan dana tersebut. Ketua DPRD Kota
Surabaya
mendapatkan
bagian
dana
biaya
pungutan
didasarkan atas Peraturan Walikota No. 44 Tahun 2007 yang keberadaannya merujuk pada PP No. 65 Tahun 2007 jo Perda No. 9 Tahun 2006 tidak satu pasal pun yang menyebut Ketua DPRD Kota Surabaya sebagai aparat penunjang dan dalam penarikan dana biaya pungutan. 2.
Tindakan Ketua DPRD Kota Surabaya yang mendapatkan biaya pungutan dan pemerintah Kota Surabaya yang memberi biaya pungutan tersebut dapat dikualifikasikan telah melakukan tindak pidana gratifikasi menurut UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Karena sebenarnya yang diterima dari eksekutif tersebut
55
bukan dari dana biaya pemungutan melainkan suatu hadiah dengan harapan DPRD menyetujui rancangan Perda Busway menjadi Perda. Dana yang diterimanya jika diambilkan dari pajak, dimana pajak merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah, sehingga merugikan keuangan atau perekonomian daerah Kota Surabaya. 4.2 Saran 1.
Sebagai seorang Ketua DPRD, seharusnya mengetahui bahwa dirinya tidak berhak untuk mendapatkan dana biaya pemungutan. Oleh karena itu jika bersedia menerimanya juga, maka patut diberikan suatu sanksi atas dasar telah memperkaya diri sendiri dengan merugikan keuangan atau perekonomian daerah.
2.
Sebagai suatu tindakan yang dikualifikasikan sebagai gratifikasi, maka hendaknya aparat penegak hukum yang menangani kasus ini khususnya Kepolisian daerah Jawa Timur (Polda Jatim) tidak raguragu untuk meneruskan penyidikan
kasus
yang menyangkut
Gratifikasi tersebut dengan berbagai alasan yang semata-mata untuk mengembangkan kasus gratifikasi pada Ketua DPRD Kota Surabaya dan Pemerintah Kota Surabaya.
56
DAFTAR BACAAN
PERUNDANG-UNDANGAN UUD 1945 Sebelum Dan Sesudah Amandemen UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Peraturan Daerah No. 9 Tahun 2006 tentang Biaya Pemungutan Pajak Daerah. Peraturan Walikota No. 44 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pemberian Biaya Pemungutan Pajak Daerah. BUKU Adam Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi Di Indonesia, Bayu Media Publishing, Jakarta, 2005. Chaerudin, dkk, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum, ctk Pertama, PT.Rafika Aditama, Bandung. Halim Ridwan, Hukum Pidana Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002. Hadjon
M
Philipus, Tentang “YURIDIKA”,1997.
Wewenang,
Majalah
Bulanan
J.B.,Kristiadi, Problema Pendapatan Daerah,Prisma no. 18 edisi ke-8, Jakarta 2002.
57
. Kustadi Arnita, Sistem Perpajakan di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 2004. Mardiasmono, Perpajakan, Edisi Revisi Tahun 2002, Andi, Yogyakarta, 2002. Manan Bagir, Sistem Peradilan Berwibawa ( suatu Pencarian ), ctk, Pertama, FH UII, Press, Yogyakarta, 2005. Mulyadi Lilik, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Normative, Teoritis, Praktik, Dan Masalahnya, Alumni bandung, 2007. .Marzuki Mahmud Peter, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006. Saifudin,
Proses Pembentukan Undang-Undang, Studi Tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang Di Era Reformasi, Fakultas Hukum Program Pasca Sarjana, Jakarta, 2006.
Soekanto Sarjono, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terhadap Penegakan Hukum, ctk keempat, PT.Raja Grafindo Persada, 2002. INTERNET www.Kompas.com, DPRD Tidak Berhak Mendapat Jasa Pungut, Diakses Tanggal 24 Oktober 2013. www.Kompascyber.com, Luhut MP Panggaribuan, Pembuktian Pada Umumnya, Diakses Tanggal 12 Desember 2013. www.Surabayasindo.com Zudan Arif Fahrullah, Masalah Jasa Pungut DPRD,Diakses Tanggal 24 Oktober 2013. www.Tempointeraktif.com, Pembuktian Diakses 17 November 2013.
KAMUS Purwadarmita, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989.
58
59
60
61