TINDAK PIDANA DESERSI DALAM KUHPM Oleh : Kolonel CHK (Purn) JACOB LUNA SUMUK, SH
I. PENDAHULUAN 1. Pengertian Desersi a. Menurut Kamus Hukum Belanda – Indonesia halaman 69 karangan Mr. H. Van Der Tas : Desersi (Desertie – Belanda) adalah pelarian (diri). b. Menurut Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda Indonesia – Inggris tahun 1977 karangan Yan Pramudya Puspa halaman 301 : Desersi (Deserteren weglopen – Belanda) adalah melarikan diri. 2. Pengertian Tindak Pidana Desersi Dengan mengacu kepada pengertian desersi menurut Kamus Hukum sebagaimana dikemukakan pada angka 1 di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap tindakan militer yang melarikan diri dari kesatuan termasuk tindak pidana desersi. Padahal tidak demikian halnya, karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), tidak semua ketidak hadiran atau perbuatan melarikan diri itu termasuk kategori tindak pidana desersi, seperti yang diatur dalam Pasal 85 dan 86 KUHPM. Tindak pidana desersi yang diatur dalam KUHPM tercantum dalam pasal 87 dan 89 KUHPM dan pasal-pasal lain yang berkaitan erat dengan tindak pidana desersi yaitu pasal 88 dan 90 KUHPM. 3. Pengertian Waktu Perang Pengertian waktu perang baik dalam KUHP maupun di dalam KUHPM tidak dicantumkan. Yang diatur dalam KUHP maupun dalam KUHPM hanya merupakan perluasan dari pengertian waktu perang. Menurut SR Sianturi, SH dalam bukunya 1
yang berjudul “Hukum Pidana Militer di Indonesia”, Cetakan Kedua (1985) halaman 150 s.d. 151. Menurut pengertian bahasa sehari-hari yang dimaksud dengan waktu perang adalah suatu jangka waktu di mana suatu Negara sedang berperang dengan Negara lainnya atau turut berperang. Sedangkan pengertian perang adalah suatu perkelahian bersenjata yang terorganisir dengan cara-cara tertentu antara dua pihak / kekuatan yang saling berusaha mengungguli yang lainnya. Perluasan pengertian waktu perang dalam KUHP dapat dilihat dalam Pasal 96 KUHP, yang pada intinya memperluas pengertian waktu perang dengan waktu apabila perang sangat mungkin akan terjadi setelah mobilisasi diperintahkan dan selama ada mobilisasi. Sedangkan perluasan pengertian masa perang yang diatur dalam KUHPM dapat dilihat dalam Pasal 58 dan Pasal 59 KUHPM. a. Pasal 58 KUHPM memperluas pengertian waktu perang terhadap suatu satuan yang berdasarkan cara-cara yang ditentukan oleh Menteri Pertahanan, diperintahkan oleh penguasa militer yang berwenang untuk melakukan tugas ekspedisi,
pemberantasan
suatu
gerombolan
yang
bersifat
bermusuhan,
memelihara netralitas atau memberikan bantuan militer. 1) Yang dimaksud dengan ekspedisi militer adalah suatu perjalanan, pelayaran, atau penerbangan oleh suatu pasukan / team / satuan untuk melakukan suatu tugas militer. 2) Yang dimaksud dengan suatu gerombolan atau kekuatan yang bersifat bermusuhan adalah kekuatan yang telah memperlihatkan sifat yang bermusuhan dengan tindakannya walaupun gerombolan itu ada yang tidak bersenjata. 3) Yang dimaksud dengan memelihara netralitas Negara, yaitu bahwa ada perang antara dua kekuatan / Negara tertentu, tetapi Negara Indonesia tidak terlibat, lebih lagi kalau yang berperang itu Negara tetangga, maka Indonesia sewajarnya menugaskan pasukannya untuk menjaga agar jangan sampai Negara kita dijadikan pangkalan atau tempat pelarian salah satu pihak. 4) Yang dimaksud memberikan bantuan militer itu didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 16 tahun 1960. Pemberian bantuan diberikan berdasarkan 2
permintaan dari Pemerintah Daerah yang berdasarkan alasan yang sah untuk usaha mencegah gangguan keamanan atau memelihara ketertiban dan keamanan umum, menjaga keselamatan dan keamanan umum apabila terjadi bencana alam atau menjaga bangunan-bangunan serta alat-alat penting bagi Negara atau masyarakat apabila ada kemungkinan perusakan bagunanbangunan atau pencarian alat-alat tersebut. Komandan kesatuan wajib memenuhi permintaan bantuan militer tersebut, dan apabila tidak dipenuhi tanpa alasan maka komandan dapat diancam pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 413 KUHP. b. Perluasan pengertian dalam waktu perang yang diatur dalam Pasal 59 KUHPM, meliputi: 1) Anggapan pelaku tindak pidana bahwa perang akan terjadi untuk Indonesia; 2) Anggapan pelaku tindak pidana bahwa suatu Negara atau kekuatan akan menjadi lawan berperang. 4. Pengertian Waktu Damai Pengertian waktu damai adalah merupakan kebalikan dari uraian pada angka 3 di atas. 5. Pengertian Militer Pengertian militer diatur dalam berbagai ketentuan antara lain : a. Pasal 46 KUHPM : Ke-1 : Mereka yang berikatan dinas secara sukarela pada Angkatan Perang yang wajib berada dalam dinas secara terus menerus dalam tenggang waktu ikatan dinasnya. Ke-2 : Semua sukarelawan lainnya pada Angkatan Perang dan para militer wajib sesering dan selama mereka itu berada dalam dinas, demikian juga jika mereka berada di luar dinas yang sebenarnya dalam tenggang waktu selama mereka dapat dipanggil untuk masuk dalam dinas, melakukan salah satu tindakan yang dirumuskan dalam Pasal 97, 99 dan 139 Kitab Undang-Undang ini. b. Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer dalam penjelasan umum alinea terakhir (huruf d) dinyatakan : “d. Dalam Undang-Undang ini, istilah 3
Angkatan Bersenjata (baca TNI), Militer, dan Tentara diartikan sama, kecuali apabila diberi pengertian khusus.” c. Pasal 22 Undang-Undang No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, menyatakan : “Prajurit terdiri atas prajurit sukarela dan Prajurit wajib”. Selanjutnya dalam Pasal 23 ayat (1) dinyatakan : “Prajurit sukarela menjalani dinas keprajuritan dengan ikatan dinas”. Sementara dalam Pasal 24 ayat (1) dinyatakan : “Prajurit wajib menjalani dinas keprajuritan berdasarkan ikatan dinas”. 6. Pengertian yang Dipersamakan dengan Militer Pengertian tentang yang dipersamakan dengan Militer juga diatur dalam berbagai ketentuan, antara lain : a. Pasal 47 KUHPM : “Barangsiapa yang menurut kenyataannya bekerja pada Angkatan Perang menurut hukum dipandang sebagai militer, apabila dapat diyakinkan bahwa dia tidak termasuk dalam salah satu ketentuan di atas (Pasal 46 KUHPM)”. b. Pasal 48 KUHPM : “Sukarelawan (lainnya) pada Angkatan Perang atau militer wajib yang tersebut pada Pasal 46 ayat (1) ke-2 dipandang sebagai dalam dinas”. Ke-1 : Sejak ia dipanggil untuk penggabungan atau untuk masuk dalam dinas atau dengan sukarela masuk dalam dinas, pada suatu tempat yang ditentukan baginya, ataupun sejak dia melaporkan diri dalam dinas tersebut, satu dan lain hal sampai dia dinyatakan di luar dinas (dibebaskan); Ke-2 : Selama dia mengikuti latihan militer atau pekerjaan militer ataupun melakukan suatu karya militer lainnya; Ke-3 : Selama dia sebagai sukarelawan atau militer wajib atau sebagai terdakwa atau yang diadukan dalam suatu perkara pidana atau terperiksa dalam suatu pemeriksaan; Ke-4 : Selama dia memakai pakaian seragam atau tanda pengenal yang ditetapkan baginya atau tanda-tanda pembedaan-pembedaan lainnya; Ke-5 : Selama dia menjalani pidana pada suatu bangunan militer atau tempat lainnya sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 13, ataupun di perahu laut, atau di dalam angkutan udara Angkatan Perang. 4
c. Pasal 49 KUHPM : 1) Termasuk juga dalam pengertian militer Ke-1 : (diubah dengan UU No. 39 tahun 1947, Perpem No. 51 tahun 1963) bekas militer yang digunakan dalam suatu dinas militer; Ke-2 : Komisaris-komisaris militer wajib yang berpakaian seragam, setiap kali mereka melakukan dinas sedemikian itu; Ke-3 : (diubah dengan UU No. 39 tahun 1947) pensiunan perwira anggota dari suatu Peradilan Militer (luar biasa), setiap kali mereka melakukan dinas sedemikian itu. Ke-4 : (diubah dengan UU No. 39 tahun 1947, UU No. 74 tahun 1957 jo UU No. 23 Prp tahun 1959), mereka yang memakai pangkat titular militer yang ditetapkan dengan atau berdasarkan Undang-Undang, atau yang dalam keadaan bahaya kepada mereka yang dipanggil oleh penguasa perang berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang Keadaan Bahaya (UU No. 23 Prp tahun 1959) diberikan pangkat titular, selama menjalankan pekerjaan-pekerjaan militer; Ke-5 : mereka, anggota dari suatu organisasi, yang dipersamakan dengan Angkatan Darat, Laut atau Udara atau dipandang sedemikian itu: a. Dengan atau berdasarkan Undang-Undang; b. Selama keadaan bahaya oleh penguasa perang ditetapkan dengan atau berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Keadaan Bahaya. 2) Para militer yang dimaksudkan pada ayat pertama ditetapkan dalam pangkat mereka semula atau setingkat lebih tinggi dari pangkatnya ketika meninggalkan dinas militer sebelumnya. 3) Pasal 46 ayat kedua diterapkan. d. Pasal 50 KUHPM : Para bekas militer dipersamakan dengan militer, jika dalam waktu satu tahun setelah mereka meninggalkan dinas militer, melakukan penghinaan atau tindakan nyata (feitelijkheden) terhadap atasan mereka yang dulu yang masih dalam dinas mengenai masalah dinas yang dulu. e. Pasal 51 KUHPM : 1) (Diubah dengan UU No. 39 tahun 1947). Militer asing yang dengan persetujuan penguasa militer menyertai atau mengikuti suatu satuan Angkatan Perang yang disiap-siagakan untuk perang, militer tawanan perang, dan dalam 5
hal terjadi perang di mana Indonesia tidak terlibat semua militer dari salah satu pihak yang berperang diinternir di negeri ini, termasuk mereka yang dibebaskan dengan suatu perjanjian atau persyaratan, dengan memperhatikan pangkat-pangkat yang dipakai oleh mereka, dipersamakan dengan militer dalam hal mereka melakukan suatu tindak pidana yang diatur dalam Hukum Pidana Umum, Pasal 68 atau 69, atau dalam Bab IV s.d. VI buku II dari Kitab Undang-Undang ini. Militer asing yang diinternir, yang berdasarkan ketetapan penguasa Indonesia yang berhak membawahkan militer asing lainnya dalam hubungannya dengan sesamanya, dengan memperhatikan pangkat-pangkat yang mereka pakai, juga dipersamakan dengan militer. 2) (Diubah dengan UU NO. 39 tahun 1947). Tergantung pada bagian-bagian dari Angkatan Perang di mana atau di bawah pengamanan siapa mereka terdapat, mereka dianggap sebagai termasuk pada Angkatan Darat, Laut atau Udara. f. Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang No. 34 tahun 2004 tentang TNI menyebutkan : “Prajurit Siswa tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku bagi prajurit”. Sedangkan yang dimaksud dengan Prajurit Siswa menurut Pasal 1 butir 17 Undang-Undang No. 34 tahun 2004 adalah : “Warga Negara yang sedang menjalani pendidikan pertama untuk menjadi Prajurit”. Terhadap mereka yang dipersamakan dengan militer dapat menjadi subyek dari tindak pidana dalam KUHPM yang subyeknya dirumuskan dengan istilah “Militer”.
II. PENGATURAN DESERSI DALAM UNDANG-UNDANG Tindak pidana desersi selain diatur dalam KUHPM juga ada dalam KUHP 1. Tindak Pidana Desersi yang diatur dalam KUHPM yang berkaitan langsung dengan Pidana desersi yaitu Pasal 87 dan 89 KUHPM. Sebagaimana telah dikemukakan pada angka 2 di atas diatur dalam Pasal 87 dan 89 KUHPM, pelakunya adalah militer sebagaimana dapat dilihat dalam perumusan subyek dari tindak pidana tersebut. Disamping itu di dalam KUHPM dirumuskan pula tindak pidana-tindak pidana yang berkaitan langsung dengan tindak pidana desersi, yaitu : Pasal 90, 91 KUHPM. 2. Tindak Pidana Desersi yang diatur dalam KUHP dapat dilihat dalam : 6
a. Pasal 453. Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan seorang nakhoda kapal Indonesia yang, sesudah dimulai penerimaan atau penyewaan kelasi, tapi sebelum perjanjiannya habis dengan sengaja dan melawan hukum menarik diri dari pimpinan kapal itu. Pasal 454. Diancam, karena melakukan desersi, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang kelasi yang bertentangan dengan kewajibannya menurut persetujuan kerja, menarik diri dari tugasnya di kapal Indonesia, jika menurut keadaan di waktu melakukan perbuatan, ada kekhawatiran, timbul bahaya bagi kapal, penumpang atau muatan kapal itu. b. Pasal 455. Diancam karena melakukan desersi biasa, dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu, seorang anak buah kapal (scheepsgzel) kapal Indonesia, yang dengan sengaja melawan hukum tidak mengikuti atau tidak meneruskan perjalanan, yang telah disetujuinya. c. Pasal 457. Pidana yang ditentukan dalam Pasal 454 dan 455 dapat dilipatduakan, jika dua orang atau lebih dengan bersekutu melakukan kejahatan itu, atau jika kejahatan dilakukan akibat permufakatan jahat untuk berbuat demikian.
III.TINDAK PIDANA DESERSI YANG DIATUR DALAM KUHPM 1. Ciri-Ciri Tindak Pidana Desersi Ciri-ciri utama dari tindak pidana desersi adalah ketidak hadiran tanpa ijin yang dilakukan oleh seseorang militer pada suatu tempat yang ditentukan baginya, di mana dia seharusnya berada untuk melaksanakan kewajiban dinas. Cara
untuk
ketidak
hadiran
tersebut
dapat
berupa
:
bepergian,
menyembunyikan diri, menyeberang ke musuh, memasuki dinas militer Negara lain, atau membuat dirinya tertinggal dengan sengaja. 2. Bentuk Desersi Bentuk desersi dapat disimpulkan dari perumusan pasal-pasal yang mengatur tindak pidana desersi, yaitu : a. Pasal 87 KUHPM : 1) Diancam karena desersi, militer : Ke-1, Yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyeberang ke 7
musuh, atau memasuki dinas militer pada suatu Negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu; Ke-2, Yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari tiga puluh hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat hari; Ke-3, Yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dan karenanya tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diuraikan pada Pasal 85 Ke-2. 2) Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan. 3) Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana penjara maksimum delapan tahun enam bulan. b. Pasal 89 KUHPM : Diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau sementara maksimum dua puluh tahun : Ke-1, Desersi ke musuh; Ke-2, (Diubah dengan UU No. 39 tahun 1947). Desersi dalam waktu perang, dari satuan-pasukan, perahu-laut, atau pesawat terbang yang ditugaskan untuk dinas pengamanan, ataupun dari suatu tempat atau pos yang diserang atau terancam serangan oleh musuh. Dari perumusan Pasal 87 dapat disimpulkan ada dua bentuk desersi, yaitu : 1) Bentuk desersi murni (Pasal 87 ayat 1 ke-1) dan 2) Bentuk desersi sebagai peningkatan dari kejahatan ketidak hadiran tanpa izin (Pasal 87 ayat 1 ke-2 dan ke-3). 3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Desersi a. Pasal 87 ayat (1) ke 1 KUHPM, unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : 1) Unsur ke-1 : Militer : Pengertian Militer lihat uraian pada I angka 5 dan 6 di atas. 2) Unsur ke-2 : Yang pergi dengan maksud menarik untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyeberang ke musuh, atau memasuki dinas militer pada suatu Negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu. 8
Unsur ke-2 tersebut dirumuskan secara alternatif. Yang berarti salah satu dari alternatif tersebut terbukti, maka unsur ke-2 telah terpenuhi. Perumusan alternatif tersebut dapat dilihat antara : a) Militer yang pergi dengan maksud untuk menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya; b) Militer yang pergi dengan maksud untuk menghindari bahaya perang; c) Militer yang pergi dengan maksud untuk menyeberang ke musuh; atau d) Militer yang pergi dengan maksud untuk memasuki dinas militer pada suatu Negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu. b. Pasal 87 ayat (1) ke-2 KUHPM, unsur-unsurnya terdiri dari : 1) Unsur ke-1 : Militer; 2) Unsur ke-2 : karena salahnya atau dengan sengaja Unsur ke-2 dirumuskan secara alternatif antara kealpaan dan dengan sengaja, sehingga salah satu alternatif terpenuhi maka unsur ke-2 telah terpenuhi. Mengenai kealpaan, dengan kemajuan teknologi sekarang ini, maka sulit dibayangkan adanya kealpaan; 3) Unsur ke-3 : Melakukan ketidak hadiran tanpa ijin; 4) Unsur ke-4 : Dalam waktu damai (kebalikan dari dalam waktu perang); 5) Unsur ke-5 : Lebih lama dari tiga puluh hari; ketidak hadiran tanpa ijin lebih lama dari tiga puluh hari secara berturut-turut (tidak terputus-putus). Dalam hal unsur ke-2 merupakan “dengan sengaja” maka unsur ke-3, ke-4 dan ke-5 harus diliputi dengan kesengajaan. Artinya melakukan ketidak hadiran tanpa ijin, dalam waktu damai, dan lebih lama dari tiga puluh hari harus disadari oleh pelaku tindak pidana. Dalam Pasal 87 ayat (1) ke-2 KUHPM dilakukan dalam waktu perang, maka rumusan unsur ke-4 dan ke-5 adalah sebagai berikut : a) Unsur ke-4 : dalam waktu perang; b) Unsur ke-5 : lebih lama dari empat hari. c. Pasal 87 ayat (1) ke-3 KUHPM, unsur-unsurnya terdiri dari : 1) Unsur ke-1 : Militer; 2) Unsur ke-2 : Yang dengan sengaja; 3) Unsur ke-3 : Melakukan ketidak hadiran tanpa ijin; 9
4) Unsur ke-4 : dan karenanya tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintahkan; 5) Unsur ke-5 : ke satu tempat yang terletak di luar pulau di mana ia sedang berada yang diketahuinya atau patut harus mendengar adanya perintah untuk itu. d. Pasal 89 ke-1 KUHPM, unsur-unsurnya terdiri dari : 1) Unsur ke-1 : Militer; 2) Unsur ke-2 : Yang dengan sengaja; 3) Unsur ke-3 : Melakukan ketidak hadiran tanpa ijin; 4) Unsur ke-4 : Menggabungkan diri ke musuh. e. Pasal 89 ke-2 KUHPM, unsur-unsurnya terdiri dari : 1) Unsur ke-1 : Militer; 2) Unsur ke-2 : Yang dengan sengaja; 3) Unsur ke-3 : Melakukan ketidak hadiran tanpa ijin; 4) Unsur ke-4 : Dalam waktu perang; 5) Unsur ke-5 : Pergi dari satuan pasukan, perahu laut, atau pesawat terbang yang ditugaskan untuk dinas pengamanan, ataupun dari suatu tempat atau pos yang diserang atau terancam serangan oleh musuh. Unsur ke-5 dirumuskan secara alternatif, sehingga kalau salah satu sudah terpenuhi, maka unsur ke-5 telah terpenuhi. 4. Unsur tindak pidana yang terkait erat dengan tindak pidana desersi : a. Pasal 90 ayat (1) KUHPM, unsur-unsurnya terdiri dari : 1) Unsur ke-1 : Militer; 2) Unsur ke-2 : Yang sengaja; 3) Unsur ke-3 : Dengan suatu akal bulus atau suatu rangkaian karangan bohong; 4) Unsur ke-4 : Menarik diri dari pelaksanaan kewajiban dinasnya untuk sementara waktu atau untuk selamanya ataupun yang sengaja untuk itu membuat atau menyuruh membuat dirinya tidak terpakai; Unsur ke-4 dirumuskan secara alternatif (lihat uraian di atas). b. Pasal 90 ayat (3) KUHPM, unsur-unsurnya terdiri dari : 1) Unsur ke-1 : Barangsiapa (pengertian barangsiapa, lihat Pasal 52 KUHPM); 2) Unsur ke-2 : Yang sengaja; 10
3) Unsur ke-3 : Membuat tidak terpakai seseorang militer atas permintaannya sendiri untuk pelaksanaan kewajiban-kewajiban dinasnya selanjutnya, untuk sementara atau untuk selamanya; c. Pasal 91 ayat (1) KUHPM, unsur-unsurnya terdiri dari : 1) Unsur ke-1 : Barangsiapa; 2) Unsur ke-2 : Membuat secara tidak benar atau memakai suatu surat cuti ataupun meminta diberikan surat serupa itu dengan nama palsu atau nama kecil palsu atau yang menunjukkan suatu keadaan palsu. Unsur ke-2 dirumuskan secara alternatif (lihat uraian di atas). Perumusan secara alternatif tersebut adalah antara : a) Membuat secara tidak benar atau memalsu suatu surat cuti, atau; b) Meminta diberikan surat serupa itu dengan nama palsu atau nama kecil palsu atau yang menunjukkan suatu keadaan palsu. Dalam perumusan alternatif a) atau b) juga terdapat perumusan secara alternatif, yaitu : yang berada di depan kata atau di belakang kata atau, sehingga perumusan alternatif tersebut tidak harus terpenuhi semua, melainkan cukup salah satu alternatif yang terpenuhi, maka perumusan itu sudah terpenuhi; 3) Unsur ke-3 : Dengan maksud (gradasi pertama dari gradasi kesengajaan); 4) Unsur ke-4 : Untuk memakainya atau memberikannya kepada seseorang militer untuk memakai surat itu seolah-olah surat itu benar dan tidak dipalsukan atau seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran. d. Pasal 91 ayat (2) KUHPM, unsur-unsurnya terdiri dari : 1) Unsur ke-1 : Militer; 2) Unsur ke-2 : Yang sengaja; 3) Unsur ke-3 : Memakai surat cuti yang dibuat secara tidak benar atau yang dipalsukan seolah-olah surat itu benar atau dan tidak dipalsukan atau seolaholah isinya itu sesuai dengan kebenaran. Unsur ke-3 dirumuskan secara alternatif (lihat uraian di atas).
IV. PEMBERATAN TERHADAP TINDAK PIDANA DESERSI 1. Residivire (pengulangan) : sesuai dengan Pasal 88 ayat (1) ke-1 KUHPM, residivire terjadi apabila ketika melakukan kejahatan desersi belum lewat lima tahun sejak 11
petindak telah menjalani seluruhnya atau sebagian dari pidana yang dijatuhkan kepadanya dengan putusan, karena melakukan desersi atau sejak pidana itu seluruhnya dihapuskan baginya, atau apabila ketika melakukan kejahatan itu hak menjalankan pidana tersebut belum daluarsa; 2. Tindak pidana desersi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama; 3. Pelaku tindak pidana desersi adalah militer pemegang komando; 4. Pelaku sedang menjalankan dinas pada saat melakukan tindak pidana desersi; 5. Tindak pidana desersi itu dilakukan dengan pergi ke atau di luar negeri; 6. Pelaku melakukan tindak pidana desersi menggunakan suatu perahu laut, pesawat terbang atau kendaraan yang termasuk pada Angkatan Perang (TNI); 7. Pelaku melakukan tindak pidana desersi dengan membawa serta suatu binatang yang digunakan untuk kebutuhan Angkatan Perang (TNI), senjata atau amunisi. Dalam hal salah satu diantara angka 1 s.d. 7 dipenuhi, maka kepada pelaku tindak pidana dapat diperberat dengan diduakalikan. Apabila tindak pidana desersi yang dilakukan dalam waktu damai dibarengi dengan dua atau lebih keadaan-keadaan tersebut pada angka 1 s.d. 7 maka pidananya dapat diperberat lagi dengan setengahnya (Pasal 88 ayat (2) KUHPM).
V. PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA DESERSI 1. Dalam ketentuan umum (Buku I) KUHP, penyertaan diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Menurut Pasal 55 dan 56 KUHP bentuk-bentuk penyertaan terdiri dari : a. Mereka yang melakukan; b. Mereka yang menyuruh melakukan; c. Mereka yang turut serta melakukan; d. Mereka yang menggerakkan dan yang digerakkan (Penggerakan); e. Mereka yang melakukan dan yang membantu (pembantuan); Tersebut huruf a s.d. c diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sedangkan tersebut huruf d diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP, dan tersebut huruf e diatur dalam Pasal 56 KUHP. 2. Dalam hal suatu tindak pidana desersi yang dilakukan oleh dua orang militer atau lebih, tentu tidak ada masalah yang dihadapi. Akan tetapi masalah akan timbul apabila 12
dalam tindak pidana desersi terlibat orang non militer. Apakah kepada orang non militer dapat diterapkan tindak pidana desersi yang dalam perumusan subyeknya ditentukan militer. Menurut putusan Hoge Raad (HR) tanggal 21 Juni 1926 W. 11541 dinyatakan bahwa : walaupun pada seseorang (yang sudah turut serta melakukan tindakan pelaksanaan) tiada memenuhi unsur keadaan pribadi tersebut pada pelaku dengan siapa ia bekerjasama, maka orang itu adalah pelaku peserta. Dengan mengacu pada putusan HR tersebut, maka kepada non militer dapat diterapkan pasal tindak pidana desersi. 3. Dalam KUHP ada bentuk penyertaan terhadap tindak pidana desersi, yaitu : a. Pasal 124 (3) ke-2 KUHP Pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun dijatuhkan jika pembuat ke-2 menyebabkan atau memperlancar timbulnya huru-hara, pemberontakan atau desersi di kalangan Angkatan Perang. Ketentuan dalam Pasal 124 ayat (3) ini diterapkan kepada non militer kalau yang bersangkutan menyebabkan atau memperlancar desersi bagi militer. b. Pasal 165 ayat (1) KUHP Barangsiapa mengetahui niat untuk melakukan kejahatan tersebut Pasal 104, 106, 107, 108, 110-113, 115-129 dan 131 atau niat untuk lari dari tentara (desersi) dalam masa perang, untuk menghianati tentara, untuk membunuh dengan rencana, untuk menculik atau memperkosa; atau mengetahui niat untuk melakukan kejahatan tersebut dalam Bab VII Kitab Undang-Undang ini sepanjang kejahatan itu membahayakan nyawa orang atau untuk melakukan kejahatan tersebut Pasal 264 dan 275 sepanjang mengenai surat kredit yang diperuntukkan bagi peredaran; pada saat kejahatan masih dapat dicegah dengan sengaja tidak memberitahukannya kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada yang terancam, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah, apabila kejahatan jadi dilakukan. Ketentuan Pasal 165 ayat (1) KUHP diterapkan bagi non militer yang mengetahui niat militer untuk lari dari tentara (desersi) dalam masa perang untuk menghianati tentara. 13
c. Pasal 236 KUHP Barangsiapa pada waktu damai, dengan memakai salah satu cara tersebut Pasal 55 No. 2 sengaja menganjurkan seorang anggota tentara dalam dinas Negara, supaya melarikan diri (desersi), atau mempermudahnya menurut salah satu cara tersebut Pasal 56, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan. Ketentuan Pasal 236 KUHP diterapkan bagi non militer yang menggerakkan seorang militer untuk melakukan tindak pidana desersi. Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk penyertaan pada Pasal 124 ayat (3) ke-2 dan Pasal 165 ayat (1) KUHP bentuk penyertaannya adalah pembantuan, sedangkan Pasal 236 KUHP bentuk penyertaannya adalah penggerakkan. Timbul pertanyaan bagaimana kalau yang terjadi bentuk penyertaan selain pembantuan dan penggerakkan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus dikemukakan kepada uraian huruf b di atas.
VI. PROSES PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA DESERSI 1. Akibat yang ditimbulkan tindak pidana desersi. a. Mengganggu pembinaan disiplin di kesatuan; b. Kalau dilakukan dalam daerah operasi, maka akan mengurangi kemampuan satuan, apalagi apabila militer yang bersangkutan mempunyai keahlian khusus untuk kepentingan pelaksanaan tugas operasi tersebut; c. Dapat menurunkan moril pasukan yang sedang bertempur. 2. Hambatan yang timbul dalam penyelesaian tindak pidana desersi a. Petugas penegak hukum yang kurang, misalnya : penyidik, penuntut umum, Hakim kurang; b. Dalam tindak pidana terjadi di medan pertempuran maka penyidikan akan mengalami kesulitan untuk memanggil saksi-saksi diperiksa, karena sedang menghadapi musuh. 3. Pemeriksaan Sidang Desersi in absentia a. Ketentuan mengenai sidang in absensia diatur dalam Pasal 143 Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Syarat-syarat sidang in absentia menurut Pasal 143 Undang-Undang No. 31 tahun 1997, meliputi : 14
1) Tindak pidana yang terjadi adalah tindak pidana desersi; 2) Terdakwa tidak diketemukan lagi karena melarikan diri dalam waktu 6 (enam) bulan berturut-turut; 3) Telah diupayakan pemanggilan 3 (tiga) kali berturut-turut secara sah, tetapi tidak hadir di sidang tanpa alasan. b. Acara pemeriksaan di sidang untuk tindak pidana desersi. Dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer dikenal adanya 4 (empat) acara pemeriksaan, yaitu : 1) Acara pemeriksaan biasa; 2) Acara pemeriksaan koneksitas; 3) Acara pemeriksaan khusus; 4) Acara pemeriksaan cepat. Untuk pemeriksaan secara in absentia terhadap tindak pidana desersi menggunakan acara pemeriksaan biasa dengan urut-urutan sebagai berikut : 1) Pembukaan Sidang oleh Hakim Ketua; 2) Penghadapan Terdakwa. Oleh karena Terdakwanya sudah melarikan diri dan tidak diketemukan lagi maka Oditur menjelaskan kepada Majelis Hakim bahwa Terdakwanya tidak diketemukan lagi dan menjelaskan bahwa Terdakwa melarikan diri secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan dan telah dipanggil secara berturut-turut sebanyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut dengan
menunjukkan
bukti-bukti
panggilan;
maka
Hakim
Ketua
memberitahukan Oditur dan Penasihat Hukum (kalau ada) bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 143 Undang-Undang No. 31 tahun 1997, perkara ini dapat disidangkan secara in absentia; 3) Selanjutnya Hakim Ketua memerintahkan Oditur membacakan Surat Dakwaan; 4) Setelah Oditur selesai membacakan surat dakwaan, Hakim Ketua menanyakan kepada Penasehat Hukum (kalau ada), apakah mengajukan keberatan (Eksepsi) atau tidak dan kalau ada agar dibacakan kalau sudah siap dan selanjutnya tanggapan dari Oditur. Selanjutnya musyawarah untuk mengambil putusan sela. Dalam hal Penasehat Hukum tidak ada, maka sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan; 5) Pemeriksaan saksi; 15
6) Pemeriksaan barang bukti; 7) Tuntutan pidana dari Oditur; 8) Pembelaan, Replik, dan Duplik apabila ada Penasehat Hukum; 9) Musyawarah Majelis Hakim; 10) Pengucapan putusan.
VII. PENUTUP Demikianlah secara singkat uraian tentang tindak pidana desersi yang diatur dalam KUHPM. Semoga bermanfaat bagi para Perwira peserta Pelatihan Tematik yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia.
16