RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 14/PUU-XII/2014 Tindak Pidana Dalam Kedokteran I.
PEMOHON 1. Dr. Agung Sapta Adi, SP. An., sebagai Pemohon I; 2. Dr. Yadi Permana, Sp. B (K) Onk., sebagai Pemohon II; 3. Dr. Irwan Kreshnamurti, Sp. OG., sebagai Pemohon III; 4. Dr. Eva Sridiana, Sp. P., sebagai Pemohon IV; 5. Dr. Lewis Isnadi, sebagai Pemohon V. KUASA HUKUM M. Luthfie Hakim, S.H., M.H., dkk.
II.
OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materil Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran terhadap UUD 1945.
III.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Para Pemohon menjelaskan, bahwa ketentuan yang mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. 2. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi “menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. 3. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan Pemohon.
IV.
KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON Para Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai dokter spesialis dan merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Kerugian konstitusional yang dimaksud para Pemohon adalah para Pemohon akan kehilangan reputasi baik bahkan kehilangan pekerjaan atau profesinya yang kemudian akan menimbulkan kerugian materiil. Hal tersebut disebabkan para Pemohon tetap dapat dipidanakan atas tindakan medis yang
dilakukannya walaupun tindakan tersebut sudah memenuhi standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. V.
NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DI UJI A. NORMA MATERIIL Norma yang diujikan, yaitu: − Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang. B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Norma yang dijadikan sebagai dasar pengujian, yaitu : − Pasal 22G ayat (1) UUD 1945 Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. − Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
VI.
ALASAN-ALASAN PEMOHON UNDANG-UNDANG A QUO BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945 1. Ketentuan a quo membuka interpretasi luas terhadap tindakan kedokteran diserupakan dengan perbuatan yang dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana; 2. Bahwa ada beberapa tindakan medis yang tidak dilakukan karena keadaan mendesak dikarenakan harus segera menyelamatkan jiwa pasien serta tidak tersedianya waktu untuk melakukan pemeriksaan penunjang lagi, dan dokter dalam situasi tersebut dapat dipersalahkan karena melakukan kelalaian yang mengakibatkan kematian seseorang; 3. Tindakan kedokteran yang dapat dibawa ke ranah hukum pidana seharusnya dibatasi hanya terhadap tindakan dalam dua kondisi saja yaitu tindakan kedokteran yang mengandung kesengajaan atau tindakan kedokteran yang mengandung kelalaian nyata/berat seperti yang sudah diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi.
VII. PETITUM 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon seluruhnya;
2. Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang berbunyi “Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa laporan dugaan tindak pidana dan/atau gugatan kerugian perdata ke pengadilan itu harus terlebih dahulu diadukan, diperiksa dan diputus MKDKI dengan putusan menyatakan teradu telah bersalah melakukan pelanggaran disiplin professional dokter atau dokter gigi yang mengandung kesengajaan (dolus/opzet) atau kelalaian nyata/berat (culpa lata)dan/atau menimbulkan kerugian perdata; 3. Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran a quo harus dibaca, “Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan, dengan ketentuan dugaan tindak pidana dan/atau kerugian perdata itu harus terlebih dahulu diadukan, diperiksa dan diputus MKDKI dengan putusan menyatakan teradu telah bersalah melakukan pelanggaran disiplin professional dokter atau dokter gigi yang mengandung kesengajaan (dolus/opzet) atau kelalaian nyata/berat (culpa lata) dan/atau menimbulkan kerugian perdata”; 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana mestinya. Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi mempunyai pendapat lain atas perkara a quo mohon diberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Catatan: − Perubahan terdapat pada Petitum a) Permohonan Awal 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon seluruhnya; 2. Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 tentang Praktik Kedokteran yang menyatakan, ” Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dibatasi dengan tegas bahwa laporan itu sebatas hanya berlaku terhadap tindakan kedokteran dalam dua kondisi saja yaitu tindakan kedokteran yang mengandung kesengajaan (dolus/opzet) atas akibat yang diancamkan pidana atau tindakan kedokteran yang mengandung kelalaian nyata/berat (culpa alta) dan telah dinyatakan terbukti demikian terlebih dahulu dalam persidangan MKDKI; 3. Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang menyatakan, ” Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk
melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat kecuali dimaknai bahwa dugaan tindak pidana ini hanya berlaku terhadap tindakan kedokteran dalam dua kondisi saja yaitu tindakan kedokteran yang mengandung kesengajaan (dolus/opzet) atas akibat yang diancamkan pidana atau tindakan kedokteran yang mengandung kelalaian nyata/berat (culpa alta) dan telah dinyatakan terbukti demikian terlebih dahulu dalam persidangan MKDKI, sehingga frasa tersebut harus dibaca “Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang sebatas hanya berlaku terhadap tindakan kedokteran dalam dua kondisi saja yaitu tindakan kedokteran yang mengandung kesengajaan (dolus/opzet) atas akibat yang diancamkan pidana atau tindakan kedokteran yang mengandung kelalaian nyata/berat (culpa alta) dan telah dinyatakan terbukti demikian terlebih dahulu dalam persidangan MKDKI”; 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana mestinya. Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi mempunyai pendapat lain atas perkara a quo mohon diberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). b) Perbaikan Permohonan 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon seluruhnya; 2. Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang berbunyi “Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa laporan dugaan tindak pidana dan/atau gugatan kerugian perdata ke pengadilan itu harus terlebih dahulu diadukan, diperiksa dan diputus MKDKI dengan putusan menyatakan teradu telah bersalah melakukan pelanggaran disiplin professional dokter atau dokter gigi yang mengandung kesengajaan (dolus/opzet) atau kelalaian nyata/berat (culpa lata)dan/atau menimbulkan kerugian perdata; 3. Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran a quo harus dibaca, “Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan, dengan ketentuan dugaan tindak pidana dan/atau kerugian perdata itu harus terlebih dahulu diadukan, diperiksa dan diputus MKDKI dengan putusan menyatakan teradu telah bersalah melakukan pelanggaran disiplin professional dokter atau dokter gigi yang mengandung kesengajaan (dolus/opzet) atau kelalaian nyata/berat (culpa lata) dan/atau menimbulkan kerugian perdata”;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana mestinya. Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi mempunyai pendapat lain atas perkara a quo mohon diberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).