KORUPSI MENGHAMBAT PEMBANGUNAN NASIONAL Oleh : Kolonel Chk Hidayat Manao, SH Kadilmil I-02 Medan Salah satu tujuan Pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan kesejahteraan Rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sehingga untuk mencapai hal tersebut tidaklah semudah membalik telapak tangan, melainkan dibutuhkan komitmen pemimpin bangsa atau penguasa, dukungan dana atau anggaran pembangunan yang memadai, aparat penegak hukum yang handal dan berani serta dukungan dari rakyat itu sendiri. Pembangunan Nasional sampai Kabinet Indonesia Bersatu jilid II telah dilakukan diberbagai sektor kehidupan dengan dukungan dana yang cukup, namun penggunaan dana atau anggaran tersebut haruslah tepat sasaran dan sesuai dengan aturan yang ada, namun aturan/sistem yang sudah ada juga harus didukung oleh aparat pelaksana yang baik, bekerja keras, bersih dan mempunyai komitmen yang kuat untuk lebih mengutamakan kepentingan rakyat/masyarakat dari pada kepentingan pribadi/kelompok. Dewasa ini diakui telah banyak masyarakat telah merasakan manfaat pembangunan diberbagai sektor, namun secara objektif juga diakui disana-sini masih banyak sektor yang memerlukan pembenahan terutama kurang tersedianya lapangan pekerjaan guna mengurangi angka penggangguran, perbaikan pelayanan kesehatan masyarakat, sektor pelayanan publik dan biaya pendidikan yang semakin mahal. Guna menjawab kenapa belum terwujudnya kesejahteraan bagi rakyat sebagaimana yang diharapkan? Adalah salah satu faktor penghambatnya karena “Praktek korupsi” atau “Pelaku korupsi” cenderung meningkat seiring dengan makin besarnya anggaran pembangunan setiap tahunnya, maka untuk mengobati penyakit korupsi tersebut tentu diperlukan terapi yang lebih konprehensif dalam pemberantasan korupsi, diantaranya yang dilakukan oleh Pemerintah adalah lahirnya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Harapan masyrakat agar korupsi diberantas sampai keakar-akarnya atau paling tidak ditekan baik kualitasnya maupun kuantitasnya, sehingga tidak menghambat atau menggannggu lajunya pembangunan, karena sampai sekarang ini harapan tersebut masih belum dilakukan secara optimal atau belum sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh rakyat atau masyarakat. Angka kasus korupsi yang cenderung meningkat telah banyak dilansir oleh berbagai media yang dapat langsung diakses oleh masyarakat, sehingga terbentuk opini masyarakat merasa bahwa lembaga-lembaga penegak hukum khususnya dalam penanganan perkara korupsi yang terjadi baik ditingkat pusat maupun daerah masih belum dilakukan secara maksimal. Arti Korupsi dalam Undang-Undang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme diatur secara limitatif dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 yang memberi pengertian Korupsi yaitu “Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi” “Korupsi” adalah penyalahgunaan kekuasaan, wewenang dan jabatan atau kedudukan yang memberikan keuntungan bagi diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang menimbulkan kerugian Negara atau perekonomian Negara atau pihak lain yang dirugikan. 1
Perbuatan tindak pidana korupsi telah ada sejak berdirinya suatu Negara yang dipimpin oleh penguasa, namun prakteknya (modus operandinya) tidak sehebat sekarang ini atau masih bersifat konvensional, maka dasar hukum tentang pengaturan korupsi tersebut telah ada sejak dulu dan telah mengalami perubahan / perbaikan sesuai perkembangannya yaitu : 1.
Masa berlakunya Peraturan Penguasa Militer periode 1957 sampai dengan1958, semula korupsi diatur secara umum dalam KUHP, dengan perkembangan situasi maka korupsi diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersendiri, maka peraturan perundangan tentang Tindak Pidana Korupsi untuk pertama kali diadakan pada tahun 1957 dan selanjutnya mengalami beberapa kali perubahan sesuai perkembangan zaman.
2.
Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 24 / Prp/ Tahun 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi.
3.
Masa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4.
Masa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diberlakukan sampai sekarang ini.
Adapun perubahan tersebut adalah menyangkut beberapa Pasal yang substansial termasuk juga rumusan dan penjelasan serta penambahan beberapa Pasal dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 itu sendiri dengan asumsi perbaikan sistem perundangan akan dapat mendukung upaya memberantas praktek korupsi. Arti “Tindak Pidana Korupsi” telah dirumuskan secara normatif dan tegas dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan pengertian adalah : “Perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi secara melawan hukum dalam pengertian formil dan materil”, maka arti melawan hukum yang terjadi dalam tindak pidana korupsi juga mencakup perbuatan-perbuatan yang tercela yang dirasakan oleh masyarakat dan terhadap pelakunya harus diadili dan dipidana apabila terbukti disidang Pengadilan. Sementara itu perbuatan korupsi sebagai tindak pidana formil berarti : “Suatu perbuatan walaupun resiko akibat dari kerugian Negara tersebut pelaku telah mengembalikan kepada Negara, namun pengembalian tersebut tidaklah menghapus / menghilangkan / meniadakan unsur perbuatan pidananya, dengan pengertian terhadap pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan kesidang Pengadilan dan apabila terbukti perbuatannya tetap dipidana, sedangkan pengembalian keuangan Negara tersebut hanya bersifat meringankan pelaku sesuai Pasal 4 Undang-Undang 31 Tahun 1999. Penegak Hukum Tindak Pidana Korupsi Institusi Kepolisian dan Kejaksaan yang telah ada dinilai belum maksimal dalam melaksanakan Penyidikan dan Penuntutan terhadap pelaku korupsi, maka respon masyarakat ini Pemerintah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 dengan maksud agar pemberantasan korupsi dapat dilakukan seoptimal mungkin atau paling tidak dapat menekan angka jumlah keuangan Negara yang telah disalahgunakan atau diselewengkan artinya apabila suatu saat pemberantasan korupsi telah berhasil melaksanakan fungsi dan misinya tidak tertutup kemungkinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk secara temporer tersebut dapat dikembalikan pada institusi Kepolisian dan Kejaksaan.
2
Memang diakui dari tahun ketahun APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) mengalami peningkatan yang signifikan dengan orientasi agar pembangunan dapat langsung menyentuh semua lapisan masyarakat, namun pada aspek lain besarnya anggaran yang digulirkan oleh Pemerintah juga membuka peluang untuk dikorupsi (disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu), maka untuk menghantarkan pembangunan tepat sasaran dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat, diperlukan pengawasan yang ketat dan tegas baik secara internal maupun eksternal disertai dukungan positif masyarakat untuk mengawasi jalannya roda pembangunan baik di pusat maupun di daerah. Selama ini banyak kasus-kasus korupsi mencuat ke permukaan baik dalam jumlah yang besar maupun kecil adalah bersumber dari hasil audit BPK, BPKP, laporan langsung dari masyarakat, pihak korban yang merasa dirugikan, LSM, sehingga atas laporan tersebut tentu telah banyak ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum dan dibawa ke Persidangan, namun ada juga kasus-kasus tertentu yang belum disentuh penyidikannya apalagi dibawa ke Persidangan, hal inilah yang membuat sebagian masyarakat belum puas atas hasil kerja aparat penegak hukum khususnya dalam penanganan kasus korupsi Dampak Korupsi Pada Pembangunan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Sasaran program pembangunan sulit tercapai, baik dipusat maupun di daerahdaerah. Terjadi kesenjangan sosial sehingga dapat memicu tingkat kriminalitas yang mengganggu Kamtibmas. Rendahnya pelayanan publik yang seharusnya dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Sulit menekan angka pengangguran yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Krisis kepercayaan masyarakat terhadap pimpinan (penguasa) baik di pusat maupun di daerah semakin menurun. Lahirnya kecemburuan sosial terhadap mereka yang menyandang OKB (Orang Kaya Baru). Dapat mengancam Kesatuan Nasionalisme apabila tidak segera dilakukan upaya pemberantasan korupsi secara terpadu dan optimal.
Penyebab Timbulnya Korupsi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pengahayatan pada nilai-nilai agama rendah apalagi pelaksanaannya. Sulit memberi keteladanan terhadap lingkungan kerjanya. Kebutuhan hidup dan pola konsumtif yang tidak seimbang dengan penghasilan/pendapatannya. Budaya masyarakat Timur yang selalu memberi upeti kepada pihak lain yang berkedudukan. Kurang transparan dalam pengelolaan keuangan suatu lembaga atau suatu proyek. Adanya kepentingan panitia lelang dalam pelaksanaan proyek baik dalam skala kecil maupun skala besar. Sanksi yang terlalu ringan sehingga manfaat pemidanaan untuk mencegah orang lain tidak berbuat yang sama sulit diwujudkan. Orang yang menduduki suatu jabatan tertentu telah banyak mengeluarkan dana seperti biaya pelaksanaan pilkada, sehingga untuk mengembalikan dana tersebut yang bersangkutan melakukan korupsi.
Peran Masyarakat Upaya pemerintah memberantas penyakit korupsi tidak lepas dari peranan masyarakat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 pada Bab V Pasal 4 ayat (1) sampai dengan ayat (5) dan juga mengacu pada banyaknya laporan masyarakat atau pengaduan masyarakat atau para pihak yang merasa dirugikan hal ini menggambarkan harapan masyarakat terhadap Pemerintah dan aparat penegak hukum khususnya adalah sangat tinggi untuk memberantas korupsi. 3
Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Daerah dan banyaknya wilayah yang dimekarkan beberapa tahun terakhir ini secara otomatis anggaran pambangunan di daerah semakin besar dan pemanfaatan anggaran tersebut dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat di daerah. Namun besarnya anggaran tersebut belum menjawab apa yang menjadi harapan masyarakat, hal ini dirasakan banyaknya laporan masyarakat yang belum ditindaklanjuti, walaupun alasan tersebut bisa dari laporan yang tidak akurat, pelapor tidak memberi identitas dengan lengkap atau telah dilakukan pengecekan atau penyelidikan ternyata tidak ada unsur kerugian Negara atau tidak ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup, sehingga informasi penyelidikan aparat tersebut tidak sampai ke masyarakat, sehingga kurang adanya informasi tentang hasil penyelidikan dengan dugaan sebagian masyarakat terhadap para pemimpinnya di daerah maupun di pusat, sehingga terbentuk opini sebagian masyarakat bahwa aparat lamban dalam merespon keinginan rakyat.
Upaya yang dilakukan Tahun 2011 1.
Penyerahan DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) tahun 2011 telah diserahkan Pemerintah kepada seluruh instansi, baik pada Departemen dan non Departemen, untuk itu diharapkan KPK dan lembaga-lembaga aparat penegak hukum lainnya sudah harus bekerja secara maksimal untuk melakukan pengawasan terhadap penyalahgunaan anggaran termasuk memproses kasus-kasus korupsi yang dilakukan pada tahun anggaran sebelumnya, dengan maksud agar program pembangunan baik dipusat maupun didaerah tepat sasaran.
2.
Guna memaksimalkan fungsi KPK karena bukan hanya memberantas korupsi tetapi juga sebagai alat pengontrol (supervisi) terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi baik bagi penggunaan anggaran terutama di daerah-daerah dimana anggaran yang banyak disalahgunakan dengan penerapan otonomi, seyogianya KPK tidak hanya berada dipusat melainkan juga di setiap Propinsi supaya dibentuk KPK daerah, sehingga lebih efektif dan efisien dalam menangani kasus korupsi yang ada di daerah.
3.
Kedepan perlu diberi batas lamanya waktu proses penyidikan yang dilakukan oleh KPK, sehingga tidak terlalu lama dalam menangani suatu perkara apalagi perkaraperkara yang mencuat dimana publik mengetahui dan menunggu penyelesaiannya dengan cepat sesuai prosedur hukum.
4.
Dasar hukum pemberantasan korupsi cukup memadai, aparat penegak hukum yang diperkuat dengan adanya KPK bahkan pada tahun 2011 Pengadilan Tipikor telah dibuka dan dioperasionalkan dibeberapa daerah, tentu hal ini memerlukan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat, agar bangsa kita suatu saat terbebaskan dari praktek-praktek korupsi yang menghambat jalannya pembangunan Nasional kita.
5.
Korupsi memang sulit diberantas secara menyeluruh sampai ke akar-akarnya karena butuh sistem perundang-undangan yang baik, aparat penegak hukum yang tegas dan bersih serta dukungan masyarakat, namun paling tidak dapat ditekan dari aspek kuantitas sehingga pembangunan diberbagai bidang dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat.
6.
Kinerja KPK ke depan harus lebih transparan dalam penyelesaian kasus-kasus korupsi, karena selama ini masyarakat kurang mengetahui berapa jumlah perkara yang diproses di KPK, berapa yang diselesaikan pada tahun 2010, berapa jumlah yang belum diselesaikan dan apa kendalanya sehingga proses penyidikan agak lama, dan sudah berapa jumlah keuangan Negara dari pelaku korupsi yang diserahkan realisasinya ke Negara ? Hal ini kurang dipublikasikan sehingga masyarakat sulit menilai secara akurat kinerja KPK yang tugas dan wewenangnya 4
sangat besar dalam memberantas korupsi (Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2001). 7.
Besarnya Anggaran Pembangunan Nasional kita akan tepat sasaran penggunaannya dan bisa memakmurkan Rakyat apabila penyakit korupsi sebagai penghambat dapat diberantas dengan tuntas atau paling tidak mampu ditekan baik kualitas maupun kuantitasnya.
5