TIMJAUAN PUSTAKA
Walaupun memiliki lahan daratan yang relatif kecil dan terbatas, namun pada umumnya karakteristik pulau-pulau kecil memiliki sumberdaya pesisir dan lautan yang relatif melimpah dan berpotensi dalam menunjang pembangunan. Sehubungan dengan ha1 tersebut pengelolaan pulau-pulau kecil perlu ditangani dengan baik sehingga keberlanjutannya dapat terus terjaga. Salah satu model pengelolaan yang sering diterapkan pada pengelolaan pulau-pulau kecil adalah konservasi terhadap sumberdayanya yaitu dengan melakukan zonasi wilayah. Untuk dapat melakukan zonasi wilayah diperlukan inventarisasi keberadaan sumberdaya dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh. Selanjutnnya untuk mengoptimalisasikan pemanfaatan kawasan sesuai dengan keberadaan sumberdaya yang dimaksud, dipergunakan cell based modeling yang berbasiskan sistem informasi geografi (SIG).
Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Hingga saat ini belum ada kesepakatan secara spesifik tentang definisi pulau kecil, meskipun demikian ada kesepakatan umum bahwa yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya dan memiliki batas yang pasti, terisolasi dari habitat lain, sehingga mempunyai sifat insular. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pulau-pulau kecil secara fisik memiliki potensi sumberdaya alam daratan sangat terbatas tetapi sebaliknya dikaruniai sumberdaya kelautan dan jasa lingkungan yang melimpah. Hal ini merupakan aset yang strategis untuk dikembangkan sebagai basis kegiatan ekonomi berdasarkan pemanfaatan ekosistem sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungannya (Dahuri, 1998).
Potensi Ekosistem Wilayah Pesisir Pulau kecil dapat dikategorikan sebagai suatu wilayah pesisir dimana dalam wilayah tersebut terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) pesisir dan laut beserta sumberdayanya. Ekosistem wilayah pesisir yang dimaksud adalah suatu sistem lingkungan perairan yang merupakan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara jasad hidup perairan (komponen biotik) dengan lingkungan fisik perairan (komponen abiotik) termasuk antar komponen biotik itu sendiri. Kearah darat lingkungan ini mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan kearah laut meliputi daerah paparan benua (Beatly et. a/,1994). Berdasarkan pola sebarannya, maka ekosistem wilayah pesisir pada umumnya terstratifikasi secara hirarkis sebagaimana dijelaskan melalui Gambar 3, dimulai dari arah daratan menuju ke arah laut, adalah mangrove, lamun atau rumput laut, dan terumbu karang (Nontji, 1987). Ketiga ekosistem ini merupakan ekosistem yang sangat penting karena fungsi dan peranan yang dimilikinya baik secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap manusia.
Sebaran Sum berdaya
=----%=--
Gambar 3. Strat~fikasiEkosistem Wilayah Pesisir dan Laut
a)
Hutan Bakau (Mangroves) Hutan bakau dapat juga disebut sebagai hutan mangrove, merupakan komunitas tumbuhan pantai yang mampu tumbuh pada daerah pasang surut sesuai dengan toleransinya terhadap salinitas, lama penggenangan, substart dan morfologi pantainya. Hutan mangrove ditemukan tumbuh di sepanjang pantai-pantai yang terlindung dari aktivitas gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Hutan bakau mempunyai arti yang penting karena memberikan sumbangan berupa bahan organik bagi perairan sekiarnya. Ekosistem hutan bakau memberikan perlindungan terhadap pantai, perangkap sedimen dari darat, perlindungan bagi organisme tertentu, pemijahan, pembesaran, dan tempat pencari makan dari berbagai organisme. Selain itu dimanfaatkan oleh manusia untuk berbagai keperluan seperti pemanfaatan kayu untuk kayu bakar dan pembangunan rumah.
b)
Padang Lamun (Sea Grass Beds) Lamun adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup terbenam di dalam laut. Lamun hidup di perairan dangkal agak berpasir sering dijumpai di terumbu karang. Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya. Secara ekologis padang lamun memiliki beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir, antara lain sebagai sumber makanan penting bagi organisme, tempat berlindung dan pembesaran bagi beberapa organisme.
c)
Rumput Laut (Sea Weeds) Rumput laut tumbuh pada perairan yang memiliki substrat keras yang kokoh untuk tempat melekat. Tumbuhan ini hanya dapat hidup pada perairan dimana tumbuhan mudanya yang kecil mendapatkan cukup cahaya. Pada
perairan yang jemih rumput laut dapat tumbuh hingga kedalaman 20-30 m. Rumput laut memperoleh makanan berupa nutrien langsung dari air laut, akibat peritiia upwelling dan turbulensi nutrien tersebut menjadi tersedia di kolom air (Nybakken, 1988). d)
Terumbu Karang (Coral reefs) Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas terdapat di seluruh perairan Indonesia. Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat yang dihasilkan oleh organisme karang (filum Scnidaria, kelas Anthozoa, Ordo Madreporaria Scleractinia), alga berkapur dan organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken, 1988). Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang memiliki produktivitas yang tinggi sehingga
memungkinkan sebagai tempat
pemijahan,
pengasuhan dan mencari makan dari kebanyakan ikan. Oleh karena itu secara otomatis produksi ikan di daerah terumbu karang sangat tinggi. Terumbu karang juga merupakan habitat bagi banyak spesies laut. Dan sisi sosial ekonomi, masyarakat pesisir seringkali mengambil ikan hias yang hidup diantara terumbu karang untuk dijual dan terumbu karang dapat mendatangkan devisa negara yang berasal dari sektor pariwisata. PotensiJasa Lingkungan Seperti halnya wilayah pesisir dan lautan di Indonesia lainnya, kawasan pesisir dan lautan pulau-pulau kecil juga memiliki berbagai macam jasa lingkungan (environmental senlices) yang sangat potensial bagi kepentingan pembangunan dan bahkan kelangsungan hidup manusia. Jasa-jasa lingkungan yang dimaksud dalam ha1 ini adalah fungsi kawasan pesisir dan lautan yang dipergunakan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sarana
pendidikan dan peneliian, kawasan pertindungan (konservasi dan preservasi), dan fungsi penunjang kehidupan dan fungsi ekologis lainnya (Dahuri, et a/, 1996). Dari sekian banyak jasa lingkungan yang ditawarkan, maka potensi jasa lingkungan yang paling menonjol dan diminati oleh wisatawan terhadap pulau-pulau kecil adalah pariwisata dalam kawasan konservasi, seperti cagar alam dan taman nasional. Jenis kegiatan ini sering dikenal sebagai pariwisata alam (ecotourism), yang tidak jarang dikaitkan dengan kegiatan pendidikan dan penelitian ilmiah (Boo, 1993). Pada dasamya ekoturisme atau ekowisata dapat didefinisikan sebagai perjalanan yang bertanggungjawab ke wilayah-wilayah alami atau relatif masih sediki sekali terganggu dengan tujuan untuk mempelajari dan menikmati pemandangan serta mengamati budaya masyarakat setempat (Hector CabalosLascuarian, I993). Dengan memperhatikan karakteristik potensi sumberdaya perairan dari pulau-pulau kecil sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam sub-bab sebelum ini, maka pulau-pulau kecil memiliki potensi yang sangat besar didalam mendukung pengembangan pariwisata bahari. Sebagaimana disebutkan oleh Dahuri (1997), bahwa pariwisata bahari merupakan manfaat langsung yang dapat dinikmati dari keanekaragaman hayati laut, dimana kegiatan pariwisata ini memberikan nilai yang sangat penting bagi masyarakat di wilayah pesisir, terutama pada kawasan yang memiliki ekosistem terumbu karang, pantai berpasir, dan mangrove. Ekosistem terumbu karang memiliki daya tarik wisata yang cukup besar, terutama dikarenakan oleh faktor keindahan serta berbagai jenis ikan karang yang terdapat di dalam ekosistem tersebut. Hal yang sama juga terdapat pada ekosistem mangrove yang sampai dengan saat ini telah cukup banyak diusahakan menjadi tujuan wisata, selain wisata selam dan snorkling yang umumnya didominasi pada kawasan yang memiliki banyak terumbu karang.
Dari uraian di atas tarnpak jelas bahwa keunggulan dan keberlanjutan usaha pariwisata bahari sangat bergantung pada keindahan dan kelestarian ekosistern pesisir dan lautan yang menjadi obyek utamanya. Dengan demikian pulau-pulau kecil perlu dikelola secara baik guna rnenunjang pernbangunan, dalam pengertian bahwa pernbangunan harus dilakukan secara terencana, sistematis dan terpadu sehingga apa yang dilakukan dalam kegiatan pernbangunan tersebut tidak akan rnengganggu keberlanjutan surnberdaya yang ada. Model pengelolaan surnberdaya yang diterapkan pada pulau-pulau kecil pada urnurnnya mengacu kepada perlindungan wilayah atau sering dikenal dengan kawasan konservasi.
Pengelolaan Kawasan Konservasi Suatu kawasan yang dilindungi harus dijamin keberadaan dari pernanfaatan surnberdaya secara tidak terbatas. Prinsip dasar untuk tujuan perlindungan adalah konservasi, dimana konservasi dapat didefinisikan sebagai pengelolaan dari penggunaan manusia terhadap "biosphere" untuk rnendapatkan keuntungan yang berkelanjutan bagi generasi sekarang dengan tetap mernelihara potensinya untuk kebutuhan dan cita-cita generasi yang akan datang (IUCN, 1980 dalam Salm 1982; McNeely et a/., 1990 dalam Carter, 1994). Berdasarkan UU No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung disebutkan bahwa kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama rnelindungi kelestarian lingkungan hidup yaqg rnencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Sedangkan pengelolaan kawasan lindung adalah upaya penetapan, pelestarian dan pengendalian pemanfaatan kawasan lindung serta bertujuan untuk rnencegah tirnbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup (DEPHUT, 1995).
Beberapa tipe pemanfaatan yang sesuai dengan tujuan perlindungan mungkin tidak praktis dilihat dari sudut pengelolaan. Sebagai contoh, mungkin saja keputusan untuk memanfaatkan kayu dari pohon yang sudah mati dalam taman nasional dalam skala kecil sebagai kayu bakar tidak berpengaruh terhadap keutuhan biologis. Tetapi ha1 ini tidak menjamin agar skala usaha itu tetap kecil dan tidak ada cara terbaik untuk mengawasi pengumpulan semacam itu. Disamping itu kehadiran pengumpul kayu bakar tersebut dapat mengganggu tujuan lainnya. KonservasiLaut lndonesia Resolusi GA17.38 pada sidang umum ke 17 IUCN (The International for Conservation of Nature and Natural Resources) mendefinisikan kawasan konservasi laut adalah suatu wilayah intertidal atau subtidal, termasuk perairan dengan flora dan faunanya, serta perisitiwa sejarah dan budaya, harus dilindungi oleh hukum atau arti lain yang efektif dalam melindungi sebagian atau keseluruhan lingkungan (IUCN, 1988). Salah satu kawasan konservasi laut yang sedang dikembangkan di lndonesia seperti yang tertuang pada Rancangan Peraturan Pemerintah Republik lndonesia tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan pelestarian alam laut, yang memiliki dua macam bentuk kawasan perlindungan, yaitu (DEPHUT, 1995 dalam Alikodra, 1996) : a) Taman Wisafa Alam Laut, adalah kawasan yang meliputi sistem alam yang utuh, dikelola untuk perlindungan jangka
panjang dan menjaga
keanekaragaman hayati laut, yang pada saat bersamaan memberikan produk jasa dan produk alam yang dibutuhkan manusia. b) Taman Nasional Laut, adalah kawasan yang dirancang untuk (1) mencegah eksploitasi yang berlebihan, (2) melindungi keutuhan ekologi atau lebih
untuk generasi sekarang dan masa yang akan datang, (3) memberikan bantuan untuk kegiatan ilmiah, pendidikan, rekreasi, dan kesempatan pengunjung, yang semuanya bewawasan lingkungan. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, disebutkan bahwa taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (DEPHUT, 1995). Sistem Zonasi Taman Nasional Laut Sistem zonasi taman nasional adalah pembagian wilayah di dalam kawasan taman nasional menjadi zona-zona guna menentukan kegiatan-kegiatan pengelolaan yang diperlukan secara tepat dan efektii dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan taman nasional laut sesuai dengan fungsi dan peruntukannya (DEPHUT, 1995).
Sampai saat ini penataan zonasi kawasan taman nasional laut belum didukung kelengkapan data dan informasi dasar dari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem. Penataan zonasi taman nasional merupakan pembagian kawasan taman nasional atas berbagai zona yang mencerrninkan adanya suatu perlakuan tertentu di masing-masing zona tersebut. Penataan zonasi bertujuan untuk optimalisasi fungsi dan peruntukkan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem pada setiap bagian kawasan (Sriyanto A, 1998). Aspek negatif dari suatu perencanaan zonasi yaitu kelihatan sangat kaku dalam menyederhanakan kompleksnya masalah konservasi. Hal yang tidak mudah dalam perencanaan zonasi adalah menentukan batas-batas di laut tetapi ha1 ini
dapat ditunjukkan oleh tiik terluar dari setiap kegiatan yang diatur dan dibatasi secara jelas untuk menegaskan batasnya (Laffoley, 1995). Untuk memahami peranan zonasi dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah dengan memahami fungsinya. Suatu kawasan yang dilindungi harus dapat menggambarkan tiga fungsi dasar yang biasanya dijelaskan ke dalam tiga peran (Laffoley, 1995), yaitu : peran konservasi (konservasi terhadap genetik dan ekosistem), peran logistik (partisipasi dalam peneliian dan monitoring), dan peran pembangunan (kerjasama dengan masyarakat lokal di sekitar kawasan konservasi untuk mempromosikan bentuk pembangunan berkelanjutan yang wcok dengan tujuan konservsi). Lebih lanjut dijeiaskan bahwa sistem zonasi yang digunakan dalam kawasan konservasi harus mengandung ketiga peranan tersebut, yang dijelaskan sebagai : zona inti (core area), yaitu wilayah dengan tujuan utama konservasi; zona penyangga (buffer zone), yaitu wilayah yang membatasi maksud dari pengelolaan; dan zona transisi (transition area), yaitu wilayah kerjasama dengan masyarakat sekiar (Gambar 4). - Core are? {stricily p:Giezisd)
///, Bufter zone fstrrdlysle!mealea) ! j 1 I ?iansl:ion am:, XX X H ~ n a seftleriicnts ?
R
R e s ~ r c skt!o:1(11~ h experiment
M
Monitoring
E
Education and tiainmg
T
Tourism and recreation
Gambar 4. Zonasi Kawasan Konservasi (zaffoley, 1995)
Sedangkan sistem zonasi yang dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1990, terdiri dari zona inti dan zona pemanfaatan serta zona lain sesuai dengan keperluan. Zona lain yang sesuai dengan keperluan adalah zona rimba atau
perlindungan, zona pemulihan, zona rehabilitasi, zona budaya, dan lain-lain, meliputi (DEPHUT, 1995) : 1.
Zona Inti adalah kawasan dimana keadaan flora dan fauna atau keindahan khaliknya dan ekosistem mutlak untuk dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aMivitas manusia.
2.
Zona Pedindungan adalah kawasan yang berfungsi sebagai peralihan,
dimana dalam batas-batas tertentu proses alami tetap menjadi prioritas perlindungan dan pelestarian. 3.
Zona Pemanfaatan adalah kawasan yang memiliki keanekaragaman dan
keindahan flora dan fauna laut, maupun keindahan alamnya mempunyai corak khas untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam. 4.
Zona Penyangga merupakan kawasan pemanfaatan sumberdaya alam
secara tradisional untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat setempat dan merupakan daerah penahan gangguan dari luar terhadap kawasan taman nasional. 5.
Zona
Lainnya adalah
kawasan yang
ditetapkan sesuai dengan
kepentingannya, seperti : zona pemulihan adalah kawasan untuk kepentingan pemulihan habitat atau ekosistem dan populasi hidupan liar, zona rehabilitasi adalah kawasan yang pernah rusak akibat sesuatu ha1 dan dapat dilakukan kegiatan pemulihan untuk dikembalikan ke zona yang sesuai dengan peruntukkannya, dan zona kulturaVbudaya merupakan suatu wilayah yang didalamnya terdapat tempat perkembangan sejarah budaya manusia.
Teknologi Penginderaan Jauh Salah satu upaya untuk melakukan inventarisasi sumberdaya wilayah yang bersifat
kontinyu dan
menyeluruh adalah
dengan
memanfaatkan
data
penginderaan jauh yang dihasilkan oleh satelit Landsat (Land Satellite) 5 beresolusi tinggi yang diluncurkan pada 1 Maret 1984 (Gambar 5). Kemampuan Landsat 5 yang memiliki cakupan liputan lahan seluas 185 km x 185 km, dan dilengkapi dengan sensor Thematic Mapper (TM) telah mampu menghasilkan citra dengan resolusi mencapai 30 m. Ini berarti Landsat 5 dengan sensor Thematic Mapper telah memberikan andil yang cukup besar dalam melakukan inventarisasi sumberdaya wilayah secara lebih teliti dibandingkan Landsat 5 dengan sensor Multi Spectral Scanner (MSS) yang hanya mampu menghasilkan citra dengan resolusi mencapai 80 m (Restec, 2002).
Gambar 5 . Satelit Landsat 5-l;hematic Mapper
Selanjutnya dengan 7 kanal yang dimiliki sensor TM, yaitu 3 kanal terletak pada daerah sinar tampak, 1 kanal pada daerah infra merah dekat, 2 kanal pada daerah infra merah tengah dan 1 kanal terletak pada daerah termal infra merah, maka sensor Thematic Mapper dapat dikategorikan sebagai media penginderaan jauh yang mampu melakukan identifikasi sumberdaya wilayah berdasarkan tingkat penggunaannya secara lebih luas sesuai dengan jumlah kanal yang dimilikinya (Tabel 1).
..................
Tabel I . Fungsi Musing-Musing Kana1 dari Sensor ThematicMapper (Restec, 2002)
--
.
Penggunaan
Kanal . .
2 : 0.52 - 0.60 pm (hijau)
Mengidentifikasi dan mempelajari kesuburan vegetasi
3 : 0.63 - 0.69 pm (merah)
Mempelajaritipe-tipe vegetasi
I : 0.45 0.52 pm (violet biru)
...................
--.
-
4 : 0.79 0.90 pm (IR dekat) _.--. ____l_ll__--_l---.-..5 : 1.55 - 1.75 pm (IR menengah) --....-..-...----..-.------.6 : 10.40 12.50 pm (IR thermal jauh) .......................................................................................................................
7 : 2.08 - 2.35 pm (IR menengah) ~-.-.---.-....---.
Memantau wilayah perairan
....ll--^-...
Mempertegas batas antara kolom air dan lahan.
1
-
memantau kondisi keawanan Temperatur perairan dan geothermal
............
..............................
Mengelompokkan area dengan bermacam batuan
Berdasarkan tingkat penggunaannya, maka aplikasi pemanfaatan data satelit Landsat 5-TM telah banyak dilakukan dalam berbagai bidang seperti pertanian, kehutanan, penggunaan lahan dan pemetaan, geologi, hidrologi, sumberdaya pesisir dan monitoring lingkungan (Tabel 2). Tabel 2. Beberapa Contoh Aplikasi Data Citra Satelit Landsat 5-IU (Nm,1999)
Dikaitkan dengan proses inventarisasi sumberdaya alam untuk keperluan pengelolaan kawasan konservasi, khususnya taman nasional laut yang
menitikberatkan pada sumberdaya perairan sebagai obyek utama untuk diteliti, maka keberadaan data satelit Landsat 5-TM yang memiliki spesiftkasi panjang gelombang berkisar antara 0.5
-
0.6 pm merupakan jawaban yang cukup baik,
terutama untuk menjelaskan fenomena sumberdaya perairan sepetti terumbu karang, lamun dan rumput laut, mangrove serta fenomena alam lainnya yang berkaitan dengan proses pengelolaan kawasan konservasi (Hoffer, 1978). Untuk mengoptimalisasikan tingkat pemanfaatan wilayah berdasarkan keberadaan fenomena sumberdaya perairan yang dihasilkan oleh data citra satelit Landsat 5-TM diatas sesuai dengan tata letak, besaran, serta intensitas fenomena sumberdaya dalam bentuk suatu basis data spasial, diperlukan analisis lebih lanjut dalam bentuk suatu analisis spasial dengan memanfaatkan teknologi sistem informasi geografi.
Sistem lnformasi Geografi (SIG) Sistem lnformasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem informasi spasial berdasarkan komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi dalam ha1 pemasukan, manajemen data (penyimpanan dan memperbaharui), memanipulasi dan analisis, serta pengembangan produk dan menyajikan kembali semua bentuk informasi spasial (Aronof 1989; ESRI, 1990). Sistem lnformasi Geografi telah banyak digunakan dalam melakukan berbagai analisa keruangan sepetti halnya perencanaan wilayah dan pengelolaan sumberdaya alam. Salah satu terobosan dalam aplikasi sistem informasi geografi, adalah penggunaan cell based modeling yang sudah mulai banyak dipergunakan terutama untuk menganalisa permasalahan yang berkaitan dengan hidrologi dan lingkungan (ESRI, 1997). Selain itu, aplikasi sistem informasi geografi dapat juga melakukan analisis kesesuaian lahan dengan fungsi overlay.
Cell Based Modeling Cell based modeling adalah salah satu model dalam aplikasi GIs berbasiskan grid yang membagi ruang berdasarkan satuan unit sel dengan bentuk dan ukuran yang seragam serta terdistribusi secara sistimatis sebagai suatu fungsi permukaan atau ruang (ESRI, 1997). Konsep model ini didasarkan pada individual proses dari setiap sel (cell processing) yang digunakan sebagai sarana untuk menganalisis obyek diatas permukaan bumi, dimana setiap sel yang dimaksud mewakili bagian dari permukaan bumi sebagaimana dijelaskan dalam Gambar 6.
,
s
...........................................................................................
"
]
Gambar 6. Sistem Cell BasedModeling (Esri, 1997)
Salah satu fungsi didalam cell based modeling yang digunakan untuk menganalisis keterkaitan antara setiap individual sel yang tersebar didalam ruang adaliih fungsi focalmean. Pada dasarnya fungsi ini memproses setiap individual data pada setiap sel input berdasarkan perhitungan nilai rata-rata yang dihasilkan dari keseluruhan data pada setiap sel input yang tersebar dalam suatu range wilayah tertentu (Gambar 7). Fungsi lain yang memiliki arti cukup penting didalam menganalisis range atau jarak antara setiap individual sel yang tersebar didalam ruang adalah fungsi euclidean distance yang merupakan salah satu sub fungsi dari fungsi euclidean.
Pada dasarnya fungsi ini memproses setiap individual data pada setiap sel input berdasarkan perhitungan jarak terdekat dari setiap individual sel ke setiap individual sel lainnya dalam ruang (Gambar 8).
Function:
OWGRID= FOCALME4~IHORID1,RECTANGLE, 3 3)
Gambar 7. Proses Analisa Focal (Esri, 1997).
Gambar 8. Fungsi Euclidean (Esri, 1997).
Disamping menemukan jarak, maka dengan fungsi euclidean dapat juga ditentukan arah dari setiap individu sel menuju individu sel terdekat lainnya melalui sub fungsi euclidean direction. Dengan diketahuinya jarak serta arah dari setiap individu sel menuju ke individu sel lainnya, maka dengan mempergunakan sub fungsi euclidean allocation, dapat diperkirakan besarnya alokasi dari setiap individu sel berdasarkan kedekatannya terhadap individu sel lainnya (ESRI, 1997).
Aplikasi Cell Based Modeling dalam Pengelolaan Sumberdaya Berdasarkan kemampuan dari cell based modeling dan dengan memperhatikan
karakteristik
sebaran
ekosistem
sumberdaya
perairan
sebagaimana dijelaskan pada sub-bab sebelum ini, yang menunjukkan adanya stratifikasi dalam penyebarannya, maka penggunaan konsep cell based modeling cukup representatif untuk dapat dipergunakan sebagai sarana didalam melakukan analisis distribusi sebaran sumberdaya perairan tersebut, terutama didalam menentukan distribusi pengaruh dari setiap individu sumberdaya terhadap individu sumberdaya lain yang terpisahkan oleh jarak dalam ruang.
Sebaran Data : x Sumberdaya Pera~ran .'
*,
:..-
.,
i
.+. Dlstribus~j,
:
Pengaruh lnerld" ; sumberdaya ! . , 9 ' peralran *,
i
(
*.....---. -*--*-*! +
Sebaran sumberdava
\
!
I
Gambar 9. Aplikasi Cell Based Modeling dalam Pengelolaan Sumberdaya Perairan.
Dari Gambar 9 menunjukkan salah satu aplikasi dari cell based modeling yang dilakukan oleh U.S. Departement Interior, U.S. Geological Survey dan Alaska Biological Science Center, (1998), didalam melihat distribusi pergerakan hewan air dengan memanfaatkan fungsi-fungsi grid dalam modul SIG sebagaimana dijelaskan pada sub-bab sebelum ini.
lmplikasl Zonasi dalam Pengelolaan Sebagaimana telah dijelaskan pada sub-bab sebelum ini bahwa selain potensi sumberdaya yang melimpah, kawasan pulau-pulau kecil juga memiliki potensi jasa lingkungan yang cukup besar khususnya pariwisata bahari. Berkaitan dengan ha1tersebut, maka selain melindungi keberadaan sumberdaya melalui zona inti dan zona perlindungan, dalam pengelolaan berbasiskan konservasi tidak tertutup kemungkinan untuk dimanfaatkannya kawasan yang ada sesuai dengan kebutuhan pengelolaan khususnya untuk wisata selam dan snorkling. Syarat-syarat yang diperlukan dalam melakukan analisis kesesuaian wisata selam dan snorkling terdiri atas beberapa parameter (Bakosurtanal, 1996 dan Departemen Pekerjaan Umum, 1997), yaitu : 1. Kecerahan Perairan Perairan yang cerah merupakan syarat utama yang harus dipenuhi dalam kegiatan wisata selam dan snorkling, dimana semakin cerah suatu perairan maka keindahan taman laut yang dapat dinikmati oleh wisatawan akan semakin tinggi. Daerah dengan nilai kecerahan 15 - 20 meter yang tidak termasuk laut dalam merupakan lokasi yang paling sesuai untuk kegiatan ini, dan wilayah perairan dengan kecerahan 5 untuk kegiatan wisata selam dan snorkling.
- 10 meter dianggap layak
2. Tutupan Terumbu Karang Hidup
Persentase tutupan terumbu karang juga merupakan syarat dalam kegiatan wisata selam dan snorkling karena merupakan unsur utama dari nilai estetika taman laut yang akan dinikmati oleh para wisatawan. Daerah dengan tutupan karang hidup > 75 % merupakan lokasi yang paling sesuai untuk wisata selam dan snorkling, sedangkan daerah yang sesuai adalah daerah yang memiliki tutupan terumbu karang hidup antara 26
- 74
%.
Tutupan karang hidup < 25 % dapat dikategorikan sebagai daerah yang tidak sesuai. 3. Jenis lkan Karang
Keragaman ikan karang merupakan faktor utama yang dapat menunjang keindahan alam bawah laut. Daerah dengan ikan karang > 70 spesies dikategorikan ke dalam daerah dengan jenis ikan karang sangat beragam, dan daerah yang mempunyai jenis ikan karang antara 50-70 spesies dikategorikan ke dalam daerah dengan jenis ikan karang beragam. Sedangkan daerah yang mempunyai jenis ikan karang antara 20-50 spesies dikategorikan ke dalam daerah dengan tingkat keragaman sedang. 4. Kedalaman Perairan
Kedalaman perairan merupakan syarat pendukung dalam kcl'giatan wisata bahari. Daerah dengan kedalaman 10 - 20 meter merupakan daerah yang sangat sesuai untuk pariwisata bahari. Sedangkan daerah dengan kedalaman < 5 meter dianggap kurang mendukung kegiatan wisata 5. Kecepatan Arus
Kecepatan arus berkaitan dengan keamanan para wisatawan dalam melakukan aktiiiasnya. Wisata selam dan snorkling hanya akan dilakukan pada daerah dengan kecepatan arus di bawah 0,51 mldetik.
Dari parameter-parameter tersebut disusun tabel kesesuaian, yang mengandung kriteria-kriteria yang berfungsi untuk menentukan variabel kesesuaian lahan untuk pengembangan wisata selam dan snorkling, seperti yang disajikan dalam bentuk Tabel 3. Tabel 3. Parameter Kesesuaian Lahan untuk Wisata Selam dun Snorkling
NO.
S1 (sangatsesuai)
S2 (sesuai)
S3 (sesuaibersymt)
TS
YO
> 75
50 - 75
25 - 50
125
Parameter
1
Tutupan Terumbu ~arang')
2.
Jenis Terumbu ICarangl)
Jenis
> 100
75 - 100
20 75
-
< 20
3.
Jenis 1kan Karang"
Jenis
> 70
50 70
-
20 - 50
< 20
4.
Kedalaman perairan"
Meter
10 - 25
5-10
2-5
<2
5.
~ecmhn~ir"
Meter
15 -20
10 - 15
5-10
<5
6.
Kecepatan Am''
ddet
0-0,10
0,11 - 0,40
0,41 - 0,50
Keterangan: 1) Bakosurtanal(1996) dan 2) Departemen Pekerjaan Umum (1 997)
.
> 0,50