TINJAUAN PUSTAKA
P Sebagai Hara Penting Tanaman Serapan P oleh Tanaman Fosfor (P), walaupun termasuk unsur hara makro yang sangat penting, namun kandungannya di dalam tanaman ternyata lebih rendah dibanding nitrogen (N), kalium
(K), dan kalsium (Ca). Tanaman menyerap P dari tanah dalam bentuk ion fosfat, terutama H,PO,- dan sedikit HPO,',
yang terdapat dalam larutan tanah (Thomas dan
Peasle, 1973; Barber, 1984; Tisdale, Nelson dan Beaton, 1985; Lindsay, Vlek, dan Chien, 1989).
H2P04- lebih banyak dijumpai pada tanah yang lebih masarn,
sedangkan pada pH yang lebih tinggi (diatas 7) bentuk HPO,= lebih dominan. Disamping ion-ion tersebut, tanaman juga dapat menyerap P dalam bentuk asam nukleat, fitin dan fosfohumat (Tisdale dkk., 1985). Mendekatnya suatu unsur hara dari larutan tanah ke permukaan akar dapat terjadi melalui salah satu dari tiga proses, yaitu : (1)
intersepsi akar (root
interception), atau dengan pertukaran kontak (contact exchange); (2) difusi ion-ion dalam larutan tanah, dan (3) gerakan ion-ion oleh gerakan massa (mass movement) atau aliran massa (massfZow) larutan tanah. Pergerakan ion fosfat pada umumnya disebabkan oleh proses difusi, tetapi jika kandungan P larutan tanah cukup tinggi, maka proses aliran massa dapat berperanan dalarn transportasi tersebut. Ion yang sudah berada di permukaan akar akan menuju
7
rongga luar akar (outer space) melalui proses difusi sederhana (simple difusion), jerapan pertukaran (achange adsorption), dan keg iatan bahan pembawa (carrier). Selanjutnya, ion memasuki rongga dalam akar (inter space) dengan melibatkan energi metabolisme, yang dikenal sebagai serapan aktif.
Peranan P dalam Tanaman Berbeda dengan sulfur (S) dan nitrogen (N), P yang diserap tanaman tidak direduksi, melainkan berada di dalam senyawa-senyawa organik dan anorganik dalam bentuk teroksidasi, dan tidak pernah terdapat sebagai fosfit ataupun P unsuri.
P
anorganik banyak terdapat di dalam cairan sel sebagai kornponen sistem penyangga tanaman.
Dalarn bentuk organik, P terdapat sebagai
: (1) fosfolipida, yang
merupakan komponen rnembran sitoplasrna dan kloroplast; (2) fitin, yang merupakan simpanan fosfat dalarn biji; (3) gula fosfat, yang merupakan senyawa antara dalam berbagai proses metabolisrne tanaman; (4) nukleoprotein, komponen utama DNA dan RNA inti sel; (5) ATP, ADP, AMP dan senyawa sejenis, sebagai senyawa berenergi tinggi u ntuk rnetabolisme; (6) NAD dan NADP, keduanya adalah koenzim penting dalam proses reduksi dan oksidasi; dan (7) FAD dan berbagai senyawa lain, yang berfungsi sebagai pelengkap enzim tanaman (Arnon, 1953; Mengel dan Kirkby, 1957).
Adenos ina trifosfat (ATP) terbentuk melalui proses fosforilasi oksidatif pada asimilasi fosfat oleh turnbuhan.
P yang diasirnilasi menjadi ATP, dengan cepat
8 segera ditransfer melalui reaksi metabolik berikutnya menjadi berbagai macarn bentuk fosfat dalam tanaman, diantaranya adalah gula fosfat, fosfolipida, dan nukleotida. ATP ini diantaranya juga bertanggung jawab pada proses transpor aktif. Asam deoksiribonukleat (DNA) yang tersusun dari basa purina dan pirimidina, gula pentosa dan fosfat, berfungsi sebagai pembawa informasi genetik, sedangkan RNA sebagai penerjemah informasi dan keterlibatan lain dalam sintesis protein. NAD, NADP, dan FAD berlaku sebagai reduktan dalam sintesis senyawa-senyawa organik tumbuhan. P juga merupakan penyusun fitin, yaitu bentuk utama P yang tersimpan dalam biji.
Substansi ini merupakan garam kalsium dan magnesium
inos i to1 asam heksafosfat, sedangkan fosfol ipida merupakan bahan yang berperanan penting dalam mengatur permeabilitas membran sel dan pengangkutan ion (Black, 1968).
Melihat uraian di atas, maka kekurangan P pada tanaman akan mengakibatkan berbagai hambatan metabolisme, diantaranya dalam proses sintesis protein, yang menyebabkan terjadinya, akumulasi karbohidrat dan ikatan-ikatan nitrogen. I
Kekurangan P tanaman dapat diamati secara visual, yaitu daundaun yang tua akan berwarna keunguan atau kemerahan karena terbentuknya pigmen antosianin. Pigmen ini terbentuk karena akumulasi gula di dalam daun sebagai akibat terharnbatnya sintesis protein. Gejala lain adalah nekrosis (kematian jaringan) pada pinggir atau helai dan tangkai daun, diikuti melemahnya batang dan akar tanaman.
Senyawa P di dalam Tanah Fosfor (P) di dalam tanah dapat dibedakan dalarn dua bentuk, yaitu P-organik dan P-anorganik. Kandungannya sangat bervariasi bergantung pada jenis tanah, tetapi pada urnumnya rendah. P tanah dijumpai lebih tinggi di tanah-tanah muda, perawan, dan di lapisan yang lebih dalam.
Bentuk-bentuk fosfat ini berasal dari sisa tanaman, hewan dan jasad renik. Di s ini P terdapat sebagai senyawa ester dari asam ortofosfat, yaitu inositol, fosfolipida, asam nukleat, nukleotida, dan gula fosfat. Tiga senyawa yang disebutkan pertama amat dominan di dalam tanah (Tisdale dkk., 1985). lnositol fosfat dapat mempunyai satu, dua, tiga, empat, lima, atau enam atom P untuk setiap unitnya, dan senyawa ini dapat ditemukan dalam tanah atau organisme
11 idup yang dibentuk secara enzimatik. Fosfolipida merupakan senyawa fosfat yang berkombinasi dengan lipida. Asam nukleat sebagai DNA dan RNA menyusun satu sampai 10 % P-organik total (Tisdale dkk., 1985). Sel-sel jasad renik sangat kaya dengan asam nukleat (Alexander, 1978). Jika organisme tersebut mati, maka asam nukleatnya siap untuk dimineralisasi. Ketersediaan P-organik bagi tanaman sangat bergantung pada aktivitas jasad renik untuk memineraiisasikannya. Namun seringkali hasil mineralisasi ini segera
10 bersenyawa dengan bagian-bagian anorganik dan membentuk senyawa yang relatif sukar larut. Enzim fosfatase berperan utama dalam melepaskan P dari ikatan Porganik. Enzim ini banyak dihasilkan oleh jasad renik tanah, terutama yang bersifat heterotrof. Tisdale dkk. (1985) mengemukakan bahwa mineralisasi P-organik &lam beberapa ha1 tidak sama sifatnya dengan mineralisasi C atau N.
Beberapa hasil
percobaan peneliti tersebut menunjukkan bahwa mineralisasi P-organik meningkat sejalan dengan naiknya pH sampai batas tertentu, tetapi perubahan pH tanah tidak mempengaruhi mineralisasi C dan N. Oleh karena itu berubahnya pH menyebabkan nisbah C-total dan N-total terhadap P-organik juga berubah. Aktivitas jasad renik dapat menyebabkan mineralisasi dan imobilisasi P. Mineralisasi akan terjadi bila nisbah (C:P) < 200, sedangkan pada (C:P) > 300 akan terjadi imobilisasi (Alexander, 1978; Tisdale dkk., 1985).
Bentuk P-anorganik dapat dibedakan menjadi : (1) P aktif, yang meliputi Ca-P, AI-P, Fe-P, dan (2) P tidak aktif, yang meliputi occluded-P, reductant-P, dan mineral P primer (Sanchez, 1976). P-anorganik di dalam tanah pada umumnya berasal dari mineral fluor apatit (Ca,,(PO,),F,).
Dalam proses hancuran iklim dihasilkan berbagai
mineral P sekunder seperti hidroksi apatit, karbonat apatit, klor apatit, dan lain-lain sesuai dengan lingkungannya. Selain itu, ion-ion fosfat dengan mudah dapat bereaksi
11 dengan ion Fe3+,A13+, MnZ+, Ca2+,ataupun terjerap pada permukaan oksida-oksda hidrat besi, aluminium, dan liat. Pada tanah masam, kelarutan A1 dan Fe menjadi tinggi. Dengan demikian, ion fosfat (H2PO;, HPO;-,
PO:-)
akan segera terikat membentuk senyawa P yang
kurang tersedia atau tidak tersedia bagi tanaman. Mula-mula senyawa ini bersifat koloidal, lambat laun menjadi kristal varisit AIPO42HZOdan strengit FeP042H20 (Soepardi, Ismunadji, dan Partohardjono, 1985). BiIa pH tanah dinaikkan, maka P akan berubah menjadi tersedia kembali. Pada pH di atas netral, P juga kurang tersedia bagi tanaman karena diikat oleh Ca menjadi senyawa yang kurang tersedia. Unsur tersebut akan tersedia kembali j ika pH diturunkan. Jadi ketersediaan P sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Peneliti yang berbeda-beda mengemukakan pendapat yang berlainan tentang kisaran pH tanah yang mendukung ketersediaan P paling tinggi, yaitu 6.5-7.0 (Olsen, Kemper dan Jackson, 1962), 5.5-7.0 (Tisdale dkk., 1985), dan 6.0-6.5 (Lindsay, 1979). Ketersediaan P sebgai mineral tanah digambarkan secara terinci oleh Lindsay dkk. (1 989). tetapi pengendapan P dalam bentuk-bentuk tersebut dianggap kurang penting ketimbang fenomena adsorpsi pada permukaan seskuioksida, terutama di dalam menggambarkan retensi P dari pupuk yang diberikan ke daiam tanah. Adsorpsi tersebut terjadi pada permukaan oksida-oksida hidrat besi, aluminium, dan liat (Rajan, Perrot, dan Saunders, 1974). Kemampuan adsorpsi senyawa-senyawa tersebut bergantung pada kadar liat, Fe, dan Al terlarut, C-organik, dan CaCO,.
12 Pada tanah-tanah tropika basah, adsorpsi P terutama terjadi oleh adanya Fe dan A1 terlarut (Sanchez, 1976). Sedangkan pada tanah-tanah berkapur atau tanah yang dikapur berat, adsorpsi P dilakukan oleh Ca. Faktor-faktor yang mempengaruhi retensi P tanah meliputi sifat dan jumkh komponen tanah (oksida hidrat Fe dan Al, tipe liat, kadar Iiat, koloid arnorf, K2C03), pH tanah, kation, anion, tingkat kejenuhan komplek adsorpsi, bahan organik, dan waktu reaksi (Rajan dkk., 1974; Tisdale dkk., 1985; Lindsay dkk., 1989). Adanya pengikatan P oleh beberapa faktor tersebut menyebabkan pemupukan P tidak efisien. Pengapuran tanah masam dapat mengurangi masalah retensi P tanah. Selain menambah unsur Ca, menaikkan pH, dan menurunkan kejenuhan AI, juga meningkatkan ketersediaan P bagi tanaman. Gugus hidroksida yang dihasilkan dari reaksi pengapuran dapat bersaing dengan fosfat pada tapak jerapan koloid bermuatan positif. Pemberian kapur 0.5 sampai 1.5 kali jumlah setara A1 dapat dipertukarkan dalam tanah dapat mengurangi bahkan meniadakan keracunan Al, serta meningkatkan serapan P tanaman jagung (Hakim, 1982) dan rerumputan (Mendez dan Kamprath, 1978). Reaksi yang terjadi adalah :
AI(OH,)H,PO,
+ OH' ------ >
AI(OH),
+ H,PO,'
(larut)
Bahan organik juga lazim digunakan untuk meningkatkan ketersediaan P tanah. Selain membebaskan P melalui mineralisasi, bahan organik juga membentuk senyawa
13 fosfohumat yang dapat diserap tanaman. Peranan bahan organik yang lain adalah reaksi pertukaran ortofosfat dengan ion-ion humat, membungkus seskuioksida dengan humus sehingga mengurangi kapasitas fiksasi tanah, dan membentuk senyawa kompleks yang stabil dengan besi, aluminium, dan kalsium. Anion organik non humus yang paling efektif membebaskan fosfat tanah adalah sitrat, oksalat, tartarat, malat, dan malonat (Tisdale dkk., 1985).
Jasad Renik dan Kesuburan Tanah Sejarah Penelitian Perkembangan mikrobiologi tanah mulai dicatat pada tahun 1838, setelah seorang ahli kimia pertanian merangkap petani J. B. Bousingault (1802- 1882) menunjukkan bahwa tanaman pepolongan dapat memperoleh nitrogen dari udara jika ditumbuhkan pada tanah yang tidak dipanaskan (Subba Rao, 1977; Tisdale dkk., 1985). Lima puluh tahun kemudian, ilmuwan Belanda M. W. Beijerinck (18511931) berhasil mengisolasi dan memurnikan bakteri dari bintil akar tanaman pepolongan. Di tempat lain, ilmuwan termashur dari bekas negara Uni Soviet S. N.
Winogradsky (1856- 1953) menemukan aktivitas autotrofik dari beberapa bakteri yang berperan dalam transformasi N dan S tanah. Beijerinck dan Winogradssky mengemukakan teknik medium yang diperkaya untuk mengisolasi jasad renik yang diinginkan, yang sekarang dikenal sebagai
14 medium selektif. Kedua ilrnuwan tersebut merupakan pionir ddam mengembangkan mikrobiologi tanah untuk pertanian.
Jasanya dapat disejajarkan dengan Louis
Pasteur dan Robert Koch di bidang mikrobiologi rnedik. Penemuan-penemuan tersebut menjadi dasar pijak perkembangan ilmu pada awal abad ke duapuluh.
Jasad Renik Penting Untuk Kesuburan Tanah Pada ekosistern tanah terdapat lima kelompok utama jasad renik, yaitu bakteri, aktinomisetes, cendawan, algae, dan protozoa. Jasad renik tersebut rnerupakan bagian dari ekosistem tanah disarnping fraksi anorganik dan organik yang lain. Bakteri rnerupakan kelompok terpenting dibandingkan dengan keempat kelornpok yang lain karena jumlah dan jenisnya yang sangat beragarn (Subba Rao, 1977; Alexander, 1978). Organisme tanah, terrnasuk di dalarnnya cacing dan serangga, dikenal sebagai salah satu faktor pembentuk tanah yang aktif.
Ini berarti sifat dan ciri tanah
/
dipengaruhi oleh jenis, jumlah , dan aktivitas organisrne yang hidup dalarn tanah tersebut. Adanya organisrne ini akan menyebabkan terjadinya interaksi biologi yang dinamis, dan menimbulkan reaksi biokimia yang beragam dalam proses perombakan bahan organik, sintesis senyawa baru, pelapukan batuan, dan penyediaan hara bagi tanaman pertanian. Sifat-sifat metabolisme jasad renik yang beragam rnengilharni ilmuwan untuk rnernanfaatkannya bagi kepentingan pertanian.
15
Jasad renik tanah dapat mengikat N udara. Kelompok ini dibedakan sebagai bakteri non simbiotik (Azotobacter, Beijennckia, Azospirillum, dan lain-lain), bakteri simbiotik (Rhizobium), ganggang hijau biru non simbiotik (Nostoc, Anabaenopsis, dan lain-lain), dan ganggang hijau biru simbiotik yang berasosiasi dengan cendawan membentuk kerakap (Watanabe dan Yamamoto, 1971; Fogg, 1971; Yoshida dan Ancajas, 1973).
Diantara kelompok tersebut, Rhizobium merupakan jasad renik
paling penting karena kemampuan simbiotik dan fiksasinya yang tinggi. Bakteri ini berasosiasi dengan akar tanaman pepolongan dengan membentuk bintil pada akar. Kemampuannya mengikat N udara dapat mencapai 130 kg N ha-' (Subba Rao, 1977). Azospirillum menjadi topik penelitian yang menarik di Brazil dan India. Aplikasinya di lapang dapat menghemat 20 sampai 30 kg N per hektar (Subba Rao dkk, 1979). Perilaku yang hampir sama ditunjukkan oleh Azotobacter yang diinokulasikan pada tanaman padi dan tomat. Anabaena azollae (ganggang hijau biru) oleh peneliti yang sama diiaporkan mampu mengikat 100 sampai 150 kg N per hektar pada tanaman padi sawah.
,
Selain mengikat N udara, beberapa jasad renik juga dilaporkan dapat melarutkan senyawa P tanah (AI-P, Fe-P, dan Ca-P), sehingga dapat mengefisienkan pemupukan fosfat. Bacillus megateriarm adalah salah satu contoh bakteri pelarut fosfat. Yang tidak kalah pentingnya adalah peranan jasad renik dalam transformasi unsur-unsur N, P, K, S, Fe, Mn, Hg, Se, dan Ar (Alexander, 1978). Jasad renik
16 juga mampu membersihkan tanah dari polutan, seperti pestisida dan senyawa-senyawa hidrokarbon. Cendawan dalam beberapa ha1 mirip dengan bakteri, terutama perannya dalam perombakan bahan organik. Aspergillus dan Penicillium tertentu disamping berfungsi sebagai pelarut fosfat, juga merupakan penghancur selulosa yang baik (Das, 1963; Burges dan Raw, 1967). Mikoriza, yaitu cendawan yang berasosiasi dengan akar tanaman akan sangat membantu dalam menyerap fosfat, hara-hara lain, air, dan dalam beberapa ha1 mampu membebaskan akar dari patogen akar (Subba Rao, 1977).
Jasad Renik Tanah Pelarut P
Penelitian dan pemanfaatan jasad renik pelarut P sudah mulai dilakukan sejak tahun 1930-an (Waksman dan Starkey, 1931; Gerretsen, 1948; Sen dan Paul, 1957; Katznelson dan Bose, 1959; Smith, Allison, dan Soulides, 1961). Negara yang mula-mula memproduksi jasad renik ini sebagai pupuk hayati adalah Russia (bekas negara Uni Soviet), yaitu pada tahun 1947.
Inokulan pelarut P ini cukup luas
dimanfaatkan di negara-negara Eropa Timur dengan nama dagang fosfobakterin. Produk ini dilaporkan terdiri dari kaolin yang membawa 7 juta spora (endospora) bakteri Bacillus megaterium varietas phosphaticum setiap gramnya (Cooper, 1959; Smith dkk., 1961). Selanjutnya dikemukakan pula bahwa fosfobakterin memberikan
17
hasil yang paling baik pada tanah-tanah netral sampai basa dengan kandungan bahan organik yang tinggi, seperti pada tanah-tanah Chernozem. Penelitian jasad renik pelarut P juga banyak dilakukan di India, Kanada, dan Mesir dengan tujuan untuk melarutkan endapan-endapan Ca-fosfat (Sen dan Paul, 1957; Katznelson dan Bose, 1957; Sethi dan Subba Rao, 1968; Kundu dan Gaur, 1980; Subba Rao, 1977; 1982' ; 1982b). Pemanfaatan cendawan tanah yang lebih dominan pada pH rendah juga memperoleh perhatian peneliti-peneliti tersebut. Das (1963) melaporkan, bahwa beberapa Aspergillus sp dan Penicillium sp mampu melarutkan Al-P dan Fe-P.
Demikian pula yang diperoleh Anas, Premono dan
Widyastuti (1993) serta Lestari (1994). Jenis cendawan yang lain adalah Sclerotium dan Fusarium (Alexander, 1978). Diantara bakteri, yang sering dilaporkan dapat melarutkan fosfat adalah anggota-anggota genus
Pseudomonas, Bacillus,
Mycobacterium, Micrococcus, Flavobacteriurn, Bacterium,
Citrobacter, dan
Enterobacter (Alexander, 1978; Subba Rao, 1982b; Premono, Widyastuti dan Anas, 1992; Buntan, 1992).
,
Mekanisme Pelarutan Senyawa P Fosfor relatif tidak mudah tercuci seperti N, tetapi karena pengaruh lingkungan maka statusnya dapat berubah dari P yang tersedia bagi tanaman menjadi tidak tersedia, yaitu dalam bentuk Ca-P, Mg-P, Al-P, Fe-P, atau Occluded-P.
18
Dalam aktivitasnya, jasad renik pelarut P akan menghasilkan asam-asam organik, diantaranya ialah asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, oksalat, glioksalat, malat, fumarat, tartarat, dan a-ketobutirat (Alexander, 1978; Subba Rao, 1982b). Meningkatnya asam-asam organik tersebut biasanya diikuti dengan penurunan pH yang tajam, sehingga mengakibatkan terjadinya pelarutan Ca-P. Penurunan pH juga Vdapat disebabkan terbebaskamya asam sulfat dan nitrat pada &idasi kemoautotrofik sulfur dan ammonium, berturut-turut oleh bakteri Thiobacillus clan
Nitrosomonas (Alexander, 1978). Reaksi pelarutan P oleh penurunan pH dan terdapatnya gugus karboksilat secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut.
OH M:O H \ HPO, M
=
+
R- C - 0 -
6
A13+atau Fe3+
->
0 OH M-OH + H2PO; \ O-C-R
b
R-c-0, /
OH
M 7 H2P0, H,PO,
+
40 3R-C-0-
-> R-C-0
0. 0 M-0-&R + 2H,PO;
/d
kompleks-M M = A13+atau Fe3+ Beberapa peneliti mengemukakan bahwa asarn organik mampu meningkatkan P tersedia tanah melalui beberapa mekanisme, diantaranya adalah : (1) anion organik bersaing dengan ortofosfat pada permukaan tapak jerapan koloid yang bermuatan positif (Nagarajah, Posner, dan Quirk, 1970; Lopez-Hernandez dl&., 1979); (2) pelepasan ortofosfat dari ikatan logam-P melalui pembentukan kompleks logam-organik (Earl, Syers, dan Mc. Laughlin, 1979); dan (3) modifikasi muatan permukaan tapak jerapan oleh ligan organik (Nagarajah dkk., 1970; Kwong dan Huang , 1979). Nagarajah dkk. (1970) mengemukakan pula bahwa sitrat dan oksalat digolongkan sangat efektif dalam menurunkan retensi P dari kaolinit dan gibsit, sedangkan malonat, tartarat, dan malat berefektivitas sedang, serta asetat dan suksinat digolongkan kurang efektif Pada tanah vulkanik yang kaya alofan, asam-asam organik (benzoat, p-OH benzoat, salisilat, dan ptalat) tidak mampu menurunkan retensi P (Appelt, Coleman, dan Pratt, 1975"; 197jb). Kwong dan Huang (1979) yang meneliti penggunaan asam sitrat, malat, aspartat, dan hidroksi benzoat, menunjukkan bahwa asam organik
20 tersebut bereaksi dengan aluminium melalui perubahan struktur, yang pada gilirannya mendorong terjadinya perubahan spesifik struktur koloid sehingga meningkatkan muatan negatif permukaannya dan menurunkan aktivitas retensi terhadap ion fosfat. Kestabilan kompleks dengan A1 tersebut mengikuti urutan sitrat
> rnalat > aspartat
> hidroksi benzoat. Kestabilan kompleks Al-ligan organik tersebut juga diperoleh oleh Traina dkk. (1986) dengan urutan sitrat > tartarat > format. Earl dkk. (1979) meneliti pengaruh asam organik (sitrat, tartarat dan asetat) pada gel Al dan Fe terhadap jerapan P. Hasilnya menunjukkan bahwa tanpa anion organik, maka Fe menjerap P dalam jumlah yang sangat banyak.
Asam sitrat
menjerap Fe jauh lebih banyak dibanding tartarat, demikian pula dalarn ha1 mengurangi P terjerap. Tetapi jumlah Al yang diikat oleh kedua asam tersebut tidak berbeda. Asetat tidak efektif dalam menurunkan retensi P, karena asetat kurang kuat dalam membentuk kompleks dengan A1 maupun Fe. Pada tanah Spodosol, Fox, Comerford, dan Fee (199W;
1990b) juga
menemukan ha1 yang hampir sama, yakni asam organik oksalat mampu melepaskan P dari ikatan AI-P pada lapisan subsoil tanah tersebut. Kemampuan oksalat jauh lebih baik dari pada format. Disamping meningkatkan P tersedia, beberapa asam organik berbobot molekul rendah ini juga dilaporkan dapat mengurangi daya racun Al-dd (A1 dapat dipertukarkan) pada tanaman kapas (Hue, Craddock, dan Adams, 1986). Peneliti tersebut menggolongkan kemampuan detoksikasi asam organik terhadap At-dd dalam
21 tiga kelompok, yaitu kuat (sitrat, oksalat, dan tartarat); sedang (malat, malonat, dan salisilat); dan lemah (suksinat, laktat, format, asetat, dan ptalat). Hasil penelitian Premono dkk. (1992) juga menunjukkan bahwa jasad renik pelarut fosfat secara nyata mampu mengurangi Fe, Mn, dan Cu yang terserap oleh tanaman jagung yang ditanam pada tanah masam, sehingga berada pada tingkat kandungan yang normal. Terdapatnya asam-asam organik sitrat, oksalat, tartarat, malat, malonat, dan a-ketobutirat di dalam tanah sangat penting artinya dalam mengurangi pengikatan P oleh anasir penjerapnya dan mengurangi daya racun aluminium pada tanah masam. Jasad renik
menghasilkan asam-asam organik tersebut melalui proses
katabolisme glukosa dalam siklus asam trikarboksilat (TCA), yang merupakan lanjutan reaksi glikolisis (Mandelstam dan Mc Quillen, 1973; Dawes dan Sutherland, 1976). Asam-asam ini merupakan substrat untuk proses anabolisme dalam sintesis asam amino dan makromolekul yang lain, sehingga keluarnya senyawa tersebut dari sistem sel masih belum dapat dipahami dengan baik, mengingat jasad renik yang bersangkutan membutuhkan senyawa ini untuk kelangsungan metabolismenya. Diduga bahwa akibat refleksi genetis, jasad renik pelarut fosfat menghasilkan asamasam organik berlebih, dan sebagian berdifusi keluar sel karena reaksi keseimbangan osmose.
Disamping itu, beberapa asam organik ini juga dihasilkan pada proses
fermentasi oleh jasad renik tertentu karena berubahnya lingkungan pertumbuhan aerobik menjadi anaerobik.
Potensi Jasad Renik Melarutkan P Sen dan Paul (1957) menggunakan fosfobakterin galur fosfo 24, Bacillus substifis, Bacterium mycoides, dan Bacterium mesenterricus untuk melarutkan P organik (glisero fosfat, lesitin, tepung tulang) dan P-anorganik (Ca-P, Fe-P) yang d ilakukan secara in vi tro. Hasilnya menunjukkan bahwa bakteri tersebut mampu melarutkan FePO,, Ca3(PO,),, gliserofosfat, lesitin, dan tepung tulang berturut-turut sebanyak 2-7, 3-9, 3-13, 5-21, dan 14 %. Banik (1982) memanfaatkan Bacillus sp, dan dua galur Bacillus firmus.
Hasil percobaannya menunjukkan bahwa ketiga
bakteri tersebut masing-masing hanya mampu melarutkan 0.3, 0.9, 0.3 % dari senyawa Ca3(PO,), yang diberikan, dan tidak mampu melarutkan AlPO,
dan
FePO,. Premono dkk. (1991) yang menggunakan Pseudomonas putida, Citrobacter intermedium dan Serratia mesenteroides, mendapatkan bahwa bakteri tersebut mampu meningkatkan P larut yang ada dalam medium AlPO, dan batuan fosfat sebanyak 6 /
sampai 19 kali lipat, tetapi tidak mampu melarutkan FePO,. Sundara Rao dan Sinha (1962) mengidentifikasi beberapa jasad renik pelarut
P dari lapisan perakaran tanaman gandum. Jasad renik tersebut adalah &rcilfus megaterium, Bacillus sp, Escherechia freundii, dan Escherichia intermedia. Supadi ( 1991) juga
mendapatkan anggota-anggota Escherichia yang dapat melarutkan P dari
lapisan perakaran tanaman jagung. Bakteri-bakteri tersebut meningkatkan P tersedia sebanyak 0.8-3.7 ppm pada tanah non steril dan 0.1-3.6 ppm pada tan
23 Katznelson dan Bose (1959) menemukan bahwa aktivitas beberapa bakteri pelarut fosfat semakin meningkat dengan semakin dekatnya jasad renik tersebut pada permukaan akar tanaman. Peneliti tersebut juga mengemukakan bahwa perkembangbiakan jasad renik ini semakin baik jika mediumnya dilengkapi dengan ekstrak tanah dan ragi. Penelitian dengan cendawan tanah sebagai jasad renik pelarut P dilakukan oleh Das (1963); Chonkar dan Subba Rao (1967); Goyal dkk (1982); Banik (1982); Kucey (1983); Asea, Kucey, dan Stewart (1988); Salih dkk (1989); Yadav dan Singh (1991); Anas dkk. (1993); serta Lestari (1994). Jenis cendawan yang paling banyak diteliti adalah Aspergillus sp dan Penicillium sp. Kelompok Penicilium sp mampu melarutkan 26-40 % Ca3(P04),, sedangkan
Aspergillus sp melarutkan 18 % (Chonkar dan Subba Rao, 1967). Asam sitrat yang dihasilkan oleh Aspergillus awamori berperanan dalam pelarutan Ca-P (Goyal dkk, 1982). Aspergillus niger menunjukkan pertumbuhan yang kuat pada medium AIPO,, sedangkan Penicillium sp tvmbuh sama baiknya pada medium AlPO, , FePO,, dan Ca3(P0,), (Das, 1963).
Aspergillus fumigatus dan Aspergillus candidus yang diteliti oleh Banik (1982) menunjukkan kemampuan yang jauh melebihi fosfobalcterin dalam melarutkan Ca,(PO,),, A1PO,, dan FePO,, sedangkan Aspergillus niger yang ditel iti oleh Anas dkk. (1993) dan Lestari (1994) sangat baik dalam meningkatkan P larut dari medium batuan fosfat, yakni lebih dari 10 kali lipat.
lndikasi tersebut menunjukkan
kemampuan cendawan, yang mempunyai spektrum lebar dalam melarutkan beberqa bentuk senyawa P yang ada di dalam tanah. Fosfor radio aktif (32P)pada beberapa percobaan digunakan untuk mengetahui secara kuantitatif jumlah P yang dapat dibebaskan akibat aktivitas jasad renik pelarut P (Smith dkk., 1961; Kavimandan dan Gaur, 1971), tetapi hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hidroksi apatit yang diberi tanda 32Ptidak berhasil dilarutkan oleh Pseudomonas sp dan Bacillus polymixa.
Pengaruh Jasad Renik Pelarut P Terhadap Tanaman Beberapa tanaman yang pernah digunakan sebagai bahan percobaan untuk menguji pengaruh jasad renik pelarut P antara lain adalah gandum, mustard, bit gula, kubis, tomat, barlei, jagung, kentang, padi, kedelai, kacang tanah, kacang panjang, dan tebu (Subba Rao, 1977; 1982"; 1982b). Achmad dan Jha (1982) mencoba B. megaterium dan B. circulans pada tanaman kedelai. Jasad renik yang disebutkan pertama dapat meningkatkan serapan P tanaman kedelai, sedangkan keduanya meningkatkan produksi kedelai berturut-turut sebanyak 7 dan 10 % jika digunakan pupuk TSP, serta meningkatkan 34 dan 18 % jika digunakan batuan fosfat. Pada gandum, Kundu dan Gaur (1980) mengombinasikan bakteri pelarut P (B. polymljra dan P. striata) dengan bakteri penarnbat N, udara (Azotobacter c~~roococcum). Ternyata bakteri pelarut P tersebut dapat menstimulir pertumbuhan A. chroococcum, tetapi bakteri penambat N tidak mempengaruhi pertumbuhan bakteri
25
pelarut P. Kombinasi ketiga inokulan tersebut mampu meningkatkan hasil gandum dua sampai lima kali lipat. Gerretsen (1948) juga mendapatkan bahwa semua jasad renik rizosfer yang diujinya mampu meningkatkan serapan P tanaman gandum sebesar 9-54 % . Anas (1986) membuktikan bahwa Pseudomonas sp yang hidup pada rizosfer dan jaringan akar barley mampu mempengaruhi dinamika mikrobiota tanah yang lain serta meningkatkan pertumbuhan serta produksi tanaman tersebut. Smith dkk. (1961) menggunakan fosfobakterin sebagai inokulan pada tanaman gandum dan tomat. Dari dua seri percobaannya (masing-masing pada enam dan empat jenis tanah), ternyata hanya satu percobaan saja yang mampu meningkatkan produksi tomat, sebesar 8 %.
Selain itu, peneliti tersebut juga meragukan
kemampuan fosfobakterin dan mengkritik bahwa percobaan-percobaan yang dilakukan di bekas negara Uni Soviet itu lemah dalam analisis statistik. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Cooper (1959).
Demikian pula Taha dkk. (1969), yang
mendapatkan bahwa fosfobakterin kurang efektif jika dibandingkan dengan jasad renik yang berhasil diisolasi dad tanah-tanah di Mesir. Pada tanaman jagung, Citrobacter intermedium dan Pseudomonas putida (Premono dkk., 1991) mampu meningkatkan serapan P tanaman dan bobot kering jaringan tanaman sampai 30 %. Pada percobaan yang lain (Buntan, 1992; Premono dan Widyastuti, 1993), Pseudomonas putida mampu meningkatkan bobot kering jagung sampai 20 persen, dan jasad renik ini stabil sampai lebih dari 4 bulan pada medium pembawa kompos zeolit, tanpa kehilangan kemampuan genetisnya dalam
26 melarutkan batuan fosfat. Sedangkan Lestari (1994) yang menguji Aspergillus niger, menunjukkan bahwa jasad renik tersebut sangat baik dalam memperbaiki penampilan pertumbuhan jagung sampai 8 minggu pertama. Beberapa jasad renik pelarut P yang dikombinasikan dengan inokulasi mikoriza, ternyata lebih efektif dibanding dengan inokulasi tunggal.
Hal ini
disebabkan oleh semakin intensifnya permukaan serapan pada daerah penambangan P yang telah dilarutkan oleh jasad renik pelarut P (Kucey, 1983; Young, Chen, dan Cho, 1990: Azcon, Barea, dan Hayman, 1976). Beberapa peneliti mengemukakan bahwa efektifnya jasad renik pelarut P, tidak hanya disebabkan oleh kemampuannya meningkatkan ketersediaan P, tetapi juga disebabkan karena kemampuannya dalam menghasilkan beberapa zat pengatur tumbuh, terutama oleh jasad renik yang hidup pada permukaan akar (rhizoplane) seperti Pseudomonas fluorescens, P. putida, dan P. striata. Vancura (1989) serta Sobleszczanski dan Stempniewicz (1989) mengemukakan bahwa
P. putida yang
hidup di sekitar akar tanaruan memanfaatkan 73-76 % eksudat akar dan menghasilkan zat pengatur tumbuh antara lain indole acetic acid (I AA) , indole-3-acetarnide (I AM), indole-3-lactic acid (I LA), indole-3-acetaldehyde (I AH), gibberelic acid (GA3), aneurin, biotin, mesoinositol, pyridoxin , pantotenic acid, dan nicotinic acid. Beberapa percobaan lapangan yang dilakukan di India belum memberikan hasil yang konsisten. Subba Rao (1982"; 1982b)melaporkan bahwa dari 37 percobaan yang telah dilakukan pada tanaman jagung, gandum, padi, kentang, kedelai, kacang tanah,
27
barley, dan kacang panjang, hanya 10 percobaan yang menurut uji statistik nyata meningkatkan produksi tanaman.
Nasib Jasad Renik dalam Tanah Jika jasad renik diinokulasikan ke dalam tanah, maka berbagai kemungkinan dapat terjadi, karena lingkungan yang baru belum tentu serupa dengan lingkungan asal jasad renik.
Diantara beberapa kemungkinan yang dapat terjadi terhadap
inokulan adalah : (1) Inokulan tidak dapat bertahan hidup karena lingkungan kimia, parasit, atau senyawa antagonis yang dihasilkan jasad renik lain; (2) inokulan bertahan hidup, tetapi dengan laju pertumbuhan yang lambat karena faktor lingkungan; (3) inokulan bertahan hidup, dengan laju pertumbuhan yang tinggi karena didukung oleh faktor lingkungan; dan (4) inokulan bertahan hidup, tumbuh dengan baik tetapi mengalami mutasi atau bergeser dari sifat-sifat yang diinginkan. Karena beberapa kemungkinan tersebut, maka pemantauan terhadap nasib jasad renik setelah diinokulasikan perlu dilakukan untuk menerangkan hasil yang teramati. Beberapa metode dapat digunakan untuk memantau inokulan tersebut, diantaranya adalah teknik antigen-antibodi dan penandaan dengan resistensi antibiotik (Subba Rao, 1977; Somasegaran dan Hoben, 1985). Teja Imas (1990) menggunakan teknik antigen-antibodi untuk pengelompokkan serogrup isolat bakteri bintil akar. Teknik ini merupakan salah satu metode pencirian jasad renik untuk menggambarkan hubungan spesifik antara antigen-antibodi, sehingga galur lain dan galur yang diintro-
28 duksi ke dalarn tanah dapat dikenali (Vincent, 1970). Uji serologi yang sering digunakan adaiah reaksi aglutinasi, presipitasi, dan uji serologi khusus dengan teknik antibodi fluoresen (Vincent, 1970; Pelczar, Chan, dan Krieg, 1986).
Resistensi Antibiotik Sebagai Penanda Sifat resisten terhadap antibiotik tertentu yang dirniliki oleh jasad renik dapat digunakan untuk menandai jasad renik yang akan dipakai, sehingga jasad renik tersebut dapat dipantau dan dikenali setelah diinokulasikan ke dalarn ekosistem yang kompleks. Metode ini sederhana, tetapi cukup efektif untuk mengarnati dinarnika populasi jasad renik pada ekosistem yang dimaksud. Sifat resisten terhadap antibiotik yang dimiliki oleh jasad renik tersandikan pada kromosom dan atau plasmid, bergantung pada jenis jasad renik dan senyawa antibiotik yang dipakai (Kucers dan Bennet, 1979). Telah diketahui bahwa sifat tersandikan di kromosom lebih stabil daripada yang di plasrnid. Sifat tersebut dapat , '
dimiliki oleh jasad renik melalui proses mutasi spontan, sehingga rnenjadi resisten pada tingkat dosis antibiotik yang tinggi. Muncuinya resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat disebabkan oleh beberapa ha1 (Moeharjo, 1986), antara lain adalah : (1) terdapatnya enzirn yang menguraikan senyawa antibiotik, misalnya penisilinase, sefalosforinase, adenilase, fosfor ilase, dan asetilase; terhadap senyawa antibiotik;
(2) adanya perubahan permeabil itas sel jasad renik
(3) meningkatnya jurnlah senyawa endogen yang
29
bekerja sebagai antagonis terhadap antibiotik; dan (4) perubahan jumlah reseptor antibiotik pada sel jasad renik, atau sifat komponen yang mengikat senyawa antibiotik sehingga tidak mencapai targetnya. Sifat resisten antibiotik, secara alami telah dimiliki oleh jasad renik, yang melibatkan perubahan genetika yang bersifat stabil dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Setiap proses yang menghasilkan perubahan komposis i
genetik bakteri, seperti mutasi, transduksi, transformasi, dan konyugasi dapat menimbulkan sifat resistensi antibiotik. Terdapatnya bakteri yang resisten antibiotik pada dosis tinggi merupakan multiplikasi yang selektif karena terpapar antibiotik terus menerus. Mutan jasad renik yang beradaptasi dengan antibiotik dosis tinggi acap kali d igunakan untuk percobaan dinami ka populasi dan sifat kompetisinya dengan jasad renik lain pada ekosistem tanah yang kompleks (Pankhrust, 1977;
El-Hassan,
Hernandez, dan Focht, 1986). Namun demikian, mutasi spontan jasad renik dapat menyebabkan perubahan sifat utama yang dimilikinya. Beberapa Rhizobium sp yang resisten terhadap streptomisin dosis tinggi, efektivitas penambatan nitrogennya menjadi rendah (Turco, Moorman, dan Bezdicek, 1986), dan yang resisten terhadap rifampin menjadi gaga1 membentuk bintil pada tanaman pepolongan (Lewis, Broomfield, dan Barrand, 1987). Pada percobaan yang lain, Compeau dkk. (1988) serta Glandorf dkk. (1992) berhasil menggunakan Pseudomonas fluorescens dan
Pseudonlonm putida yang masing-masing resisten terhadap rifampin dan rifampisin
30 dalam menggambarkan ketahanan hidup dalam tanah dan dinamika kolonisasi jasad renik tersebut pada akar tanaman kentang. Beberapa jenis antibiotik yang sering digunakan pada uji ekologi, diantaranya adalah streptomisin, rifampin, rifampisin, khloramfenikol, penisilin, eritromisin, dan teramisin (Somasegaran dan Hoben, 1985; Compeou dkk., 1988; Glandorf dkk., 1992; El-Hassan dkk., 1986). Bekerjanya antibiotik dalam menghambat pertumbuhan bakteri sangat bermacam-macam, beberapa diantaranya menghambat proses sintesis protein dengan mengikat subunit 30s ribosom bakteri, sehingga terjadi distorsi pengenalan kode pada ribosom dan menyebabkan kesalahan baca pada mRNa (streptomisin), atau memblok pengikatan tRNA ke subunit 30s ribosom (teramisin). Sedangkan kloramfenikol dan eritromisin mengikat subunit 5 0 s ribosom yang menganggu pengikatan asam amino pada rantai polipeptida. Penisilin bekerja dengan menghambat sintesis peptidoglikan yang merupakan komponen dinding sel, yakni dengan menghambat enzim transpeptidase yang menygsun ikatan silang peptida pada peptidoglikan. Resistensi antibitotik pada bakteri ini disebabkan oleh adanya enzim asetilase, fosforilase, dan adenilase yang merusak streptomisin, enzim P-laktamase yang merusak penisilin, dan enzim kloramfenikol asetil transferase yang merusak khloramfenikol. Enzim yang terakhir ini dikendalikan oleh gen ekstra kromosom
31 pada plasmid (Jawetz, Melnick, dan Adelberg, 1977). Sedangkan bakteri yang resisten terhadap teramisin disebabkan karena sel bakteri memiliki permeabilitas yang selektif terhadap antibiotik tersebut.