BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Sosiolinguistik Sosiolinguistik terdiri dari dua unsur kata yaitu sosio dan linguistik. Linguistik yaitu ilmu yang mempelajari bahasa khususnya unsur-unsur bahasa (ucapan, kata, kalimat) dan hubungan antar unsur tersebut, termasuk pembentukan unsur tersebut. Sedangkan kata sosio searti dengan kata sosial yaitu yang berhubungan dengan masyarakat, jadi sosiolinguistik ialah studi atau pembahasan bahasa yang berhubungan dengan penutur bahasa yang merupakan bagian dari anggota masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Hudson “Sociolinguistics a study of language in relation with society” (1980: 1). Sependapat dengan Hudson, Gunawan menyatakan bahwa sosiolinguistik merupakan kajian yang mengaitkan masalah kebahasaan dengan masalah kemasyarakatan (2001: 14-15). Dalam kajian yang mengaitkan masalah kebahasaan dengan masalah sosial itu tentu saja ada perbedaannya penekanannya.
Menekankan masalah
kebahasaannya dalam arti bahwa faktor sosial dipakai sebagai variabel saja. Sebaliknya, ada yang menekankan masalah sosialnya dalam arti bahwa faktor bahasa dipakai sebagai penjelas belaka. Perbedaan penekanan itu menimbulkan adanya 2 masalah istilah yaitu sosiolinguistik (untuk kajian yang menekankan pada masalah bahasa) dan sosiologi (kajian yang menekankan pada masalah sosial). Jadi, pada dasarnya kedua istilah itu sama saja. Perbedaannya hanya pada penekanannya saja walaupun ada beberapa orang yang membedakan kedua istilah tersebut. Dan yang paling penting adalah kita dapat
melakukan penelitian perihal kebahasaan di dalam konteks sosial. Yang perlu diingat adalah bahwa yang dikaji adalah perilaku kelompok atau komunitas, bukan perorangan. Jadi, sosiolinguistik adalah kajian antar disiplin tentang bahasa dengan korelat sosial. Sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakainya di dalam masyarakat. Hal ini berarti bahwa sosiolinguistik memandang bahasa pertama-tama sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi, serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu (Soewito, 1983: 2). Oleh sebab itu bahasa dan pemakaian bahasanya tidak diamati secara individual tetapi selalu dihubungkan dengan dengan kegiatannya di masyarakat. Cabang bahasa yang disebut sosiolinguistik ini menelaah semua peristiwa bahasa di dalam konteks sosial. Sosiolinguistik menelaah dan mencatat bahasa yang digunakan oleh seseorang ketika ia berbicara dengan temannya, dengan kelompoknya, dengan anggota keluarganya, dan juga dengan orang yang tidak dikenalnya. Selain itu, sosiolinguistik juga menelaah bahasa yang dipergunakan seseorang dengan segala cara penyampaiannya, termasuk hal-hal kecil seperti tanda-tanda berupa kata-kata maupun isyarat yang menyatakan bahwa ia sedang mendengarkan baik-baik, setuju atau tidak setuju, bahkan pula menyadari posisinya ketika berbicara dengan mitra bicaranya (Umar, 1994: 4). ‘Sociolinguistics as the studies the relationship between language and society’ (Holmes, 1992: 1), bahwa sosiolinguistik adalah mempelajari hubungan antara bahasa dan masyarakat pengguna bahasa tersebut.
Dari beberapa pengertian di atas didapat rumusan bahwa sosiolinguistik adalah pembahasan atau studi dari bahasa yang berhubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat. Boleh juga dikatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan (variasi) yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (sosial).
B. Sex dan Gender 1. Sex Menurut Oxford Dictionary (1995: 377), sex adalah yang menyatakan laki-laki atau perempuan. Sedangkan Holmes (2001: 25), sex adalah sebuah identitas yang memberi ciri manusia sejak lahir secara fisik atau organ reproduksinya, penis pada laki-laki. Dan vagina pada perempuan. Sex ialah yang berhubungan dengan laki-laki dan perempuan secara bioligis dan reproduksinya (http://en.wikipedia.org/wiki/sex).
2. Gender Gender adalah sebagai pembatasan untuk perbedaan secara gramatikalnya (Spolsky, 1998: 36). Kata gender juga berarti untuk mendefinisikan seorang laki-laki, perempuan, atau sebaliknya (http://en.wikipedia.org/wiki/gender). Bahwa perbedaan gramatikal dapat menyebabkan masalah pada penutur bahasa, seperti bahasa Inggris, dimana kata ganti tentang gender sangat penting. Misalnya, male: he, boy, son, father, uncle, dan lain-lain. Sedangkan female: she, girl, daughter, mother, aunt, dan lain sebagainya.
Spolsky (1998: 37), juga menyatakan bahwa alasan utama mengapa perbedaan gender di dalam penggunaan bahasa juga karena tingkat pendidikan seseorang. Di Afrika dan Timur Tengah, atau di daerah terpencil di Indonesia, tingkat pendidikan seorang anak laki-laki lebih tinggi daripada anak perempuan, dan jika orang tua mereka memilih salah satu dari anak mereka untuk sekolah, mereka cenderung memilih menyekolahkan anak laki-laki mereka daripada anak perempuannya. Konsekuensinya anak laki-laki lebih banyak menguasai kosa kata daripada anak perempuan. Contoh lainnya adalah orangorang Amerika komunitas Yahudi ultra-ortodox. Laki-laki di komunitas ini banyak belajar tentang pelajaran tradisional Yahudi. Hasilnya adalah anak laki-laki lebih menguasai bahasa Yiddi dan bahasa Yahudi, tetapi kurang dalam penguasaan bahasa Inggris, dengan kata lain perempuan lebih baik dalam bahasa Inggris daripada bahasa Yahudi. Menurut Tannen (1996: 234), perbedaan gender tidak hanya pada bahasa saja tetapi juga pada karakteristik manusia. Seorang laki-laki selalu berhubungan dengan sifat maskulinnya: kekuatan, otot kekar, suara yang besar adalah karakteristik seorang lakilaki. Seorang perempuan juga mempunyai karakteristik yang berbeda dari seorang lakilaki. Perempuan selalu berhubungan dengan sifat feminimnya, seperti: sabar, lemah lembut, kalem. Manusia dapat mengenali berjenis kelamin apa seseorang hanya dengan mendengarkan suaranya saja. Dalam aspek bahasa dapat di dengar dengan intonasi, nada, dan gaya bahasa sang penutur.
Bonvillain (1997: 257), menyatakan bahwa sebuah kecenderungan oleh seorang perempuan untuk menggunakan kosa kata pada level tertentu. Seperti label warna, magenta atau torquoise adalah lebih sering digunakan oleh perempuan. Sedangkan lakilaki lebih sering menggunakan warna merah atau biru. Bonvillain juga menyatakan lakilaki lebih sering menggunakan kata-kata makian atau umpatan ketimbang perempuan. Seorang perempuan lebih sering menggunakan bahasa yang lebih santun daripada seorang laki-laki. Dan alasan mengapa seorang perempuan lebih sering menggunakan bahasa yang santun adalah: “They are more closely involved with child rearing, and the transmission of culture, and are therefore more aware of the importance, for their children, of the acquisition of (prestige) norms“ (Fasold, 1996: 187). Holmes (1992: 234), mempunyai pendapat yang hampir sama dengan Fasold, alasan seorang perempuan menggunakan bahasa yang lebih santun dari seorang laki-laki dalam percakapan adalah karena seorang perempuan lebih sadar statusnya daripada seorang laki-laki. Perempuan lebih mengetahui faktanya, dimana atau dengan siapa dia berbicara. Dan hal tersebut juga mencerminkan status sosial atau latar belakang di dalam masyarakat dan tingkat pendidikan juga mempengaruhi cara seseorang berbicara.
C. Taboo dan Taboo Words 1. Taboo Menurut Oxford Dictionary (1995: 421), tabu adalah sesuatu yang dilarang dan hal itu melanggar dengan norma agama atau keyakinan dan adat di dalam sebuah masyarakat. Seperti yang dikatakan Trudgill (1983: 94) bahwa “Taboo is something which is forbidden, because it’s against the religion or social custom”.
Ullman (1970: 205) mengatakan “The meaning of taboo branches off into two opposite directions. On the other hand it means to sacred, consecrated: but one other hands it means uncanny, dangerous, forbidden and unclean”. Maksud pendapat tersebut adalah kata-kata tabu mempunyai dua arti yang berbeda. Di sisi lain sesuatu yang di keramatkan, sedang sisi lainnya yang berarti sesuatu yang dilarang atau jorok. Sedang Akmajin (1998: 322), menyatakan bahwa tabu adalah kata-kata yang tak pantas kita ucapkan di dalam masyarakat, dan penggunaan kata tabu sebaiknya kita hindari atau paling tidak kita tidak menggunakannya di dalam pergaulan di masyarakat. Senada dengan Akmajin, Wardaugh (1986: 87) juga menyatakan bahwa tabu adalah sebuah tindakan yang dikategorikan sebagai pencelaan atau hinaan di dalam sebuah masyarakat yang mungkin sebagian dari kepercayaan atau adat dapat melecehkan anggota masyarakat tersebut. Bertindak sopan di dalam masyarakat bisa jadi dijadikan sebuah pegangan agar tidak melanggar norma atau adat di dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Versi lain dari kata-kata tabu adalah tabu verbal (verbal taboo) yang dijelaskan oleh Hayakawa (1982: 247), “The phenomenon that occurs in almost all languages when the distinction between language and reality becomes confused”. Dalam pembahasan mengenai kata verbal tabu, kata-kata tabu diungkapkan untuk mengungkapkan amarah atau kekesalan dimana saat itu kita memerlukan kata-kata kasar atau tidak pantas di ucapkan untuk menunjukkan kemarahan kita. Dari beberapa pendapat ahli di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa katakata tabu adalah kata-kata yang mengungkapkan realita yang kasar dan vulgar, sehingga kita cenderung untuk menghindari dalam suasana resmi dan tidak diterima dalam
komunitas, tetapi tetap diperlukan untuk tujuan tertentu karena merupakan fenomena sosial bahasa.
2. Taboo Words ( Swear Words dan Curse Words ) Sebuah kata tabu di dalam masyarakat dapat diartikan sebagai kata yang melawan atau melanggar kepercayaan dan adat istiadat di dalam sebuah kehidupan bermasyarakat. Tetapi manusia bebas untuk menggunakannya walaupun kenyataanya bahwa kata-kata tersebut dianggap tak pantas untuk diucapakan di berbagai situasi (Brockhaus, 2002: 105). Kata-kata tabu bisa digunakan untuk maksud menghina atau melecehkan, membuat perasaan seseorang tidak nyaman di dalam kehidupan bermasyarakat. Brockhaus juga menyatakan bahwa kata-kata tabu biasanya berhubungan dengan:
SEX BODY FUNCTION DEFECT / IMPERFECTION (BODILY / MENTAL) RELIGION & ETHNIC ASPECT
DEATH & DEAD
Sehubungan dengan kata tabu, yaitu swear words dan curse words, kata-kata tersebut berhubungan atau bahkan bagian dari kata tabu. Seperti pendapat Brockhaus
(2002: 110), istilah swear words juga curse words merupakan sub bagian dari tabu, meskipun hal itu mempunyai konotasi yang berbeda, tetapi berkaitan erat dengan kata tabu. Menurut Oxford Dictionary (1995: 418), swear words diartikan sebagai kata-kata umpatan atau sumpah serapah dan kata-kata tersebut sangatlah tidak sopan apabila kita ucapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Sedang curse words mempunyai arti yang hampir sama dengan swear words, yaitu kata-kata yang bermaksud untuk mengekspresikan kemarahan kepada seseorang (Oxford: 103). Kedua kata tersebut adalah sangat tidak sopan dan tak pantas bila kita ucapkan dalam percakapan sehari-hari dimasyarakat. Swear words dan curse words adalah merupakan bagian dari kata tabu, karena banyak yang menganggap kedua kata tersebut sama dengan taboo words. Misalnya kata dalam bahasa Inggris seperti: fuck, damn, ass, shit, dan lain sebagainya. Kata-kata tersebut sangat populer dan masyarakat menganggap sebagai kata tabu, dan apabila kita ucapkan dalam sebuah percakapan sehari-hari di dalam kehidupan bermasyarakat akan menimbulkan reaksi yang jelek, seperti kemarahan atau penghinaan kepada seseorang.
D. Nilai-Nilai Tabu Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa tabu juga berhubungan dengan dengan nilai moral masyarakat. Karena tabu juga mempunyai kedudukan yang sama dengan hukum, sebuah hukuman akan membuat seseorang tidak melakukannya. Masyarakat dapat dikucilkan dan hal tersebut dapat memperbaiki moral masyarakat (Trudgill, 1983: 96). Di dalam percakapan sehari-hari, seseorang sebaiknya untuk menghindari penggunaan kata-kata tabu di dalam kehidupan bermasyarakat. Di Indonesia yang
merupakan berbudaya timur, mengucapkan kata tabu (vulgar) di dalam sebuah percakapan sehari-hari adalah sangat tidak sopan. Salah satu contohnya seperti menyebutkan organ reproduksi manusia adalah sangat tak sopan atau vulgar untuk kita ucapkan di dalam percakapan sehari-hari. Contohnya adalah tabu di dalam suatu masyarakat, belum tentu tabu di dalam masyarakat yang lain. Misalnya kata bini, bunting, di dalam masyarakat jawa dianggap tabu, tetapi di dalam masyarakat betawi tidak tabu. E. Perbedaan Gender Pada Kata Tabu Menurut Trudgill (1983: 87), tabu mempunyai sebuah pengaruh yang kuat pada perkembangan kosa kata, khususnya yang berhubungan dengan sex atau gender. Pendapat Trudgill yang lain adalah bahwa jika tabu menjadi objek yang nyata, dan juga kata-kata baru atau ucapan. Salah satu contohnya adalah perempuan di Indonesia, kebanyakan perempuan Jawa, tidak menyebut atau memanggil suaminya dengan nama aslinya, tetapi memanggil dengan kata ganti seperti kata ‘mas‘. Hal tersebut untuk mengindari penggunaan kata tabu atau tidak sopan. Contoh lainnya yaitu, kita menggunakan kata ‘bapak’ atau ‘ibu‘ untuk memanggil kedua orang tua kita, bapak (father) atau ibu (mother). Dan sangatlah tidak sopan apabila kita memanggil orang tua kita dengan kata ganti ‘kowe‘ (you) atau menyebutkan namanya langsung.