BAB II UNSUR-UNSUR YANG TERDAPAT DALAM SUATU AKAD SEHINGGA AKAD TERSEBUT DIKATAKAN AKAD YANG CACAT
A. Pengertian Akad. Istilah akad dalam hukum Islam dikenal dalam hukum Indonesia dengan istilah “perjanjian”. Kata akad berasal dari kata al ‘aqd yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan,
bermakna afirmasi
atau
pengukuhan.
Adapun secara terminologi, ulama fiqih memberikan dua makna; makna khusus dan makna umum. Adapun akad dalam arti khusus adalah pernyataan dari dua pihak atau lebih (ijab dan qabul) yang menghasilkan hukum syar’i yang melazimkan salah satu pihak atau kedua belah pihak. Sedangkan akad dalam arti umum adalah tindakan atau kehendak sepihak yang melahirkan hukum syar’i yang melazimkan dirinya. Cakupan akad menurut definisi kedua jauh lebih luas dibandingkan definisi pertama, karena ia tidak mengharuskan adanya dua belah pihak dalam suatu akad. Seperti janji memberi hadiah, wasiat, wakaf, pelepasan hak dan berbagai bentuk komitmen yang datang dari satu pihak, tanpa harus melibatkan orang lain. Sedangkan cakupan akad menurut definisi pertama terbatas hanya pada tindakan-tindakan yang melibatkan dua pihak atau lebih, seperti jual beli, sewa menyewa dan lainnya. Kedua definsi ini akan kita temukan dalam buku fiqih, namun definisi pertama lebih mendominasi.32
32
Teungku Muhammad Hasb Ash-Shiddieqy, Memahami syariat Islam, Cet I, (Semarang: Putra Rizki Putra, 2000), hal.27.
26
Universitas Sumatera Utara
27
Akad bisa berakhir disebabkan karena fasakh, kematian atau karena tidak adanya izin pihak lain dalam akad yang mauquf:33. a.
b.
c.
Berakhirnya akad karena fasakh yang menyebabkan timbulnya fasakhnya akad yakni: 1. Fasakh karena fasadnya akad jika suatu akad berlangsung secara fasid maka akad harus difasakhkan baik oleh pihak yang berakad maupun oleh putusan pengadilan atau dengan kata lain sebab ia fasakh, karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara’ seperti akad rusak. 2. Fasakh karena khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat atau majlis, yang berhak khiyar, berhak memfasakh bila menghendakinya,kecuali dengan kerelaan pihak lainnya atau berdasarkan keputusan pengadilan. 3. Fasakh berdasarkan iqalah. Iqalah ialah memfasahkan akad berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Atau salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa menyesal. 4. Fasakh karena tiada realisasi. Karena kewajiban yang ditimbulkan oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Fasakh ini berlaku pada khiyar naqd (pembayaran) yakni pembeli tidak melunasi pembayaran, atau jika pihak penjual tidak menyerahkan barang dalam batas waktu tertentu. 5. Fasakh karena jatuh tempo atau karena tujuan akad telah terealisir. Jika batas waktu yang ditetapkan dalam akad telah berakhir atau tujuan akad telah terealisir maka akad dengan sendirinya menjadi fasakh (berakhir) seperti sewa menyewa. Berakhirnya Akad karena kematian. Kematian menjadi penyebab berakhirnya sejumlah akad adalah sebagai berikut; 1. Ijarah. Menurut Fuqaha Hanafiyah kematian seseorang menyebabkan berakhirnya akad ijarah. Menurut jumhur fuqaha selain Hanafiah, kematian tidak menyebabkan berakhirnya akad ijarah. 2. Al-Rahn (gadai) dan Kafalah (penjaminan hutang). Jika pihak penggadai meninggal maka barang gadai harus dijual untuk melunasi hutangnya. Dalam hal kafalah (penjamin) hutang, maka kematian orang yang berhutang tidak mengakibatkan berakhirnya kafalah, dilakukan pelunasan hutangnya. 3. Syirkah dan wakalah. Keduanya tergolong akad yang tidak lazim atas dua pihak. Oleh karena itu, kematian seorang dari sejumlah orang yang berserikat menyebabkan berakhir syarikah. Demikian juga berlaku pada wakalah. Berakhirnya Akad karena tidak adanya izin pihak lain. Akad mauquf berakhir apabila pihak yang mempunyai wewenang tidak mengijinkannya dan atau meninggal. 33
https:/ekis.stain.wtp/posts/695419197135820, diakses tanggal 08 Desember 2013.
Universitas Sumatera Utara
28
B. Rukun dan Syarat Akad. 1.
Rukun Akad Perjanjian dalam Islam pada dasarnya dapat dilakukan dalam segala perbuatan
yang dapat menimbulkan akibat hukum (penyebab munculnya hak dan kewajiban) bagi pihak-pihak yang terkait. Bentuk perjanjian yang terjadi antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian adalah tergantung pada bentuk atau jenis obyek perjanjian yang dilakukan. Sebagai misal, perjanjian dalam transaksi jual-beli (bai’), sewa-menyewa (ijarah), bagi hasil (mudharabah), penitipan barang (wadi’ah), perseroan (syirkah), pinjam meminjam (ariyah), pemberian (hibah), penangguhan utang (kafalah), wakaf, wasiat, kerja, gadai atau perjanjian perdamaian dan lain sebagainya. Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat syarat yang harus dipenuhi. Secara bahasa, rukun adalah “yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan” sedangkan syarat adalah “ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan”. Dalam syari’ah, rukun dan syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Secara definisi, rukun adalah “suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu. Definisi syarat adalah “sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada. Perbedaan antara rukun dan syarat menurut Ulama Ushul Fiqih, bahwa rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia termasuk
Universitas Sumatera Utara
29
dalam hukum itu sendiri, sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada diluar hukum itu sendiri. Pendapat mengenai rukun perikatan atau sering disebut juga dengan rukun akad dalam Hukum Islam beraneka ragam dikalangan para ahli fiqih. Dikalangan mazhab Hanafi berpendapat, bahwa rukun akad hanya sighat al-aqd yaitu ijab dan kabul. Sedangkan syarat akad adalah al-‘aqidain (subjek akad) dan mahallul ‘aqd (objek akad). Alasannya adalah al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd bukan merupakan bagian dari tasharruf aqad (perbuatan hukum akad). Kedua hal tersebut berada diluar perbuatan akad. Berbeda halnya dengan pendapat dari kalangan mazhab Syafi’i termasuk Imam Ghazali dan kalangan mazhab Maliki termasuk Syihab al-Karakhi, bahwa al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd termasuk rukun akad karena adanya hal tersebut merupakan salah satu pilar utama dalam tegaknya akad34. Jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun akad adalah al-‘aqidain, mahallul ‘aqd dan sighat al-‘aqd. Selain ketiga rukun tersebut, Musthafa az-Zarqa menambah maudhu’ul ‘aqd (tujuan akad). Ia tidak menyebut keempat hal tersebut dengan rukun, tetapi dengan muqawimat ‘aqd (unsur-unsur penegak akad). Menurut jumhur fuqaha, rukun perjanjian terdiri atas: a. Al-‘Aqidain, yakni para pihak yang terlibat langsung dengan akad b. Mahallul Akad, yakni objek akad, yakni sesuatu yang hendak diakadkan
34
Teungku Muhammad Hasb Ash-Shiddieqy, Op. Cit,. hal.33.
Universitas Sumatera Utara
30
c. Sighat Akad, pernyataan kalimat akad yang lazimnya dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan qabul35. Menurut Fuqaha Hanafiyah, rukun akad hanya satu yaitu Shigatal’aqd atau pernyataan Ijab Qabul. Sedangkan Al-‘aqidain dan Ma’qud’alaih bukan merupakan rukun akad melainkan lebih tepat sebagai syarat akad. Pendirian seperti ini didasarkan pada pengertian rukun sebagai sesuatu yang menjadi tegaknya dan adanya sesuatu, sedangkan ia bersifat internal (dakhiliy) dari sesuatu yang ditegakkannya.36 Berdasarkan pengertian ini, maka jika dihubungkan dengan pembahasan rukun akad, dapat dijelaskan bahwa rukun akad adalah kesepakatan dua kehendak, yakni ijab dan qabul. Seorang pelaku tidak dapat dipandang sebagai rukun dari perbuatannya karena pelaku bukan merupakan bagian internal dari perbuatannya. Dengan demikian para pihak dan objek akad adalah unsur yang berada di luar akad, tidak merupakan esensi akad, karenanya ia bukan merupakan rukun akad. Hal ini dapat dikiyaskan kepada perbuatan sholat, di mana pelaku solat tidak dapat dipandang sebagai rukun dari perbuatan shalat. Oleh karena itu, berdasarkan argumen ini maka alaqid (orang/pihak yang melakukan akad) tidak dapat dipandang sebagai rukun akad. 37 Al-‘aqidain adalah para pihak yang melakukan akad. Sedangkan pelaku dari suatu tindakan hukum tertentu, yang dalam hal ini tindakan hukum akad (perikatan), dari sudut hukum adalah sebagai subjek hukum. Subjek hukum sebagai pelaku 35 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al Islam wa adillatuhu, Dar al fikr al Mu’ashir, Damaskus,Jilid 4,1997,hal;3089-3095 dalam Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama,(Jakarta:Kencana, 2012), juz v, hal.299. 36
Mustafa Ahmad az-Zarqa. t.t, al-Madkhal al-Fiqh al’Am, (Beirut: Dar al-Fikr. I), hal. 300.
37
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
31
perbuatan hukum sering kali diartikan sebagai pihak pengemban hak dan kewajiban. Subjek hukum ini terdiri dari dua macam yaitu manusia dan badan hukum. Berikut penjelasan mengenai manusia dan badan hukum dalam kaitannya dengan ketentuan dalam hukum Islam. a.
Manusia Manusia sebagai subjek Hukum Perikatan adalah pihak yang sudah dapat dibebani hukum yang disebut dengan mukallaf. Mukallaf adalah orang yang telah mampu bertindak secara hukum, baik yang berhubungan dengan Tuhan maupun dalam kehidupan sosial. Kata “Mukallaf” berasal dari bahasa Arab yang berarti “yang dibebani hukum” yang dalam hal ini adalah orang-orang yang telah dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah SWT, baik yang terkait dengan perintah maupun larangan-larangan-Nya. Pada kehidupan seseorang ada tahapan untuk dapat melihat apakah seseorang telah dapat dibebani hukum. Dalam Hukum Islam, kapasitas hukum seseorang dapat dilihat dari tahapan-tahapan dalam kehidupannya (the stages of legal capacity). Menurut Abdurahman Raden Aji Haqqi, para ahli Ushul Fiqih telah membagi kapasitas hukum seseorang ke dalam 4 (empat) tahap Subjek Hukum (Stages of Legal Capacity)38. 1. Marhalah al-Janin (Embryonic Stage)
38
Gemala Dewi, Wirdaningsih dan Yeni Salma Barlini, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal.119.
Universitas Sumatera Utara
32
Tahap ini dimulai sejak masa janin sudah berada dalam kandungan hingga lahir dalam keadaan hidup. Sebagai hukum, janin disebut “Ahliyyah Al-Wujub Al-Naqisah”. Dalam tahap ini, janin dapat memperoleh hak, namun tidak mengemban kewajiban hukum. Misalnya janin dapat hak waris pada saat orang tuanya meninggal dunia, dapat menerima hibah, dan sebagainya. 2. Marahalah al-Saba (Childhood Stage) Tahap ini dimulai sejak manusia lahir dalam keadaan hidup hingga ia berusia 7 (tujuh) tahun. Pada tahap ini seseorang disebut “Al-Sabiy Gahyr AlMumayyiz”. Hak dan kewajiban
yang menyangkut harta miliknya
dilaksanakan melalui walinya (Guardian). Misalnya mengenai pengelolaan harta tersebut dan pembayaran zakatnya39. 3. Marhalah al-Tamyiz (Discernment Stage) Tahapan ini dimulai sejak seorang berusia 7 (tujuh) tahun hingga masa pubertas (Aqil Baligh). Pada tahap ini seseorang disebut “Al-Sabiy AlMumayyiz” (telah bisa membedakan yang baik dan buruk). Seseorang yang mencapai tahap ini dapat memperoleh separuh kapasitasnya sebagai subjek hukum (tanpa izin dari walinya). 4. Marhalah al-Bulugh (Stage of Puberty) Pada tahap ini seseorang telah mencapai Aqil Baligh dan dalam keadaan normal dia dianggap telah menjadi Mukallaf. Kapan seseorang dianggap telah baligh ini terdapat perbedaan pendapat dari para ulama. Mayoritas ulama 39
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
33
menyebutkan usia 15 tahun sedangkan sebagian kecil ulama mazhab Maliki menyebutkan 18 tahun. Namun ada yang memudahkan perkiraan baligh ini dengan melihat tanda-tanda fisik, yaitu ketia seorang perempuan telah datang bulan (haid) dan laki-laki telah mengalami perubahan-perubahan suara dan fisiknya. Seseorang yang sudah pada tahap ini disebut “Ahliyyah Al-Ada AlKamilah”. Orang tersebut telah memperoleh kapsitas penuh sebagai subjek hukum. Intelektualiasnya telah matang dan dianggap cakap, kecuali terbukti sebaliknya40. Mengenai tahap cakapnya seseorang dalam bertransaksi, sebagian ulama kontemporer, menambahkan persyaratan satu tahapan atau kondisi seseorang lagi sebagai tahapan ke – 5 yaitu: 5. Daur al-Rushd (Stage of Prudence) Pada tahap ini kapasitas seseorang telah sempurna sebagai subjek hukum dikarenakan telah mampu bersikap tindak demi keamanan dalam mengelola dan mengontrol harta dan usaha/bisnisnya dengan bijaksana. Pada dasarnya kebijakan (rushd/prudence) seseorang dapat dicapai secara bersamaan, sebelum atau sesudah baligh. Bila telah memiliki sifat-sifat kecakapan bedasarkan pendidikan atau persiapan tertentu untuk kepentingan bisnis, usaha atau transaksi yang akan dilakukannya tersebut. Orang yang telah mencapai tahapan Daur ar Rushd ini disebut orang yang Rasyid. Diperkirakan
40
Ibid, hal,120
Universitas Sumatera Utara
34
tahapan ini dapat diperoleh setelah seseorang mencapai usia 19, 20 atau 21 tahun.41 Jadi dari segi kecakapan untuk melakukan akad, manusia dapat terbagi atas tiga bentuk. a) Manusia yang tidak dapat melakukan akad apa pun, seperti manusia yang cacat jiwa, cacat mental, anak kecil yang belum mumayyiz. b) Manusia yang dapat melakukan akad tertentu, seperti anak yang sudah mumayyiz, tetapi belum mencapai baligh. c) Manusia yang dapat melakukan seluruh akad, yaitu untuk yang telah memenuhi syarat-syarat mukallaf. Selain hal tersebut diatas, dalam kaitannya dengan al-aqidain terdapat tiga hal yang harus diperhatikan yaitu ahliyah (kecakapan), wilayah (kewenangan) dan wakalah (perwakilan).kedua belah pihak harus layak dalam membuat akad42. 1) Ahliyah (kecakapan), yaitu kecakapan seseorang untuk memiliki hak dan dikenal kewajiban atasnya dan kecakapan melakukan tasharruf. Ahliyah terbagi atas dua macam: a) Ahliyah wujub adalah kecakapan untuk memiliki suatu hak kebendaan. Manusia dapat memiliki hak sejalan dalam kandungan untuk hak tertentu, yaitu hak waris. Hak ini akan selalu ada selama manusia hidup.
41 42
Ibid, hal, 121 Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Op. Cit, hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
35
b) Ahliyah ada’ adalah kecakapan memiliki tasharruf dan dikenal tanggung jawab atau kewajiban, baik berupa hak Allah SWT, atau hak manusia. Ahliyah ada’ terbagi atas dua macam berikut ini: (1) Ahliyah ada’ al naqishah yaitu kecakapan bertindak yang tidak sempurna yang terdapat pada mu-mayyiz dan berakal sehat. Ia dapat ber-tasharruf tetapi tidak cakap melakukan akad. (2) Ahliyah ada’al kamilah, yaitu kecakapan bertindak yang sempurna yang terdapat pada aqil baligh dan berakal sehat. Ia dapat bertasharruf dan cakap untuk melakukan akad. 2) Wilayah (kewenangan), yaitu kekuasaan hukum yang pemiliknya dapat bertasharruf dan melakukan akad dan menunaikan segala akibat hukum yang ditimbulkan. Syarat seseorang untuk mendapatkan wilayah akad adalah orang yang cakap ber-tasharruf secara sempurna. Sedangkan orang yang kecakapan bertindaknya tidak sempurna tidak memiliki wilayah, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain untuk melakukan tasharruf. a) Niyabahashliyah, yaitu seseorang yang mempunyai kecakapan sempurna dan melakukan tindakan hukum untuk kepentingan dirinya sendiri. b) Niyabahal-Syar’iyyah atau wilayah niyabiyah, yaitu kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepada pihak lain yang mempunyai kecakapan sempurna untuk melakukan tasharruf atas nama orang lain (biasanya disebut dengan wali). Biasanya hal ini terjadi karena maula’alaih tidak memiliki kecakapan ber-tasharruf yang sempurna, seperti anak kecil,
Universitas Sumatera Utara
36
perempuan dalam melakukan pernikahan. Kewenangan ini dapat didasarkan pada ihtiyariyah (memilih menentukan sendiri) atau pda ijbariyah (keputusan hakim). Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh wali dalam mendapatkan wilayah ini adalah sebagai berikut: (1) Mempunyai kecakapan yang sempurna dalam melakukan tasharruf. (2) Memiliki agama yang sama (Islam) antara wali dan maula’alaihi (yang diwakili). (3) Mempunyai sifat adil, yaitu istikamah dalam menjalankan ajaran agama dan berakhlak mulia. (4) Mempunyai sifat amanah, dapat dipercaya. (5) Menjaga kepentingan orang yang ada dalam perwaliannya. 3) Wakalah (perwakilan), yaitu
pengalihan kewenangan perihal harta dan
perbuatan tertentu dari seseorang kepada orang lain untuk mengambil tindakan tertentu dalam hidupnya. Dalam wakalah ini, wakil dan muwakil (yang diwakili) harus memiliki kecakapan ber-tasharruf yang sempurna dan dilaksanakan dalam bentuk akad berupa ijab dan Kabul. Dengan demikian, harus jelas objek dan tujuan akad tersebut. b.
Badan Hukum Badan hukum adalah badan yang di anggap dapat bertindak dalam hukum dan
yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain. Badan hukum ini memiliki kekayaan yang terpisah dari perseorangan. Dengan demikian, meskipun pengurus badan hukum berganti-ganti, ia
Universitas Sumatera Utara
37
tetap memiliki kekayaan tersendiri. Yang dapat menjadi badan hukum menurut R.Wirjono Prodjodikoro adalah dapat berupa negara, daerah otonom, perkumpulan orang-orang, perusahaan atau yayasan. Dalam Islam, badan hukum tidak diatur secara khusus. Namun, terlihat pada beberapa dalil menunjukkan adanya badan hukum dengan menggunakan istilah alsyirkah, seperti yang tercantum dalam QS, An-Nisa (4): 12, QS. Shaad (38):24 dan Hadist Qudsi. Pada QS, An-Nisa (4): 12, disebutkan “Tetapi jika saudara-saudara seribu itu lebih dari seorang, maka mreka bersekutu dalam yang sepertiga itu…”. Pada QS. Shaad (38):24 bahwa “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orangorang bersifat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman…” Pada Hadist Qudsi riwayat Abu Dawud dan al-Hakim dari Abu Harairah, bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda; “Aku (Allah) adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, sepanjang salah seorang dari keduanya tidak berkhianat terhadap lainnya. Apabila seseorang berkhianat terhadap lainnya, maka Aku keluar dari keduanya. Adanya kerja sama di antara beberapa orang menimbulkan kepentingan – kepentingan dari syirkah tersebut terhadap pihak ketiga. Dalam hubunganya dengan pihak ketiga inilah timbul bentuk baru dari subjek hukum yang disebut dengan badan hukum. TM. Hasbi Ash Shiddieqy, menyatakan bahwa badan hukum berbeda dengan manusia sebagai subjek hukum dalam hal-hal sebagai berikut: 1. Hak-hak badan hukum berbeda dengan hak-hak yang dimiliki manusia, seperti hak berkeluarga, hak pusaka dan lain-lain. 2. Badan hukum tidak hilang dengan meninggalnya pengurus badan hukum. Badan hukum akan hilang apabila syarat-syaratnya tidak terpenuhi lagi. 3. Badan hukum diperlukan adanya pengakuan hukum. 4. Ruang gerak badan hukum dalam bertindak hukum dibatasi oleh ketentuanketentuan hukum dan dibatasi dalam bidang-bidang tertentu. 5. Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh badan hukum adalah tetap, tidak berkembang.
Universitas Sumatera Utara
38
6. Badan hukum tidak dapat dijatuhi hukuman pidana tetapi hanya dapat dijatuhi hukuman perdata. Kedudukan negara, menurut TM Hasbi Ash Shiddieqy dapat menjadi subjek hukum pula, disebut dengan istilah syakhshisyah daulah. Dalam hal negara sebagai badan hukum, kepala negara atau pegawai-pegawai pemerintah dapat melakukan tindakan hukum atas nama negara sesuai dengan peraturan yang sudah ditentukan. Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, empat hal yang merupakan komponen-komponen yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu akad43. 6.
Subjek akad (al-‘aqidain) Sujek akad disni adalah dua pihak atau lebih yang melakukan akad. Kedua belah pihak dipersyaratkan harus memiliki kelayakan untuk melakukan akad sehingga akad tersebut dianggap sah. Kelayakan tersebut terbentuk dengan beberapa hal berikut:44 d.
Kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk. Yakni apabila pihakpihak tersebut sudah berakal lagi baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang tercekal karena dianggap idiot atau bangkrit total, tidak sah melakukan perjanjian.
e.
Bebas memilih. Tidak sah akad yang dilakukan orang dibawah paksaan, kalau paksaan itu terbukti. Misalnya orang yang berhutang dan perlu
43 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi hukum Islam, jilid5, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,19960, hal:1510 selanjutnya lihat juga dalam Gemala Dewi, et, al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,2005), hal.50. 44 Shalah ash-Shawi dan Abdullah al-mushlih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, (Terjemahan), (Jakarta: Darul Haq, 2008), hal. 27-28
Universitas Sumatera Utara
39
pengalihan hutangnya, atau orang yang bangkrut, lalu dipaksa untuk menjual barangnya untuk menutupi hutangnya. f.
Akad itu dianggap berlaku bila tidak terdapat khiyar (hak pilih). Seperti khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan), khiyar ar-ru’yah (hak pilih dalam melihat) dan sejenisnya.
7.
Obyek akad (Mahallul ‘Aqd) Mahallul ‘aqd adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk objek akad dapat berupa benda berwujud seperti mobil dan rumah, maupun benda tak berwujud seperti manfaat. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul ‘aqd adalah sebagai berikut: 45 a. Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan. Suatu perikatan yang objeknya tidak ada adalah batal, seperti menjual anak hewan yang masih didalam perut induknya atau menjual tanaman sebelum tumbuh. Alasannya, bahwa sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin bergantung pada sesuatu yang belum ada. Namun demikian pengecualian terhadap bentuk akad-akad tertentu, seperti salam, istishna, dan musyaqah yang objek akadnya diperkirakan akan ada di masa yang akan datang. Pengecualian ini didasarkan pada istishna untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam kegiatan muamalat. b. Objek perikatan dibenarkan oleh syariah.
45
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
40
Pada dasarnya, benda-benda yang menjadi objek perikatan haruslah memiliki nilai dan manfaat bagi manusia. Benda-benda yang sifatnya tidak suci seperti bangkai, minuman keras, babi, atau darah dianggap tidak memiliki manfaat bagi manusia. Menurut kalangan Hanafiyah, dalam tasharruf akad tidak mensyaratkan adanya kesucian objek akad. Dengan demikian jual beli kulit bangkai dibolehkan sepanjang memiliki manfaat. Selain itu jika objek perikatan itu dalam bentuk manfaat yang bertentangan dengan ketentuan syariah, seperti pelacuran, pembunuhan adalah tidak dibenarkan pula, batal. c. Objek akad harus jelas dan dikenali. Suatu benda yang menjadi objek perikatan harus memiliki kejelasan dan diketahui oleh ‘aqid. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman diantara para pihak yang dapat menimbulkan sengketa. Jika objek tersebut berupa benda, maka benda tersebut harus jelas bentuk, fungsi dan keadaannya. Jika terdapat cacat pada benda tersebutpun harus diberitahukan. Jika objek tersebut berupa jasa, harus jelas bahwa pihak yang memiliki keahlian sejauh mana kemampuan, keterampilan dan kepandaian dalam bidang tersebut. Jika pihak tersebut belum atau kurang ahli terampil, mampu maupun pandai, tetap harus diberitahukan agar masing-masing pihak memahaminya. Dalam hadis riwayat Imam Lima dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad SAW melarang jual beli gharar (penipuan) dan jual beli hassah (jual beli dengan syarat tertentu, seperti penjual akan menjual bajunya apabila lemparan batu dari penjual mengenai baju itu).
Universitas Sumatera Utara
41
d. Objek dapat diserahterimakan. Benda yang menjadi objek perikatan dapat diserahkan pada saat akad terjadi, atau pada waktu yang telah disepakati. Oleh karena itu disarankan bahwa objek perikatan berada dalam kekuasaan pihak pertama agar mudah untuk menyerahkannya kepada pihak kedua. Burung diudara, ikan dilaut tidaklah dapat diserahkan karena tidak ada dalam kekuasaannya. Untuk objek perikatan yang berupa manfaat maka pihak pertama harus melaksanakan tindakan (jasa) yang manfaatnya dapat dirasakan oleh pihak kedua, sesuai dengan kesepakatan. 8.
Ijab dan Qabul (Sighat al-‘Aqd) Sighat al-‘aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan qabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Qabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama. Ijab dan qabul sendiri dapat dilakukan dengan cara-cara berikut ini: a. Lisan. Para pihak mengungkapkan kehendaknya dalam bentuk perkataan secara jelas. Dalam hal ini akan sangat jelas bentuk ijab dan qabul yang dilakukan oleh para pihak. b. Tulisan. Adakalanya, suatu perikatan dilakukan secara tertulis. Hal ini dapat dilakukan oleh para pihak yang tidak dapat bertemu langsung dalam melakukan perikatan, atau untuk perikatan-perikatan yang sifatnya lebih sulit,
Universitas Sumatera Utara
42
seperti perikatan yang dilakukan oleh suatu badan hukum. Akan ditemui kesulitan apabila suatu badan hukum melakukan perikatan tidak dalam bentuk tertulis, karena diperlukan alat bukti dan tanggung jawab terhadap orangorang yang bergabung dalam satu badan hukum tersebut. c. Isyarat. Suatu perikatan tidaklah hanya dilakukan oleh orang normal, orang cacat pun dapat melakukan suatu perikatan (akad). Apabila cacatnya adalah berupa tuna wicara, maka dimungkinkan akad dilakukan dengan isyarat, asalkan para pihak yang melakukan perikatan tersebut memiliki pemahaman yang sama. d. Perbuatan. Seiring dengan perkembangan kebutuhan masyara’at, kini perikatan dapat pula dilakukan dengan cara perbuatan saja, tanpa secara lisan, tertulis, ataupun isyarat. Hal ini dapat disebut dengan ta’athi atau mu’athah (saling memberi dan menerima). Adanya perbuatan memberi dan menerima dari para pihak yang telah saling memahami perbuatan perikatan tersebut dan segala akibat hukumnya. Hal ini sering terjadi pada proses jual-beli di supermarket yang tidak ada proses tawar menawar. Pihak pembeli telah mengetahui harga barang yang secara tertulis dicantumkan pada barang tersebut. Pada saat pembeli datang ke meja kasir, menunjukkan bahwa diantara mereka akan melakukan perikatan jual beli. 4.
Tujuan Akad (Maudhu’ul ‘Aqd) Maudhu’ul ‘aqd adalah tujuan dan hukum suatu akad disyari’atkan untuk tujuan tersebut. Dalam hukum Islam, tujuan akad ditentukan oleh Allah SWT, dalam al-
Universitas Sumatera Utara
43
Qur’an dan Nabi Muhammad SAW dalam Hadist. Menurut ulama fiqih , tujua akad dapat dilakukan apabila sesuai dengan ketentuan syari’ah tersebut. Apabila tidak sesuai, maka hukumnya tidak sah. Sebagai contoh A dan B melakukan perikatan kerja sama untuk melakukan pembunuhan atau perampokan, maka perikatan tersebut haram hukumnya. Apabila para pihak melakukan perikatan dengan tujuan berbeda, namun salah satu pihak memiliki tujuan yang bertentangan dengan Hukum Islam dengan diketahui pihak lainnya, maka perikatan itu pun haram hukumnya. Sebagai contoh, A menjual anggur kepada B. A mengetahui bahwa tujuan B membeli anggur tersebut untuk diolah menjadi minuman keras dan
dijual untuk
dikonsumsi. Jual beli tersebut tidak boleh dilakukan karena minuman keras haram untuk dikonsumsi manusia. Apabila A tetap menjual anggur tersebut kepada B berarti B turut andil dalam membuat barang haram tersebut. Dengan demikian jual beli tersebut haram hukumnya. Sesuai dengan dasar hukum yang terdapat dalam QS, Al-Maidah (5):2, bahwa “dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. Namun apabila A benar-benar tidak mengetahui tujuan B membeli anggur tersebut maka perikatan tersebut tidak haram, tetapi dapat dibatalkan. 46
46
Yenti Salma Barlinti, Prinsip-prinsip Hukum Perdagangan Berdasarkan Ketentuan World Trade Organization dalam Perspektif Hukum Islam, Tesis Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2001), dalam Gemala Dewi, et.al., Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), Hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
44
Menurut ulama hanafiyah Ijab adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukan keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan maupun yang menerima. Qabul adalah orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukan keridhaan atas ucapan orang pertama. Menurut fuqaha hanafiah, rukun akad hanya satu, yaitu Shighat al’aqd, menurut mereka al-‘aqidain dan mahallul’aqd bukan sebagai rukun akad melainkan lebih tepat sebagai syarat akad. Ijab Qobul akan dinyatakan batal apabila47 : a.
Penjual menarik kembali ucapannya sebelum terdapat qabul dari si pembeli
b. Adanya penolakan ijab dari si pembeli c. Berakhirnya majlis akad. Jika kedua belah pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah dari majlis akad. Ijab dan qabul dianggap batal. d. Kedua pihak atau salah satu, hilang ahliyah-nya seebelum terjadi kesepakatan. e.
Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya qabul atau kesepakatan. Adapun syarat-syarat sighat akad ini adalah:
g.
Harus jelas atau terang pengertiannya, dalam artian bahwa lafaz yang dipakai dalam ijab dan qabul harus jelas maksud dan tujuannya menurut kebiasaan (‘urf) yang berlaku.
47
http://mathedu-unila.blogspot.com/2010/06/rukun-akad.html, diakses tanggal 15 Nopember
2013.
Universitas Sumatera Utara
45
h.
Harus ada kesesuaian (tawaffuq) antara ijab dan qabul dalam semua segi perjanjian, untuk menghindari terjadinya kesalah-pahaman di antara para pihak yang melakukan perjanjian di kemudian hari.
i.
Harus memperlihatkan kesungguhan dan keridhaan (tidak ada paksaan) dari para pihak yang terkait untuk melaksanakan isi perjanjian yang telah dibuat, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang penuh. Sementara bentuk-bentuk shigat akad itu sendiri dapat dilakukan secara lisan
(dengan kata-kata), tulisan (catatan), isyarat (khusus bagi mereka yang tidak dapat melakukannya dengan dua cara sebelumnya, seperti karena bisu dan buta huruf) ataupun dengan perbuatan (seperti dalam akad sewa-menyewa dan sebagainya). Apapun bentuk shigat akad itu tidak menjadi masalah, namun yang terpenting adalah dapat menyatakan kehendak dari kedua belah pihak yang melakukan perjanjian. 1.
Syarat Sahnya Perjanjian (Akad) Sebagai salah satu asas dari akad dalam Islam adalah bahwa dari suatu
perjanjian yang dipegangi adalah pernyataan lahir, bukan kehendak batin. Ijab dan qabul adalah merupakan manifestasi eksternal atau pernyataan lahir dari kehendak batin tersebut, yang mana kehendak batin tersebut tidak dapat diketahui oleh orang lain melainkan melalui manifestasi eksternal berupa kata-kata atau cara lain yang dapat menyatakan kehendak batin tersebut.48 Kehendak nyata inilah yang menjadi pegangan dalam berakad, kecuali dalam keadaan kehendak nyata tidak jelas, barulah
48
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Membahas Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal.75.
Universitas Sumatera Utara
46
kehendak batin dijadikan sebagai pegangan. Perkataan atau hal lain yang digunakan untuk menyatakan kehendak batin inilah yang disebut sebagai sighat akad. Perlu ditegaskan bahwa, meskipun secara praktis yang dinyatakan sebagai rukun akad adalah ijab dan qabul yang merupakan manifestasi eksternal dari kehendak batin, akan tetapi yang dituju dan yang dimaksudkan adalah substansi yang terkandung di balik ijab dan qabul tersebut, yaitu perizinan (ridha dan persetujuan). Oleh karena itu, antara perizinan dan ungkapannya yang berupa ijab dan qabul hendaknya tidak dipisahkan, karena keduanya merupakan satu kesatuan. Perizinan adalah substansinya dan ijab dan qabul adalah penandanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa substansi ijab dan qabul adalah perizinan. Inilah yang disebut sebagai teori kepercayaan (kehendak nyata) dalam hukum perjanjian barat, sebagai lawan dari teori kemauan (kehendak batin).49 Ijab dan qabul yang tidak ada substansinya, hampa dari perizinan, tidak dapat menciptakan perjanjian yang sah secara hukum. Perizinan sendiri mengandaikan adanya kehendak. Orang yang tidak mempunyai kehendak tidak memiliki perizinan, seperti orang gila, hilang akal, anak yang belum muamayyiz. Akad pada dasarnya merupakan tindakan hukum yang berlandaskan pada kehendak untuk melahirkan akibat hukum. Setelah diketahui bahwa akad suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing, maka timbul bagi kedua belah pihak haq dan iltijam yang diwujudkan oleh aqad. Setiap pmbentukan aqad 49
Wirjono Prodjodikoro, Azaz-azaz Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 27
Universitas Sumatera Utara
47
atau akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’ yang wajib disempurnakan, syarat-syarat terjadi akad ada dua macam. Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad. Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini bisa juga disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada di samping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad: 1. Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada di bawah pengampuan (mahjur) kerena boros atau yang lainnya. 2. Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya. 3. Akad itu diizinkan oleh syara’ dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang. 4. Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara’ seperti jual beli mulasamah. 5. Akad dapat memberikan faedah sehingga tidaklah sah bila rahn dianggap sebagai imbangan amanah. 6. Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Maka bila orang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul, maka batallah ijabnya. 7. Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.
Universitas Sumatera Utara
48
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat, yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilkinya sesuai dengan aturan syara’. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketetapan syara’, baik secara asli, yakni dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai pengganti (menjadi wakil seseorang). Dalam hal ini disyaratkan antara lain: 1. Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika dijadikan, maka sangat bergantung kepada izin pemiliknya yang asli. 2. Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan orang lain. Dasar dalam akad adalah kepastian. Seperti contoh dalam jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum nampak maka akad batal atau dikembalikan50. Adapun syarat menurut pengertian istilah fuqaha dan ahli usul adalah: “segala sesuatu yang dikaitkan pada tiadanya sesuatu yang lain, tidak pada adanya sesuatu yang lain, sedang ia bersifat eksternal (kharijiy). Maksudnya adalah, tiadanya syarat mengharuskan tiadanya masyrut (sesuatu yang disyaratkan), sedang adanya syarat tidak mengharuskan adanya masyrut. Misalnya kecakapan pihak yang berakad merupakan syarat yang berlaku pada setiap akad sehingga tiada kecakapan menjadikan tidak berlangsungnya akad.
50
http://hitsuke.blogspot.com/2009/11/akad-fiqih-muamalah.html Referensi utama Fiqih Muammalah Hendi Suhendi, diakses tanggal 10 September 2013.
Universitas Sumatera Utara
49
Menurut Ahmad Azhar Basyir menentukan bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akibat hukum, yaitu sebagai berikut:51 1) Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan; 2) Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad; dan 3) Tujuan akad harus dibenarkan syara’. Adapun syarat-syarat sighat akad ini adalah: a. Harus jelas atau terang pengertiannya, dalam artian bahwa lafaz yang dipakai dalam ijab dan qabul harus jelas maksud dan tujuannya menurut kebiasaan (‘urf) yang berlaku. b. Harus ada kesesuaian (tawaffuq) antara ijab dan qabul dalam semua segi perjanjian, untuk menghindari terjadinya kesalah-pahaman di antara para pihak yang melakukan perjanjian di kemudian hari. c. Harus memperlihatkan kesungguhan dan keridhaan (tidak ada paksaan) dari para pihak yang terkait untuk melaksanakan isi perjanjian yang telah dibuat, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang penuh. Sementara bentuk-bentuk shigat akad itu sendiri dapat dilakukan secara lisan (dengan kata-kata), tulisan (catatan), isyarat (khusus bagi mereka yang tidak dapat melakukannya dengan dua cara sebelumnya, seperti karena bisu dan buta huruf) 51
Ahmad Azhar Basyir, Op. Cit., hal. 99-100.
Universitas Sumatera Utara
50
ataupun dengan perbuatan (seperti dalam akad sewa-menyewa dan sebagainya). Apapun bentuk shigat akad itu tidak menjadi masalah, namun yang terpenting adalah dapat menyatakan kehendak dari kedua belah pihak yang melakukan perjanjian. Menurut Mazhab Hanafi bahwa syarat yang ada dalam akad dapat dikategorikan menjadi syarat sah (shahih), rusak (fasid), dan syarat yang
batal
(batil), yaitu sebagai berikut: 52 1.
Syarat shahih adalah syarat yang sesuai dengan substansi akad, mendukung dan memperkuat substansi akad dan dibenarkan oleh syara’, sesuai dengan kebiasaan masyarakat (‘urf). Misalnya harga barang yang diajukan oleh penjual dalam jual beli, adanya hak pilih (khiyar) dan syarat sesuai dengan ‘urf, dan adanya garansi.
2.
Syarat fasid, adalah syarat yang tidak sesuai dengan salah satu kriteria yang ada dalam syarat shahih. Misalnya, membeli mobil dengan uji coba dulu selama satu tahun.
3.
Syarat batil adalah syarat yang tidak mempunyai kriteria syarat shahih dan tidak memberi nilai manfaat bagi salah satu pihak atau lainnya , akan tetapi malah menimbulkan dampak negatif. Misalnya, penjual mobil mensyaratkan pembeli tidak boleh mengendarai mobil yang telah membelinya.
Syarat pembentukan akad yang akan dibahas ada empat macam, yaitu: 53 1. Syarat in’iqad (terjadinya akad);
52
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Waa Adillatuhu Jilid 4, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal. 517.
53
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
51
Syarat in’iqad adalah sesuatu yang disyaratkan terwujudnya untuk menjadikan sesuatu akad dalam zatnya sah menurut syara’. Apabila syarat tidak terwujud maka akan menjadi batal. Syarat ini ada 2 macam: a. Syarat umum, yaitu syarat yang harus dipenuhi dalam setiap akad . syarat ini meliputi: 1) Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak 2) Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya 3) Akad itu diizinkan oleh syara’ selama dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukan walaupun ia bukan aqid yang memiliki barang 4) Tidak boleh melakukan aqad yang dilarang oleh syara’, seperti jual beli, mulasamah 5) Akad dapat memberikan faedah sehingga tidak sah bila rahn dianggap sebagai imbangan amanah 6) Ijab tidak boleh dicabut sebelum terjadinya qabul. Maka, bila orang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum qabul maka ijabnya batal 7) Ijab dan qabul harus bersambung sehingga bila orang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya qabul, maka ijab tersebut menjadi batal b. Syarat khusus adalah akad yang harus ada pada sebagian akad dan tidak disyariatkan pada bagian lain. Syarat khusus ini bisa disebut syarat
Universitas Sumatera Utara
52
tambahan (idhafi) yang harus ada disamping syarat-syarat umum, seperti adanya saksi dalam pernikahan 2. Syarat sah; Syarat sah adalah syarat yang ditetapkan oleh syara’ untuk timbulnya akibatakibat hukum dari suatu akad. Apabila syarat tersebut tidak ada maka akadnya menjadi fasid, tetapi tetap sah dan eksis. Contohnya seperti
dalam jual
beli disyariatkan oleh Hanafiah , terbebas dari salah satu ‘aib (cacat) yang enam yaitu: a. Jahalah (ketidakjelasan) b. Ikhrah (paksaan) c. Tauqit (pembatasan waktu) d. Gharar e. Syarat yang fasid 3. Syarat nafadz (kelangsungan aqad) Untuk melangsungkan akad diperlukan dua syarat: 54 a. Adanya kepemilikan dan kekuasaan. Artinya orang yang melakukan akad harus pemilik barang yang menjual objek akad, atau mempunyai kekuasaan (perwakilan). Apabila tidak ada kepemilikan dan tidak ada kekuasaan (perwakilan), maka akad tidak bisa dilangsungkan, melainkan mauquf (ditangguhkan), bahkan menurut Asy-syafi’i dan ahmad, akadnya batal. 54
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 152.
Universitas Sumatera Utara
53
b. Di dalam objek akad tidak ada hak orang lain. Apabila di dalam barang yang menjadi objek akad terdapat hak orang lain, maka akadnya mauquf, tidak nafidz. 4. Syarat luzum Pada dasarnya setiap akad itu sifatnya mengikat (lazim). Untuk mengikatnya (lazim-nya) suatu akad, seperti jual beli dan ijarah, disyaratkan tidak adanya kesempatan khiyar (pilihan), yang memungkinkan di-fasakh-nya akad oleh salah satu pihak. Apabila di dalam akad tersebut terdapat khiyar, seperti khiyar syarat, khiyar ‘aib atau khiyar ru’yat, maka akad tersebut tidak mengikat (lazim) bagi orang yang memiliki hak khiyar tersebut. Dalam kondisi seperti itu ia boleh membatalkan akad atau menerimanya. Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat, yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilkinya sesuai dengan aturan syara’. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketetapan syara’, baik secara asli, yakni dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai pengganti (menjadi wakil seseorang). Dalam hal ini disyaratkan antara lain: 1.
Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika dijadikan, maka sangat bergantung kepada izin pemiliknya yang asli.
2. Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan orang lain
Universitas Sumatera Utara
54
Dasar dalam akad adalah kepastian. Seperti contoh dalam jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum Nampak maka akad batal atau dikembalikan55. Adapun macam-macam akad dapat dibagi sesuai dengan tinjauan-tinjauannya. Adapun macam-macam akad adalah: 56. a.
Aqad Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksanaan akad adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan setelah adanya akad.
b.
Aqad Mu’alaq ialah akad yang di dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barangbarang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.
c.
Aqad Mudhaf ialah yang dalam pelaksanaanya terdapat syarat-syarat mengenai pengulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tibanya waktu yang telah ditentukan.
C. Unsur-unsur Akad Yang Cacat Dalam Hukum Perjanjian Islam Sistem ekonomi yang paling dikenal di dunia ada dua jenis, yaitu sistem ekonomi kapitalis yang lebih mementingkan individu dan sistem ekonomi sosialis yang lebih memprioritaskan kepentingan negara daripada kepentingan individu. Hal
55
http://hitsuke.blogspot.com/2009/11/akad-fiqih-muamalah.html Referensi utama Fiqih Muammalah Hendi Suhendi, diakses tanggal 17 juli 2013 56 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2008), hal 50.
Universitas Sumatera Utara
55
ini sama sekali berbeda dengan kondisi perekonomian Islam. Islam menerapkan keseimbangan antara seluruh kepentingan. Islam menerapkan sistem ekonominya dengan mempergunakan moral dan hukum bersama untuk menegakkan bangunan suatu sistem yang praktis. Berkenaan dengan prioritas, Islam mengetengahkan konsep keseimbangan antara kepentingan individu (khusus) dan kepentingan negara (umum) yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah”.57 Sistem Ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi yang dilaksanakan dalam praktek (penerapan ilmu ekonomi) sehari-harinya bagi individu, keluarga, kelompok masyarakat maupun pemerintah/penguasa dalam rangka mengorganisi faktor produksi, distribusi, dan mamfaat barang dan jasa yang dihasilkan tunduk dalam peraturan/perundang-undangan Islam (Sunnatullah).58 Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen, artinya terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan agama. Dewasa ini ada dua sistem ekonomi yang dianut oleh umat manusia di dunia, yakni sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis. Multilevel marketing sesungguhnya adalah strategi dan taktik pemasaran yang diterapkan oleh perusahaan distribusi produk, untuk membangun mata rantai distribusi yang produktif (omzet penjualan yang pasti), permanen (memiliki pelanggan tetap) dan terkendali, lewat upaya memposisikan calon pelanggan (customer) sekaligus sebagai tenaga pemasar (marketer) sistem kerja (konsep kemitraan multilevel marketing) dan komoditi usahanya (produk barang atau jasa yang diakui hukum untuk dipasarkan).59 Strategi dan taktik ini betujuan untuk mengaktifkan tugas-tugas pemasaran di lapangan (membangun opini pasar dan menjamin kontinuitas), dengan pola 57 A. Djazuli. dan Yadi Anwari. Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan).( Jakarta: Raja Grafindo Persada.2002). hal. 20. 58 Suhrawardi.K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam. ( Jakarta: Sinar Grafika. 2000). hal.7 59 Ashari Akmal Tarigan. dkk. Ekonomi dan Bank Syariah. (IAIN Press bekerja sama dengan Pusat Kajian Ekonomi dan Perbankan Islam (FKEBI). Medan..2002). hal.311.
Universitas Sumatera Utara
56
memindahkan atau membagi jalur periklanan dari media umum seperti televisi, radio, koran, majalah, tabloid, papan reklame dan sebagainya kepada manusia yang direkrut lewat pensponsoran. Salah satu gerakan ekonomi syariah di Indonesia adalah dengan menggunakan sistem dengan bisnis Islami. Bisnis Islami merupakan: “Serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas) kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturam halal dan haram)”.60 Pada proses perjanjian tidak selamanya menguntungkan kedua belah pihak yang melakukan akad. Ada kalanya akad yang dilakukan itu mengandung kekurangan. Hal ini mengakibatkan akad tidak lagi sempurna. Akad ini disebut dengan akad yang cacat. Pada akad yang cacat, kekeliruan atau kesalahan (ghalath). Kekeliruan yang dimaksud adalah kekeliruan pada obyek akad atau kontrak. Kekeliruan bisa terjadi pada zat (jenis) obyek, seperti orang membeli cincin emas tetapi ternyata cincin itu terbuat dari tembaga, dan juga dikaji pada sifat obyek kontrak, seperti orang membeli baju warna ungu, tetapi ternyata warnanya abu-abu. Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu dipandang batal sejak awal atau batal demi hukum. Bila kekeliruan terjadi pada sifatnya akad dipandang sah, tetapi pihak yang merasa dirugikan berhak memfasakh atau bisa mengajukan pembatalan ke pengadilan.
60
M. Ismail Yusanto dan M. Karebet Widjajakusuma. Menggagas Bisnis Islami. (Jakarta: Gema Insani Press. 2002). hal.18.
Universitas Sumatera Utara
57
Hukum
Perjanjian
Islam
adalah
hukum
yang
memandang
suatu
persoalan/akad sebagai sesuatu yang sangat penting tanpa perjanjian yang benar dan shahih sebuah perjanjian (kontrak)/akad tidak menjadi sah dan tidak halal dalam mata agama, karena pentingnya maka akad dijelaskan di dalam Al Qur’an seperti tertuang di dalam Surah An Nisa’ ayat 29. Yang menjadi dasar hukum dari akad/perjanjian itu sendiri di dalam agama Islam. yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.
Maksud dari akad cacat adalah hal-hal yang merusak terjadinya akad karena tidak terpenuhinya unsur sukarela antara pihak-pihak yang bersangkutan. 61 Pada hakikatnya, suatu akad itu dipicu oleh kehendak, pilihan dan atas kerelaan diri sendiri. Namun unsur-unsur yang demikian letaknya di hati, maka dijadikanlah ijab qabul sebagai penerjemah bahasa hati. Dalam sighah harus selaras antara ijab dan qabul. Apabila suatu pihak menawarkan (ijab) benda A dengan harga seratus rupiah, pihak lain harus menerima (qabul) dengan menyebutkan benda A senilai seratus rupiah pula, bukan dengan benda B yang harganya seratus lima puluh rupiah. Dan dalam sighah pula, kedua belah pihak harus jelas meyatakan penawarannya dan pihak yang lain harus dengan jelas menerima tawarannya (transparansi), qabul harus langsung diucapkan setelah ijab diucapkan. Ijab dan qabul haruslah terkoneksi satu dengan yang lain tanpa 61
Hasballlah Thaib 3, Op. Cit, hal.133
Universitas Sumatera Utara
58
adanya halangan waktu dan tempat, misalnya ijab ditawarkan hari ini dan dijawab dua hari kemudian itu tidaklah sah, ijab dan qabul juga harus dilakukan di dalam satu ruangan yang sama oleh kedua belah pihak atau istilahnya harus di dalam satu majelis yang sama. Salah satu rukun dari akad adalah aqidain atau pihak-pihak yang akan melakukan akad. Kriteria pelaku akadadalah ahliyah (kecakapan), wilayah (kuasa) dan ridha (kerelaan). Ahliyah (kecakapan) memiliki dua kriteria yaitu ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’; ahliyatul wujub adalah kelayakan seseorang untuk menerima hak dan kewajiban, adapun ahliyatul ada’ adalah saat perkataan seseorang dan perbuatannya dianggap sah secara hukum syariah. Ahliyah ini terbagi menjadi dua; sempurna dan tidak sempurna. Periode sempurna adalah bagi mereka yang sudah baligh dan tidak lagi terbatasi untuk melakukan segala sesuatu sesuai kehendak. Adapun tidak sempurna adalah mereka yang sudah tamyiz tapi belum mencapai baligh, atau karena hal lain yang menyebabkan daya akalnya tidak sempurna, seperti idiot. Jika tidak mempunyai ahliyah maupun wilayah, maka akad tersebut tidak bisa dilangsungkan. Adapun saat transaksi dilakukan oleh orang yang mempunyai kelayakan namun tidak mempunyai kuasa, seperti menjual milik orang lain, maka keabsahannya tergantung kepada izin pemilik barang. Jumhur ulama selain Hanafiah berpendapat bahwa suatu akad tidaklah sah apabila mengandung unsur riba. Ada beberapa hal yang dapat menghilangkan riba yaitu ikrah
(pemaksaan),
mabuk,
hazl
(terucap
diluar
Universitas Sumatera Utara
59
keinginannya), ghalath (keliru), tadlis (menyembunyikan
aib)
dan ghabn
(penipuan)62. Legalitas dari akad di dalam hukum Islam ada dua. Yang pertama shahih atau sah yang artinya semua rukun akad beserta semua kondisinya sudah terpenuhi, yang kedua, batil yaitu apabila salah satu dari rukun akad tidak terpenuhi maka akad tersebut menjadi batal atau tidak sah, apalagi kalau ada unsur Maisir, Gharar dan Riba di dalamnya. Ketiga unsur tersebut sebaiknya dihindari dalam transaksi yang menggunakan akad syariah. Maisir adalah segala permainan yang mengandung unsur taruhan, dimana pihak
yang
menang
mengambil
harta
atau
materi
dari
pihak
yang
kalah. Gharar diibaratkan dengan suatu keadaan yang tidak menyajikan informasi memadai tentang subjek atau objek akad. Sedangkan Riba adalah setiap kelebihan yang tidak syar’i antara nilai barang yang diberikan dan nilai yang diterima. Sebagai contoh aplikatif ulasan Wahbah Az-Zuhaili tentang jual beli yang dilarang dalam beberapa kategori 63. Pertama; karena kecacatan dan ketidaksempurnaan dari aqidan. Seperti jual beli yang dilakukan oleh orang gila, anak kecil, orang yang diancam atau dipaksa, dan seorang mahjur ‘alaih. Kedua; karena kecacatan dan ketidaksempurnaan syarat dari sighah. Seperti jual beli dengan syarat yang dilarang, tidak ada kesesuaian antara ijab dan qabul, dan jual beli dengan kata atau isyarat yang tidak difahami. 62
Ibid, hal.134 Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah Muhaqqiq, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Penerbit: Daar al-Fikr), hal.123. 63
Universitas Sumatera Utara
60
Ketiga; karena kecacatan dan ketidaksempurnaan syarat dari mahallul ‘aqd. Seperti jual beli barang yang haram dan najis, jual beli ma’dum, jual beli barang yang tidak bisa diterima langsung, termasuk di dalamnya jual beli yang mengandung unsur gharar. Keempat; karena ada sifat atau syarat yang dilarang, misalnya bai’ ‘inah, riba, jual beli orang kota dengan harga mahal untuk orang desa yang belum mengetahui harga, jual beli saat panggilan shalat jumat dan sebagainya.64 Dengan demikian yang menjadi unsur-usur dari akad yang cacat adalah: 1. Paksaan/Intimidasi (Ikrah). Ikrah yakni memaksa pihak lain secara melanggar hukum untuk melakukan atau tidak melakukan suatu ucapan atau perbuatan yangtidak disukainya dengan gertakan atau ancaman sehingga menyebabkan terhalangnya hak seseorang untuk bebas berbuat dan hilangnya kerelaan. 2. Kekeliruan atau kesalahan (Ghalath). Kekeliruan yang dimaksud adalah kekeliruan pada obyek akad atau kontrak.Kekeliruan bisa terjadi pada dua hal yaitu pada zat (jenis) obyek, seperti orang membeli cincin emas tetapiternyata cincin itu terbuat dari tembaga dan pada sifat obyek kontrak, seperti orang membeli baju warna ungu, tetapi ternyata warna abu-abu. Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu dipandang batal sejak awal atau batal demi hukum. Bila kekeliruan terjadi
64
Jumal Ahmad, “Teori Akad Transaksi dalam Hukum Islam”, http://www.fimadani.com/teori-akad-transaksi-dalam-hukum-islam/ , diakses tanggal 20 Juli 2013.
Universitas Sumatera Utara
61
pada sifatnya akad dipandang sah, tetapi pihak yang merasa dirugikan berhak memfasakh atau bisa mengajukan pembatalan ke pengadilan. 3. Penyamaran Harga Barang (Ghabn). Ghabn secara bahasa artinya pengurangan. Dalam istilah ilmu fiqih, artinya tidak wujudnya keseimbangan antara obyek akad (barang) dan harganya, seperti lebih tinggi atau lebih rendah dari harga sesungguhnya. 4. At-Tadlis/at-Taghrir (Penipuan) yaitu menyembunyikan cacat pada objek akad agar tampak tidak seperti sebenarnya atau perbuatan pihak penjual terhadap barang yang dijual dengan maksud untuk memperoleh harga yang lebih besar. 5. Al-Jahalah yaitu hal mengakibatkan persengketaan yang menyebabkan rusaknya akad. 6. Al-Gharar yaitu semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan, pertaruhan, atau perjudian.
Universitas Sumatera Utara