BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sampai di sini, penelitian ini telah mendemonstrasikan adanya perubahan yang siginifikan pada akad murābahah dalam praktiknya. Akad murābahah yang pada mulanya diusung oleh para pendukung bank syariah sebagai sebuah akad jual beli ternyata pada tataran praktiknya telah bermetamorfosis menjadi sebuah akad pembiayaan murni (pinjam-meminjam uang) dengan tujuan untuk pembelian barang. Adanya akad jual beli antara bank dengan suplier dan antara bank dengan nasabah hanya sebatas sebuah pernyataan pada teks perjanjiannya saja, sementara riilnya tidak pernah terjadi jual beli yang semacam itu, sehingga barang yang dijadikan sebagai obyek jual beli riilnya tidak ada. Yang terjadi adalah nasabah menerima uang tunai untuk memenuhi kekurangan pendanaan yang ia perlukan untuk membeli suatu barang. Untuk keperluan ini, bank cukup membuatkan sebuah surat kuasa kepada nasabah untuk membeli barang tersebut. Selanjutnya, bank juga memberi perlakuan yang berbeda berkenaan dengan kepastian penggunaan uang yang dipinjamkan oleh bank kepada nasabah. Untuk obyek jual beli yang tidak dijadikan jaminan utang, bank tidak pernah memantau apakah nasabah benar-benar membelikan barang yang dijadikan obyek jual beli ataukah tidak. Sedangkan untuk obyek jual beli yang dijadikan jaminan utang, bank memastikan terlebih dahulu bahwa barang tersebut telah dibeli oleh nasabah. Pola seperti ini memiliki kemiripan dengan
101
praktik perjanjian kredit di bank konvensional, dimana mereka dalam praktik perjanjian kreditnya lebih memprioritaskan kemampuan nasabah dan barang jaminannya. Selanjutnya, kemiripan praktik ini bukan hanya terjadi pada akad murābahahnya namun juga terjadi pada sistem penentuan dan penghitungan marginnya. Hal ini dapat dilihat pada besaran margin efektif per tahun yang mereka tetapkan mengikuti naik turunnya suku bunga pasaran yang mengikuti suku bunga Bank Indonesia. Dengan demikian, margin efektif sebenarnya merupakan adopsi dari bunga efektif yang diterapkan dalam bank konvensional. Sedangkan untuk penghitungan marginnya, ternyata mereka tidak hanya menerapkan penghitungan margin prorata (flat) namun juga menerapkan penghitungan margin anuitas. Kedua pola penghitungan tersebut, merupakan adopsi dari bunga flat dan bunga anuitas di bank konvensional. Selanjutnya, mengenai adanya sistem penghitungan yang semacam ini ternyata didukung oleh para pendukung pembiayaan murābahah untuk diterapkan selama tidak dinyatakan di dalam perjanjian awalnya. Adanya dukungan ini membuat bank syariah menerapkannya secara sembunyisembunyi, sehingga memberikan kesan bahwa bank syariah secara sembunyisembunyi melakukan praktik pembungaan uang, yang sebenarnya mereka haramkan sendiri. Kesan ini muncul karena dalam praktik akad murābahah yang dilakukan oleh bank syariah penuh dengan rekayasa sebagaimana disebutkan di bab III. Bahkan praktik sembunyi-sembunyi ini terkadang membuat nasabah merasa tertipu dengan adanya penghitungan margin anuitas,
102
karena selama ini mereka memahami bahwa penghitungan margin yang digunakan oleh bank syariah berbeda dengan bank konvensional. Adanya pola-pola praktik yang demikian tidak bisa lepas dari konsep awal bahwa bank tidak boleh memberikan pinjaman disertai bunga, namun haruslah berupa jual beli. Sedangkan untuk memenuhi unsur-unsur keabsahan jual beli itu cukup merepotkan, karena riilnya bank bukanlah lembaga yang bergerak di bidang perdagangan, namun bergerak di bidang pembiayaan (pendanaan) sebab yang mereka tawarkan bukanlah barang namun utang pinjaman. Terlebih lagi dengan adanya pajak jual beli membuat mereka melakukan praktik semacam itu agar terhindar dari pajak – yang menurut mereka merupakan pajak – berganda. Hal inilah yang kemudian membuat bank syariah terjebak melakukan praktik rekayasa-rekayasa dan sembunyisembunyi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bank syariah belum bisa melepaskan diri dari bayang-bayang praktik pinjaman kredit sebagaimana yang dilakukan oleh bank konvensional. Dalam hal ini, bank syariah seolaholah melakukan jual beli dengan suplier dan dengan nasabah serta seolah-olah tidak ada penghitungan-penghitungan margin sebagaimana penghitunganpenghitungan bunga yang dilakukan oleh bank konvensional. Oleh karena itu, dapat dikatakan pula bahwa akad murābahah yang dilakukan oleh bank syariah sebenarnya merupakan akad perjanjian kredit yang dibungkus oleh label syariah.
103
Selanjutnya, juga ditemukan adanya ketidakseimbangan posisi antara nasabah sebagai pembeli dan bank sebagai penjual. Hal ini karena adanya bentuk-bentuk rekayasa akad yang dibuat oleh bank syariah sehingga membingungkan nasabah. Terlebih lagi nasabah adalah orang yang awam akan prinsip-prinsip syariah. Selain itu, tidak diberikannya salinan surat perjanjian tertulis kepada nasabah juga memberikan andil bagi ketidaktahuan nasabah akan aturan-aturan yang dituangkan dalam surat perjanjian tertulis. Kondisi ini tentunya merugikan nasabah karena ia tidak mengetahui secara detil hal-hal apa saja yang diatur dalam surat perjanjian itu. Padahal surat perjanjian merupakan sesuatu yang memiliki kekuatan hukum ketika terjadi sengketa antara nasabah dan bank. Hal ini tentunya kurang memenuhi prinsip kejujuran, kemitraan dan keadilan yang diusung oleh bank syariah sendiri.
B. Saran-Saran Meskipun penelitian ini telah menunjukkan praktik-praktik riil di lapangan tentang penerapan akad murābahah, namun kebenaran yang ditemukan dalam penelitian ini tentunya sangat dibatasi oleh ruang dan waktu. Oleh karena itu, tentunya di sana masih terdapat celah-celah kelemahan baik secara metodologis maupun substansi. Untuk itu, diharapkan kepada para intelektual yang akan melakukan studi di kemudian hari untuk melakukan verifikasi atas temuan-temuan dalam penelitian ini, jika memungkinkan. Melihat hasil temuan dari penelitian, diharapkan para pendukung pembiayaan murābahah untuk memikirkan lebih lanjut agar tidak terjadi
104
praktik-praktik rekayasa dan sembunyi-sembunyi sebagaimana disebutkan di muka. Tampaknya konsep jual beli yang dirumuskan oleh para pendukung murābahah cukup memberikan kesulitan
bagi bank syariah dalam
penerapannya, untuk itu mungkin perlu pendefinisian ulang tentang haram bunga bank. Karena sesungguhnya yang dipraktikkan oleh bank syariah dengan pola praktik rekayasa tersebut secara substansi adalah bunga.
C. Penutup Akhirnya perlu dikatakan di sini masih banyak hal yang perlu dilakukan penelitian tentang bank syariah. Penelitian tentang praktik murābahah pada perbankan syariah inipun – meskipun telah menggambarkan yang sesungguhnya terjadi di lapangan dengan menggunakan nasabah sebagai sumber datanya – hanya merupakan satu bagian dari sekian banyak sudut pandang yang bisa digunakan untuk memahami suatu fenomena, karena fenomena sosial itu merupakan sesuatu yang luas untuk dipahami dan selalu berubah-ubah. Di banyak sudut inilah terbuka kemungkinan-kemungkinan untuk melakukan eksplorasi lebih jauh dan mendalam. Dengan demikian, dengan segala keterbatasan, peneliti menyadari akan adanya kekurangan baik dari sisi metodologi maupun substansi. Untuk itu, peneliti berharap ada peneliti berikutnya yang akan menyempurnakan penelitian ini.