Tiga Halaman Belakang untuk Puisi-puisi Afrizal Malna — Fasisme, Modernisme, Lirisisme (Bagian II)*
Afrizal Menertawakan Indonesia. Ilustrasi oleh Moh. Dzikri Hendika. Setelah Modernisme, Setelah Postmodernisme
Indeks kedua dari puisi-puisi Afrizal adalah titik balik modernisme dan rekahnya postmodernitas di Indonesia. Jika benar, seperti diutarakan Mazhab Frankfurt, bahwa fasisme hanyalah puncak dari akumulasi modernitas yang menikam balik dirinya, maka perlawanan Afrizal terhadap fasisme modern Orde Baru adalah perayaan atas kematian modernitas dan ideologinya, modernisme. Dan memang, Afrizal kemudian ditahbiskan sebagai pelopor postmodernitas itu dalam perpuisian kita. Afrizal telah menggeret gerbong itu diam-diam, jauh hari sebelum 10 tahun kemudian kita menyadari konsekuensikonsekuensi terjauh dari gelombang postmodernitas itu, lewat sajaknya dari 1987, “Hujan di Pagi Hari”: Tidak seperti yang pernah dibayangkan, dunia tinggal satusatunya alasan untuk menjelaskan keadaan kita. Kata-kata berlewatan, tanpa memerlukan seorang pembicara pun di situ. Kita menatap, kaca dalam diri sendiri basah. Kisah-kisah lampau tak lagi mengirim kabar, terbongkar dari ikatanikatannya. Semua yang dibuat, tak bisa lagi jadi penjelasan hari-hari kita. Membacakan lagi kisah-kisah: kita bukan pusat segalagalanya bukan. Kita mencium bau tubuh sendiri di situ, seperti mencium bau obat-obatan. Dan mengusik lagi satu cerita: Tak ada lagi darah yang mengalir, di lehermu. Kita pernah membuat rumah, sebuah dunia. Tetapi dengan merasa heran kita bertanya: Ke mana mau pulang? Segala yang bergerak diam-diam sedang mengubah dirinya sendiri, hanya untuk mengenali kembali, jalan-jalan yang pernah dilalui. Sajak ini dibuka dengan judul yang sama sekali tak berkaitan dengan isinya: “Hujan di Pagi Hari”, yang, seperti jendela, seolah siap mengantar kita pada tema tentang “hujan” seperti eksplisit pada judulnya. Tetapi tidak, judul itu sama sekali tak terkait dengan isinya; ia tak memerikan apa-apa, tak menandai apa-apa—seperti kata Rose dalam novel The Name of the
Rose Umberto Eco. Puisi ini, contoh yang baik dari terputusnya mata rantai penandaan, adalah eksamplar dari apa yang disebut “krisis representasi”, simptom terpenting postmodernitas, di mana bahasa terlibat dalam hubungan yang korslet, tak nyambung, dan terputus dengan objeknya; di mana bahasa tak lagi menjadi jendela bagi dunia. Di sana Afrizal mengumandangkan “krisis subjek”, ketika “katakata berlewatan, tanpa memerlukan seorang pembicara pun”, ketika “kita bukan pusat segala-galanya”. Inilah manifesto paling puitis tentang postmodernitas dalam perpuisian kita, sebuah manifesto yang menandai gerhana modernisme dan kepercayaan pada sentralitas manusia, serta pada representasi dunia yang bening dan transparan. Saya menduga bahwa puisi ini merupakan titik awal mengapa Afrizal kemudian mengalihkan perhatiannya pada “tubuh” dan “benda-benda”: krisis subjek dan representasi, adalah kelahiran bahasa baru pada subjektivitas yang “lain”, subjektivitas yang lahir dari sensitivitas akan hadirnya objek-objek yang sebelumnya modernitas: tubuh dan benda-benda.
dieksploitasi
oleh
Setiap saat saya harus meyakini kembali di situ, setiap benda yang bergerak di sekitar saya: Meraba dinding, memukuli tiang listrik, dan mendengar dentang jam hanya untuk tahu: Di situ orang datang menuju dirinya sendiri, seperti menuju ke sebuah daerah yang telah lampau. (“Fotocopy Orang Ramai”) Namun, tidak seperti beberapa penyair liris (dari Goenawan hingga Dorothea) yang mengangkat tubuh dan benda-benda dalam pencitraan sensual, dan terjatuh pada sikap pasif di hadapan sensitivitas itu, tubuh dan benda-benda di tangan Afrizal adalah tubuh dan benda yang memberontak karena trauma, perih dan rasa sakit dibungkam, dan karena itu seperti menggelinjang, meminta haknya untuk bicara. Tubuh dan bendabenda itu bukan hadir hanya untuk menggenapi dunia manusia;
mereka bahkan mensubversi egosentrisme manusia yang telah melupakan dan memperalat mereka. Bicara lagi kambingku, pisauku, ladangku, komporku, rumahku, payungku, gergajiku, empang ikanku, genting kacaku, emberku, geretan gasku. Bicara lagi cerminku, kampakku, meja makanku, alat-alat tulisku, gelas minumku, album foto keluargaku, ayam-ayamku, lumbung berasku, ani-aniku. Bicara lagi suara nenek-moyangku, linggisku, kambingku, kitab-kitabku, piring makanku, pompa airku, paluku, paculku, gudangku, sangkar burungku, sepedaku, bunga-bungaku, talang airku, ranjang tidurku. Bicara lagi kerbauku, lampu senterku, para kerabat-tetanggaku, guntingku, pahatku, lemariku, gerobakku, sandal jepitku, penyerut kayuku, ani-aniku. Bicara lagi kursi tamuku, penggorenganku, tembakauku, penumbuk padiku, selimutku, baju dinginku, panci masakku, topiku. Bicara lagi kucing-kucingku … (“Warisan Kita”) Di sini, benda-benda mengalami intensifikasi massif yang radikal. Mobilisasi benda-benda ini, pada beberapa puisi awal Afrizal, bahkan disandingkan begitu saja secara arbitrer dengan organ-organ tubuh, tanpa kesejajaran, referensi, atau korespondensi apa-apa. Lenganmu mengaji lagi, turun dari biografimu yang tak terjaga. Masih hangat juga. Tapi sepatu saya dingin menyentuh rahimmu, seperti tanganmu yang tak pernah selesai membawanya menemui orang lain: tempat batu-batu, sepatu, sampai juga di sana. (“Saya Pulang Sekolah”) Aku dengar batu dilemparkan ke ruang tamu. Paru-paru penuh sapi, mencari jalan raya dan megapon. Tak ada orang sikat gigi malam itu, seperti dugaanmu penuh batu dari masa lalu.
Mulutku penuh lendir, virus stadium lima, menyusun biografimu dari sepatu. (“Restoran dari Bahasa Asing”) “Batu” dan “sepatu” dalam “rahim”, “mulut” yang menyusun “biografi”, “paru-paru penuh sapi”—idiom-idiom tak sinkron, metafor-metafor ganjil itu, dipakai Afrizal untuk menggambarkan bahasa baru tubuh dan benda-benda, yang lahir dari situasi traumatik itu. Tapi, jika kita berharap mendapat pemahaman linear dari metafor-metafor ini, kita akan salah, karena meski “batu” dan “sepatu” dalam puisi-puisi itu sekilas menyiratkan kekerasan (bayangkan betapa sakitnya jika rahim diinjak sepatu), ia bisa jadi tidak merepresentasikan apa-apa. Metafor-metafor itu murni hadir sebagai penanda tanpa yang ditandai, suatu penanda yang ingin mengacaukan konvensi penandaan kita yang baku. Atau tepatnya: penanda yang ingin merepresentasikan sesuatu Yang Tak Terepresentasikan, suatu yang mustahil ditandai—karena tak terperinya trauma itu. Inilah yang terjadi, misalnya, pada idiom “semangka” dalam “Perempuan dalam Novel”: Sitti, ilmu pengetahuan itu, seperti novel penuh batu, dia yang tak ada, dan semangka. “Semangka” tak merujuk apa-apa; seperti mawar dalam The Name of the Rose, ia menandai pada “dia yang tak ada”. Tak ada keterkaitan antara “semangka”, “batu”, dan “Sitti (Nurbaya)” dalam puisi itu. “Semangka” hanya berarti pada dirinya sendiri, tak merepresentasikan kecuali dirinya, atau merepresentasikan barangkali suatu yang tak ada, yang putus, atau tak terpikirkan. Maka, muncul kontradiksi dalam upaya Afrizal mengangkat tubuh dan benda-benda. Seperti dipaparkan di atas, di satu sisi, ia ingin menggeser pusat eksistensi dari “manusia” ke “tubuh dan
benda-benda”, dengan menjadikan “tubuh dan benda-benda” sebagai subjek baru pengucapannya. Untuk menggapai hal itu, ia tentu saja harus menampilkan tubuh dan benda-benda setransparan mungkin, dengan representasi yang memungkinkan kita menghayati dan merasakannya dalam suasana yang intim. Namun, bukannya menampilkan representasi tersebut, Afrizal bermain-main dengan representasi itu, mengacaukan relasirelasinya, dan mengalami alienasi justru dengan tubuh dan benda yang semula ia intimi. Konsekuensinya, berbeda dengan tafsir sebagian orang yang memandang Afrizal sebagai penyair yang berhasil merepresentasikan tubuh, Afrizal adalah penyair yang mengalami dislokasi terus-menerus dengan tubuhnya, serta benda-benda; ia yang justru gagal memaknai tubuh dan bendanya. Tubuh Afrizal adalah tubuh yang sakit, dan benda, baginya, hampir selalu adalah benda-benda yang traumatik (“batu”, “api”, “gergaji”). Dalam puisi-puisinya yang terbaru, memang sempat muncul usaha Afrizal untuk mengangkat “hewan” sebagai unsur baru dalam konstelasi ini (“anjing”), namun tetap, idiom itu pun berada dalam ketegangan abadi dengan tubuh dan benda-benda yang terbentuk sebelumnya. “Manusia adalah seluruh kelelahanku untuk mengingat”. Dan “manusia mendengkur seperti jam yang rusak”. Kehilangan kekuatannya di antara benda-benda yang ramai dan gaduh, manusia-Afrizal kadang terhisap dan musnah dalam benda-benda itu sendiri. Afrizal, pada titik terburuknya, tanpa disadari tengah merayakan absurditas dan nihilisme—dan inilah konsekuensi terburuk dari postmodernitas yang dirayakan Afrizal. Seperti terpampang dalam sajak “Arsitektur Hotel”: Hotel sepi. Hotel mati. Seekor burung dari kamar ke kamar, menyileti cermin. Dan batu-batu membuat bangku, dan batu-batu membuat pintu, dan batu-batu membuat tamu. Dada. Telur-telur mati mengisi hotel. Beri aku orang … Ini jam hotel. Dada. Waktu sedang membuat sarang, membuat telur. Setelah semua janji dianggap tidak suci, angin itu jadi hotel, sapi itu
jadi hotel. Maka jendela-jendela hotel, Dada, menunggu semua yang pergi … Inilah konsekuensi terburuk dari terdongkelnya manusia dari pusat dunia. Munculnya benda-benda dalam puisi Afrizal, justru membuatnya—pada titik tertentu—merayakan nihilisme hidup, di mana segalanya “mati”, dan benda-benda itu bahkan sampai perlu berkata: “Beri aku manusia”. Nihilisme semacam ini memadamkan semangat perlawanan postmodern Afrizal, alih-alih membuatnya diam-diam larut dalam fetisisme benda-benda. Diam-diam pun, postmodernisme Afrizal seperti ikut merayakan datangnya kapitalisme yang bekerja dengan mengkomodifikasi benda-benda. Idiom-idiom “es krim”, “coklat”, “shampo”, “donat”, “sikat gigi”, “body lotion”, “styling foam”, “coca-cola”, yang bertebaran dalam sejumlah sajaknya dari tahun 1990-an, mengantisipasi, tapi sekaligus membenarkan, datangnya suatu era baru, di mana benda-benda akan bertakhta dan menggantikan manusia. Di era ini, tulis Afrizal, “kita hanya mengenang manusia, dari kota-kota, yang ditata kaleng-kaleng coca-cola” (Antropologi dari Kaleng-kaleng Coca-cola). Manusia tak lagi ditemukan; atau memang jangan-jangan, telah tiada: “Di manakah manusia kalian temukan di antara kartu pos, donat, dan serakan tissue”. Dan manusia harus mencatat sejarahnya dari “sisa-sisa waktu”, di era ketika kapitalisme melaju dengan landas, lepas tanpa ada yang mampu menghambat hasrat eksploitatifnya. Di sini, lagi-lagi, terbersit tanda tanya besar bagi pemunculan tubuh dan benda pada puisi Afrizal, dan karenanya, bagi seluruh usaha postmodernisnya untuk menggeser manusia selaku subjek dunia. Di hadapan ikon-ikon kapitalisme, dengan menghapus manusia, dan menggantinya dengan “tubuh” dan “bendabenda”, Afrizal jangan-jangan tengah mempersembahkan tubuh ke altar kapitalisme, menjadikan tubuh sebagai lalu-lintas konsumsi yang makin memperlancar gerak kapital itu sendiri. Dengan kata lain, seberapapun memberontaknya tubuh dalam puisi Afrizal, tubuh itu pada gilirannya adalah tubuh yang neurotik,
yang terus berkekurangan sekelilingnya.
akan
benda-benda
fetis
di
Titik temu tak terduga antara “tubuh” dan “benda”, yang hari ini difasilitasi oleh kapitalisme, merupakan implikasi dari manusia-nomaden yang dimunculkan dalam puisi Afrizal. Nomadnomad urban itu adalah manusia yang lahir tanpa rumah, tapi selalu lapar pada rumah (sajak Kematian Rumah), yang dimetaforkan Afrizal sebagai mereka yang “lahir dalam kardus” (sajak Aku Lahir dalam Kardus). Para nomad ini berusaha melawan tatanan di luar mereka, yang dianggapnya keliru dan mengungkung, namun, ironisnya, mereka terus memamah dan mengkonsumsi benda-benda yang diproduksi oleh tatanan tersebut. Mereka setuju untuk mempersenjatai diri, membeli pistol, pasta gigi dan kacang goreng (“Aku Lahir dalam Kardus”) Lalu, di manakah emansipasi? Emansipasi, apakah ia semata histeria, seperti kekacauan tubuh dan benda-benda dalam puisi Afrizal? Selama penyair ini terus membawa gerbong postmodernismenya, hal itu akan terus terjadi—karena postmodernisme pun pada akhirnya telah dibajak oleh kapitalisme, dan kian kehilangan daya pembebasnya. Di sini, puisi Afrizal meninggalkan kita dengan seribu tanda tanya dan kebisuan. Dalam keremangan akan sebuah titik terang, ia cuma berkata pendek, kepada seorang kawannya, “radhar”, seakan pasrah tak bisa berbuat apa-apa: ini mentega, radhar. dan ini diriku. aku tak tahu, berapa yang harus kita bayar untuk menyewa hidup ini. Modernisme telah malam. Postmodernisme telah malam juga. (bersambung)