Jurnal Dinamika Politik|Vol.1|No.1|Agustus 2012 ISSN: 2302-1470 Anwar Saragih Peran Militer dalam Pemerintahan Fasisme Jerman
Peranan Militer dalam Pemerintahan Fasisme Jerman ANWAR SARAGIH Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8220760, Email :
[email protected] Diterima tanggal 28 Juli 2012/Disetujui tanggal 12 Agustus 2012 This study is a study of the role of the military in the government of German fascism. The focus discusses the role of the military in government fascist Germany in the leadership of Adolf Hitler. The findings of this study, there are four important things about the military's role in the government of German fascism: First, civilian control over the military; Second, conflict management in Germany; Third, the concept and strategy of national development; Fourth, lebensraum or power expansion. The method used is descriptive method, which describes an incident in more detail. Keywords: Fascism, militarism, power.
Kekuasaan yang ada ditangan penguasa dapat melahirkan tindak kekerasan. Dalam negara totaliter, kekerasan negara timbul akibat penguasa dalam membuat peraturan atau hukum yang akan ditetapkan justru untuk memperluas kekuasaan, tujuannya dominasi total atas manusia.1 Dalam bukunya Mein Kampt Adolf Hitler menjelaskan bahwa negara adalah sebuah cara mencapai tujuan, tujuannya terletak pada pelanggengan dan peningkatan sebuah komunitas yang secara fisik maupun psikis terdiri dari maklukmakluk homogen. Pelanggengan ini terdiri atas makhluk-makhluk homogeni. Pelanggengan ini terdiri atas semua eksistensi sebagai suatu ras dan arena perkembangan bebas semua kekuatan yang terbengkalai
dalam ras ini. Dari mereka sebagian akan selalu melayani pelanggengan kehidupan spiritual, dan hanya harapan yang tersisa yang mendukung spiritual lanjutan, sesungguhnya yang satu selalu menciptakan prasyarat untuk yang lain.2 Hubungan militer dan sipil merupakan suatu permasalahan klasik di beberapa negara, terutama di negara yang rapuh dimana kondisi sosial, ekonomi dan politiknya cenderung tidak stabil. Dalam keadaan pemerintahan sipil tidak lagi mampu mengelola permasalahan negaranya, militer cenderung untuk masuk dalam politik demi menstabilkan keadaan, militer berkewajiban melindungi pemerintah dari intervensi pihak mana saja. Disini terlihat ketergantungan pemerintahan sipil terhadap pihak militer. Pertanyaannya adalah apakah, kapan dan dalam kondisi mana militer harus bertindak
1
2
Pendahuluan
Rieke Diah Pitaloka, Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat, (Galang Press: Jakarta, 2004), hal. 17.
Adolf Hitler, Mein Kampt, (Yogyakarta: Narasi, 2007), hal. 29.
7
Jurnal Dinamika Politik|Vol.1|No.1|Agustus 2012 ISSN: 2302-1470 Anwar Saragih Peran Militer dalam Pemerintahan Fasisme Jerman untuk mencegah terjadinya konflik sosial. Para pemimpin militer yang menyusul agar mereka melancarkan aksi-aksi nekat untuk menjawab persoalan persatuan nasional.3
penanaman kekuatan yang tertinggi, bukan energi-energi mental dan moral bangsa yang merupakan hasil sampingan. Ide sosial dari negara bukanlah masyarakat dengan kemauan bebas tetapi kejayaan dalam perang, dalam perang negara menunjukan diri sendiri kebenaran esensinya, perang merupakan penampilan negara yang tertinggi, dimana sifat istimewanya mencapai pengembangan maksimal.5 Kekuasaan yang menggunakan institusi militer dalam aktivitasnya identik dengan kata fasisme. Setelah Perang Dunia I berakhir, muncullah beberapa bangsa yang tidak menyukai demokrasi liberal. Mereka anti-demokrasi, dan menonjolkan kepentingan negara diatas segala-galanya. Demi kepentingan negara, bila perlu kepentingan perseorangan harus dikorbankan. Umumnya istilah fasisme selalu dikaitkan pada peristiwa masa lalu di Eropa, jauh dari kita dan bahkan jauh dari bangsa dan tanah air kita. Padahal fasisme sebagai suatu keyakinan dan sikap hidup maupun pendirian politik sangat mungkin tumbuh subur dimana-mana termasuk dirumah tangga kita bahkan dikepala kita.
Kepatuhan militer terhadap otoritas sipil tersebut bukan karena gejala yang alamiah. Kepatuhan tersebut justru ditimbulkan oleh kepemimpinan sipil terhadap militer karena adanya legitimasi dan diakui oleh kedua belah pihak dalam batasan yang wajar dan bisa ditolerir. Dan batasan itu disusun sesuai perilaku politik suatu negara. Oleh karena itu, bisa diperkirakan ketika harapan terhadap sebuah legitimasi atau otonomi rendah, hubungan sipil-militer akan terganggu dan kepatuhan akan menjadi problematik. Secara teoritis, ketika rezim tidak ada, lemah, atau tidak terpadu, maka hubungan sipil-militer tidak akan stabil dan kontrol sipil terancam. Sebaliknya, jika muncul rezim kuat yang dibangun oleh sipil akan melahirkan hubungan sipil-militer yang stabil dan kontrol sipil menjadi kuat, dan meskipun rezim ciptaan militer juga bisa menciptakan hubungan sipil-militer yang stabil tetapi kondisi tersebut bisa mengurangi kontrol sipil. Campur tangan militer rupanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari modernisasi politik di benua dan Negara manapun.4
Fasisme merupakan sebuah paham politik yang menjunjung kekuasaan absolut tanpa demokrasi, fasisme sebagai gerakan politik berkembang dalam kehidupan politik di Eropa antara tahun 1919 sampai 1945 satu hal yang menarik, ciri penting hampir semua gerakan fasisme adalah meletakan negara sebagai pengatur dan pusat seluruh sejarah dan kehidupan. Dalam paham ini, nasionalisme yang sangat fanatik dan juga otoriter sangat kentara. Pada awalnya, Mussolini mengembangkan ideologi ini dalam rangka merestorasi kembali kekaisaran Romawi dan fasisme sama sekali tidak ada hubungannya dengan anti-semitisme, hanya saja, Adolf Hitler lah yang memasukkan unsur anti-semit pada fasisme karena kebencian Hitler terhadap Yahudi. Dalam paham ini, nasionalisme yang sangat fanatik dan juga otoriter sangat kentara, Hubungan
Teori kekuasaan negara, dengan penekanan utamanya pada pengembangan kekuatan militer yang efektif oleh negara, pertama kali didengungkan di jerman pada abad ke 19 oleh para filosof seperti Friedrich Nietzshe dan juga didukung oleh penulis di sana pada abad ke 20. Erich Kauffmann telah menulis sebuah buku yang di terbitkan pada 1911 bahwa esensi negara adalah Machtentfaltung (pengembangan, peningkatan dan penyebaran kekuasaan) bersama-sama dengan kemauan untuk menjaga dan mempertahankan diri dengan sukses. Upaya utama negara adalah 3
Morris Janowitz, Hubungan-Hubungan Sipil-Militer, (Bima Aksara: Jakarta, 1985), hal. 251. 4 Samuel P Huntington, Tertib Politik di Tengah Pergeseran Kepentingan Massa, (PT. Raja Grafindo: Jakarta, 2003), hal. 227.
5
SP Varma, Teori Politik Modern, (PT. Rajagrafindo Persada: Jakarta, 2003), hal. 243.
8
Jurnal Dinamika Politik|Vol.1|No.1|Agustus 2012 ISSN: 2302-1470 Anwar Saragih Peran Militer dalam Pemerintahan Fasisme Jerman sipil dan militer profesional di Jerman, seiring dengan sistem demokrasi yang berlaku di negara tersebut, dapat dilihat dengan mengacu pada konsep Model Negara Barat, Hal ini berkaitan dengan hubungan sipil-militer yang menekankan supremasi sipil atas militer, yang mana negara tidak mewakili tujuan melainkan cara. Tentu saja, itu merupakan dasar pikiran bagi pembentukan bagi sebuah budaya manusia yang lebih tinggi bukan penyebabnya, yang terletak khusus dalam eksistensi ras yang mampu berbudaya.6 Studi ini membahas tentang peranan militer dalam pemerintahan fasis Jerman di masa kepemimpinan Adolf Hitler.
mempengaruhi atmosfer kehidupan politik, bahkan untuk memperoleh peranan-peranan politik yang menentukan Militer akan melakukan intervensi politik untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar yang oleh petinggi militer dianggap lebih sesuai dengan struktur-struktur plitik yang ada dalam masyarakat, kemudian kepentingan bersama dapat berupa kepentingan militer sebagai satu institusi, satu kepentingan kelas, kepentingan daerah, kepentingan politisi dan juga dapat sebagai kepentingan pribadi, yang berupa ambisi untuk memajukan karier atau pangkat pribadi. Karakteristik individual dari para pemimpin sipil dan militer telah banyak digunakan untuk menjelaskan perubahan dalam kontrol militer atas sipil, teori control militer atas sipil dengan penjelasan yang lebih luas dan memiliki daya prediksi yang harus menggabungkan beberapa elemen, yang dibentuk oleh faktor-faktor struktural khususnya ancaman yang mempengaruhi sosok pemimpin, organisasi militer, negara dan masyarakat. Teori Struktural semacam ini berpendapat agar akar pola-pola kontrol militer atas sipil tidak sepenuhnya dapat direduksi hanya pada konsep-konsep tertentu, seperti pola-pola struktural lainnya7. Dalam perkembangannya pemerintahan Jerman selalu menghadapi kesulitan serius menempatkan militer pada posisi yang sesungguhnya, ketika Hitler berkuasa, pemerintahan Hitler berhasil meletakkan sipil di bawah kontrol militer secara sentralistik. Tetapi pada saat yang sama militer selalu bernafsu untuk masuk ke sektor politik dan meruntuhkan kontrol sipil terhadap militer.
Metode Penelitian ini bersifat deskriptif. Pengumpulan data dengan teknik perbandingan sejarah. Analisis data menggunakan analisis kualitatif. Peranan Militer Hitler mencoba menguasai dunia dengan moto Deutsland Uber Alles. Hitler menggunakan militer sebagai kekuatan utama pada periode 1933-1945. Ada beberapa peran militer dalam pemerintahan fasisme Jerman. Pertama, kontrol militer atas sipil. Hubungan sipil-militer merupakan satu masalah yang sangat penting bagi suatu bangsa. Hal ini disebabkan karena berpengaruh besar kepada ketahanan nasional negara tersebut, yang mana salah satu gejala yang muncul dalam kehidupan bernegara adalah ketika militer menjalankan dua fungsi yaitu militer dan non-militer, militer sebagai stabilitas ketahanan nasional dan militer masuk ke ranah politik praktis yang hal ini dapat mengakibatkan adanya ketidakstabilan sistem politik. Keadaan yang demikian ini menyebabkan terbukanya kesempatan dan peluang yang besar untuk menggunakan kekerasan di dalam kehidupan politik disisi yang lain kemampuan golongan militer untuk
Pada tanggal 7 november 1935, Dalam meminimalisir peran sipil dalam pemerintahan, militer kemudian member batasan dan melarang politisi-politisi yang berpengaruh di Jerman, untuk berpolitik praktis baik itu dari partai tengah Heinrich Brüning dan Partai SPD Hermann Müller 7
6
Michael C Desch, Politisi vs Jendral, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 19-20.
Samuel Huntington, op.cit., hal. 27.
9
Jurnal Dinamika Politik|Vol.1|No.1|Agustus 2012 ISSN: 2302-1470 Anwar Saragih Peran Militer dalam Pemerintahan Fasisme Jerman yang berasal dari masyarakat sipil yang pada waktu itu masih memiliki pengaruh yang kuat di Jerman, namun militer menganggap ketika politisi-politisi tersebut di biarkan dapat menimbulkan kekacauan bagi Partai Nazi.
sebab yang lain, pada tahap yang sangat penting, justru ketika mereka telah memungkinkan untuk mencapai kekuatan yang lebih besar, baik itu bahan-bahan, orang-orang, dan pembiayaan, kondisi pelayanan yang lebih baik, modernisasi Angkatan Bersenjata, daya pukau pekerjaan baru dan tekanan terhadap profisiensi profesional berhubung-hubungan dalam pikiran banyak prajurit, dan dengan alasan pembenar yang berarti, dengan pemerintah Nasional-Sosialis yang berkuasa. Terlepas dari pertentangan-pertentangan lokal dengan para penjabat partai ditingkat bawah yang sering dirasioanalisasi dalam istilah-isltilah minimnya pengetahuan Fuhrer tentang kelakuan buruk para juniornya, banyak mengenai Third Reich ini dalam tahun-tahun sebelum perang dianggap oleh Tentara Jerman sebagai seluruhnya benar dan wajar.
Di Heinrich Bruning adalah kanselir Jerman sebelum Adolf Hitler, Dikenal akan kemampuan ekonominya, dia dilantik menjadi Kalensir Jerman pada 29 Maret 1930 setelah runtuhnya pemerintahan koalisi Hermann Muller, seorang Demokrat Sosial, dalam usaha memperbaiki krisis ekonomi yang di sebabkan oleh Hiper inflasi yang terjadi di Jerman pada saat itu.Namun dalam waktu sebulan langkah penyembuhan ekonominya, meningkatkan pajak dan pemotongan anggaran belanja negara yang berat, ditolak Reinchstag dan hanya di terapkan pada musim panas namun kebijakannya ditolak oleh militer Nazi pada saat itu. Militer kemudian mempropagandakan dan menyebarkan beritaberita tentang Bruning yang berisikan Bruning adalah politisi pembangkang dan tidak nasionalis, sebab apa yang menjadi kebijakannya selama ini dianggap sebagai sebuah penghianatan terhadap bangsa Jerman. Hitler kemudian mengumumkan bahwa pimpinan partai tengah Heinrich Bruning tidak boleh masuk ke ranah politik lagi dalam arti dalam tempo 5 x 24 jam sejak 22 oktober 1934 Heinrich Bruning harus menyerahkan diri, untuk kemudian di Adili oleh militer.
Keseluruhan sistem yang dimaksud telah menghasilkan hal-hal yang baik, yang perlu bagi Militer hanyalah membersihkan kekurangan-kekurangan ditingkat bawah, kalau memang mungkin, untuk menegakkan Jerman agar dapat berdiri kembali diatas kakinya sebagai suatu bangsa yang sehat dan kuat yang telah membuang kesuraman dan rasa malu yang dialami pada tahun-tahun 1920-an. Sangat mudah bagi mesin propaganda partai untuk menjejali pola pemikiran yang represtif ini kepada para prajurit dan untuk membuat orang lain yang agak sulit diyakinkan, tidak berani mengkritik partai. Pada 9 November 1938 terjadi kerusuhan yang besar di kota Berlin dan Hamburg dimana pada saat itu, sekitar 50000 massa turun ke Jalan untuk menolak pemerintahan yang baru, alasan mereka adalah menolak rancangan UU tentang pelarangan terhadap partai-partai kecil yang akan dilarang mengikuti pemilu. Hal ini kemusiaan membuat amukan massa yang meluap dimanan masa tersebut bersama-sama menyerang kantor-kantor pemerintahan di Jerman dan post-post militer di Jerman. Terjadi sebuah dilema yang dihadapi oleh Militer, karena sebagian besar massa adalah bangsa aria dalam artian ketika militer
Kedua, manajemen konflik di Jerman. Konflik merupakan sesuatu yang lumrah dalam setiap sistem pemerintahan, hal ini juga terjadi dalam pemerintahan Hitler yang mana terjadi konflik yang terjadi di Jerman bahkan konflik tersebut berencana pada proses kudeta terhadap pemerintahan Hitler. Gerakan fasis dalam tahap pasca Perang dunia terus menerus dikoyakkan dan dilemahkan oleh berbagai konflik diantara orang-orang yang dekat dengan fuhrer, dalam berbagai kasus, partai-partai fasis telah kehilangan para pemimpin dan pendiri mereka, lewat kekerasan politik atau sebab-
10
Jurnal Dinamika Politik|Vol.1|No.1|Agustus 2012 ISSN: 2302-1470 Anwar Saragih Peran Militer dalam Pemerintahan Fasisme Jerman melakukan kekerasaan dan konfrontasi yang terbuka itu dapat membuat citra militer dan Pemerintah menjadi hancur untuk itu. Partai Nazi khususnya Schutzstaffel (SS), berusaha mengambil alihnya dengan melakukan campur tangan terhadap pekerjaaan yang dilakukan oleh “negara normatif” ini.
awal tahun 1930-an dunia melihat bangkitnya komunisme di Rusia, berkuasanya fasisme di Italia, timbulnya perbedaan Inggris dengan Prancis dalam soal pendudukan wilayah Jerman, mundurnya Amerika dari Perjanjian Versailles, serta kondisi ekonomi Jerman yang porak poranda. Semua peluang itu dimanfaatkan Hitler untuk melaksanakan niatnya membangun kembali kejayaan militer Jerman. Tahun 1935 is pun langsung memberlakukan peraturan baru bahwa berdinas dalam angkatan bersenjata Jerman, Wehrmacht, tidak lagi berdasar kesukarelaan, melainkan kewajiban. Hitler mengetahui bahwa keharusan tersebut tidak akan menimbulkan tentangan, karena ia memahami kultur masyarakat Jerman yang mempunyai tradisi sebagai masyarakat disiplin, yang militeris.
Militer mengeluarkan keputusan-keputusan yang bertentangan dengan norma-norma hukum yang telah ada sejak lama, dan tidak satupun norma-norma hukum itu telah dihapuskan secara resmi. Sebagai misalnya militer mengeluarkan keputusan, bahwa pada peristiwa malam 9 Nopember 1938, merupkan malam refleksi untuk bangsa Jerman dalam perbaikan Jerman kedepannya. Kondisi ini kemudian berhasil menenangkan massa yang turun ke jalan. Namun, disisi yang lain setelah kondisinya aman militer kemudian melakukan pendataan orang-orang yang turun ke jalan. 12.000 Militer kemudian melakukan penyusupan untuk mencari dan menculik orang-orang non-yahudi yang melakukan pemberontak di Berlin dan Hamburg. Sekitar 20.000 laki-laki dan perempuan dibawa ke sebuah tempat atau kamp untuk di proses, yang kemudian dimasukan ke dalam ruangan yang berisi gas Ziklon B dan akhirnya mati terbunuh.
Keempat, lebensraum atau perluasan kekuasaan. Gagasan Hitler dalam menyampaikan konsep Lebensraum sangat serius dan disosialisasikan secara intens kepada rakyat Jerman pada saat itu. Lebensraum menyediakan kebutuhan material dan tempat yang memadai bagi pembangunan bangsa Jerman, dan itu bisa diwujudkan dengan cara penaklukan militer Jerman ke arah Timur, Uni Soviet. Hitler mulai melancarkan permainan diplomasinya dengan dunia Internasional. Pada awalnya implementasi konsep Lebensarum ini dengan Hitler mulai memprotest Perjanjian Versailles terhadap negara-negara yang terlibat karena berdampak pada berkurangnya wilayah Jerman, dan tertekannya militer Jerman. Pada saat yang bersamaan Hitler juga memimpikan aliansi dengan bangsa Inggris untuk menghantam Uni Soviet karena Uni Soviet dianggap sebagai salah satu kekuatan dunia yang besar. Militer Jerman melakukan serangan ke arah timur dimana Front Timur atau Eastern Front adalah sebutan untuk pertempuran dalam perang Dunia II yang terjadi diwilayah timur Eropa atau wilayah bagian barat Rusia, antara Jerman melawan Uni Soviet. Pertempuran yang terjadi di front ini merupakan rangkaian dari sei pertempuran darat terbesar dan terdasyat selama
Ketiga, konsep dan strategi pembangunan nasional. Pasca terpilihnya hitler menjadi kanselir Jerman, militer menetapkan kebijakan pemerataan ekonomi, meningkatkan lapangan pekerjaan dan sarana sarana umum serta proyek-proyek umum. Salah satu sumbangannya dalam dunia otomotif adalah usulannya untuk membuat kendaraan murah yang dijangkau oleh rakyat Jerman pada saat itu yang akhirnya diwujudkan dalam bentuk mobil Volkswagen (VW). Tatkala akhirnya meraih kekuasaan, Hitler pun konsekuen dan berani mengambil risiko, dengan sepihak membatalkan klausul pembayaran ganti rugi dan pembatasan persenjataan terhadap Jerman. Kondisi politik dunia ketika itu juga memberi peluang bagi Hitler untuk melaksanakan niatnya menjayakan kembali Jerman Ketika itu, awal-
11
Jurnal Dinamika Politik|Vol.1|No.1|Agustus 2012 ISSN: 2302-1470 Anwar Saragih Peran Militer dalam Pemerintahan Fasisme Jerman berlangsung Perang dunia II, bahkan yang terbesar dalam sepanjang sejarah umat manusia.
Militer merupakan unsur penting dalam pemerintahan Jerman ketika Hitler berkuasa. Adolf Hitler membangun berbagai organisasi yang kemudian dimililiterisasikan, dan lalu diubah menjadi alat perang. Organisasiorganisasi yang dimaksud termasuk Schuntzstaffeln, SS dimiliterisasi mulai bulan maret 1933, SA (Sturmabteilung) yang pada waktu didirikan adalah organisasi para militer yang kemudian digunakan untuk memerangi musuh politik Nazi, kemudian Hitler Jugent (HJ) yang menyelenggarakan latihan militer bagi pemuda Jerman pada usia dini. Latihan bersama dengan SA dan Wehrmartch bermacam bentuknya. Kehormatan dan kebanggan adalah dua hal yang dikejar oleh pasukan pilihan dari kesatuan militer Jerman pada saat itu. Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh penguasa dalam memerintah Jerman. Terdapat empat hal penting mengenai peran militer dalam pemerintahan fasisme Jerman: Pertama, kontrol militer atas sipil; Kedua, manajemen konflik di Jerman; Ketiga, konsep dan strategi pembangunan nasional; Keempat, lebensraum atau perluasan kekuasaan.
Tak hanya besar dalam jumlah korban jiwa, kerugian materil, dan tinggkat kerusakan atau kehancuran yang ditimbulkannya, tetapi juga didalam jumlah pengerahan atau mobilisasi manusia dan peralatan perang yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Baik Jerman maupun Uni Soviet mengerahkan pasukan infanteri dalam jumlah yang sangat kolosal dan besarbesaran yang belum pernah ada bandingannya dalam sejarah. Pada bulan januari 1941, di depan para Jendralnya, Hitler memutuskan untuk menyerang dan menguasai Uni Soviet. Keputusan ini diambilnya dengan rasa optimisme yang tinggi bahwa tentara Jerman akan dapat menaklukan Uni Soviet dengan mudah, hanya dalam waktu 8 minggu saja.8 Invasi yang dilakukan oleh Militer Jerman dengan menyerang wilayah Eropa Barat, Eropa Timur dan Afrika merupakan salah satu perluasan konsep Lebensraum yang erat hubungannya dengan Geopolitik yang tidak didasarkan pada ilmu pengetahuan (pseudoscience) yang menjadikan faktor geografi sebagai hal yang mutlak yang mesti menentukan kekuatan dan selanjutnya nasib suatu negara. Pemikiran dasarnya adalah ruang (space). Namun, meski ruang itu adalah statis, rakyat yang hidup dalam ruang didunia adalah dinamis, menurut konsep geopolitik, sudah menjadi hukum sejarah bahwa rakyat harus berkembang dengan menaklukkan ruang atau binasa dan bahwa kekuatan relatif dari bangsa (negara) ditentukan oleh saling hubungan antara ruang-ruang yang ditaklukkan.9
Daftar Pustaka Desch, Michael C. 2002. Politisi vs Jendral, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hitler, Adolf. 2007. Mein Kampt, Yogyakarta: , Narasi. Huntington, Samuel P. 2003. Tertib Politik Ditengah Pergeseran Kepentingan Massa, Jakarta: PT Raja Grafindo. Janowitz, Morris. 1985. Hubungan–Hubungan Sipil-Militer, Jakarta: Bima Aksara. Morgenthau, Hans J.. 2010, Politik Antar Bangsa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Pitaloka, Rieke Diah. 2007. Kekerasan Negara Menular Ke Masyarakat, Jakarta: Galang Press. SP Varma, 2003. Teori Politik Modern, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Subiakto, Ari. 2008. Operasi Barbarossa, Ketika Hitler Menyerang Stalin, Yogyakarta: Narasi.
Penutup 8
Ari Subiakto, Operasi Barbarossa, Ketika Hitler Menyerang Stalin, (Yogyakarta: Narasi, 2008), hal. 10. 9 Hans J Morgenthau, Politik Antar Bangsa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hal. 190.
12