BPS PROVINSI LAMPUNG No. 08/07/18/TH.IX, 17 Juli 2017
ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET 2017
Angka kemiskinan Lampung dari penghitungan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2017 mencapai 13,69 persen. Dibandingkan kondisi semester sebelumnya (September 2016) angka kemiskinan Lampung mengalami penurunan 0,17 poin, dari 13,86 persen.
Sejalan dengan penurunan persentase, jumlah penduduk miskin di Lampung pada Maret 2017 juga berkurang sebanyak 8,05 ribu jiwa menjadi 1,132 juta jiwa dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2016 yang sebesar 1,140 juta jiwa.
Perdesaan menjadi konsentrasi kemiskinan dimana 15,08 persen penduduknya berkategori miskin. Angka ini setara dengan 903,41 ribu jiwa. Sedangkan di perkotaan penduduk miskinnya sebanyak 10,03 persen atau 228,32 ribu jiwa. Selama periode September 2016 - Maret 2017, di wilayah perdesaan mengalami penurunan baik persentase maupun jumlah penduduk miskin. Penduduk miskinnya berkurag sekitar 8,93 ribu jiwa (1,25 %). Namun hal sebaliknya justru terjadi di daerah perkotaan dimana persentasenya berkurang (1,06%) namun jumlah penduduk miskinnya bertambah sekitar 0,88 ribu jiwa.
Garis kemiskinan Provinsi Lampung Maret 2017 sebesar Rp. 384.882 per kapita per bulan, naik 4,42 persen dibandingkan September 2016. Garis Kemiskinan 75,27 persen disumbangkan oleh Komoditi Makanan, dimana share terbesar dari konsumsi beras, rokok kretek filter dan telur ayam ras. Sedangkan Komoditi Non Makanan yang menyumbang 24,73 persen utamanya dipengaruhi konsumsi perumahan, listrik, dan bensin. Garis Kemiskinan di perkotaan lebih tinggi dibanding perdesaan yakni Rp. 420.227 berbanding Rp.371.894.
Pada Maret 2017, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Lampung yang diukur oleh Gini Ratio tercatat sebesar 0,334. Angka ini menurun sebesar 0,024 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio September 2016 yang sebesar 0,358. Sementara itu jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2016 yang sebesar 0,364, Gini Ratio Maret 2017 turun sebesar 0,03 poin.
Gini Ratio di daerah perkotaan pada Maret 2017 tercatat sebesar 0,364 turun dibanding Gini Ratio September 2016 yang sebesar 0,384 dan Gini Ratio Maret 2016 yang sebesar 0,393. Sedangkan Gini Ratio di daerah perdesaan pada Maret 2017 tercatat sebesar 0,297 turun dibanding Gini Ratio September 2016 yang sebesar 0,311 dan Gini Ratio Maret 2016 yang sebesar 0,330.
Pada Maret 2017, distribusi pengeluaran kelompok penduduk 40 persen terbawah adalah sebesar 20,07 persen. Artinya pengeluaran penduduk masih berada pada kategori tingkat ketimpangan rendah. Jika dirinci menurut wilayah, di daerah perkotaan angkanya tercatat sebesar 18,29 persen yang artinya berada pada kategori ketimpangan rendah. Sementara untuk daerah perdesaan,angkanya tercatat sebesar 21,68 persen, yang berarti masuk dalam kategori ketimpangan rendah.
1 | Berita Resmi Statistik No.08/07/18/TH.IX, 17 Juli 2017
1.
PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG Angka kemiskinan Provinsi Lampung mengalami penurunan pada Maret 2017.
Berdasarkan hasil survei terbaru diketahui angka kemiskinan Lampung sebesar 13,69 persen atau 1.131,73 ribu jiwa (lihat Tabel 1). Data September 2016 angka kemiskinan Provinsi Lampung masih 13,86 persen atau 1.139,78 ribu jiwa. Dengan kata lain selama periode September 2016 – Maret 2017 telah terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sekitar 8,05 ribu jiwa. Angka kemiskinan Lampung Maret 2017 ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan angka nasional yang sebesar 10,64 persen. Penurunan angka kemiskinan di Provinsi Lampung ini juga sejalan dengan yang terjadi pada tingkat nasional. Penurunan angka kemiskinan ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Lampung pada triwulan I 2017 terhadap triwulan sebelumnya (q-to-q) yang mengalami ekspansi hingga tumbuh 6,59 persen.
Berdasarkan daerah tempat tinggal, penduduk miskin terkonsentrasi di wilayah perdesaan dengan tingkat kemiskinan sebesar 15,08 persen. Cukup jauh terpaut dengan kemiskinan di perkotaan yang 10,03 persen. Dari sisi jumlah penduduk miskin juga terdapat perbedaan yang signifikan yakni 228,32 ribu jiwa di perkotaan dan 903,41 ribu jiwa di daerah perdesaan.
Berita Resmi Statistik No.08/07/18/TH.IX, 17 Juli 2017| 2
Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Lampung Menurut Daerah, 2012-2017
Tahun
Jumlah Penduduk Miskin (ribu jiwa)
Persentase Penduduk Miskin
2012 (Maret)
Kota 241,10
Desa 1 023,39
Kota+Desa 1 264,48
Kota 12,00
Desa 17,63
Kota+Desa 16,18
2012 (Sept)
240,11
990,05
1 230,16
11,88
16,96
15,65
2013 (Maret)
235,47
939,88
1 175,35
11,59
15,99
14,86
2013 (Sept)
224,81
919,95
1 144,76
10,89
15,62
14,39
2014 (Maret)
230,63
912,28
1 142,92
11,08
15,41
14,28
2014 (Sept)
224,21
919,73
1 143, 93
10,68
15,46
14,21
2015 (Maret)
233,27
930,22
1 163, 49
10,94
15,56
14,35
2015 (Sept)
197,94
902,74
1 100,68
9,25
15,05
13,53
2016 (Maret)
233,39
936,21
1 169,60
10,53
15,69
14,29
2016 (Sept)
227,44
912,34
1 139,78
10,15
15,24
13,86
2017 (Maret)
228,32
903,41
1 131,73
10,03
15,08
13,69
Laju penurunan tingkat kemiskinan selama periode September 2016 - Maret 2017, lebih signifikan terjadi di daerah urban (perkotaan) yang turun 1,25 persen, sedangkan di daerah rural (perdesaan) turun 1,06 persen
2. PERGESERAN GARIS KEMISKINAN Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan. Semakin tinggi Garis Kemiskinan, semakin banyak penduduk yang tergolong sebagai penduduk miskin jika tidak terjadi peningkatan pendapatan.
3 | Berita Resmi Statistik No.08/07/18/TH.IX, 17 Juli 2017
Tabel 2. Garis Kemiskinan dan Perubahannya Menurut Daerah, September 2016 - Maret 2017
Daerah/Tahun (1)
Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bln) Bukan Makanan Total Makanan (2) (3) (4)
Penduduk Miskin Jumlah % (000 jiwa) (5) (6)
Perkotaan September 2016 Maret 2017 Perubahan (%)
284 222 302 761 6,52
114 155 117 466 2,90
398 378 420 227 5,48
227,44 228,32 1,25
10,15 10,03 0,12 poin
Perdesaan September 2016 Maret 2017 Perubahan (%)
273 647 285 183 4,22
84 145 86 711 3,05
357 792 371 894 3,94
912,34 903,41 1,06
15,24 15,08 0,16 poin
Kota+Desa September 2016 Maret 2017 Perubahan (%)
276 216 289 706 4,88
92 376 95 176 3,03
368 592 384 882 4,42
1 139,78 1 131,73 1,21
13,86 13,69 0,17 poin
Sumber: Diolah dari data Susenas September 2016 dan Maret 2017
Selama periode September 2016–Maret 2017, garis kemiskinan naik Rp. 16.290,- atau 4,42 persen, yaitu dari Rp 368.592,- per kapita per bulan pada September 2016 menjadi Rp 384.882,- per kapita per bulan pada Maret 2017. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pendapatan sebagian penduduk miskin khususnya mereka yang berada di sekitar garis kemiskinan mampu mengimbangi kenaikan harga meskipun Garis Kemiskinan mengalami kenaikan. Peranan komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan) dalam pembentukan Garis Kemiskinan. Pada September 2016 yang lalu sumbangan GKM terhadap GK sebesar 74,94 persen. Sedangkan pada Maret 2017, peranannya sedikit mengalami kenaikan menjadi 75,27 persen. Dengan kata lain peningkatan Garis Kemiskinan dari September 2016 ke Maret 2017 lebih dipicu karena kenaikan harga yang lebih tinggi pada komoditi makanan dibandingkan pada komoditi non makanan. Pada Maret 2017, komoditi makanan yang memberi sumbangan terbesar pada Garis Kemiskinan adalah beras baik di perkotaan maupun di perdesaan yaitu masing-masing sebesar 25,45 persen dan 30,85 persen. Rokok kretek filter memberikan sumbangan terbesar kedua kepada Garis Kemiskinan pada daerah perkotaan (18,73 persen ) sedang di perdesaan (14,16 persen).
Berita Resmi Statistik No.08/07/18/TH.IX, 17 Juli 2017| 4
Komoditi bukan makanan yang memberi sumbangan besar untuk Garis Kemiskinan adalah biaya perumahan yaitu 30,99 persen di perkotaan dan 29,19 persen di perdesaan. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Daftar Komoditi yang Memberi Pengaruh Besar pada Kenaikan Garis Kemiskinan, Maret 2017
Komoditi (1) Makanan Beras Rokok kretek filter Telur ayam ras Tempe Cabe rawit Gula pasir Cabe merah Mie instan Bukan Makanan Perumahan Listrik Pendidikan Bensin Perlengkapan mandi
Kota (2)
Komoditi (3)
(% terhadap GKM) 25,45 18,73 5,32 3,63 3,33 3,24 3,24 3,14
Beras Rokok kretek filter Cabe rawit Telur ayam ras Gula pasir Bawang merah Tempe Mie instan
(% terhadap GKNM) 30.99 10.53 9.61 9.04 4.41
Perumahan Bensin Listrik Pendidikan Perlengkapan mandi
Desa (4) (% terhadap GKM) 30,85 14,16 5,24 4,91 3,98 3,62 3,40 3,07 (% terhadap GKNM) 29.19 12.07 8.12 7.15 4.30
Sumber: Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2017
3. INDEKS KEDALAMAN KEMISKINAN DAN INDEKS KEPARAHAN KEMISKINAN Persoalan kemiskinan bukan hanya sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Selain upaya memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan penanggulangan kemiskinan juga terkait dengan bagaimana mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan.
5 | Berita Resmi Statistik No.08/07/18/TH.IX, 17 Juli 2017
Tabel 4. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Lampung Menurut Daerah, September 2016 – Maret 2017 Tahun (1)
Kota (2)
Desa (3)
Kota + Desa (4)
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) September 2016 Maret 2017
1,290 1,553
2,161 2,396
1,924 2,163
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) September 2016 Maret 2017
0,268 0,346
0,464 0,570
0,411 0,508
Sumber: Diolah dari data Susenas September 2016 dan Maret 2017
Pada periode September 2016 - Maret 2017, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) naik dari 1,924 menjadi 2,163. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin semakin menjauhi garis kemiskinan. Demikian pula dengan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) naik dari 0,411 menjadi 0,508. Angka ini mengindikasikan bahwa variasi pengeluaran diantara penduduk miskin semakin besar. Dengan kata lain ketimpangan pengeluaran penduduk miskin semakin tinggi. Apabila dibandingkan antara daerah perkotaan dan perdesaan, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di daerah perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan. Pada Maret 2017, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) untuk perkotaan hanya 1,553 sementara di daerah perdesaan mencapai 2,396. Nilai Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) untuk perkotaan hanya 0,346 sementara di daerah perdesaan mencapai 0,570. Dapat dimaknai bahwa kesenjangan penduduk miskin perdesaan lebih tinggi dibanding penduduk miskin perkotaan demikian pula dengan ketimpangan penduduk miskin perdesaan juga lebih tinggi dibanding penduduk perkotaan.
4.
Perkembangan Gini Ratio Tahun 2010–Maret 2017 Salah satu ukuran ketimpangan yang sering digunakan adalah Gini Ratio. Nilai Gini Ratio
berkisar antara 0 -1. Semakin tinggi nilai Gini Ratio menunjukkan ketimpangan yang semakin tinggi. Gini Ratio Lampung pada tahun 2010 tercatat sebesar 0,36 dan meningkat menjadi 0,37 pada tahun 2011. Gini Ratio turun pada tahun berikutnya menjadi 0,36. Pada periode Maret 2012 hingga Maret 2016, nilai Gini Ratio berfluktuasi dan mencapai angka tertinggi pada Maret 2015 yaitu sebesar 0,376. Pada September 2016 Gini Ratio mulai turun menjadi 0,358 dan terus menurun hingga mencapai angka 0,334 pada Maret 2017.
Berita Resmi Statistik No.08/07/18/TH.IX, 17 Juli 2017| 6
Berdasarkan daerah tempat tinggal, Gini Ratio di daerah perkotaan pada Maret 2017 tercatat sebesar 0,364. Angka ini menurun sebesar 0,021 poin dibanding Gini Ratio September 2016 yang sebesar 0,384. Untuk daerah perdesaan Gini Ratio Maret 2017 tercatat sebesar 0,297. Angka ini menurun sebesar 0,014 poin dibanding Gini Ratio September 2016 yang sebesar 0,311.
5.
Perkembangan Distribusi Pengeluaran Maret 2016 – Maret 2017 Selain Gini Ratio ukuran ketimpangan lain yang sering digunakan adalah persentase
pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah atau yang dikenal dengan ukuran ketimpangan Bank Dunia. Berdasarkan ukuran ini tingkat ketimpangan dibagi menjadi 3 kategori, yaitu tingkat ketimpangan tinggi jika persentase pengeluaran kelompok penduduk 40 persen terbawah angkanya dibawah 12 persen, ketimpangan sedang jika angkanya berkisar antara 12-17 persen, serta ketimpangan rendah jika angkanya berada diatas 17 persen. Pada Maret 2017, persentase pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah adalah sebesar 20,07 persen yang berarti Lampung berada pada kategori ketimpangan rendah. Persentase pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah pada bulan Maret 2017 ini meningkat jika dibandingkan dengan kondisi September 2016 yang sebesar 19,40 persen. Sejalan dengan informasi yang diperoleh dari Gini Ratio, ukuran ketimpangan Bank Dunia pun mencatat hal yang sama yaitu ketimpangan di perkotaan lebih parah dibandingkan dengan ketimpangan di perdesaan. Persentase pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah di daerah perkotaan pada Maret 2017 adalah sebesar 18,29 atau tergolong ketimpangan rendah. Sementara itu, persentase pengeluaran kelompok penduduk 40 persen terbawah di daerah 7 | Berita Resmi Statistik No.08/07/18/TH.IX, 17 Juli 2017
perdesaan pada Maret 2017 adalah sebesar 21,68 persen yang berarti berada pada kategori ketimpangan rendah.
Tabel 1 Distribusi Pengeluaran Penduduk Lampung Maret 2016 – Maret 2017 (Persentase)
Penduduk 40 persen Terbawah (2)
Penduduk 40 persen Menengah (3)
Penduduk 20 persen Atas (4)
Jumlah (5)
Perkotaan Maret 2016 September 2016 Maret 2017
17.82 16.92 18.29
34.26 37.87 37.80
47.92 45.21 43.91
100 100 100
Perdesaan Maret 2016 September 2016 Maret 2017
21.23 21.74 21.68
36.08 37.90 39.87
42.69 40.36 38.46
100 100 100
Perkotaan+Perdesaan Maret 2016 September 2016 Maret 2017
19.64 19.40 20.07
34.93 36.16 38.19
45.43 44.45 41.74
100 100 100
Daerah/Tahun (1)
Berita Resmi Statistik No.08/07/18/TH.IX, 17 Juli 2017| 8
6.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perbaikan Tingkat Ketimpangan Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap perbaikan tingkat ketimpangan pengeluaran
selama periode Maret 2016 – Maret 2017 diantaranya adalah: a. Menguatnya perekonomian penduduk kelas menengah (kelompok 40 persen menengah). Hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk bekerja dengan status berusaha sendiri/dibantu pekerja tidak dibayar yang merupakan kelompok terbesar pada kelas menengah sebagai dampak dari lebih kondusifnya pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). b. Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), terjadi peningkatan jumlah pekerja yang berusaha sendiri/dibantu pekerja tidak dibayar dari 1.491,2 ribu orang (Februari 2016) menjadi 1.550,5 ribu orang (Februari 2017) atau naik sekitar 3,98 persen. Untuk lapangan usaha industri pengolahan, konstruksi, perdagangan, dan angkutan peningkatannya dari 1.446,1 ribu orang (Februari 2016) menjadi 1.462,4 ribu orang (Februari 2017). c. Kenaikan pengeluaran kelompok bawah yang merefleksikan peningkatan pendapatan kelompok penduduk bawah tidak lepas dari upaya pembangunan infrastruktur padat karya, dan beragam skema perlindungan dan bantuan sosial di bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan lainnyayang dijalankan oleh pemerintah.
9 | Berita Resmi Statistik No.08/07/18/TH.IX, 17 Juli 2017
PENJELASAN TEKNIS DAN SUMBER DATA •
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Headcount Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk.
•
Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM). Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan.
•
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per kapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).
•
Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 36 jenis komoditi.
•
Sumber data utama yang dipakai untuk menghitung tingkat kemiskinan Maret 2017 adalah data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Sebagai informasi tambahan, juga digunakan hasil survei SPKKD (Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar), yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok bukan makanan.
Berita Resmi Statistik No.08/07/18/TH.IX, 17 Juli 2017| 10
BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI LAMPUNG
Informasi lebih lanjut hubungi: Mas’ud Rifai, S.ST Kepala Bidang Statistik Sosial Telepon: 482909, Pesawat 132
Jl. Basuki Rahmat No. 54 Teluk Betung Bandar Lampung 35215 Telepon (0721) 482909, 484329; Faksimili (0721) 484329 Email:
[email protected] Website: lampung.bps.go.id
11 | Berita Resmi Statistik No.08/07/18/TH.IX, 17 Juli 2017