THE SOCIAL SOLIDARITY FORMATION OF MARGINAL COMMUNITY IN TRADITIONAL MARKET Jamilah Cholillah, S.Sos. (Lecturer of Sociology, Bangka Belitung University) ABSTRACT The aims of this research is firstly, to describe and understand the formation basis of Tukang Keruntung Community. Secondly, to describe collective consciousness of Tukang Keruntung Community related to the interaction design in group and out group of Tukang Keruntung. Thirdly, to identify and analyze the concrete of social solidarity manifestation especially variety and the meaning of Tukang Keruntung behaviour in Pasar 16 Ilir, Palembang. The research design is kualitative which describes descriptive data from the existing phenomenon. In determining the research subject, Snowball technics is used to get information based on research issues. Research subject is selected at least 9 informants in order to get the data deeper and no more variation of information founded. If data has been collected by deep interview and observation, it will be processed and analyzed by units processing technic, categorizing and data interpretation. Its result shows that the formation of Tukang Keruntung Community is based on family relation, friendship and tuan toko. Honesty when tukang keruntung delivers the things in a good condition influences their existence. Consciousness as a part of Tukang Keruntung community really determines the decision to help their friends. For instances: helping the older one, lending money, assisting to lift keruntung when the others lift the goods at the same time, giving opportunity to others who have not lifted things yet, giving aid to the sick tukang keruntung. There will be exception if they cheat like stealing or fighting with other market communities. Keywords : Community, Solidarity, Counsciousness. 1. PENGANTAR Kota merupakan suatu wilayah dengan kepadatan penduduk lebih tinggi dibandingkan dengan desa. Tingginya kepadatan penduduk di kota disebabkan oleh urbanisasi penduduk dari desa ke kota. Meningkatnya jumlah penduduk di kota sebenarnya banyak menimbulkan masalah terutama yang disebabkan oleh factor urbanisasi. Permasalahan ini terutama berkaitan dengan ketidaksiapan para urban dalam menyikapi kemajuan dan kemajemukan kehidupan kota. Di sisi lain, kota tidak mampu menjamin secara adil dan merata kesejahteraan penduduknya. Akibat nyata dari permasalahan ini adalah timbulnya komunitas marjinal di kota-kota besar. Komunitas marjinal di perkotaan, seringkali tidak mempunyai aset, power dan hanya hidup dalam sector-sektor yang bukan hanya dimarjinalkan dalam pengertian fisik (lokasi tempat tinggal yang harus digusur menjauhi kota), tapi juga politik (mereka tidak memiliki kemampuan dan kesempatan untuk bersuara dalam proses politik dan tidak memiliki kemampuan dan 1
kesempatan untuk menyuarakan kebutuhan mereka dalam proses pembuatan kebijakan tentang dirinya dan juga dalam arti kesejahteraan (dalam mengartikan kesejahteraan). Golongan ini juga harus mengikuti slogan-slogan atau kepentingan-kepentingan diluar dirinya secara structural fungsional (hasil lokakarya TKS CDS bidang Masyarakat Marjinal tahun 2000). Di kota, komunitas marjinal merupakan kelompok miskin dengan tingkat pendidikan yang rendah. Kondisi ini sebagai akibat dari kemiskinan yang mereka alami, sehingga tidak memiliki peluang untuk mengakses pendidikan yang lebih tinggi. Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali bekerja di sector informal. Oleh karena itu sector informal menjadi andalan bagi penyerapan tenaga kerja di daerah perkotaan. Salah satu bentuk komunitas marjinal di pasar tradisional adalah kuli angkut. Keberadaan kuli angkut dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi permintaan dan penawaran. Dari sisi permintaan, kuli angkut sangat dibutuhkan bagi komunitas pasar dalam proses pengangkutan barang ke tempat-tempat yang tidak dapat dilalui oleh alat transportasi. Sedangkan dari sisi penawaran, profesi kuli angkut cukup menjanjikan di saat keahlian dan modal tidak dapat diberdayakan. Dalam lingkup kelompok yang terbatas, mempertahankan eksistensi diri sangatlah sulit. Salah satu strategi yang mereka lakukan adalah dengan mengembangkan tindakan tolong menolong. Bagi para sosiolog tindakan tolong menolong dalam suatu kenyataan social merupakan bentuk manifestasi solidaritas social. Namun solidaritas social tidaklah identik dengan suatu kepentingan positif (mengarah kepada kebaikan) tetapi tidak menutup kemungkinan mengarah kepada hal yang negative (merugikan atau memihak pada kepentingan tertentu). 2. TUJUAN PENELITIAN Tujuan yang hendak dicapai dalam peneltian ini adalah (1) memberikan gambaran dan memahami dasar-dasar pembentukan komunitas tukang keruntung khususnya interaksi dan kehidupan tukang keruntung di Pasar 16 Ilir Palembang (2) menggambarkan kesadaran kelompok pada komunitas tukang keruntung dalam kaitannya dengan pola hubungan di dalam dan di luar komunitas tukang keruntung di Pasar 16 Ilir Palembang; (3) mengidentifikasi dan menganalisis bentuk-bentuk manifestasi solidaritas social terutama jenis dan makna tindakan solidaritas social pada komunitas tukang keruntung di Pasar 16 Ilir Palembang. 2
3.
KERANGKA PEMIKIRAN Solidaritas social merupakan hasil rekonstruksi pemaknaan dalam diri seseorang yang
dimanifestasikan dalam bentuk tindakan dan diorientasikan kepada kelompok. Perspektif interaksionisme simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka (Becker, 1961 dalam Mulyana, 2003: 70). Tindakan manusia bukan disebabkan oleh beberapa kekuatan luar (seperti yang dimaksudkan oleh kaum fungsionalis structural) tidak pula disebabkan oleh kekuatan dalam (seperti yang dinyatakan oleh kaum reduksionis psikologis). Manusia merupakan actor yang sadar dan reflektif yang menyatukan obyek-obyek yang diketahuinya melalui suatu proses selfindication. Self indication adalah proses komunikasi yang sedang berjalan dimana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberi makna dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna itu. Proses self indication ini terjadi dalam konteks social dimana individu mencoba mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana ia menafsirkan tindakan itu. Derajat solidaritas ataupun integritas ditentukan oleh serangkaian factor. Hal mana menurut Sorokin, Zimmerman dan Galpin ialah makin banyak factor yang terkumpul sbagai landasan integrasi, makin tinggi solidaritas kelompok. Unsur-unsur pengintegrasian dan solidaritas ialah: -
Marga Pernikahan Persamaan agama, magi atau upacara-upacara kepercayaan Persamaan bahasa dan adat Kesamaan tanah Wilayah Tanggung jawab atas pekerjaan sama Tanggung jawab dalam mempertahankan ketertiban Ekonomi Atasan yang sama Pertahanan bersama Bantuan bersama atau kerjasama Pengalaman, tindakan dan kehidupan bersama 3
Sehubungan dengan kelompok (termasuk didalamnya komunitas) dikenal istilah kesadaran kelompok atau group consciousness. Mead menggunakan istilah ‘kesadaran’ (consciousness) sebagai hal yang bergandengan dengan pengalaman yang meliputi organism yang peka dengan lingkungannya sejauh lingkungan tersebut eksis bagi organism tersebut. Berger dan Luckmann menggunakan konsep ‘realitas subjektif’ untuk menunjuk kepada produk kesadaran diri ini. Dengan demikian kesadaran merupakan pemahaman manusia atas pengalamannya sendiri yang memungkinkan mendefinisikan dirinya sendiri dan keadaannya (Mulyana, 2003: 76). 4. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analitik. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan mengklasifikasi suatu fenomena atau kenyataan social dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variable yang berkaitan dengan masalah dan unit yang diteliti. Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat gambaran tentang suatu peristiwa atau keadaan secara obyektif dalam bentuk deskripsi situasi dan dilakukan dengan menempuh langkah-langkah: pengumpulan data, klasifikasi serta analisis dan pengolahan data. Melalui penelitian deskriptif dilakukan pengukuran yang cermat terhadap fenomena social tertentu dengan mengembangkan konsep dan menghimpun data, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa. Penelitian ini berdasarkan perspektif interaksionisme simbolik bersifat induktif: yang berangkat dari kasus-kasus bersifat khusus berdasarkan pengalaman nyata (ucapan atau perilaku subjek penelitian atau situasi lapangan penelitian) kemudian dirumuskan menjadi model, konsep, teori, prinsip, proposisi atau definisi yang bersifat umum. Induksi adalah proses dengan mana peneliti mengumpulkan data dan kemudian mengembangkan suatu teori dari data tersebut, yang sering disebut grounded theory (Frey, 1992 dalam Mulyana, 2002: 156-157). Untuk memperoleh gambaran tersebut maka desain penelitian yang dipilih adalah studi kasus. Studi kasus adalah bentuk penelitian yang mendalam tentang suatu aspek lingkungan social termasuk manusia didalamnya. Lokasi penelitian adalah pasar 16 Ilir Palembang. Pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan pasar ini sebagai pasar induk dan terbesar di Palembang sehingga menjadi pusat perdagangan bagi pelaku ekonomi. Sebagai pasar induk maka kuantitas dan kualitas pembeli dan 4
pedagang sangat tinggi sekali. Kondisi ini menjadi peluang bagi kelompok masyarakat miskin tersebut yang berhasil dibaca bagi sebagian orang untuk mendapatkan penghasilan dengan menjual jasanya kepada komunitas pasar. Subjek penelitian adalah komunitas tukang keruntung. Informan lain adalah para pelanggan pasar (tuan barang) dan pemilik toko (tuan toko). 5. HASIL DAN PEMBAHASAN Kehadiran Tukang Keruntung di Pasar 16 Ilir Palembang Kuli angkut di Pasar 16 Ilir Palembang dapat dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan peralatan yang digunakan dan cara mengangkut barang. Pertama, kuli pikul yang mengangkut barang tanpa menggunakan peralatan tertentu dan membawanya dengan cara dipikul di pundak (bahu). Kedua, kuli dorong yang mengangkut barang dengan menggunakan gerobak atau roli dan membawanya dengan cara didorong. Ketiga, kuli gendong yang mengangkut barang dengan menggunakan keruntung (keranjang rotan) dan membawanya dengan cara digendong. Klasifikasi kuli pikul dapat dikelompokkan menjadi kuli kapal, kuli ekspedisi dan kuli toko. Kuli kapal dan kuli ekspedisi memiliki seorang mandor yang bertanggung jawab terhadap upah bagi kuli. Upah ini dibayar menjelang berakhirnya barang diangkut atau dipindahkan. Upah dibayar secara merata berdasarkan jumlah barang yang diangkut oleh anggota kelompok. Kuli ekspedisi ini berjumlah sekitar lima hingga sepuluh orang. Kuli ekspedisi biasanya dilengkapi dengan roli ataupun gerobak kayu dorong. Sedangkan kuli kapal biasanya tidak menggunakan peralatan apapun. Mereka cenderung mengandalkan punggungnya untuk mengangkut barang dari Speedboat maupun mobil truk menuju toko-toko di Pasar 16 Ilir Palembang. Bagi pelaku pasar tradisional, kehadiran kuli sangat bermanfaat karena kuli dapat memasuki areal pasar yang sempit dan bertingkat secara bebas. Mereka menawarkan jasanya berkisar antara Rp 5.000 hingga Rp 10.000 untuk satu kali angkut dengan kisaran berat antara 5 hingga 70 kg. Pada saat tukang keruntung mengangkut barang biasanya pelanggan mendampingi dari depan atau belakang. Umumnya pembayaran upah dilakukan pada saat barang sudah diantar ke tempat tujuan dalam kondisi baik dan utuh. Keberadaan tukang keruntung di Pasar 16 Ilir Palembang dimulai sejak tahun 1960-an. Menurut informan Ujang (penjaga gudang keruntung) menyebutkan bahwa keberadaan tukang keruntung sudah ada sejak tahun 1960-an. Pada saat itu komunitas pasar terutama penjual dan 5
pembeli sangat membutuhkan orang yang dapat mengangkut barang dagangan atau barang belanjaan. Tukang keruntung yang bekerja saat itu berasal dari daerah Brebes (Jawa Tengah) yang bermigrasi ke Palembang (hasil wawancara bulan Oktober 2003). Profesi tukang keruntung akhirnya berkembang karena cukup diminati masyarakat terutama masyarakat pedesaan di sekitar wilayah Palembang. Kelompok masyarakat pedesaan ini bermigrasi ke Palembang sesudah kegiatan bersawah di desa (bumo atau ngetam; kegiatan menanam dan menuai padi di sawah). Pada musim tersebut kegiatan pertanian tidak banyak dilakukan. Untuk mengisi waktu luang setelah kegiatan bumo atau ngetam maka mereka mencari pekerjaan lain seperti mengangkut barang di Pasar 16 Ilir Palembang. Pekerjaan sebagai kuli dapat menambah penghasilan sekaligus digunakan sebagai biaya tambahan untuk keperluan bumo (ngetam) pada saat mereka mudik (milu; pulang ke dusun). Klasifikasi Aktivitas Tukang Keruntung di Pasar 16 Ilir Palembang No
Indikator
Jenis Aktivitas Tukang Keruntung
1.
Waktu Aktivitas
Tukang keruntung malam-pagi Tukang keruntung pagi-sore Tukang keruntung malam-siang
2.
Tempat Aktivitas
Tukang keruntung menetap - Di Toko - Di Pangkalan Tukang keruntung tidak menetap - Di Toko - Di Pangkalan (liar)
3.
Sifat Aktivitas
Tukang keruntung tetap Tukang keruntung musiman Tukang keruntung incidental
Sumber: Berdasarkan hasil wawancara dan observasi di Pasar 16 Ilir Palembang Dasar-dasar terbentuknya komunitas tukang keruntung Komunitas tukang keruntung di Pasar 16 Ilir Palembang terdiri dari kelompok-kelompok kecil yang tersebar di kawasan pasar. Kelompok-kelompok kecil ini biasanya berjumlah lima hingga sepuluh orang. Berdasarkan hasil observasi, kelompok tukang keruntung terdiri dari delapan kelompok kecil yang tersebar di kawasan pasar 16 Ilir. Kawasan persebaran terdiri dari 6
kawasan gedung eks Pasar 16 Ilir, kawasan Tengkuruk, kawasan Benteng Kuto Besak, kawasan Lorong Basah dan kawasan depan Mesjid Agung. Kelompok ini merupakan tempat pangkalan tetap tukang keruntung. Terbentuknya pangkalan tukang keruntung ini melalui pola hubungan yang terjadi di antara tukang keruntung maupun hubungan yang terjalin dengan tuan took di sekitar pangkalan. Pembentukan kelompok yang didasarkan pola hubungan yang terjadi di antara tukang keruntung ditunjukkan dengan pengalaman tukang keruntung dalam bekerja dan intensitas pertemuan sesama tukang keruntung. Tukang keruntung yang sering berjalan membawa barang dan sering melintas di kawasan pangkalan tukang keruntung lama-kelamaan dapat menjadi bagian dari anggota kelompok tersebut. Hal ini diungkapkan oleh Budi (33 tahun): “Dulu nak bersesuaian dengan rombongan nanyo-nanyo dulu, kadang-kadang tahunan baru dapet dengan kawan. Setahun masih ragu, berkawan-berkawan tapi curiga jalan terus, maklumlah kito dak kenal, wara-wiri wara-wiri, duduk-duduk, lamo-lamo ngobrolngobrol, laju kenal galo. Pokoknyo di pasar ini kejoejoeran. Kalo kito joejoer percayo galo wong toko samo kito”. (Dulu mau bergabung dengan rombongan bertanya-tanya dahulu, kadang-kadang tahunan baru mendapatkan teman. Setahun masih ragu, berkawan-berkawan tapi tetap curiga. Maklum saja kita tidak kenal, jalan sana jalan sini, duduk-duduk, lama-lama berbincangbincang, akhirnya kenal semua. Di pasar ini yang utama adalah kejujuran. Jika kita jujur percaya semua orang toko dengan kita). Hubungan perkenalan tidak selalu menjamin seseorang langsung diterima dalam suatu kelompok. Dalam kelompok tukang keruntung factor kejujuran sangat dibutuhkan untuk bergabung dalam kelompok mangkal tertentu. Kejujuran sangat mempengaruhi eksistensi tukang keruntung baik dalam hubungannya dengan sesame tukang keruntung maupun hubungannya dengan tuan took dan tuan barang. Tukang keruntung yang tidak berbuat jujur (sering melarikan barang angkutan) akan dikenali sesame tukang keruntung. Oleh karena itu proses masuknya seseorang dalam rombongan memerlukan waktu cukup lama terutama bila tukang keruntung tidak memiliki hubungan dekat dengan anggota kelompok tukang keruntung. Namun, tidak selamanya tukang keruntung yang terlibat dalam kelompok mangkal memerlukan waktu yang cukup panjang. Hubungan dengan anggota keluarga yang berprofesi sebagai tukang keruntung dapat memudahkan seseorang masuk dalam kelompok mangkal tertentu. Hal ini terjadi dalam kelompok Joko (33 tahun), keponakan Joko yaitu Ian (27 tahun) menawarkan makasudnya untuk menjadi tukang keruntung. Dalam wawancara yang dilakukan 7
ia mengutarakan pengalamannya saat pertama kali menjadi tukang keruntung dan bergabung dalam kelompok mangkalnya saat ini. Kedekatan tempat mangkal turut mempengaruhi hubungan keakraban sesame tukang keruntung. Tukang keruntung yang bekerja dalam wilayah tertentu biasanya akan lebih mudah berinteraksi sesame tukang keruntung di sekitar wilayah tersebut. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Marwan (40 tahun) : “Bergesa-gesa ma’inilah satu tempat lama-lama saling kenal karena satu profesi”. (berbincang-bincang seperti inilah, satu tempat lama-lama saling kenal karena satu profesi). Dalam berkelompok, tukang keruntung biasanya menerima pekerjaan borongan yang membutuhkan tenaga angkut lebih dari satu orang. Tukang keruntung ini menerima pekerjaan mengangkut barang-barang dari tuan took maupun tuan barang. Barang-barang tersebut biasanya dikirim melalui angkutan laut dan angkutan darat yang biasa melintas di kawasan pasar. Kelompok borongan ini ada yang bersifat mengikat dan sementara. Rombongan yang terikat tergantung dari tuan barang yang berlangganan dengan tuan took. Biasanya tuan took membutuhkan persediaan barang dalam skala bulanan. Dalam kondisi ini sangat dibutuhkan tukang keruntung yang beranggotakan orang tetap yang dipilih berdasarkan criteria dari tuan barang maupun jalinan hubungan di antara tukang keruntung. Seperti yang dialami oleh Ian, ia memiliki langganan tuan barang kecap setiap tiga bulan sekali. Barang kecap tersebut diantar melaui truk. Kecap tersebut selanjutnya akan diperdagangkan ke took-toko. Tukang keruntung yang terlibat didalamnya berjumlah sepuluh orang. Masing-masing di antara mereka memiliki hubungan yang saling kenal satu sama lain. Ian sendiri diajak oleh Pamannya Joko untuk masuk ke rombongan kecap.
Solidaritas social Komunitas Tukang Keruntung di Pasar 16 Ilir Palembang Dasar-dasar terbentuknya komunitas tukang keruntung diperlukan adanya unsur kepercayaan. Kepercayaan tidak mucul dengan seketika tetapi terbit dari proses hubungan antar pribadi dari actor-aktor yang sudah lama terlibat dalam perilaku ekonomi secara bersama. Dalam konteks ini terdapat unsur keterlekatan, Granovetter (1985 dalam Damsar, 1997: 33) mengajukan konsep keterlekatan. Konsep ini digunakan untuk menjelaskan fenomena perilaku ekonomi dalam hubungan social. Menurut Granovetter, keterlekatan merupakan tindakan
8
ekonomi yang disituasikan secara social dan melekat dalam jaringan social personal yang sedang berlangsung di antara para actor. Hal ini pun berlaku dalam komunitas tukang keruntung, tukang keruntung akan berhubungan satu sama lain berdasarkan ikatan yang terjalin di antara sesamanya. Ikatan ini diwarnai oleh unsur kepercayaan yang terjalin di antara mereka. Ikatan ini seperti ikatan keluarga (kasus Joko), ikatan tempat aktivitas di toko (kasus Komar), di pangkalan (kasus Iwan). Ikatan yang diwarnai unsur kepercayaan ini diperlukan karena aktivitas tukang keruntung berkaitan dengan sifat kerja yang mengangkut barang tanpa adanya pengawasan yang terusmenerus dari tuan toko, tuan barang maupun sesama tukang keruntung. Tanggung jawab terhadap barang yang diangkut sepenuhnya menjadi resiko tukang keruntung. Bila terjadi suau kesalahan atau hilang maka menjadi resiko tukang kerutung untuk menggantinya atau dengan pertimbangan tertentu akan dimaafkan. Ikatan ini tidak terbit dengan seketika, tetapi diperlukan waktu yang panjang dan akan rusak dengan seketika, tetapi diperlukan waktu yang panjang dan akan rusak dengan seketika bila terjadi pelanggaran atas aturan tersebut. Solidaritas social merupakan salah satu bentuk tindakan social. Dalam komunitas tukang keruntung solidaritas social diwarnai oleh kesadaran tukang keruntung untuk saling membantu dan bekerjasama dengan tukang keruntung maupun dengan orang-orang di sekitarnya. Kesadaran untuk membantu ini antara lain ditunjukkan dengan tidak perhitungan (rekenan) terhadap upah yang harus diterima dari tuan toko. Kesadaran untuk tidak rekenan ini disebabkan oleh tuan toko cukup dikenal oleh tukang keruntung dan langganan tetap harian tukang keruntung. Dalam konteks ini, Mead menggunakan istilah kesadaran sebagai hal yang bergandengan dengan pengalaman yang meliputi organisme yang peka dengan lingkungannya sejauh lingkungan tersebut eksis bagi organisme tersebut (Mulyana, 2003: 76). Dalam konteks ini kesadaran terkait dengan orientasi kelompok luar yang dianggap bernilai bagi tukang keruntung. Menurut Fairchild (dalam Laiya, 1983: 7) solidaritas merupakan kekuatan persatuan internal dari suatu kelompok. Berdasarkan temuan-temuan di lapangan menunjukkan bahwa adanya kekuatan persatuan internal dari suatu kelompok mendorong individu untuk saling membantu dan bekerjasama. Tolong-menolong dan kerjasama ini muncul manakala anggota lain mengalami masalah-masalah dalam pekerjaannya. Masalah-masalah yang mungkin muncul berkaitan dengan kecelakaan kerja (kasus Komar). Maka tukang keruntung yang mengenal Komar memberikan bantuan sukarela untuk 9
meringankan biaya pengobatan. Di sisi lain bantuan pertolongan sesama teman diwujudkan dengan menawarkan angkutan barang kepada tuan barang untuk memanfaatkan jasa tukang keruntung tua. Dalam menawarkan jasa tukang keruntung tua, tukang keruntung muda memiliki kesadaran bahwa tukang keruntung tua tidak akan melarikan barang belanjaan tuan barang. Hal ini ditunjukkan bila tukang keruntung muda yang memberikan jaminan kepada tuan barang bahwa ia adalah keponakan tukang keruntung tua. Di samping itu tukang keruntung muda memiliki kesadaran kelompok bahwa suatu saat ia pasti akan tua. Oleh karena itu, ia terdorong untuk membantu tukang keruntung tua tersebut. Namun, dalam kelompok tukang keruntung bantuan tidak berlaku bagi gerandong yang sering merebut angkutan teman serta perilakunya yang dianggap nyenyes (suka berbicara tanpa tujuan). Sebutan gerandong tidak ditujukan kepada fisiknya seperti pengikut Mak Lampir dalam sinetron (Misteri Gunung Berapi), sebutan tersebut berlaku karena perilakunya yang dianggap merugikan tukang keruntung sehingga untuk membedakannya dengan tukang keruntung lain maka diberlakukan sebutan tersebut. Kedekatan wilayah dan seringnya bekerjasama menimbulkan partisipasi untuk saling membantu melalui sumbangan sukarela. Menurut Laswell dan Kaplan (dalam Susanto, 1985: 40) dari kebiasaan bekerjasama serta solidaritas yaitu integritas dalam perbedaan situasi tercapailah apa yang dikenal sebagai partisipasi. Derajat partisipasi anggota masyarakat merupakan derajat intensitas serta derajat lingkup kesediaan kerjasama seseorang dengan orang-orang dalam kelompoknya. Dalam kasus tersebut partisipasi merupakan wujud dari solidaritas tukang keruntung terhadap tukang keruntung yang mengalami kecelakaan kerja. Dalam konteks lain partisipasi diorientasikan kepada kelompok luar (tuan toko). Partisipasi dengan tuan toko disebabkan tuan toko merupakan orang yang dinilai penting bagi tukang keruntung. Dalam kasus kebakaran yang dialami tuan toko, tukang keruntung yang berada di sekitar pangkalan cenderung membantu mengangkut barang dari toko ke mobil. Perhitungan upah tidak lagi menjadi suatu masalah bagi tukang keruntung tersebut. Tuan toko sudah dianggap keluarga karena mereka sering memberikan sejumlah uang, pakaian atau kain menjelang lebaran. Tukang keruntung menyadari upah yang diterima tidak sesuai namun mereka tidak lagi memperhitungkannya (rekenan).
10
KESIMPULAN Solidaritas social dalam komunitas tukang keruntung memiliki variasi-variasi sesuai dengan kondisi dan situasi Pasar 16 Ilir Palembang. Kondisi dan situasi Pasar 16 Ilir yang kurang menguntungkan menyebabkan sesama tukang keruntung mengembangkan perilaku tolong menolong sebagai manifestasi solidaritas social. Namun, tindakan tolong menolong ini juga dipengaruhi interaksi yang terjalin di antara sesama tukang keruntung. Bagi tukang keruntung yang berdekatan wilayah aktivitasnya menyebabkan tindakan tolong menolong dilakukan secara serta merta (langsung), sedangkan bagi tukang keruntung yang berbeda wilayah mangkal tindakan tolong menolong biasanya bersifat situasional maupun incidental. Tindakan tolong menolong ditujukan pula kepada komunitas pasar yaitu tuan toko. Tindakan kerjasama dan tolong menolong merupakan salah satu strategi survival bagi kelompok masyarakat miskin perkotaan. Strategi survival masyarakat miskin tidak hanya berada di sekitar in group komunitas. Pemberdayaan masyarakat miskin perlu mendapatkan perhatian dengan membentuk suatu lembaga atau forum. Lembaga ini menjadi refresentasi bagi pengembangan modal social bagi komunitas tukang keruntung. Jaminan pengembangan modal social pada akhirnya dapat memberi harapan bagi perubahan kehidupan komunitas menjadi lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Budihardjo, Eko dan Sudanti Hardjohubojo. 1993. Kota Berwawasan Lingkungan. Bandung: Alumni. Bungin, Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Damsar. 1997. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persaada. Hartini dan G. Kartosapoetra. 1992. Kamus sosiologi dan Kependudukan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Laiya, Bambowo. 1983. Solidaritas Kekeluargaan dalam Salah Satu Masyarakat Desa di NiasIndonesia. Jakarta: Gajahmada University Press. Menno, S. dan Mustamin Alwi. 1992. Antropologi Perkotaan. Jakarta: Rajawali Press. Mulyana, Deddy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 11
Nasution. 2001. Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara. Poloma, Margareth M. 1984. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: CV Rajawali. Septiarti, S. Wisni. Masyarakat Kelompok Marjinal dan Permasalahan Pendidikannya (Majalah Cakrawala Pendidikan) Edisi Khusus Dies Mei 1994. Soekanto, Soerjono. 2001. Pengantar sosiologi. Jakarta: CV Rajawali. Soeprapto, Riyadi. 2002. Interaksionisme Simbolik. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar. Supartomo, C. dan Edi Rusdiyanto. 2001. Profil Pedagang Kaki Lima di Kawasan Pinggiran Perkotaan (Studi Kasus Pedagang Kaki Lima di Pinggir Jalan Raya Pamulang-Cirendeau Tangerang) dalam Jurnal Studi Indonesia Vol. 11, No. 2 September 2001. Suriansyah, Yasmin et al. 2001. Lingkungan Binaan yang Terbentuk oleh Usaha survival Masyarakat Marjinal dari Krisis Ekonomi ke Krisis Perkotaan dalam Jurnal Penelitian, Edisi 10 Januari 2001. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Katolik Parahyangan. Susanto, Phil Astrid. 1985. Pengantar sosiologi dan Perubahan social. Jakarta: Bina Cipta. Twikromo, Y. Argo. 1999. Pemulung Jalanan. Yogyakarta: Media Pressindo. Wahyuningsih, Dwi. 1999. Pembentukan Solidaritas Sosial Masyarakat Pasar Tradisional melalui Kelompok Arisan. Yogyakarta: Fisip Sosiologi Universitas Gajahmasa (Skripsi). Zaiyardam dan Dody. Buruh dan Induk Semang: Studi tentang Dinamika social ekonomi Buruh Angkat di Pasar Auakuniang Bukittinggi. Dalam Jurnal Penelitian Andalas No. 33 Tahun XII 2000. Zeitlin, Irving M. 1995. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta: Gajahmada University Press.
12
13