The Paper Bird Songsb a novel by erlin (sampel)
2
B Prolog
Kemeja flanel biru, t-shirt putih, jins hitam.
Mata Keira sudah memanas dan kering karena membaca petunjuk dalam surat itu berulang kali. Tatapannya terpusat pada sesosok pria yang mengenakan pakaian yang sama persis dengan apa yang dituliskan dalam surat. Pria itu juga tampak fokus dengan secarik kertas dalam genggamannya. Surat dari Keira. Tapi, kenapa harus DIA?! pekik Keira dalam hati. Suhu kedai kopi menghangat seiring bertambahnya jumlah pengunjung yang datang. Hujan masih mengguyur kota Bandung; semakin deras seolah-olah tidak akan berhenti. Keira sebenarnya menyukai cuaca seperti ini. Sambil menikmati secangkir cappuccino ditemani lagu-lagu dari Taylor Swift, dia akan menghabiskan waktu dengan membaca atau menulis. Namun, hari ini spesial. Seharusnya spesial! Tidak lama kemudian, pria tadi memasuki kedai kopi. Pandangannya menyapu seluruh ruangan. Keira, yang duduk di pojok ruangan, gatal ingin mengendap-endap kabur lewat pintu keluar. Kalau bisa... 3
Matanya mencari celah untuk kabur, tapi dia mengerang kesal karena pria itu berhasil menghalangi satusatunya akses menuju pintu keluar. Mampus gue, MAMPUS! Masa gue harus akting jadi penderita Alzheimer1? Huh, mana cuma gue yang pake sweater cokelat di sini! Pria tersebut berjalan semakin dekat tanpa menyadari kehadiran Keira. Dalam situasi seperti ini, pura-pura tidak kenal terdengar bagus. Sayangnya, Keira sadar ide itu terlalu riskan. Tengok ke kanan, kanan... YES! Begitu pria itu memunggunginya, Keira langsung beranjak dari tempat. Hati-hati, dia berjalan sembunyi-sembunyi di antara pengunjung. Melawan ketegangan yang ditimbulkan hatinya karena takut tertangkap basah. Yaaak, sedikit lagi, Kei— TAP! Seseorang menahan pundak Keira. Otomatis membekukan seluruh persendian tubuhnya di tempat dia berdiri sekarang. Keira mendesah pasrah saat pria itu berjalan memutar, lalu berhenti di hadapannya. Hatinya menjerit keras. Antara merasa ngeri dan terpesona dalam waktu bersamaan. Kenapa... ―Hei, Gadis Hujan!‖
A
4
B “Tell me what you see, am I insane?”
Tiga bulan sebelumnya. When did everything begin to change? Spending every night alone behind this screen I’ve been working endless in my brain Still I can’t seem to find a place between...2 ...
09.45AM Mori: Kei, lo di mana? Ngampus, gak?
Bola
mata Keira berputar. Otaknya sedang malas untuk berpikir. Kepenatan yang ditimbulkan oleh padatnya jadwal membuatnya jenuh. Baru memikirkan tugasnya yang menumpuk di awal semester empat, Keira sudah melambaikan bendera putih. Ujung-ujungnya... bolos lagi. Ponsel bergetar. Pesan baru; dari orang yang berbeda. Wafi: Heh, kok gue gak liat lo gentayangan di kampus?
Bibir Keira mengerucut. Keira: Males, Waf. Boriiiiing! Wafi: Well, kayaknya ada dosen baru di jurusan lo.
5
Langkahnya terhenti, lalu Keira duduk di sebuah bangku taman yang terletak tepat di bawah pohon berdahan rindang. Dosen baru? Kenapa Wafi yang tahu padahal kita kuliah di jurusan yang berbeda? Keira: Siapa, Waf? Udah ‘senior’? Wafi: Eeeng, kayaknya asdos. Masih muda.
Asisten dosen? Keira lalu mengecek jadwal kuliah yang tercantum pada note ponselnya. Rabu: 09-00 – 10.40 – Comparative Literature. Hari ini adalah pertemuan kesatu untuk mata kuliah tersebut, padahal perkuliahan semester ini sudah dimulai sejak dua minggu yang lalu. Dosennya mungkin terlalu sibuk atau sakit sampai harus mengutus seorang asdos. Mori: KEIRA, NYESEL LO GAK MASUK! ADA ASDOS GANTENG! Keira: Itu capslock-nya di turn off dulu, dong, Mor. Seganteng apa, sih? Mori: JAKE GYLENHAL!!! Keira: Gyllenhaal, Sayang. Eh, bule, dong? Mori: Menurut lo? Weeeek! Salah sendiri gak masuk! Kepo, kaaaan? Hihi.
Kepalanya mendongkak saat sinar matahari tiba-tiba meredup. Awan-awan kelabu berarak di langit seperti parade kertas buram raksasa. Sudah bisa dipastikan, tengah hari nanti akan turun hujan. Namun, Keira malas pulang ke rumah pamannya secepat ini. Aduh, pake acara lupa bawa buku! Susah emang jadi anak rantau gini! Keira lalu teringat pada perdebatan sengit di antara dia dengan orang tuanya dua tahun yang lalu. Dia keukeuh in6
gin kuliah di Bandung dan tinggal bersama pamannya. Sementara orang tuanya, yang dinilai terlalu posesif, ingin Keira tetap tinggal di Jakarta. Dewi Fortuna ternyata berpihak padanya. Tak lama berselang, sebuah universitas negeri di Bandung memberikan beasiswa untuk Keira. Petualangannya sebagai anak rantau dimulai satu bulan sebelum Ospek digelar. Berbekal peta tua dari pamannya dan GPS pada ponsel, dia sanggup ‗menaklukan‘ kota Bandung dalam kurun waktu dua minggu, meski sempat tersesat beberapa kali. Seandainya Mama dan Papa tahu apa maksud gue pindah ke sini sebenarnya apa... Paru-parunya menghirup aroma pepohonan di taman. Tenang, Kei, dua tahun lagi. Dua tahun lagi dan mereka akan mengerti... Guntur membelah lamunan Keira. Kepalanya kembali menengadah ke atas dan mengingatkannya pada sesuatu yang dia tinggalkan di rumah... ―JEMURAN GUE!‖
A Rumah Pak Warjo, paman Keira, terletak di sebuah komplek perumahan kecil yang asri. Terpencil – jauh dari perkotaan, tapi faktor tersebut yang justru membuatnya betah tinggal di sana. Selain itu, komplek perumahan yang nyaman tersebut mempunyai keunikan yang kini jarang dilihat di rumah-rumah modern: kotak surat. Sebagian besar pria paruh baya di sana pernah bekerja sebagai tukang pos. Sebagian lagi, termasuk Pak Warjo, memutuskan untuk pensiun. Kotak surat Pak Warjo bertengger di samping pagar. Masih berdiri kokoh dengan ukiran Durmajinatro, nama keluarga besar Keira, tertulis indah dengan cat putih dan hitam menyelubungi tubuh kaleng setengah lingkarannya. 7
Walaupun sekarang jarang ada surat yang mampir ke dalam kotak tersebut, Pak Warjo (dan para keluarga di komplek tersebut) tetap mempertahankannya. Begitu pula dengan Keira. Baginya, berkorespondensi dengan cara tradisional tidak pernah lekang oleh waktu. Unik. Entah ada berapa kardus yang digunakan untuk menyimpan surat-surat dari sahabat penanya. Namun, sekitar lima tahun terakhir, jumlah surat yang dia terima kian menyusut. Setibanya di rumah Pak Warjo, Keira melihat pamannya sedang menyiangi tanaman obat peliharaan almarhumah istrinya. Pria paruh baya itu tampak kalem dengan profil yang masih tegap menjelang masa senjanya. Rambut putih mengintip dari balik topi kebunnya – mengingatkan Keira pada ayahnya di Jakarta. Keira menutup pagar, lalu melangkah ke arah jemuran saat Pak Warjo, tanpa membalikan tubuh, bertanya, ―Nggak kuliah, Kei?‖ ―Eeeng...‖ Keira menumpuk pakaiannya di dalam keranjang. Dia membiasakan diri untuk hidup mandiri di rumah pamannya, meski ada Bi Asri yang membantu. ―Dosennya nggak masuk lagi, Pakde.‖ Pak Warjo menyirami tanaman kumis kucing yang baru tumbuh. Dia tahu Keira berbohong, tapi memakluminya karena yakin Keira punya alasan tersendiri. ―Kalau mau makan, ada cah kangkung buatan Bi Asri di dapur.‖ ―I-Iya, Pakde. Kei masuk dulu, ya.‖ Keira membawa keranjang pakaiannya yang penuh dan membuka pintu kamarnya dengan kaki. Dia lalu menaruh keranjang di atas kasur, melepas flat shoes, dan melempar tote bag ke pojok kamar.
8
Kotak surat yang terlihat dari jendela kamar menarik perhatiannya. Aduh, sampai lupa belum cek kotak surat! Pak Warjo sedang membakar sampah ketika Keira melesat keluar menuju kotak surat. Dia hampir terlonjak karena menemukan secarik amplop putih di dalamnya – surat pertama bulan ini! Namun, kebahagiannya berubah menjadi penasaran saat mengetahui alamat Pak Warjo maupun si pengirim tidak tercantum di badan amplop. ―Pakde, tadi pagi ada tukang pos ke sini?‖ tanya Keira seraya mengacungkan amplopnya. Pak Warjo kali ini melirik ke arah Keira. Keningnya mengernyit. ―Setahu Pakde tidak ada tukang pos hari ini yang datang.‖ Keira hanya manggut-manggut, sebelum kembali ke kamarnya. Melupakan tugas melipat pakaian karena perhatiannya tersedot oleh si surat misterius. Keira menemukan kertas yang terlipat saat mengarahkan amplop itu pada sumber cahaya. Hati-hati, dia membukanya – takut merusak kertas di dalam amplop tersebut. Heh? Burung kertas? Kertas dengan lipatan aneh itu ternyata dibentuk menjadi burung. Guratan hitam menyembul di balik sayapnya. Hati-hati, Keira merombak lipatan burung kertas itu ke dalam bentuk bujur sangkar yang sempurna. Ternyata, ada pesan yang tertulis di atasnya.
Hei, K! Kamu pasti kaget menerima surat ini dalam bentuk burung kertas. Oke, biar kujelaskan; 9
ingatkah hari-hari itu... di mana kita menghabiskan waktu bersama selama satu minggu untuk membuat seratus burung kertas? Delapan tahun berlalu dan aku teringat kenangan itu gegara ‘surat’ yang kamu tulis di blog. Ya, aku tidak sengaja menemukannya! ‘Sayap-Sayap Harapan’ – itu judulnya, kan? Isinya mengejutkanku – sebuah pengakuan terang-terangan tentang cinta masa kecilmu dan aku adalah orang beruntung yang mendapatkannya. Nah, sekarang sudah ingat, kan? Iya, aku Dre – si bocah misterius yang dulu dikucilkan. Kamu satu-satunya orang yang mau menemani dan mengobrol denganku. Aku tahu, kini benakmu pasti dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, aku ingin memulainya pelan-pelan. Jika kamu ingin membalas, K, masukan suratmu ke amplop yang sama. Lipat juga dalam burung kertas dan masukan ke kotak suratmu. Terima kasih atas perhatiamu, Dre. Surat itu jatuh ke atas pangkuan Keira. Pikirannya tibatiba mengawang. Benarkah? Ketika Keira menulis SayapSayap Harapan, dia tidak pernah berekspektasi jika Dre 10
akan membacanya. Pipinya memanas karena merona. Dia dengan cepat menyambar netbook dan memasang modem untuk koneksi Internet. Keira membaca kembali SayapSayap Harapan di blognya. Hei, D! Apa kabar? Lama sekali aku tidak mendengar kabarmu! Kali
terakhir kita bertemu saat perpisahan SD, ya? Tahukah kamu bahwa aku ingin mengungkapkan sesuatu di hari berhujan itu? Dre, aku menyukaimu. Aku tahu pasti terdengar konyol karena usia kita saat itu belum genap 12 tahun. Mungkin itu cinta
monyet yang sering dibicarakan orang banyak. Namun, tetap saja itu berkesan bagiku. Hei, ingat saat kita membuat seratus burung kertas? Aku
menjulukinya sebagai ‘sayap-sayap harapan’ karena setiap burung kertas, konon, menyimpan sebuah doa yang baik untuk penerimanya. Aku tidak menyangka kamu akan membantuku dan
kecepatanmu melipat kertas-kertas putih menjadi burung cantik itu sangat menakjubkan! Sekarang, kamu ada di mana, Dre? Kangen! Seandainya saja aku bisa membuatkanmu burung kertas terakhir sebelum kita berpisah...
11
Kalau kamu tidak sengaja membaca surat ini, maukah kamu membalasnya? Kembali mengenang masa-masa kecil kita yang penuh warna.
Terima kasih, karena telah menemani masa kecilku,
Keira. Satu hal yang ingin Keira lakukan: tertawa miris. Dre, entah di belahan dunia mana, menemukannya! Keira tidak dapat membendung gejolak yang membuncah di dalam hatinya – seperti sungai yang meluap karena hujan besar. Dre, DRE! Masa lalunya kembali lagi dan Keira tidak akan melepasnya begitu saja. Dia akan menuruti permintaan Dre untuk memulai hubungan mereka. Pelan-pelan.
A ―Eww, awas, Kei! Jangan-jangan itu cuma orang iseng aja yang ngirimin surat ke kotak surat lo! Apalagi sampai nggak ada alamat gitu!‖ Respon Mori membuat Keira jengkel. Biasanya Mori paling bersemangat kalau mendiskusikan drama percintaan yang terjadi di Fakultas Sastra maupun Fakultas Seni yang gedungnya terletak berseberangan di kampus mereka. Menurut Mori, drama-drama yang terjadi di sini lebih seru dan menarik dibandingkan drama Korea di televisi. ―Gue yakin itu Dre! Nggak ada yang tahu kisah tentang seratus burung kertas itu selain kita berdua!‖ Bola mata Mori berputar. ―We’ll see...‖ 12
Keira semakin terpancing untuk mengusut alasan dibalik kelesuan Mori hari ini. Tidak mungkin PMS, justru Mori akan semakin ‗gila‘ di saat-saat seperti itu. ―Lo lagi nggak enak badan, Mor?‖ Mori meringis, lalu mencondongkan kepalanya pada Keira. Bola matanya yang hitam berkilat-kilat mengirimkan gelombang pada mata Keira. Itu artinya, ada masalah baru yang terjadi di jurusan mereka minggu ini. Mori berbisik, ―Asdos yang gue ceritain tempo hari itu... nyebelin!‖ Keira melongo. ―Katanya ganteng kayak Gyllenhaal?‖ ―Ganteng yang ini nggak sepaket sama behave yang baik, Kei! Dia kayaknya titisan dari dosen killer kita tahun kemarin!‖ Mori mengibaskan rambut panjang ikalnya. ―Kalau ada yang ketauan lost di tengah penjelasan, dia minta kita buat ngulang materi yang udah dijelasin... di depan kelas!‖ ―Yeww, alamat gue bolos lagi minggu depan!‖ Keira tidak bisa membayangkan Jake Gyllenhaal versi horor yang diceritakan Mori. ―Eh, nama, nama?‖ ―Nate... Nathan... ya, kalau nggak salah di antara dua nama itu! Asli bule, Kei, tapi Bahasa Indonesia-nya lancar banget! Jadi, kita nggak bisa ngata-ngatain dia, deh! Sayang banget dia ganteng.‖ ―Umur, umur?‖ ―Idih, Keira! Lo kok jadi kepoan gitu? Kalau berani, cek KTP di dompetnya langsung, deh! Gue mendingan muter ke gedung Fakultas Seni daripada papasan sama dia!‖ sembur Mori yang memancing gelak tawa Keira. Membayangkan asdos bernama Nate atau Nathan siang itu cukup menghibur, meski membuatnya enggan dengan reputasi kedisiplinannya. ―Hei Austen!‖ 13
Mori dan Keira menoleh ke samping. Seorang cowok, dengan potongan rambut pendek dengan bekas cukuran di wajahnya, membawakan pesanan makan siang mereka. Idola dari jurusan Seni Musik – Wafi. Ketiganya sudah berteman sejak masa-masa Ospek. ―Stop calling me Austen, Wafi! Jadi berasa pake korset, deh, gue!‖ seru Mori seraya mengambil piring nasi goreng dan es teh manis. ―By the way, kenapa lo yang bawain pesenan kita? Part time di kantin, ya?‖ ―Kenapa, nggak boleh? Suka-suka gue, dong!‖ Wafi lalu menoleh pada Keira yang asyik menyeruput jus alpukatnya. ―Hei, Brönte!‖ Keira memelototinya. ―Kenapa giliran gue penulis klasiknya harus suram? Virginia Wolf, kek! Lo siapa?‖ ―Ernest Hemingway!‖ celetuk Wafi dengan tangan terkepal ke udara. ―’I’m not brave anymore, darling. I’m all broken. They’ve broken me!3’‖ ―Bukan. Lo Vladimir Nabokov!‖ celetuk Mori yang disambut gelak tawa Keira. ―’Lo. Li. Ta.’‖ Meski kuliah di jurusan Seni Musik, Wafi memiliki ketertarikan tersendiri dengan bidang sastra. Saat bertemu dengan Keira dan Mori dalam satu kelompok di Ospek universitas, pikiran mereka lanssung tersambung. Dari sana, mereka bertiga sering menghabiskan waktu untuk mendiskusikan buku-buku dari berbagai penulis dan genre. Selain itu, Mori dan Keira juga sering meminta rekomendasi musik yang bagus dari Wafi. ―Gue denger si asdos bule itu jadi trending topic minggu ini, ya, di jurusan Sastra Inggris?‖ Mori menjentikan jarinya dan mengangguk. ―Selain itu, Keira—―
14
―MORIIII!!!!‖ Keira membungkam mulutnya dengan kerupuk. ―Lady’s stuff!‖ Wafi mendengus kesal. ―Oh, mentang-mentang cuma gue yang cowok di sini, jadi ada diskriminasi gender untuk gosip juga, ya? Fine, fine.‖ Mori terbatuk-batuk ingin bicara, tapi Keira menyela cepat. ―Sorry, Waf, yang itu emang masalah cewek. Lo dong cerita... ada lagu baru, nggak?‖ Pertanyaan Keira tadi sanggup mengalihkan perhatian Wafi. Cowok itu langsung menceritakan lagu-lagu baru yang dipersiapkan band-nya. Mori mendelik penuh rasa curiga pada Keira. Dia sangat yakin, kalau sahabatnya masih terikat dengan sebuah perasaan lebih pada Wafi.
A
Suatu kondisi di mana sel-sel saraf di otak mati, sehingga sinyal-sinyal otak sulit ditransmisikan dengan baik. 1
2
Versus the Mirror by States
3
A Farewell to Arms (Ernest Hemingway)
15