The 1st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia Depok, 7‐9 November 2007
KOMITE AUDIT, KOMISARIS INDEPENDEN DAN MANAJEMEN LABA: STUDI KASUS PERUSAHAAN DI BURSA EFEK JAKARTA
SAFRIDA RUMONDANG PARULIAN
Program Pascasarjana Ilmu Akuntansi FEUI
Abstraksi
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara komite audit dan komisaris independen, dengan praktek manajemen laba (earnings management) dalam laporan keuangan yang dipublikasikan. Hipotesis penelitian adalah bahwa komite audit dan komisaris independen memiliki korelasi negatif dengan manajemen laba. Untuk komite audit dan komisaris independen, penelitian ini menggunakan data yang berasal dari pengumuman BEJ tentang pembentukan komite audit dan pengangkatan komisaris independen. Sementara manajemen laba dicerminkan oleh discretionary accruals yang dihitung dari model Jones yang dimodifikasi. Dengan persamaan regres dua tahap, penelitian ini menemukan bukti bahwa komite audit memiliki hubungan yang negatif siknifikan dengan tingkat akrual diskresi yang negatif. Ini berarti bahwa keberadaan komite audit berasosiasi dengan income decreasing earnings management.
Komite audit juga terbukti memiliki hubungan
yang positif dengan akrual diskresi yang positif, yang berarti bahwa komite audit yang sesuai dengan ketentuan BEJ justru ditemukan pada perusahaan yang melakukan manajemen laba secara income increasing. Komisaris independen dalam penelitian ini tidak terbukti memiliki hubungan siknifikan dengan praktek manajemen laba. Ada atau tidaknya komisaris independen yang sesuai dengan ketentuan BEJ tidak dapat diasosiasikan dengan praktek manajemen laba yang dilakukan perusahaan. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa peranan komite audit dan komisaris independen dalam perusahaan, dan peraturan BEJ yang berkaitan dengan aspek corporate governance, belumlah efektif. Di samping itu, penelitian ini menemukan bahwa variabel
tingkat leverage dan pemilihan auditor eksternal
Bridging the Gap between Theory, Research, and Practice
1
The 1st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia Depok, 7‐9 November 2007 ternyata tidak cukup bisa menjelaskan praktek manajemen laba. Hanya variabel ukuran perusahaan (size) yang ditemukan memiliki hubungan negatif dengan income increasing discretionary accruals.
Kata kunci:
komite audit, komisaris independen, corporate governance, manajemen laba, discretionary accruals
1. Latar Belakang Banyak penelitian telah melaporkan keberadaan manajemen laba sebagai suatu sarana pencapaian keuntungan bagi perusahaan atau manajemen di berbagai aspek ekonomi. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh
Healy (1985), Ayres
(1986), DeAngelo (1988), Trombley (1989), Jones (1991), Cahan (1992), Perry dan Williams (1994), Gaver, Gaver dan Austin (1995), Burgstahler dan Dichev (1997), Gumanti (1998), dan Rangan (1998 ) dan lainnya. Manajemen laba bisa mempengaruhi investor dengan adanya informasi yang tidak benar. Pasar modal menggunakan informasi keuangan untuk menentukan harga dan investor menggunakan informasi keuangan untuk memutuskan apakah akan membeli, menjual atau menahan surat berharga. Efesiensi pasar dipengaruhi oleh informasi yang mengalir ke pasar modal. Jika informasinya tidak betul, maka tidak mungkin pasar akan menilai surat berharga dengan benar.
Dengan demikian,
manajemen laba mengaburkan kinerja sesungguhnya dan mengurangi kemampuan investor untuk membuat keputusan. Motivasi yang mendorong perusahaan melakukan manajemen laba ada berbagai macam. Dye, 1988; Trueman dan Titman, 1988,
menemukan
bahwa
manajemen laba terjadi karena motivasi management buyout. Easterwood (1997) dan Erickson dan Wang (1999) menemukan bukti praktek manajemen laba dengan motivasi untuk melakukan pengambilalihan perusahaan dan merger. Hubungan antara corporate governance dengan praktek manajemen laba juga telah banyak diteliti. Di antaranya, yaitu Beasley (1996), Klein (2003), Abbott, Parker dan Peters (2000) yang menemukan adanya hubungan antara praktek good corporate governance dengan rendahnya kecurangan dalam laporan keuangan,
Bridging the Gap between Theory, Research, and Practice
2
The 1st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia Depok, 7‐9 November 2007 Chtourou, Bedard dan Courteau (2001) yang meneliti hubungan antara GCG dan manajemen laba menemukan bahwa dewan direktur dan komite audit yang efektif membatasi aktivitas manajemen laba. Ching, Firth dan Rui (2002)
menemukan
bukti bahwa perusahaan yang melaksanakan seasoned equity offerings melakukan manajemen laba dan hal tersebut
berhubungan dengan struktur
corporate
governance dari perusahaan. Berbagai badan independen yang meneliti praktek GCG seperti Joint Committee on Corporate Governance (2001);US Securities and Exchange Commission (SEC,2000) dan UK Cadbury Committee (1992) di samping Blue Ribbon Committee, menyimpulkan bahwa praktek GCG tidak hanya mengurangi kemungkinan terjadinya kecurangan dalam laporan keuangan, tapi juga mengurangi kemungkinan terjadinya manajemen laba, yaitu bahwa laporan laba lebih mencerminkan keinginan manajemen daripada kinerja keuangan perusahaan yang sesungguhnya. Di
Indonesia, ketiadaan good corporate governance
yang luas pada
perusahaan-perusahaan di Indonesia dianggap sebagai salah satu faktor utama yang pertama kali menyebabkan terjadinya krisis ekonomi dan juga sebagai penambah keparahan dan lamanya krisis tersebut berlangsung (Baird, 2000). 1
Dalam
penelitian ini peneliti ingin mengeksplorasi secara empiris peranan dari komite audit dan komisaris independen yang menjalankan
mekanisme
corporate
governance terhadap proses pelaporan keuangan pada perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Jakarta. Maka, menjadi pertanyaan bagi peneliti adalah: apakah keberadaan komite audit dan pengangkatan komisaris independen pada perusahaan yang tercatat di bursa dapat mengendalikan praktek manajemen laba dalam laporan keuangan ? 2.
Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis
Manajemen Laba Schipper (1989) menyatakan bahwa manajemen laba adalah suatu intervensi yang memiliki maksud tertentu dalam proses pelaporan keuangan eksternal. Tujuannya yaitu untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Healy and Wahlen (1999) menemukan bahwa manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan judgement
Bridging the Gap between Theory, Research, and Practice
3
The 1st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia Depok, 7‐9 November 2007 khusus dalam pelaporan keuangan dan dalam merekonstruksi transaksi untuk mengubah laporan keuangan sehingga menyesatkan beberapa stakeholder tentang kinerja ekonomi perusahaan yang sesungguhnya atau untuk mempengaruhi hasilhasil kontraktual yang tergantung pada angka-angka laporan akuntansi. Motivasi yang ditemukan melatarbelakangi pengelola perusahaan dalam melakukan manajemen laba yaitu untuk memaksimalkan bonus (Healy,1985), untuk memenuhi persyaratan tertentu dalam kontrak hutang (Sweeney,1994; DeFond dan Jiambalvo,1994; DeAngelo dan Skinner, 1994), atau untuk mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat
yaitu Jones (1991), Cahan (1992) dan Na’im dan
Hartono (1996). Scott (1997)
menjelaskan motivasi praktek manajemen laba, yaitu:
untuk mengurangi pajak yang harus dibayar, dalam pergantian CEO dan untuk kepentingan initial public offerings atau right issue
agar saham
dapat dijual
dengan harga yang lebih tinggi. Manajemen laba dapat dilakukan dengan berbagai metode, yaitu metode penjualan asset (Bartov, 1993), perubahan dalam pengeluaran penelitian dan pengembangan (Bushee, 1998), dan keputusan laporan keuangan seperti perubahan metode akuntansi (Watts and Zimmerman, 1986) dan pilihan-pilihan akrual (Healy, 1985). Corporate Governance Masalah corporate governance berakar dari pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian. Tujuannya yaitu agar pemilik perusahaan memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin dengan biaya yang seefisien mungkin dengan dikelolanya perusahaan oleh tenaga-tenaga profesional. World Bank 2 menjelaskan adanya kerangka disiplin/ pengendalian dalam menjelaskan masalah good corporate governance, yaitu The Internal dan External Architecture. Mekanisme pengendali eksternal terdiri dari pasar, lembaga keuangan, standar-standar (akuntansi, audit), hukum dan peraturan. Sementara mekanisme pengendalian internal dilaksanakan oleh komponen-komponen yang bersinggungan
1
Mark Baird, “Transparency and Corporate Governance in Indonesia”, The Jakarta Post, 29 April 2000 2 World Bank.”Corporate Governance:A Framework for Implementation”.1999
Bridging the Gap between Theory, Research, and Practice
4
The 1st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia Depok, 7‐9 November 2007 langsung dengan pengambilan keputusan perusahaan, yaitu pemegang saham, dewan komisaris, dewan direksi dan manajemen. Dewan komisaris memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam menjalankan pengendalian internal perusahaan. Maka, tugasnya dijalankan dengan cara membentuk suatu badan/komite yang biasa dikenal dengan komite audit. fungsi tradisionalnya adalah mengawasi proses penyiapan laporan keuangan. Namun pada perkembangannya perannya lebih dari sekadar pengawas pelaporan keuangan, melainkan untuk meningkatkan efektivitas pengendalian internal perusahaan. Bursa Efek Jakarta membuat peraturan yang memuat aspek Good Corporate Governance untuk pencatatan di BEJ yang berhubungan dengan komite audit dan komisaris independen. Sebagian dari peraturan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Setiap emiten di BEJ harus memiliki Komisaris Independen yang jumlahnya secara proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan Pemegang Saham Pengendali (publik) dengan ketentuan jumlah Komisaris Independen sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari jumlah seluruh anggota komisaris. Yang dimaksud Komisaris Independen adalah komisaris yang tidak terafiliasi dengan pemilik saham pengendali dan/atau komisaris dan/atau direksi lainnya, serta tidak menjabat rangkap sebagai direktur di perusahaan lain yang terafiliasi, serta diangkat oleh pemegang saham non pengendali dalam RUPS. 2. Setiap Emiten harus memiliki Komite Audit yang sekurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang anggota dimana salah satunya adalah Komisaris Independen, dan anggota lainnya merupakan pihak ekstern yang independen dan memiliki kemampuan dibidang akuntansi dan/atau keuangan. Hubungan antara Manajemen Laba dan Corporate Governance Beasley, 1996; menemukan bahwa masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaporan keuangan perusahaan sering dialamatkan pada lemahnya corporate governance dalam perusahaan dan /atau lemahnya filosofi pengendalian oleh manajemen. Juga bahwa komite audit
yang lebih independen dari pengaruh
manajemen akan lebih baik dalam mengawasi proses pelaporan keuangan
Bridging the Gap between Theory, Research, and Practice
5
The 1st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia Depok, 7‐9 November 2007 Cadbury (1995) telah memfokuskan komposisi dari komite audit sebagai faktor yang penting dari kualitas pelaporan keuangan. Dechow, Sloan dan Sweeney (1996) menemukan
bahwa kemungkinan terjadinya manajemen laba secara
sistematis berhubungan dengan struktur corporate governance yang lemah dan kelemahan dalam pengawasan manajemen. Chtourou, Bedard dan Courteau (2001) yang meneliti hubungan antara GCG dan manajemen laba pada perusahaan di Kanada menemukan bahwa dewan direktur dan komite audit yang efektif membatasi aktivitas manajemen laba. Klein (2000) yang meneliti pengaruh karakteristik komite audit dan dewan
terhadap praktek
manajemen laba pada perusahaan di Amerika menemukan hubungan nonlinear yang negatif antara independensi komite audit dengan manajemen laba. Klein juga menyimpulkan bahwa struktur dewan yang lebih independen akan lebih efektif dalam mengawasi proses pelaporan keuangan perusahaan. Xie, Davidson dan Dadalt, juga meneliti perusahaan di Amerika Serikat (2001), menguji peranan dewan direksi dan komite audit dalam mencegah praktek manajemen laba. Hasilnya, aktivitas dewan dan komite audit (yang diproksi dengan jumlah pertemuan yang mereka lakukan) dan keunggulan bidang keuangan
latar belakang dalam
mereka bisa menjadi faktor penting untuk membatasi
kemungkinan manajer melakukan praktek manajemen laba. Berdasarkan hasil dari penelitian-penelitian tersebut, maka hipotesa dalam penelitian ini adalah : H1
:” tingkat akrual diskresi memiliki korelasi negatif dengan komite
audit ” H2
:”tingkat akrual diskresi memiliki korelasi negatif dengan prosentase
komisaris independen dalam perusahaan ” Tingkat leverage, size dan auditor eksternal Tingkat leverage (total aset/total equity), bersama dengan
size (ukuran
perusahaan) ditemukan memiliki hubungan yang signifikan dengan manajemen laba pada studi-studi di AS (DeFond and Jiambalvo,1994; Dechow, Sloan dan Sweeney, 1995; Dechow et al. 1996, Becker et al. 1998; Barthov,2000 ).
Bridging the Gap between Theory, Research, and Practice
6
The 1st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia Depok, 7‐9 November 2007 Penelitian yang dilakukan oleh Lobo dan Zhou (2001) menemukan bahwa rasio utang berkorelasi secara negatif dengan manajemen laba. Dari sisi lain, semakin besar utang yang dimiliki perusahaan maka semakin ketat pengawasan yang dilakukan oleh kreditor, sehingga fleksibilitas manajemen untuk melakukan manajemen laba semakin berkurang Size (Ukuran Perusahaan) Penelitian DeFond menemukan bahwa ukuran perusahaan berkorelasi secara positif dengan manajemen laba. Becker et al (1998) justru menggunakan variabel ini karena perusahaan yang besar diperkirakan lebih peduli terhadap pelaksanaan corporate governance.. Auditor Eksternal Chtourou, Bedard dan Courteau (2001) menggunakan
auditor
sebagai
variabel kontrol dalam penelitian yang menguji hubungan manajemen laba dan GCG. Abbott dan Parker (1999) juga
menemukan bahwa komite audit yang aktif dan
independen dalam perusahaan berhubungan dengan meningkatnya kualitas audit dalam perusahaan. Van Tendeloo dan Van Straelen (2003), bahkan menemukan di Jerman dan Swiss bahwa perusahan yang mengadopsi International Financial Reporting Standard, justru tingkat discretionary accrualsnya meningkat, kecuali perusahaan yang diaudit oleh auditor Big Five. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh DeFond and Jiambalvo (1994); Becker, DeFond, Jiambalvo, and Subramanyam (1998), menemukan bahwa sedikit auditor Big Five yang mengizinkan praktek manajemen laba daripada auditor yang bukan Big Five. Berdasarkan hal di atas, penelitian ini akan menggunakan variabel-variabel kontrol tersebut dengan hipotesis : H3
:” tingkat akrual diskresi memiliki korelasi positif dengan tingkat leverage ”
H4
:”tingkat akrual diskresi memiliki korelasi negatif dengan ukuran perusahaan ”
H5
:” tingkat akrual diskresi memiliki korelasi negatif dengan auditor eksternal ”
Bridging the Gap between Theory, Research, and Practice
7
The 1st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia Depok, 7‐9 November 2007 3. Sampel, Data dan Metodologi Sampel Populasi penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Jakarta periode 2002, karena peraturan BEJ tentang pengangkatan komite audit dan komisaris independen dimulai tahun 2001. Perusahaan keuangan dan perbankan dikeluarkan dari sampel karena memiliki struktur pelaporan yang berbeda dengan perusahaan di industri lainnya. Dari 274 perusahaan nonkeuangan, sebanyak 30 perusahaan datanya tidak lengkap sehingga dikeluarkan dari sampel. Jumlah akhir perusahaan yang menjadi sampel adalah 244. Data Data tentang komite audit dan komisaris independen diperoleh dari pengumuman yang dikeluarkan oleh Bursa Efek Jakarta No. Peng.4247/BEJPEM/09-2002 tentang Pengangkatan Komisaris Independen dan Pembentukan Komite Audit. Sementara data tentang corporate governance lainnya dan data kuantitatif diperoleh dari Pusat Referensi Pasar Modal BEJ serta Indonesia Capital Market Directory tahun 2003. Model Penelitian Akan dilakukan dua tahap pengujian untuk menguji hipotesa penelitian, sebagai berikut : a. Tahap Pertama: Mengukur Akrual Nondiskresi dan Akrual Diskresi Jones (1991) menawarkan suatu model untuk memisahkan total akrual menjadi nondiscretionary dan discretionary accruals. Model Jones ditujukan untuk menghitung akrual yang diharapkan terjadi seiring dengan berubahnya aktivitas operasional perusahaan yaitu nondiscretionary accruals. Selisih antara total akrual dengan nondiscretionary accruals akan menggambarkan discretionary accruals atau akrual yang dengan sengaja diterapkan manajemen untuk tujuan tertentu. Salah satu kelemahan model Jones adalah tidak dibedakannya akrual yang berasal dari perubahan penjualan dengan perubahan aktiva, mengingat sebagian besar penjualan dilakukan secara kredit sehingga juga akan menimbulkan perubahan
Bridging the Gap between Theory, Research, and Practice
8
The 1st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia Depok, 7‐9 November 2007 pada sisi aktiva khususnya akun piutang. Karenanya Dechow, Sloan dan Sweeney (1995) mengajukan suatu model yang merupakan modifikasi dari model Jones untuk memisahkan akrual diskresi dan akrual nondiskresi. Berikut adalah ringkasan langkah-langkah dari tahap pertama yang akan dilakukan: 1) Menghitung Akrual Total untuk tiap perusahaan sampel dengan persamaan dengan model Jones TACCit = EBXTit – OCFit
(1)
2) Melakukan regresi untuk menentukan koefisien α1, α2 , α3dengan model Jones yang dimodifikasikan sebagai berikut : TACCit = α1(1/TAi,t-1) + α2(∆REVit - ∆RECit) +α3PPEit + εit (2) 3). Menghitung diskresi nonakrual dengan cara memasukkan koefisien α1, α2 , α3 hasil regresi persamaan (3) ke dalam persamaan berikut: NDACCit = α1(1/TAi,t-1) + α2(∆REVit - ∆RECit) +α3PPEit + εit (3) 4). Menghitung diskresi akrual dengan persamaan: DACCit = TACCit - NDACCit. TACCit
(4)
= total akrual untuk perusahaan i untuk tahun t, dibagi total aset untuk perusahaan i pada akhir tahun t-1
EBXTit
=
laba sebelum pajak dan pos-pos luar biasa untuk perusahaan i pada akhir tahun ke-t
OCFit
= arus kas dari aktivitas operasi perusahaan i pada akhir tahun ke-t
TAi,t-1
=
∆REVit
= perubahan dalam pendapatan untuk perusahaan i untuk tahun t,
total aset untuk perusahaan i pada akhir tahun t-1 dibagi total aset untuk perusahaan i pada akhir tahun t-1
∆RECit
= perubahan dalam piutang bersih untuk perusahaan i untuk tahun t, dibagi total asset untuk perusahaan i pada akhir tahun t-1
PPEit
= aktiva tetap perusahaan I pada periode t dibagi total asset perusahaan I pada periode t-1
DACCit
= akrual diskresi perusahaan i pada akhir tahun ke-t
NDACCit.
= akrual nondiskresi perusahaan i pada akhir tahun ke-t
Bridging the Gap between Theory, Research, and Practice
9
The 1st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia Depok, 7‐9 November 2007 B.
Tahap Kedua: Model Regresi Cross-Sectional Untuk Melihat Pengaruh Corporate Governance Terhadap Praktek Manajemen Laba Model regresi yang digunakan untuk melihat hubungan antara praktek
manajemen laba dengan corporate governance adalah model yang diadaptasi dari model-model
yang
digunakan oleh Klein (1993), Ching, Firth, Rui (2002),
Chtourou, Bedard dan Courteau (2001), dan Xie, Davidson, Dadalt (2001) sebagai berikut: DACCi,t =
β0 + β1KOMADi,t + β2KOMIN i,t-1 + β3AUDi,t + β4 LNSIZEi,t+ β5LEVi,t + εi,t
KOMAD
(6)
: Komite Audit, diberi nilai dengan ketentuan sbb: 0
jika perusahaan belum membentuk komite audit
1
jika perusahaan telah membentuk komite audit tetapi belum sesuai dengan ketentuan BEJ
2
jika perusahaan telah membentuk komite audit sesuai dengan ketentuan BEJ
KOMIN
:
Komisaris
Independen.
Nilainya
adalah
prosentase
kesesuaiannya dengan ketentuan BEJ. Data prosentasenya didapat dari pengumuman BEJ No. Peng.4247/BEJ-PEM/9-2002 AUD
: Auditor Independen, adalah dummy variable. Nilainya 1 jika auditornya merupakan big four dan 0 jika tidak
SIZE
: Kapitalisasi pasar perusahaan per 31-12-2003
LEV
: Tingkat leverage, rasio total hutang terhadap total saham
εi,t
:
Error
Variabel Terikat Variabel terikat yang digunakan
adalah Akrual Diskresi (Discretionary
Accrual)/ DACC yang merupakan ukuran ada atau tidaknya praktek manajemen laba perusahaan. Jika akrual diskresi yang ditemukan bernilai negatif, maka diartikan perusahaan melakukan income decreasing earnings management, manajemen laba yang bertujuan untuk menurunkan laba yang dilaporkan.
Bridging the Gap between Theory, Research, and Practice
10
The 1st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia Depok, 7‐9 November 2007 Jika nilai akrual diskresinya positif, maka diartikan perusahaan melakukan income increasing discretionary accrual. Variabel Bebas Penentuan
variabel
bebas
sebelumnya yang sama dengan
adalah
berdasarkan
penelitian ini.
penelitian-penelitian
Variabel-variabel tersebut yaitu
komite audit dan direktur independen. 4.
Hasil Empiris Dan Pembahasan a. Tahap Pertama: 1) Deskripsi Statistik Akrual Total Tabel 1. Deskripsi Statistik ΔREVTA Mean
ΔREC
PPE
CFO
-12.23863
7.924583
0.795307
28.48968
Median
0.065628
0.005726
0.333857
0.000106
Maximum
253.2369
1244.479
100.3587
6163.599
Minimum
-6157.192
-267.072
3.03E-05
-238.4601
Std. Dev.
397.7954
99.72765
6.418308
395.5672
Variabel ΔREV-ΔREC adalah
beda/selisih dari perubahan Revenue
dan
perubahan Receivables. Nilai dari seluruh variabel di atas telah dibagi dengan total aset pada akhir periode sebelumnya. Hasil regresi akrual total Regresi akrual total tersebut sangat siknifikan pada tingkat α 0.01 dan Rsquared 99,99%. Seluruh variabel siknifikan berkorelasi dengan akrual total. Prob(Fstatistic) juga sangat siknifikan (0.0). Hal ini membuktikan bahwa model yang digunakan adalah model yang baik untuk digunakan dalam melakukan regresi akrual total dalam penelitian ini karena bisa menjelaskan hubungan antara variabel terikat dengan variabel-variabel bebasnya.
Bridging the Gap between Theory, Research, and Practice
11
The 1st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia Depok, 7‐9 November 2007 Koefisien yang dihasilkan adalah α1 : 119.9093,
α2: 0.0627820 , α3: -
56.07456, dan α4: -1.014416. Nilai-nilai koefisien itu kemudian digunakan dalam persamaan untuk menghitung akrual nondiskresi. 2) Deskripsi Statistik Akrual Total, Akrual Nondiskresi dan Akrual Diskresi Tabel 2. Deskripsi Statistik Variabel
TACC
NDACC
DACC
Mean
-12,2386
-27,5838
15,34513
Median
0,065628
-0,05057
0,143045
Maximum
253,2369
241,1925
242,2061
Minimum
-6157,19
-6153,66
-61,0204
std dev
397,7954
394,9169
47,29572
Semua perusahaan memiliki nilai akrual diskresi secara bervariasi dengan standar deviasi yang tinggi yaitu 397,7958. Nilai Akrual Diskresi terbesar adalah 242.2061 (melakukan income increasing earnings management) dan yang paling rendah (melakukan income decreasing earnings management ) adalah sebesar 61.0204. Dari 244 perusahaan, sebanyak 34 melakukan income decreasing earnings management dan 210 perusahaan melakukan income increasing earnings management. b. Tahap dua : Deskripsi statistik Model Regresi
yang menguji hubungan
antara manajemen laba dan corporate governance Tabel 3. Deskripsi Statistik Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Observations
DACC 15.34513 0.143045 242.2061 -61.0204 47.29572
KOMAD 1.651639 2 2 0 0.599689
KOMIN 0.378934 0.33 1 0 0.133264
AUDIT 0.67623 1 1 0 0.468875
SIZE 11.67031 11.67945 17.47414 7.613843 1.707809
LEV 0.641148 0.535 5.14 -3.73 0.683408
244
244
244
244
244
244
Bridging the Gap between Theory, Research, and Practice
12
The 1st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia Depok, 7‐9 November 2007 Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata Komite Audit yang dimiliki bernilai 1,651639. Artinya, mayoritas perusahaan di BEJ telah membentuk komite audit dan sebanyak
82,5 % (1.651639/2) telah sesuai dengan ketentuan dalam peraturan
pencatatan di BEJ. Tapi, masih ada perusahaan yang belum membentuk komite audit sehingga masih ada yang bernilai 0. Namun, rata-rata perusahaan telah mengangkat komisaris independen sesuai dengan ketentuan BEJ (37,89 % ). Rata-rata nilai auditor independen adalah 0,67623. Artinya, sebanyak 67,62 % perusahaan menggunakan jasa auditor independen yang termasuk dalam kategori big four. Ukuran perusahaan memiliki rata-rata 11.67031 dan standar deviasi sebesar 1.707809. Artinya, variasi ukuran perusahaan yang diukur dengan kapitalisasi pasarnya tidaklah terlalu besar. Tingkat hutang/leverage secara rata-rata adalah 0.641148 dengan standar deviasi 0.683408. Berarti variasi rasio hutang terhadap saham cukup tinggi, yaitu sebesar 68,34%. Untuk melihat hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dengan lebih jelas dan karena variasi yang cukup tinggi pada nilai DACC (47,295), peneliti mencoba melakukan regresi yang terpisah antara sampel yang memiliki DACC positif dan DACC negatif. Hasilnya adalah sebagai berikut: Tabel 4. Hasil Regresi dengan DACC Negatif Dependent Variable: DACC Sample: 1 34 Included observations: 34 Variable
Coefficient
KOMAD KOMIN AUDIT LNSIZE LEV C
-16.2625 23.2659 -3.43734 4.044347 5.117226 -39.6112
R-squared Adjusted R-squared
0.221513 0.082497
Std. Error 7.553305 21.62531 7.803004 2.66579 4.254041 30.98479
t-Statistic -2.15303 1.075865 -0.44052 1.517129 1.202909 -1.27841
F-statistic Prob(F-statistic)
Bridging the Gap between Theory, Research, and Practice
Prob. 0.0401 0.2912 0.6629 0.1404 0.2391 0.2116 1.593438 0.194437
13
The 1st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia Depok, 7‐9 November 2007 Hasil regresi dengan DACC negatif sebagai variabel terikat menunjukkan hubungan yang tidak siknifikan antar variabel bebas dan variabel terikat secara keseluruhan. Secara individual, hanya variabel komite audit (KOMAD) yang siknifikan berkorelasi secara negatif dengan akrual diskresi pada tingkat α 0.05. Hal ini berarti bahwa, bahwa Komite Audit terlihat berperan dalam mengendalikan terjadinya praktek income decreasing earnings management. Komite Audit berperan mencegah pelaporan laba yang menurunkan laba. Namun, karena jumlah sampel dalam regresi ini hanya 34 perusahaan, maka hasilnya tidak cukup kuat untuk dijadikan simpulan tentang kondisi pasar di Indonesia. Regresi berikutnya yang dilakukan adalah melakukan regresi dengan DACC yang bernilai positif.
Ada 210 perusahaan yang memiliki nilai diskresi akrual
positif. Hasil regresinya ada dalam tabel berikut : Tabel 5. Hasil Regresi dengan DACC positif Dependent Variable: DACC Method: Least Squares Sample(adjusted): 1 210 Included observations: 210 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
KOMAD
18.12646
5.633046
3.21788
0.0015
KOMIN
-14.9092
27.30202
-0.54608
0.5856
AUDIT
1.927953
6.937516
0.277903
0.7814
LNSIZE
-3.33881
1.902301
-1.75515
0.0807
LEV
-6.09046
4.991467
-1.22017
0.2238
C
35.99563
25.95222
1.386996
0.167 3.1095
R-squared
0.070817
F-statistic
Adjusted Rsquared
62 0.0099
0.048043
Prob(F-statistic)
Bridging the Gap between Theory, Research, and Practice
72
14
The 1st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia Depok, 7‐9 November 2007 Regresi
berganda
dengan
DACC
positif
sebagai
variabel
terikat
menunjukkan hasil yang siknifikan secara keseluruhan dengan nilai Prob(F-stat) 0.009, siknifikan pada tingkat kesalahan 1 %.
R-squared ada di kisaran siknifikan
secara minimum 3 . Analisis Hubungan DACC dengan komite audit siknifikan pada tingkat α 0.01. Namun arah hubungan dengan komite audit adalah positif. Perusahaan melakukan praktek manajemen laba untuk meningkatkan nilai laba yang dilaporkan, justru ketika perusahaan memiliki komite audit yang sesuai dengan ketentuan pasar modal. Ini mengindikasikan bahwa fungsi Komite Audit belum dapat dijalankan secara efektif sebagaimana yang diharapkan. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesa yang ada dan tidak sesuai dengan hasil penelitian terdahulu dan dengan dugaan peneliti bahwa keberadaan komite audit memiliki hubungan yang negatif dengan manajemen laba. Temuan penelitian ini mengindikasikan keadaan komite audit yang belum sesuai dengan harapan ketika pembentukannya. Hal ini sesungguhnya juga tidak mengherankan karena
tidak ada penilaian/evaluasi yang cukup memadai dan
terukur yang dapat diketahui oleh masyarakat luas. Ini karena tidak ditentukan (dan juga mayoritas tidak diungkap secara sukarela oleh perusahaan) apakah komite audit telah bekerja sesuai dengan yang diharapkan. Juga tidak
ada pengungkapan
bagaimana pertanggungjawaban kinerja selain jadwal rapat yang telah dilaksanakan yang mungkin dilaporkan dalam RUPS. Hal ini bisa terjadi karena pembentukan komite audit di Indonesia sendiri masih mencari bentuk. Walaupun mayoritas perusahaan telah memiliki komite audit, tetapi kinerjanya belum seefektif komite audit di negara-negara maju yang jauh lebih dahulu mensyaratkan lembaga ini pada perusahaan-perusahaannya.
Atau,
karena anggotanya diangkat oleh pemilik saham mayoritas, sehingga sulit untuk independen dalam menjalankan tugasnya. 3
Menurut Cohen dan Cohen (1983). untuk tingkat kesalahan 0.01 dan jumlah sample 250,
minimum R-squared nya adalah
0.07 untuk dapat dikatakan siknifikan,
Bridging the Gap between Theory, Research, and Practice
15
The 1st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia Depok, 7‐9 November 2007 Tidak siknifikannya variabel komisaris independen mengindikasikan belum efektifnya peranan komisaris independen dalam proses pelaporan keuangan. Komisaris independen yang diangkat, walaupun memiliki independensi yang cukup, namun bisa jadi kurang memiliki pemahaman yang mendalam tentang aktivitas operasional perusahaan atau bahkan tentang proses pelaporan keuangan.
Di
Indonesia, masih banyak komisaris independen yang diangkat berdasarkan penghargaan, bukan berdasarkan kemampuan pribadi/profesionalitas. Atau kalaupun diangkat berdasarkan profesionalitas, tapi diajukan oleh pemegang saham yang siknifikan jumlah kepemilikannya (share majority). Jika dilihat dari kemampuan, walaupun
memiliki pemahaman memadai,
tapi mungkin tidak memiliki kekuatan/pengaruh yang cukup untuk mengawasi proses pelaporan keuangan. Hal ini dimungkinkan karena persyaratan yang diminta oleh BEJ hanyalah 30 % dari keseluruhan anggota dewan komisaris haruslah independen. Sementara rata-rata perusahaan hanya memiliki 4 atau 5 orang komisaris sehingga secara rata-rata yang independen hanyalah 1 atau 2 orang saja. Untuk variabel leverage, ternyata juga tidak terbukti memiliki hubungan dengan akrual diskresi. Seperti temuan Beneish dan Press (1993), tidak dapat ditemukan bukti bahwa tingkat hutang dapat mempengaruhi fleksibilitas perusahaan dalam melaksanakan manajemen laba. LnSize siknifikan pada tingkat
α 0.10. Korelasi yang negatif siknifikan
antara DACC positif dengan tingkat ukuran perusahaan sesuai dengan penelitian sebelumnya, yaitu bahwa perusahaan yang lebih besar cenderung tidak mau melakukan manajemen laba karena mendapatkan perhatian yang lebih besar dari masyarakat daripada perusahaan yang lebih kecil. Sehingga, praktek manajemen laba lebih mudah diketahui masyarakat apabila dilakukan oleh perusahaan yang lebih besar. Namun hal tersebut tidak berlaku secara konsisten karena ukuran perusahaan hanya memiliki hubungan yang siknifikan dengan diskresi akrual yang positif, tapi tidak dengan yang negatif Variabel auditor eksternal juga tidak siknifikan. Hal ini menunjukkan bahwa pilihan auditor
eksternal tidak dapat mempengaruhi ada atau tidaknya praktek
manajemen laba dalam perusahaan. Hal ini bisa karena klasifikasi auditornya adalah
Bridging the Gap between Theory, Research, and Practice
16
The 1st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia Depok, 7‐9 November 2007 big four dan bukan big four, sementara 67 % emiten menggunakan jasa KAP yang berafiliasi dengan big four Sebagai contoh, PT Jaya Pari Steel Tbk. adalah perusahaan dengan akrual diskresi yang paling tinggi (242,2061). Padahal, anggota dewan komisarisnya 50% independen, telah membentuk komite audit yang
memenuhi ketentuan, serta
menggunakan auditor eksternal yang termasuk dalam kategori afiliasi big four. Pada regresi dengan DACC negatif, R-squarednya bernilai 22,15. Berarti pada kisaran tingkat siknifikansi yang minimum berdasarkan Cohen dan Cohen (1983), yaitu dengan jumlah variabel bebas 5 dan tingkat siknifikansi 5 % dan jumlah sampel 50, maka nilai R-squared minimum yang siknifikan adalah 23 %. Pada regresi dengan DACC positif, nilai R-squared juga pada kisaran minimum dengan R-squared sebesar 7 % (untuk sampel 250 dan variabel bebas 5, pada dan tingkat siknifikansi 5 %, R-squared minimum yang siknifikan adalah sebesar 5 %. Hal ini menunjukkan bahwa kedua faktor GCG dalam penelitian ini belum cukup menjelaskan atau mempengaruhi
praktik manajemen laba yang
dilakukan perusahaan-perusahaan publik di Indonesia. 5. Kesimpulan, Keterbatasan dan Saran untuk Penelitian Selanjutnya Penelitian ini mencoba melihat hubungan antara pelaksanaan good corporate governance
dengan manajemen laba. Hipotesis penelitian adalah bahwa komite
audit dan komisaris independen memiliki korelasi negatif dengan manajemen laba. Untuk komite audit dan komisaris independen, penelitian ini menggunakan data yang berasal dari pengumuman BEJ tentang pembentukan komite audit dan pengangkatan komisaris independen. Sementara manajemen laba dicerminkan oleh discretionary accruals
yang dihitung dari model Jones yang dimodifikasi.
Kesimpulan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut : •
Penelitian ini sekali lagi membuktikan bahwa model Jones yang dimodifikasi yang digunakan untuk mengetahui nilai discretionary accruals adalah model yang baik terlihat dari probabilita F-statistik yang siknifikan untuk semua variabel. R-squared juga menunjukkan bahwa model tersebut dapat menjelaskan hubungan keseluruhan variabel sebesar 99,99%.
Bridging the Gap between Theory, Research, and Practice
17
The 1st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia Depok, 7‐9 November 2007 •
Manajemen laba terjadi di Indonesia baik dengan tujuan meningkatkan laba ataupun menurunkan laba.
•
Penelitian ini
menemukan bahwa fungsi komite audit dalam melakukan
pengawasan terhadap proses penyusunan laporan keuangan belum berjalan dengan efektif. Komite audit
memiliki hubungan dengan adanya praktek
manajemen laba dengan arah hubungan yang berbeda dengan yang diduga. Hubungan komite audit searah dengan terjadinya praktek manajemen laba yang bertujuan meningkatkan laba. Praktek manajemen laba justru terjadi pada saat perusahaan memiliki komite audit yang sesungguhnya diharapkan dapat mempengaruhi (meminimalisasi) praktek manajemen laba. •
Komisaris independen terbukti memiliki hubungan yang negatif tetapi tidak siknifikan dengan akrual diskresi. Hal ini menandakan bahwa efektifitas dari komisaris independen untuk mengurangi praktek manajemen belum terbukti.
•
Peraturan Bursa Efek Jakarta yang mewajibkan pembentukan komite audit dan komisaris independen dalam prosedur pencatatan, belum cukup efektif untuk mengendalikan praktek manajemen laba di perusahaan publik di BEJ.
•
Bila dibandingkan dengan penelitian terdahulu di luar Indonesia, tentu hasil penelitian ini tidak konsisten. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa pelaksanaan GCG adalah hal yang relatif baru di Indonesia.
Perusahaan-
perusahaan yang tercatat di BEJ sebagian besar baru saja pulih dari keterkejutan dan keterpurukan akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Saat ini hampir seluruh perusahaan sedang berbenah dalam segala aspek, baik aspek usaha (operasional) maupun struktural yang mendukung kegiatan operasional seperti corporate governance tersebut. Keterbatasan Penelitian Beberapa keterbatasan penelitian yang dapat diungkapan meliputi hal berikut: •
Pengukuran komite audit dan komisaris independen hanya dilakukan berdasarkan ukuran fisik yaitu kelengkapan keanggotaan sesuai dengan ketentuan BEJ, yang sebetulnya tidak bisa menjelaskan kualitas dari kinerja kedua variabel tersebut. Akibatnya, efektifitas dari aspek corporate governance yang menjadi kebijakan pihak-pihak yang terkait di Indonesia seperti BEJ dan BAPEPAM, tidak dapat
Bridging the Gap between Theory, Research, and Practice
18
The 1st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia Depok, 7‐9 November 2007 dinilai secara utuh dan obyektif. Kesulitan menilai penentuan ukuran pelaksanaan GCG juga disebabkan karena tidak adanya aturan yang mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan secara cukup memadai bagaimana kualitas pelaksanaan GCG dalam perusahaan mereka. •
Faktor-faktor lain yang merupakan aspek GCG seperti investor independen, direktur independen, jumlah RUPS dll, tidak dapat diketahui karena tidak adanya pengungkapan yang diwajibkan. Sehingga efektifitas GCG secara keseluruhan tidak dapat diamati
•
Data yang digunakan hanyalah data tahun 2002 karena keterbatasan data pelaksanaan corporate governance yang tersedia. Data tahun sebelumnya tidak ada karena kesadaran perusahaan untuk menerapkan GCG baru muncul kembali pasca krisis sementara peraturan BEJ baru dapat dipenuhi (sebagian) yaitu dari dua tahun terakhir (2001 dan 2002).
Untuk penelitian selanjutnya Untuk mengetahui peranan
komite
audit
dalam mengendalikan praktek manajemen laba,
dan
komite
independen
perlu dilakukan perbandingan
dengan kondisi sebelum adanya kedua lembaga tersebut di dalam perusahaan, atau dengan kondisi yang terkini. Perlu pula dilakukan penelitian lebih lanjut yang dapat menilai efektivitas dari fungsi komite audit dan komisaris independen, atau menggunakan variabel GCG lain yang dapat lebih dilihat efektivitasnya.Untuk mengukur manajemen laba, metode-metode selain accrual dapat pula digunakan seperti penjualan aset, pemilihan metode akuntansi dan yang lainnya.
Bridging the Gap between Theory, Research, and Practice
19
The 1st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia Depok, 7‐9 November 2007 Daftar Bacaan
Abbott, L. J., and S. Parker. 1999. Auditor quality and the activity and Independence of the audit committee. Working paper, University of Memphis and Santa Clara University. Abdullah, Sjukriy,
“Manajemen Laba dalam Perspektif Teori Akuntansi Positif”,
Media Akuntansi No. 3/Th I/September 1999 Aharony, J., Lin, C., dan Loeb, M.P., (1993) “Initial Public Offerings, Accounting Choices and Earnings Management”. Contemporary Accounting Research, 10 (I):61-81 Beasley, M.S. (1996) “An Empirical Analysis of the Relation between the Board of Director Composition and Financial Statement Fraud” The Accounting Review 71 (October): 443 – 465. Becker,C. L., M.L.DeFond, J.Jiambalvo, dan K.R. Subramanyam, 1998. “The Effect of Audit Quality
on Earnings Management,” Contemporary Accounting
Reseacrh 15, 1-24 Beneish,Messoud B, (2001). Earnings Management: A Perspective, Indiana University, Kelley School of Business, Bloomington, Indiana Byrd, John W., and Kent A. Hickman, (1992) “Do Outside Directors Monitor Managers? Evidence from Tender Offer Bids” Journal of Financial Economics 32. Chtrou, Sonda Marrakchi, Jean Beddard dan Lucie Courteau.(2001) “Corporate Governance and Earnings Management”, working paper, www.ssrn.com, Claessens,S.,S. Djankov dan L.H.P. Lang. (1999).”Who Controls East Asian Corporation?” World Bank Policy Research paper 2054 (Februari) Cohen,J. dan P. Cohen.(1983). Applied Multiple Regression/Correlation Analysis for The Behavioral Sciences, edisi kedua, Hillsdale:Lawrence Erlbaum Davidson, R. A. and D. Neu. (1993). “Note on the association between audit firm size and audit quality.” Contemporary Accounting Research (Spring): 479– 488.
Bridging the Gap between Theory, Research, and Practice
20
The 1st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia Depok, 7‐9 November 2007 DeAngelo, L. (1981). Auditor size and audit quality. Journal of Accounting and Economics 3: 189–199. Dechow, Patricia M., and Richard G. Sloan, and Amy P. Sweeney (1995) “Detecting Earnings Management” The Accounting Review 70 DeFond, Mark. L., and James Jiambalvo, (1994) “Debt Covenant Violation and Manipulation of Accruals, Journal of Accounting and Economics 17, 145 176 Fama, Eugene F., and Michael C. Jensen, (1983), “Separation of Ownership and Control” Journal of Law and Economics 26, 301-325 Gujarati,Damodar N. (1995). Basic Econometric. New York: McGraw-Hill Jensen, Michael C., and William. Meckling, (1976), Theory of Firm: “Managerial Behaviour, Agency Cost, and Ownership Structure” Journal of Financial Economics 3, 305-360. Jensen, Michael C., W.C. Smith Jr., (1985). Stockholder, Manager and Creditor Interest: Applications of Agency Theory, Dow-Jones Irwin Jones, J.J., (1991). Earnings Management During Import Relief” Journal of Accounting Research, 29 (2):193-228 Keasey, K., S.Thompson, M. Wright, (1999). Corporate Governance: Economic and Financial Issue. Oxford University Press Klein, April. (2003).”Audit Committee, Board of Director Characteristic and Earnings Management”, Journal of Accounting and Economics, Vol 33 No. 3, 375-400 Levitt, A. 1998. The numbers game. Speech given at NYU Center for Law and Business, New York, NY, September 28. Lobo, Gerald J., Jian Zhou, Disclosure Quality and Earnings Management, Social Science Research Network Electronic Paper Collection, www.ssrn.com Merchant,K.A., dan J.Rockness, (1994). “The Ethics of Managing Earnings: An Empirical Investigation”.Journal of Accounting and Public Policy 13:79-94 Media Akuntansi No. 7/Th I/April 2000, Pentingnya Sebuah Corporate Management. OECD, (1999). OECD Principles of Corporate Governance.
Bridging the Gap between Theory, Research, and Practice
21
The 1st Accounting Conference Faculty of Economics Universitas Indonesia Depok, 7‐9 November 2007 Rangan, S., (1998). Earnings Management and The Performance of Seasoned Equity Offerings”, Journal of Financial Economics, 50:101-122 Reisch, John T. “Ideas for Future Research on Audit Quality “ The Auditor’s Report Vol.24, No. 1 Fall 2000 Schipper,K. 1989. “Earnings Management”. Accounting Horizon, Desember: 91-102 Van Tendeloo, Brenda, dan Ann Vanstraelen, 2003. A Comparison of the Quality of Reported Earnings under German and Swiss GAAP versus IFRS, working paper, Universiteit Antwerpen dan Universiteit Maastricht Wild, John J., Bernstein, L.A., Subramanyam, K.R., (2001), Financial Statement Analysis, Mc.Graw-Hill, Singapore Xie, B., W.N. Davidson III, P.J. Dadalt, (2001). “Earnings Management and Corporate Governance : The Role of the Board and the Audit Committee. “ Journal of Corporate Finance, forthcoming Zaman, Mahbub, (2001). “Turnbull-Generating Undue Expectations Of The Corporate Governance Role Of Audit Committee”, Managerial Auditing Journal, MCB University Press
Bridging the Gap between Theory, Research, and Practice
22